Anda di halaman 1dari 144

STUDI WAYANG TOPENG MALANG LAKON LAHIRE PANJI KARYA

MOCHAMMAD SOLEH ADI PRAMONO DARI PADEPOKAN SENI


MANGUN DHARMO TUMPANG-MALANG

SKRIPSI

OLEH
ASWIN PRATAMA
NIM 105251481024

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA
AGUSTUS 2012
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi oleh Aswin Pratama ini


telah diperiksa dan disetujui untuk diuji.

Malang, 29 Agustus 2012


Pembimbing I

Dra. Tjitjik Sriwardani M.Pd


NIP 19540319 198502 2 001

Malang, 29 Agustus 2012


Pembimbing II

Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd


NIP 19820126200501 2 002
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

Skripsi oleh Aswin Pratama ini


telah dipertahankan di depan dewan penguji
pada tanggal 28 Agustus 2012

Dewan Penguji

Dra. Tjitjik Sriwardani, M.Pd Ketua


NIP 19540319 198502 2 001

Dra. Hj. Ida S. Herawati, M.Pd Anggota


NIP 19510228 198002 2 001

Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd Anggota


NIP 19820126200501 2 002

Mengetahui, Mengesahkan,
Ketua Jurusan Seni dan Desain Dekan Fakultas Sastra

Drs. Iriaji, M.Pd Prof. Dr. H. Dawud, M.Pd


NIP 19630817 198802 1 001 NIP 19590610 198503 1 005
ABSTRAK

Pratama, Aswin. 2012. Studi Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya
Mochammad Soleh Adi Pramono Dari Padepokan Seni Mangun Dharmo
Tumpang-Malang. Skripsi, Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dra. Tjitjik Sriwardani M.Pd
(II) Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd.

Kata Kunci : wayang topeng, Lahire Panji, M. Soleh, Mangun Dharmo, Malang

Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji merupakan salah satu karya
seni warisan leluhur yang mengandung kompleksitas dalam penyajiannya. Peneliti
ingin mengkaji wayang topeng tersebut karena di dalamnya terdapat nilai moral
dan nilai estetik yang menjadi pangkal pengalaman estetik yang berguna bagi
manusia dalam mengaktualisasikan dirinya dalam hubungan sosial bermasyarakat.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan latar
belakang penciptaan dan nilai estetik yang terkandung pada Wayang Topeng
Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari
Padepokan Seni Mangun Dharmo, Tumpang, Malang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara,
observasi dan dokumentasi. Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan
trianggulasi data. Tahap analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan/verifikasi.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh dua kesimpulan hasil penelitian
sebagai berikut. Pertama, lewat Lakon Lahire Panji Mochammad Soleh Adi
Pramono ingin berupaya memberi sumbangsih dalam hal ajaran-ajaran moral
kepada masyarakat, terutama generasi muda yang mulai larut dalam era kekinian
yang perlahan menghapus rasa kepemilikan atas budaya bangsa sendiri. Kedua,
nilai-nilai estetika tercermin pada beberapa atribut pertunjukan yang dalam hal ini
adalah topeng malang dalam Lakon Lahire Panji. Nilai estetik tersebut dapat
ditangkap pada adanya pengorganisasian media estetik yang meliputi garis;
bentuk dan ruang; warna; dan tekstur, di mana kesemua media estetik tersebut
terepresentasi ke dalam hasil tatah dan sunggingan, serta bentuk keseluruhan
topeng. Kaidah visualisasi estetik guna mendapatkan kualitas estetik juga
diterapkan dalam topeng tersebut. Atribut kualitas estetik seperti kesatuan,
keteraturan, dan keberagaman dapat dicapai diantaranya dengan menciptakan
keseimbangan, keselarasan, kesebandingan, irama, dan kevariasian lewat penataan
media estetik tersebut.
Disarankan dari hasil penelitian ini agar pembuat topeng di Padepokan
Seni Mangun Dharmo khususnya, serta komunitas Wayang Topeng Malang lain
pada umumnya agar terus menggali ide-ide yang bersumber dari nilai estetik
tersebut di atas. Nilai estetik tersebut nantinya diharapkan juga memberi pengaruh
besar bagi pemerhati dan pelaku seni pertunjukan tradisional untuk terus berkarya
guna mempertahankan kelangsungan hidup budaya bangsa Indonesia.
ABSTRACT

Pratama, Aswin. 2012. A Study of Mask Puppet of Malang Story The Born of
Panji by Mochammad Soleh Adi Pramono from Padepokan Seni Mangun
Dharmo Tumpang-Malang. Skripsi, Jurusan Seni dan Desain Fakultas
Sastra Universitas Negeri Malang. Advisors: (I) Dra. Tjitjik Sriwardani
M.Pd (II) Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd.

Key Words : mask puppet, Lahire Panji, M. Soleh, Mangun Dharmo, Malang,

Mask Puppet of Malang Story The Born of Panji is one of heritage arts. By
its performance complexity, it contains of the values of morality and esthetic that
becomes the root of esthetic experience useful for people in actualizing
themselves in the social society.
This research purposes to describe the background and the value of
esthetic contained in some masks in Mask Puppet of Malang Story The Born of
Panji by Mochammad Soleh Adi Pramono from Padepokan Seni Mangun Dharmo
Tumpang-Malang.
This research used qualitative approach by descriptive method. The
collecting data were by interviewing, observation, and documentation. To keep
the validity of data, it was used resource triangulation. To analyze the data, it used
reducing and setting the data, it was also verification.
Based on the result of the research, there were two conclusions. Firstly, by
the Born of Panji, Mochammad Soleh Adi Pramono wanted to try to give valuable
thing in morality for society especially young generation who took nowdays value
too deep – those, slowly but surely, it eliminated the owning of their own culture.
Secondly, the values of esthetic showed on some performance, here, Malang mask
in the Born of Panji. Those could be taken from the organizing of the esthetic
media. They were line; form and space; colour; and texture. They were
represented into infaid and feature of the face, also the form of all masks. The rule
of esthetic visualization that was to get the quality of esthetic was also used on
those masks. The attribute of esthetic qualities such as unity, regularity, and
variety could be got by creating the balance, the harmony, the equality, the
rhythm, and the variety by the setting of the esthetic media.
From the result of the research, it is suggested for the mask maker-
especially in Padepokan Seni Mangun Dharmo and generally for other community
of Mask Puppet of Malang to keep digging ideas from the values of esthetic
above. The values, hopefully, can give great influence for concerning person and
artist of tradisional performance to keep working to maintain the existence of
Indonesian culture.
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdullilahhirrabilalamin

Dengan segala kerendahan hati, segala puji dan syukur bagi Allah SWT

Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas segala limpahan berkah, hidayah,

karunia, dan kemudahan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul ―Studi Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya Mochammad

Soleh Adi Pramono Dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang―

sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Seni

Rupa.

Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada :

1. Prof. Dr. H. Dawud, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas

Negeri Malang.

2. Drs. Iriaji, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra

Universitas Negeri Malang.

3. Dra. Tjitjik Sriwardani M.Pd selaku dosen pembimbing I pada penulisan

ini, atas arahan dan saran yang benar-benar penulis rasakan sangat

membantu guna perbaikan esensi penulisan skripsi ini, serta waktu yang

diluangkan bagi penulis selama bimbingan berjalan.

4. Ike Ratnawati S.pd, M.Pd, selaku dosen pembimbing II, atas

bimbingannya dalam perbaikan kepenulisan skripsi ini.


5. Bapak Mochammad Soleh Adi Pramono selaku pencipta naskah Lakon

Lahire Panji yang turut meyakinkan penulis bahwa penulisan skripsi ini

bisa selesai dan membekali penulis dengan tabungan budaya dalam

melangkah menuju medan pembelajaran sesungguhnya.

6. Mas Supriono dan anggota Padepokan Seni Mangun Dharmo yang tdak

dapat penulis sebutkan satu persatu, yang sangat membantu selama

penelitian berjalan.

7. Dra. Hj. Purwatiningsih M. Pd, selaku dosen pembimbing akademik. Atas

dorongan untuk menyelesaikan dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya

sejak penulis duduk di bangku kuliah.

8. Dra. Lilik Indrawati, M, Pd, atas saran dan masukan sebelum penelitian ini

pada akhirnya berjalan. Serta segenap Dosen pengajar yang sangat berarti

bagi penulis dalam proses menabung ilmu dan pengalaman selama

perkuliahan berjalan.

9. Orang tua penulis Endang Astuti dan Pujo Winarno, serta seluruh adik-

adik yang setia memberikan motivasi demi terselesaikannya penelitian ini.

10. Teman-teman, mantan-mantan, tetangga-tetangga, serta kerabat yang

selalu membantu dan mendo‘akan agar segalanya yang berjalan selalu

berakhir baik bagi penulis.

Semoga amal serta kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan

yang sepantasnya dari Allah SWT. Menyadari keterbatasan pengetahuan,

referensi, dan pengalaman, penulis mengharapkan saran, dan masukan, demi

perbaikan dan pembenahan skripsi ini.


Akhirnya penulis berharap, skripsi ini dapat berguna bagi penulis serta

bagi semua pihak yang membutuhkan, dan senantiasa mendapatkan ridha dari

Allah SWT. Amien.

Malang, 29 Agustus 2012

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 9
C. Landasan Teori .............................................................................. 9
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 29

BAB II METODE PENELITIAN


A. Pendekatan dan Jenis Penelitian..................................................... 32
B. Kehadiran Peneliti .......................................................................... 34
C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 36
D. Jenis-jenis Sumber Data ................................................................. 37
E. Instrumen Penelitian ....................................................................... 38
F. Prosedur Pengumpulan Data .......................................................... 41
G. Analisis Data .................................................................................. 43
H. Pemeriksaan Keabsahan Data ......................................................... 46
I. Tahap-tahap Penelitian ................................................................... 47

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN


A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang
Lakon Lahire Panji ......................................................................... 49
B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang
Lakon Lahire Panji ......................................................................... 55

BAB IV PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang
Lakon Lahire Panji ......................................................................... 60
B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang
Lakon Lahire Panji ......................................................................... 64

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 73
B. Saran ............................................................................................... 75
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 76
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... 79
LAMPIRAN ........................................................................................................ 80
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Padepokan Seni Mangun Dharmo.................................................... 36

2.2 Peta Lokasi Padepokan Seni Mangun Dharmo ............................... 37

3.1 Kunjungan dari warga di Padepokan Seni

Mangun Dharmo............................................................................... 50

3.2 Pertunjukan Wayang Topeng Malang di Padepokan Seni

Mangun Dharmo ............................................................................. 51

3.3 Panji Asmarabangun ........................................................................ 56

3.4 Lembu Mangarang ........................................................................... 57

3.5 Patih Jayabadra ....................................................................................... 58

3.6 Patih Kudanawarsa (tampak samping) ..................................................... 59

3.7 Patih Jaya Kasemba .................................................................................. 59

4.1 Bagian-bagian wajah ................................................................................ 64

4.2 Panji Asmarabangun ................................................................................ 66

4.3 Lembu Mangarang .................................................................................... 67

4.4 Bagian-bagian mata .. ............................................................................... 68

4.5 Patih Jayabadra ......................................................................................... 68

4.6 Patih Kudanawarsa ....................................................................................70

4.7 Patih Jayakasemba .....................................................................................72


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Lembar Wawancara I......................................................................... 80

2. Lembar Wawancara II ....................................................................... 90

3. Ruang Lingkup .................................................................................. 95

4. Lembar Observasi .............................................................................. 96

5. Lembar Dokumentasi.......................................................................... 99

6. Riwayat hidup ................................................................................... 130


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang sarat dengan kemajemukan masyarakatnya.

Hal ini berimbas kepada berlimpahnya khasanah budaya dan adat istiadat yang

dimiliki Indonesia. Dengan kesadaran dan konsepsi estetikanya, masyarakat turut

menempatkan seni pada lembaran adat istiadat dan budaya tersebut. Sebagaimana

Marcuse (2004: 221) mengungkapkan bahwa ―.... dalam hidup, nilai-nilai estetik

dapat berfungsi sebagai keindahan dan peluhuran kultural ....‖.

Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, seni pertunjukan

tradisional merupakan salah satu representasi nyata dalam memperpanjang nafas

adat istiadat dan budaya. Seni pertunjukan tradisional terdapat di berbagai daerah

dengan fungsi dan kekhasannya masing-masing. Wibisana dan Herawati (2010:

15) menyebutkan bahwa seni pertunjukan bersifat kompleks, sangat bergantung

pada dimensinya, apakah itu seni tari, seni suara, seni rupa, dan lain sebagainya.

Dari sekian banyak seni pertunjukan di Indonesia, terdapat seni pertunjukan

wayang yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu hingga saat ini, di mana seni

pertunjukan wayang mewadahi segenap aspek seni tersebut. Sehubungan dengan

itu, Djoko Suryo, dkk (1985: 53) dalam Wibisana dan Herawati (2010: 51)

menambahkan bahwa: Pada kenyataannya seni pertunjukan Jawa umumnya

merupakan seni pertunjukan total teater yang di dalamnya mengandung hampir

semua aspek pertunjukan. Contoh yang jelas adalah pertunjukan wayang ...‖.
Wayang sebagai buah akal budi manusia Indonesia, mengalami

pertumbuhan dan perkembangan baik wujud maupun isinya. Dinamisnya gerak

hidup masyarakat dalam laju kehidupan global yang merupakan tantangan adalah

salah satu penyebabnya (Wibisana dan Herawati, 2010: 15). Terkait hal tersebut,

lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

Namun kondisi tersebut tidak lantas membuat wayang meninggalkan jati


dirinya, karena wayang mempunyai landasan yang kukuh. landasan
utamanya adalah sifat hamot, hamong, dan hamemangkat. Hamot adalah
keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar.
Hamong adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru dan
menyesuaikan dengan nilai wayang yang ada. Untuk selanjutnya diangkat
menjadi nilai-nilai yang cocok dengan wayang sebagai bekal untuk
bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat. Hamamengkat atau
mengangkat suatu nilai menjadi nilai baru.

Gejala di atas juga berdampak pada tumbuh dan berkembangnya beberapa

jenis seni pertunjukan wayang yang tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air.

Misalnya di Kalimantan Selatan dikenal adanya Wayang Banjar, di Lombok ada

Wayang Sasak, dan Wayang Betawi di Jakarta. Selain itu, jenis-jenis wayang

paling banyak ditemukan di Pulau Jawa seperti Wayang Kulit Purwa, Wayang

Golek di Jawa Barat, Wayang Beber, Wayang Gedhog, Wayang Krucil, wayang

Jemblung di Tulungagung dan Wayang Topeng Malang di Malang.

Beragam jenis wayang tersebut merupakan produk-produk budaya lokal

yang patut mendapat perhatian demi kelangsungan hidup kebudayaan itu sendiri.

Dari sekian banyak jenis seni pertunjukan wayang di atas, fokus dalam penelitian

ini adalah Wayang Topeng Malang.

Seni pertunjukan Wayang Topeng Malang adalah seni pertunjukan

tradisional yang hampir mirip wayang orang, di mana dalam penyajiannya orang

atau penari tersebut memakai topeng, dan dialog hanya dilakukan oleh dalang.
Dalam pertunjukan Wayang Topeng Malang dalang adalah pembawa jalan cerita

sekaligus pembawa dialog para tokoh wayang topeng. Bentuk pertunjukan

Wayang Topeng Malang dijelaskan oleh Hamzruri (2000: 483) dalam Estuvitasari

(2008) sebagai berikut:

Wayang topeng yaitu kesenian topeng dengan adegan lakon cerita utuh
seperti cerita pewayangan dengan pelaku orang memakai topeng tokoh-
tokoh tertentu dipimpin seorang dalang. Maka bentuknya seperti wayang
wang di jawa. Bedanya adalah para pelaku pada wayang wang melakukan
dialog dan tidak mengenakkan topeng, sedangkan para pelaku wayang
topeng tidak melakukan dialog tetapi memakai topeng, dialog dilakukan
oleh dalang seperti wayang purwa di Jawa.

Berdasarkan perbedaan dan persamaan tersebut, penelitian ini berupaya

mendeskripsikan nilai estetika kerupaan yang terdapat dalam Topeng Malang

tersebut. Upaya tersebut tidak terlepas dari strategi trikarsa (pancagatra)

sebagaimana yang diungkapkan oleh Wibisana dan Herawati (2012:15) sebagai

berikut:

Trikarsa adalah tekad untuk melestarikan, mengembangkan dan


mengagungkan wayang. Trikarsa dilaksanakan melalui sarana pancagatra,
yaitu pelestarian dan pembinaan dalam semua unsur seni wayang: seni
pedalangan atau pentas, seni karawitan, seni ripta, seni widya yang
mencakup pendidikan serta falsafah, dan seni kriya. Dengan kebijaksanaan
ini diharapkan wayang akan dapat terus dikembangkan di tengah-tengah
kemajuan zaman yang sangat cepat dan sangat dinamis.

Wayang Topeng Malang merupakan tradisi kultural dan religiusitas

masyarakat Jawa semenjak kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja

Gajayana. pada masa abad ke 8 M. Semula topeng yang terbuat dari batu hanya

difungsikan untuk acara persembahyangan. Karena alasan sukarnya mendapatkan

riasan, pada masa Raja Airlangga topeng tersebut digunakan untuk menutupi

wajah penari (Utomo, 2008).


Pada awalnya, cerita-cerita dalam Wayang Topeng Malang masih

mengadopsi cerita-cerita India bernuansa Hindu. Waktu itu Pulau Jawa

merupakan area berkembangnya agama Hindu yang datang dari India, maka alur

cerita atau lakon yang disajikan diambil dari cerita-cerita India, seperti Ramayana

dan Mahabarata. Dominasi sastra India membuat kesusastraan Jawa menyerap dan

membumikan nilai-nilai India yang relevan dengan Agama Hindu di tanah Jawa

(Utomo, 2008).

Cerita Ramayana sendiri merupakan sastra pertama yang berkembang di

Jawa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Timoer (1979/1980: 16) sebagai

berikut: ―…. sumber lakon permainan wayang topeng yang diistilahkan dengan

Atapukan .... dimuat dalam Prasasti Jaha tahun 840 Caka (918). Kiranya dapat kita

duga Kakawin Ramayana digubah pada zaman Pemerintahan Raja Balitung tahun

820-832 Caka (898-910 M)‖.

Kemudian setelah pusat kerajaan dari Jawa Tengah berpindah ke Jawa

Timur muncul sastra baru yaitu Mahabarata yang digubah pada jaman

pemerintahan Raja Dharmawangsa (tahun 913-938 Caka atau 991-1016 M).

Kemudian menyusul sastra Panji yang diperkirakan pada zaman Kertanegara dari

Singosari (1990-1214 Caka atau 1268-1292 M) (Timoer, 1989).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa cerita Panji

baru muncul pada masa kekuasaan Kertanegara di Singosari. Sedangkan secara

garis besar cerita Panji dijelaskan oleh Berg (1985: 87-88) dan Bandon (1996: 33)

dalam kutipan tesis Robby Hidayat (2004:10) sebagai berikut:

Panji adalah sebuah lakon yang mengisahkan seorang Pangeran dari


Jenggala (Kahuripan) dan seorang putri dari kerajaan Daha (Kediri) yang
ditakdirkan untuk menjadi suami istri. Pada permulaan cerita keluarganya
mendukung untuk melangsungkan perkawinan itu, tetapi tiba-tiba ada
rintangan, misalnya karena sang pangeran sudah menentukan sendiri
kawan hidupnya dan tidak menginginkan seorang wanita lain sebagai istri
atau karena sang putri oleh suatu sebab tiba-tiba menghilang dari keraton.
Sang pangeran kehilangan kekasihnya yang dikiranya masih hidup. Pada
akhirnya keadaan menjadi jernih kembali. Dan sang pangeran dengan sang
putri yang rupanya sudah ditakdirkan menjadi lalu melangsungkan
pernikahan.

Cerita Panji mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran ksatria-ksatria

Jawa. Terutama pada masa Jenggala dan Kediri, cerita Panji merupakan usaha

untuk menandingi cerita versi wayang purwa yang mengisahkan cerita-cerita dari

India. Dengan semangat kolonialisasinya Singosari adalah kekuasaan yang

mengembangkan kekuasaannya hingga ke Kalimantan dan Melayu. Cerita Panji

dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja-raja yang pernah berkuasa di tanah

Jawa (Utomo, 2008).

Secara garis besar latar setting dan tokoh dalam cerita Panji juga

dikemukakan oleh Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai berikut:

Secara umum terdapat beberapa kerajaan dan tokoh dalam cerita Panji
antara lain; Kerajaan Jenggala dengan tokoh Prabu Lembu Amiluhur dan
Raden Panji Asmara Bangun; Kerajaan Daha dengan tokoh Lembu
Amisesa, Gunung Sari, dan Dewi Sekartaji; serta Kerajaan Kediri dengan
tokoh Pambelah, Pamecut, Patih Kudamawarsa, Lembu Pati. Sementara
itu terdapat beberapa tokoh antagonis seperti Klana Sabrang, Bapang,
dan Wadyabala (wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono
pada tanggal 17 Februari 2011).

Telah disinggung sebelumnya bahwa inti cerita Panji adalah lakon yang

mengisahkan pergolakan cinta dan takdir yang telah ditetapkan untuk Panji

Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji. Namun pokok bahasan dalam penelitian ini

adalah latar belakang penciptaan Lakon Lahire Panji serta aspek estetik kerupaan

pada topeng beberapa tokoh dalam Lakon Lahire Panji yang mengisahkan

bagaimana pangkal dari alur besar Siklus Panji secara umum. Berikut ini adalah
cerita singkat Lakon Lahire Panji yang diceritakan oleh Mochammad Soleh Adi

Pramono selaku pencipta naskah Lakon Lahire Panji tersebut:

Lakon lahire panji menceritakan segala permasalahan yang terjadi di


Jenggala dan Keling (Hindustan). Peristiwa-peristiwa mengamuknya alam
yang terjadi di kedua negara tersebut merupakan satu bentuk bahwa
manusia sudah tidak lagi peduli dengan tatanan alam. Segala musibah
tersebut merupakan tanda-tanda atau gejala bahwa akan turunnya sebuah
ksatria (pemimpin) yang akan mengembalikan segala keselarasan jagad
(memayu hayuning bawana). Pertalian darah dari kedua kerajaan tadi,
alias Amiluhur dan Sakyaningrat, yang nantinya merupakan cikal bakal
lahirnya Panji Asmarabangun (wawancara dengan Mochammad Soleh
Adi Pramono pada tanggal 17 Februari 2011).

Mochamad Soleh Adi Pramono adalah dalang Wayang Topeng Malang

yang biasanya membumbui lakon demi lakon dengan dramatisasi dialog guna

melangkahkan imajinasi penonton dalam menggapai beragam pesan yang tersirat.

Misalnya dalam Lakon Lahire Panji, dijelaskan Mochammad Soleh Adi Pramono

sebagai berikut:

Pas Amiluhur selesai mencabut Panji Biru, itu saya berhenti sebentar.
Nah, beberapa penonton ada yang diam, ada yang menyeletuk: “waduh
buyar iki ceritane”. Pokoknya niatnya mau melihat respon penonton.
Kalau dipikir kan benar, kalau Amiluhur mati lalu bagaimana
Sakyaningrat atau Setyawati nantinya. Akhirnya saya lanjutkan lagi.
Ternyata Sakyaningrat benar-benar melayu (berlari), menghampiri
Amiluhur yang sudah tak berdaya. Dan ternyata Amiluhur hanya pura-
pura mati (wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono pada
tanggal 17 Februari 2011).

Bila mengkaji tentang wawasan tentang seni tentu sangatlah luas. Hal

tersebut tidak terlepas juga dari keberadaan karya-karya seni yang beragam.

Namun, bila menelusuri jejak-jejak peninggalan manusia masa lampau, dapat kita

peroleh gambaran bahwa seni telah tumbuh dan berkembang sejajar dengan

perkembangan manusia. Seni sebagai buah karya manusia adalah salah satu unsur
penyusun kebudayaan di belahan dunia mana pun. Seperti yang diungkapkan

diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1982: 2) sebagai berikut:

Unsur-unsur universal itu, yang sekalian merupakan isi dari semua sistem
kebudayaan di dunia ini adalah: 1) Sistem religi dan upacara keagamaan 2)
Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3) Sistem pengetahuan 4) Bahasa
5) Kesenian 6) Sistem mata pencaharian hidup dan 7) Sistem teknologi
dan peralatan.

Sepanjang sejarah, manusia tidak lepas dari seni. Karena seni adalah salah

satu kebudayaan yang mengandung nilai indah (estetis), sedangkan setiap

manusia menyukai keindahan. Seni bukan saja dilihat dari penglihatan semata

tetapi dilihat dari keindahan karya tersebut. agar nilai keindaan tersebut dapat

diperoleh, maka perlu sebuah pengamatan dan pendalaman terhadap karya seni

tersebut. Pengamatan dan pemahaman tersebut dapat dilakukan terhadap

bermacam-macam bentuk karya seni, seperti seni musik, seni rupa, seni gerak dan

lain-lain. Topeng malang dalm kaitannya dengan penelitian ini adalah sebuah

bentuk karya seni rupa yang juga dapat dikaji bentuknya guna mendapatkan

sebuah nilai estetik sebagai sumber dari sebuah pengalaman estetik.

Sebagaimana kita ketahui bahwa karya seni rupa tradisional tidak terlepas

dari ornamen. Susanto (2002:82) menyebutkan bahwa pengertian ornamen adalah

hiasan yang dibuat (dengan digambar, dipahat, dicetak) untuk mendukung

meningkatkannya kualitas dan nilai pada suatu benda/karya. Ornamen sering

dihubungkan dengan ragam hias yang ada. Salah satu jenis ornamen yang

berwujud sunggingan pada salah satu topeng dalam Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji sebagaimana disebutkan dalam naskah adalah sungging

penatar jonggrang pathuk sinupiting urang (wawancara Mochammad Soleh Adi

Pramono).
Makna topeng sendiri dijelaskan Murgiyanto (1982/1983) dalam Hidayat

(2005) sebagai berikut:

Esensi roh ilafi roh perantara bersemayam di balik topeng, penonton dan
penarinya tidak mengetahui, kalau di dalam (jero) adalah roh yang
mengejawantah. Topeng adalah kedok penutup muka penari. Topeng ini
juga dapat dimaknai sebagai tabir, yaitu menutup esensi jero. Esensi Jaba
dan Jero adalah Panji Asmarabangun itu sendiri. Panji Asmarabangun
hadir tidak mewakili dirinya secara pribadi, tetapi dirinya adalah sebagai
transmisi yang menghubungkan antara dunia atas dan dunia bawah. Bisa
jadi fenomena tersebut yang dipahami oleh Sunan Kalijaga
mengembangkan topeng. Karena topeng telah menjadi simbol tentang
tabir, orang harus berusaha dan mampu menyingkap takbir , dan
mengetahui arti yang sesungguhnya realita.

Wayang Topeng Lakon Lahire Panji beserta nilai estetik yang terkandung

di dalamnya merupakan salah satu buah karya bangsa Indonesia. Perhatian lebih

sebenarnya dapat menjadi solusi dalam menanggapi krisis kebanggaan berbudaya

khususnya, serta kelestarian budaya itu sendiri sebagai perbendaharaan khasanah

budaya Nusantara. Dengan adanya Lakon Lahire Panji dalam Wayang Topeng

Malang, maka penulis sangat ingin mendeskripsikan latar belakang penciptaan

dan nilai estetik yang terdapat pada topeng malang Lakon Lahire Panji dengan

cara melakukan studi terhadap karya topeng tersebut. Adapun judul yang dipilih

dan sejalan dengan hal tersebut di atas adalah Studi Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh Adi Pramono Dari Padepokan

Mangun Dharmo Tumpang-Malang.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dikemukakan beberapa rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon

Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni

Mangun Dharmo Tumpang-Malang?

2. Bagaimana nilai estetik yang terdapat pada Topeng Malang Lakon Lahire

Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni

Mangun Dharmo Tumpang-Malang?

C. Landasan Teori
1. Wayang Topeng dalam Seni Pertunjukan

a. Seni Pertunjukan

Indonesia berbentuk gugusan kepulauan dan pulau-pulau kecil di

antaranya. Di berbagai daerah yang membentuk Nusantara tersebut terdapat suku

bangsa yang berbeda-beda, sehingga seni budayanya juga berbeda di tiap suku.

Sedangkan seni pertunjukan di Indonesia, sejak dahulu hingga kini telah dan

selalu berangkat dari suatu keadaan di mana ia tumbuh dalam lingkungan-

lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain (Sedyawati, 1981: 52). Perbedaan

ini memperkaya nilai estetik suatu bangsa dan kekayaan budaya suatu bangsa

akan memberikan suatu identitas bangsa itu sendiri di depan bangsa-bangsa yang

lain di dunia. Seperti yang diungkapkan Bagong (2000: 119) dalam Estuvitasari

(2008) bahwa ―Berkesenian dalam lingkup rasa kebangsaan yang tinggi, bahkan
bagi saya berkesenian itu untuk bangsa saya, akan mendorong kemantapan

identitas nasional‖.

Seni Pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi dasarnya

adalah yang dipergelarkan langsung di hadapan penonton (Alfian, 2006).

Berdasarkan hal tersebut Sujono, dkk. (2003) juga mengungkapkan bahwa seni

pertunjukan dibagi dua yaitu seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan

modern atau yang muncul belakangan ini. Bila dilihat dari perkembangannya akan

terlihat bahwa seni pertunjukan tradisional kalah berkembang dengan seni

pertunjukan modern. Seni pertunjukan tradisional bisa terwujud dalam teater

rakyat yang sudah berusia lebih dari 50 tahun. Pertunjukan ludruk, ketoprak,

maupun wayang orang dan Wayang Topeng Malang merupakan seni pertunjukan

tradisional. Sedangkan seni pertujukan tidak tradisi contohnya konser musik,

akrobatik dan sebagainya. Adanya perbedaan seni pertunjukan yang tradisi dan

tidak tradisi juga diungkapkan oleh Wibisana dan Herawati (2010: 50) sebagai

berikut:

Berkembangnya kebudayaan massa seperti televisi, musik populer,


boskop, kaset maupun VCD yang selalu berorientasi pada komersial,
selalu bercorak hiburan, tidak rumit, bercirikan baru biasanya
mengundang penonton yang banyak (lebih disukai). Berbeda dengan seni
tradisi yang bercirikan tradisional, rumit, lebih kepada seni sakral justru
hanya mengundang sedikit penonton.

Sekarang ini keberadaan seni pertunjukan tradisional sebagai produk dari

suatu budaya yang terlahir dari sebuah ide dan gagasan luhur, ternyata juga

mengalami perkembangan dan pergeseran sesuai dengan kondisi zamannya.

(Wibisana dan Herawati, 2010: 50). Penuangan ide tersebut nyatanya mengalami

proses seiring zaman yang juga mengiringi masyarakat pendukungnya. Lebih


lanjut kondisi seperti itu, Edi Sedyawati (1981: 52) menyimpulkan bahwa ―Seni

pertunjukan adalah sesuatu yang juga berlaku dalam waktu‖.

Dalam kaitannya dengan Wayang Topeng Malang dalam penelitian ini,

menjaga eksistensi dan esensi seni pertunjukan tradisional adalah juga merupakan

upaya Trikarsa seperti yang dijelaskan sebelumnya. sama halnya dengan

memperhatikan fungsi seni pertunjukan tradisional yang mulai terabaikan.

Keberadaan fungsi yang hilang dari masyarakat pendukungnya tersebut,

ditegaskan dalam pernyataan Wibisana dan Herawati (2010: 53) berikut:

Membicarakan keberadaan seni pertunjukan tradisional pada saat


sekarang ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Mengapa demikian?
Sebab banyak sekali kita baca atau kita lihat, keberadaan seni pertunjukan
tradisional sangat mengenaskan. Grup-grup kesenian daerah mulai
menghilang karena tidak ada faktor penyangganya baik dalam bentuk
dana, kemauan atau regenerasinya.

b. Fungsi Seni Pertunjukan

Beberapa fungsi seni pertunjukan tradisional (Sedyawati, 1981: 52) dalam

lingkungan-lingkungan etnik di Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut:

Memanggil kekuatan gaib; penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di


tempat pemujaan; memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat;
peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan maupun
kesigapannya; pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat
hidup seseorang; pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu
dalam perputaran waktu; serta perwujudan daripada dorongan untuk
mengungkapkan keindahan semata.

Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa dalam rentang sejarahnya

yang panjang, seni pertunjukan telah menunjukkan keragaman fungsi yang

disandangnya. Keragaman fungsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu

tersebut lebih lanjut oleh A.M. Hermien Kusmayati (2006), dijelaskan sebagai

berikut:
Keragaman fungsi tersebut tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali
bertumpang tindih. Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk
kepentingan ritual juga menampilkan nilai-nilai estetis atau seni
pertunjukan yang ditampilkan untuk hiburan pribadi juga tidak lepas dari
keindahan yang membalut wujudnya.

Bentuk seni pertunjukan tradisional seperti tari-tarian dan upacara-upacara

telah muncul sejak zaman prasejarah. Contohnya seperti tarian perang, upacara

perkawinan, upacara kematian, upacara untuk menghormati arwah nenek moyang,

dan lain sebagainya. Lebih lanjut Wibisana dan Herawati (2010: 53) menyatakan

bahwa secara garis besar, nilai-nilai yang terkandung dalam seni pertunjukan

tradisional dapat digolongkan sebagai: (1) media pendidikan, (2) media

penerangan atau sebagai wadah penyampaian kritik sosial, dan (3) media hiburan

atau tontonan.

Berdasarkan hal tersebut, maka seni pertunjukan Wayang Topeng Malang

juga turut memainkan perannya sebagai media pendidikan dan penyampaian kritik

sosial melalui nilai-nilai yang dikandungnya, sekaligus media hiburan bagi

masyarakat.

c. Wayang Topeng Malang

Dalam sejarah penyajian wayang topeng, terutama untuk fungsi ritual,

tidak jarang penari topeng sakral sering mengalami trance atau kesurupan.

