Anda di halaman 1dari 193

PENGANTAR BIOMEKANIK

A. Definisi dan Pandangan Biomekanik


Selama awal tahun 1970-an, komunitas internasional mengambil istilah
biomekanik untuk menggambarkan ilmu yang mempelajari sistem biologis dari
pandangan mekanikal. Biomekanik menggunakan alat-alat mekanik, merupakan cabang/
ilmu fisik yang mempelajari aksi (kerja) dari gaya, dan mempelajari aspek anatomi dan
fungsional dari organisme hidup. Statik dan dinamik merupakan 2 sub-bagian utama dari
mekanik. Statik merupakan ilmu yang mempelajari sistem-sistem yang gerakannya dalam
keadaan konstan, baik dalam keadaan istirahat (tanpa gerakan) maupun bergerak dengan
kecepatan konstan. Statik merupakan cabang ilmu mekanik yang mempelajari tentang
sistem-sistem dalam gerakan yang konstan. Dinamik merupakan ilmu yang mempelajari
sistem-sistem yang menimbulkan percepatan. Dinamik merupakan cabang ilmu mekanik
yang mempelajari tentang sistem-sistem yang berkaitan dengan percepatan.
Kemudian, kinematik dan kinetik merupakan sub-bagian dari ilmu biomekanik.
Kinematik merupakan gambaran gerakan yang mencakup pola dan kecepatan gerakan
yang berurutan dari segmen-segmen tubuh yang sering dianggap sebagai derajat
koordinasi pada setiap individu. Kinematik menggambarkan gerakan yang terjadi,
sedangkan kinetik adalah ilmu yang mempelajari tentang gaya-gaya yang berkaitan
dengan gerakan. Jadi kinematik adalah ilmu yang mempelajari tentang deskripsi/
gambaran gerakan mencakup space/ruang dan waktu, sedangkan kinetik adalah ilmu yang
mempelajari tentang aksi dari gaya. Ilmu biomekanik pada manusia mencakup
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah besarnya gaya otot yang dihasilkan adalah optimal
untuk tujuan yang diharapkan dari pergerakan. Faktor-faktor antropometrik mencakup
ukuran, bentuk dan berat dari segmen-segmen tubuh merupakan pertimbangan penting
lainnya dalam analisis kinetik. Antropometrik berkaitan dengan dimensi-dimensi dan
berat dari segmen-segmen tubuh.
Meskipun biomekanik relatif muda sebagai bidang ilmu pemeriksaan ilmiah yang
diakui tetapi ilmu biomekanik merupakan hal yang menarik perhatian beberapa disiplin

3
ilmu dan bidang profesional yang berbeda. Biomekanik memiliki latar belakang
akademik dalam ilmu hewan; orthopedic, cardiac (jantung), atau sport medicine;
biomedis atau biomekanik mesin (berkaitan dengan mesin); fisioterapi; atau kinesiologi
dengan komponen-komponen yang sama sehingga menjadi hal yang menarik dalam
aspek biomekanik yang menyangkut struktur dan fungsi organisme hidup.
Biomekanik dari gerakan manusia merupakan salah satu sub-disiplin ilmu
kinesiologi dimana kinesiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang gerakan
manusia. Meskipun beberapa ahli biomekanik mempelajari topik seperti gerakan burung
onta, aliran darah yang melalui arteri-arteri yang menyempit, atau pemetaan kecil dari
rongga gigi, tetapi secara utama difokuskan pada biomekanik gerakan manusia dari
pandangan analisis gerakan.
Biomekanik juga merupakan cabang ilmu dari sport medicine. Sport medicine
telah didefinisikan oleh Lamb sebagai istilah sebuah payung yang mencakup aspek klinis
dan ilmiah dari latihan dan olahraga.
Bagan Sub-disiplin ilmu Kinesiologi

Kinesiologi

Adapted Physical
Biomekanik
Education

Fisiologi Latihan Perilaku motorik Atletic training

Sejarah Olahraga Pedagogy

Filosofi Olahraga Seni Olahraga Psikologi Olahraga


Bagan cabang ilmu Sport medicine

Sport Medicine

Biomekanik Atletic Medicine

Fisiologi Latihan Fisioterapi Rehabilitasi Jantung

Perilaku Motorik Sport Nutrition

Spesialis medis
Psikologi Olahraga Atletic training
lainnya

Problem-problem (masalah) yang dipelajari dalam biomekanik


Karena berbagai disiplin ilmu dan bidang profesional yang berbeda mempelajari
biomekanik maka berbagai topik yang berbeda-beda dipelajari dalam biomekanik.
Sebagai contoh, ahli ilmu hewan mempelajari pola gerakan dari berbagai spesis binatang
menyangkut berjalan, berlari, lari dengan langkah pendek dan lari cepat pada kecepatan
yang terkontrol diatas treadmill untuk menentukan kenapa binatang tersebut memilih
panjang langkah tertentu dan besarnya langkah tersebut pada kecepatan yang diberikan.
Para ahli menyimpulkan bahwa sebagian besar hewan bertulang belakang termasuk
manusia memilih pola berjalan dengan energi yang ekonomis optimal, atau konsumsi
energi metabolik. Para peneliti menjelaskan bahwa besarnya produksi gaya otot secara
utama membangun besarnya energi untuk berlari. Hal yang menarik bahwa jika hewan
berkaki dua seperti kalkun dan hewan berkaki empat seperti anjing yang memiliki berat
badan sama, ketika berlari mereka menggunakan sekitar jumlah energi yang sama
meskipun nampak perbedaan ukuran tubuh, bentuk tubuh dan mekanikal berlari. Hal-hal
ini benar-benar nyata, karena meskipun hewan berkaki dua dibandingkan dengan berkaki
empat, hewan berkaki dua cenderung memiliki tungkai yang lebih panjang dan
kemampuan mengambil langkah yang lebih panjang sehingga mereka membutuhkan
lebih banyak otot untuk menyanggah berat badannya.
Diantara manusia, meskipun besarnya energi untuk lari meningkat secara linear
dengan kecepatan lari tetapi cukup besar perbedaan setiap orang menyangkut besarnya
energi untuk berlari. Meskipun beberapa orang kelihatannya berlari dengan lebih halus
dan enak daripada yang lainnya, tetapi tidak ada faktor biomekanik tertentu yang
berkaitan dengan ekonomis lari yang baik atau yang jelek.
Hal yang menarik juga adalah terjadinya perubahan transisi dalam aktivitas
berjalan anak-anak karena mereka mengalami perubahan perkembangan dalam proporsi
tubuh dan ketrampilan motorik yang sejalan dengan usia. Antara usia 3 tahun dan usia
remaja, terjadi penurunan pengeluaran energi berdiri dan penurunan derajat minimum
dari gerakan. Bagaimanapun juga, kecepatan berjalan dengan tingkat energi yang
minimum ini akan meningkat, dan selama usia 3 tahun serta 4 tahun akan berjalan dengan
kecepatan yang tercepat tetapi kurang efisien, dimana tingkat energi 70% lebih besar
daripada orang dewasa.
NASA telah mensponsori penelitian biomekanik untuk meningkatkan pemahaman
tentang efek-efek mikrogravitasi pada sistem muskuloskeletal manusia. Adanya fakta
bahwa para astronot yang keluar dari pengaruh gravitasi bumi selama beberapa hari maka
saat kembali ke bumi terjadi penurunan kepadatan tulang, penurunan mineralisasi dan
kekuatan, khususnya pada extremitas inferior. Semenjak itu pada hari-hari pertama
penerbagangan angkasa luar, para ahli biomekanik telah mendesain dan membangun
sejumlah alat-alat latihan yang digunakan didalam ruang hampa untuk mengganti
aktivitas pemeliharaan tulang normal diatas bumi. Penelitian baru-baru ini telah
memfokuskan pada desain treadmill yang digunakan didalam ruang hampa dengan
derajat beban deformasi dan strain yang optimal diaplikasikan pada tulang extremitas
inferior untuk merangsang formasi (pembentukan) tulang baru. Baru-baru ini, para ahli
telah menemukan bahwa dengan mengaplikasikan gaya horizontal pada bagian anterior
setiap orang saat lari dengan lingkungan gravitasi rendah dapat membangkitkan efek gaya
yang jauh lebih sama dengan efek gaya ketika berlari diatas bumi. Hal ini merupakan
penemuan penting, sejak beban strain pada tulang extremitas inferior dapat dipercaya
sebagai mata rantai utama dalam stimulasi mekanik terhadap pertumbuhan dan
pemeliharaan tulang, dimana berkaitan dengan besarnya gaya reaksi lantai yang terus-
menerus.
Pemeliharaan kepadatan mineral tulang yang cukup juga merupakan topik yang
berkaitan dengan bumi. Osteoporosis merupakan kondisi dimana massa mineral tulang
dan kekuatan tulang menurun berat sehingga dalam aktivitas sehari-hari dapat
menyebabkan nyeri tulang dan patah tulang. Pada wanita yang memiliki level aktivitas
fisik yang rendah selama masa remaja maka cenderung berkaitan dengan meningkatnya
resiko terjadinya osteoporosis pada usia tua. Faktor-faktor resiko lainnya yang diketahui
dapat menimbulkan perkembangan osteoporosis adalah inaktivitas fisik selama masa
hidupnya, perokok, defisiensi estrogen, kalsium dan vitamin D, serta konsumsi protein,
caffein dan alkohol yang berlebihan. Dengan demikian sangat penting yaitu program
weight-bearing exercise yang teratur seperti berjalan pada setiap orang yang osteoporosis
karena dapat meningkatkan kesehatan dan kekuatan tulang.
Problem lainnya yang menantang para ahli biomekanik dalam meneliti usia lanjut
adalah gangguan mobilitas. Usia tua berkaitan dengan penurunan kemampuan
keseimbangan, dan usia dewasa tua lebih sering terayun dan jatuh daripada usia dewasa
muda, meskipun penyebab-penyebab perubahan ini tidak dipahami dengan baik. Jatuh
dan khususnya jatuh yang berkaitan dengan fraktur hip adalah problem medis yang
sangat serius dan mahal diantara kelompok usia lanjut. Setiap tahun, jatuh menyebabkan
persentase yang besar dari fraktur wrist, injury (cidera) kepala, fraktur vertebra dan luka
sobek, serta diatas 90% mengalami fraktur hip yang terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat. Tim peneliti biomekanik menyelidiki faktor-faktor biomekanik yang
memungkinkan setiap orang terhindar dari jatuh, karakteristik dari pendaratan yang aman
dari jatuh, gaya yang ditopang oleh bagian-bagian tubuh yang berbeda selama jatuh, dan
kemampuan pakaian dan lantai pelindung untuk mencegah injury akibat jatuh. Pada
perkembangan strategi intervensi telah menunjukkan bahwa latihan berjalan dapat efektif
memperbaiki keseimbangan dan menurunkan kemungkinan jatuh diantara kelompok usia
dewasa tua yang statis.
Biomekanik yang berkaitan dengan pekerjaan adalah suatu bidang ilmu yang
memfokuskan pada pencegahan injuri-injuri akibat kerja dan perbaikan kondisi kerja
serta performans (penampilan) pekerja. Para peneliti dalam bidang ini telah mempelajari
bahwa nyeri pinggang akibat kerja dapat diperoleh tidak hanya dari penanganan benda-
benda berat, tetapi dari postur yang tidak alamiah (postur jelek), gerakan yang tiba-tiba
dan tidak diharapkan, serta karakteristik setiap pekerja. Para ahli biomekanik kerja
memperkenalkan bagaimana pentingnya biomekanik bagi pekerja baik secara fisik dan
mental dalam mempersiapkan pekerjaan pada suatu industri untuk mencegah terjadinya
nyeri pinggang. Pada tahun baru-baru ini, meskipun sejumlah injuri-injuri akibat kerja
menurun, carpal tunnel syndrome merupakan gangguan neurologis pada wrist yang
seringkali berkaitan dengan overuse (penggunaan yang berlebihan) dalam pekerjaan yang
telah meningkat frekuensinya. Oleh karena carpal tunnel syndrome sangat berkaitan
dengan penggunaan keyboard (papan tombol) yang berulang-ulang, maka penelitian
sedang dilakukan untuk mendesain suatu bentuk keyboard yang mungkin lebih optimal
secara biomekanis daripada keyboard tradisional. Suatu desain baru yang menarik sedang
dites yaitu keyboard (papan tombol) yang dibagi dua kedalam kiri dan kanan dengan
setiap bagian keyboard diposisikan secara langsung di depan shoulder, dan secara vertikal
keyboard dalam keadaan alignmen sehingga memberikan pemeliharaan wrist dalam
posisi netral.
Para ahli biomekanik juga memberikan kontribusi terhadap perbaikan performans
(penampilan) pada olahraga pilihan melalui desain peralatan baru yang innovatif. Salah
satu contoh adalah Klapskate, yaitu suatu skate cepat yang dilengkapi dengan engsel
didekat jari-jari kaki sehingga dapat memberikan gerakan plantar fleksi ankle selama
push-off pada pemain skate, menghasilkan sampai 5% kecepatan skate yang lebih tinggi
daripada kecepatan yang diperoleh dari skate tradisional. Klapskate didesain oleh van
Ingen Schenau dan de Groot, berdasarkan pada penelitian terhadap teknik gliding push-
off dalam kecepatan skating oleh van Ingen Schenau dan Baker, serta berdasarkan pada
penelitian terhadap kerja koordinasi intermuskular dari gerakan meloncat (vertikal
jumping) oleh Bobbert dan van Ingen Schenau. Berbagai innovasi dalam peralatan dan
pakaian olahraga juga dihasilkan dari penemuan-penemuan ahli biomekanik. Contoh
lainnya meliputi helm aerodinamik, pakaian dan desain siklus yang digunakan pada
kompetisi bersepeda, dan pakaian yang sangat halus digunakan pada olahraga kompetisi
lainnya seperti berenang, olahraga lari, skating dan olahraga ski.
Para ahli biomekanik olahraga juga mengarahkan pada usaha-usaha perbaikan
biomekanik atau teknik, dan komponen-komponen performans (penampilan) atletik.
Sebagai contoh, mereka telah mempelajari faktor-faktor yang memberikan kontribusi
terhadap performans puncak dalam lompatan yang jauh, lompatan yang tinggi, dan loncat
galah yang mencakup kecepatan horizontal yang besar pada saat takeoff (terbang) dan
langkah terakhir yang pendek sehingga memfasilitasi elevasi (pengangkatan) yang
berkesinambungan dari pusat massa tubuh. Penelitian terhadap pelempar baseball juga
ditemukan bahwa pelempar yang memiliki kecepatan tinggi dengan melakukan gerakan
external rotasi shoulder yang besar, trunk/vertebra lebih condong ke depan dan miring
pada bola yang akan dilepaskan, kecepatan angular ekstensi yang tinggi pada knee serta
kecepatan angular yang lebih besar pada pelvis dan batang tubuh (trunk) bagian atas.
Dari contoh-contoh diatas menunjukkan adanya keanekaragaman topik-topik
dalam penelitian biomekanik, mencakup beberapa contoh yang berhasil serta area-area
tantangan yang berkelanjutan. Dengan jelas, para ahli biomekanik dapat memberikan
kontribusi terhadap pengetahuan dasar tentang gerakan manusia, dari pola berjalan yang
merupakan tantangan secara fisik pada anak ke teknik-teknik tertentu dari atlit pilihan.
Meskipun beragam, pernyataan seluruh peneliti berdasarkan pada aplikasi prinsip-prinsip
mekanik terhadap pemecahan problem-problem khusus pada organisme hidup. Dengan
demikian, prinsip-prinsip biomekanik dapat diaplikasikan dalam menganalisis gerakan
manusia.
Alasan Mempelajari Biomekanik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip-prinsip biomekanik dapat
diterapkan oleh ilmuwan dan profesional dalam berbagai bidang yang ditujukan pada
problem-problem yang berkaitan dengan kesehatan dan performans manusia.
Pengetahuan tentang konsep dasar biomekanik juga esensial (penting) bagi pengajar
pendidikan fisik yang kompeten (physical education), fisioterapi, dokter, pelatih, trainer
personal, atau instruktur latihan.
Suatu ilmu pengantar biomekanik dapat memberikan pemahaman dasar tentang
prinsip-prinsip mekanik dan bagaimana menerapkannya dalam menganalisis gerakan
pada tubuh manusia. Para analis gerakan manusia memiliki banyak pengetahuan sehingga
mampu menjawab pertanyaan berikut ini yang berkaitan dengan biomekanik :
1. Mengapa berenang bukan merupakan bentuk latihan yang terbaik bagi orang-
orang yang mengalami osteoporosis ?
2. Apa yang merupakan prinsip biomekanik yang melandasi mesin/peralatan
latihan tahanan yang beragam ?
3. Apa yang termasuk cara teraman untuk mengangkat objek/barang yang berat ?
4. Strategi apa yang dapat dilakukan oleh orang usia lanjut atau pemain
sepakbola didalam memaksimalkan stabilitas ?
5. Mengapa beberapa orang tidak mampu untuk mengapung ?
6. Dan lain-lain.