Susungguhnya fenomena seperti inilah yang menadi pesona luar biasa serta

kekuatan-kekuatan daya pikat yang menakjubkan. Sebagai kegiatan yang beraura

sakral, kekuatan daya tahan seorang penari topeng sering tergantung pada sejauh

mana seorang penari memiliki kesaktian atau ilmu sakral (Sunaryana, 2002: 126).

Dalam perspektif antropologi, contoh tradisi topeng tersebut di atas adalah suatu
tradisi yang dipengaruhi oleh budaya animisme dan terasa unsur-unsur

primitifnya.

Begitupun segenap unsur dan elemen dalam Wayang Topeng Malang yang

disebutkan sebelumnya, menjadikan seni pertunjukan tersebut sebagai tontonan

sekaligus pembawa pesan moral yang saling terkait satu sama lain. Sebagaimana

juga ditegaskan oleh Soemanto (2001: 337) bahwa ―struktur dalam sebuah teks,

unsur-unsur, elemen, atau anasir yang dirancang sedemikian rupa menjadi utuh,

menyatu, atau merupakan kebulatan yang bersifat mengikat.

Terdapat aspek yang sangat bertalian erat dengan fokus penelitian ini,

yakni lakon. Menurut Waluyo (2003: 4) menyebutkan, bahwa dasar lakon drama

adalah konflik manusia. Lakon sendiri merupakan hasil perwujudan dari naskah

yang dimainkan (Harymawan, 1988: 23). Lakon yang disajikan pada pertunjukan

wayang topeng bersumber pada lakon Panji di berbagai daerah di Jawa

berkembang sebagai sastra lisan. Variasi yang berkembang melalui penurunan

teks dalam karya sastra adalah dampak meluasnya versi teks yang berjalan secara

dikte dari mulut ke mulut. Proses transformasi lisan tersebut menyebabkan naskah

dan bahkan teks dengan isi kandungan gagasannya mengalami kekeruhan

originalitas. Bila dikaji lebih lanjut dampak tersebut juga menular pada para

dalang wayang topeng tidak memiliki pakem atau patokan ... kecuali petunjuk-

petunjuk dari pendahulunya (Sunaryana, 2002: 51-52).

Variasi dan perubahan lakon-lakon yang ada hingga sekarang bisa disebut

sebagai bukti pelaksanaan penurunan dan perkembangan cerita sepanjang hidup

pengarang (De Haan dalam Suryani, 2012: 50). Keberadaan variasi tersebut

terkait dengan Wayang Topeng Malang pada umumnya diterangkan oleh Henri
Supriyanto, penulis buku Wayang Topeng Malangan dalam Utomo (2008) sebagai

berikut:

Cerita panji itu banyak dikenal dalam sastra lisan yang dikembangkan oleh
para seniman dan sastrawan jaman itu. Sehingga nama nama para kesatria
itu sulit dijumpai pada gelar gelar resmi dalam dokumen sejarah tulis yang
rata rata dibuat oleh para pujangga keraton. ―Nah yang susah itu kita kacau
antara gelar dan nama. Jadi panji itu gelar setingkat raden, kemudian
penganut jaman Singosari-Majapahit itu budaya totemisme dalam
pengertian orang-orang besar itu mengambil nama-nama binatang yang
model kepemimpinan dia itu seperti binatang tersebut. Ada kebo Marjuet,
kebo ijo, Kebo Anabrang lalu ada lagi Hayam Wuruk, Gajah Mada nama-
nama binatang itu diambil. Kesulitan kita itu dalam sastra ini yang
diutamakan adalah tokoh dan tempat, lalu semuanya mengaduk peristiwa-
peristiwa dan suasana. Karena mengaduk pada suasana akhirnya sastra
lesan itu banyak versi. Jadi sastra lesan itu versi mana. Karena yang
menjadi juru tutur itu dalang, maka berbeda dalang, ceritanya bergeser.
Jadi cerita disini disebut buku itu tidak ada. Yang ada versi ini dan itu‖.

Dalam perjalanan wayang topeng malang, telah banyak juga lahir dalang

wayang topeng malang seperti yang diungkapkan oleh Mochammad Soleh Adi

Pramono sebagai berikut:

Dalang Topeng Malang yaitu Alm. Ki Roesman dari desa Kemulan, Tulus
Besar; Ki Tirtonoto dari Kebonsari; Ki Sartas dari Precet; Ki Jono; Alm
Mbah Nek dan Alm. Mbah Karimun dari Kedungmonggo; Alm. Mbah
Sakri dan Alm. Mbah Noto dari Senggreng; Alm. Pak Rusnadi dari
Wiroto; Edi Susanto dari Tamiajeng; Markuat dari Duwet; Pandri dari
Gubuk Klakah; Senam dri Kedungmonggo; Tambar dari Nyambeksari,
Poncokusumo; Banyakwide dari Singosari dan terakhir saya sendiri.

Di antara sekian banyak dalang Wayang Topeng Malang yang ada di atas,

yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah salah satu dalang wayang topeng

malang yang mengkreasikan Lakon Lahire Panji, sekaligus pendiri Padepokan

Seni Mangun Dharmo yaitu Mochammad Soleh Adi Pramono.


d. Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh

Adi Pramono

Pada bagian ini akan dijelaskan profil singkat tentang dalang pencipta

Lakon Lahire Panji yaitu Mochammad Soleh Adi Pramono, selayang pandang

tentang naskah Lakon Lahire Panji, termasuk sekilas tentang Padepokan Seni

Mangun Dharmo sebagai lokasi penelitian. Penjelasan lebih lanjut tentang latar

belakang penciptaan serta kandungan naskah tersebut akan dibicarakan pada Bab

Paparan Data dan Temuan Penelitian selanjutnya.

1. Mochammad Soleh Adi Pramono dan Padepokan Seni Mangun

Dharmo

Mochammad Soleh Adi Pramono, S.St lahir pada tanggal 1 agustus 1951

di Dusun Wonomulyo kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Setelah

menamatkan SMA, beliau melanjutkan menimba ilmu di Konservatori Karawitan

Indonesia (KONRI) pada tahun 1976. Setelah belajar di Institut Seni Yogyakarta

seusai di KONRI, beliau mulai mempelajari seni Wayang Topeng Malang kepada:

Ki Tirtonoto (Paman), Ki Samoed, Ki Karimoen Paryo, Ki Rasimoen, Ki Gimoen,

dan Ki Jakimen (Noersya, 2004: 67).

Mochammad Soleh Adi Pramono sendiri adalah salah satu keturunan dari

seorang penari kasar bernama Ki Roesman. Bersama Ki Rakhim, Ki Samoed dan

Ki Tirtonoto mengembangkan wayang topeng di Malang bagian Timur hingga

1970-an (Murgiyanto dan Munardi, 1979/1980: 31). Sebagai upaya meneruskan

langkah pendahulunya tersebut, pada tanggal 26 Agustus 1989 Mochammad

Soleh Adi Pramono mendirikan padepokan seni Mangun Dharma di Dusun Tulus

Besar, yang masih bertahan hingga sekarang. Terlepas dari eksodus beberapa
anggota Padepokan tersebut (seperti keluarnya Pak Buari; Karen Elisabet yang

piawai dalam tari beskalan; serta Almarhum Pak Sutrisno selaku pembuat topeng)

eksistensi Padepokan Seni Mangun Dharma bisa dikatakan masih berperan

penting dalam menumbuhkan mentalitas berbudaya generasi-generasi muda.

Beberapa angota Padepokan tersebut sebagian besar merupakan pemuda-

pemuda Tulus Besar yang mempunyai motivasi dalam membangun Padepokan

Seni Mangun Dharmo dan kesenian malangan. Nama-nama seperti Supriyono,

Akhmadi dan Wayan Glemboh adalah contoh pemuda dengan antusiasme

berkesenian yang tinggi, selain beberapa benih loyalitas yang mulai tumbuh lewat

anak-anak kecil Desa Wates dan Tulus Besar yang rajin berlatih tari beskalan

bersama Mochammad Soleh Adi Pramono. Belum lagi terkadang beberapa

mahasiswa dari civitas akademik (dalam dan luar negeri) dan lapisan organisasi

masyarakat yang tertarik untuk sekedar meneliti ataupun memang berniat

menimba ilmu dan mengangkat kesenian malangan seperti Wayang Topeng, Tari,

Wayang Kulit, Mocopat Malangan (Noersya, 2004: 67) .

Berkenaan dengan tidak adanya konvensi baku seperti yang dijelaskan

Henri Supriyanto (2008) di atas, Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh

Adi Pramono tersebut juga berangkat dari penurunan sastra lisan dari waktu ke

waktu. Namun secara singkat, Lakon Lahire Panji tersebut selesai digarap pada

tahun 2006. Dibuatnya naskah tersebut tidak terlepas dari masalah kekinian yang

menurut Mochammad Soleh Adi Pramono sangat memprihatinkan. Pada awal

2007 akhirnya naskah tersebut dapat dipentaskan pada peringatan 1 Suro di depan

Balai Kota Malang di awal 2007, bersamaan dengan Ruwatan Bumi Malang di

saat yang sama. Pada kesempatan yang lain, Mochammad Soleh Adi Pramono
juga berkesempatan mementaskan lakon tersebut untuk para pengungsi korban

lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Selain sebagai hiburan, pementasan pertunjukan Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji di Sidoarjo oleh Mochammad Soleh Adi Pramono merupakan

itikad beliau dalam menularkan semangat kepada para pengungsi di Sidoarjo

untuk terus berikhtiar dan berserah diri dalam menanggapi cobaan hidup seperti

bencana alam lumpur yang menimpa mereka. Salah satu motivasi tersebut dapat

tercermin lewat penggambaran bencana alam yang terjadi di tanah Jenggala (salah

satunya endhut blegedhaba yang berarti lumpur).

2. Lakon Lahire Panji

Berdasarkan hasil wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono,

didapat sebuah sinopsis tentang lakon lahire panji sebagai berikut:

Setelah Raja Airlangga wafat, Dyah Kilisuci selaku anak sulung sekaligus
penerus tahta kerajaan, tidak ingin menjadi raja dan memilih untuk
menjadi Biksuni. Tugas mulia tersebut akhirnya diamanahkan kepada
Dewakusuma, yang bergelar Prabu Lembu Amiluhur. Setelah menjadi
Raja, Prabu Lembu Amiluhur memiliki beberapa istri. Namun Dyah
Kilisuci berkata kepada Prabu Lembu Amiluhur bahwa ia tidak akan
mendapatkan keturunan penerus tahta kerajaan jika hanya dari istri-istrinya
tersebut. Dyah Kilisuci meminta Sang Prabu untuk ikut dalam sayembara
besar di negeri jauh bernama Keling (Kalingga). Hadiah sayembara
tersebut adalah putri Raja Kalingga yang cantik jelita bernama Dewi
Sakyaningrat. Karena letak kerajaan Kalingga yang jauh maka Prabu
Lembu Amiluhur dibantu oleh Jati Pitutur dan Pitutur Jati, dewa yang
pernah bersemayam di tempat peristirahatan terakhir Raja Airlangga.
Dengan bantuan keduanya Prabu Lembu Amiluhur berhasil menginjakkan
kaki di Kalingga. Dewi Sakyaningrat yang cantik jelita ternyata telah
menaruh hati pada Prabu Amiluhur saat pertama kali melihatnya di
Kalingga. Singkat cerita, dengan bantuan kedua Dewa itulah Prabu
Amiluhur pun memenangi sayembara tersebut dan menikah dengan Dewi
Sakyaningrat. Dari pernikahan tersebut lahirlah Inu Kertapati atau Panji
Asmarabangun (wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono pada
tanggal 27 Januari 2012).
Selain sinopsis cerita di atas, telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa

pementasan wayang topeng malang lakon lahre panji juga merupakan pementasan

untuk pengungsi di Sidoarjo. Melalui ide ceritanya mochammad Soleh Adi

Pramono berusaha memberi semangat kepada para pengungsi untuk tetap tabah

menjalani segala cobaan hidup yang sedang menimpa mereka.

Topeng malang bukan merupakan topeng biasa yang merupakan wujud

manunggaling kawula gusti, di mana topeng disebut sebagai pertautan antara jagat

kecil dan jagat besar, sebagaimana yang disebutkan oleh Mochammad Soleh Adi

Pramono sebagi berikut:

Panji dan Topeng adalah wujud Manunggaling Kawula karo Gusti.


Ceritanya selain misalnya sukmanya Reni yang masuk ke raganya
Sekartaji, memang ceritanya jaman dulu itu dikisahkan titis menitis itu
memang terjadi, dewa menitis ke manusia seperti Panji sendiri adalah
titisan Bethara Wisnu yang nantinya akan memelihara, menjaga tatanan
dunia, memayu hayuning bawana tadi. Hidup ini, ada 2 bagian jagat kecil
dan jagat besar, nah manusia itu sebenarnya selalu mendapat petunjuk
dalam dirinya, dari Tuhan.

Berdasarkan hal tersebut, maka topeng mempunyai maksud sebagai

pelambang bahwa kebaikan dan kebesaran Tuhan itu sebenarnya ada dalam diri

manusia, selain juga pelambang kecilnya manusia di hadapan Tuhan dengan

segala kelemahan dan kekurangannya.

3. Nilai Estetik dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji

a. Visualisasi Estetik

Pada dasarnya manusia menyukai segala sesuatu yang terlihat indah, baik

dan teratur. Hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya manusia memiliki

daya/impuls estetik (Indrawati, 2004: 3). Daya estetik tersebut juga dapat berada
pada ranah penciptaan karya seni, dimana di dalamnya juga terkandung ide-ide

yang melatar belakangi proses penciptaannya. Drs. R.M. Wisnoe Wardhana di

dalam Edy Sedyawati (1984: 27) menyebutkan bahwa manusia dikarunai

kepekaan rasa keindahan sehingga mempunyai dorongan kuat untuk

mengekspresikannya dan mempunyai kemauan untuk mengungkapkan melalui

media ungkap sesuai dengan bakatnya masing-masing.

Daya estetik yang sifatnya dapat berkembang dan tumbuh tersebut

merupakan pangkal dari karya estetik (karya seni). Visualisasi estetik di sini

dimaksudkan sebagai susunan atau organisasi yang merupakan ciri yang

ditampakkan oleh suatu objek estetik yang tersusun/terorganisasi membentuk

sebuah visualisasi yang bermakna (Indrawati, 2004:3).

Dengan demikian Topeng Malang sebagai salah satu atribut dalam

pertunjukan wayang topeng malang juga merupakan sebuah bentuk karya seni

yang juga tersusun dari beragam objek estetik atau media visual seperti garis-garis

yang terlihat dari alur pahatan maupun warna, tekstur yang juga bisa dirasakan

lewat ukiran, serta prinsip pengorganisasian media visual yang akan dibicarakan

lebih lanjut di bawah ini.

b. Kualitas Estetik

Kualitas estetik merupakan atribut yang dsandang oleh visualisasi estetik

sekaligus menjadi pembeda antara visualisasi estetik yang telah dijelaskan

sebelumnya di atas dengan visualisasi non estetik. Menurut Indrawati (2004: 4),

atribut tersebut antara lain adalah kesatuan atau kebulatan, keteraturan atau

ketertiban, dan keragaman atau keanekaan.


Topeng Malang sebagaimana disebutkan di atas adalah sebuah hasil

pengorganisasian beragam media visual yang kesemuanya terbalut dalam

kesatuan sebuah karya seni. Kualitas estetik dari topeng malang, sebagaimana

karya-karya seni lainnya juga dapat dilihat dari ada tidaknya keteraturan dalam

penempatan media visual, kesatuan tiap unsur-unsur pembentuknya , serta

keberagaman yang tercermin misalnya lewat kayanya pahatan maupun jenis

warna yang dipakai.

c. Media Visual

Menurut Indrawati (2004: 17) media visual adalah unsur pembentuk

sebuah organisasi artistik. Media visual terdiri dari media fisik dan media estetik.

Media fisik yang digunakan untuk memvisualisasikan ide perupa, bisa berupa

material alam atau produk industri. Sedangkan media estetik adalah unsur-unsur

rupa yang dapat diidentifikasi sebagai garis, bentuk dan ruang, warna dan cahaya,

tekstur. Berdasarkan uraian di atas, rangsang visual pada Wayang Topeng Malang

antara lain terdapat pada topeng yang dipakai penari, yang mengandung media

estetik seperti tersebut di atas.

1. Garis

Garis adalah serangkaian titik-titik yang berjajar dan berkesinambungan

atau bekas yang ditinggalkan oleh suatu alat runcing. Garis merupakan suatu

unsure penting karena dalam garis kita dapat membentuk bentuk-bentuk,

membuat bidang dan dapat menampilkan kesan gerak, juga disebabkan adanya

perbedaan-perbedaan garis maka karya desain semakin bervariasi. Garis biasa,


dinamis dan statis, berkelanjutan atau patah-patah, lengkungan atau lurus, lebar

atau sempit, terang atau gelap (Murtihadi, 1982:27).

Garis dapat memiliki aspek, antara lain :

a. Ukuran : tebal, tipis, panjang, pendek.

b. Gerak : lurus, melengkung, bergelombang, patah-patah.

c. Arah : horizontal, vertical, diagonal

d. Watak : tegas, kuat, kaku, luwes, lembut, ragu-ragu, garang dan sebagainya.

Berdasarkan wujudnya terdapat sifat garis, yaitu :

a. Garis nyata atau disebut garis linier, adalah salah satu sifat garis yang

kehadirannya dapat ditangkap dengan mudah.

b. Garis khayal atau garis semu, adalah garis pada hakekatnya tidak ada, tidak

jelas, dan tidak ditangkap secara visual. Garis ini dapat hadir dengan

sendirinya sebagai pembatas bidang, bentuk, warna, dan sebagainya

(Murtihadi, 1982:27).

2. Bentuk dan Ruang

Kedua unsur ini berkaitan satu sama lain. Sebagaimana yang diungkapkan

oleh Indrawati (2004: 22) bahwa ―membicarakan masalah bentuk tidak dapat

dipisahkan dari membicarakan masalah ruang (area)‖. Bentuk hadir karena adanya

ruang, sedangkan ruang hadir karena keberadaan bentuk. Lebih lanjut Wong

(1986: 7) dalam Indrawati (2004: 22) menjelaskan bentuk dan ruang sebagai

berikut:

Pada umumnya bentuk berupa sesuatu yang menempati ruang (area), tetapi
sebenarnya bentuk dapat juga merupakan ruang kosong yang dikelilingi
ruang terisi. Dengan demikian kita dapat mengidentifikasi bentuk sebagai
bentuk positif dan bentuk negatif, dan sekaligus akan terbentuk ruang
(area) yang dapat diidentifikasi sebagai ruang positif dan ruang negatif.
3. Warna

Alam raya sesungguhnya memiliki warna yang beragam. Warna-warna

tersebut dapat kita tangkap karena adanya cahaya. Sebagaimana yang diuraikan

oleh Dramaprawira (2002: 19) bahwa tanpa cahaya kita tidak akan melihat warna.

Cahaya terdiri dari seberkas sinar-sinar yang memiliki panjang gelombang yang

berbeda-beda serta memiliki getaran-getaran yang frekuensinya berbeda-beda.

Bila gelombang tersebut memasuki mata, maka akan terjadi yang disebut sensasi

warna.

Cahaya membantu dalam menangkap gelombang-gelombang tersebut

yang selanjutnya dinamakan warna. Meski terdapat beberapa orang yang dapat

merasakan keberadaan warna tidak dengan indera penglihatannya seperti Hellen

Keller, seorang tokoh wanita yang tunanetra dan tunarungu yang dapat merasakan

warna melalui rabaan dan penciumannya (Sargent, 1964: 19). Hal serupa juga

diungkapkan oleh Graves (1959: 321) dalam Dramaprawira (2002: 27) bahwa

―Cahaya adalah penyebabnya, sedangkan sensasi warna adalah akibatnya. Namun

sensasi warna bisa juga dsebabkan oleh tekanan keras pada bola mata, karena

mabuk atau pusing, atau kilatan listrik‖.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sesuai

kebermanfaatannya dalam kehidupan (normal) sehari-hari, keberadaan warna dan

cahaya tetap merupakan suatu hubungan sebab akibat yang logis sebagaimana

yang telah dibuktikan oleh Sir Issac Newton pada tahun 1676 dengan kaca prisma

dan spektrum warnanya (Dramaprawira, 2002: 20).


Warna merupakan unsur seni yang menarik perhatian pengamat

dibandingkan dengan unsur-unsur seni rupa yang lain. Misalnya sebelum

kehadiran unsur bentuk kita sadari, maka kehadiran warna dari bentuk tersebut

telah lebih dahulu dapat kita tangkap (Indrawati, 1992:52). Sehubungan dengan

hal tersebut, warna yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah warna beserta

pencampurannya yang bersifat subtraktif kimiawi, artinya yang berasal dari

lingkaran warna pigmen, bukan warna cahaya aditif fisika. Perbedaan kedua

pendekatan Faber Birren tersebut terletak pada lingkaran warna pigmen yang

cenderung menghasilkan warna gelap apabila semua warnanya dicampur, serta

hasil sebaliknya pada lingkaran warna cahaya (Dramaprawira, 2002: 15).

Pigmen sendiri adalah pewarna yang bisa larut dalam cairan pelarut.

Contoh produk nyata dari pigmen adalah cat-cat dengan cairan pelarut yang

beraneka ragam seperti: cat minyak, cat air, cat plakat, akrilik dan sebagainya.

Sedangkan warna dari suatu objek yang dicat adalah karakter pigmen atau celip

yang bersifat kimiawi atau molekuler (Dramaprawira, 2002: 23). Demikian

halnya dengan warna yang terdapat pada topeng malang di Padepokan Seni

Mangun Dharmo juga berasal dari bahan pewarna atau pigmen seperti tersebut di

atas. Warna-warna tersebut nantinya akan dikaji sehubungan dengan organisasi,

karakteristik maupun hubungannya dengan unsur seni yang lain sebagai nilai

estetik sebuah topeng.

Warna juga memiliki karakter dan simbolisasi warna atau bahasa rupa

warna. Karakter warna tersebut oleh Sanyoto sebagai (2009: 54-60) diuraikan

berikut:
a. Kuning

Kuning mempunyai karakter terang, gembira, ramah, supel, riang, cerah,

hangat. Kuning melambangkan kecerahan, kehidupan, kemenangan,

kegembiraan, kemeriahan, kecermerlangan, peringatan dan humor.

b. Jingga atau Oranye

Warna jingga mempunyai karakter dorongan, semangat, merdeka, anugerah,

tapi juga bahaya. Warna ini melambangkan kemerdekaan, penganugerahan,

kehangatan, keseimbangan.

c. Merah

Warna ini memiliki karakter kuat, cepat, enerjik, semangat, gairah, marah,

berani, bahaya, positif, agresif, merangsang dan panas.

d. Ungu

Ungu memiliki watak keangkuhan, kebesaran, dan kekayaan. Ungu

merupakan percampuran antara merah dan biru sehingga juga membawa

artibut-artibut dari kedua warna tersebut. Ungu adalah lambang kebesaran,

kejayaan, keningratan, kebangsawanan, kebijaksanaan, pencerahan. Jubah

ungu melambangkan kewibawaan dan ketinggian derajat.

e. Violet

Violet (lembayung) warna yang lebih dekat dengan biru ini memiliki dingin ,

negatif, diam, melankoli,kesusahan, kesedihan, belasungkawa dan bencana.

f. Biru

Biru memiliki watak dingin, pasif, melankoli, sayu,

sendu,sedih,tenang,berkesan jauh, memdalam, dan cerah.. biru

melambangkan keagungan, keyakinan, keteguhan iman, kesetiaan, kebenaran,


kemurahan hati, kecerdasan, perdamaian, stabilitas, keharmonian, kesatuan,

kepercayaan, dan keamanan.

g. Hijau

Hijau mempunyai watak segar, muda, hidup, tumbuh dan beberapa watak

lainnya yang hampir sama dengan biru. Hijau melambangkan kesuburan,

kesetiaan, keabadian, kebangkitan, kesegaran, kemudaan, keremajaan,

keyakinan, kepercayaan, keimanan, pengharapan, kesanggupan,

keseimbangan, kenangan, dan kekerasan.

h. Putih

Putih mempunyai watak positif, merangsang, cerah, tegas, dan mengalah.

Warna ini melambangkan cahaya, kesucian, kemurnian, kekanak-kanakan,

kejujuran, ketulusan, kedamaian, ketenteraman, kebenaran, kesopanan,

keadaan tak bersalah, kehalusan, kelembutan, kewanitaan, kebersihan, simpel,

kehormatan.

i. Hitam

Watak atau karakter warna hitam adalah menekan, tegas, mendalam dan

depresive. Hitam melambangkan kesedihan, malapetaka, kesuraman,

kemurungan, kegelapan, kematian, teror kejahatan, keburukan ilmu sihir,

kedurjanaan, kesalahan, kekejaman, kebusukan, rahasia, ketakutan,

seksualitas, ketidakbahagiaan, penyesalan yang mendalam, amarah, duka cita.

j. Abu-abu

Warna abu-abu ada di antara putih dan hitam, sehingga berkesan ragu-ragu.

Warna ini menyimbolkan ketenangan, kebijaksaan, kerendahhatian,

keberanian untuk mengalah, turun tahta, suasana kelabudan keragu-raguan.


k. Coklat

Karakter warna coklat adalah kedekatan hati, sopan, arif, bijaksana, hemat,

hormat, tetapi sedikit terasa kurang bersih. Warna coklat melambangkan

kesopanan, kearifan, kebijaksanaan, dan kehormatan.

4. Tekstur

Indrawati (2004: 33) menyebut bahwa tekstur menunjukkan menunjukkan

karakteristik suatu objek/benda. Jadi setiap bentuk mempunyai permukaan, dan

setiap permukaan pasti mempunyai karakteristik tertentu, seperti licin atau kasar,

lunak atau keras, polos atau bercorak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat

tekstur nyata dan tekstur semu. Sebagai mana dijelaskan sebagai berikut:

Tekstur nyata (barik raba) adalah tekstur yang langsung bisa kita rasakan
sifat permukaannya melalui rabaan, jadi tekstur nyata merupakan jenis
tekstur yang tidak hanya visibel pada mata. Perwujudan tekstur nyata
mendekati bentuk relief di atas permukaan dua dimensi. Tekstur semu
(barik lihat) adalah kesan sifat/karakter permukaan suatu objek/benda yang
bisa kita rasakan tanpa harus meraba. Kesan dan persepsi semacam itu
terbentuk akibat asosiasi kita terhadap sifat semacam yang pernah kita
raba.

c. Prinsip Organisasi Estetik

Karya seni merupakan sebuah organsasi visual yang tersusun dari media

visual. Penyusunan media estetik untuk menuju sebuah visualisasi estetik yang

baik, dapat dicapai dengan mengikuti kaidah atau prinsip organisasi estetik

(Indrawati, 2004: 41). Uraian tersebut lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

Kaidah/prnsip organisasi bukanlah semacam rumus, melainkan lebih


sebagai asas, atau semacam panduan bagi para perupa dalam mencapai
atribut kualitas estetik yaitu: kesatuan, keteraturan dan keragaman. Untuk
mencapai atribut kesatuan dan keteraturan, dapat dicapai dengan
menciptakan keserasian, keseimbangan, kesebandingan, dan irama; sedang
untuk mencapai keragaman, dapat dicapai dengan menciptakan irama dan
kevariasian (emphasis).
1. Keselarasan/Keserasian/Harmony

Menciptakan keselarasan atau keserasian dalam suatu organisasi visual

akan mendukung tercapainya atribut dasar kualitas estetik yang berupa kesatuan

dan keteraturan. Keselarasan atau keserasian dapat dicapai dengan memperbanyak

kesamaan dan kemiripan pada media estetik yang dimanfaatkan dalam suatu

organisasi visual (Indrawati, 2004: 41).

2. Keseimbangan (Balance)

Keseimbangan yang diciptakan dalam sebuah tata susun akan

mengakibatkan tercapainya keteraturan dan kesatuan sebagai atribut pertama

dalam kualitas estetik. Sebuah karya seni yang tidak mengindahkan keseimbangan

akan tampak berat sebelah dan bahkan terasa akan jatuh kepada pengamatnya

(Indrawati, 2004: 43). Berdasarkan uraian tersebut dijelaskan pula bahwa terdapat

dua macam keseimbangan, yaitu: keseimbangan formal (keseimbangan simetris)

dan keseimbangan informal (keseimbangan asimetris).

Wong (1995: 67) dalam Indrawati (2004: 43-44) kedua keseimbangan

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Keseimbangan formal sama dengan keseimbangan pada racana tertib.


Untuk menjelaskannya, keseimbangan pada racana tertib sama seperti
keadaan dua bobot yang sama, yang ditempatkan pada jarak yang sama
dari titik tumpu .... keseimbangan informal sama seperti keseimbangan
pada racana atertib. Keseimbangan pada racana atertib sama seperti
keadaan dua bobot yang tak sama, yang ditempatkan pada jarak yang tak
sama dari titik tumpu, yaitu bobot yang lebih ringan lebih jauh dan yang
lebih berat lebih dekat, dengan penempatan yang cermat.
3. Kesebandingan (Proporsi)

Menurut Edmund Burke Fieldman dalam Bastomi (1986:99), diungkapkan

bahwa proporsi adalah ukuran yang berhubungan dengan bagian-bagian dalam

keseluruhan. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

proporsi adalah suatu perbandingan antara bagian-bagiannya sehingga secara

keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang harmonis.

Sehubungan dengan uraian tersebut lebih lanjut Indrawati (2004: 46)

menjelaskan sebagai berikut:

Kesebandingan mengacu kepada hubungan perbandingan antara bagian


dengan bagian, dan antara bagian dengan keseluruhan dalam suatu
organisasi visual/tata susun. Baik buruknya kesebandingan atau proporsi,
akan ikut menentukan estetika sebuah tata susun, karena proporsi atau
kesebandingan yang baik akan menentukan tercapainya atribut dasar
kesatuan dan keteraturan.

4. Ritme atau Irama

Menurut Indrawati (2004: 48) ritme adalah rangkaian kesan gerak yang

dapat terasa dalam suatu organisasi visual/tata susun. Ritme/irama dalam suatu

organisasi visual terjadi karena penciptaan perulangan (repetation) dari media

estetik yang ditata sehingga terasa terjadi gerak (movement), sebagai akibat dari

perulangan tersebut.

5. Kevariasian (emphasis)

Pada bagian tertentu dari sebuah organisasi visual sebaiknya diciptakan

kevariasian. Dengan demikian atribut dasar keragaman/keanekaan akan tercapai

(Indrawati, 2004: 50). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wong (1995: 57) dalam

Indrawati (2004: 50) sebagai berikut:


Kehadiran kevariasian atau emphasis yang diciptakan pada sebuah tata
susun akan terkesan merangsang minat, menghidupkan dan menyedapkan
.... tujuan penciptaan kevariasian atau emphasis antara lain adalah menarik
perhatian, menghilangka kebosanan akibat penciptaan kesamaan,
kemiripan, dan perulangan; mengalihkan dan memecahkan keteraturan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penciptaan kevariasian juga harus

mengindahkan kesatuan dan keteraturan sebagai atribut kualitas estetik yang lain.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Indrawati (2004: 50) bahwa ― penciptaan

kevariasian yang terlalu banyak dalam sebuah tata susun akan menyebabkan

kesan terlalu ramai, membingungkan, bahkan menyebabkan gangguan yang

merusak kesatuan‖.

Berdasarkan uraian tersebut, menciptakan sebuah pusat perhatian

merupakan langkah untuk menghindari rusaknya atribut kesatuan tersebut.

Menurut Widjiningsih (1982) dalam Perwitasari (2012) pusat perhatian atau center of

interest disebut juga dengan aksen. Aksen merupakan pusat perhatian dalam suatu

susunan karena dengan aksen pertama-tama membawa mata pada sesuatu yang

penting dalam susunan tersebut, dan dari titik itu baru kebagian yang lain.

D. Kegunaan Penelitian
Secara keilmuan, hasil dari penelitian diharapkan dapat mempertajam

pengalaman estetik dalam seni pertunjukan tradisional baik Wayang Topeng

Malang di Malang secara khusus, maupun seni pertunjukan tradisional lain di

beberapa daerah yang lain. Dengan kuatnya arus buruk modernisasi sekarang ini,

terutama bagi peserta didik dan generasi muda, nilai estetik tersebut dapat menjadi

bekal yang kuat dalam mengasah diri menjadi pribadi yang berwatak dan berbudi
luhur. Dengan tetap berpegang pada nilai estetik tersebut, semoga Indonesia tetap

menjadi negara dengan sumber daya manusia yang arif dan bijaksana, menuju

pada pembangunan yang lebih baik sebagai definisi dari modernisasi tersebut,

tanpa meninggalkan warisan leluhur sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Adapaun penerapannya di berbagai kondisi serupa, bagi beberapa pihak

penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Peneliti

Belajar mengenal lebih dekat serta menambah pundi-pundi wawasan

tentang kebudayaan Wayang Topeng Malang secara khusus, dan kebudayaan

daerah-daerah di Indonesia. Pengalaman dan bekal tersebut di atas kiranya mampu

penulis terapkan dalam menjawab kebutuhan akan pembelajaran seni budaya

nantinya.

2. Peneliti Lain

Sebagai bahan referensi dalam penelitian di bidang seni dan budaya,

terutama dalam mengkaji nilai estetik sebagai sumber dari pengalaman estetik.

Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan kajian ulang tentang hasil

yang diperoleh peneliti.

3. Bagi Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang

Terkait baik buruknya hasil penelitian ini, tulisan ini bisa digunakan

sebagai bahan analisa dalam bidang penulisan karya ilmiah, serta ukuran seberapa

jauh wawasan seni dan budaya yang diserap oleh peneliti selama perkuliahan

berjalan.
4. Bagi mahasiswa Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang

Terkait kegunaannya, materi yang terdapat dalam penelitian ini bisa

menjadi bahan rujukan ataupun pembanding dalam hubungannya dengan tugas-

tugas mahasiswa Jurusan Seni dan Desain, yang mengangkat tema sejenis atau

setidaknya bersinggungan.

5. Bagi Masyarakat

Sebagai sumber wacana tentang seni pertunjukan Wayang Topeng

Malang. Setelah mengenali nilai estetik yang ada pada naskah Lakon Lahire Panji,

diharapkan melalui berbagai itikad positif, masyarakat bisa turut mewarnai

pelestarian hasil budaya yang ada. Jika maksud tersebut terlalu berlebihan di era

modern ini, paling tidak semoga nilai estetik yang juga bersanding dengan nilai-

nilai luhur pada karya seni budaya, masyarakat selalu ingat bahwa dengan itikad

nenek moyang mengemas nilai-nilai luhur tersebut, mereka telah lebih dahulu

peduli terhadap anak cucu mereka sekarang.


BAB II

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data

dengan tujuan tertentu. Dengan cara ilmiah, berarti kegiatan itu dilandasi oleh

metode keilmuan dan pendekatan adalah metode atau cara mengadakan penelitian

(Arikunto, 2002: 20). Penelitian yang berjudul Studi Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh Adi Pramono Dari Padepokan Seni

Mangundarmo-Tumpang-Malang merupakan suatu kegiatan ilmiah dengan

penggambaran latar alamiah tentang latar belakang penciptaan, isi, serta

kandungan makna dari naskah Lakon Lahire Panji yang merupakan bagian dari

sekian banyak lakon yang terdapat pada Wayang Topeng Malang sebagai suatu

keutuhan (entity). Nilai-nilai pendidikan yang tersirat ataupun tersurat dalam

naskah Lakon Lahire Panji merupakan tujuan pokok dalam penelitian ini.

Terkait tujuan medeskripsikan latar belakang dan nilai estetik yang

terdapat dalam Wayang Topeng Lakon Lahire Panji tersebut di atas, maka peneliti

menggunakan penelitian deskriptif kualitatif, di mana data-data dikumpulkan dan

disajikan segamblang mungkin sesuai situasi sesungguhnya. Sebagaimana

diungkapkan oleh Moleong (2007: 11) bahwa penelitian kualitatif berciri

deskriptif dikarenakan adanya penerapan metode deskriptif, di mana data yang

dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Selain itu,

semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang
sudah diteliti. Dalam hal ini segala aspek yang diteliti akan tersaji dan bermuara

pada laporan penelitian seperti setiap gambar; hasil observasi dokumentasi

terhadap naskah, buku, ataupun kegiatan di Padepokan Seni Mangun Dharmo

terkait naskah Lakon Lahire Panji; ataupun hasil wawancara dengan beberapa

responden terkait seperti Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai pencipta

naskah dan Mas Supriyono sebagai pemain kendang dan anggota Padepokan seni

Mangun Dharmo.

Selanjutnya, Bogdan dan Taylor (1975: 5) dalam Moelong (1990: 3)

mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan dilakukan dengan pengumpulan

kata-kata, tulisan dari orang-orang yang memungkinkan memberi informasi

terhadap suatu data dan juga berupa gambaran-gambaran yang memungkinkan

menjadi kunci terhadap suatu permasalahan yang ditelti. Dengan demikian

laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran

penyajian laporan tersebut. Data tersebut dapat berasal dari naskah wawancara,

catatan lapangan, foto, video, tape, handycam, dokumen pribadi, catatan atau

memo, dan dokumen resmi lainnya (Moelong, 1990: 6).

Dalam proses kegiatannya, penelitian ini dilakukan bedasarkan pada

beberapa pertimbangan bahasa penelitian, sesuai dengan ciri-ciri penelitian

kualitatif antara lain: (1) Natural Setting (kondisi apa adanya). Topik penelitian

kualitatif diarahkan pada kondisi asli subyek penelitian berada, (2) Permasalahan

masa kini, artinya mengarahkan kegiatannya secara dekat pada masalah kekinian,

(3) Memusatkan pada deskripsi data yang dikumpulkan terutama berupa kata-
kata, kalimat/ gambar, (4) Bersifat holistik, yakni memandang berbagai masalah

selalu di dalam kesatuannya, tidak terlepas dari kondisi yang lain yang menyatu

dalam suatu kontrak, (5) Bentuk laporan dengan model studi kasus (Sutopo, 2002:

31-45).

Dalam penelitian ini juga digunakan sampel bertujuan (purpossive sample)

yaitu beberapa topeng (tokoh) yang terdapat dalam Lakon Lahire Panji. Sampel

bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata,

random atau daerah tetapi didasarkan atas tujuan tertentu (Arikunto, 2006: 141).

Terdapat beberapa tokoh yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: Raden Panji

Asmarabangun, Lembu Mangarang, Patih Jayabadra, Patih Kudanawarsa, Patih

Jaya Kasemba.

Secara garis besar, penelitian ini diarahkan kepada fokus penelitian yaitu

nilai estetik yang terdapat pada topeng dalam Wayang Topeng Malang Lakon

Lahire Panji. Berdasarkan keperluan tersebut, digunakan pendekatan kualitatif

dengan metode deskriptif untuk menggambarkan kondisi alamiah di lapangan

seperti dipaparkan sebelumnya.

B. Kehadiran Peneliti

Peneliti merupakan instrumen utama (human instrument) dalam

pengumpulan data karena peneliti berusaha memahami fenomena sosial dengan

membedakan, membandingkan, meniru, dan mengelompokkan objek studi

(Patilima, 2005: 67). Dalam penelitian ini peneliti adalah pelaksana penelitian,

pengumpul data, serta penganalisa data yang dijaring di lapangan yaitu Padepokan

Seni Mangun Dharmo.


Kehadiran peneliti secara langsung harus diutamakan agar peneliti dapat

secara langsung mendapatkan data-data yang diperlukan berdasarkan fakta

lapangan, dalam hal ini data-data tersebut adalah data yang mengacu pada

Wayang Topeng Malang dengan Lakon Lahire Panji. Peneliti tidak melibatkan

perantara dalam mendapatkan data, sehingga dapat menganalisa dan menarik

kesimpulan dari data yang didapat. Peneliti melakukan observasi dan dokumentasi

terhadap beberapa kegiatan seperti rekaman pertunjukan Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji, baik di Padepokan Seni Mangun Dharmo sendiri, maupun

even yang digelar anggota Padepokan Seni Mangun Dharmo di Pasar Minggu

pada tanggal 10 April 2012, misalnya. Untuk Lakon Lahire Panji yang dibuat oleh

Mochammad Soleh Adi Pramono, adalah bahan dokumentasi dan penerjemahan

cerita yang melibatkan Mochammad Soleh Adi Pramono dan beberapa pihak

terkait di Padepokan Seni Mangun Dharmo, serta beberapa sumber pendukung.

Beberapa data yang dicari juga berasal dari wawancara peneliti dengan

responden yang merupakan beberapa anggota Padepokan Seni Mangun Dharmo,

antara lain Mochammad Soleh sebagai dalang Lakon Lahire Panji, Mas Supriyono

sebagai penggendang, dan beberapa anggota yang lain. Dalam hal ini komunikasi

dan interaksi peneliti secara langsung terhadap subyek-subyek tersebut di atas

diketahui secara terbuka. Pemeriksaan keabsahan data terutama triangulasi dengan

sumber, antara lain akan tercermin lewat usaha pembahasan cerita Lakon Lahire

Panji secara bersama di atas, serta hasil wawancara dengan beberapa pihak

tersebut terhadap kesamaan temuan data tentang Wayang Topeng Malang Lakon

Lahire Panji.
C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan terletak di Padepokan Seni Mangun

Dharmo sekaligus kediaman pencipta naskah Lakon Lahire Panji yaitu

Mochammad Soleh Adi Pramono. Padepokan tersebut beralamat di Jl. Mangun

Dharma 8, Desa Tulus Besar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.

Adapun beberapa alasan lain peneliti memilih Padepokan Seni Mangun

Dharmo sebagai lokasi penelitian di antaranya: tempat tersebut merupakan ladang

penelitian yang relevan untuk menjaring data-data terkait penelitian ini; beberapa

responden atau narasumber lain juga merupakan anggota padepokan tersebut, dan

faktor terpenting lainnya adalah naskah Lakon Lahire Panji sendiri berada di

Padepokan Seni Mangun Dharmo.

Gambar 2.1 Padepokan Seni Mangun Dharmo


(Sumber: http://www.xips2smaneta.blogspot.com, diakses 30 Juli 2012)
Gambar 2.2 Peta Lokasi Padepokan Seni Mangun Dharmo
(Sumber: http://www.googlemaps.com, diakses 22 Agustus 2012)

D. Jenis-Jenis Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah darimana

data dapat diperoleh. Data-data tersebut berupa data primer dan data sekunder.

Data-data yang terkumpul dari lapangan dipilih dan diklasifikasikan menurut

kelompoknya, disusun, kemudian di analisis secara deskriptif perkelompok.

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder.

1. Data Berupa Kata-Kata atau Tindakan

Data ini berupa kata-kata atau tindakan orang-orang yang diamati sebagai

sumber data utama. Dalam penelitian ini data tersebut berasal antara lain dari

wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai pencipta naskah

Lakon Lahire Panji dan Mas Supriono sebagai penggendang dari Pedepokan Seni

Mangun Dharmo. Dari beberapa narasumber tersebut dicari data yang berkaitan

dengan wayang topeng malang lakon lahire panji, dan topeng sebagai atribut

dalam penokohan yang akan dicari nilai estetiknya.


2. Data Berupa Sumber Tertulis

Data ini dikumpulkan peneliti dari sumber-sumber pustaka yang relevan

seperti buku-buku tentang seni pertunjukan tradisional, wayang topeng,

kebudayaan, dan sebagainya. Namun, sumber-sumber tersebut juga dapat

diperoleh melalui internet, seperti artikel atau jurnal elektronik yang memuat data-

data sejenis seperti asal-usul Wayang Topeng Malang dan berita seputar

perkembangan Wayang Topeng Malang, khususnya yang berhubungan dengan

Lakon Lahire Panji, dan topeng yang dipergunakan sebagai penokohan lakonnya

yang akan dicari nilai estetiknya sehubungan dengan penelitian ini.

3. Data Berupa Dokumentasi

Yaitu data dokumenter berupa foto-foto hasil karya, sumber tertulis seperti

naskah. Dokumentasi juga diperlukan untuk potret kegiatan pengumpulan data

selama di Padepokan Seni Mangun Dharmo. Namun dalam hal ini yang terpenting

dokumentasi ditujukan untuk naskah Lakon Lahire Panji sebagai bahan analisa

lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan terkait dengan tujuan penelitian ini,

yaitu latar belakang penciptaan dan nilai estetik yang terkandung dalam topeng

yang dipergunakan sebagai penokohan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire

Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman

wawancara, pedoman observasi, serta dokumentasi yang dipakai oleh peneliti

sendiri karena peneliti adalah sekaligus sebagai perencana, pelaksana

pengumpulan data, analisis, penafsir data dan pada akhirnya ia menjadi pelapor
hasil penelitiannya (Moelong, 2007: 168). Terkait dengan hal tersebut, dalam

rangka menunjang kelancaran penjaringan data tentang Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji melalui beberapa instrumen di atas, maka digunakan beberapa

pedoman dalam penjaringan data sebagai berikut: catatan lapangan; catatan-

catatan tertentu yang menarik; catatan kronologis; jadwal penelitian; daftar cek

pengamatan; daftar cek dokumentasi; daftar panel atau pengamatan berkala;

perekam pembicaraan.

Dengan adanya alat-alat pencatatan data tersebut di atas, maka

pengamatan di lapangan dapat digolongkan ke dalam observasi sistematis,

sedangkan dokumentasi juga memakai pedoman berupa check-list yang memuat

hal-hal penting tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arikunto (2006: 157) bahwa observasi

sistematis adalah observasi yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan

pedoman sebagai instrumen penelitian. sedangkan check-list adalah daftar variabel

yang akan dikumpulkan datanya. Dalam hal ini, peneliti tinggal memberikan

tanda atau tally setiap permunculan gejala yang dimaksud.

Maka untuk keperluan pedoman di atas diperlukan beberapa alat bantu

fisik dalam memudahkan peneliti menjaring data sesuai dengan pedoman tersebut.

alat bantu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Alat Tulis

Alat tulis digunakan untuk mencatat segala informasi yang masuk dari

narasumber seperti Mochammad Soleh Adi Pramono, Mas Supriono, serta

beberapa pihak-pihak terkait penelitian ini. Alat tulis dalam hal ini adalah pena.
Pena digunakan untuk mencatat data-data berupa data lisan pada saat wawancara

tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, data-data apa saja yang

harus dicatat pada saat observasi di Padepokan Seni Mangundharmo, serta

mencatat butir-butir yang masuk dalam daftar dokumentasi.

2. Tape Recorder

Tape recorder dalam Guba dan Lincoln (1981: 203-306) dalam Moleong

(2007: 182) digolongkan ke dalam alat yang dinamakan topeng steno, yakni alat

perekam suara dihubungan secara tersembunyi dari tubuh pengamat dengan tape-

recorder sehingga tidak mengganggu suasana yang diamati. Selain merekam data

lisan secara lengkap dalam wawancara tentang Wayang Topeng Lakon Lahire

Panji, alat ini juga berfungsi merekam data lisan pada saat melakukan observasi

dan dokumentasi berupa beberapa Topeng Malang di Padepokan Seni Mangun

Dharmo.

3. Kamera

Digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berbentuk gambar.

Termasuk foto wawancara dengan narasumber di Padepokan Seni Mangun

Dharmo di atas, kamera juga berfungsi saat peneliti mengabadikan dan

mendokumentasikan berbagai hal terkait kepentingan penelitian ini. Hal tersebut

berupa dokumen-dokumen yang relevan terkait seperti koleksi beberapa Topeng

yang dipergunakan sebagai penokohan dalam Lakon Lahire Panji untuk kemudian

dicari nilai estetiknya sehubungan dengan fokus penelitian ini.


4. Handphone

Untuk mengantisipasi rusaknya tape recorder dan kamera, maka

digunakan handphone yang dilengkapi fitur untuk keperluan sejenis. Alat tersebut

bisa digunakan sebagai perekam data berupa wawancara lisan dengan

Mochammad Soleh Adi Pramono dan Mas Supriyono sebagai narasumber di

Padepokan Seni Mangun Dharmo dan juga berfungsi sebagai pengumpul data

dalam bentuk gambar topeng yang dipergunakan sebagai penokohan dalam Lakon

Lahire Panji.

F. Prosedur Pengumpulan Data

Metode yang dilakukan peneliti dalam pengumpulan data dalam penelitian

ini yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode tersebut digunakan

untuk mendapatkan data-data yang relevan dan akurat sesuai tujuan peneliti.

1. Observasi

Menurut Spradley dalam Sutopo (2002: 66), observasi dalam penelitian

kualitatif sering disebut observasi lapangan pasif. Peneliti langsung melakukan

observasi proses di lapangan. Fokus observasi adalah untuk mendapatkan data

lebih rinci dengan cara pengamatan. Dalam hal ini hasil observasi berupa data

karya Wayang Topeng Malang khususnya Lakon Lahire Panji, rekaman kegiatan

latihan pertunjukan dan pertunjukan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji

yang dikumpulkan oleh peneliti di Padepokan Seni Mangun Dharmo. Pengamatan


terhadap pertunjukan Wayang Topeng Lakon Lahire Panji sebagai suatu kesatuan

beberapa unsur seni diperlukan untuk mengidentifikasi nilai estetik yang terdapat

dalam Topeng pada Lakon Lahire Panji sendiri.

2. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu yang

dilakukan oleh dua pihak inti yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan

dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2005:

186). Jenis wawancara yangdigunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

terbuka. Jenis wawancara terbuka digunakan dengan maksud bahwa pewawancara

dan terwawancara saling mengetahui keberadaan dan status masing-masing, serta

tujuan yang hendak dicapai dalam wawancara tersebut. Pada penelitian ini

wawancara dilakukan terhadap Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai dalang

Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, anggota Padepokan Seni Mangun

Dharmo seperti Mas Supriono dan Mas Akhmadi sebagai penggendang.

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data-data terkait seputar latar

belakang penciptaan dan nilai estetik yang terdapat pada topeng dalam penokohan

Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji. Dari wawancara tersebut dapat

diidentifikasi dan dijaring data-data yang sinergi dengan tujuan penelitian yakni

mendeskripsikan latar belakang penciptaan, serta nilai estetik pada topeng yang

ada dalam Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji.

3. Dokumentasi

Penggunaan metode dokumentasi memberikan manfaat yang besar dalam

pengumpulan sumber data. Dokumen sendiri seperti yang diutarakan Guba dan
Lincoln (1981: 228) dalam Moleong (2007:216) ialah bahan tertulis ataupun film.

Metode dokumentasi digunakan untuk merekam informasi tentang Wayang

Topeng Malang Lakon Lahire Panji yang muncul dalam daftar check-list seperti

bahan tertulis dalam penelitian ini sendiri meliputi cerita Lakon Lahire Panji,

koleksi Topeng Malang Lakon Lahire Panji, serta sumber pustaka terkait seperti

buku-buku yang memuat seni rupa, seni pertunjukan, kebudayaan, sejarah wayang

topeng malang, dan lain-lain. Sedangkan film merujuk pada rekaman pertunjukan

Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, dokumen tentang topeng di

Padepokan Seni Mangun Dharmo dan sebagainya.

Penggunaan berbagai dokumen tersebut di atas nantinya akan membantu

peneliti dalam proses pengelompokan, penafsiran, pengolahan dan analisa data

seputar latar belakang dan nilai estetik yang terdapat dalam Wayang Topeng

Malang Lakon Lahire Panji. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Moleong

(2007: 217) bahwa dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai

sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data

dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.

G. Analisis Data

Analisis data kualitatif sendiri menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam

Moleong (2007: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa

yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Jika substansi pokok yang hendak dicari dalam penelitian terhadap Wayang
Topeng Lakon Lahire Panji ini adalah latar belakang penciptaan dan nilai estetik

yang terkandung di dalamnya, maka berdasarkan definisi tersebut di atas, peneliti

berusaha menerjemahkan langkah-langkah yang harus diambil yaitu dengan

menggunakan beberapa tahap analisa data yang dirasa sesuai dan mendukung bagi

penelitian ini. Tahap analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam

uraian/laporan lengkap dan terperinci. Reduksi data berlangsung terus-menerus

selama proses penelitian berlangsung. Data-data didapat antara lain dari

wawancara dengan beberapa responden seperti Mochammad Soleh Adi Pramono;

dokumentasi beberapa dokumen terkait latar belakang penciptaan Wayang

Topeng Malang Lakon Lahire Panji; serta catatan lapangan yang dibuat ketika

observasi berlangsung. Data-data tersebut akan dirangkum seiring proses

penelitian berlangsung, dipilih dan digolongkan, lalu difokuskan pada hal-hal

yang pokok dan dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian dicari

tema/polanya.

Pada tahap reduksi data ini, seperti sudah dipaparkan sebelumnya,

sekalipun langkah pengkajian terhadap naskah Lakon Lahire Panji sudah

berlangsung, namun faksimile dan hasil terjemahan harfiah tentang naskah

tersebut masih tergolong mentah dan butuh pengolahan lanjutan. Dokumen

tersebut digunakan untuk mengecek hubungan isi naskah dengan latar belakang

penciptaan Lakon Lahire Panji secara keseluruhan. Untuk kepentingan mencari

nilai dan kualitas estetik yang terdapat pada topeng, digunakan beberapa sumber

pustaka yang tentang penyususan media visual dan kaidah organisasi visual.
2. Penyajian Data

Penyajian data dimaksudkan agar memudahkan bagi peneliti untuk melihat

gambaran secara keseluruhan/bagian-bagian tertentu dari penelitian (Hasan dkk,

2003: 171) dalam Estuvitasari (2008),. Data-data pada poin reduksi data yang

sudah disederhanakan, lebih disederhanakan lagi agar lebih mengarah kepada

fokus penelitian. Pada tahap inilah faksimile dan terjemahan harfiah tersebut di

atas diolah secara lebih eksplisit, baik alur cerita, penokohan, maupun makna

tersirat dari setiap komunikasi yang terbangun antar para tokoh dalam lakon

tersebut.

Selain itu, dalam kepentingan mendapatkan nilai estetik pada topeng yang

dipergunakan pada penokohan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji yang

ada di Padepokan seni mangun dharmo, beberapa data disajikan dalam bentuk

gambar dan foto. Dari data-data tersebut nilai estetik yang terdapat pada

organisasi visual Topeng Malang Lakon Lahire Panji dapat ditelusuri.

3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Langkah ini merupakan langkah terakhir dari proses analisis data pada

penelitian ini. Data yang direduksi dan diorganisasi dalam bentuk kajian di atas

kemudian disimpulkan sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian. Dalam

menganalisa penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan dari teori-

teori/pendapat dari para ahli dari beberapa sumber pustaka. Pada tahap ini akan

didapat beberapa substansi pokok terkait fokus penelitian, yaitu bagaimana latar

belakang lahirnya Lakon Lahire Panji di tangan Mochammad Soleh Adi Pramono,

serta nilai estetik yang terkandung di dalam Topeng Lakon Lahire Panji. Langkah
terakhir adalah membulatkan sebuah kesimpulan tentang Lakon Lahire Panji

melalui pisau analisa berdasarkan perspektif dan sumber tertulis yang terkait.

H. Pemeriksaan Keabsahan Data

Pemeriksaan kesahihan data dilakukan dengan melakukan kriteria

kredibilitas. Kriteria kredibilitas dipergunakan untuk membuktikan bahwa dalam

data/informasi yang ditemukan di lapangan adalah benar. Upaya untuk menjamin

keabsahan data tersebut dilakukan uji validitas dengan cara :

1. Trianggulasi

Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan

pengecekan/sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang

paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong,

2007: 178).

Model trianggulasi yang dipergunakan adalah trianggulasi dengan sumber

yakni dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda (Patton dan

Moleong, 2005: 330). Dalam penelitian ini trianggulasi dilakukan dengan

membandingkan informasi atau pun data-data yang diberikan oleh beberapa

responden yang terlibat dalam wawancara seperti Mochammad Soleh Adi

Pramono sebagai pencipta naskah sekaligus dalang Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji, Mas Supriono dan Akhmadi sebagai penggendang dari

Padepokan Seni Mangun Dharmo. Melalui tahap pengecekan ini diharapkan akan
didapat sebuah keterpaduan data dan informasi tentang Wayang Topeng Malang

Lakon Lahire Panji, demi kebenaran dan kesahihan sebuah temuan penelitian.

2. Pengecekan Referensi

Kebutuhan referensi dalam penelitian ini dipenuhi dengan menggunakan

alat berupa format observasi dan wawancara yang diperoleh dari pertanyaan-

pertanyaan tentang kata kunci yang ditanyakan serta dari tape recorder, kamera

atau handphone sebagai alat perekam pada saat wawancara dan observasi.

I. Tahap-Tahap Penelitian

Secara garis besar, keseluruhan penelitian ini dilakukan dengan langkah-

langkah atau tahapan-tahapan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap Awal (Persiapan)

Pada tahap awal, hal yang dilakukan adalah dengan studi pendahuluan

berupa pengumpulan topik permasalahan seputar Wayang Topeng Malang,

pembuatan judul tentang fokus Lakon Wayang Topeng Malang terkait,

pengumpulan referensi yang relevan serta observasi kecil di Padepokan Seni

Mangun Dharmo lapangan. Selanjutnya menentukan metode penelitian, ilmu

bantu terkait metode yang sebelumnya ditentukan, serta teknik pengumpulan data

sekaligus analisisnya secara konseptual.

2. Tahap Tengah (Pelaksanaan)

Pada tahap pelaksanaan, penelitian diarahkan langsung ke lokasi penelitian

guna penjaringan data secara optimal. Penjaringan data tersebut dilakukan antara

lain dengan wawancara dengan berbagai pihak di Padepokan Seni Mangun


Dharmo, observasi di lokasi serupa, serta dokumentasi terhadap berbagai sumber

yang relevan dengan penelitian ini.

3. Tahap Akhir (Laporan)

Semua data tentang naskah Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji

kemudian dianalisis dengan metode kualitatif dan pendekatan teori filologi

tersebut di atas, untuk selanjutnya didapat sebuah kesimpulan. Langkah terakhir

dari rangkaian-rangkaian penelitian ini adalah pembuatan laporan penelitian.

Penulisan laporan penelitian tidak terlepas dari keseluruhan tahapan

kegiatan dan unsur-unsur penelitian (Moleong, 2007: 348). Berdasarkan hal

tersebut laporan penelitian ini akan berisi konteks dan fokus penelitian, ketetapan

metode penelitian, data, validasi dan verifikasi temuan penelitian, serta

kesimpulan.
BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Dalam bab ini akan dipaparkan hasil-hasil pengumpulan data dan deskripsi

terhadap temuan data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara terhadap

informan sesuai dengan tujuan, yaitu :

1. Latar belakang penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya

Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo

Tumpang-Malang

2. Nilai estetik yang terkandung dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji

karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun

Dharmo Tumpang-Malang.

A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji

Sebagaimana yang sebagian telah diterangkan sebelumnya, Mochammad

Soleh Adi Pramono, adalah salah seorang pendiri Padepokan Seni Mangun

Dharmo 1989 silam. Mochammad Soleh Adi Pramono dan Padepokan Seni

mengun Dharmo sendiri adalah langkah dalang guna meneruskan para

pendahulunya yakni: Ki Tirtonoto (Paman), Ki Samoed, Ki Karimoen Paryo, Ki

Rasimoen, Ki Gimoen, dan Ki Jakimen (Noersya, 2004: 67).

Tentang peran Padepokan Seni Mangun Dharmo di masyarakat

diungkapkan oleh Mas Supriono, anak dari Mochammad Soleh Adi Pramono,

sebagai berikut:
Kadang untuk acara hajatan di Tulus besar juga ada. Tapi itu kan
perorangan. Ada juga yang memang keinginan kita. Soalnya jarang ada
tamu saiki seng teko untuk tanya berjama’ah soal kebudayaan malangan,
khususe. Haha.. maksute, yo wong rame teko instansi endi ngono. Lek
sampean ndelok gamelan-gamelan di panggung iku lak tek’e wong
kampung. Yo ono, anak-anake akeh sing titip. Nyantrik lah itungane.

Hasil wawancara tersebut kurang lebih berarti sebagai berikut:

Kadang Padepokan Seni Mangun Dharmo juga menerima undangan untuk


mementaskan pertunjukan pada hajatan warga, jika itu hajatan
perorangan (menikahkan anaknya, sunatan, dan lain-lain). Namun ada
yang memang itikad dari anggota padepokan sendiri untuk pentas. Karena
sudah jarang ada tamu atau orang-orang dari instansi yang datang untuk
mengetahui hal tentang Kebudayaan Malangan, khususnya. Jika anda
lihat gamelan-gamelan yang ada di panggung, itu adalah milik warga
desa Tulus Besar. Banyak dari mereka yang menitipkan anak mereka di
Padepokan untuk belajar (Kebudayaan Malangan).

Gambar 3.1 Kunjungan dari warga di Padepokan Seni Mangun Dharmo


(Sumber: http://www.bukitsan.blogspot.com, diakses 22 agustus 2012)
Gambar 3.2 Pertunjukan Wayang Topeng Malang di di Padepokan Seni Mangun Dharmo
(Sumber: http://www.pmangundharma.blogspot.com, diakses 22 Agustus 2012)

Beberapa angota Padepokan tersebut sebagian besar merupakan pemuda-

pemuda Tulus Besar yang mempunyai motivasi dalam membangun Padepokan

Seni Mangun Dharmo dan kesenian malangan. Nama-nama seperti Supriyono,

Akhmadi dan Wayan Glemboh adalah contoh pemuda dengan antusiasme

berkesenian yang tinggi, selain beberapa benih loyalitas yang mulai tumbuh lewat

anak-anak kecil Desa Wates dan Tulus Besar yang rajin berlatih tari beskalan

bersama Mochammad Soleh Adi Pramono. Belum lagi terkadang beberapa

mahasiswa dari civitas akademik (dalam dan luar negeri) dan lapisan organisasi

masyarakat yang tertarik untuk sekedar meneliti ataupun memang berniat

menimba ilmu dan mengangkat kesenian malangan seperti Wayang Topeng, Tari,

Wayang Kulit, Mocopat Malangan (Noersya, 2004: 67) .

Sebelum sebuah karya seni jadi dan bisa dinikmati, tentunya karya tersebut

mengalami sebuah proses yang melatarbelakanginya. Demikian juga dengan cerita

Lakon Lahire Panji yang merupakan bagian tubuh seni pertunjukan Wayang

Topeng Malang Lakon Lahire Panji. Cerita tertulis tersebut lahir sebagai wadah

teks yang turut menyandarkan beberapa alasan tertentu dari sang dalang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pencipta cerita Lakon Lahire Panji yaitu

Mochammad Soleh Adi Pramono, beliau beritikad untuk menanggapi musibah


bencana alam yang sedang terjadi di beberapa daerah di Indonesia dengan tetap

berpayungkan kesenian dan budaya sebagaimana yang beliau ceritakan dalam

wawancara di bawah ini:

Bencana lumpur di Sidoarjo dan Tsunami di Aceh beberapa waktu silam,


adalah derita kemanusiaan yang patut dirasakan juga oleh banyak pihak.
Saya, sebagai manusia juga berusaha mengulurkan sumbangsih dalam
ironi tersebut, sebagaimana beragam respon yang juga hadir dari
beberapa lapisan masyarakat, baik positif atau negatif.

Bagi Mochammad Soleh Adi Pramono, mengapungkan Cerita Panji ke

permukaan bukanlah sekedar relevansi antara Jenggala dan Sidoarjo semata. Hal

ini beliau ungkapkan sebagai berikut:

Hubungannya cerita pertunjukan yang saya buat dan ruwatan bumi


tersebut ya kok kebetulan lagi tidak terlepas dari Memayu Hayuning
Bawana. Bagaimana menselaraskan dunia (alam). Yaitu jamannya sudah
masuk Kali Sengara. Nah maka bagaimana pentingnya Panji di sini, itulah
mengapa diangkat lagi. Dengan harapan mudah-mudahan dengan
lahirnya Panji lahir pula gagasan-gagasan baru yang akan menjaga
tatanan alam ini, khususnya Republik Indonesia. Kebetulan lagi Porong
kan masuk Sidoarjo atau buminya Jenggala dahulunya. Sesulit apapun
Amiluhur menempuh jalan untuk menunaikan perintah Dewa, toh ternyata
banyak bantuan menemaninya. Sepedih apapun penderitaan saudara kita
yang mengungsi di beberapa daerah, harapan saya dengan salah satunya
pentas di pasar Porong sana, semoga mereka tidak berkecil hati.

Hal serupa juga diungkapkan Mas Supriyono sebagai berikut:

Memang sulit jika kita sedang dilanda musibah, saya juga bisa
merasakan. Panji adalah pemimpin yang ditakdirkan menciptakan kembali
keselarasan bumi yang rusak sebelumnya, memayu hayunng bawana tadi.
Memang, Endhut Blegedaba sendiri adalah lumpur, tapi kan juga banyak
bencana yang lebih dari itu. Makanya Panji dihadirkan agar iman dan
moral masyarakat tetap utuh.

Mochammad Soleh Adi Pramono mengemukakan tentang beberapa

momen terkait penciptaan cerita Lakon Lahire Panji sebagai berikut:


Pada waktu itu saya bersama rektor Unmer, terus Himpunan Pemerhati
Kebudayaan akan mengadakan atau membahaslah, beberapa momen yang
akan dipertunjukkan pada waktu memperingati 1 Sura. Nah, kebetulan
waktu itu saya punya kesempatan untuk ikut andil. Acaranya antara lain
kirab lalu kesenian khas malangan. kesenian khas malangan sendiri
dibagi dua waktu itu. Saya mementaskan Topeng Malang, sedangkan Ki
Bromono, guru saya mementaskan Wayang Kulit Malangan.

Lebih lanjut Mochammad Soleh Adi Pramono menjelaskan acara ruwatan

Bumi sebagai berikut:

Momen tersebut sekaligus dipakai untuk mensucikan Tugu Monumen


Pahlawan yang ada di depan Balai Kota sana. Nah, tugu itu ibaratnya
Simpang Lima-nya semarang di Malang. Karena memang ada simpang
limanya kan? Selain sebagai pusat pemerintahan, di Balai Kota atau di
dekat tugu itu ceritanya juga ditemukan situs Mbah Malang, yaitu
dibelakang Balai Kota sendiri serta di dekat Dewan Kesenian Malang ....
Untuk ruwatan Bumi saya mengambil beberapa sumber yaitu: Sumber
Brantas, Sumber Nagan (dekat padepkan Mas Jatikusumo di Bromo),
Sumber Biru (tidak jauh dari Padepokan Mas Jatikusumo juga), lalu
Banyu Urip, Sumber Semeru, Sumber Bromo, dan Kalisongo (daerah
Ngrantas).

Dalam penggarapan cerita Mochammad Soleh Adi Pramono dibantu

beberapa pihak dalam hal pengetikan dan pengecekan tulisan. Seperti yang beliau

utarakan bahwa ―Selain berbagi pendapat dengan teman-teman penyunting dan

padepokan biasanya soal ide saya sendiri, termasuk cerita ini. Supri biasanya juga

saya suruh baca, saya ini sudah tua, kadang mata juga tidak begitu awas‖. Hal ini

juga ditegaskan oleh Mas Supriyono sebagai berikut:

Bapak sering bermusyawarah dengan sesama rekan di Padepokan.