B. Pendekatan Biomekanik
Mempelajari gerakan manusia adalah hal yang menarik dengan 2 alasan utama.
Pertama, karena gerakan manusia menyangkut gerakan pada kita semua dan bagaimana
kami mampu menjalani kehidupan setiap hari dengan melakukan aktivitas fungsional
yang sangat banyak, aktivitas olahraga dan aktivitas rekreasi. Kedua, terletak pada
kompleksitas gerakan manusia dan tantangan yang muncul dari gerakan.
Observasi gerakan manusia menunjukkan adanya kompleksitas dan nampaknya
melibatkan beragam perubahan posisional yang sangat banyak atau perubahan posisi
yang dikontrol oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Untuk memahami bagaimana
sistem tubuh berinteraksi dalam menghasilkan gerakan halus yang terkontrol dan gerakan
yang bertujuan adalah hal yang esensial/penting untuk diperkenalkan dalam bahasan ini.
Hal ini perlu untuk diketahui bagaimana gerakan manusia dimulai, dilakukan dan
terkontrol serta beberapa bentuk pengetahuan dasar yang menjelaskan tentang area ini.
Kita sudah mengetahui tentang anatomi terapan yang terdiri atas : sistem otot,
sistem tulang dan sendi serta sistem saraf yang menyebabkan manusia dapat bergerak dan
dapat melakukan AKS (aktivitas kegiatan sehari-hari), tetapi tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan manusia tersebut. Gerakan manusia dapat dilihat dari beberapa sudut pandang
atau beberapa pendekatan didalam mempelajari gerakan pada manusia, yaitu :
1. Pendekatan Anatomi ; dimana menggambarkan (menjelaskan) tentang struktur
tubuh dan bagian-bagiannya serta bagian-bagian tubuh yang potensial untuk
menghasilkan gerakan.
2. Pendekatan Fisiologis ; dimana mempelajari tentang proses terjadinya
gerakan, kontinuitas gerakan dan kontrol gerakan.
3. Pendekatan Psikologis ; dimana mempelajari berbagai sensasi, persepsi dan
motivasi yang menstimulasi terjadinya gerakan serta mekanisme neurologis yang
mengontrolnya
4. Pendekatan Mekanik ; dimana menjelaskan adanya gaya, waktu dan jarak
yang berhubungan dengan gerakan tubuh manusia.
5. Pendekatan Sosiologis ; mempertimbangkan arti beragam gerakan pada
pengaturan manusia yang berbeda-beda dan mempengaruhi pengaturan sosial pada
gerakan yang dihasilkan.
6. Pendekatan Environmental (lingkungan) ; mempertimbangkan pengaruh
lingkungan dimana gerakan terjadi atau menjelaskan tentang deskripsi gerakan yang
bervariasi dalam lingkungan yang berbeda-beda.
Pendekatan Pemecahan Masalah Biomekanik
Penelitian ilmiah biasanya diarahkan pada pemberian solusi untuk problem
tertentu atau menjawab pertanyaan khusus. Bahkan untuk non-peneliti, bagaimanapun
juga kemampuan untuk memecahkan problem merupakan keperluan praktis untuk
fungsional dalam masyarakat modern. Penggunaan dari problem-problem khusus juga
merupakan pendekatan efektif untuk menjelaskan konsep dasar biomekanik.

1. Problem kuantitatif versus kualitatif


Analisis gerakan manusia dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kata
kuantitatif menyatakan adanya jumlah/angka, dan kualitatif menjelaskan pada
deskripsi (gambaran) dari kualitas tanpa menggunakan angka-angka. Setelah melihat
performans dari lompatan jauh dalam posisi berdiri (standing long jump), seorang
pengamat mungkin menyatakan secara kualitatif dengan kata “lompatannya sangat
baik”. Pengamat lainnya mungkin menyatakan secara kuantitatif pada lompatan yang
sama dengan ukurang 2.1 meter panjangnya.
Hal ini penting untuk mengenal istilah kualitatif bukan berarti general.
Gambaran kualitatif mungkin general, tetapi juga dapat secara detail sekali. Hal ini
dapat dinyatakan secara kualitatif dan secara general, sebagai contoh seorang laki-laki
yang berjalan lambat di jalan raya. Juga dapat dinyatakan pada laki-laki yang sama
yaitu berjalan sangat lambat, kelihatannya cenderung ke kiri, dan tertumpu berat
badannya pada tungkai kanan selama waktu yang sesingkat mungkin. Gambaran
kedua adalah semuanya kualitatif tetapi memberikan suatu gambaran yang lebih
detail dari gerakan.
Baik gambaran kualitatif dan kuantitatif berperan penting dalam analisis
biomekanik dari gerakan manusia. Para peneliti biomekanik sangat percaya pada
teknik kuantitatif dalam usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan khusus yang
berkaitan dengan mekanikal organisme hidup. Para dokter, pelatih, dan pengajar
aktivitas fisik yang teratur melakukan observasi kualitatif terhadap pasiennya,
atlitnya, atau siswanya untuk merumuskan pendapat atau pemberian nasehat.
2. Pemecahan problem kualitatif
Problem-problem kualitatif umumnya muncul selama aktivitas kegiatan sehari-
hari. Analisis gerakan manusia, apakah untuk mengidentifikasi gangguan pola
berjalan atau untuk menyempurnakan teknik pelajar, merupakan suatu proses
pemecahan masalah yang esensial (penting). Apakah analisis tersebut bersifat
kualitatif atau kuantitatif, analisis tersebut mencakup identifikasi, kemudian
mempelajari atau menganalisis, dan pada akhirnya menjawab suatu pertanyaan atau
memecahkan problem yang menarik.
Untuk menganalisis gerakan secara efektif, hal pertama yang esensial adalah
merumuskan satu atau lebih pertanyaan yang berkaitan dengan gerakan. Bergantung
pada tujuan khusus dari analisis tersebut, beberapa pertanyaan dapat disusun secara
general (umum) atau spesifik. Sebagai contoh, pertanyaan yang bersifat general
(umum) adalah sebagai berikut :
a. Apakah gerakan yang dilakukan dengan gaya yang cukup atau optimal ?
b. Apakah gerakan yang dilakukan melalui ROM yang sesuai ?
c. Apakah gerakan tubuh yang berurutan cocok (atau optimal) untuk pelaksanaan
skill (ketrampilan motorik) ?
d. Mengapa wanita usia lanjut memiliki kecenderungan untuk jatuh ?
e. Mengapa pemain tolak peluru tidak mengambil jarak yang lebih jauh ?
Pertanyaan yang lebih spesifik adalah :
a. Apakah terjadi pronasi yang berlebihan selama stance phase (fase menumpu)
dari pola berjalan ?
b. Apakah saat melempar bola terjadi dengan segera gerakan full ekstensi elbow
(siku) ?
c. Apakah pemilihan latihan strengthening pada otot vastus medialis obliquus
dapat mengurangi alur patella yang salah pada setiap orang ?
Ketika satu atau lebih pertanyaan telah diidentifikasi, tahap selanjutnya dalam
menganalisis gerakan manusia adalah mengumpulkan data. Sebagian besar bentuk
data yang dikumpulkan oleh pengajar, terapis, dan pelatih adalah data observasi
visual yang kualitatif. Maka dari itu, analis gerakan sangat teliti mengobservasi
gerakan yang dilakukan dan membuat tulisan atau catatan mental. Untuk memperoleh
data observasi yang terbaik, maka perlu untuk merencanakan ke depan tentang jarak
dan pandangan optimal dari data observasi yang dibuat.
3. Pemecahan problem-problem formal kuantitatif
Problem-problem formal merupakan sarana efektif untuk menerjemahkan
konsep-konsep yang kurang jelas kedalam batasan yang jelas, prinsip-prinsip khusus
yang dapat dipahami dengan segera dan diaplikasikan dalam analisis gerakan
manusia. Beberapa orang yang percaya bahwa dirinya tidak mampu memecahkan
problem-problem formal yang tidak dikenal dan sangat luas, dapat mempelajari skill-
skill (ketrampilan motorik) tentang pemecahan problem (masalah). Semua buku
memiliki pendekatan dan teknik pemecahan problem (masalah). Bagaimanapun juga,
sebagian besar pelajar tidak mengarahkan alur kerja yang melibatkan strategi general
tentang proses pemecahan problem (masalah). Suatu prosedur sederhana untuk
pendekatan dan pemecahan problem-problem terdiri dari 11 tahap yang berurutan,
yaitu :
a. Bacalah problem tersebut dengan cermat/teliti
b. Tulislah informasi-informasi yang didapatkan
c. Tulislah informasi yang diinginkan (tidak diketahui) untuk pemecahannya
d. Buatlah diagram tentang keadaan problem yang menunjukkan informasi yang
diketahui dan tidak diketahui
e. Tulislah rumus yang mungkin akan digunakan
f. Identifikasi rumus yang akan digunakan
g. Jika perlu, baca kembali pernyataan problem untuk menentukan apakah ada
informasi tambahan yang dibutuhkan dapat disimpulkan.
h. Memasukkan atau menggantikan dengan teliti informasi tersebut ke dalam
rumus
i. Pecahkan persamaannya untuk mengidentifikasi variabel yang tidak diketahui
(informasi yang diinginkan)
j. Periksa atau cek bahwa jawaban tersebut sudah cocok/layak dan sempurna
k. Beri kotak dengan jelas jawaban tersebut.