Misalnya misalnya almarhum Pak Sutrisno yang membuat topeng.
Termasuk yang muda-muda. Tapi kalau untuk urusan cerita lebih sering
sharing ke saya. Mungkin karena sama sekolah dhalang. Tapi itu pun
sebatas tulisan, inti ceritanya tidak berubah.
Menurut Mochammad Soleh Adi Pramono Topeng dan Panji sendiri

adalah wujud Manunggaling Kawula Karo Gusti. Lebih lanjut Mochammad Soleh

Adi Pramono menyambung pernyataannya sebagai berikut:

Topeng itu perlambang manunggaling kawula karo gusti. Manusia harus


eling (ingat) bahwa selain jagat alit (mikrokosmos) masih ada jagat gede
(makrokosmos). Hubungan dengan alam dan sesama, serta vertikal
dengan Tuhan, itulah cita-cita kehidupan sejati. Legine asmara lan paite
urip adalah itu sesuatu yang wajar, karena hidup adalah
Cakramanggilingan, terus berputar. Makanya saling mengingatkan
adalah penting, sepenting kehadiran Panji, titisan Bethara Wisnu, di
Jenggala waktu itu, contohnya.

Pernyataan dari kutipan terakhir di atas menjelaskan bahwa manusia

sebenarnya tidak kekurangan petunjuk dalam mengarungi bahtera hidup.

Selemah-lemahnya manusia pada titik ketidaksanggupannya, Tuhan selalu ada

untuk mengingatkan dan menuntun kepada jalan kebaikan yang Ia gariskan. Lebih

lanjut, Mochammad Soleh Adi Pramono mengungkapkan maksud dan harapan

terkait cerita Lakon Lahire Panji sebagai berikut:

Ya, itu juga. Makanya kalo kita minta itu yo mbok aturan. Jangan kayak
Liku yang takut anaknya bakal ga dadi ratu. Orang diberi rahmat Tuhan
itu nggak kurang-kurang. Makanya Kilisuci kan bilang ke Padukaliku dan
semuanya termasuk Amiluhur: “Ning pada ngertenana beja cilakane
manungsa ora kena nerak garise pesthi”. Kalo memang jodohnya, ya
mungkin ada jalan anaknya jadi raja, kalo nggak pun ya seng penting wes
diusahakan, tapi yo ojo ngoyo. “Yang penting sekarang, urusan negara
dan rakyat dulu” Kilisuci gitu.

Makna dari hasil wawancara di atas adalah sebagai berikut:

Ya, termasuk, jika meminta kalau bisa jangan berlebihan. Jangan seperti
Liku yang takut jika anaknya tidak bisa menjadi raja. Tuhan tidak pernah
kekurangan dalam memberi hambanya. Maka Kilisuci berbicara kepada
Padukaliku, Amiluhur, dan semuanya: tetapi mengertilah semua, untung
ruginya manusia, tidak bisa melanggar takdir Tuhan. Jika memang
berjodoh, mungkin ada jalan anak Padukaliku untuk menjad Raja, jika
tidak, yang penting sudah diusahakan, asal usaha tersebut tidak
berlebihan. “yang terpenting sekarang adalah mengurus negara dan
rakyat” kata Kilisuci.
Terkait motivasi yang ingin beliau berikan untuk warga korban lumpur,
Mochammad Soleh Adi Pramono menjelaskan sebagai berikut:

Sesulit apapun Amiluhur menempuh jalan untuk menunaikan perintah


Dewa, toh ternyata banyak bantuan menemaninya. Sepedih apapun
penderitaan saudara kita yang mengungsi di beberapa daerah, harapan
saya dengan salah satunya pentas di pasar Porong sana, semoga mereka
tidak berkecil hati. Dengan lahirnya panji semoga akan lahir pula
gagasan-gagasan baru yang akan mendamaikan dan mensejahterakan
bangsa ini.

Berdasarkan uraian tersebut, pementasan Lakon lahire Panji di Sidoarjo

sebenarnya ditujukan untuk menghibur para pengungsi agar tetap tabah

menghadapi cobaan yang sedang menimpa mereka.

B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji

Terdapat beberapa pertimbangan dalam penjaringan data di lapangan,

yaitu: beberapa topeng di Padepokan Seni Mangun Dharmo sudah menjadi

perbendaharaan atau koleksi negara asing, serta rusaknya beberapa dokumen dan

rekaman video tentang topeng di Padepokan Seni Mangun Dharmo, maka tokoh

yang diangkat dalam penelitian ini adalah Raden Panji Asmarabangun, Lembu

Mangarang, Patih Jayabadra, Patih Kudanawarsa, Patih Jaya Kasemba. Dari hasil

pengamatan di lapangan didapatkan beberapa tokoh topeng sebagai berikut:

1. Panji Asmarabangun

Bentuk Topeng Panji Asmarabangun merupakan bentuk positif, dengan

bentuk negatif yang terdapat pada rongga pada sepasang mata yang berlubang.

Tekstur yang semu dapat dirasakan lewat ukiran ornamen yang dipertegas dengan
warna-warna warna biru langit (sky blue), hijau kekuningan (yellow green) dan

emas pada bagian mahkota. Warna-warna tersebut juga mewakili beberapa garis

lengkung yang dinamis.

Bagian wajah didominasi warna hijau (medium sea green) sebagai warna

kulit. Warna hijau adalah bagaimana semestinya alam yang subur (keselarasan

jagad) yang akan kembali ditata oleh Panji seiring bencana yang terjadi di

Jenggala dan Keling.

Gambar 3.3 Panji asmarabangun


(sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)

2. Topeng Lembu Mangarang

Bentuk tatahan membuat wajah Lembu Mangarang lebih menonjol

dibanding Panji Asmarabangun. Bagian bibir terkesan tebal (merah jambu) dan

hidung agak mancung, serta dahi yang tidak terlalu lebar. Topeng Lembu

Mangarang secara dominan berwarna merah dengan nyala yang sedikit terasa.

Beberapa garis ditarik secara patah-patah, dan dikomposisikan pada gradasi biru

langit pada bagian mahkota. Hampir tidak terdapat garis yang benar-benar statis
pada topeng ini. Selain rambut kecil bergulung yang mewakili rambut ikal tokoh

ini, terdapat garis lengkung yang membentuk kumis di atas otot-otot mulut.

Gambar 3.4 Lembu Mangarang


(sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)

3. Patih Jayabadra

Wajah topeng Jayabadra berbentuk lonjong. Warna merah agak gelap

mendominasi bagian wajah, sedangkan warna merah yang lebih menyala

mewarnai bagian bibir di atas dagu yang agak lancip sebagai pusat perhatian dari

bagian wajah. Motif tumbuhan menghiasi bagian atas wajah yang membentuk

mahkota. Perulangan beberapa garis lengkung baik dibagian kanan maupun kiri

mahkota membentuk suatu karya sunggingan yang simetris. Gradasi warna hijau

juga terjadi pada perulangan tersebut. Beberapa garis lengkung lainnya

merupakan garis linear yang membentuk sepasang kelopak mata, alis, kumis, dan

rambut mulai dari atas dahi sampai bagian bawah mahkota.


Gambar 3.5 Patih Jayabadra
(sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)

4. Patih Kudanawarsa

Pada topeng Kudanawarsa terdapat garis-garis statis yang pendek pada dua

lembar daun berwarna hijau dengan bunga lima kelopak berwarna kuning. Garis-

garis statis yang berukuran pendek tersebut bersifat tegas, menyabang di antara

satu garis yang lebih tebal sebagai tulang daun. Bagian Wajah beserta mulut dicat

dengan warna merah crimson. Rambut-rambut kecil yang terkesan ikal bergulung

di pinggir wajah dengan sapuan kehitaman. Bagian lain yang tergolong rambut

yang dicapai dengan permainan garis adalah alis yang memiliki ukuran yang

cukup tebal, pun simetris. Hidung dibuat agak mancung. Secara keseluruhan

topeng ini tidak terlalu memiliki organisasi visual yang beragam.

Gambar 3.6 Patih kudanawarsa (tampak samping)


(sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)
5. Patih Jaya Kasemba

Topeng Patih Jaya Kasemba yang lonjong secara dominan memiliki warna

light pink. Warna tersebut juga menyapu bagian yang ditatah sedemikian rupa

membentuk hidung. Kelopak mata di sapu dengan garis putih yang lebih tebal.

Ketebalan garis yang tidak terasa terlalu luwes jika dibandingkan dengan garis

yang mengarah pada bagian bulu mata ini, juga bisa dirasakan sebagai bagian dari

bola mata manusia. Beberapa warna yang diwakili oleh garis-garis yang arahnya

berlawanan membentuk ornamen pada bagian mahkota.

Gambar 3.7 Patih Jayakasemba


(sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada Bab III, maka

dalam Bab IV ini akan dibahas hasil penelitian tersebut sesuai dengan variabel-

variabel yang diteliti. Variabel-variabel tersebut meliputi:

1. Latar belakang penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya

Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo

Tumpang-Malang.

2. Nilai estetik yang terkandung dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji

karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun

Dharmo Tumpang-Malang.

A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji

Dalam beberapa kutipan, nyatanya naskah ini juga mewakili parade

bencana alam memilukan di beberapa tahun terakhir di Indonesia. Kalimat yang

diungkapkan tokoh Dyah Kilisuci tersebut berbunyi: ―... gunung lahar, banjir

bandhang, samodro ngelepi daratan, endhut blegedaba tumeka retuning bawana

andadekna bangsa iber-iberan kesrakat‖. Ujaran tersebut tentu berangkat dari

memori pahit bahwa gempa di pesisir utara Sumatera dan Tsunami di Aceh, telah

membuat Indonesia sebagai negara penyumbang korban terbanyak di antara

negara-negara di dekat Samudera Hindia. Lembaran tahun 2006 menyajikan

beberapa kisah yang tidak kalah perihnya: menyemburnya lumpur di Sidoarjo;


gempa berkekeuatan 8.6 SR di Nias; serta gempa di Jogjakarta yang sedikitnya

merenggut 5.800 korban jiwa pada 27 Mei di tahun tersebut.

Berbicara tentang musibah tersebut termasuk menyeret polemik yang

mendampinginya, sebut saja: pagelaran demonstrasi yang berujung anarkis, selain

beberapa aksi teatrikal dari beberapa lapisan masyarakat dan organisasi massa,

pun termasuk para pengungsi di beberapa daerah.

Telah disebutkan sebelumya bahwa ―topeng‖ adalah perlambang

manunggaling kawula karo Gusti. Kata ―manunggaling‖ tetap akan dipaparkan

dalam fungsinya sebagai wahana umat manusia menuju kebaikan, di mana

kebaikan itu identik dengan Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan oleh

Mochammad Soleh Adi Pramono sebelumnya.

Manunggaling kawula-Gusti memberikan pengertian pada beberapa hal

yang menyangkut tentang asal dan tujuan hidup (sangkan paraning dumadi), di

mana dalam mencapainya alam semesta (jagad gedhe) harus terangkum dalam

hati dan pikiran manusia (jagad cilik). Dalam hal ini tujuan hidup tersebut adalah

Tuhan .... Seperti halnya filsafat curiga manjing warangka, warangka manjing

curiga bukanlah persatuan manusia dengan Tuhan hingga manusia sama dengan

Tuhan, melainkan ini perumpamaan jiwa dan raga (Endraswara, 2012: 240-242).

Berdasarkan keterangan di atas, jalan menuju kebaikan (Tuhan) antara lain

terbangun lewat hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dan alam.

Topeng dalam hal ini menyangkut penjelasan terakhir kutipan di atas. Dalam

Kitab Makrifat yang disadur Otto Sukatno Cr (2002), dijelaskan bahwa roh dan

tubuh melebur hingga bersifat loro-loroning atunggal yang berarti dua hal yang

berbeda tetapi satu juga adanya. Secara garis besar roh dan tubuh manusia dibagi
ke dalam: stula-sharira, lingga sharira, kama rupa, roh-rahmani, karana-sharira,

dan roh-ilafi.

Karana-sharira sendiri adalah roh nurani yang cenderung membawa

manusia ke kejernihan dan kebaikan dalam bertindak. Sedang Roh-ilafi yang

bersifat sakral adalah satu-satunya yang menghubungkan diri manusia dengan

Tuhan, hingga menumbuhkan cinta kasih yang luar biasa karena getaran untuk

selalu dekat dengan Tuhan.

Dengan senantiasa bertanya tentang asal-usul (termasuk bersatunya raga

dan ruh) dalam perjalanan menuju Tuhan, manusia sejatinya dapat mengambil

sebuah jalan lurus dalam setiap segmen kehidupannya dengan tetap membumbui

perjalanan tersebut denga kesadaran (eling) akan alasan untuk apa ia diciptakan.

Lebih lanjut, sebelumnya telah dijelaskan bahwa Cerita Panji mengisahkan

kepahlawanan dan kebesaran ksatria-ksatria Jawa. Terutama pada masa Jenggala

dan Kediri, cerita Panji merupakan usaha untuk menandingi cerita versi wayang

purwa yang mengisahkan cerita-cerita dari India (Utomo, 2008). Dengan setting

beberapa kerajaan di Jawa waktu itu, kenyataan yang ada adalah Cerita Panji

memang tidak mentah-mentah lahir dari adaptasi cerita India. Gelar Pahlawan

Kebudayaan Nusantara bagi Cerita Panji pada Festival Kebudayaan di Bali tahun

1976 setidaknya mengisyaratkan bahwa Panji benar-benar buah karya yang lahir

dari sastrawan dan seniman Jawa.

Kembali kepada upaya menjaga keselarasan dan kesejahteraan dunia

dalam tajuk memayu hayuning bawana. Dengan lahirnya Lakon Lahire Panji,

diharapkan akan lahir pemimpin yang asih, asah, dan asuh, yang tidak

membedakan rakyatnya (mahambeg adil paramarta). Dengan lahirnya lakon


lahire panji ini pula, hendaknya dalam keterbatasannya menjalani dan menyikapi

legi paite urip (manis pahitnya kehidupan), minimal manusia dapat bertindak

sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri. Sikap dan tindakan tersebut dapat

tercermin dalam hening (kejernihan pikiran dan hati), heneng (penuh

pertimbangan), hawas (waspada), eling (ingat kepada Tuhan), dan wicaksana

(bijaksana).

Sedang kata ―asuh‖ di atas menitikberatkan bagaimana pemimpin dan

rakyat secara kolektif bergiat dalam modernisasi tanpa meninggalkan jasa para

leluhur. Namun sebelumnya perlu dibatasi bahwa modernisasi bukan berarti

mutlak westernisasi, meski westernisasi sendiri adalah kecenderungan tindak-

tanduk individu yang mungkin melebur dalam modernisasi. Dalam hal ini penulis

meminjam pernyataan Koentjaraningrat (1982: 140-142) sebagai berikut:

Modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi
dunia sekarang .... Sedang westernisasi adalah usaha meniru gaya hidup
orang barat .... Nenek moyang kita di zaman Sriwijaya, dalam usaha
modernisasi mereka, menjaga kekhususan mereka dan tidak menjadi orang
India, sama seperti Vietnam yang tetap tidak menjadi orang Cina.

Semua hal tersebut di atas kiranya juga dapat menjadi tempat berpijak

dalam pencarian rasa hidup sejati (pramana jati). Rasa hidup sejati yang

bersumber dari segenap kebaikan, yang sejak lahir telah dianugerahkan Tuhan

tersebut adalah cita-cita fundamental manusia yang semestinya harus tetap

diupayakan dalam garis hidup yang telah ditentukan (mung saderma nglakoni

garising pepesthen).
B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang dalam Lakon Lahire Panji

Berdasarkan paparan data pada bab sebelumnya maka dalam bab ini akan

lebih lanjut dibahas nilai-nilai estetik yang terdapat dalam topeng-topeng tersebut.

Raden Panji Asmarabangun, Lembu Mangarang, Patih Jayabadra, Patih

Kudanawarsa, Patih Jaya Kasemba.

Gambar 4.1 bagian-bagian wajah


(untuk memudahkan pembaca dalam menelaah pembahasan)
(sumber: http://www.lidlift.com)

1. Topeng Panji Asmarabangun

Secara garis besar bentuk Topeng Panji Asmarabangun merupakan bentuk

positif, dengan bentuk negatif yang terdapat pada rongga pada sepasang mata

yang berlubang. Tekstur yang semu dapat dirasakan lewat ukiran ornamen yang

dipertegas dengan warna-warna warna biru langit (sky blue), hijau kekuningan

(yellow green) dan emas. Warna-warna tersebut juga mewakili beberapa garis

lengkung yang dinamis.

Bagian wajah didominasi warna hijau (medium sea green) sebagai warna

kulit. Kehadiran warna tersebut sekaligus mengisi lebih dari setengah bentuk
topeng tersebut. Sebuah organisasi visual yang mengarah pada mimik wajah

tampak pada beberapa aspek berikut:

a. Sepasang garis linear yang terkesan bergerak seperti arah gerak pada alis/bulu

mata manusia pada umumnya. Bagian ujung luar (dekat lateral) agak

terangkat naik. Arah gerak garis tersebut mewakili otot yang menggerakkan

alis tersebut.

b. Garis linear kehitaman yang mengelilingi bagian luar bentuk bibir yang

berwarna merah. Lebih lanjut arah gerak bagian luar bibir tersebut dapat

diidentifikasi sebagai sebuah senyuman.

c. Terdapat ruang negatif pada sepasang mata yang berongga, dengan garis

putih sebagai kelopak mata. Ruang negatif tersebut mengarah pada adanya

bentuk negatif bola mata (iris dan pupil). Bagian-bagian otot mata medial dan

lateral terletak agak jauh di bawah alis atau bulu mata.

d. Permukaan yang menonjol dari hasil tatahan merupakan representasi dari

hidung, juga dengan warna hijau. Bentuk hidung berada di tengah dengan

ukuran batang hidung yang cukup lebar.

Gambar 4.2 Panji asmarabangun


(sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)
Keseimbangan formal terjadi pada bentuk ukiran keseluruhan. Jika dibagi

menjadi dua bagian, masing-masing bagian juga menunjukkan beberapa tiga buah

ruang negatif (berongga). Beberapa rupa ornamen yang membentuk mahkota

mengalami keselarasan warna polikromatik (Dramaprwira, 2002: 72) dimana

warna-warna yang tersusun merupakan campuran warna murni (biru, kuning) dan

warna dari deret nilai seperti orange . Di bawah dahi terdapat bidang berbentuk

lingkaran lonjong berwarna emas yang agak muncul dari pada permukaan yang

merupakan salah satu center of interest, selain bibir yang terlihat menyala

berwarna merah (tints) dengan nilai dan intensitas yang cukup tinggi bla

dibandingkan dengan hijau yang mendomnasi wajah.

2. Topeng Lembu Mangarang

Topeng Lembu Mangarang secara dominan berwarna merah dengan nyala

yang sedikit terasa. Dengan tingkat kecerahan (nilai) yang lumayan tinggi, bahkan

warna ini hampir menyamarkan merah jambu yang melekat pada bibir sebagai

bagian dari monokromatiknya. Beberapa garis ditarik secara patah-patah, dan

dikomposisikan pada gradasi biru langit pada bagian mahkota. Sebagaimana

topeng Malang pada umumnya, ruang negatif tetap melekat pada lubang yang

dikelilingi garis dinamis kehitaman yang membentuk bola mata, dengan otot

lateral yang sedikit naik. Hampir tidak terdapat garis yang benar-benar statis pada

topeng ini. Selain rambut kecil bergulung yang mewakili rambut ikal tokoh ini,

terdapat garis lengkung yang membentuk kumis di atas otot-otot mulut.


Gambar 4.3 Lembu Mangarang
(sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)

Harmonisasi terjalin kuat pada proporsi garis dan warna pada ornamen

yang membentuk mahkota sebagai sebuah keseimbangan formal. Keberadaan

beraneka bentuk pada ornamen merupakan keberagaman yang cukup baik dan

tidak mengacaukan kesebandingan mahkota secara keseluruhan. Bentuk tatahan

membuat wajah Lembu Mangarang lebih menonjol dibanding Panji

Asmarabangun. Jika bentuk wajah tersebut dipadankan dengan mahkota tersebut,

maka akan didapat sebuah keselarasan warna kontras. Bagian bibir terkesan tebal

(merah jambu) dan hidung agak mancung, serta dahi yang tidak terlalu lebar.

Gambar 4.4 bagian-bagian mata


(untuk memudahkan pembaca dalam menelaah pembahasan)
(sumber: http://www.doctorology.net)
3. Topeng Patih Jayabadra

Motif tumbuhan menghiasi bagian atas wajah yang membentuk mahkota.

Perulangan beberapa garis lengkung baik dibagian kanan maupun kiri mahkota

membentuk suatu karya sunggingan yang simetris. Gradasi warna hijau juga

terjadi pada perulangan tersebut. Beberapa garis lengkung lainnya merupakan

garis linear yang membentuk sepasang kelopak mata, alis, kumis, dan rambut

mulai dari atas dahi sampai bagian bawah mahkota.

Gambar 4.5 Patih Jayabadra


(sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)

Wajah topeng Patih Jayabadra masih berbentuk lonjong seperti dua topeng

sebelumnya. Warna merah yang agak gelap mengisi hampir sebagian besar bagian

wajah. Sedangkan warna merah yang terkesan lebih menyala mengisi bagian bibir

di atas dagu yang agak lancip. Dapat dikatakan bagian tersebut merupakan pusat

perhatian di antara bagian-bagian yang lain pada wajah. Komposisi warna bibir

dan wajah merupakan komposisi selaras monokromatik. Sebuah garis lengkung

yang menggambarkan kumis juga terletak pada otot-otot mulut.


4. Patih Kudanawarsa

Terdapat garis-garis statis yang pendek pada dua lembar daun berwarna

hijau (medium sea green) dengan bunga lima kelopak berwarna kuning. Garis-

garis statis yang berukuran pendek tersebut bersifat tegas, menyabang di antara

satu garis yang lebih tebal sebagai tulang daun. Bentuk bunga berkelopak lima

merupakan titik tumpu yang menjadikan kedua lembar daun tersebut mengalami

keseimbangan informal. Hal tersebut dapat dirasakan dari luas daun yang hampir

tidak sama. Bagian daun yang lebih di atas memiliki tulang daun yang lebih tebal

dibanding daun dibawahnya. Bunga kecil berwarna kuning memiliki ruang negatif

pada bagian tengahnya.

Di dekat sepasang daun yang lebar tersebut, bunga kecil berwarna kuning

mengalami perulangan (irama), meski letaknya agak jauh dari bunga sejenis yang

menjadi titik tumpu kedua daun tersebut.

Bagian Wajah pada topeng Patih Kudanawarsa dicat dengan warna merah

(light coral). Rambut-rambut kecil yang terkesan ikal bergulung di pinggir wajah

dengan sapuan kehitaman. Bagian lain yang tergolong rambut yang dicapai

dengan permainan garis adalah alis yang memiliki ukuran yang cukup tebal, pun

simetris. Mulut tetap dicat mengikuti warna kulit wajah yaitu merah crimson.

Hidung dibuat agak mancung

Secara garis besar topeng kudanawarsa tidak terlalu disusun oleh media

visual yang sangat beragam. Kesederhanaan cenderung meliputi bagian demi

bagian dalam topeng ini.


Gambar 4.6.Patih kudanawarsa
(sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)

5. Topeng Patih Jaya Kasemba

Topeng Patih Jaya Kasemba secara dominan memiliki warna light pink.

Sebagaimana pada topeng-topeng seperti di atas. Warna yang mendominasi suatu

bentuk topeng, cenderung mendominasi bagian wajah. Segenap media estetik

yang menyusun wajah topeng Patih Jaya kasemba dapat diidentifikasi sebagai

berikut:

a. Terdapat dua buah garis dinamis yang berlawanan arah. Satu garis

merupakan cermin dari garis yang lain (simetris). Kedua garis kehitaman

tersebut dapat dirasakan sebagai sepasang alis atau bulu mata. Arah geraknya

menjauh dari medial dan lateral di bawahnya. Kedua garis yang saling

berlawanan arah tersebut berasal dari sebuah titik pada titik tengah sepasang

mata manusia pada umumnya.

b. Di bawah garis yang berlawanan tersebut di atas, terdapat pula dua buah

bentuk yang juga terkesan simetris. Bagian yang dibentuk adalah sepasang

mata dengan ruang negatif yang tetap disuguhkan di dalamnya. Sepasang

mata tersebut mempunyai luas yang tidak terlalu mengalami kesebandingan


yang baik bila disandingkan dengan bentuk-bentuk lain pada bagian wajah

topeng tersebut.

c. Kelopak mata di sapu dengan garis putih yang lebih tebal. Ketebalan garis

yang tidak terasa terlalu luwes jika dibandingkan dengan garis yang

mengarah pada bagian bulu mata ini, juga bisa dirasakan sebagai bagian dari

bola mata manusia pada umumnya yang disebut tunica conjunctiva.

d. Bagian yang paling menonjol dari permukaan adalah bagian dibuat

sedemikian rupa sehingga mengarah pada anatomi hidung. Bagian ini tidak

mendapatkan penekanan warna lain selain warna light pink sebagai warna

wajah secara umum pada topeng ini. Hidung dibuat agak mancung dan

mengerucut pada titik tumpu kedua garis berlawanan yang sebelumnya

disebutkan di atas.

e. Selain bibir yang dicat dengan warna merah yang lebih menyala (terasa baik

nilai maupun intensitasnya), pada topeng ini terdapat beberapa bidang

berwarna putih yang dapat diidentifikasi sebagai jajaran gigi.

f. Bentuk wajah secara keseluruhan tetap lonjong, cenderung mengerucut pada

bagian bawahnya (dagu).

Gambar 4.7 Patih Jayakasemba


(sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)
Secara garis besar, topeng-topeng yang mewakili beberapa tokoh dalam

lakon lahire panji memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan paling

kentara adalah dari segi pewarnaan wajah. terdapat beberapa ruang dan bentuk

yang positif dan negatif dari hasil penatahan kayu menjadi topeng sebagai langkah

awal. Warna yang dicat pada topeng sangat beragam sesuai dengan karakteristik

topeng-topeng.

Garis yang paling banyak dipakai adalah garis lengkung yang terkesan

luwes dalam menggambarkan ornamen tumbuh-tumbuhan pada mahkota para

tokoh. Tekstur semu dapat dirasakan tanpa meraba permukaan topeng-topeng

tersebut. Atribut kualitas estetik seperti kesatuan, keteraturan, dan keragaman

telah dicapai dalam visualisasi media visual yang juga mengindahkan asas

keselarasan, keseimbangan, kesebandingan, irama, dan kevariasian.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab IV,

maka dalam bab ini akan dijabarkan suatu kesimpulan dari hasil penelitian secara

keseluruhan berdasarkan variable-variabel yang diteliti. Adapun kesimpulan-

kesimpulan tersebut meliputi :

1. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji

Kehadiran naskah Lakon Lahire Panji berangkat dari keinginan

Mochammad Soleh Adi Pramono untuk memberikan semangat kepada para

pengungsi di Sidoarjo khususnya, dan korban bencana alam di beberapa daerah

yang lain pada umumnya. Selain alasan Sidoarjo yang dahulunya menurut beliau

merupakan lokasi kerajaan Jenggala (Dawan, 2010), wujud simpati Mochammad

Soleh Adi Pramono tersebut antara lain tercermin pada beberapa nilai-nilai moral

yang terdapat dalam Lakon Lahire Panji. Dalam penggarapannya, nilai-nilai moral

tersebut diletakkan sedemikian rupa dengan tetap berlandaskan pandangan hidup

jawa yang tak lekang dimakan zaman. Diharapkan dengan adanya naskah Lakon

Lahirnya Panji ini, akan lahir pula Panji-Panji yang akan mengembalikan dan

menjaga keseimbangan dan keselarasan Nusantara, serta pemimpin yang setia

membimbing rakyatnya untuk tidak melupakan jasa para leluhur.


Semangat dan motivasi yang bisa disumbangsihkan kepada para pengugsi

adalah sebagimana cerita Lakon Lahire Panji berkata bahwa seberat apa pun

kesusahan menyelimuti, selalu ada jalan untuk keluar dari keadaan tersebut.

Sebuah musibah bukan podium yang tepat untuk menuduh bahwa Tuhan tidak

adil, ibarat peribahasa ―aja susah ing panacad”. Dibalik kesulitan pasti ada

kemudahan, Tuhan tidak akan membebani hambanya dengan beban yang tak bisa

ditanggunggnya.

2. Nilai Estetik yang Terkandung dalam Topeng Malang pada Lakon

Lahire Panji

Beberapa gejala yang dapat disimpulkan dari Topeng Malang dalam

Lakon Lahire Panji antara lain adalah bahwa dalam penggarapan topeng tersebut,

pembuat topeng masih berpegang pada kaidah-kaidah pengorganisasian media

visual yang meliputi media fisik dan media estetik. Visualisasi topeng yang

merupakan hasil dari tatahan terhadap kayu sebagai bahan utamanya, serta tata

susun media estetik yang diwakili oleh media fisik pada kayu yang sudah ditatah

tersebut. Media estetik yang dapat dijumpai tersebut antara lain: garis yang

diejawantahkan lewat warna-warna tertentu; bentuk dan ruang (baik positif

maupun negatif) yang secara keseluruhan terdapat pada topeng; warna; dan

tekstur.

Atribut kualitas estetik yang juga tercapai pada pengorganisasian media

estetik tersebut adalah kesatuan, keteraturan, dan keragaman. Atribut tersebut

dicapai dengan menciptakan keseimbangan, keselarasan, kesebandingan, irama,

dan kevariasian lewat penataan media estetik tersebut. Perulangan pada ukiran

ornamen merupakan irama yang menuju kepada keteraturan, warna-warna yang


selaras yang ditata sedemikian rupa menunjukkan keberagaman, dan keseluruhan

tata susun baik bentuk wajah maupun mahkota yang juga merupakan wujud

tercapainya kualitas kesatuan.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan dalam skripsi ini adalah

kepada beberapa pelaku pertunjukan kesenian tradisional seperti Mochammad

Soleh Adi Pramono dan rekan-rekan di Padepokan Seni Mangun Dharmo,

maupun masyarakat pendukung kesenian tradisional agar tidak henti-hentinya

menghidupkan kesenian tradisional, demi terciptanya langkah pembangunan yang

tidak lepas dari pentingnya memiliki budaya sendiri.

Belajar dari Lakon Lahire Panji, hendaknya pemimpin dan rakyat

berupaya untuk selalu menjaga kelestarian budaya bangsa, mengamalkan nilai

pengalaman estetik yang terdapat di dalamnya dengan selalu meluhurkan moral

pribadi masing-masing. Kekayaan yang tersirat itulah kiranya sebagai penopang

yang mampu membuat semua warga Nusantara manuggal dalam membendung

pengaruh buruk bagi dirinya dalam langkah pembangunan menuju masa depan

yang lebih baik.


DAFTAR RUJUKAN

Arikunto. S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:


Rineka Cipta.
Arikunto. S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (cetakan ke-
13). Jakarta: Rineka Cipta.
Alfian, M. 2006. Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Sejarah: Keberadaan Musik
Keroncong di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Sejarah
dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 17-18 Mei
2006.
Bastomi, Suwaji, 1986, Seni Kriya Apresiasi dan Perkembangannya: Semarang
IKIP Semarang Press.
Dawan, Lanang. 2010. Kerajaan Jenggala. (Online), (http://www.sejarah-puri-
pemecutan.blogspot.com/2010/01/kerajaan-jenggala.html), diakses 30 Juli
2012.
Darmaprawira, W.A. Sulasmi. 2002. Warna: Teori dan Kreativitas
Penggunaannya (edisi ke-2). Bandung: ITB.
Estuvitasari, D.O. 2008. Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Wayang Topeng
Malang Lakon Panji-Reni karya Mochammad Soleh Adipramono dari
Padepokan Seni Mangundarmo Tumpang-Malang. Skripsi tidak
diterbitkan. Malang: Pps UM.
Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hidajat, R. 2004. Wayang Topeng Malang di Dusun Kedungmonggo, Kajian
Strukturalisme Simbolik Pertunjukan Tradisional di Malang. Surakarta:
Thesis S-2 STSI Surakarta (tidak diterbitkan).
Hidayat, Robby. 2005. Wawasan Seni Tari, Pengetahuan Praktis Bagi Guru Tari.
Malang: Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
Indrawati, Lilik. 1992/1993. Sruktur Seni 1 (P. Setjoatmodjo, Ed). Malang: OPF
IKIP Malang.
Indrawati, Lilik. 2004. Nirmana (Organisasi Visual). Malang: Jurusan Seni dan
Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
Koentjaraningrat. 1982. (cetakan 9). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: PT Gramedia.
Kusmayati, H. (Ed.). 2006. Fungsi Seni Pertunjukan bagi Pembangunan Moral
Bangsa. Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema
Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.
Marcuse, H. 1970. Cinta dan Peradaban. Terjemahan Baehaqie. 2004.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, J. Lexy. 1990. Metode Penelitian Kualitatif (cetkan ke-2). Bandung: CV
Remaja Rosda Karya.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan ke-22).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan ke-24).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Murgiyanto, S. & Munardi A.M. 1979/1980. Topeng Malang. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Depdikbud-Jakarta.
Murgiyanto, S. 1982/1983. Pertunjukan Topeng di Jawa Majalah Analisis
Kebudayaan. Th. III Nomor 2 1982/83. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Murtihadi. 1982. Dasar-Dasar Desain Untuk SMIK. Jakarta: Tema Baru.
Pramono, K.S.A. 2004. Paseban: Cikal-bakalipun Kitha Malang Malang (S.
Noersya, ed). Malang: Sava Media & Padepokan Sani Mangun Dharma.
Patilima, H. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Perwitasari, H.M. 2012. Rias Fantasi Tokoh Raja dalam Cerita Rapunzel pada
Pergelaran Tata Rias Fairy Tales of Fantasy. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta. (Online),
(http://www.eprints.uny.ac.id/1989/1/Proyek%20Akhir.pdf), diakses 30
Juli 2012.
Sanyoto, S.E. 2009. Nirmana (Dasar-dasar Seni dan Desain). Yogyakarta:
Jalasutra.
Sargent, Walter. 1964. The Enjoyment and Use of Color. New York: Dover Publ.
Inc.
Sedyawati, E. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Sedyawati, E. 1984. Tari, Tinjaun dari Beberapa Segi. Jakarta: Pustka Jaya.
Sujono, dkk . 2003. Seni Pertunjukan Tradisional. Nilai, Fungsi dan
Tantangannya. (Online), (http://www.tembi.net/id/news/bale-
dokumentasi-perpustakaan/seni-pertunjukan-tradisional--nilai--fungsi-dan-
tantangannya-2911.html), diakses 30 Juli 2012.
Soemanto, 2001. Bakdi. Jagat Teater. Yogyakarta: Madia Pressindo.
Sunaryana, J. 2002. Wayang Golek Sunda; Kajian Estetik Rupa Tokoh Golek.
Bandung: Kiblat.
Suryani, E.N.S. 2012. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sutopo,HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta : UNS Press.
Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa (Kumpulan Istilah Seni Rupa). Yogyakarta:
Kanisius anggota IKKAPI.
Timoer, S. 1979/80. Wayang Topeng Dhalang Jawa Timur, Jakarta: Proyek
Sasana Budaya Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Timoer, S. 1989. Asal-usul dan Identitas Pertunjukan Wayang Topeng di Jawa
Timur. Makalah disajikan dalam Temu Budaya di Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, 27-28 Februari
1989.
Utomo, P.W. 2008. Topeng Malangan: Simbol Pertarungan Berbagai Identitas,
(Online), (http://www.averroes.or.id/researh/topeng-malangan-simbol-
pertarungan-berbagai-identitas-html), diakses 13 Februari 2010.
Waluyo, H.J. 2003. Drama Teori dan pengajarannya. Yogyakarta: Hanandita
Graha Widya.
Wibisana, B. & Herawati, N. 2010. Teater Rakyat Jawa (N.Y. Eti, ed). Klaten: PT
Intan Pariwara.
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Aswin Pratama

NIM : 105251481024

Jurusan/ Program Studi : Seni dan Desain/ Pendidikan Seni Rupa

Fakultas/ Jenjang Pendidikan : Sastra/ S-1

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar

karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihkan tulisan atau pikiran orang

lain yang saya akui sebagai hasil tulisan saya sendiri. Apabila di kemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia

menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Malang, 29 Agustus 2012

Yang membuat pernyataan,

Aswin Pratama
LAMPIRAN

1. Wawancara I
Responden: Mochammad Soleh Adi Pramono (pencipta naskah)

17 Februari 2011, di teras rumah Wates (kediaman sementara Pak Soleh


waktu itu).

Secara umum siapa sajakah lakon dalam cerita Panji ?


Secara umum terdapat beberapa kerajaan dan tokoh dalam cerita Panji antara lain;
Kerajaan Jenggala dengan tokoh Prabu Lembu Amiluhur dan Raden Panji Asmara
Bangun; Kerajaan Daha dengan tokoh Lembu Amisesa, Gunung Sari, dan Dewi
Sekartaji; serta Kerajaan Kediri dengan tokoh Pambelah, Pamecut, Patih
Kudamawarsa, Lembu Pati. Sementara itu terdapat beberapa tokoh antagonis
seperti Klana Sabrang, Bapang, dan Wadyabala.

Apakah ada maksud tertentu dari Anda lewat lakon ini terkait era sekarang?
Lakon ini, Lakon lahire panji menceritakan segala permasalahan yang terjadi di
Jenggala dan Keling (Hindustan). Peristiwa-peristiwa mengamuknya alam yang
terjadi di kedua negara tersebut merupakan satu bentuk bahwa manusia sudah
tidak lagi peduli dengan tatanan alam. Segala musibah tersebut merupakan tanda-
tanda atau gejala bahwa akan turunnya sebuah ksatria (pemimpin) yang akan
mengembalikan segala keselarasan jagad (memayu hayuning bawana). Pertalian
darah dari kedua kerajaan tadi, alias Amiluhur dan Sakyaningrat, yang nantinya
merupakan cikal bakal lahirnya Panji Asmarabangun . Tidak bisa dipungkiri,
bahwa sekarang orang itu gampang panas, terbukti kan. Niatnya berdemo, tapi
malah ruwet. Bentrokan ujung-ujungnya. Nah saya kepingin juga, tapi tentunya
dengan cara yang positif. Saya pikir, sebuah kacamata atau cara yang benar-benar
netral untuk kondisi sekarang adalah dengan seni. Maka jadilah saya berdalang
lakon ini.

Adakah semacam lelucon, teka-teki atau hal yang mengarah kepada permainan
suasana hati penonton pada adegan yang sedang berlangsung?
O, ada. Jati Pitutur pitutur jati itu kan dewa to sebenarnya. Pas Amiluhur selesai
mencabut Panji Biru, itu saya berhenti sebentar. Nah, beberapa penonton ada yang
diam, ada yang menyeletuk: ―waduh buyar iki ceritane‖. Pokoknya niatnya mau
melihat respon penonton. Kalau dipikir kan benar, kalau Amiluhur mati lalu
bagaimana Sakyaningrat atau Setyawati nantinya. Akhirnya saya lanjutkan lagi.
Ternyata Sakyaningrat benar-benar melayu menghampiri Amiluhur yang sudah
tak berdaya. Dan ternyata Amiluhur hanya pura-pura mati. Sebenarnya kisah Pak
Sumitra waktu di pementasan acara Kirab tahun 2007, itu tidak ada, di naskah kan
juga tidak ada. Tapi di Sidoarjo saya tambahkan. Memang sekedar improv saja
sih. Tapi kan berhubungan dengan usahanya Amiluhur. Amiluhur saja kalo tidak
bisa berbahasa Hindustan maka otomatis kesulitan kan? Ya sekalian, kedua
adiknya juga belajar pada Pak Sumantri. Ini langkah rasional di sini. Pada adegan
terakhir saat Panji Asmarabangun lahir sebenarnya kan saya juga sekaligus
menghantarkan Ki Bromono untuk mempertunjukkan lakon Daupe Dewi Sri.
Sebenarnya niatnya begitu tok. Cuma Jati Pitutur yang ngomong. Nah mancah itu
maksudnya sebuah keadaan cacat karena perbuatan atau sikap seperti itu.
Misalnya, saya nyentak anak saya, seorang Ibu memarah anaknya karena sikap
anaknya yang ndak punya norma, ngomong sama orang tua dengan kata kasar
atau sebagainya. Lha, semua itu seharusnya diruwat. Makanya ada istilah
ruwatan. Ya kalo itu kan penonton sebagian sudah tahu bahwa yang selanjutnya
pentas yaitu, guru saya, Ki Bromono. Jati Pitutur itu Cuma menghantarkan. Hehe..

27 Januari 2012 10:23 wib (Padepokan Seni Mangun Dharma)

Secara singkat bagaimana sinopsis lakon lahire panji?


Sebenarnya dalam lakon lahire raden panji itu bercerita tentang Raja Airlangga
yang memiliki lima orang anak yaitu Dyah Kilisuci, Dewakusuma, Amijaya,
Pengarang, dan Merdadu. Setelah Raja Airlangga wafat, Dyah Kilisuci selaku
anak sulung sekaligus penerus tahta kerajaan, tidak ingin menjadi raja dan
memilih untuk menjadi Biksuni. Tugas mulia tersebut akhirnya diamanahkan
kepada Dewakusuma, yang bergelar Prabu Lembu Amiluhur. Setelah menjadi
Raja, Prabu Lembu Amiluhur memiliki beberapa istri. Namun Dyah Kilisuci
berkata kepada Prabu Lembu Amiluhur bahwa ia tidak akan mendapatkan
keturunan penerus tahta kerajaan jika hanya dari istri-istrinya tersebut. Dyah
Kilisuci meminta Sang Prabu untuk ikut dalam sayembara besar di negeri jauh
bernama Keling (Kalingga). Isi sayembara tersebut adalah barang siapa yang bisa
mencabut Panji Biru yang menancap di bumi Kalingga maka ia akan mendapatkan
seorang putri Raja Kalingga yang cantik jelita bernama Dewi Sakyaningrat.
Karena letak kerajaan Kalingga yang jauh maka Prabu Lembu Amiluhur dibantu
oleh Jati Pitutur dan Pitutur Jati, dewa yang pernah bersemayam di tempat
peristirahatan terakhir Raja Airlangga. Dengan bantuan keduanya Prabu Lembu
Amiluhur berhasil menginjakkan kaki di Kalingga. Dewi Sakyaningrat yang
cantik jelita ternyata telah menaruh hati pada Prabu Amiluhur saat pertama kali
melihatnya di Kalingga. Singkat cerita, dengan bantuan kedua Dewa itulah Prabu
Amiluhur pun memenangi sayembara tersebut dan menikah dengan Dewi
Sakyaningrat. Dari pernikahan tersebut lahirlah Inu Kertapati atau Panji
Asmarabangun.

8 agustus 2012 15:43 WIB (Padepokan Seni Mangun Dharma)

Secara berurutan adegan dalam lakon lahire panji dibagi ke dalam beberapa
adegan, yaitu: Jejer Kerajaan Jenggala, Bubar Kedaton, Adegan Gunung
Jambangan, Jejer Negara Keling, Adegan Cabut Panji Biru, Adegan Samudera
Hindia, dan terakhir Adegan kodok dengan Prabu Amiluhur. Bisakah Bapak
menceritakan secara detail cerita yang ada pada tiap adegan tersebut?
Alur cerita lakon lahire Panji menurut konvensi lakon adalah sebagai
berikut: pertama, yaitu jejer pertama, Jejer Kerajaan Jenggala atau jejer kerajaan
jawa yang meliputi Kediri, Urawan dan Singosari. Pada jejer ini diceritakan
bahwa Dyah Kilisuci datang ke Jenggala dengan maksud memberitahukan bahwa
ia menerima wangsit dari Dewa bahwa akan datang kesatria utama yang akan
mngendalikan bencana yang ada di Jenggala. Namun pembicaraan ini harus
dikemas dengan kehati-hatian agar tidak menyinggung ketiga istri Prabu
Amiluhur berkaitan dengan wiji utama yang ternyata lahir lewat sambung darah
Amiluhur dengan Sakyanngrat putri dari Hindustan. Menurut kebiasaan kerajaan
dahulu akan adanya cross exogamy (perkawinan antar kerabat, agar darah biru
tidak mengalir ke luar kerajaan), maka Dyah Kilisuci juga mengajak ketiga adik
Amiluhur agar hadir dalam pasewakan guna membahas maksud tersebut. Setelah
itu Dyah Kilisuci meminta restu kepada ketiga Putri (praweswari)Amiluhur agar
menerima dengan legawa dhawuh dewa tersebut. Di sinilah letak adegan Bubar
Kedaton atau Bedol Kedaton. Laju dilanjutkan dengan Adegan Gapuran. Dalam
adegan ini diceritakan bahwa Raja Amiluhur bersemedi bersama Dyah Kilisuci
dan ketiga adiknya agar maksud sehubungan dhawuh dewa tersebut bisa
terlaksana. Sesudah bersemedi Dyah Kilisucimenyarankan amiluhur untuk
memnta restu dari Almarhum Raja Airlangga di Gunung Jambangan. Dan ternyata
di sanalah ada jalan untuk menuju maksud tersebut, yaitu Jati Pitutur dan Pitutur
Jati. Tradisi berziarah atau nyungkem kepada orang yang sudah meninggal
sebenarnya termasuk dalam panca darma kehidupan orang Jawa, yaitu Bakti
kepada Tuhan YME; bakti kepada orang tua dan mertua, termasuk yang sudah
tiada; bakti kepada negara; bakti kepada saudara tua (sekandung); bakti susila
(semua makhluk ciptaan Tuhan YME). Jika mempunya maksud baik dengan
berziarah meminta restu misalnya, pasti akan dibalas dengan kebaikan juga.
Menurut orang Jawa dahulu jika pada hari Senin yang turun adalah 4 dewa, Selasa
3 dewa, Rabu 7 dewa, Kamis 8 dewa, Jum‘at 6 dewa, Sabtu 9 dewa, dan Minggu
5 dewa. Maka orang dahulu akan menyalakan dupa sebanyak jumlah di hari di
mana ia menyalakan dupa tersebut. kalo senin berarti 4 batang dupa dan
seterusnya. Sebelum bersemedi manusia itu disarankan untuk mencari keindahan,
makanya ada istilah manungso nglindung poro. Mencari kindahan tersebut seperti
dengan menyalakan lampu-lampu taman, lampu gantungan, lampu duduk dan
lampu monyet. Lampu monyet itu ya lampu monyet, bentuk monyet. Selanjutnya
yang bersemedi melihat bunga (nungguk), jika bunga yang dilihat tersebut mekar
maka akan datang ketentraman dan jika yang dilihat itu layu maka akan datang
musibah. Lalu yang akan bersemedi diwajibkan untuk melihat kolam ikan lalu
terjun ke dalamnya untuk wudlu, membersihkan diri menuju sangkar pamujan.
―Mengapa kita membutuhkan keindahan? Karena keindahan itu sendiri dekat
dengan Gusti. Manusia harus dalam hening dan benar-benar bersih hatinya untuk
menghadap dan mengharap pertolongan (wasilah) Tuhan‖. Hal ini berlaku bagi
siapa saja dalam tata pemerintahan dahulu. Keindahan berarti warga negara juga
telah mengutamakan hidup berdasar Tuhan YME. Karena Tuha itu adalah
keindahan itu sendiri. Nah, berarti menyerempet juga ke sila ke-1 Pancasila. Lalu
lanjut ke Adegan Awean. Dalam adegan ini seluruh punggawa yang akan
mengiringi raja dan kerabat serta yang tidak mengiringi dikumpulkan di alun-alun,
ditempat tersebut diumumkan Raja bahwa negara akan dalam keadaan suwung
atau sementara kosong sehubungan dengan maksud raja menuju tanah Hindustan.
Maka prajurit disuruh berjaga dengan berbaris enjer pada siang hari dan berbaris
mendem pada malam hari. Nah di sini saya coba menghubungkan dengan kota
Malang. Di mulai sejak keluarnya Raja menuju daerah Penjagalan, lalu ke utara
daerah meubel (Kampung Arab), lalu ke kanan ke daerah Pecinan, berlanjut ke
utara lagi, yaitu Klojen Lodhok dan Klojen Templek, berlanjut ke Oro-Oro Ombo,
melewati desa Bulak, Cikrak, Bunut, dan Karang Keciput. Nah dulu Alun-Alun
Rampal itu bakalnya landasan terbang pada jaman Jepang, Mas. Lanjut lagi ya,
yaitu Adegan Grebeg Jawa. Gambaran ringkasnya seluruh prajurit yang
mengiringi mengantarkan Prabu Amiluhur, Prabu Amijaya, dan Prabu Mengarang
ke tapal batas Kerajaan Jenggala. Ini terdapat pada kalmat kuto wilangun ning
raja jenggala. Yang kembali ke kerajaan jenggala hanya Prabu Merdadu bersama
seluruh prajurit. Lalu lanjut menuju adegan selanjutnya yaitu Adegan Gunung
Jambangan. Ceritanya di Gunung Jambangan terdapat sebuah Pertapaan
Jambangan, nah di situ ada makam yang tidak lain tidak bkan adalah makam Raja
Airlangga yang bergelar Sri Gentayu. Anehnya ketika teman saya menyaksikan
pertunjukan lakon ini, dia menangis dan beberapa waktu kemudian langsung
menuju gunung jambangan. Ternyata di sana itu memang ada makamnya mbah
siapa itu saya lupa (menurut rakyat desa jambangan). Sekarang Jambangn itu
nama desa di Dampit, Mas. Kembali ke adegan gunung jambangan tadi, ceritanya
di sana ada punakawannya Batara Wisnu, yaitu Jati Pitutur dan Pitutur Jati.
Mereka diberi tugas oleh batara guru untuk mencari momongannya di dunia yang
menitis. Jati Pitutur dan Pitutur Jati menjelma sebagai manusia dengan
membersihkan pasarean di gunung jambangan tersebut. Karena saking
bingungnya mencari momongannya maka mereka melemparkan Panji Biru hingga
menancap d tanah hindustan. Kelak barang siapa yang bisa memperoleh Panji
Biru tersebut, maka ia adalah jalan untuk menemukan momongan mereka
tersebut. lalu rombongan Amiluhur, Amijaya, dan Mengarang tiba dengan sedih
karena harus menunaikan dawuhnya dewa, sedangkan mau ke Keling saja tidak
tahu harus dengan cara apa. Setelah Jati Pitutur dan Pitutur Jati tahu bahwa
amluhur adalah anak dari orang yang mereka bersihkan kuburannya maka Jati
Pitutur dan Pitutur Jati ingin membantu Amiluhur. Maka amiluhur diberi mustika
yang namanya Wungkal Bener, sejenis ali-ali (cincin) yang dipakai di jempol
kaki. Maka dengan sekejap mereka akan sampai di Keling (Hindustan). Jati
Pitutur dan Pitutur Jati adalah jawaban dari do‘a dan sungkem tadi. Lalu
Amiluhur memakai cincin tersebut, dan kedua adiknya dirangkul dan
wuuusssssshh...... masuklah ke Adegan Jalan Menyeberang Laut Utara. Jadi
jaman dulu itu orang Jawa percaya bahwa segala usaha yang ditempuh itu tidak
selalu berlandaskan rasional. Kadang untuk maksud tertentu ada sisi irasionalnya.
Dalam konsep hidup orang jawa ada wisma, curiga (mustika), turangga
(kendaraan), kukila (burung), dan wanita (yaaa.... kan kita perlu kawin, Mas.
Haha..). Kalau saya misalnya, punya burung sendiri berdasarkan kelahiran saya,
yaitu burung gagak. Tapi kan saya takut melihara gagak, ya terkait persepsi buruk
tentang gagak itu sendiri kan. Dan untung dewa saya Wisnu. Dan itu masuk wiji
tengah. Biasanya orang dengan wiji tengah itu cocoknya bertani, ya seperti saya
ini. Namun, meskipun saya berkecimpung di seni, saya masih punya kebon di
belakang kok. Meskipun sekarang banyak yang mati tanamannya. Hahaha..jadi
orang dulu itu sudah punya pedoman arah dan karier yang cocok buat anak
cucunya. Apabila dipaksakan melenceng dari arah tersebut pun nanti kembalinya
akan kesana-sana lagi, paling tidak merasakan. Karena hidup itu sendiri adalah
seperti Cakra Manggilingan, terus menerus berputar. Hidup maju atau hidup
mundur pun bisa berarti sama, ketemu juga pangkal dan ujungnya. Nah itu
filosofinya terkait sisi irasional tadi, yaitu mustika yang diberkan oleh Jati Pitutur
dan Pitutur Jati yang namanya Wungkal Bener. Sudah ya? Lalu masuk ke Adegan
Di Tepi Pantai Keling. Dalam sekejap Amiluhur telah sampai di tanah Hindustan.
Di pesisir negera Keling itulah Amluhur mencari orang Jawa sekaligus guru yang
bisa mengajarinya bahasa Hindustan. Akhirnya dia menemukan Sumitra. Dari Pak
Sumitra inilah Amiluhur belajar bahasa Hindustan dan mendapatkan kabar tentang
adanya wabah penyakit yang tiada obatnya, dikarenakan adanya Panji Biru yang
menancap di alun-alun Negara Keling. Makanya untuk hal tersebut diadakan
sayembara. Barang siapa yang bisa mencabut Panji Biru tersebut maka akan
mendapatkan hadiah seorang Putri Raja. Sumitra tidak menyebutkan nama dari
Putri tersebut dikarenakan a hanya seorang nelayan pesisir yang tidak begitu
mengerti soal pemerintahan. Adegan Negara Keling sekarang. Diceritakan bahwa
raja Hindustan Klana Kalingga Baya dihadap oleh putrinya Sakyaningrat.
Sakyaningrat menangis seiring lamaran yang terus menerus datang dari beberapa
negara unuk meminangnya, terlebih ia menangis dikarenakan wabah penyakit
yang melanda Keling tak kunjung usai. Maka raja segera memerintahkan Patih
untuk segera memulai sayembara. Sementara raja-raja sudah banyak yang datang.
Lalu semua raja tersebut dikumpulkan di suatu tempat bernama Danaraja, di sana
juga diumumkan bahwa Raja dan Putri juga akan menyaksikan jalannya
sayembara tersebut. Terkait pagebluk di Keling maupun Jenggala, dari aspek
medis, sebuah kekuatan yang bisa diambil dari sini adalah bahwa segala penyakit
yang diciptakan itu pasti ada obatnya. Kita harus terus berusaha menjalani hidup
yang ibaratnya cakramanggilingan tadi. Kemudian nilai lain yang bisa diambil
adalah sikap sabar, rela, menerima, ngalah, sumeh (enak terhadap siapa saja), dan
terakhir legawa (menerima apapun keputusan yang ada). Maka ketika Raja
memberitahu Sakyanngrat bahwa ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi atau
siapa yang berhasil mencabut panji biru dan mempersunting dirinya, putri
Sakyaningrat hanya menjawab: ―Njjih, saya pasrah, Bapak‖. Kemudian masuk ke
dalam adegan kunci yaitu adegan Sayembara Cabut Panji Biru, ringkasnya
semua raja yang ikut tdak ada yang berhasil, melihat hal tersebut Amiluhur
menjadi ciut nyalinya. Raja-raja yang gagah perkasa saja tidak ada yang berhasil,
apalagi Amiluhur yang kurus seperti tiada daya. Badannya kurus karena sering
bertapa. Maka amiluhur pun ingat pesan Jati Pitutur dan Pitutur Jati, jika ia
menemukan kesukaran yang tidak bisa diatasi, maka injaklah tanah (bumi) maka
Jati Pitutur dan Pitutur Jati akan datang membantu. Dalam sekejap Jati Pitutur dan
Pitutur Jati sudah berada di dekat Amiluhur. Amiluhur lalu memasuki arena
seraya memperkenalkan diri dan niatnya untuk meminang putri. Semua raja
tertawa terbahak-bahak. Maka saat Amiluhur akan mencabut panji biru tersebut
berbunyilah gendhing kalaganjer. Gendhing Kalaganjer menggambarkan
keheningan dan keagungan. Dengan bantuan Jati Pitutur dan Pitutur Jati Amiluhur
berhasil mencabut panji biru. Sesuatu yang gaib deiselesaikan secara gaib pula,
hal ini misalnya bisa dilihat pada santet atau teluh dan sebagainya. Namun
Amiluhur menyadari bahwa keberhasilannya merupakan kehendak dewata Agung.
Ia tidak takabur dan tamak. Akhirnya raja merestui amiluhur untuk menjadi
menantunya. Namun Klana mancanegara yang lain tidak terima, mereka berpikir
karena Amiluhur merupakan peserta terakhir, maka Amiluhur hanya tinggal
menuntaskan pekerjaan berat para rja sebelumnya dengan mudah. Karena mereka
juga menginginkan sang putri maka mereka menantang Amiluhur dengan cara
laki-laki. Amiluhur yang semula agak gentar dikuatkan oleh Jati Pitutur dan
Pitutur Jati. Lawanlah! Ada kami. Maka dalam sekejap Jati Pitutur dan Pitutur Jati
menciptakan raksasa dari bayangan masing-masing raja tersebut. maka selesailah
perkara yang sebelumnya ditakutkan Amiluhur. Atas restu Raja Klana Kalingga
Baya, Amiluhur dan sakyaningrat mendapatkan kehormatan untuk tinggal di
Gedong Kuning, seperti sebuah tempat istimewa di kalangan keraton Jogjakarta.
Gedong Kuning merupakan tempat kediaman raja dan tempat dipindahkannya
panji biru dari alun-alun. Jati Pitutur dan Pitutur Jati yang menyadari akan sesuatu
yang aneh terkait Amiluhur, panji biru dan momongan yang mereka cari,
menyadari bahwa mereka telah sedikit menemukan titik terang atau jalan untuk
menemukan momongan mereka. Namun hal tersebut tidak mereka ungkapkan.
Jati Pitutur dan Pitutur Jati hilang dari pandangan Amiluhur dan kerabatnya. Nah
sikap rendah diri amiluhur tersebut patut ditiru. Makanya ada kalimat ngono yo
ngono, ning ojo ngono. Maksudnya setiap keberhasilan dari setiap usaha pasti ada
sesuatu di baliknya. Seperti kekuatan yang dimiliki Amiluhur, itu hanya pembantu
untuk menemukan jalan. Smeua itu Dewata atau Tuhan yang berkehendak. Lalu
sekitar beberapa bulan sejak berakhirnya sayembara tersebut penyakit yang
melanda Keling pun berangsur-angsur hilang. Rakyat bersuka cita. Amiluhur
menyampaikan niatnya untuk memboyong Sakyaningrat ke tanah Jawa. Ia
menyampaikan kepada rakyat bahwa ia juga harus mengurus negara terkait
darmanya sebagai seorang ksatria. Rakyat menangis, Keling seolah tak berdaya
menahan keprgian Sakyaningrat. Namun yang terjadi terjadilah. Segenap warga
Keling berlapang dada menghormati keputusan Amiluhur. Maka dibuatkanlah
rombongan Amiluhur sebuah perahu (kapal) terbesar pada saat itu, perahu terbaik
yang dibuat oleh bangsa Keling. Dalam perjalanan di atas perahu tersebut,
Amiluhur mengajari Sakyaningrat segala hal tentang Jawa. Dimulai dari bahasa
dan sebagainya. Agar apa. Biar Sakyaningrat nantinya tidak kaget terhadap segala
sesuatu yang baru yang akan dijalaninya di tanah Jawa. Sesuai dengan slogan desa
mawa cara, gendhing mawa pathet, negara mawa wangunan. Di mana bumi
dipijak, disitu langit dijunjung. Saat Adegan Jalan Perahu, sakyaningrat melihat
sebuah sinar yang muncul di pesisir (hutan) Kahuripan. Ia meminta sang suami
untuk menepi. Sakyaningrat penasaran ―cahaya apa itu?‖. Maka menepilah
rombongan tersebut. Saat mendekati asal cahaya tersebut, Amiluhur mendapati
bahwa cahaya tersebut berasal dari sebongkah batu, watu gilang. Amiluhur pun
langsung menendang (nyepak) batu tersebut hingga pecah. Lalu masuk ke dalam
Adegan Katak Dengan Amiluhur. Nah ternyata di dalam batu yang pecah
tersebut ada katak (cantuka). Sang katak merasa tidak senang dengan perbuatan
Amiluhur. Ia mengumpat Amiluhur. ―oooo... begitu to kelakuan seorang raja,
mengganggu dengan kasar seseorang yang sedang bertapa, apalagi yang diganggu
hanya seekor katak. Saya dengan bangsa saya sendiri tidak pernah begitu. Saya
bersumpah jika kelak saya menjadi raja bagi bangsa saya sendiri, saya tidak akan
berbuat seperti Anda (seraya menudhing Amiluhur). tak berapa lama si katak pun
hilang bersama cahaya yang menyelimutinya. Nah saat hilang tersebut tiba-tiba
Sakyaningrat merasa perutnya sakit dan ia jatuh tak berdaya. Ternyata
sakyaningrat mengandung. Mengetahui hal tersebut amiluhur senang dan berkata
kepada Amijaya maupun Mengarang jika kelak anakkku lahir harus dijodohkan
dengan anak dari saudara-saudaranya. Kembali lagi ke soal perjodohan kerabat di
awal tadi. Lalu semua pun pulang ke Jenggala. Beberapa bulan kemudian lahirlah
seorang bayi dari hubungan amiluhur dan sakyaningrat, seorang bayi laki-laki
yang diberi nama Inu, yang tak lain adalah wiji utama yang dimaksud Dyah
Kilisuci sebelumnya. Inu kertapati nama lengkapnya, yang kelak akan dikenal
sebagai Panji. Panji Asmarabangun. Pada saat Inu lahir datanglah Pitutur Jati dan
Jati Pitutur. Mereka merasa sudah menemukan momongan mereka. Mereka pun
meminta kepada Amiluhur agar kelak mereka dapat mengasuh Inu. Pada saat itu
memang titis menitis adalah hal yang sering terjadi dalam hubungan vertikal
dengan Yang di Atas. Setelah 20 hari kelahiran Panji, di Kediri lahirlah
Candrakirana yang kelak akan terlibat dalam kisah asamaranya Panji.
Candrakirana sendiri adalah anak dari Amijaya. Pada adegan ini juga diceritakan
bahwa Amiluhur melihat orang-orangan catur di hutan kahuripan tersebut. Jati
Pitutur menjelaskan bahwa mereka adalah Patih Kudanawarsa (Kahuripan-
Jenggala), Patih Jaya Badra (Kediri), Patih Jaca Kasemba (Urawan), dan Patih
Jaya Asmitha (Singosari). Tapi keempat-empatnya tidak ada dalam lakon ini, jadi
lakon ini Cuma penghantar untuk lakon selanjutnya yang ada keempat Patih
tersebut. Selesai, Mas.

Sebelumnya Bapak sekilas sudah menjelaskan tentang Kombangan Dalang, lalu


apakah maksud dari sebuah Janturan, Pocapan, Sendon, serta Girisa? Apakah
hal tersebut merupakan pengantar untuk masuk ke dalam sebuah adegan?
Kalo janturan sendiri sebenarnya prolog seorang dalang yang menggambarkan
Jejer atau kejadian dengan istana atau kerajaan sebagai latarnya. Lalu kan ada
antawacana atau upas pembicaraan atau dialog. Sendhon sendiri sebenarnya
adalah suara dalang untuk menggambarkan suatu kejadian. Misalnya untuk
berpindah dari satu pathet ke pathet yang lain itu ada sendhon. Nah pathet itu
isinya odo-odo di dalam odo-odo ada greget saut dan greget girisa contohnya.
Misalnya di greget saut tersebut ada greget saut perang dan greget saut kagok
(kaget) dan sebagainya. Ibaratnya sebuah penegasan terhadap satu kejadian. Kalau
untuk pocapan, setelah ada jejer untuk menuju ke adegan yang lain biasanya ada
pocapan. Pocapan itu semacam pemberitahuan atas perkembangan yang terjadi,
semcam penghantar juga, tapi tidak sama dengan janturan. Biasanya bisa untuk
menandai satu peristiwa penting. Pocapan biasa juga disebut percekan. Ini bisa
didendangkan bisa tidak. Hikmah dinelakang ini semua adalah sesuatu untuk
tujuan luhur, jalannya itu biasanya sulit. Tapi itulah proses agar kita terus
berusaha.

Apakah Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Lakon Lahire Panji?


Nah, jaman dulu itu kalangan raja-raja mengenal cross exogamy, artinya jangan
sampai darah biru itu mengalir keluar kerajaan. Waktu Dyah Kilisuci rawuh
(datang) ke Jenggala semuanya diminta kumpul Amiluhur, Amijaya, Mangarang
dan Merdhadhu untuk ikut hadir dalam pasewakan atau pertemuan kerabat
kerajaan. Pasewakan, dari kata ―sebok‖ yang artinya duduk. Salah satu
maksudnya sebenarnya itu tadi, saat wiji utomo lahir, kalau bisa yang dijodohkan
dengan anak-anak dari kalangan sendiri, selain masalah pagebluk (bencana) itu
tadi. Waktu Wiku Kapucangan hendak membicarakan masalah dhawuhe Dewa
ini, kilisuci berkeinginan untuk mengemas pembicaraan ini dengan hati-hati biar
ndak menyinggung ketiga permaisuri. Padukaluku, Mahadewi, Wandan, apa
darmamu? Apa baktimu buat Jenggala?Tidak usah kepentingan pribadinya dulu,
siapa yang nggak kepingin anaknya sukses, mulya, tapi tahan dulu, liat kondisi
negara. Kalo pun yang berhak jadi ya aku ini to ketimbang Amiluhur, la wong aku
anak sulung. Cuma aku perempuan, wong saya ini bisanya cuma jadi biksu. Ya
untungnya mereka bisa nrima, ―njjih, monggo, monggo‖ Ya, itu juga. Makanya
kalo kita minta itu yo mbok aturan. Jangan kayak Liku yang takut anaknya bakal
ga dadi ratu. Orang diberi rahmat Tuhan itu nggak kurang-kurang. Makanya
Kilisuci kan bilang ke Padukaliku dan semuanya termasuk Amiluhur: ―Ning pada
ngertenana beja cilakane manungsa ora kena nerak garise pesthi‖. Kalo memang
jodohnya, ya mungkin ada jalan anaknya jadi raja, kalo nggak pun ya seng penting
wes diusahakan, tapi yo ojo ngoyo. ―Yang penting sekarang, urusan negara dan
rakyat dulu‖ Kilisuci gitu.
9 Agustus 2012 20:03 WIB (Padepokan Seni Mangun Dharma)

Bagaimana latar belakang penciptaan naskah Lakon Lahire Panji?