C. Sistem Pengukuran Dalam Biomekanik


Pemberian unit-unit pengukuran yang tepat/benar yang berkaitan dengan jawaban
terhadap problem kuantitatif adalah penting sekali. Secara jelas, suatu jawaban 2
sentimeter adalah sungguh berbeda dengan jawaban 2 kilometer. Hal ini juga penting
untuk mengenal unit-unit pengukuran yang berkaitan dengan kuantitas fisik tertentu.
Pesanan 10 kilometer bensin untuk sebuah mobil ketika berjalan keluar negeri adalah
jelas tidak tepat/benar.
Sistem pengukuran utama yang masih digunakan di Amerika Serikat adalah
sistem English (Inggris). Sistem English dari ukuran berat dan ukuran-ukuran yang
muncul selama beberapa abad terutama untuk tujuan komersial (perdagangan).
Semenjak adanya sistem metrik (sistem perpuluhan/dasar 10) yang telah dinikmati
seluruh dunia karena beberapa alasan. Pertama, sistem ini hanya memerlukan 4 unit dasar
yaitu : meter menyangkut panjang; kilogram menyangkut massa; detik menyangkut
waktu; dan derajat Kelvin menyangkut temperatur. Kedua, unit dasar tersebut memiliki
batasan yang jelas/tepat, dapat menghasilkan kuantitas (jumlah) yang bebas dari faktor-
faktor seperti gaya gravitasi. Ketiga, semua unit pengukuran kecuali pengukuran waktu
berkaitan dengan faktor angka 10, sebaliknya banyak faktor-faktor konversi yang perlu
mengkonversikan dengan unit pengukuran English. Terakhir, sistem tersebut digunakan
secara internasional.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut serta adanya fakta bahwa sistem metrik
hampir secara exklusif digunakan oleh masyarakat ilmiah sehingga sistem ini yang
digunakan dalam berbagai buku. Bagi orang yang tidak familiar terhadap sistem metrik
maka mereka dapat mengenal sistem English yang equivalen dengan kuantitas metrik.
Ada 2 faktor konversi yang secara khusus bermakna yaitu 2,54 cm untuk setiap inchi dan
sekitar 4.45 Newtons untuk setiap pound. Seluruh unit-unit pengukuran yang relevan
pada kedua sistem tersebut dan faktor-faktor konversi English-metrik dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 1. Unit-unit Pengukuran Yang Umum

Variabel Unit Metric Dikali dengan Unit English


Dibagi dengan
Jarak Sentimeter 2,54 Inchi
Meter 0,3048 Feet/kaki
Kilometer 1.609 Mil
Kecepatan Meter/detik 0,447 Mil/jam

Massa Kilogram 14,59 Slug

Gaya Newton 4,448 Pound

Kerja Joule 1,355 Foot-pound

Power Watt 745,63 Horsepower

Energi Joule 1,355 Foot-pound

Linear momentum Kilogram-meter/sec 4,448 Slug-feet/sec

Impulse Newton-second 4,448 Pound-second

Angular momentum Kilogram-m2/second 1,355 Slug-feet2/sec.

Moment of inersia Kilogram-meter2 1,355 Slug-feet2

Torque Newton-meter 1,355 Foot-pound

D. Kesimpulan
REFERENSI :

Susan J. Hall, 2003, Basic Biomechanics, Fourth Edition, McGraw-Hill Company, New
York
BAB II
GERAKAN

PENGERTIAN DAN TIPE GERAKAN


Gerakan adalah suatu perubahan tempat atau perpindahan dari satu tempat ke tempat
lain dengan sebuah titik referensinya (titik orientasi). Sebagai contoh, orang yang berjalan
didalam kereta api pada saat kereta api berjalan diatas rel kereta api, maka :
 Jika titik referensinya adalah kereta api, maka orang yang berjalan didalam
kereta api dikatakan bergerak.
 Jika titik referensinya adalah rel kereta api, maka yang dikatakan bergerak
adalah kereta api yang berjalan diatas rel kereta api.
Adapun tipe gerakan terdiri atas 2, yaitu :

1. Gerakan linear (gerakan translasi), yaitu gerakan yang terjadi pada


satu titik ke titik yang lain tetapi tetap kontak dengan titik referensinya.
Gerakan linear terdiri atas 2, yaitu :
a. Gerakan rectilinear, misalnya orang yang berjalan, bersepeda,
tergelincir, dan lain-lain.
b. Gerakan kurvalinear, yang membentuk garis lengkung
misalnya gerakan bola yang ditendang, gerakan melompat, dan lain-lain.
2. Gerakan angular (gerakan rotasi), yaitu gerakan yang terjadi pada
satu titik yang terfiksir dimana obyek berputar disekitar titik tersebut dan tetap kontak
dengan titik referensinya. Sebaga contoh : gerakan pendular, gerakan pintu, gerakan
menekuk siku, dan lain-lain.
Pada umumnya, dalam aktivitas kegiatan sehari-hari selalu terjadi perpaduan diantara
kedua gerakan tersebut.
DASAR NEUROLOGI GERAKAN MANUSIA
Sistem Saraf Pusat dan Sistem Saraf Tepi
Sistem saraf pusat adalah otak dan spinal cord (medulla spinalis). Otak terdiri atas
otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum) dan batang otak. Semua neuron yang
berada di kawasan Sistem Saraf Pusat yang menyalurkan impuls motorik disebut
dengan Upper Motor Neuron (UMN).
Sedangkan Sistem Saraf Tepi (Perifer) adalah saraf spinal dan saraf cranial serta saraf
otonom (saraf simpatik dan parasimpatik). Semua neuron yang berada dalam kawasan
Sistem Saraf Tepi yang menyalurkan impuls motorik ke sel otot skeletal disebut
dengan Lower Motor Neuron (LMN).
Neuron (sel saraf) adalah struktur elemen dasar dari sistem saraf. Neuron merupakan sel yang sangat exitable, yang menerima berita
atau informasi dari neuron lainnya atau receptor sensorik. Neuron mempunyai ukuran bentuk dan jumlah percabangan yang berbeda-
beda. Sebagai contoh, axon dari sebuah motor neuron kadang-kadang bisa menjadi sangat panjang dari segmen bawah spinal cord ke
otot-otot kaki.

Suatu neuron dapat berhubungan dengan neuron lainnya melalui synaps. Synaps
adalah regio kontak khusus diantara neuron-neuron dimana terjadi komunikasi antara
neuron yang satu dengan neuron yang lain. Didalam synaps, impuls-impuls dapat
terkirim melalui suatu mediator kimiawi (zat transmitter kimiawi) seperti acetilkholin.
Setiap neuron atau serabut saraf ada yang bersifat afferen dan ada yang bersifat
efferent. Serabut saraf afferen berfungsi untuk membawa informasi dari receptor-
receptor sensorik yang beragam ke Sistem Saraf Pusat, sedangkan serabut saraf
efferent berfungsi untuk mengirimkan impuls motorik dari Sistem Saraf Pusat ke otot.
Neuron yang menyalurkan impuls motorik adalah motoneuron. Pada Upper Motor
Neuron (UMN) terdapat system atau susunan piramidalis dan extrapiramidalis,
berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik.
a. Sistem Piramidalis
Neuron-neuron yang mencetuskan impuls somatomotorik adalah sel-sel di lamina
V atau lamina ganglionaris didalam corteks cerebri. Sel-sel tersebut dikenal
sebagai sel piramidal dari Betz yang terdapat didalam area 4 lobus frontalis.
Kemudian axon-axonnya berproyeksi secara teratur ke corpus striatum, thalamus,
batang otak dan medulla spinalis. Axon-axon tersebut muncul dari girus
temporalis dan girus frontalis (area 3, area 4 dan area 6).
Area 4 dan area 6 terletak didalam lobus frontalis. Area 4 merupakan area motorik
primer yang berada tepat di girus presentralis (gbr. 2.1). Pada area ini terdapat
peta daerah perwakilan bagian-bagian tubuh sisi kontralateral yang dikenal
dengan homunculus motorik (gbr. 2.2). Sedangkan area 6 merupakan area
premotorik yang ikut terlibat didalam menstimulasi gerakan.

Gambar 2.1
Kemudian serabut-serabut kortikofugal yang berasal dari corteks cerebri
memasuki inti-inti di pes pontis menjadi traktus parietotemporopontinus dan
traktus frontopontinus. Sedangkan serabut-serabut kortikofugal yang melanjutkan
diri ke medulla oblongata terdiri dari traktus kortikobulbar dan traktus
kortikospinalis, yang terkumpul dalam piramis. Traktus kortikospinalis yang
menuju ke medulla spinalis terbagi kedalam traktus kortikospinalis lateral yang
menuju ke funikulus posterolateral kontralateral medulla spinalis (yang
menyilang) dan traktus kortikospinalis ventralis yang menuju ke funikulus
ventralis ipsilateral medulla spinalis (gbr. 2.3)
Sementara serabut-serabut dari traktus kortikobulbar berjalan menyilang garis
tengah dan menuju ke motoneuron/inti-inti saraf cranial motorik (n.III, n.IV, n.V,
n.VI, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII).
Perjalanan traktus kortikospinalis lateral dan ventral, semakin ke caudal semakin
kecil jarasnya, karena banyak serabut sudah mengakhiri perjalanannya. Pada
bagian cervical terdapat 55 % jumlah serabut kortikospinalis, sedangkan pada
bagian thoracal dan lumbosacral berturut-turut mendapat 20 % dan 25 % serabut
kortikospinal
b. Sistem Extrapiramidalis
Susunan Extrapiramidalis terdiri atas beberapa komponen yaitu corpus striatum,
globus pallidus, inti-inti talamikus, nuclei subtalamikus, substansia nigra,
formatio retikularis batang otak, cerebellum dan corteks motorik area 4, 6 dan 8.
Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu sama lain oleh axon dari
masing-masing komponen tersebut. Dengan demikian terdapat beberapa lintasan
yang melingkari komponen-konponen tersebut, yang dikenal dengan sirkuit. Oleh
karena corpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap
neokorteks, maka lintasan tersebut dinamakan sirkuit striatal.
Secara sederhana, lintasan sirkuit tersebut dapat dibedakan dalam sirkuit striatal
utama (prinsipal) dan 3 (tiga) sirkuit penunjang (asesorik) yaitu sirkuit striatal
asesorik I, sirkuit striatal asesorik II dan sirkuit striatal asesorik III.
Sirkuit striatal utama (prinsipal) adalah hubungan antara corteks cerebri – corpus
striatum – globus pallidus – thalamus – corteks cerebri. Dengan demikian,
informasi yang tiba diseluruh neokorteks dikirim ke corpus striatum, globus
pallidus dan thalamus, untuk diproses lalu dimasukkan kembali ke corteks
motorik dan premotorik sebagai informasi umpan balik (feedback).
Bagian lintasan extrapiramidal yang mencakup sirkuit-sirkuit striatal tersebut
diatas menerima masukan dari lintasan yang berasal dari formatio retikularis
batang otak dan cerebellum (nucleus dentatus). Lintasan yang berasal dari kedua
kawasan tersebut merupakan sistem input dari sirkuit striatal. Impuls yang telah
diolah oleh sirkuit striatal disampaikan kepada corteks motorik dan premotorik di
lobus frontalis (area 4 dan area 6). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
serabut-serabut efferent dari daerah kortikal (corteks) itu merupakan penyalur
utama terhadap pesan-pesan yang berasal dari komponen-komponen susunan
extrapiramidalis berikut pesan dari nucleus dentatus (cerebellum) dan formatio
retikularis batang otak. Oleh karena itu, traktus kortikorubral, kortikoretikularis,
kortikotalamik dan kortikosubtalamik, yang semuanya berasal dari corteks tempat
sirkuit striatal berproyeksi merupakan sistem “output” sirkuit striatal. Semua
impuls yang disalurkan melalui sistem output tersebut disampaikan kepada α
motoneuron dan γ motoneuron di trunkus cerebri dan medulla spinalis melalui
traktus rubrospinalis, traktus retikulospinalis, traktus tektospinalis dan traktus
vestibulospinalis (gbr. 2.4 dan 2.5). Di tingkat cornu anterior medulla spinalis,
terdapat lintasan yang dikenal sebagai gamma loop. Melalui gamma loop ini,
sistem output sirkuit striatal mengatur tonus otot sesuai dengan pola gerakan
volunter.

Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron yang menyalurkan impuls motorik ke bagian perjalanan terakhir pada sel otot
skeletal. Oleh karena itu, LMN dengan axonnya dinamakan oleh Sherrington “Final Common Path” impuls motorik. Ada 2 jenis LMN
yaitu α motoneuron yang berukuran besar dan menjulurkan axonnya yang tebal (12-20 µ ) ke serabut otot extrafusal, dan γ
motoneuron yang berukuran kecil, axonnya halus (2-8 µ ) dan mensarafi serabut otot intrafusal. Melalui kedua jenis motoneuron
tersebut, impuls motorik dapat mengemudikan keseimbangan tonus otot yang diperlukan untuk mewujudkan setiap gerakan tangkas.
Kedua jenis motoneuron tersebut membentuk sirkuit gamma loop yang berhubungan dengan sistem piramidalis dan extrapiramidalis.
Sirkuit gamma loop adalah hubungan neuronal yang melingkari afferen muscle spindle (terdiri dari nuclear bag fibres dan nuclear
chain fibres), radiks dorsalis medulla spinalis, PHC medulla spinalis, AHC dan radiks ventralis medulla spinalis, γ motoneuron dan
α motoneuron (gbr 2.6a & b).
Tiap motoneuron menjulurkan hanya satu axon tetapi pada ujungnya menjadi bercabang-cabang, dimana setiap cabang mensarafi satu
serabut otot. Sebuah motoneuron yang mempersarafi sejumlah serabut otot merupakan satu kesatuan motorik yang disebut dengan
“motor unit”.
Reseptor adalah organ sensorik yang menerima informasi dari dunia luar. Reseptor terdiri atas exteroreceptor, enteroreceptor, dan
proprioceptor. Sedangkan reseptor yang terlibat langsung dengan aktivitas otot adalah proprioceptor dan exteroreceptor. Proprioceptor
mencakup receptor labyrinthine pada telinga (orientasi kepala), receptor sendi (arah gerakan sendi, posisi sendi dan lain-lain), serta
receptor muscle spindle otot dan golgi tendon organ (mencatat perubahan panjang otot skeletal dan lain-lain).
Exteroreceptor mencakup receptor kulit (mencatat adanya stimulus sentuhan, tekanan, panas, dingin, nyeri), receptor mata, telinga dan
hidung (kadang-kadang dinamakan teloreceptor). Sedangkan sistem saraf pusat yang terlibat didalamnya adalah lobus parietalis
corteks cerebri (area somatosensorik), lobus oksipitalis (area visual), lobus temporalis (area auditorik).

Neurofisiologi Gerakan
Impuls motorik yang menggiatkan berbagai motoneuron (dengan berbagai motor
unitnya) merupakan sebuah pola impuls, (bukan sebuah impuls saja) yang
menghasilkan sebuah pola gerakan tangkas, baik yang bersifat volunteer maupun
reflektorik. Pola impuls tersebut dibawa oleh susunan piramidal dan sistem output
striatal (susunan extrapiramidal). Pola itu mencakup program untuk menggalakkan
dan menghambat sejumlah α motoneuron dan γ motoneuron tertentu. Jika mereka
dibebaskan dari pengaruh sistem piramidal dan extrapiramidal maka mereka masih
dapat menggalakkan sel-sel serabut otot, tetapi corak gerakan otot yang terjadi tidak
sesuai dengan kehendak dan sifatnya tidak tangkas. Gerak otot tersebut bersifat
reflektorik, kasar dan massif.
Secara singkat, proses terjadinya gerakan yang disadari berawal dari sistem
somatosensorik yang memberikan “input” kepada berbagai Sistem Saraf Pusat
sehingga menghasilkan penyadaran terhadap informasi yang berasal dari dunia luar.
Kegiatan pada berbagai pusat pengolah “input” tersebut menelurkan suatu niat untuk
berekspresi ke dunia luar. Dengan timbulnya niat itu maka rencana untuk
mengadakan gerakan otot disiapkan oleh sistem somatomotorik. Komponen-
komponen yang membentuk sistem tersebut adalah susunan piramidal dan
extrapiramidal. Kedua perancang sebuah pola impuls motorik itu mencetuskan sebuah
pola impuls yang disampaikan kepada sejumlah motoneuron (α - dan γ -
motoneuron). Pada gilirannya, motoneuron menggiatkan satuan-satuan motoriknya
(motor unit) untuk menghasilkan gerakan yang diinginkan dan tangkas.
Tugas motoneuron hanya menggalakkan sel-sel serabut otot sehingga timbul gerak
otot, sedangkan untuk menghambat gerak otot tidak dipercayakan kepada motoneuron
melainkan kepada interneuron. Sel tersebut menjadi sel penghubung antara
motoneuron dengan pusat exitasi atau pusat inhibisi, yang berlokasi di formatio
retikularis batang otak. Interneuron tersebut dikenal sebagai sel Renshaw. Berikut ini
mekanisme dasar dari gerakan yang dikenal dengan Myotatic Reflex System :
a. Reciproke Inhibisi
Ketika sebuah neuron afferen dari muscle spindle yang aktif, masuk ke dalam
medulla spinalis, maka neuron tersebut bercabang dan bersinaps dengan sebuah
interneuron inhibitor. Kemudian interneuron tersebut bersinaps dengan α -
motoneuron dari otot antagonist sehingga menyebabkan otot tersebut menjadi
relaks. Dengan demikian, otot-otot primemovernya dapat menghasilkan gerakan
yang diinginkan.
b. Golgi tendon organ – autogenik inhibisi
Golgi tendon organ, seperti muscle spindle merupakan receptor-receptor sensorik
yang terdapat pada bagian otot. Golgi tendon organ terletak disepanjang interface
musculotendinogen dan didalam tendonnya sendiri. Receptor-receptor sensorik ini
adalah responsive terhadap perubahan tension yang mungkin terjadi dari kontraksi
insersio serabut otot atau traksi pada tendon itu sendiri. Impuls-impuls yang
muncul akan menginhibisi aktivitas otot yang langsung berhubungan dengan golgi
tendon organ tersebut. Mekanisme ini dinamakan dengan “autogenik inhibisi”.
c. Integrasi Spinal
Pada saat impuls-impuls afferen dari muscle spindle tiba di medulla spinalis,
impuls tersebut tidak hanya mempengaruhi aktivitas otot dimana muscle spindle
tersebut terletak, tetapi juga mempengaruhi otot-otot lain seperti otot antagonis
atau otot-otot yang sama pada sisi tubuh yang lain. Pengaruh ini diatur oleh
interneuron-interneuron didalam medulla spinalis yang mungkin terlokalisir pada
satu segmen spinal atau mungkin meluas.
d. Arcus Refleks
Adalah unit dasar dari aktivitas neural yang diintegrasi. Arcus refleks terdiri dari :
1) sebuah organ sensorik (receptor), 2) neuron sensorik/afferen, 3) mekanisme
SSP yang melibatkan sejumlah interneuron, yang tersebar ke atas pada beberapa
level SSP, 4) neuron motorik/efferent, 5) sebuah organ motorik (efektor) yang
menghasilkan respon (gerakan).
Ketika stimulus diberikan secara tiba-tiba maka terjadi respon refleks atau respon
yang tidak disadari (involunter). Refleks-refleks yang sederhana, secara relatif
diintegrasi didalam medulla spinalis, sedangkan respon-respon motorik yang lebih
kompleks dikontrol oleh level SSP yang jauh lebih tinggi seperti batang otak, otak
tengah atau corteks cerebri yang luas. Disana terdapat sejumlah refleks postural
yang melibatkan beberapa level SSP, yang mengkontribusikan kearah posisi dari
segmen-segmen tubuh. Disana juga perlu keseimbangan, yang merupakan suatu
interaksi kompleks dari refleks-refleks tersebut dengan kontrol aktivitas otot yang
disadari untuk mempertahankan posisi tegak seseorang.
PERKEMBANGAN GERAKAN
Gerakan mulai terjadi didalam kandungan ibu sampai anak lahir. Gerakan mengalami
proses perkembangan secara berkesinambungan sampai usia dewasa dan mengalami
penurunan pada saat memasuki usia tua.
Perkembangan kemampuan motorik dasar merupakan suatu gambaran perkembangan
pada tahun-tahun awal (balita). Perkembangan kemampuan motorik (gerakan) dapat
diobservasi selama masa kehidupan awal (0 – 2 tahun), dengan memeriksa perubahan
perkembangan motorik yang terjadi.
Prinsip-prinsip perkembangan yang disesuaikan dengan Illingworth adalah sebagai
berikut :
1. Perkembangan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, dimana terjadi
continuitas perkembangan pada bayi setiap bulan.
2. Perkembangan utamanya bergantung pada kematangan (maturasi) dari sistem saraf.
Kematangan (maturasi) adalah perkembangan struktur dan fungsi sistem saraf secara
bertahap mendekati sempurna seperti pada orang dewasa.
3. Dari serangkaian perkembangan, banyak yang sama pada semua anak, tetapi yang
bervariasi pada setiap anak adalah kecepatan perkembangan.
4. Arah perkembangan selalu dari arah kepala ke kaki (cephalocaudal). Bayi terlebih
dahulu memperoleh kontrol kepala sebelum dia dapat duduk.
5. Perkembangan selalu melibatkan perbedaan sifat/kelakuan, dimana terjadi perubahan
sifat/kelakukan secara bertahap dari relatif repetitif dan berbentuk stereotip (meniru-
niru) menjadi lebih meluas (berkembang). Pada saat lahir, gerakan bayi adalah
terbatas, tetapi menjelang usia 1 tahun dia sudah dapat berguling, duduk, berdiri,
berjalan dan bermain dengan mainan-mainan.
6. Pada umumnya berbagai aktivitas dapat memberikan arah terhadap respon-respon
individual yang spesifik. Bayi usia muda memberikan respond terhadap stimulus yang
terjadi di palmarnya dengan refleks menggenggam secara kasar. Menjelang usia 1
tahun, dia sudah dapat mengambil sebuah manik-manik (butiran kecil) dengan
gerakan pincer-like yang halus pada jari telunjuk dan ibu jari.
Perkembangan kemampuan motorik (gerakan) mulai usia 1 bulan sampai 2 tahun dapat
dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1

Perkembangan Kemampuan Motorik (Gerakan) Usia 1 – 12 Bulan


Usia Perkembangan Kemampuan Gerakan
(bulan) Motorik Kasar (gerak kasar) Motorik halus (gerak halus)
1  Perkembangan kontrol kepala secara  Memberikan reaksi dengan melihat
bertahap kearah sumber cahaya
 Menggerakkan kedua tangan dan
tungkai ketika terlentang tetapi masih
bersifat kasar dan tersentak-sentak
2  Masih dominan terjadi refleks postur  Idem
dan gerakan
3  Dalam posisi terlentang, jika kedua  Idem
tangannya ditarik ke atas untuk duduk
maka kepalanya masih tertinggal
(extensi)
4  Dalam posisi telungkup, kepala dan  Dapat meraih benda/mainan yang
dada dapat diangkat dengan sanggahan terjangkau olehnya
pada kedua lengannya
5 Idem
 Dalam posisi terlentang, mampu 
mengangkat kedua kakinya dan
dibawa kearah mulutnya
 Mampu berguling dari terlentang ke
telungkup, kemudian dari telungkup
ke terlentang.
6
 Dalam posisi duduk, mampu mem-  Memindahkan benda/mainan dari
pertahankan kepala + badan tetap tangan yang satu ke tangan yang lain
tegak
7
 Idem  Idem
8
 Idem  Idem
9
 Posisi duduk sudah stabil, dapat  Mengambil benda kecil sebesar biji
membalikkan badan ke samping kiri- jagung atau manik-manik dengan
kanan ketika duduk. gerakan meraup.
 Dapat berdiri dengan berpegangan
10
 Berusaha untuk merangkak  Idem
 Berdiri dan berjalan dengan
11 berpegangan
 Berdiri dengan berpegangan sambil  Idem
bermain memegang benda
12  Berjalan disekitar meja atau kursi
 Dapat berjalan beberapa langkah  Mengambil benda kecil sebesar biji
jagung atau manik-manik dengan
gerakan pincer-like (menjepit).
BAB III
PRINSIP-PRINSIP MEKANIKAL