Ooo... kalau untuk latar belakang penciptaan itu tanya ke saya seharusnya. Jadi
begini. Pada waktu itu saya bersama rektor Unmer, terus Himpunan Pemerhati
Kebudayaan akan mengadakan atau membahaslah, beberapa momen yang akan
dipertunjukkan pada waktu memperingati 1 Sura. Nah, kebetulan waktu itu saya
punya kesempatan untuk ikut andil. Acaranya antara lain kirab lalu kesenian khas
malangan. kesenian khas malangan sendiri dibagi dua waktu itu. Saya
mementaskan Topeng Malang, sedangkan Ki Bromono, guru saya mementaskan
Wayang Kulit Malangan. nah, bagi saya khususnya dan segenap civitas kesenian
pertunjukan waktu itu, berpkir bahwa inilah saat yang penting untuk mengangkat
cerita Panji. Masalahnya apa, waktu itu sedang marak-maraknya terjadi bencana
alam di beberapa daerah. Disambung pula respon yang hadir dari beberapa lapisan
masyarakat dan beberapa organisasi dengan adanya demonstrasi, pengggalangan
dana dan sebagainya. Nah, kita selaku orang seni juga berupaya bersikap juga
dengan cara kesenian. Kebetulan Pak Peni dan beberapa penyumbang dana untuk
misi ini berpikir, termasuk saya dan teman-teman pemuda yang lain, untuk
momen tersebut sekaligus dipakai untuk mensucikan Tugu Monumen Pahlawan
yang ada di depan Balai Kota sana. Nah, tugu itu ibaratnya Simpang Lima-nya
semarang di Malang. Karena memang ada simpang limanya kan? Selain sebagai
pusat pemerintahan, di Balai Kota atau di dekat tugu itu ceritanya juga ditemukan
situs Mbah Malang, yaitu dibelakang Balai Kota sendiri serta di dekat Dewan
Kesenian Malang. Maka saya berkesempatan untuk juga terlibat dalam acara
Ruwatan Bumi-nya. Waktu itu saya berpikir senang saja. Syukur masih ada dan
mungkin jarang-jarang wong gede, pejabat peduli terhadap kebudayaan. Hehe...
Untuk ruwatan Bumi saya mengambil beberapa sumber yaitu: sumber Brantas,
sumber Nagan (dekat padepkan Mas Jatikusumo di Bromo), Sumber Biru (tidak
jauh dari padepokan Mas Jatikusumo juga), lalu Banyu Urip, sumber Semeru,
Sumber Bromo, dan Kalisongo (daerah Ngrantas). Hubungannya naskah
pertunjukan yang saya buat dan ruwatan bumi tersebut ya kok kebetulan lagi tidak
terlepas dari Memayu Hayuning Bawana. Bagaimana menselaraskan dunia (alam).
Yaitu jamannya sudah masuk Kali Sengara. Nah maka bagaimana pentingnya
Panji di sini, itulah mengapa diangkat lagi. Dengan harapan mudah-mudahan
dengan lahirnya Panji lahir pula gagasan-gagasan baru yang akan menjaga tatanan
alam ini, khususnya Republik Indonesia. Pertanyaan dibenak saya sebenarnya
sebelumnya adalah kenapa seni dan budaya (khususnya Malang) kok tidak bisa
ikut dalam memecahkan permasalahan di negeri ini? Maka ketika ada kesempatan
kita masuk. Saya buatlah Lahire Panji ini. Sesulit apapun Amiluhur menempuh
jalan untuk menunaikan perintah Dewa, toh ternyata banyak bantuan
menemaninya. Sepedih apapun penderitaan saudara kita yang mengungsi di
beberapa daerah, harapan saya dengan salah satunya pentas di pasar Porong sana,
semoga mereka tidak berkecil hati. Dengan lahirnya panji semoga akan lahir pula
gagasan-gagasan baru yang akan mendamaikan dan mensejahterakan bangsa
ini.Begitu, Mas. Berselang sesudah momen itu pun, saya sudah punya misi dan
akhirnya keturutan untuk menghibur para pengungsi yang kecipratan Endhut
Blegedaba, ingat ya? Ya, lumpur yang ada di Porong sana. Kebetulan lagi Porong
kan masuk Sidoarjo atau buminya Jenggala dahulunya. Akhirnya waktu itu kita
bisa pentas di dekat pasar Porong sana, yang juga mementaskan temen-temen dari
Jember, Jombang, dan Surabaya. Niatnya selain memberikan motivasi dan
semangat, sekaligus menguatkan hati teman-teman pengungsi bahwa suatu saat
InsyaAllah akan datang solusi untuk permasalahan yang ada. Makanya semua
membawakan cerita Panji karena apa? Panji dan Topeng adalah wujud
Manunggaling Kawula karo Gusti. Ceritanya selain misalnya sukmanya Reni
yang masuk ke raganya Sekartaji, memang ceritanya jaman dulu itu dikisahkan
titis menitis itu memang terjadi, dewa menitis ke manusia seperti Panji sendiri
adalah titisan Bethara Wisnu yang nantinya akan memelihara, menjaga tatanan
dunia, memayu hayuning bawana tadi. Hidup ini, ada 2 bagian jagat kecil dan
jagat besar, nah manusia itu sebenarnya selalu mendapat petunjuk dalam dirinya,
dari Tuhan. Cuma memang dasar dan kelemahan kita sebagai manusia yang
banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tersebut kadang lupa. Makanya kita yang
kebetulan ingat mengingatkan yang lupa, dan kita yang lupa, syukur-syukur
diingatkan juga kalo kita sedang lupa, terutama saya. Bila direntangkan panjang
lebar, maka akan banyak sekali. Namun secara keseluruhan nilai yang dapat kita
ambil dari inti cerita ini adalah sesulit apa pun, jalan itu ada. Tergantung
manusianya sendiri apakah ia mau terus atau gampang berputus asa, mau dekat
atau mudah lelah dengan skenario Tuhan. Semua itu merupakan proses untuk
manusia belajar dan eling. Seperti saya ini juga harus tetap eling. Hehe.. kadang
membuat lakon itu susah-susah gampang juga. Saya memang nggak terlau
mengerti teknologi juga. Tapi kalo ngetik pake mesin ketik masih bisa, tapi asal
kelihatan juga. Makanya buku-buku itu kadang temen-temen yang saya minta
tolong nyetakno. Yah, sambil cerita-cerita ngopi, leyeh-leyeh kadang sharing.
Mbuh Buari nangdi saiki, jarang mrene, mbien sering kumpul sak Pak Sutrise
pisan. Ya gitu itu pokoknya, Mas. Nenek moyang Anda dulu itu juga yang
sumbangsih soal candi di Jawa, dadi ga ono alasan aku ga ngekeki ilmu, yo ga
nang sampean tok tapi. Hahaha.. Selain berbagi pendapat dengan teman-teman
penyunting dan padepokan biasanya soal ide saya sendiri, termasuk naskah ini.
Supri biasanya juga saya suruh baca, saya ini sudah tua, kadang mata juga tidak
begitu awas. Pri, Nyoh, wocoen sek. Atau iki ewangono padangno garise kalau
mau natah topeng. Kan ada masternya. Kadang fotocopy-an itu rada ga jelas juga
jadinya.
22 September 2012 15:49 WIB (Padepokan Seni Mangun Dharma)

Bisakah Bapak menjelaskan sekilas tentang kelima tokoh yang diangkat dalam
penelitian ini, yakni Panji Asmarabangun, Lembu Mangarang, Patih Jaya Badra,
patih Kudanawarsa, dan Patih Jaya Kasemba?
Panji Asmarabangun adalah wiji utama, anak dari Amiluhur dari Jenggala
dengan ibu Sakyaningrat dari Keling. Menjadi raja di Kediri abad ke-9
danbergelar Panji Sepuh. Pembuat Gamelan berlaras pelog. Ahli mendalang,
menari, bermain rebab dan karawitan. Kegemarannya sabung ayam. Mempunyai
40 istri boyongan dengan permaisuri Sekartaji atau Candrakirana. Pnji juga
dkenal sebagai Pahlawan kebudayaan Nusantara. Lembu Mangarang adalah
Raja Urawan, anak ketiga dari Raja Airlangga. Dalam lakon Lahire Panji Lembu
Mangarang turut menemani Lambu Amlihur dalam mendapatkan wiji utama di
tanah Hindustan yakni dalam lakon dalam lakon Umbul-umbul Gendero Panji.
Kalau Patih Jaya Badra, Patih dari Lembu Amijaya ini muncul ketika ada
serangan Prabu Klana dari Mentaut. Bersama Panji yang menyamar sebagai
Kudawaningpati, mereka berhasil mengusir bala tentara Mentaut. Jayabadra
kehidupannya dekat dengan Panji. Sering memberi informasi ketika Kediri
diserang musuh. Terkenal dengan sayembara Umbul-umbul Mojopuro.
Patih Kudanawarsa dari Kahuripan bergelar Kelaswara.Beliau adalah patihnya
Prabu Amiluhur dari kerajaan Jenggala, sekaligus Ayah dari Dewi Anggraeni
yang kelak akan terlibat kisah asmara dengan Panji Asmarabngun. Kudanawarsa
selalu tampil dalam pimpinan prajurit Jenggala. Tokoh ini berperan besar dalam
Sayembara Sodo Lanang. Patih Jaya Kasemba adalah kesayangan Lembu
Mangarang yang amat dekat dengan Gunung Sari. Sebagai Patih Urawan tokoh
ini pernah muncul dalam lakon Panji menyamar sebagai dalang Karungrungan .

2. Wawancara II
Responden: Mas Supriono (anak Mochammad Soleh Adi Pramono)

Selamat sore, Mas Supriyono. Walaupun saya baru mendapatkan legalitas terkait
penelitian saya di Padepokan ini, namun 2 tahun belakangan ini saya akui bahwa
eksistensi Anda masih saya rasakan. Itu salah satu alasan saya memilih Anda
untuk menjadi narasumber sehubungan dengan penelitian ini. Apakah Anda
mempunyai ketertarikan khusus terhadap Wayang Topeng Malang? Atau adakah
bakat dan keterampilan khusus yang membawa anda pada Wayang Topeng
Malang?
Waduh, kalo itu aku se sakjane yo seneng. Yo di sisi lain juga kebutuhan juga. La
padepokan kan ga mungkin seterusnya eong-wong iku ae. Ada saatnya nanti
regenerasi, yang muda-muda turun tangan.

Sepengetahuan saya, Anda adalah penggendang dalam pertunjukan Wayang


Topeng Malang bagi Padepokan ini. Sudah berapa lamakah Anda menjadi
penggendang? Atau ada bidang lain terkait Wayang Topeng Malang yang
sebelumnya Anda tekuni?
Kalo ngendang ga juga, la kan masnya juga liat sendiri saya dan teman-teman
juga belajar natah di belakang, karo arek-arek cilik iku. Soal penari bapak yang
paling hafal siapa penari-penarinya. Meski Cuma liat postur tubuh biasanya
bapak tau.

Bagaimana kesan-kesan selama menjadi penggendang?


Ya, menghanyutkan kisahnya. Haha.... nggak, nggak. Yo seneng tok pokoke.
Adakah sebuah jenjang disiplin ilmu yang juga membekali anda sebelum atau
sembari anda berkesenian dalam Wayang Topeng Malang ini?
Kalo saya kuliahnya di Solo (Surakarta). Juga ngambil pedalangan. Waktu itu
masih STSI Surakarta. Wong luluse bareng dosen sampean Pak Robi koq. Aku S1
Pak Robi S2.
Secara pribadi, mana yang lebih Anda senangi, menggelar atau menonton
pertunjukan Wayang Topeng Malang?
Lek aku asline lebih seneng nontoke sih. Hehe.. secara to, ga perlu repot-repot
lenggak-lenggok, ngeplaki kendang, hehe...

Pada waktu-waktu apa sajakah biasanya Anda dan Pak Soleh serta rekan-rekan
anggota Padepokan menyuguhkan pertunjukan Wayang Topeng Malang?
Kalo dulu waktu pedepokan Mangun Dharmo ikut andil dalam event di Padang
Panjang, 2003, kebetulan saya nggak ikut. Waktu itu masih kuliah. Cuma kadang
Bapak kondho, terus biasalah takon-takon kalo ada saran mungkin seng aku iso
mbantu. Kalo temu topeng se Indonesia iku aku ono, kebetulan acaranya yo dek
kene. Liane yo koyok dek Pasar Minggu, dek Jago, dek endi. Jadi nggak mestilah,
terlepas dari even-even seng biasane dieloki. Kadang untuk acara hajatan di
Tulus besar juga ada. Tapi itu kan perorangan. Ada juga yang memang keinginan
kita. Soalnya jarang ada tamu saiki seng teko untuk tanya berjama’ah soal
kebudayaan malangan, khususe. Haha.. maksute, yo wong rame teko instansi endi
ngono. Lek sampean ndelok gamelan-gamelan di panggung iku lak tek’e wong
kampung. Yo ono, anak-anake akeh sing titip. Nyantrik lah itungane.
Selain Padepokan Seni Mangun Dharmo, kelompok atau komunitas mana sajakah
yang biasanya menggelar Wayang Topeng Malang?
Ya tentunya banyak ya. Di Pakisaji ada, Glagahdowo, Pijiomno, Kedungmonggo,
Jabung mbien yo ono lek nggak salah. Akeh.
Apakah Bapak juga turut membangun komunikasi, bertukar pikiran, atau ―belajar
bersama‖ pada beberapa komunitas Wayang Topeng Malang di beberapa daerah
seperti Kedungmonggo, Pijiombo, atau daerah-daerah lain?
Yo tentunya ada. La wong mbien bapak iku dek endi lek ga d pakisaji nyantrike.
Nang Mbah Karimoen yo tau. Akeh. Begitupun mereka kalo ke sini juga dalam
rangka sama-sama membangun sebenarnya. Jadi seperti semangat bareng-
bareng ngono lho. Termasuk dosen sampean mau, Pak Robi, konco-konco
Pakiaji, terus Pak Buari seng saiki wes g nglatih tari d kene yo sek sering mrene.
Tentu ada sebuah komunikasi antar orang-orang dalam suatu komunitas tentang
sebuah lakon yang akan dipertunjukan pada sebuah kesempatan. Satu contoh
komunikasi tersebut yang sementara bisa saya lihat adalah dari latihan dengan
frekuensi tertentu. Apakah terdapat beberapa kendala berarti hingga menyebabkan
sebuah pertunjukkan Wayang Topeng Malang yang menarik tidak bisa Anda dan
kawan-kawan Padepokan Mangun Dharmo capai?
Contoh ya, kalo latihan tari biasanya ada 9 penari menarikan tari klana inggris
lah secara bareng-bareng. Itu nanti sama Bapak sdipilih yang terbaik. Jadi
proses seleksi masih ada. Tapi, ada juga biasanya seorang penari itu juga
dibebankan satu tarian atau lebih. Buat jaga-jaga. Apalagi sekarang Pak Buari
sudah ga ada, yang ngelatih otomatis Bapak sendiri. Ngerti Pak Buari se
sampean? Seng meranno Klana dek foto Kirab iko lho. Awake gede, rambute
dondrong wonge. Kalo kendala jelasnya ada. Seperti kekurangan kostum, perias,
atau penari, ataupun masalah kesehatan juga sampek kadang ada yang tiba-tiba
absen. Tapi kan biasanya ada rapat, kumpul, musyawarah. Yo nggak seng tuwek
tok. Iko wayan ambek dedengkot-dedengkote yo sering melok (rekan-rekan di
Mangun Dharmo yan masih remaja). Nah, lewat situ kadang ada saran atau
masukan dari masing-masing kepala.

Saya membaca beberapa sumber bahwa cerita Panji cukup berpengaruh dalam
perjalanan Wayang Topeng Malang. Apakah padepokan ini juga selalu
membawakan cerita Panji?
Gini, sampean kan ngambil lakon lahire panji, kenapa koq ga panji reni yang
istilahnya sudah sebagian orang tahu dan familiar. Sudah banyak dipublikasikan.
Ya itu tadi, saya sih seneng ae, soalnya kan termasuk baru juga garapan ini
(Lahire Panji) dimulai dari mungkin yang nggak biasa didengar orang. Di
internet ga ada to lakon ini? Ya karena itu. Kalo Panji secara esensi cerita
keseluruhan ya terhitung sering lah. Panji-Reni, Lahire Panji, Geger Semeru,
sembarang kalir alhamdulillah pernah.

Apakah lakon lahire panji merupakan garapan atau sebuah kreativitas bercerita
yang benar-benar dibuat oleh Pak Soleh?
Terlepas dari keberadaan lakon ini di komunitas lain yang memang saya belum
pernah dengar, bukan berarti saya berpendapat bahwa yang melahirkan ini
Bapak, jelas bukan kan. Wong ket mbien cerita panji seng sembaragkalire iku wes
ono koq. Yo ora? Hehe... jadi semua dalang itu sama sebenarnya. Mereka
meneruskan cerita sebelum-sebelumnya yang sudah ada dengan versi mereka.
Tapi tetep ada kiblate besare cerita seng diomongno mulut ke mulut iku. Jadi seng
sampean garap iki, Lakon Lahire Panji gaweane Pak Soleh, dalam artian versi
Pak Soleh. Ngunu. Kebetulan waktu iku ancene jarene arek-arek ono acara Kirab
d cedhek Tugu. Terus Bapak nggawe iku, lahire Panji. Lek soal latarbelakang
secara pribadi aku ga ngerti, iku kan ruang pribadi banget ya. Yo lek aku dadi
sampean. Muleh teko kene sak dalan-dalan kepikiran, nggatung, terus ga iso turu
mikir ide opo seng apik, kan yo mungkin ae? Wong aku dewe tau ngerasakno koq.

Terkait Lakon Lahire Panji, apa peran Anda dalam lakon tersebut? tetap
menggendang atau memerankan salah satu tokoh, misalnya?
Kalo soal peran mungkin belum begitu ya. 2007, kan lakon iki. Waktu Iku pun aku
sek sekolah maneh nerusno. Kebetulan ono rejeki ngono lho. Hehe.. tapi bapak
mesthi ngandani koq perkembangane piye. Meskipun g utuh lo ya.. saiki mungkin
dengan waktu yang agak banyak lah, bisa bantu-bantu natah, ngrawit, nari, iku
yo rejeki, rejeki waktu maksute. Lek jodoh ngko ae. Hehe...
Pernahkah secara pribadi Pak Soleh selaku Dalang menceritakan kepada Anda
bagaimana beliau menciptakan Lakon Lahire Panji tersebut?
Kalo latar belakang sepenuhnya nggak. Yo terkait iku mau, Bapak sering
bermusyawarah dengan sesama rekan di Padepokan. Misalnya misalnya
almarhum Pak Sutrisno yang dulunya membuat topeng. Termasuk yang muda-
muda. Tapi kalau untuk urusan naskah lebih sering sharing ke saya. Mungkin
karena sama sekolah dhalang. Tapi itu pun sebatas tulisan, inti ceritanya tidak
berubah. Dan lakon lahire panji ini yangsempat diketik itu. Kalo ga salah pas
Bapak manggil saya pulang untuk acara apa gitu, tapi bukan Kirab itu tadi.

Siapa sajakah tokoh yang terdapat dalam lakon Lahire Panji tersebut?
Setauku, Wiku, Amiluhur, Amijaya, Mengarang, Merdhadhu, bojo-bojone iku
(Padukaliku, Dewi, Wandan), Sakyaningrat, Raja Keling, terus klana-klana iku
seng teko luar negeri, Bancak-Doyok (Jati Pitutur dan Pitutur Jati), kodhok. Lek
patih-patihe koyok kunanawersa ambek panji kan gawe lakon selanjute. Wes iku
tok. Kalo ada beberapa tokoh tambahan pun. Itu pasti buat lakon yang sama, tapi
di pertunjukan lakon lahire panji yang lain, paling seng dek Sidoarjo iko.

Menurut Anda, adakah alasan atau tujuan tertentu yang hendak disampaikan lewat
Lakon Lahire Panji tersebut?
Menurutku, podo ae ambek Bapak sakjane. Cek wong-wong dulur awake dewe iki
survive. Para pengungsi cek iso tetap tegak endase ngedepi pagebluk iku mau.
Istilahnya begini, siapa yang tahan digepuki (secara fisik). Iku baru digepuki,
durung bencana-bencana yang lebih besar. Memang sulit jika kita sedang dilanda
musibah, saya juga bisa merasakan. Panji adalah pemimpin yang ditakdirkan
menciptakan kembali keselarasan bumi yang rusak sebelumnya, memayu hayunng
bawana tadi. Memang, Endhut Blegedaba sendiri adalah lumpur, tapi kan juga
banyak bencana yang lebih dari itu. Makanya Panji dihadirkan agar iman dan
moral masyarakat tetap utuh.
Disamping itu juga ya ajaran-ajaran Mbah-mbah mbien ya. Na lek iku ga cukup
diomongno seminggu. haha... contoh, selain topeng-topeng yang sekarang sudah
kita buat untuk dijual demi kelanjutan finansial padepokan, topeng-topeng yang
segaja dipakai untuk pertunjukan itu biasanya ada mantra-mantra dan do’a-
do’anya. Pak Sutris dulu pun harus menunggu hari kelahirannya saat pengerjaan
pertama. Ya terkait nggolek dino sembarang kalire. Mungkin lek sampean pernah
kerungu istilah piwulung kaeruh luhur di pakisaji, yo koyok ngono iku. Hal-hal
kayak gitu kan sebenarnya sudah masuk. Belum lagi masuk-masuk ke seperti apa
pilihan sunggingan, misalnya Sungging penatah Jonggrang patuk sinupit urang,
selain namanya itu ya juga do’a.Wes pokoke luas. Cuma kan ga semua orang bisa
nerima. Bisa saja dalam beberapa kacamata yang lain hal kayak gitu tidak lagi
dipandang baik. Jadi kalo bisa, sampen pada waktu menulis, juga kalau bisa pilih
susunan kalimat yang tidak menyinggung siapa pun. Toh, masing-masing kepala
kan tidak harus sama.
Bagaimana cara Pak Soleh meletakkan improvisasi ketika beliau Ndalang dalam
lakon tersebut?
Sak jane seperti biasa yo lek bapak ndalang. Sedikit banyak ada hal yang berubah
dan berbau humor opo tegang. Sak ngertiku gending kalaganjer iku. Terus tata
bahasane klana-klana luar negeri, dialoge Bancak-Doyok.

Apakah Mas Supriono bisa menceritakan sedikit riwayat hidup Bapak?


Mudah-mudahan. Soalnya nggak semuanya saya juga tahu tentang Bapak. Bapak
lahir di Wates, Poncokusumo. SD nya di Tumpang, kemudian SMP sama
(Tumpang), terus di sekolahku seng mbien iko, KONRI, tapi pas jamanku jenenge
dadi SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia). Sempet mergawe se, tapi
mek 4 tahun, Kasi Kebudayaan, Depdikbud Malang. Pokoke mari 79 melbu ISI,
njumuk seni tari, mari ngono lulus 1984. Lek soal kesenian Malangan, mbien
nyantrike yo tau nang Mbah Karimoen di Pakisaji, tapi seng pertama iku Pakdene
(Ki Tirtonoto) karo Pak Samud. Sempet dadi dosen tari dek kampuse sampean,
tapi maringono metu, jarene Bapak se, la lek ngono kan otomatis cerito se Bapak
ya, pengen total d wayang topeng, ludruk, karo jaran kepang, terutama dek
Mangun Dharmo kene. Yo ngono se lek sekolah karo nyantrike.

3. Ruang Lingkup Penelitian

NO VARIABEL SUB VARIABEL INDIKATOR METODE SUMBER


DATA
1. Latar belakang Ide garapan Ide cerita Observasi Data tertulis:
penciptaan Waktu dan Wawancara catatan
wayang Topeng tempat Dokumentasi Internet
lakon Lahire Tujuan Nara sumber:
Panji Lakon pencipta
Naskah Wayang
Tokoh Topeng
Lakon Lahire
Panji
2. Nilai estetik Atribut kualitas Kesatuan Studi Dokumen
dalam Topeng Estetik Keteraturan tentang
Malang Lakon Keragaman topeng
Lahire Panji Media estetik Garis malang di
Bentuk dan Padepokan
ruang Seni Mangun
Dharmo:
Warna dan
cahaya Buku-buku
Tekstur Internet

Organisasi Keselarasan
estetik Keseimbangan
Kesebandingan
Irama
Kevariasian

4. Lembar observasi
gambar keterangan
Padepokan seni mangun dharmo

Kunjungan warga Turen di Padepokan Seni


Mangun Dharmo

Pertunjukan di pelataran belakang panggung


Padepokan Seni Mangun Dharmo

Pertunjukan di panggung Padepokan Seni


Mangun Dharmo. Tampak duduk di antara
pengrawit Ibu Karen Elisabeth Sekar Arum,
sekarang sudah kemba.

Pak Buari, dulunya salah satu anggota


sekaligus pelatih tari Padepokan Seni Mangun
Dharmo.
Ibu Karen Elisabeth Sekar Arum, yang
dahulunya turut mengembangkan kesenian
malangan bersama Mochammad Soleh Adi
Pramono di Padepokan Seni Mangun Dharmo

Tari Grebeg Jawa yang dimainkan di lakon


lahire panji

Dialog Pitutur Jati dan Jati Pitutur Sewaktu


mencari momongannya di Gunung Jambangan.

Dialog antara Pitutur Jati-Jati Pitutur dan


Amiluhur di Gunung Jambangan.

Raja Klana Kalingga bangsa bersama putri dan


patih-patihnya dalam pertemuan membahas
Sayembara Panji Biru
Tari Klana-klana luar negeri. Ngote, Ngesar,
dan Tebar. Tarian berlangsung saat mereka
keberatan dengan keputusan Raja Keling Klana
Kalingga Bangsa

Lembu Amiluhur dan Sakyaningrat sewaktu


Amiluhur mnuruti kehendak istrinya. Adegan
terjadi di pesisir Hutan Kahuripan

Raden Panji Asmarabangun

Lembu mengarang, Adik kedua Amiluhur

Patih Jaya Badra yang menemani Lembu


Amijaya di Kediri
Patih kerajaan Urawan, Jaya Kacemba.

Patih Kudanawarsa dari Jenggala


5. Lembar dokumentasi

Hasil Reproduksi Fotografis


NASKAH DRAMATARI TOPENG MALANG
LAKON: LAHIRE PANJI
Di pagelarkan dalam rangka Peringatan hari raya 1 Sura 1940
Di Depan Kantor Balai kota Malang tanggal 27 Januari 2007.
Dening: Ki Soleh Adi Pramono.
Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang.

JANTURAN JEJER JENGGALA

Yanenggih wau pundi kang den perceko; Khidalang kondho buwono manganyut-
anyut swarane ing swargaloka, meminta sihing bethara. Arsa ambuka sungging
penatar jonggrang patuk sinupiting urang, dedasar percekaning sumbreng,
ganthaning paesan topeng dedhagane tembung WAH, EKA, ADI, RAJA, DASA,
BUWANA. Wah wadhah, eka sewiji, raja, ratu, dasa sepuluh, buwana alam kang
cinarita.

Nuju ambal warsa EHE 1940, dinten Tumpak cemengan, titisurya ke 7, wuku
Tambir, ingkel wong, mangsa kawolu, windurina kunthara Sirna cinatur prahara
bumi.

Sang Prabu Lembu Amiluhur, lenggah kursi gadhing kencana, lenggek-lenggek


koyok gambar winangunan, kairing bucu, cebol, cemani, wungkuk, kang sami
nyangking serat epok payung tunggul manik, sinawang saka paseban lir kadya
bethara dharma ngejowantah.

Ingkang marak pasewakan, kengrayi Lembu Amijaya, Lembu Pengarang, Lembu


Merdhadu, kok wantun obah pamulahe yanenggih tumapan wonten. Solahe lir
peksi berjangga lelana. Basa peksi pengarane manuk, berjangga glathik, lelana
alap-alap, tintrim sedalu kala mangkin.

Sepirata getune Sang Prabu krawuhan ingkang Raka Wiku Kilisuci king
Kapucangan ingkang tanpa pariwara, nek rinasa notok obahe guwo ponorogo,
kayak jeblos-jeblosa. Alon wijile pengendika....

Kombangan dhalang.

Yun ayuning murdanengwang, bara tan bara, ana wong ngangsu pikulan banyu,
amek geni dedamaran. Randu alas mrambat pare, wong kesot anggayuh lingtang,
nggoleki tapaking kuntul nglayang, ngenteni kambange watu item.

Prabu Amiluhur : Mangko dhihin mangko dhihin, tak waspadakna jaiting


netra, lekeering wardaya, katareng semu. Kang marak ana
ngarsaningyang adikku lembu amijaya, mengarang lan
merdhadhu. Aja kurang pamawas nggempal kasatriyanmu,
wektu dina iki ora tak piji siji-siji. Merga negara Jengala
krawuhan Kakang Mbok biku Kapucangan Dewi Kilisuci.
Lenggaha kang prayuga adi.... Nuwun nggih mboten
dados prekawis. Namung keng rayi ngaturaken sembah
bekti mugi kunjuk kang mas, kang mbok ngaturaken
sugeng.
Amijaya : keng rayi mengarang ngaturaken sugeng kang mbok.
Merdhadhu : sugeng kang mbok, ngaturaken sugeng rawuhipun, sukur
bage menawi wonten wekdal pinarak kasatriyan....
Kilisuci : Hong ilaheng, awigena, mastuti sekaring bawana
langgeng. Sepira bungahe takiyas, bengi iki, negara
jenggala mahargya tanggab warsa enggal. Pada sapatemon
karo adi-adiku. Pangabektinira ingsun trima, cinencang
ing gelung mayang, dadiya daya nur bahya, cahya nurbuat.
Pangabektiku tampanana adi... kejaba saka iku, tekaku ing
jenggala kaya enggal-enggal tumeka, karana nek
ngrungakna titir-titir, jothok gundame para tani ing
pegunungan, apa bener negara jenggala akeh cala weca,
silih mangsa, kegawa krudhaning jagat, gunung lahar,
banjir bandhang, samodro ngelepi daratan, endhut
blegedaba tumeka retuning bawana andadekna bangsa
iber-iberan kesrakat.
Jebul nek dak wespada nganggo meneping rasa,
weninging poncodriyo, ana bab-bab sing kudu di dandani,
jumbuh klawan wangsiting bethara, bakal tumurune wiji
utama, brahmono sinantriya, kang bisa nyirep prahara
bumi Nuswantara.
Amiluhur : adhuh Kang mbok wiku, gegunungane kawula jenggala.
Mboten sisib sarikma pinara sasra, dhawuh andika.
Prekawis kurdhaning alam jenggala kepireng saking
gunung penanggungan kedhadak wonten wangsiting
bethara. Kawula kedah andandosi Praja supados kiat
nampi wijiling wahyu wiji utama. Menggah blakanipun
kados pundi kang mbok...

Sendhon 8. Ana pandhita akarya wangsit


Mindha ngombang angajab ing tawang
Susuh angin ngendi nggone
Lawang galihing kangkung
Wekasan langit jaladri
Isining wuluh wung-wang
Lan gigiring punglu
Tapake kuntul nglayang
Manuk miber uluke ngungkuli langit
Kusuma njrahing tawang
Kilisuci : yo jagat sun pundi datan amrat. Boyo mirah boyo inten,
Jenengpara iku tetunggale kawula jenggala, apa
kesaguhanmu nalika kawisuda jumeneng nata?
Amiluhur : Ngruminiyaken kabetahaning kawula, tan mikir diri
pribadi, dedasar sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Kilisuci : iya bener, yayi Mahadewi, jenengpara minangka ibune
wong jenggala. Apa darmane ibu?
Mahadewi : wajib sabyantu kakung, ngenthengaken penandhange
para kawula.
Kilisuci : iya, Padukaliku, apa para ya mikir kawulamu?
Padukaliku : inggih, nderek dana driyah, dumateng pakir miskin,
yatim ingkang kedah mbetahaken panggulawenthah.
Kilisuci : e.... iya. Putri wandan.. apa prasetyamu kanggo negara
iki?
Wandan : dhuh wiku, kula niki tiyang mboten sekolah, pendamelan
kula teng pawon. Bebesan kere minggah bale. Bab
pamarentah blas kula mboten ngertos. Nanging nek
dibetahaken sinuwun sak wanci-wanci kula nggih mboten
sulaya.
Kilisuci : hem.. he hem.. ya.. ya.., dewi, liku lan wandan. Para
kabeh wis ngetokno lelabuhanmu miturut kesaguhan lan
pakaryan kang si nandhang. Jejering wanita utama, kang
sinebut prameswari ngono murakabi bot ribeting negara.
Kawruhana wangsiting bethara, pulung wiji ratu iki ora
saka sira kabeh, nanging saka putri raja hindustan.
Cethane tak suwun aja pada kabotan, garwamu kudu
mengrurah sapurnane asmara gama, asmara nala, asmara
tantra lan asmara juwita. Kalamun adikku Amiluhur, bisa
mundhut lamaking permada sila ning akrama pepatuhan
putri hindustan, mbesuk bisa ngentas penandhange kawula
jenggala, temahan nyirep kurdaning alam temah bisa
nyawijekna Nuswantara; bakal tata, titi, kerta, raharja,
hayu-rahayu salaminya.
Padukaliku : bat tobat, tak rajang-rajang kayok brambang, tak iris-iris
kayok buncis... kakang mbok, menawi ing tembe turun
kula niki dos pundi, menawi mboten dados ratu.. mangka
idam-idamane kaum ibu, anake bisa mendhem jero, mikul
duwur derajate wong tua.. hara?
Kilisuci : hem....liku.... sapa sing kepingin anake ora pingin mulya.
Ning pada ngertenana beja cilakane manungsa ora kena
nerak garise pesthi. Mrintisa sak kacang ijo, menthenga
sak kendhil bunder beja cilakane manungsa ana astane
Gusti kang gawe lelabuhan. Nek jan-jane di etung gedhene
pengurbanan, sing kudune dadi ratu jenggala rak aku. Aku
anak pembayun, ning aku mung duwe drajat biku, aku
kudu nglakoni Brahmacari... hara... pikiren. Mula kabeh
garwane adiku, mung pasrah karo sing ngukir lelabuhan.
Putri 1,2,3 : ... eng..enggih, NGGIH! Mangga..
Kilisuci : ... lha rak ngono. Iku jenenge putri utomo... balik adiku
wong bagus, miluhur. Aja wedi kangelan, enggal
sampurnakna asmara juwita, budala nang tanah indi,
adikmu mijaya, mangarang, merdhadhu kang njampang
lakumu, supaya bisa ngudari takiyas kang ruwet, nyopak
watangan putung lan ana kang nyipati alang ujurmu jrone
lelaku. Aja lali Nyungkem pasarean rama begawan Sri
Gentayu ing gunung Jambangan pernah lerenge Semeru.
Mbok menawa oleh margane kautaman, perkara negara
sawatara Ingsun lawan garwamu telu kang ngreksa.
Amiluhur : sendika kakang mbok, ayo dik derekna pun kakang, lan
para kabeh garwaningsun, sangonana teteken budi rahayu,
donga slamet, mrih enggal balik jenggala yayi...