GAYA DAN GERAK


Yang menyebabkan terjadinya gerakan atau perubahan keadaan istirahat tubuh adalah
Gaya (= F). Dalam tubuh manusia, gaya dihasilkan oleh kontraksi otot yang disebut dengan
gaya internal. Sedangkan gaya external yang bekerja pada tubuh manusia adalah :
Gaya berat (gaya gravitasi = Fw) adalah gaya tarik bumi yang mempengaruhi keadaan
tubuh manusia dan selalu bekerja kearah bawah (kearah perut bumi).
Gaya normal (Fn) adalah gaya reaksi dari sebuah bidang tumpuan dan selalu bekerja
tegak lurus pada bidang kontaknya.
Gaya gesek (Fz) adalah gaya yang timbul bila 2 buah obyek saling kontak dan berpindah
dalam arah yang berlawanan.
Gaya manual dari fisioterapis atau gaya mekanikal yang digunakan oleh fisioterapis.
Gaya yang bekerja pada suatu tubuh dapat digambarkan dengan menggunakan vector
yaitu menggunakan tanda panah. Arah gaya dapat ditunjukkan oleh arah tanda panah,
sedangkan besarnya gaya dapat ditunjukkan dengan panjangnya tanda panah. Titik aplikasi
gaya dapat dilihat dari ekor tanda panah dimana tanda panah tersebut ditarik kearah gaya
yang bekerja.
Didalam mempelajari gerakan pada tubuh manusia, perlu untuk mengetahui beberapa
jenis sistem gaya yang bekerja, yaitu :
1. Gaya searah dan sejajar ; terjadi ketika 2 buah gaya atau lebih bekerja dalam arah
yang sama dan sejajar, sehingga resultan gayanya bekerja dalam arah yang sama,
sejajar dan berada diantara kedua gaya tersebut, serta dapat dihitung secara aljabar.
2. Gaya berlawanan arah, sejajar dan sama besar ; terjadi ketika 2 buah gaya atau lebih
bekerja dalam arah yang berlawanan, sejajar dan kedua buah gaya tersebut sama
besarnya, sehingga akan menghasilkan keseimbangan atau tubuh dalam keadaan
diam.

48
Bab 5. Postur

3. Gaya berlawanan arah, sejajar dan tidak sama besar ; sama dengan di atas, tetapi
kedua buah gaya yang bekerja tidak sama besarnya, sehingga resultan gayanya
bekerja sejajar dengan gaya yang paling besar dan berada diluar gaya yang terbesar
serta dapat dihitung secara aljabar.
4. Gaya tidak sejajar dan berlawanan arah ; terjadi ketika 2 buah gaya bekerja tidak
sejajar dan berlawanan arah dalam satu titik aplikasi gaya.
Gaya yang bekerja pada tubuh manusia menganut Hukum Newton, yang terdiri atas :
1. Hukum Newton I (Hukum Inersia)
Hukum ini menyatakan bahwa :
a. Jika jumlah gaya = 0 (Σ F = 0), maka gaya-gaya yang bekerja adalah sama
besarnya sehingga tubuh tetap dalam keseimbangan.
b. Jika jumlah gaya ≠ 0 (Σ F ≠ 0), maka gaya-gaya yang bekerja tidak sama
besarnya sehingga terjadi perubahan posisi tubuh (bergerak).
Berdasarkan uraian di atas, maka inersia adalah keengganan suatu tubuh untuk
merubah apa yang sedang dilakukannya, baik dalam keadaan istirahat maupun dalam
keadaan terus bergerak. Tubuh dengan massa yang lebih besar mempunyai inersia
yang lebih besar.
Massa adalah banyaknya material (unsur) yang dikandung oleh suatu tubuh atau
segmen tubuh dan memiliki besaran yang konstan, dimana berlaku pada semua
tempat. Massa merupakan suatu ukuran dari inersia tubuh. Satuan massa adalah
kilogram (kg) atau pound (lb). Sedangkan berat adalah gaya gravitasi dari suatu tubuh
atau segmen tubuh dan memiliki besaran yang berbeda pada setiap tempat, sehingga
berat tubuh dapat dinyatakan dalam rumus w = m.g, dimana m adalah massa (kg) dan
g adalah gaya gravitasi (9,8 m/s atau 10 m/s).
Dalam aktivitas kegiatan sehari-hari, tubuh manusia mengalami gerakan rotasi dan
translasi sehingga massa tubuh dapat didistribusikan disekitar axis sendi yang
bergerak. Dengan demikian, moment inersia yang dihasilkan oleh tubuh dapat
dinyatakan dengan rumus :
I = m1r12 + m2r22 + … + mnrn2  I = Σ mr2
I = moment inersia r = jarak tegak lurus massa dari axis m = massa

49
Bab 5. Postur

Adanya perubahan posisi-posisi tubuh maka distribusi massa disekitar axis dapat berubah, sehingga konsekuensinya moment inersia
juga ikut berubah. Bentuk-bentuk ini merupakan dasar untuk memilih posisi awal (starting position) yang cocok didalam latihan
sehingga pada awal gerakan dapat dengan mudah mengatasi inersia tubuh.

2. Hukum Newton II (Hukum Percepatan)


Hukum ini menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi percepatan suatu tubuh yaitu gaya, massa dan percepatan (angka perubahan
dari kecepatan). Percepatan suatu tubuh adalah berbanding lurus dengan gaya yang tidak seimbang bekerja pada tubuh, dan
berbanding terbalik dengan massa tubuh. Dengan demikian, dapat dinyatakan dalam rumus :

F a = percepatan
a =  F = gaya
m m = massa

Suatu dorongan yang besar terhadap obyek yang kecil akan menggerakkan obyek
dengan cepat (=percepatan). Sebaliknya, suatu dorongan yang kecil terhadap obyek
yang besar akan menggerakkan obyek dengan lambat (=perlambatan).
3. Hukum Newton III
Hukum ini menyatakan bahwa untuk setiap aksi yang terjadi selalu ada reaksi dalam
arah yang berlawanan dan sama besar gayanya. Jika kita berdiri di atas meja, maka
kita mempunyai gaya aksi yang vertikal ke arah bawah, sementara meja memberikan
gaya reaksi yang vertikal ke arah atas (berlawanan arah), sehingga kedua gaya
tersebut disimbolkan sebagai gaya aksi = gaya reaksi.

MOMENTUM DAN MOMEN GAYA


Momentum merupakan kuantitas gerakan dari suatu tubuh. Pada saat gerakan dimulai,
tubuh yang mempunyai massa akan menghasilkan kecepatan gerakan tertentu. Jika tubuh
mempunyai massa yang berat maka gaya yang bertanggungjawab terhadap momentum akan
menghasilkan gerakan yang lambat dan akan menghasilkan gerakan yang cepat pada tubuh
yang bermassa kecil. Jika 2 tubuh bergerak dengan kecepatan yang sama dan salah satu tubuh
mempunyai massa yang lebih besar maka tubuh tersebut akan mempunyai momentum yang
lebih besar. Demikian pula, jika 2 tubuh mempunyai massa yang sama tetapi salah satunya
dapat bergerak lebih cepat maka tubuh tersebut mempunyai momentum yang lebih besar.
Momen gaya adalah kecenderungan suatu obyek untuk bergerak/berputar disekitar axis
(fulcrum) akibat pengaruh gaya. Gerakan yang terjadi pada bagian/segmen tubuh tergantung
pada :

50
Bab 5. Postur

besarnya gaya
jarak titik gaya tersebut dengan axis/fulcrum (lengan gaya).
Sehingga dapat dinyatakan dalam rumus :
M = F.d  M = momen gaya F = gaya d = lengan gaya
Semakin panjang lengan gaya maka semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk bekerja.
Momen gaya juga terjadi pada Sistem Tuas dan Kopel. Pada Sistem Tuas, jika Σ M = 0
dan Σ F = 0, maka akan terjadi keseimbangan pada sebuah Tuas, begitu pula pada Kopel.
Kopel gaya terjadi jika 2 buah gaya bekerja sejajar tetapi berlawanan arah. Dengan
demikian, prinsip keseimbangan pada sebuah obyek adalah Σ M = 0 dan Σ F = 0.

KESEIMBANGAN DAN STABILITAS


Jika sebuah obyek/benda dalam keadaan diam, kemudian tiba-tiba sebuah gaya bekerja
pada obyek/benda tersebut, maka keseimbangannya akan terganggu. Obyek tersebut akan
mengalami perubahan posisi atau bergerak dari posisi semula. Prinsip mekanik yang
mendasari sifat-sifat obyek yang kaku dapat digunakan untuk mempelajari kondisi
keseimbangan tubuh manusia dalam suatu posisi. Untuk setiap posisi tubuh, maka perlu
untuk mengetahui :
Pusat gravitasi tubuh
Garis gravitasi (proyeksi garis vertikal ke bawah)
Dasar tumpuan (area tumpuan)

Bentuk-bentuk Keseimbangan
1. Keseimbangan Indifferen (netral)

51
Bab 5. Postur

Keseimbangan indifferen terjadi jika tubuh mengalami posisi rest dalam posisi yang
baru tanpa ada perubahan pada level pusat gravitasi ketika tubuh berpindah. Misalnya
pada sebuah bola yang berguling atau berputar di atas permukaan yang rata.
2. Keseimbangan Stabil
Jika suatu gaya telah terjadi pada tubuh yang diam dan tubuh cenderung untuk
kembali ke posisi awalnya setelah mengalami perubahan posisi, maka keseimbangan
tersebut dikatakan stabil. Dalam kondisi ini, pusat gravitasi harus naik sebelum
proyeksi garis gravitasi jatuh diluar dasar tumpuan. Posisi yang paling stabil pada
tubuh manusia adalah posisi dimana pusat gravitasi lebih dekat dengan dasar
tumpuan, seperti pada saat tubuh berbaring, dimana pusat gravitasi sangat dekat
dengan dasar tumpuan dan menghasilkan energi potensial yang minimal.
3. Keseimbangan Labil
Jika suatu gaya tiba-tiba bekerja pada tubuh yang diam, kemudian tubuh tersebut
cenderung untuk meningkatkan perpindahannya tanpa bisa kembali ke posisi awalnya
maka keseimbangan tersebut dikatakan labil. Dalam kondisi ini, pusat gravitasi akan
turun sehingga proyeksi garis gravitasi jatuh diluar dasar tumpuan asal. Pada tubuh
manusia, posisi yang labil adalah posisi dimana pusat gravitasi berada jauh di atas
dasar tumpuan dan dasar tumpuan yang kecil.
4. Keseimbangan Metastabil
Pada keadaan ini, pusat gravitasi atau titik berat tubuh selalu berpindah-pindah baik
ke atas maupun ke bawah setiap terjadi perubahan posisi. Keseimbangan ini terjadi
pada saat tubuh dalam keadaan dinamis (bergerak), seperti berjalan di atas titian
bambu/ balok, bermain ski, dan lain-lain.
Dalam sistem gaya, untuk menghitung besarnya gaya yang bekerja pada otot
dalam keadaan statis, maka digunakan prinsip keseimbangan yaitu Σ M = 0 dan Σ F = 0,
dimana momen gaya yang searah jalan jam diberi label (+), sedangkan yang berlawanan
arah jalan jam diberi label (-). Σ M = 0  M1 – M2 = 0 atau (Fw x dw) – (Fotot x dotot) = 0.
Kaitannya dengan Resisted Exercise dan Asisted Exeercise, maka efektifitas gaya yang
dihasilkan bergantung pada :
a. Jarak titik aplikasi R / A dari fulcrum

52
Bab 5. Postur

b. Sudut tahanan atau asisted


Dengan demikian, semakin panjang lengan gaya yang teraplikasikan maka semakin besar
efektifitas gaya yang dihasilkan. Prinsip ini dapat digunakan oleh fisioterapis untuk
menghemat tenaga yang dimilikinya.