(kairing gendhing krucil 8 irama tuk kintungan kangge ngiringi grebeg jawa)

ADEGAN GUNUNG JAMBANGAN

Pocapan : sigeg gentia kang den perceka. Ingkang wonten gunung


jambangan sak kilene gunung semeru. Duk ing nguni
sasanane raja jenggala sri gentayu. Nalika kepegatan sih
prameswari nata, putrane pada diboyong menyang gunung
kono, winarah tata keprajan, serta pangurahe hawa nafsu,
sarta darmaning kautaman. Nanging sak mangkin kari
petilasan. Sambunge kondho, ana titah asarira brahmana
loro, parab jati pitutur lan pitutur jati., mudun saka
kayangan nggoleki momongane sing mudun mercapada.
Direwangi ngayam alas, nurut terjun kepereng, terjun
keparang, mudun gunungreksa muka ketrajang
kayumandira jati. Ungker-ungker pange kayu, baris
rengket barisane kayu, giro-giro kayu sawo, panggetakan
kayu klampis, nata rikma kayu suren, luwih greng sulure
randhu alas. Buron wono pating bleber, pating pencolot,
murti cecek, sosro gantung cingakan kidang, gumbala
gajah. Joyo-joyo macan kang belang wis bejakne kang
wanthilan. Kecipuhan sang ajar kekalih nyandak gendera
panji biru kumlebetaken ping tri, wis sireping buron wono
(gending sapu renggong).
Girisa : cindhe lare- cindhe lare
Gondhok malang ndhok endhogan tole
Ndaramu lunga ngendi
Peyan poyanan-jarwalanana...
Bapak ... adhuh romo morotuwo
Ndiko kongkon jarwalanana
Reang iki peyang poyonana
Manggo kersa
Jati pitutur : emping-emping manjer kuning ketampik udhenge
gringsing Tole... pitutur jati koyok apa thole lelakone
awake dhewe nggoleki momonganmu macan putih
suroloyo, direwangi nungguk kuburan kene... yo wis akeh
sing nyantrik. Ana nganti duwe anak loro yo ra krasa. La
nangdi parane momonganmu thole!
Pitutur jati : wadhu anak... njinggleng sak rendheng gumun setahun,
man... mara tuwa, sekehe grumbul tak piyaki, sekehe
warung tak enggoki. Ndoro rajungan kepithing lurik gak
ketemu. Nek tak gagas, sing salah sing ngongkon kok.
Jati pitutur : lho, kok ngono thole!
Pitutur jati : Genah salah telak man, ngongkon nggoleki mmongane
ora didudui papan pernahe, apa arep mubeng jagat, angel
ketemu.. wis. Ngene man, rika iku turune dewa, rika
digawani tengger wujute panji biru, sing jenenge Tunggul
wulung. Iku gawe apa man, nek ora di gunakna.
Jati pitutur : toblas ayas-ayas.. iyoyo tur.. se tak sawatne panji iki,
mbesuk sapa sing nemu panji biru iki ya iku ketemune
karo bendara thole...

Greget saut 8 Ugra mangaras ka manika


Ke layu yo warsaya
Dedeg ingwang guntur tarung
Panji wulung sinukarta

Pocapan : Haieg...ingriku, yai jati pitutur ketindhih ukir galih


kalinggacara, sigra nglugas raga ngebar tinggal, matek aji
jaya kawijayanira. Daddi punang aji, gendera panji den
sawataken amblas ing tanah industan. Praptane amiluhur,
amit-amit pasang kaliman tabik kyai kula ingkang dugi..

Jati pitutur : Tur bareng mamprunge gendera, sajake ana dayoh...


Pitutur jati : dayohe telu gak memper barek momongane dhewek man
Jati pitutur : wah iya tole, ndelok tejane beda, iki sajak wingit,
Pitutur jati : sing siji iki wonge sabar, sing iki, rada kemaki, sing iki
rada kereng man.. lha sing iki kenek di utangi man !!
Jati pitutur : hus.. aja sembrana, iki satriya memba sudra thole, tak
takonane, mbok menawa dalane ketemu bendaramu....
Teja-teja sulaksana, tejane sanak kawuryan kang nembe
rawuh, Paduka poh sinten...
Pitutur jati : Ndika poh kweni nopo poh gadhung? Tepangaken kulo
poh bosok ... ha...ha ... ganthenge man ... sing loro ngguyu
... hahak
Amluhur : Hong tapak sumarah purba jatining gesang, kula pun
miluhur sak enget kula, niki pertapane kanjeng rama sri
gentayu, paduka sinten kyai, .. sembah kula..
Pitutur jati : hiya..hiya tak tampa, kenalna sing ngganteng dewe iki
asmak raden pitutur jati... lha iki gedibalku...
Jati pitutur : Tur... ja sembrana, asmaku, barang ... kapan koen dadi
raden? Raden semelehe a! Nuwun sewu gus nek anak kula
niki rada mboten patek bek...
Ami luhur : mboten menapa kyai.. tepangaken kula amiluhur puta
jenggolo, dene napa ndika bebadra ing petilasanipun
tiyang sepuh kula prabu aerlangga!!
Jati pitutur+pitutur jati bareng nyembah : adhuh gusti nyuwun ngapunten,
paduka sesembahan kula gus.. kula nderek lelampah ng
ngriki, ngiras reresik pasarean ... jebul niki pasareane gusti
sri gentayu nggih sang aerlangga raja jenggala
Miluhur : Paman... ndika niki sinten, dene asal saking pundi .. dene
kersa ngrimat pasarean.
Jati pitutur : kula niki Jati pitutur, nki yuga kula pitutur jati. Paduka
tetiga, kados nandang karuna niki wonten napa?
Amiluhur : paman negari kula risak, kathah pagebluk mayangkara.
Sedaya kawula gesangipun ajrih karana pangamuke alam.
Mula sisan damel kados pundi amrih wal bebendu, ndika
kersa ampi pasuwitan kula sekadang, ngangsu kawruh
dados cantrik paduka.
Jati pitutur : Nggih... wong urip iku darmane lung tinulung-gotong
royong nng wonen sarate.
Miluhur : Napa pitukone?
Jati pitutur : sarate: sepindah sampeyan mpun ngundang paman teng
kula, pindho kudu tata basa ngoko teng kula kekalih. Pun,
angger purun, ndika resmi dados cantrik ngriki.
Miluhur : ya ya kakang, Jati... jane ngono aku iki sedih, ngugemi
dhawuhe mbakyuku bku kapucangan, dikongkon nglakoni
rabi maneh karo wong tlatah hindustan... mangka adohe
nyabrang segara, ora ana kapal...
Jati pitutur : walah dalah, pucuk dicinta iwake teka.. nggih den, eng
niki ngeten, dina niki wonten negara keling wonten putri
juwita. Kathah ingkang ngayunaken. Mumpung dereng
kedisikan wong, pean ngrika. Kula namung mitungkas nek
klakon daup putri keling, pun lali jawane. Sebab Budaya
sing kanggenan Pulung nku mboten wonten sing nandingi
Njawaniki. Mongko satriya niku kudu: Ngrungkepi
darmane satriya. Kedah gadhah gaman cakranngrat,
Dedasar gangsal paugerar, kasanto saning jowo niki badhe
ketekan wong monco, nek titik king ramalan, Jaya ing
pakewuh, saknki mpun ngancik jaman Kaliyoga. Sing
lumadi pitungatus tahun gumanti.
Dene Jaman Kali yuga niku wonten 7 jaman pendak satus tahun humanti.
1. Jaman kala buda : jaman prihatin
2. Jaman Kala dora : Jaman mundur
3. Jaman Kaladi Wanara : jaman mokal
4. Jaman Kala Praniti : jaman mandhep
5. Jaman kala tetaka : tekane bongso monco (tionghoa, arab india) th.
1134-1236.
Jaman negara jenggala sing dilakoni niki. Mula
pun bener pean kedah sambung darah keturunan
kaling bongsa Hindustan.
Miluhur : kurang loro apa kakang
6. Jaman kala wisesa : jaman menang-menangan
7. Jaman kala wisaya : jaman klakon.

Hutu... anak putu mbenjang nemoni jaman Kali Sengsara.


Jaman saya akeh wong pinter, ning kirang prihatine, alam kaprawoso, dening
kemajuan. Mula wonten wewangson: SAK BEJA BEJANE WONG LALI, ISIH
BEJA WONG ELING LAN WASPADA.

Miluhur : kakang, kaya ginugah rasaku, bab sambunge darah Jawa


lan hindustan. Nanging apa ya klakon tumeka kana, dene
aku ora duwe kapal (baita), mangka prastawa kang teka
ing jenggala ora mendha. Sekehe Japa mantra wis ora
tumama.
Jati pitutur : hua .. ha.. ha.. pun kuwatir. Perkara nyabrang samudra,
amrih enggal dumugi negara keling, kula sukani Sesotya
ingkang nami Wungkal Bener. Ndika damel wonten driji
jempol suku. Sedulur ndika, pean rangkul, di gondheli
sing kenceng. Piweling kula mbok menawi nemu reh-bot
repot sing mboten saget ngatasi, ndika nebek bumi kalih
epek-epek asta kering. Badhe wonten pitulungan kang
sabyantu..mpun monggo ali-ali niki, pun kesupen
sumungkem pasarean keng rama. Mbok menawi enggal
kelaksanan mboyong pulunge pulo tanah jawa, tumekane
wiji satriya asarira brahmana.

Pocapan :
Haieg.. wus manjing jrone pasarean, mbesem dupa kinarya
sampurnane puja, Gya ngagem Sesotya ungkal bener ing
jempoling Suku tengen. Jumangkah suku kanan, kang
kering ngancik srondhol seprapat jam ngancik sekar
enjang kutho wilangun projo keling.
Sinigeg ingkang murwa ing kawih. Klono-klono sabrang : inggris, Prancis,
Spanyul, portugis lan walondo, kang padha nglamar dewi sekar kedatun keling
solahe lir Peksi Dhandhang rebut penclokan.

Klana Inggris: iladalah, hua haha . . . . jauh lautan kusebrangi dari daratan
englandsampai keling hndustan, tak lain aku ingin menyunting putri keling yang
cantik jelita. Apalah artinya aku jadi raja, jika tak berhasil mempersunting putri
hindustan. Wah . . . waktu pagi hari, sebelum panas Matahari, ku berangkat
sekarang juga . . . .

Klana (bapang) : aku kelana dari Prancis. Makananku kara buncis, aku kan
menangis, pa bila tiada kawin putri keling manis. Oh juwitaku, tunggulah in
kandha kelana prancis....
Klana Belandha :
Huahahaha . . . end aku raja dari belandha. Kudengar india negeri yang kaya
budaya. Lama ku mimpi ketemu putri keling, jika aku bisa kawin dengannya, ku
usung kesenian dari hindia ke belandha, ku buka temu budaya Blanda-hindia . . .
hem elok . . . aku berangkat . . .

ADEGAN NEGARA KELING.

Pocapan : Ketok peteng dhedhet negara keling-tanah hindi.


Karono meh tri doso ari ketaman pagebluk penyakit. Merga ing alun-
alun ketiban gendera panji biru saka gegana. Sang prabu kalingga
bangsa, nimbali ingkang putri, kaderekaken dayang-dayang, sinawang
lir kadyo ngorek-orek gendera.

Mocopat Megatruh.
Adhuh tuan, sakyaningrat kyan anakku
Bagaimana di lamari
Empat puluh raja agung
Dan datangnya panji-panji penyakit me-raja lela.

Raja : oh dewata agung, selamatkanlah negeriku keling, anakku


sakyaningrat, bagaimana keadaanmu sekarang?
Sakyanngrat : . . . baba . . . Sulit melukiskan peristiwa negara dan nasib hamba.
Semenjak jatuhnya panji-panji biru, menancap di halaman istana
keling, menimbulkan bencana dan wabah penyakit. Banyak kurban
penduduk peyakit yang sulit mencari obatnya. Apa yang harus
dilakukan baba . . . agar penyakit segera sirna.

Prabu kalingga: oh anakku, ibarat berlayar di samodra, mendadak tiada topan dan
badai, perahu tenggelam. Awak kapal bingung mencari hidup,
dimana sumber hidup itu sekarang, masalahnya. Oh dewa kenapa
di jadikan Raja, apabila tiada sabda Pandita ratu. Do‘a, mantra tak
dapat menjawab, segala usaha telah di usahakan. Namun wabah
terus melanda penduduk keling. Sedangkan, raja raja 40 negara
sudah melamar . . . putriku sakyaningrat.

Patih : Amit gusti raja, tiada baik disesali peristiwa ini, pabila tiada cari
jalan keluar Pepatah mengatakan, janganlah menangis pabila
mnerima kesengsaraan, sebab antara sengsara dan mulya itu
pemberianNya. Apabila raja menangis seluruh kerabat
istanasampai kawula ikut merasakan. Bukankah semua ini
pemberian dewata. Pa bila terus menangis sampai dengan
membantah pemberian dewata. Sebaliknya pabila menerima
kemulyaan janganlah tertawa keriangan,karena tawa itu
terkandhung rasa ego berlebihan, maka kita berani mencoba ada
rahasia apa panji biru itu, di cabut tiada dapat.
Raja : Patih benar . . . solusinya adalah . . . tercabutnya bendera biru itu.
Jika demikian untuk menjaga dari perebutan anakku,kin harus di
sayembarakan. Barang siapa ya ng dapat mencabut panji biru di
alun-dana aluran, dialah yang berhak menerima putriku
sakyaningrat sebagai hadiahnya.
Patih : baik gusti pamit mundur, mengumumkan sayembara.
Raja : buatkan tempat di ketinggian aku dan anakku menyaksikan

Gurisa serang: riuh rendah rakyat keling


Menyaksikan sayembara

Gegap gempita swasana negara keling. Gedhe cilik anom tuwa, rebut papan, rebut
ruang. Solahe lir dara lelawatan,penonton gumolong anut golongane, Ana kasta
waisya kumpul pada waisya, kasta brahmana kumpul padha brahmana, sudra
kumpul pada sudra. Raja ngote,ngesar,tebar Inggris,prancis,walanda pada mupu
sayembara . . .

Klana inggris : salam paduka raja keling perkenankanlah aku raja inggris
mencabutnya

Klana Prancis: hua haha . . . raja keling ,aku raja bapang dari prancis
Hua haha . . . kucoba-coba mencabut panji, panji kucabut putri kurebut . .
. tiada bisa, gagal kucabut tunggu jandhanya . . . wuah tak sanggup tua . .

Klana Belanda: hoverdom seh. . . sekarang aku raja blanda. Hanya demikian aja
nggak . . . uh. Nggak uuk nih. . .wa blaen. . .

Amiluhur: Amit ,amit ,tabik tuan agung, perkenankanlah kami mencabut kyai
Tunggul Wulung.

Sakyanngrat: Baba. . . siapakah gerangan itu baba, gimana kalau tidak dapat
mencabutnya, duh dewa mudah-2 an tuan dapat mencabutnya.

Raja : rat…rat… kenapa kamu, tadi raja gagah-perkasa tak bergeming


sedikitpun, malah tegang… tiba-tiba ada orang kurus kering tak
bertenaga gitu kok seperti berharap…
Sakyaningrat : Baba… pa bila orang itu tak berhasil, aku turut mati saja baba…
Raja : lho gimana rat… ini kan sayembara…siapapun yang berhasil harus
kau terimalah…
Ami Luhur : wahai tuanku budiman dan para peserta sayembara,
perkenankanlah hamba mencabut sekaligus menghancurkan panji
biru itu, agar penyakit sirna…
Duh mustikaning panji wulung, Nuherang nulenggang, kang Putih
mlaya rupane. Sira aja mulang wuruk sudi gawe marang aku,
ingsun lanang sejati, tuwa ingsun ketimbang gurumu, kakek
moyangmu pada kakek moyangku, ingsun srayane kyai jati
pitutur, pitutur jati, cukup semene lelabuhanmu, asalira ora ana
balika ora ana, ketiban iduku putih sida sampurna kwandamu…
Swaka : keseblak sampur sutra dewangga, panji wulung njlebut dadi awu,
bareng sirnane penyakit salah wed… Surak mboto rubuh nyarengi
gumebruking badan salirane miluhur, kaget Sakyaningrat ngadek
nyet mingkis agemanira lumojar ngrungkepi sang jaya ing
pakewuh…
Sakyaningrat : aduh… kangmas… adik terimakasih kangmas dapat
menghilangkan gendera ajaib. Penyakit sembuh kembali… namun
tiada sangka kakang meninggalkan adinda… kalau begitu apalah
guna hidup hamba… ikut bela pati… (tangan miluhur menangkap
Sakyaningrat, ternyata sang putri adalah seperti bidadari elok
rupawan… tersenyum sebenarnya dia hanya pura-pura mati)
Ami luhur : dhuh juwita, sempurnalah sudah asmara hamba, tiada juga kakang
sudi mati, pabila melihat adinda hidup sendiri… yam-yam
perjiwatan- rum rum bintarum, orang cantik marilah berbaring di
dada kiri, rambutmu kan ku belai…
(tiba-tiba jati pitutur dan pitutur muncul saling berpeluka tetapi
orang lain tiada tau).
Klana ngote, ngeser, tebar merebut sakyaningrat:
Hai sang pemenang sayembara, kami jauh-jauh datang ingin ikut
sayembara, namun dikau telah memenangkan, jika urusan wanita
sekarang aku hendak merebutnya.
Ami jaya : he wong legan golek momongan, aja ngrayang kuncane kakang
miluhur, iki adike amijaya ayonono.
Klana : kurang dihajar engkau… majulah ku patahkan lehermu.
Ami jaya : kecocotan!! (nempiling, bersama iringan krucil serang).
Pocapan : wauta… iling piwelinge jati pitutur lan pitutur jati, nek nemu reh
dikon nebak lemah ping telu. Sareng bantala dipun tebak ping
tiga, ana raseksa mbarang ngamuk ngrangsang raja 40 negara.
(40 raja kejaring kabeh pinasrahna ami luhur, mulya ical para
raseksa bayangan).
Ami luhur : gusti sang raja keling, raja raja semua telah teluk, saya serahkan
tuan.
Raja : adhuh anak, engkau berjasa terhadap Negara keeling, kini ku
serahkan putriku menjadi istrimu. Sekarang ku kawinkan, dan kini
sudah menjadi hakmu, soal 40 raja terserah kamu, sebagai ucapan
sukur, engkau akan ku nobatkan menjadi raja, sebagai
penggantiku.
Ami luhur : trima kasih ayah. Soal kedhudukan, cukup tanah jenggala. Soal
putri tuan akan kami boyong ke jawa. Dan tentang 40 raja ini
menjadi telukkan. Setiap setahun harus mennyerahkan upetinya.
Dan perkenankan pulang kembali ke masing-masing wilayah.
Raja : terimah kasih luhur amat bijaksana. Kapan ananda pulang jawa?
Miluhur : sekarang kami pamit, dan adik Sakyaningrat bersama kami.
Raja : jika begitu patih, persiapkan kapal besar ke jawa, dan dengan
pengawalan panglima keling. Anakku sakyaningrat, pergilah
bersama suamimu, sampaikan salam pada keluarga jenggala, hari
baik kami berkunjung ke jawa, mulai hari ini persekutuan india-
jawa kami mulai. Selamat jalan.
Adegan samodra hindia.
Miluhur : adikku, sakyaningrat…kupelajari bahasa jawa. Yang ini apa
namanya (sing iki apa jenenge, basa luhure, ingkang menika
naminipun… iki irung… mak cethil miluhur nguthek irungu
garwane… kang di jiwit anyauri, yang ini apa namanya… ingkang
punika janggut…)
Sakyaningrat : kang mas, wonten cahya mancorong ing gisik nika sanget ndudut
manah kula, manapa lampahe baita saget ka inggiraken ngrika
kangmas…
Miluhur : pamawase siadi ora kliru, iku tlatah alas kahuripan. Dene cahya
iku kaya cahyane wong tapa, paman nangkudha, mara ping girna
gisik kana ya paman…
Pocapan : laju lampahe perahu laju. Wis tekan gisik pinggire wana
kahuripan, bareng pada ndarat, kaget ana watu gilang mawa
cahya, angreripih pamintanira sang dewi.
Sakyaningrat : kakang mas, kula kepingin ngertos njerone sela punika, mangga
kapecaha kakang.
Amiluhur : dimas, adikku pada sumingkira sapenggalah, coba tak pecahe watu
gilang iki.
Swaka : lah ing kana ta wau, kurangane apa wong agung jenggala raja arsa
minangkani panuwunan ingkang garwa… sumurub cahya
sumunar saka njroning watu gilang, watu den sadhuk ambyar, ana
kodhok dindang sak giri suta…
Girisa : Peteng dhedhet detan sulaya,
Miring : beda laya lampah waluya…..
waluyane sang cantuka
pinanggihing jatinira……..
Kodhok : ya jagat,ya drajat,ya semat. Enak nggenku mertapa, jrone watu,
kok ana raja ora duwe susila, mangka darmane satriya ana 5
perkara :
Pracaya Gusti, Susila budi luhur, welas asih.
Kenek dadi patuladan, ucapan lan perbuatan
Karyawan, sepi ing pamrih rame ing gawe, gampange nindakna
Kartening nuswantara.
e…..janjiku karo darmaning uripku, Bongso kodhok, mbesuk nek
keturutan dadi ratu ing nuswantara, aja nganti duwe watak :
cadhok,cadhek,ila-ilane nila khonto.
Ami luhur : he,he cantuka…bisa tata jalma, ngundhomono ingsun tan darbe
susila, ora welas asih, malah koyo titah cadhok cadhek -ilane nila
khonto….dasarmu apa ?
Kodhok : Dasarku,pada padha titahe gusti,ana lumakune satra tulis hana
caraka,data sawala,padha jayanya, magabathanga.

Hana=urip ora kasat mripat,caraka=utusan goib sinebut


Nur,ka=karsa,karsane widi,data,utusan wujud nyo ta
kesunyatan,da=dat,ta=titah,dat wadahe titah,anjinge kawula
gusti—manusa(manu = hyang manu, sa = esa) manungsa nembah
marang kang anembah,Sawala= kosok balen.Sa=Sukma uripe
jiwa,Wa=Wahana,nafsu,la=cipta angen-2 dayane napsu 4. Padha
jayanya=Pada di karsakna Pangeran sinandangan
poncodriyo,duwena rasa pangrasa ora kaya titah
gegabah….sawangen apa kang tak gegem tangan kiwe iki ?
Ami luhur ; Cantuka ora perlu ngrukngokna wejangan, sing mbok gegem iku
las.
Kodhok : pira cacahe !
Ami luhur ; pitung las
Kodhok : apa maksude !
Ami luhur : anjinge ana dina 7 (soma,anggara,buda,respati,sukra,tumpak dite).
Kodhok : nek tak jupuk siji.
m. luhur : kari sad,panjinge ana agama kadewatan. Menembah dewa nem:
Kodhok : tak buang siji.
Luhur : Poncodriyo
Kodhok : tak buang maneh sisji.
Luhur : anjing keblat 4 Purwa-mapan 8ng wetan dumadi jagat wedhak
rogo Duksina –kidul-budi,Pracima –Kulon-dumadine roso,Untara-
lor dumadine sukma.
Kodhok : Kari telu
Luhur : Surya, condro lan sudama mahanani padhanging jagat
Kodhok : kari loro
Luhur : Salokane wadhah lawan isi.
Dhaleng : haieg…nglaras swara gamelan.
Kodhok : kari piro ?
Luhur : Dhuh sang cantuka.prayoginipun katetetepaken satunggal kewala
Kodok : lho apa ana ratu kawirangan ? sisan sampurnakna
Luhur : kantun eko wejangan lengggahipun wonten telenging tekat.
suraosipun mapan ing kalenggahan. Kawontenana ndunyo owah
gingsir,Bebasan donya salin salogo kang langgeng naming hyang
sukma.
Kodhok : kok sakiki nganggo basa karma, apa sababe sang prabu ?
Luhur : Sabab las satunggal sampun ical . icale las kantun paduka
piyambak pukulun batara wisnu
Kodhok : O… anakku ngger luhur…
Greget saut : serang.

Salah muna salah muni


Gambar tandna panengeranira
Sidik sudirga mencala pati
Temah baur , bebere dewane …
Swaka : kaget jenggirat kahanan jatine Kodhok dindang, koyo koyo
tititikannira, wahyu wiji utomo.
Kocap ingkang salah tampa …dikira miluhur kawon pembatang
tumuli anembah. Penampane mijaya lan mangarang, arsa nedia
nirnakna kodhok dindang. Amijaya nyandhak tutuk duwur,
mangarang nyandhak tutuk ngisor, sinuwek pada sekala ilan
kwandane kodhok,wujud batar wisnu manjing sang amiluhur.
Nglumpruk tanpa daya sang sakyaningrat…praptane jatipitutur
pitutuur jati…
Jati pitutur : we la kodhok ilang melu kelangan iki…den pada ngertosono, sang
kodhok mertopa pados penitisan…nggih niku momongan kula…
Miluhur : ora nyana babar pisan sejatine sang cantuka momongan nira iki
garuaku nglumpruk tanpa daya kakang…
Jati pitutur : …ello…den garwangu arep nglairna jabang bayi, muga muga
dadiya satriya tama. Monggo di rukti ngrika…
Jati pitutur : oh hyang ulun pada winenangin jagat, kula pingin alas kuripan niki
di dadosaken Negara…
Dhalang : jlek dados kraton endah ing warna.
Miluhur : kakang iki ana ngendi, alas mara dadi karaton. Iki momongan rika
tak dusi banyu ???
Jati pitutur : wela cilukba,hahak lo lonthong, sega golong sobo embong ,lepet
gulung saba warung, jenang dhedhek kiciran gula,doyanane mara
twa. Ondhe ondhe aku dhewe, cakar ayam dulur ipe, ayu surak-
surak ….hore,hore,………..
Pitutur jati : alas ilang gumantine kraton enggal, dinteniki mangga sineksenan
dumadine kraton kahuripan…
Ami luhur : ika kok ana pawongan catur cacahe kakang sapa…
Jati pitutur : la niki jenengih patih Kudanawarsa, dados patih ndika ing
kahuripan-jengga. Sing kalih namine patiih Jaya badra
pepatihipun rayi ndika Amijaya ing kraton kdhiri, sak mangke
nggeh pun gumelar. Ingkang tiga patih jaya kacemba, ingkang
mrangkani adimu mangarang, ing kraton Urawan inggih sampun
gumelar…Ingkang pungkasan menikah patih Jaya asmita matihi
adimu merdhadhu ing praja Singosari, sak niki nggeh pun
gumelar. Pitungkas kula, mbenjing nek putrane Kediri urawan,
singasari lahir estri, dipun jodhohkaken momongan kula…niki,la
sinten niki asmane…
Miluhur : kakang asma kinarya japa…enake sapa kakang…gandheng asal
usule saka pitulungan rika, jaya ing pakewuh ing sayimbara Panji
biru…tak paring tenget Panji Inukertapati…
Jati pitutur : gendheng lare raden niki lahire teng perjalanan…klebu janma
mancah kedahipun diruwat di tanggapaken wayang lakon rabine
wisu lawan dewi sri sumbering pangupa jiwa, dhalam tedhang ki
gedhe mbanger inggih bupati surya adiningrat ongka II, Ki
Bromono, turun dalang Ki Sastro Amjaya, desa sinpar-Wringin
anom Kecamatan Poncokesumo, sesanti hayu rahayua sagung
para dumadi.

……Tutup Layar tancep kayon……


TERJEMAHAN NASKAH (SUNTINGAN TEKS)

JEJER JENGGALA
Itulah yang dibicarakan: ki dalang memberitahu alam, mengalun-alun
suaranya di surga. Meminta rasa kasihan Dewa. Hendak membuka sungging
penatar jonggrang, patuk sinupiting urang (do‘a). Berdasarkan dendang
pembicaraan, bentuk riasan topeng yang mengandung WAH, EKA, ADI, RAJA,
DASA, BUWANA. Wah empat, eka satu, raja ratu, dasa sepuluh buwana alam
yang dibicarakan.
Pada peringatan tahun EHE 1940 (). Hari Sabtu Wage, tanggal 7, Wuku
Tambir, Ingkel Orang, Pranata Wangsa Kedelapan, Windunya Kunthara (0491).
Sang raja lembu amiluhur duduk di kursi berbentuk gading emas, meliak-
liuk seperti gambar bangunan, diiringi Bucu, Cebol, Cemani, Wungkuk (orang
cacat) yang membawa perlengkapan sabuk payung Tunggul Manik (payung
bersusun tiga bertabur permata), dilihat dari pendapa seperti Dewa Dharma turun
ke Bumi.
Yang hadir dalam pertemuan raja yaitu adiknya: Raja Amijaya; Raja
Pengarang; Raja Merdhadhu, tidak berani bergerak sama sekali. Seperti burung
Gelatik di hadapan Rajawali. Seperti Gelatik disambar burung Alap-alap, diam di
malam ini.
Betapa kecewanya Sang Raja kedatangan Raka Wiku Kilisuci dari
Kapucangan tanpa pemberitahuan. Bila dirasakan dalam hati sanubari seperti
tembus, pelan-pelan keluar ucapan...

KOMBANGAN DHALANG
Indahnya di atas saya tidaklah tidak, ada orang mengambil pikulan air,
mengambil api memakai obor. Kapuk hutan merambati Pare, orang mengesot
menggapai bintang, mencari telapak burung kuntuk yang sedang terbang,
menunggu mengapungnya batu hitam.

Prabu amiluhur : sebentar dulu sebentar dulu, aku lihat dengan mata yang hampir
terpejam, aku rasakan dalam hati, terlihat samar. Yang hadir di
hadapanku adalah adikku Lembu Amijaya, Mangarang Dan
Merdhadu. Jangan kurang waspada dalam melihat hingga
mengganggu kediamanmu. Karena negara jenggala kedatangan
Kakang Mbok Wiku Kapucangan Dewi Kilisuci. Duduklah yang
nyaman, Dik. Bukan menjadi masalah. Adik hanya
menyampaikan sembah bakti, mudah-mudahan dihaturkan untuk
Kangmas. Kakang Mbok mengucapkan selamat.

Amijaya : adikmu mangarang menyampaikan selamat, Kakang Mbok

Merdhadhu : Selamat, Kakang Mbok. Selamat datang. Apabila ada waktu


sudilah mampir di kediamanku.
Kilisuci : Hong ilaheng, awigena, mastuti sekaring bawana langgeng
(seperti do‘a). Betapa senangnya hatiku malam ini, negara
Jenggala memperingati Ulang Tahun 1 Suro. Bertemu dengan
adik-adikku. Sembahmu aku terima. Aku talikan di Gelung
Mayang, jadilah kekuatan cahaya sukma, cahaya Tuhan. Do‘a
pujiku terimalah, Dik. Di luar dari itu, kedatanganku di Jenggala
seperti terburu-buru, karena apabila mendengar pembicaraan
orang, pembicaraan para petani di pegunungan, apa benar negara
Jenggala banyak salah ucap? Berganti mangsa seiring pergerakan
dunia, lahar gunung, banjir bandang, laut menenggelamkan
daratan, lumpur datang, sampah dunia menjadikan bangsanya
bertebaran terlantar. Apabila saya liat dengan rasa yang dalam,
konsentrasi panca indera, ada hal-hal yang harus dibenahi
bertepatan dengan sabda Dewa akan turunnya Benih Utama,
seorang brahmana yang berjiwa ksatria, yang bisa mengendalikan
bencana di Bumi Nusantara.

Prabu amiluhur : aduh, Kakang Mbok yang diagungkan rakyat Jenggala. Tidak
salah satu rambut dibagi seribu, kata Paduka. Perkara marahnya
alam jenggala terdengar dari Gunung Penanggungan. Tiba-tiba
ada sabda Dewa. Saya harus memperbaiki tata pemerintahan
supaya kuat menerima wahyu Benih Utama. Tetapi bagaimana
jelasnya, Kakang Mbok.

Sendhon 8 Ada pendeta memberi wangsit


Seperti kumbang yang terbang di angkasa
Di manakah angin bersembunyi
Dan inti batang kangkung
Batas langit dan samudera
Isi bambu Wung-wang
Serta punggungnya peluru
Telapak burung yang terbang
Burung terbang mengungguli langit
Bunga yang sedang mekar

Kilisuci : Ya, tidak berat kujunjung dunia. Barang berharga seperti mirah
dan intan. Engkau pimpinan rakyat Jenggala. Apa
kesanggupanmu ketika dinobatkan menjadi raja?

Amiluhur : Mendahulukan kebutuhan rakyat, tidak memikirkan diri pribadi,


bekerja (berkarya) tidak berdasarkan pamrih.

Kilisuci : Iya, benar. Yayi Mahadewi, engkau menjadi ibunya orang


Jenggala. Apa darmanya seorang Ibu?

Mahadewi : Wajib membantu suami meringankan beban rakyat.


Kilisuci : Iya. Padukaliku, apakah engkau juga memikirkan rakyatmu?

Padukaliku : Iya, ikut memberi kepada yang kekurangan dan anak yatim yang
harus membutuhkan perhatian (penghidupan).

Kilisuci : Eee.... iya. Putri Wandan, apa janjimu untuk negara ini?

Wandan : Duh, Wiku. Aku ini orang yang tidak bersekolah. Pekerjaanku di
dapur. Peribahasanya orang tidak punya yang diangkat naik tahta.
Soal pemerintahan aku tidak mengerti sama sekali. Tetapi apabila
dibutuhkan Raja sewaktu-waktu aku tidak menolak.