Stabilitas
Stabilitas suatu tubuh bergantung pada :
1. luasnya bidang/dasar tumpuan ; semakin luas dasar tumpuan maka stabilitasnya
semakin tinggi
2. Letak titik berat tubuh terhadap dasar tumpuan ; semakin tinggi titik berat tubuh dari
dasar tumpuan maka stabilitasnya semakin rendah, dan sebaliknya.
3. Proyeksi titik berat tubuh ke dasar tumpuan ; semakin dekat proyeksi titik berat tubuh
(proyeksi garis gravitasi) ke pusat dasar tumpuan maka stabilitasnya semakin tinggi,
begitu pula sebaliknya
4. Berat tubuh ; tubuh yang mempunyai massa yang lebih besar akan lebih stabil
daripada tubuh yang bermassa kecil.
Untuk mencapai stabilitas yang tinggi, maka :
a. Titik berat tubuh terletak lebih rendah atau dekat sekali dengan dasar
tumpuan.
b. Proyeksi garis gravitasi jatuh dekat atau pada pusat dasar tumpuan.
c. Dasar tumpuan yang luas.
d. Berat badan yang relatif besar.

USAHA DAN ENERGI


Usaha
Jika ada suatu gaya yang bekerja (kontraksi otot) terhadap sebuah obyek/benda
sehingga benda tersebut bergerak melalui suatu jarak tertentu disebut dengan Usaha.
Dengan demikian, dapat dinyatakan dengan rumus :
W = F x s  W = Usaha F = Gaya s = jarak
Usaha yang dihasilkan oleh kontraksi otot yang secara aktif memendek untuk menggerakkan beban eksternal disebut dengan Usaha
yang Positif. Sedangkan usaha yang dihasilkan oleh gaya eksternal seperti gaya gravitasi dan otot dalam keadaan aktif memanjang
disebut dengan Usaha yang Negatif.

53
Bab 5. Postur

Ketika otot berkontraksi untuk menggerakkan suatu obyek/benda tetapi obyek/benda tersebut tidak bergerak (terjadi kontraksi
isometrik), maka dalam pengertian mekanikal tidak ada Usaha yang terjadi. Oleh karena itu, dalam fisiologi kita tidak mengatakan
Usaha Statis melainkan kontraksi otot statis.

Energi
Energi adalah kapasitas suatu obyek untuk melakukan usaha. Energi adalah salah satu bentuk usaha dan satuannya juga Joule (J =
N.m). Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan tetapi energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Energi kimia
yang digunakan untuk menghasilkan kontraksi otot akan diubah kedalam energi mekanik dan energi panas. Energi mekanik
mempunyai 2 bentuk energi, yaitu :

Energi Kinetis, yaitu suatu energi dari tubuh manusia yang dihasilkan oleh gerakan
tubuh tersebut. Hanya tubuh yang bergerak memiliki energi kinetik. Banyaknya
energi yang dimiliki oleh tubuh bergantung pada kecepatan geraknya. Oleh karena
itu, jika lebih banyak otot yang berkontraksi selama gerakan sehingga kecepatan
gerakannya meningkat, maka segmen tubuh yang bergerak tersebut akan memiliki
peningkatan kapasitas untuk melakukan usaha, dan segmen tubuh tersebut
mempunyai energi kinetik yang tinggi. Energi kinetik ditentukan oleh 2 faktor
yaitu : massa dan kecepatan, sehingga dapat dirumuskan Ekin = ½ m.v2
Energi Potensial, yaitu energi yang dimiliki oleh tubuh manusia, yang disebabkan
oleh posisi tubuh tersebut atau adanya deformasi. Sebagai contoh, seseorang yang
sedang berdiri diatas peti mempunyai energi potensial yang lebih besar daripada
seseorang yang hanya berdiri diatas lantai. Hal ini terjadi karena seseorang yang
berdiri di atas peti akan melakukan usaha yang tinggi untuk melawan gaya berat
(gaya gravitasi) sehingga memiliki energi potensial yang tinggi. Dengan
demikian, dapat dinyatakan dalam rumus : Epot. = m.g.h
SISTEM LEVER
Tubuh manusia dapat dianggap sebagai suatu sistem lever yang kompleks. Dari
pernyataan tersebut, maka lever adalah sebuah batang yang keras dan kaku, yang bergerak
atau berputar disekitar titik yang terfiksir (fulcrum), dimana gerakan atau putaran tersebut
dihasilkan oleh gaya. Jika ada sebuah obyek/benda berputar disekitar axisnya akibat
pengaruh gaya yang bekerja, maka putaran benda tersebut akan melawan resisten yang
berasal dari massa obyek/benda tersebut dan beban external.
Beberapa hal yang penting dalam lever antara lain :
 Titik dimana obyek tersebut berputar
 Titik dimana gaya bekerja pada benda tersebut

54
Bab 5. Postur

 Titik dimana gerakan obyek tersebut memperoleh resisten yang terkonsentrasi


Pada tubuh manusia, tulang merupakan lever dan fulcrumnya (axis) adalah sendi,
sedangkan gaya yang bekerja pada lever adalah kontraksi otot (titik gayanya pada insersio
otot tersebut). Sementara resistennya dihasilkan oleh gaya berat (gaya gravitasi) lever
tersebut atau dari beban external.
Dari ketiga hal penting tersebut diatas, maka dapat diklasifikasikan sistem lever kedalam
3 tingkatan, yaitu :
Lever Tk. I ; fulcrum/axis terletak diantara gaya dan resisten. Lever ini dapat mencapai
keseimbangan jika lengan gaya dan lengan resisten sama panjangnya serta besarnya
gaya dan resisten adalah sama besar. Contoh lever tk. I adalah posisi
mempertahankan kepala tetap tegak, dimana levernya adalah tengkorak. Atlanto-
occipital joint sebagai fulcrum (axis), kontraksi/aktivitas otot extensor leher untuk
mempertahankan posisi kepala tetap tegak merupakan gaya (F), dan resistennya
adalah gaya berat dari kepala bagian anterior.
Lever Tk. II ; resisten terletak diantara fulcrum dan gaya, dimana resisten selalu dekat
dengan fulcrum. Pada lever ini selalu terbentuk sistem lever untuk meningkatkan
gaya atau usaha dari otot. Sebagai contoh, berjinjit dimana foot kompleks merupakan
levernya, metatarsophalangeal joint sebagai fulcrum (axis), kontraksi otot triceps
surae sebagai gaya (F), dan resisten berasal dari gaya berat tubuh yang diproyeksikan
ke kaki.
Lever Tk. III ; gaya terletak diantara fulcrum dan resisten. Lever ini sering terjadi pada
aktivitas kegiatan sehari-hari, karena sebagian besar lever pada tubuh manusia adalah
lever tk. III.
Efisiensi dari suatu lever bergantung pada dimana gaya tersebut bekerja kaitannya
dengan fulcrum. Hal ini ditentukan oleh kalkulasi “Mechanical Advantage (MA)” yang
dinyatakan dengan rumus :

Arm F

MA = -------
Arm R

55
Bab 5. Postur

Jika lengan gaya lebih besar daripada lengan resisten maka MA > 1, dan sistem
lever ini bertujuan untuk meningkatkan gaya atau usaha. Tetapi jika lengan resisten lebih
besar daripada lengan gaya maka MA < 1, sehingga sistem lever ini bertujuan untuk
meningkatkan kecepatan gerak dan ROM.

Sebagian besar lever dalam tubuh manusia mempunyai MA < 1.

Prinsip Lever dalam Fisioterapi


Sistem lever sering diterapkan pada metode Strengthening Exercise. Untuk
meningkatkan kekuatan otot, maka beban atau tahanan harus ditingkatkan sampai mencapai
kemajuan yang maksimal. Ada 2 faktor yang dapat meningkatkan kekuatan otot yaitu :
1. Meningkatkan resisten atau berat beban.
2. Meningkatkan panjang lengan resisten (peningkatan leverage)
Sebagai contoh, Abduksi shoulder dengan elbow fleksi dapat menurunkan leverage, dan
secara relatif kontraksi otot yang dihasilkan kurang maksimal sehingga otot-otot yang
agak lemah dapat melakukan gerakan ini, sedangkan jika leverage ditingkatkan dengan
cara mengekstensikan elbow maka akan menghasilkan kontraksi otot yang kuat sekali.

TITIK BERAT TUBUH


Titik berat adalah suatu titik dimana gaya berat (gaya gravitasi) bekerja pada
sebuah obyek/benda. Pada benda padat yang bersifat homogen dan bentuknya teratur,
maka titik beratnya selalu berada ditengah atau dapat ditentukan dengan cara Aljabar.
Tetapi hal ini tidak dapat diterapkan pada benda atau obyek yang bersifat heterogen atau
bentuknya tidak teratur. Tubuh manusia yang memiliki bentuk tidak teratur atau
heterogen, mempunyai titik berat yang selalu berpindah-pindah (tidak pernah menetap)
karena setiap terjadi perubahan posisi pada tubuh atau segmen tubuh, titik beratnya juga
akan mengalami perubahan.
Dalam posisi berdiri, titik berat tubuh (pusat gravitasi) terletak didalam pelvis
yakni disekitar upper sacrum (tepat berada di depan Vert. S2). Jika terjadi perubahan
posisi maka titik berat tubuh tersebut akan mengalami perpindahan. Sedangkan titik berat
pada setiap segmen tubuh terletak disekitar 4/7 dari ujung distal segmen tersebut. Jika

56
Bab 5. Postur

tubuh kita mengalami amputasi atau memakai corset pada punggung maka titik berat
tubuh tersebut akan mengalami perubahan.
Tubuh manusia memiliki beberapa segmen tubuh dan masing-masing segmen
mempunyai titik berat bagian yang dapat ditentukan letaknya.Untuk mencari atau
menentukan titik berat bagian yang melibatkan 2 atau 3 segmen tubuh maka kita harus
menentukan gaya berat pada setiap segmen tersebut. Gaya berat pada setiap segmen
tubuh dapat diperoleh berdasarkan persentase massa bagian-bagian tubuh menurut
Demster (gbr. 3.1).

Gambar 3.1
Dengan demikian, cara menentukan titik berat bagian adalah :
Mtot = M1 + M2 + … + Mn.
Jika hanya melibatkan 2 segmen tubuh maka :

Mtot = M1 + M2  Ftot x dtot = (F1 x d1) + (F2 x d2)


Contoh : Tentukan titik berat total pada seluruh lengan dalam posisi abduksi 90o !

57
Bab 5. Postur

STATIKA
Statika adalah ilmu yang mempelajari tentang keseimbangan dari suatu sistem
yakni tubuh manusia baik secara keseluruhan maupun sebagian seperti lengan atas,
lengan bawah dan lain-lain. Statika merupakan bagian dari kinetika, dimana dalam statika
akan banyak mempelajari keadaan keseimbangan tubuh yang harus memenuhi 2 syarat
keseimbangan yaitu ΣM = 0 dan ΣF = 0. Keseimbangan suatu tubuh merupakan resultan
dari berbagai gaya yang bekerja pada tubuh tersebut.
Untuk menganalisa gaya-gaya yang bekerja pada sendi dan otot dalam keadaan
statis maka digunakan sistem keseimbangan dimana keseimbangan tubuh dipengaruhi
oleh gaya external dan gaya internal. Gaya external yang sangat mempengaruhi sistem
keseimbangan adalah gaya berat (Fw) dan gaya normal (Fn). Gaya normal akan
diperhitungkan jika anggota gerak tubuh menumpu berat badan di atas lantai/tanah,
sedangkan gaya berat selalu diperhitungkan didalam menentukan besarnya gaya pada otot
dan sendi.
Gaya otot merupakan reaksi terhadap gaya external. Tanpa gaya external maka
gaya otot tidak dapat ditentukan. Disamping gaya external, besarnya sudut pada saat otot
bekerja sangat menentukan besarnya gaya otot tersebut. Begitupula jarak antara gaya-
gaya external terhadap titik putar (axis) juga mempengaruhi besarnya gaya otot tersebut.
Sedangkan gaya reaksi di titik putar (gaya reaksi sendi) dipengaruhi oleh gaya external
dan gaya otot. Kita dapat mengatakan bahwa gaya ini adalah suatu reaksi terhadap gaya
external dan gaya otot. Gaya reaksi ini terutama terjadi pada sendi, tulang, kapsul dan
ligamen, yang biasa dinamakan dengan gaya reaksi sendi. Gaya reaksi sendi dan gaya
otot merupakan gaya internal, yang umumnya menghasilkan gaya yang lebih besar
daripada gaya external.
Untuk menghitung gaya otot dan gaya reaksi sendi digunakan rumus ΣM = 0 dan
ΣF = 0. Jika sudut tarikan otot membentuk sudut 90o maka kita langsung menggunakan
rumus di atas, tetapi jika sudut tarikan otot selain dari 90o (kurang atau lebih dari 90o)
maka kita harus menggunakan komponen rectangular yaitu komponen rotasi dan
komponen stabilisasi.

58
Bab 5. Postur

Komponen rotasi adalah komponen gaya yang tegak lurus dengan garis
penghubung yang dibentuk oleh garis gaya otot yang bekerja dan komponen stabilisasi.
Komponen gaya ini yang menghasilkan gerakan rotasi disekitar axis sendi. Sedangkan
komponen stabilisasi adalah komponen gaya yang arahnya selalu ke titik putar (axis
sendi). Komponen ini tidak memiliki moment gaya tetapi hanya menimbulkan tekanan
pada sendi. Jika sudut tarikan otot kurang dari 90o maka komponen ini mempunyai efek
stabilisasi yang besar dan jika lebih dari 90o maka komponen ini menghasilkan efek
distraksi/traksi pada sendi.
Jika kita menggunakan komponen rectangular didalam menghitung gaya otot dan
gaya reaksi sendi maka kita harus mempertimbangkan rumus Pythagoras dan
Trigonometry.
Contoh : Hitunglah besar gaya otot biceps brachii dan gaya reaksi sendi elbow pada ROM
sendi 30o.

FRICTION (Gaya Friksi)


Friction adalah gaya tahanan yang muncul ketika suatu tubuh bergerak atau cenderung
bergerak melalui permukaan sanggahan. Kemampuan untuk berjalan dan untuk
menggenggam berbagai obyek dengan kedua tangan adalah bergantung pada gaya frictional.
Gaya friction dapat mencegah terjadinya gerakan seperti penggunaan rubber (karet)
pada permukaan sanggahan. Gaya friksional yang dihasilkan selama gerakan dinamakan
dynamic friction, sedangkan limiting friction adalah gaya friksional yang dihasilkan ketika
terjadi slide disekitar permukaan sanggahan. Limiting friction mempunyai gaya friction yang
lebih besar sampai mencapai nilai maksimum daripada dynamic friction.
Gaya frictional maksimal (limiting friction) bergantung pada :
Besarnya tahanan (pressure) dari permukaan sanggahan
Sifat material/bahan dari permukaan dan efek yang ditimbulkan berkaitan dengan derajat
kekasaran permukaan.
Hal ini dinamakan dengan Co-effisien friction dan dinyatakan dengan simbol μ. Co-
effisien friction untuk kruk yang berujung rubber di atas permukaan lantai keramik adalah
0,30 – 040 μ, sedangkan co-effisien friction pada kruk yang sama di atas kayu atau papan

59
Bab 5. Postur

yang kasar adalah 0,70 – 0,75 μ. Dengan demikian, gaya frictional yang besar dapat terjadi
pada permukaan yang kasar. Penggunaan talcum powder (bedak) atau oil (minyak) pada
permukaan sanggahan dapat lebih besar menurunkan gaya friction dan menghasilkan gerakan
yang lebih mudah, sedangkan penggunaan suspension dapat mengeliminir seluruh tahanan
frictional. Dengan meningkatkan gaya frictional, juga dapat memberi keamanan dalam
latihan seperti lantai gymnasium yang non-slip, alas kaki yang non-slip, alat bantu berjalan
yang berujung rubber, dan lain-lain.
Dalam praktek, gaya friction dapat dimodifikasi dengan cara :
1. Mengubah sifat permukaan kontak dengan menggunakan bahan/material yang
mempunyai co-effisien friction (gaya friction) yang besar atau kecil. Sebagai contoh,
tapak sepatu yang rubber mungkin lebih efektif daripada tapak sepatu yang berkulit
keras tetapi gaya friction yang dihasilkan akan bergantung pada permukaan jalan.
2. Mengubah gaya berat yang menekan permukaan. Sebagai contoh, sebuah back
pack yang diikat pada punggung seseorang dapat menyebabkan peningkatan total
berat tubuh yang menekan ke bawah terhadap permukaan sanggahan.

Ga

BAB IV
BIOMEKANIK STRUKTUR PENGGERAK PASIF

60
Bab 5. Postur

A. BIOMEKANIK TULANG DAN JARINGAN TULANG


Fungsi dari sistem skeletal adalah untuk melindungi organ – organ internal,
memberikan perlengketan terhadap otot, mefasilitasi kerja otot dan gerakan tubuh (alat
gerak pasif). Tulang mempunyai unsur mekanikal yang unik dan dapat berubah unsur-
unsur dan konfigurasinya jika terjadi kerusakan (fraktur). Perubahan bentuk tulang dapat
diobservasi selama proses penyembuhan tulang dan setelah operasi tertentu.
Strength dan stiffnes merupakan unsur mekanikal yang penting dari tulang ketika

beban diaplikasikan pada struktur tulang. Adanya deformasi pada struktur tersebut dapat

diukur dan tergambar dalam kurva load – deformasi, serta kapasitas strength dan stiffnes

dari struktur tersebut dapat ditentukan. Pada kurva load – deformasi menunjukkan tiga

parameter untuk menentukan strength dari struktur tersebut. 1) Struktur tersebut dapat

menahan beban sebelum failure, 2) Struktur tersebut dapat menahan deformasi sebelum

failure, 3) Struktur tersebut dapat menyimpan energi sebelum failure.

Kurva load deformasi berguna untuk menunjukkan strength dan stiffness dari seluruh struktur tulang. Untuk memeriksa sifat
mekanikal dari bahan/unsur yang menyusun sebuah struktur dan membandingkannya dengan bahan atau unsur yang berbeda maka
digunakan tes spesimen yang standar dengan memakai kurva stress – strain.

Stress adalah beban perunit area yang berkembang pada permukaan tulang
sebagai respon terhadap beban ekternal yang terjadi, yang dinyatakan dalam gaya per unit
area yaitu N/cm2 atau N/m2 dan lainnya.
Strain adalah deformasi yang terjadi pada suatu titik dalam struktur tersebut
akibat pengaruh pembebanan. Ada 2 jenis dasar dari strain yakni :
1) Normal strain adalah besarnya deformasi yang dapat merubah panjang struktur
tersebut (memanjang).
2) Shear strain adalah besarnya deformasi angular yang terjadi pada struktur tersebut
sehingga terjadi perubahan sudut pada struktur tersebut.
Skeleton (tulang) tersusun dari tulang kortikal dan tulang cancellous. Kedua jenis
tulang ini mempunyai salah satu unsur atau bahan porosity (berpori – pori). Pada tulang
kortikal mempunyai porous sekitar 5 – 30% sedangkan tulang cancellous mempunyai

61
Bab 5. Postur

porous sekitar 30 – 90%. Karena itu, tulang kortikal lebih kaku dari pada tulang
cancellous, dan tulang kortikal dapat menahan beban stress yang besar daripada beban
strain.
Sifat tulang terhadap bentuk pembebanan yang beragam.
Gaya dan momen dapat diaplikasikan pada sebuah struktur tulang dalam berbagai
arah, sehingga menghasilkan beban tention, kompresi, bending (pembengkokan), shear,
torsion dan kombinasi beban (gbr 4.1)
1. Tension
Pada beban tensile, beban yang sama besar dan berlawanan arah diaplikasikan ke arah
luar (menjauh) dari permukaan struktur tulang, dan menghasilkan stress tensile dan
strain dibagian dalam struktur tersebut. Stress tensile dapat didefinisikan sebagai
beberapa gaya kecil yang arahnya menjauh dari permukaan struktur tulang. Maksimal
stress tensile terjadi pada bidang tegak lurus terhadap beban tension (gbr. 4.2).
Dibawah pengaruh beban tensile maka struktur tulang akan memanjang dan menipis.
Mekanisme kerusakan dari jaringan tulang akibat beban tension adalah terutama
terpecahnya garis-garis semen didalam tulang dan tertarik keluar dari sel – sel tulang.
Secara klinis, fraktur yang dihasilkan oleh beban tensile biasanya nampak pada tulang
cancellous. Sebagai contoh, fraktur pada basis metatarsal V yang berdekatan dengan
perlekatan tendon peroneus brevis dan fraktur pada calcaneus yang berdekatan
dengan perlekatan tendon Achilles. Suatu fraktur pada calcaneus akibat kontraksi
yang kuat dari otot trisep surae dapat menghasilkan beban tensile yang tinggi pada
tulang tersebut.
2. Kompresi
Pada beban kompresi, beban yang sama besarnya dan berlawanan arah teraplikasi
kearah permukaan struktur tulang dan stress kompresi serta strain terjadi didalam
struktur tulang. Stress kompresi dapat dianggap sebagai beberapa gaya yang kecil,
yang diarahkan kedalam permukaan struktur tulang. Maksimal stress kompresi terjadi
pada bidang tegak lurus dengan beban yang teraplikasi (gbr. 4.3). Dibawah beban
kompresi maka struktur tulang akan memendek dan melebar. Mekanisme kerusakan

62
Bab 5. Postur

yang terjadi pada jaringan tulang utamanya adalah keretakan sel – sel tulang secara
oblique.
Fraktur yang dihasilkan oleh beban kompresi biasanya dijumpai pada vertebra,
dimana menunjukkan suatu pemendekan dan pelebaran yang terjadi pada vertebra
manusia akibat beban compresi yang tinggi.
Beban compresi yang dapat merusak suatu sendi dihasilkan oleh kontraksi kuat yang
abnormal dari otot – otot disekitarnya. Sebagai contoh, fraktur bilateral subcapital
pada neck femur yang terjadi selama electrical shock terapi, dimana kontraksi otot-
otot disekitar hip joint menghasilkan beban compresi pada caput femur melawan
acetabulum.
3. Shear
Pada beban shear, beban teraplikasi secara paralel terhadap permukaan struktur
tulang, dan stress shear serta strain terjadi didalam struktur tersebut. Stress shear
dapat dianggap sebagai beberapa gaya kecil yang bekerja pada permukaan struktur
tulang dalam bidang paralel terhadap beban yang teraplikasi (gbr. 4.4). Ketika terjadi
shear, akan menyebabkan deformasi structural secara internal dalam pola angular,
sudut siku-siku (900) menjadi tumpul atau akut.
Fraktur shear biasanya terlihat didalam tulang cancellous. Contohnya pada fraktur
condylus femur dan dataran tibia.
Stress yang terjadi pada tulang kortikal orang dewasa berbeda pada setiap
pembebanan (beban compresi, tensile dan shear). Tulang kortikal dewasa dapat
menahan stress yang lebih besar pada beban compresi dari pada beban tension, dan
dapat menahan stress yang lebih besar pada beban tension dari pada shear (Reilly and
Burstein, 1975). Sedangkan pada tulang muda, pertama kali terjadi kerusakan akibat
beban compressi dan fraktur yang melengkung (buckle fraktur) mungkin terjadi pada
sisi compressi.
4. Bending (Pembengkokan)
Bending terjadi ketika suatu beban diaplikasikan pada suatu struktur dalam pola yang
menyebabkan struktur tersebut membengkok disekitar axis. Struktur yang mengalami
pembengkokan disebabkan oleh kombinasi beban tension dan compressi. Ketika

63
Bab 5. Postur

tulang mengalami beban bending, stress tensile dan strain bekerja pada satu sisi dari
axis netral, serta stress compressi dan strain bekerja pada sisi lain, tetapi disana tidak
terjadi stress dan strain pada axis netral.
Karena tulang tidak simetris maka stress tensile dan compressi tidak mungkin sama.
Ada dua type bending yaitu bending yang dihasilkan oleh tiga gaya (three – point
bending) dan bending yang dihasilkan oleh empat gaya (four – point bending).
Fraktur – fraktur yang dihasilkan oleh kedua type bending tersebut umumnya dapat
diobservasi. Three point bending terjadi ketika 3 gaya yang bekerja pada struktur
tersebut menghasilkan 2 momen gaya yang sama (gbr. 4.5a). Struktur tersebut akan
retak pada titik aplikasi gaya bagian middle. Jenis fraktur three – point bending terjadi
pada “boot top” fraktur selama bermain ski. Pada “boot-top” fraktur, salah satu
momen bending teraplikasi pada bagian atas tibia pada saat pemain ski jatuh ke depan
di atas ujung sepatu ski. Suatu momen yang sama dihasilkan oleh kaki dan ski yang
terfiksir. Pada saat bagian atas tibia bengkok ke depan, stress tensile dan strain
bekerja pada sisi posterior tulang, sedangkan stress compressi serta strain bekerja
pada sisi anterior.
Four point bending terjadi ketika 2 gaya kopel bekerja pada suatu struktur yang
menghasilkan 2 momen gaya yang sama. Sebuah gaya kopel terbentuk ketika 2 gaya
paralel yang terjadi sama besarnya tetapi dalam arah yang berlawanan terhadap
struktur tersebut (gbr. 4.5b). Karena besarnya momen bending sama pada seluruh area
diantara 2 gaya kopel tersebut maka struktur akan retak pada titik yang paling lemah.
Stiff pada knee joint yang dimanipulasi dengan cara yang salah selama program
rehabilitasi dapat menyebabkan fraktur femur yang dihasilkan oleh four point
bending. Pada saat knee dimanipulasi, kapsul bagian pasterior dan tibia membentuk
satu gaya kopel, dan gaya caput femur serta capsule hip joint membentuk kopel gaya
lain. Pada saat momen bending teraplikasi pada femur, maka femur mengalami
kerusakan pada titik yang paling lemah – awalnya letak fraktur.
5. Torsion
Torsion terjadi ketika beban teraplikasi pada suatu struktur dalam pola yang
menyebabkan struktur tersebut terputar disekitar axis. Ketika struktur tersebut