Kilisuci : Hemmm... iya, iya, Dewi, Liku, Wandan, kamu semua sudah
mengeluarkan keikutsertaanmu menurut kesanggupanmu dan
pekerjaan yang engkau kerjakan. Jadi wanita utama yang disebut
permaisuri itu harus memenuhi berat dan repotnya negara.
Ketahuilah, wangsitnya Dewa, benih raja ini tidak keluar dari
engkau sekalian. Tetapi dari Putri Hindustan. Jelasnya, aku
memintamu jangan keberata. Suamimu harus mencari
kesempurnaan asmara gama, asmara nala, asmara tantra dan
asmara juwita. Apabila adikku, Amiluhur, bisa memperistri Putri
Hindustan dengan landasan jodoh, kelak bisa meringankan
penderitaan rakyat Jenggala, membuat berhentinya amarah alam,
membuat bersatunya Nusantara, akan hidup sesuai peraturan,
kewaspadaan, murah sandang pangan dan selamat selamanya.

Padukaliku : Bat, tobat, kupotong-potong seperti bawang, kuiris-iris seperti


buncis, Kakang Mbok, kelak apabila turun, bagaimana apabila
aku tidak jadi raja. Padahal idaman kaum ibu adalah anaknya bisa
menjunjung nam orang tua .. hayo?

Kilisuci : hem... Liku, siapa yang tidak ingin anaknya mulya. Tetapi
ketahuilah, untung ruginya manusia tidak bisa menerobos, takdir
Tuhan. Sekecil kacang hijau, sebulat kendhil, untung ruginya
manusia ada di tangan Tuhan yang membuat kehidupan. Bila
sesungguhnya dihitung besarnya pengorbanan, bukankah aku
yang seharusnya menjadi raja Jenggala? Aku anak pertama. Tapi
aku hanya punya derajat biksu. Aku harus menjalankan
Brahmacari... hayo.. pikirkanlah. Untuk itu, semua istri-istri
adikku, pasrahlah kepada yang membuat kehidupan.

Putri 1,2,3 : Iya.. iya... silahkan.

Kilisuci : Nah, begitu. Itu baru namanya Putri Utama. Kembali ke adikku
yang tampan, Amiluhur. Jangan takut menghadapi kesulitan,
segera sempurnakanlah asmara juwita. Berangkatlah ke tanah
Hindustan. Adikmu Mijaya, Mangarang, dan Merdhadhu yang
akan menemani langkahmu, agar bisa melonggarkan hari yang
kusut, menyambung gagang yang patah, dan ada yang mengetahui
keberadaanmu selama dalam perjalanan. Jangan lupa nyungkem di
peristirahatan terakhir Rama Begawan Sri Gentayu di gunung
Jambangan, di lereng Gunung Semeru. Barangkali mendapat jalan
kebaikan, soal negara sementara aku dan ketiga istrimu yang
menjaga.

Amiluhur : Baiklah, Kakang Mbok. Ayo, Dik. Ikut kakang. Dan semua
istriku, bekalilah pegangan budi rahayu, do‘a selamat, supaya
segera kembali pulang ke Jenggala, Yayi. (teriring Gendhing
Krucil 8 irama Tuk Kintungan).

ADEGAN GUNUNG JAMBANGAN

Pocapan :Menyambung pembicaraan, ada dua manusia berjiwa brahmana,


bernama Jati Pitutur dan Pitutur Jati. Turun dari kayangan mencari
momongannya yang turun ke dunia. Dibantu mencari seperti ayam
hutan, menuruni lereng terjal, lereng landai, menuruni Gunung
Reksamuka tertimpa kayu Mandira Jati. Kayu yang berbelit-belit,
baris yang rapat adalah barisannya kayu, giro-giro kayu Sawo,
panggetakan (berderik) kayu Klampis, tatanan rambut kayu Suren,
lebih agung akar Kapuk Hutan. Hewan hutan berterbangan,
berloncatan, perawakan cicak, seribu kecapung, rusa yang menoleh
ketakutan, belalai gajah. Sejaya-jayanya macan belang sudah
menjadi keberuntungan bagi yang wantilan. kedua brahmana yang
kerepotan lalu mengambil bendera Panji, dikibarkan tiga kali,
hingga tenanglah binatang hutan. (Gendhing Sapu Renggo)

Girisa : Cindhe muda-cindhe muda


Gondok (penyakit) yang malang seperti telur, Nak.
Tuanmu kemana perginya
Engkau terangkanlah...
(Empat baris di atas adalah dialognya Semar (dalam hal ini adalah
Jati Pitutur))

Bapak ... aduh Bapak mertua


Engkau suruh menerangkan
Aku ini yang mestinya engkau terangkan
Silakan
(Empat baris di atas adalah dialognya Bagong (dalam hal ini Pitutur
Jati))

Jati Pitutur : Nak... Pitutur Jati, seperti apa cara kita menemukan
momonganmu Macan Putih Suroloyo (Suroloyo adalah nama
kayangan dalam pewayangan), Nak? Sudah bersusah-susah
menunggui makam ini, sudah ada yang berguru, ada yang sampai
punya dua anak, tidak terasa. Lalu dimanakah gerangan
momonganmu, Nak?

Pitutur Jati : Waduh, anak mengamati semusim (musim hujan) heran setahun,
Paman Mertua. Semua semak belukar sudah kusibak, semua
warung telah aku hampiri, Tuan Rajungan Kepithing Lurik (gelar
untuk Panji Asmarabangun maupun Arjuna) tidak juda ketemu.
Kalau aku pikir, yang bersalah adalah yang menyuruh kok.

Jati Pitutur : Lho, kok begitu, Nak?

Pitutur jati : Nyata-nyata salah total, Paman. Menyuruh mencari momongan


tidak ditunjukkan letak keberadaannya, apakah harus mengitari
dunia, sulit ketemu. Sudah, begini saja, Paman. Engkau itu
keturunan Dewa. Engkau dibekali tanda berwujud Panji Biru yang
bernama Tunggul Wulung. Itu untuk apa jika tidak digunakan?

Jati Pitutur : Toblas ayas ayas. Iya ya, Tur. Coba aku lemparkan Panji Biru ini,
kelak siapa yang menemukan Panji Biru ini, itu jalan ketemuanya
Tuan, Nak.

Greget saut 8 Runcing mencium ini


Sudah mati dalam hati
Perawakanku bak pertarungan Kilat
Panji Wulung (tunggul wulung) dibicarakan

Pocapan : Haieg...di situ, Kyai jati pitutur tertndih persoalan yang berat,
segera memeras keringat mempertajam penglihatan, membaca
mantra Jaya Kawijayanira. Terjadilah bendera panji yang
dilemparkan menancap di tanah Hindustan. Kesanggupan
Amiluhur, permisi hendak memasang Tuan, Kyaiku datang (wuluk
salam)

Jati Pitutur : Tur, bersamaan kaburnya bendera, sepertinya ada tamu.

Pitutur jati : Tamunya tiga tidak serupa asuhan kita, Paman.

Jati Pitutur : Wah, iya, Nak. Melihat aranya berbeda. Ini seperti mengerikan.

Pitutur jati : Yang satu ini orangnya sabar. Yang ini agak sombong, yang itu
agak garang, Paman. Nah, yang ini bisa dihutangi, Paman.

Jati Pitutur : hush, jangan sembarangan. Ini satria meyerupai sudra , Nak. Biar
aku tanyakan, barangkali ini jalan bertemu Tuanmu, aura yang
menyilaukan, aura saudara yang belum kukenal, yang baru saja
datang, siapakah Paduka? (‗poh’ sebenarnya mengarah ke ‗pun’.
Yakni sejenis sastra belokan).
Pitutur Jati : Engkau buah mangga Kweni atau buah mangga Gadhung?
Kenalkanlah aku buah mangga Busuk... ha... ha... tampannya,
Paman. Yang dua orang tertawa. Hahak...

Amiluhur : Hong tapak sumarah purba jatining gesang (sejenis do‘a saat
memasuki pasarean atau tempat suci). Aku amiluhur seingatku. Ini
pertapaan Kanjeng Rama Sri Gentayu. Siapakah engkau, Kyai?
sembah saya.

Pitutur Jati : Iya.. iya.. aku terima. Kenalkanlah yang paling tampan sendiri ini,
namaku Raden Pitutur Jati, nah, ini babuku.

Jati Pitutur : Tur, jangan sembarangan. Namaku, lagipula... kapan engkau


menjadi Raden? Raden Semelehe ya? Permisi kalau anak saya ini
tidak begitu penuh, Gus.

Amiluhur : tidak apa-apa, Kyai. Kenalkanlah aku Amiluhur putra Jenggala,


sedang apa engkau berdua di peristirahatan terakhir orang tuaku
Prabu Airlangga?

Jati Pitutur dan pitutur Jati bersama-sama menyembah: ya Tuhan maafkanlah.


Engkau sembahan kami, Gus. Aku turut membersihkan
pemakaman di sini. Ternyata ini peristirahatan terakhir Tuan Sri
Gentayu, Sang Airlangga, Raja Jenggala.

Amiluhur : Paman... engkau ini siapa? Berasal dari mana? Mengapa


membersihkan pemakaman?

Jati pitutur : Aku ini Jati Pitutur, ini anakku Pitutur Jati. Tuan bertiga seperti
mengalami kesedihan. Ada apa?

Amiluhur : Paman, negeriku rusak, banyak musibah menyelimuti. Semua


rakyat hidupnya cemas karena mengamuknya alam. Maka sekalian
dibuat seperti apa agar terbebas dari hukuman, menimba ilmu
(ngangsu kawruh) menjadi murid Tuan.

Jati Pitutur : Ya.. orang hidup itu kewajibannya tolong menolong, gotong
royong. Tapi ada syaratnya.

Amiluhur : Apa yang dibeli itu?

Jati Pitutur : Syaratnya: setelah engkau telah memanggil Paman kepadaku,


kedua kalinya harus memakai tata bahasa kasar kepada kami
berdua, sesudah engkau mau, engkau resmi menjadi murid di sini.

Amiluhur : Ya, ya, Kakang Jati. Sebenarnya begini kesedihanku. kupegang


teguh perintah Mbakyuku Biksuni Kapucangan. Aku disuruh
menikah lagi dengan orang kawasan Hindustan. Padahal jauhnya
menyeberangi lautan, tidak ada kapal.

Jati pitutur : Walah dalah... pucuk dicinta ulam tiba.. ya, Den, namun begini,
hari ini negara Keling ada putri cantik, banyak yang ngayunaken.
Sebelum didahului orang, engkau pergilah. Aku hanya berpesan,
jika terlaksana menikah dengan Putri Keling, sudah lupa Jawanya.
Sebab budaya yang buat anugrah itu tidak ada yang menandingi
nyawa ini. Nanti ksatria itu harus: meniduri (dalam arti intim
terhadap) kewajibannya ksatria. Harus punya Parang Cakraningrat.
Berdasarkan lima paugerar, Jawa ini akan kedatangan orang luar
negeri, apabila menilik dari ramalan, berjaya di kesulitan, sekarang
sudah menginjak Jaman Kaliyoga. Yang 700 tahun berganti.

Sebab Jaman Kali Yuga itu ada 7 jaman berulang seratus tahun berganti.
8. Jaman Kala Buda : Jaman Prihatin
9. Jaman Kala Dora : Jaman Mundur
10. Jaman Kaladi Wanara : Jaman Mokal
11. Jaman Kala Praniti : Jaman Mandhep
12. Jaman Kala Tetaka : datangnya bangsa asing (tionghoa, arab india) th.
1134-1236.
Jaman negara jenggala yang dijalani sekarang.
Makanya benar jika engkau harus menyambung
darah dengan bangsa Hindustan.

Amiluhur : Kurang dua, apa Kakang?

13. Jaman Kala Wisesa : Jaman Menang-Menangan


14. Jaman Kala Wisaya : Jaman Klakon.

Hutu... anak cucu kelak menemui Jaman Kali Sengsara. Jaman saya akeh wong
pinter, ning kirang prihatine, alam diperkosa, oleh kemajuan. Makanya ada
pepatah menyebutkan: SEBERUNTUNG-BERUNTUNGNYA ORANG LUPA,
MASIH BERUNTUNG ORANG INGAT DAN WASPADA.

Miluhur : Kakang, seperti tergugah rasaku, sebab pertalian darah


Jawa dan hindustan. Tapi apakah bisa terlaksana untuk
datang ke sana, sebab aku tidak punya kapal (baita), oleh
karena peristiwa di Jenggala tidak mereda. Seluruh Japa
Mantra sudah tidak manjur.

Jati pitutur : Hua .. ha.. ha.. jangan khawatir. Perkara menyeberang


samudera, supaya cepat sampai di negara Keling, kuberi
cincin (Sesotya) yang bernama Wungkal Bener. Engkau
pakai di jempol kaki. Saudaramu engkau rangkul,
dipegang dengan erat-erat. Pesanku jika menemukan
persoalan yang tidak bisa engkau atasi, pukulah bumi
dengan telapak tangan kiri. Akan ada pertolongan
membantu... sudah, silakan dipakai cincin ini, jangan lupa
nyungkem (meminta restu) di peristirahatan terakhir Rama.
Mudah-mudahan cepat terlaksana membawa kembali
pulang benih pulau Jawa, datangnya Ksatria berjiwa
Brahmana.

Pocapan :Haieg.. sudah masuk ke dalam pasarean membakar dupa


guna kesempurnaan memuja. Segera memakai cincin
Wungkal Bener di jempol kanan. Melangkah kaki kanan,
yang kiri seperti hendak memanjat. Seperempat jam
sampai saat matahari terbit di batas kota kerajaan Keling.

Berhenti bercerita dalam bahasa Kawi. Raja-raja sebrang : Inggris, Prancis,


Spanyol, Portugis dan Belanda, yang bersama-sama melamar Dewi Sekar Kedaton
Keling tingkahnya seperti burung Gagak berebut hinggapan.

Klana Inggris : Iladalah, hua haha . . . . jauh lautan kusebrangi dari daratan
Inggris sampai Keling Hindustan, tak lain aku ingin menyunting
putri Keling yang cantik jelita. Apalah artinya aku jadi raja, jika tak
berhasil mempersunting Putri Hindustan. Wah . . . waktu pagi hari,
sebelum panas Matahari, ku berangkat sekarang juga . . . .

Klana(bapang) : Aku klana dari Prancis. Makananku kara buncis, aku kan
menangis, jika tidak menikh dengan Putri Keling yang manis. Oh
Juwitaku, tunggulah aku Klana prancis....

Klana Belandha: Huahahaha . . . dan aku raja dari Belanda. Kudengar India negeri
yang kaya budaya. Lama kuimpikan bertemu Putri Keling, jika aku
bisa menikah dengannya, akan kubawa kesenian dari India ke
Belanda, akan kubuka pertemuan budaya Belanda-India . . . hem
bagus . . . aku berangkat . . .

ADEGAN NEGARA KELING.

Pocapan : terlihat gelap sekali negara Keling.


Karena hampr tiga puluh hari terkena wabah penyakit. Karena di alun-
alun kejatuhan bendera Panji dari angkasa. Sang Prabu Kalingga
Bangsa memanggil putrinya, diikuti dayang-dayang. Seperti ingin
mencoret-coret bendera (bendera Panji).
Pada titik ini ‗ngorek-orek gendera‘ adalah tanda bagi pengrawit untuk
memulai gendhing orek-orek)

Mocopat Megatruh.
Aduh Sakyaningrat anakku
Bagaimana di lamar
Empat puluh raja agung
Dan datangnya panji, penyakit merajalela.
Raja : Oh Dewata Agung, selamatkanlah negeriku Keling. Anakku
Sakyaningrat, bagaimana keadaanmu sekarang?

Sakyaningrat : . . . Baba . . . Sulit melukiskan peristiwa negara dan nasib hamba.


Semenjak jatuhnya panji-panji biru, menancap di halaman istana
Keling, timbul bencana dan wabah penyakit. Banyak korban dari
penduduk. Penyakit sulit dicari obatnya. Apa yang harus dilakukan
agar penyakit segera sirna, Baba?

Prabu kalingga: Oh Anakku, ibarat berlayar di samudra, mendadak tiada topan


dan badai, perahu tenggelam. Awak kapal bingung mencari hidup.
Di mana sumber hidup itu sekarang, masalahnya. Oh Dewa,
mengapa aku di jadikan Raja, apabila tiada sabda Pandita Ratu.
Do‘a, mantra tak dapat menjawab, segala usaha telah di usahakan.
Namun wabah terus melanda penduduk Keling. Sedangkan, raja-
raja dari 40 negara sudah melamar . . . Putriku Sakyaningrat.

Patih : Amit gusti raja, tidak baik menyesali peristiwa ini, apabila tidak
mencari jalan keluar. Pepatah mengatakan ―janganlah menangis
apabila menerima kesengsaraan, sebab antara kesengsaraan dan
kemulyaan itulah pemberianNya. Apabila Raja menangis seluruh
kerabat istana sampai rakyat ikut merasakan. Bukankah semua ini
pemberian Dewata. Tidak baik menangis hingga membantah
pemberian Dewata. Sebaliknya apabila menerima kemulyaan
janganlah tertawa riang, karena tertawa itu mengandung rasa ego
yang berlebihan, maka kita harus berani mencoba. Ada rahasia
apakah di balik Panji Biru itu hingga tidak dapat dicabut.

Raja : Patih benar . . . solusinya adalah . . . tercabutnya bendera biru itu.


Jika demikian untuk menjaga dari perebutan anakku , ini harus di
sayembarakan. Barang siapa yang dapat mencabut Panji Biru di
alun-alun, dialah yang berhak menerima putriku Sakyaningrat
sebagai hadiahnya.

Patih : baiklah, Raja. Aku minta izin untuk mengumumkan sayembara.

Raja : buatkan tempat di ketinggian agar aku dan anakku menyaksikan


sayembara itu.

Gurisa serang: riuh rendah rakyat Keling


Menyaksikan sayembara
Gegap gempita suasana negara Keling. Besar kecil, tua muda, berebut ruang
berebut tempat. Tingkahnya seperti burung Dara terbang, penonton berkumpul
berdasarkan golongannya. Ada kasta Waisya berkumpul sesama Waisya, kasta
Brahmana berkumpul sesama Brahmana, Sudra berkumpul sesama Sudra. Raja
Ngote, Ngesar,Tebar (nama-nama Raja) Inggris, Prancis, Belanda bersamaan
memasuki (mengikuti) sayembara.

Klana Inggris : Salam Paduka Raja Keling. Perkenankanlah aku raja Inggris
mencabutnya.

Klana Prancis : Hua haha . . . Raja Keling, aku raja bapang dari Prancis. Hua...
haha . . . kucoba-coba mencabut panji, panji kucabut putri kurebut
(seperti lirik lagu) . . . tidak bisa, jika gagal kucabut akan kutunggu
jandanya . . . wuah aku tak sanggup menunggu tua . .

Klana Belanda: hoverdom seh. . . sekarang aku raja Belanda. Hanya demikian saja
tidak. . . uh. Tidak kuat. . .wah, sial. . .(tidak berhasil mencabut
Bendera Panji)

Amiluhur : Permisi, permisi, Tuan Agung, perkenankanlah kami mencabut


Kyai Tunggul Wulung.

Sakyanngrat : Baba. . . siapakah gerangan itu, Baba? Bagaimana jika ia tidak


dapat mencabutnya? Duh, dewa mudah-mudahan Tuan dapat
mencabutnya.

Raja : Rat…Rat… kenapa engkau, tadi ada raja gagah perkasa tak
bergeming sedikitpun, malah tegang… tiba-tiba ada orang kurus
kering tak bertenaga engkau seperti berharap?

Sakyaningrat : Baba… apabila orang itu tak berhasil, aku memilih mati saja,
Baba…

Raja : Lho bagaimaa, Rat? ini adalah sayembara…siapapun yang


berhasil, terimalah.

Amiluhur : Wahai, Tuanku Budiman dan para peserta sayembara,


perkenankanlah hamba mencabut sekaligus menghancurkan panji
biru itu, agar penyakit hilang… Duh, mustika Panji Wulung,
Nuherang nulenggang (do’a), yang putih merata rupanya. Engkau
jangan mengajari kejelekan kepadaku, aku laki-laki sejati, aku lebih
tua dari pada gurumu, kakek moyangmu sama dengan kakek
moyangku, aku suruhan Kyai Jati Pitutur, Pitutur Jati. cukup sekian
perbuatan baikmu. Asalmu tidak ada, kembalilah tidak ada, terkena
ludahku menjadi sempurna ragamu.

Swaka : Terkena Sampur Sutra Dewangga, Panji Wulung hancur menjadi


abu (hiperbola), bersama hilangnya penyakit salah asal …sorak
sorai bergemuruh bersama ambruknya raga Amiluhur ke tanah,
Sakyaningrat terkejut, seketika berdiri menyingsingkan pakaiannya
yang panjang, lalu berlari merangkul (meniduri) Yang Berjaya
Dalam Kesulitan …

Sakyaningrat : Aduh… Kangmas… aku berterimakasih engkau dapat


menghilangkan bendera ajaib. Penyakit akan sembuh kembali…
namun aku tidak menyangka Kakang meninggalkan adinda… kalau
begitu apalah guna hidup hamba… aku lebih baik mati … (tangan
Amiluhur menangkap Sakyaningrat, ternyata sang putri adalah
seperti bidadari elok rupawan… tersenyum. Sebenarnya Amiluhur
hanya pura-pura mati)

Ami luhur : Dhuh, Juwita, sempurnalah sudah asmara hamba, tiada juga
kakang sudi mati, apabila melihat Adinda hidup sendiri… yam-yam
perjiwatan- rum rum bintarum (), Orang Cantik, marilah berbaring
di dada kiri, rambutmu kan ku belai…
(tiba-tiba jati pitutur dan pitutur muncul saling berpelukan tetapi
orang lain tiada tau).

Klana Ngote, Ngeser, Tebar merebut sakyaningrat:


Hai Sang Pemenang Sayembara, kami jauh-jauh datang ingin ikut
sayembara, namun engkau telah menang, jika ini urusan wanita,
aku juga hendak merebutnya.

Ami jaya : Hei.. orang lajang mencari asuhan, jangan merebut kekasihnya
Kakang Miluhur, ini adiknya, Amijaya. Kemarilah!

Klana : Kurang dihajar engkau… majulah ku patahkan lehermu.

Ami jaya : Banyak bicara!! (menampar kepala, bersama iringan Krucil


Serang).

Pocapan : Itulah ... ingat pesan Jati Pitutur dan Pitutur Jati, apabila
menemukan persoalan disuruh memukul tanah tiga kali.
Bersamaan itu pula bumi dipukul tiga kali. Keluarlah raksasa yang
mengamuk menerjang raja 40 negara.
(40 raja terjaring semua diberikan kepada Amiluhur, kemudian
hilanglah Raksasa dari bayangan).

Amiluhur : Tuan, Sang Raja Keling, raja raja semua telah takluk, kuserahkan
kepada Tuan.

Raja : Adhuh anak, engkau berjasa terhadap Negara keeling, kini ku


serahkan putriku menjadi istrimu. Sekarang kunikahkan, dan kini
sudah menjadi hakmu, soal 40 raja terserah engkau, sebagai
ucapan sukur, engkau akan kunobatkan menjadi raja, sebagai
penggantiku.
Amiluhur : Terimakasih, Ayah. Soal kedudukan, cukup tanah Jenggala. Soal
putri Tuan, akan kami boyong ke Jawa. Dan tentang 40 raja ini
menjadi taklukan. Setiap setahun harus menyerahkan upetinya.
Dan perkenankanlah mereka pulang kembali ke masing-masing
wilayah.

Raja : Terimakasih, luhur amat bijaksana. Kapan ananda pulang ke Jawa?

Miluhur : Sekarang kami minta izin pulang, dan adik Sakyaningrat bersama
kami.

Raja : Jika begitu ... Patih! persiapkan kapal besar ke Jawa, dan dengan
pengawalan panglima keling! Anakku sakyaningrat, pergilah
bersama suamimu, sampaikan salam pada keluarga Jenggala, hari
baik kami akan berkunjung ke Jawa, mulai hari ini persekutuan
India-Jawa kami mulai. Selamat jalan..

ADEGAN SAMUDERA HINDIA.

Amiluhur : adikku, sakyaningrat…kupelajari bahasa jawa. Yang ini apa


namanya (sing iki apa jenenge, basa luhure, ingkang menika
naminipun… iki irung… mak cethil Miluhur nguthek irungu
garwane… kang di jiwit anyauri, yang ini apa namanya… ingkang
punika janggut…)

Sakyaningrat : Kang Mas, ada sinar mancorong di pesisir itu sangat membuatku
penasaran, apa kapal bisa diarahkan ke sana, Kang Mas?

Miluhur : pamawase siadi ora kliru, itu tlatah hutan Kahuripan. Sebenarnya
cahaya itu dahayanya orang bertapa. Paman Nahkoda, tolong
pinggirkan ke pesisir sana, Paman.

Pocapan : Lancar berjalannya perahu, sudah tiba di tepi pantai hutan


Kahuripan. Ketika bersama-sama mendarat, terkejutlah ada batu
Gilang bercahaya. Sang dewi meminta merengek-rengek.

Sakyaningrat : Kakang Mas, aku ingin mengerti isinya, tolong pecahkan, Kakang.

Amiluhur : Dimas, adikku, minggirlah sepenggalah, coba kupecahkan batu


Gilang ini.

Swaka : Lah.. pada waktu itu kekurangannya apa, orang besar Jenggala
hendak menuruti permintaan istrinya, melihat cahaya bersinar dari
dalam batu Gilang. Batu ditendang hancur, ada Katak Dindang
sebesar gunung anakan.
Girisa : Gelap gulita tak bisa ditolak
Miring Berbeda irama berjalan sehat
Sehatnya sang katak
Bertemulah jati dirinya ……..

Kodhok : ya jagat,ya drajat,ya semat. Sedang enak aku bertapa di dalam


batu, ada raja tanpa etika, padahal darmanya satria ada lima hal :
Percaya Tuhan, beretika dan berbudi luhur, belas kasih.
Bisa jadi panutan baik ucapan dan perbuatan.
Orang yang berkarya, tanpa imbalan akan terus berkarya,
mudahnya mengadakan murahnya sandang pangan Nusantara.
e…..janjiku terhadap darma hidupku, Bangsa Katak, jika kelak
menjadi raja di Nusantara, jangan sampai punya watak :
cadhok,cadhek, ila-ilane nila khonto (tidak bisa melihat dengan
baik).

Amiluhur : He,he Katak…bisa bicara, mengumpatku ‗tak punya sopan


santun‘, tidak punya rasa kasihan, malah seperti orang yang tidak
bisa melihat kebaikan, apa dasarmu (berbicara demikian)?

Kodhok : Dasarku, sama-sama makhluk Tuhan. Ada perjalanan sastra tulis:


ada utusan, tak bisa ditolak, sama-sama berjaya, sama-sama akan
bisa mati.
Hana=tidak kasat mata, Caraka=utusan goib disebut Nur,
Ka=kehendak, kehendak Tuhan, Data=utusan berwujud nyata
senyata-nyatanya, Da=dat, Ta=orang, dat wadahnya orang,
masuknya manusia dan Tuhan, manusa (manu =Tuhan, sa = esa)
manusia menyembah apa yang disembah. Sawala= arti kebalikan,
Sa=Sukma, hidupnya jiwa, Wa=sarana, nafsu, La=terciptanya
angan-angan, kekuatan nafsu. 4. Padha jayanya=sama-sama
dikehendaki Tuhan, yang dilengkapi pancaindera. milikilah
perasaan, jangan seperti makhluk yang gegabah ….lihatlah, apa
yang kugenggam di tangan kiriku ini?

Ami luhur : Katak tidak perlu mendengarka wejangan. Yang engkau genggam
itu biji padi.

Kodhok : Berapa jumlahnya?

Ami luhur : Tujuh biji.

Kodhok : Apa maksudnya?

Ami luhur : Masuknya 7 hari (senn, selasa, rabu, kamis, jum‘at, sabtu,
minggu).

Kodhok : Jika kuambil satu?


Amiluhur : Tinggal enam. Masuknya agama kedewaan, menyembah 6 dewa.

Kodhok : Kubuang satu.

Luhur : Pancaindera.

Kodhok : Aku buang satu lagi.

Luhur : Masuknya kiblat 4 Permulaan-berada di 8ng timur menjadi jagat


jasmani (raga). Selatan-selatan-budi, Barat-barat-terjdinya
rasa,utara-utara-terjadinya sukma.
Kodhok : Tinggal tiga.

Amiluhur : Matahari, bulan, dan bintang yang membuat dunia terang

Kodhok : Tinggal dua.

Amiluhur : Antara wadah dan isi.

Dhalang : Haieg…menyetel suara gamelan.

Kodhok : Tinggal berapa?

Luhur : Dhuh sang katak. Sebaiknya dtetapkan satu saja.

Kodok : Lho apakah sedang ada Raja yang malu? Sekalian sempurnakan.

Luhur : Tinggal satu wejangan, letaknya di tengah tekad. Artinya


bertempat di kursi. Adanya dunia selalu silih berganti,
peribahasanya: Dunia berganti cara. Yang tetap hanya hyang
sukma (Tuhan).

Kodhok : kok sekarang memakai bahasa halus, apakah penyebabnya sang


Prabu?

Luhur : sebab sudah hilang sebiji. Hilangnya biji padi, tinggal paduka
sendiri, Batara Wisnu Sabab las satunggal sampun ical. icale las
kantun paduka piyambak pukulun batara wisnu
Kodhok : O… anakku. Nak, Luhur…

Greget saut : Serang.

Salah uacap di hati salah ucap di mulut


Gambar tanda
Terang di angkasa berubah mati
Terburu-buru bercampur, gelarannya Dewanya …
Swaka : Terkejut sungguh terkejut akan keadaan sejati Katak Dindang,
seperti tandanya, wahyu benih utama.
Diceritakan, yang salah penerimaan (persepsi), dikira Amiluhur
kalah dalam menebak, kemudian menyembah. Penerimaannya
Amijaya dan Mangarang, akan segera membunuh (menghilangkan)
Katak Dindang. Amijaya memegang mulut atasnya (mulut katak),
Mangarang memegang mulut bawahnya (mulut katak). Saat
dirobek, seketika itu hilang raganya sang katak. Wujud Batara
Wisnu masuk ke dalam Amiluhur. lemaslah tanpa daya Sang
Sakyaningrat ... lalu datanglah Jati Pitutur dan Pitutur Jati.

Jati pitutur : Hilangnya katak adalah kehilanganku. Den, tolong mengertilah


semua, Sang Katak bertapa mencari titisan … itulah asuhanku.

Miluhur : Tak terkira sama sekali jika sebenarnya sang katak adalah
asuhanmu, ini istriku lemas tak berdaya.

Jati pitutur : …ello…Den, istrimu hendak melahirkan bayi, semoga menjadi


ksatria utama. Silakan diurus sana …

Jati pitutur : Oh Hyang Ulun (Batara) yang berkuasa di jagat, aku ingin hutan
Kahuripan ini dijadikan negara …

Dhalang : Jlek ... jadilah keraton yang indah penuh warna.

Miluhur : Kakang, kita ada di mana? Hutan tiba-tiba menjadi istana. Iki
momongan rika tak dusi banyu ???

Jati pitutur : Wela ... cilukba, hahak.. lo.. lontong (dalam sastra belokan Jawa,
‗lontong‘ mengarah kepada ‗laki-laki‘), Nasi Golong pergi ke jalan,
Lepat Gulung pergi ke warung, Jenang dhedhek ketaburan gula,
kesenangannya mertua. Ondhe-ondhe aku sendiri, Cakar Ayam
saudara ipar, ayo bersorak ….hore,hore,………..

Pitutur jati : Hutan hilang berganti istana, hari ini silahkan diresmikan
berdirinya istana Kahuripan …

Ami luhur : Itu kok ada orang-orangan catur, apakah maksudnya, Kakang?

Jati pitutur : Ini ialah Patih Kudanawarsa, patihmu di Kahuripan-Jenggala.


Yang kedua bernama Patih Jaya Badra, patihnya Rayi Amijaya di
Kediri, nantinya akan terjadi. Yang ketiga Patih Jaya Kacemba,
yang menjadi patih adikmu, Mangarang, di Urawan juga sudah
terjadi …yang terakhir adalah Patih Jaya Asmita, menjadi Patih
adikmu, Merdhadhu di pemerintahan Singosari, sekarang sudah
terjadi. Pesan saya, kelak jika putra Kediri, Urawan, Singasari
melahirkan anak perempuan, jodohkanlah dengan asuhanku ini,
lalu ini siapa namanya?

Amiluhur : Kakang, nama memberi do‘a … siapa baiknya, Kakang? Oleh


karena asal-usulnya dari pertolongan Paduka, berjaya dalam
kesukaran dalam di sayembara Panji Biru…aku beri nama Panji
Inukertapati…

Jati pitutur : GILA, anak Raden ini lahir dalam perjalanan … termasuk manusia
mancah (cacat karena perbuatan), seharusnya di-ruwat
dipegelarkan Wayang Lakon Menikahnya Wisu dan Dewi Sri
sumber kehidupan, Dhalang Tiban Ki Gedhe Mbanger, Bupati
Surya Adiningrat II, Ki Bromono, keturunan Dalang Ki Sastro
Amjaya, Desa Sinpar-Wringin anom Kecamatan Poncokesumo,
sesanti hayu rahayua sagung para dumadi (selamat seluruh yang
terjadi).

……Tutup Layar tancep kayon……


Dokumentasi di Padepokan Seni Mangun Dharmo
6. Riwayat Hidup

Aswin Pratama dilahirkan pada tanggal 20 Januari 1988 di Desa

Sumberwaras, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, sebagai anak pertama

ketiga dari lima bersaudara pasangan dari Bapak Pujo Winarno dan Ibu Endang

Astuti. Pada umur 1.5 tahun mengikuti jejak keluarga pindah ke Belitong,

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hobi: membaca, nonton film, dan jalan-

jalan naik vespa. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah TK Perwanida

Tanjungpandan (1991-1993), SDN 11 Tanjungpandan (1993-1999), SMPN 3

Tanjungpandan (1999-2002), SMAN 1 Tanjungpandan (2002-2005). Pendidikan

tinggi berikutnya ditempuh di Universitas Negeri Malang Fakultas Sastra Jurusan

Seni dan Desain Program Studi Pendidikan Seni Rupa.

Anda mungkin juga menyukai