64
Bab 5. Postur

mengalami beban torsion, maka stress shear didistribusi keseluruh struktur tersebut
(gbr 4.6).
Dibawah pengaruh beban torsion, maka stress shear yang maksimal bekerja pada
bidang paralel dan tegak lurus dengan axis netral struktur tersebut. Selain itu, stress
tensile dan compressi yang maksimal bekerja pada bidang diagonal terhadap axis
netral struktur tersebut. Pola fraktur pada tulang yang mengalami beban torsion
adalah tulang pertama kali rusak pada beban shear, dengan formasi keretakan paralel
terhadap axis netral tulang. Biasanya keretakan tulang terbentuk disepanjang bidang
stress tensile yang maksimal.
6. Kombinasi Beban
Meskipun setiap bentuk beban telah dijelaskan secara terpisah, tetapi dalam
kehidupan sehari – hari tulang jarang terbebani hanya dalam satu bentuk.
Pembebanan tulang pada manusia adalah kompleks karena dua alasan utama : struktur
geometrik tulang yang tidak beraturan, dan secara konstant tulang mengalami
beragam beban yang tidak menentu. Baru – baru ini dilakukan pengukuran strain pada
permukaan antero-medial tibia orang dewasa selama aktifitas berjalan dan jogging
(Lanyor el all, 1975). Carter (1978) telah menghitung nilai stress dari pengukuran
strain tersebut. Selama aktifitas berjalan normal, stress compressi terjadi selama heel
strike, stress tensile terjadi selama stance phase, dan stress compressi juga terjadi
selama push off (gbr 4.7a).
Secara relatif, stress shear yang tinggi terjadi pada bagian terakhir siklus berjalan,
merupakan beban torsion yang signifikan. Beban torsion ini ditunjukkan dengan
terjadinya external rotasi tibia selama stance phase dan push off.
Selama jogging pola stressnya berbeda (gbr 4.7b). Stress compressi terutama terjadi
pada toe strike. Hal ini akan diikuti dengan stress tensile yang tinggi selama push off.
Stress shear yang terjadi adalah kecil pada seluruh langkah jogging, merupakan beban
torsion yang minimal. Beban torsion ini ditunjukkan dengan terjadinya external dan
internal rotasi tibia dalam pergantian pola langkah jogging. Pemerikasaan klinis
terhadap beberapa pola fraktur menunjukkan bahwa hanya sedikit fraktur yang

65
Bab 5. Postur

dihasilkan oleh satu bentuk pembebanan atau dua bentuk pembebanan yang sama;
dan paling banyak fraktur dihasilkan oleh kombinasi beberapa bentuk pembebanan.
Pengaruh Aktivitas Otot Terhadap Distribusi Stress Dalam Tulang
Ketika tulang terbebani, kontraksi otot yang melekat pada tulang tersebut akan
mengubah distribusi stress dalam tulang. Kontraksi otot ini dapat menurunkan atau
mengeliminir stress tensile pada tulang dengan menghasilkan stress compressi baik
secara sebagian (parsial) maupun secara total menetralisir stress tersebut. Efek kontraksi
otot tersebut dapat dijelaskan pada tibia yang mengalami three – point bending. Gbr 4.8a
menunjukkan tungkai pemain ski yang jatuh ke depan, terutama tibianya terjadi moment
pembengkokkan.
Stress tensile yang tinggi terjadi pada aspek posterior tibia, dan stress compressi
yang tinggi bekerja pada aspek anterior. Kontraksi otot triceps surae menghasilkan stress
compressi yang tinggi pada aspek posterior tibia (gbr 4.8b), sehingga menetralisir stress
tensile yang tinggi dan dapat melindungi tibia dari kerusakan akibat tension. Kontraksi
otot ini mungkin menghasilkan stress compressi yang lebih tinggi pada permukaan
anterior tibia.
Kontraksi otot menghasilkan efek yang sama pada hip joint. Selama gerakan,
moment bending teraplikasi pada neck femur, dan stress tensile terjadi pada cortex
superior. Kontraksi otot gluteus medius menghasilkan stress compressi sehingga dapat
menetralisir stress tensile tersebut, dan akhirnya baik stress compressi maupun stress
tensile tidak bekerja pada cortex superior. Dengan demikian, kontraksi otot dapat
menyebabkan neck femur mampu menahan/menopang beban yang lebih tinggi.
Kelelahan Tulang Dibawah Pembebanan Berulang
Fraktur dapat dihasilkan oleh beban tunggal atau aplikasi suatu beban yang terjadi
secara berulang kali. Suatu fraktur akan terjadi pada aplikasi beban tunggal jika beban
tersebut melebihi kekuatan maksimal tulang. Aplikasi beban yang rendah dan terjadi
secara berulang kali mungkin menghasilkan suatu fraktur; fraktur tersebut dinamakan
dengan fatique fraktur. Fatique fraktur khususnya dihasilkan oleh beban yang tinggi
dengan repetisi yang rendah atau beban yang relatif normal dengan repetisi yang tinggi.

66
Bab 5. Postur

Tes yang dilakukan pada tulang organ mati menunjukkan bahwa mikrofraktur
fatique mungkin terjadi pada tulang yang mengalami beban dengan repetisi yang rendah
(Carter and Hayes, 1977). Pada test tersebut juga mengungkapkan bahwa tulang
mengalami kelelahan dengan cepat ketika beban atau deformasi mendekati batas strength
tulang (Carter and Hayes, 1977); yaitu diperlukan sejumlah repetisi untuk menghasilkan
suatu fraktur.
Beban repetisi pada tulang organ hidup, tidak hanya besarnya beban dan jumlah
repetisi yang mempengaruhi proses fatique, tetapi juga frekwensi pembebanan. Semenjak
tulang organ hidup dapat memperbaiki strukturnya sendiri, maka suatu fatique fraktur
hanya terjadi ketika proses remodeling didahului oleh proses fatique, yaitu ketika
frekwensi pembebanan menghambat kebutuhan remodeling untuk mencegah kerusakan.
Fatique fraktur biasanya terjadi secara terus menerus selama aktifitas fisik yang berat.
Ketika otot mengalami kelelahan, kemampuannya untuk berkontraksi akan berkurang;
akibatnya otot-otot kurang mampu untuk menyimpan energi dan untuk menetralisir
beberapa stress yang terjadi pada tulang. Hal ini menghasilkan perubahan distribusi stress
dalam tulang yang secara abnormal menyebabkan beban tinggi pada tulang, dan suatu
fatique fraktur mungkin terjadi. Kerusakan mungkin terjadi pada sisi tulang yang
mengalami beban tensile atau sisi tulang yang mengalami beban compressi dan atau pada
kedua sisi tulang tersebut. Kerusakan pada sisi tensile akan menghasilkan keretakan
tulang secara tranversal, dan tulang tersebut dengan cepat bertambah retak menjadi
fraktur yang sempurna. Fatique fraktur pada sisi compressi terjadi lebih lambat; proses
remodeling lebih cepat dari proses fatique sehingga tulang tidak mungkin mengalami
fraktur yang sempurna. Teori kelelahan otot tersebut sebagai penyebab dari fatique
fraktur pada extremitas bawah dapat diuraikan pada skema berikut ini :

Exc yang berat

Kelelahan otot

67
Bab 5. Postur

Hilangnya kapasitas Perubahan pola berjalan


penyimpanan energi

Pembebanan yang abnormal

Perubahan distribusi stress

Compressi yang tinggi Kombinasi Tension yang tinggi

Keretakan sel oblique Pemisahan sel – sel tulang.


Terjadi keretakan sel transversal

Fraktur oblique Fraktur transversal

Penyembuhan Tulang
Ketika tulang mulai sembuh setelah fraktur, callus (seperti mangkuk) terbentuk
disekitar tempat fraktur yang menstabilisasi area tersebut. Secara signifikan callus dapat
meningkatkan area dan polar moment inersia, sehingga dapat meningkatkan strength dan
stiffness tulang, khususnya pada beban bending dan torsion selama fase penyembuhan.
Pada saat frakturnya sembuh maka secara bertahap tulang memperoleh kembali strength
normalnya, dan secara progresif mangkok callus diabsorbsikan kembali, dan tulang
kembali serapat mungkin ke ukuran dan bentuk normalnya.
Kecepatan Pembebanan terhadap Tulang
Secara klinis, kecepatan pembebanan adalah penting karena mempengaruhi pola
fraktur dan banyaknya jaringan lunak yang rusak akibat fraktur. Pada kecepatan
pembebanan yang rendah, terjadi formasi keretakan tunggal ; secara relatif tulang dan
jaringan lunak masih utuh, dan sedikit terjadi perpindahan atau tidak terjadi perpindahan.
Pada kecepatan pembebanan yang tinggi, terjadi fraktur comminution serta kerusakan
jaringan lunak yang luas. Hal ini ditunjukkan pada tulang tibia in vitro yang dites dengan

68
Bab 5. Postur

beban torsion pada kecepatan pembebanan yang tinggi, menghasilkan fragmen – fragmen
tulang yang banyak, dan perpindahan tulang yang berat.
Perubahan Degeneratif Akibat Usia
Pada saat usia bertambah secara normal, dinding trabeculae didalam tulang
cancellous menjadi lebih tipis secara progresif, dan mungkin beberapa dinding tersebut
mengalami reabsorbsi. Hasil tersebut ditandai dengan penurunan jumlah tulang
cancellous serta penurunan diameter dan ketebalan cortex. Penurunan jumlah total
jaringan tulang tersebut, dan sedikit menurunnya ukuran tulang menyebabkan penurunan
kekuatan dan kekakuan tulang. Curva stress strain untuk tulang tibia dewasa in vivo
mempunyai dua kurva yang berbeda antara usia tua dan muda, yang dites dengan beban
torsion, seperti yang ditunjukkan pada gbr 4.9. Stress yang terjadi kurang lebih sama pada
tulang muda dan tulang tua. Walaupun demikian, sampel tulang tua hanya dapat menahan
strain setengah dari tulang muda, menunjukkan bahwa tulang tua kurang ductile daripada
tulang muda, dan mampu untuk menyimpan sedikit energi terhadap kerusakan.

B. BIOMEKANIK CARTILAGO SENDI


Sendi adalah hubungan fungsional antara tulang-tulang skeleton yang berbeda.
Pada sendi sinovial atau sendi yang bergerak bebas, ujung tulang yang bersendi ditutup
oleh 1 – 5 mm lapisan putih yang tebal dari jaringan connective yang disebut dengan
cartilago sendi. Secara fisiologis, sebenarnya cartilago sendi merupakan jaringan yang
terisolasi ; jaringan ini sama sekali tidak mendapat suplai darah dan limpatik serta saraf,
juga kepadatan selulernya kurang daripada jaringan lainnya. Fungsi utama dari cartilago
sendi adalah :
1. Untuk menyebarkan beban yang terjadi pada sendi sehingga beban tersebut akan
ditransmisikan di atas area yang luas dan kontak stress dapat berkurang.
2. Untuk memberikan gerakan relatif pada permukaan tulang lawanannya dengan
meminimalkan gaya friksi (gesekan) dan kerusakan.

Komposisi Cartilago

69
Bab 5. Postur

Solid matriks dari cartilago bertanggung jawab terhadap 20 – 40 % berat air jaringan
tersebut, yang tersusun dari serabut collagen (60%) dan interfibrillar proteoglycan gel
(40%) yang mempunyai daya tarik-menarik tinggi terhadap air, serta sel-sel chondrosit
(+ 2%). 60 – 80 % dari jaringan tersebut mengandung banyak air, yang dapat ditekan
keluar dibawah pengaruh beban.
Sifat Biomekanis Cartilago Sendi
Sifat biomekanis dari cartilago sendi hanya dapat dipahami berdasarkan sifat-sifat
material jaringan tersebut dan interaksi yang terjadi selama pembebanan. Yang
menentukan sifat material jaringan tersebut adalah solid matriks (collagen dan
proteoglycan) dan interstitial water yang dapat bergerak bebas. Dengan demikian,
cartilago sendi dapat dilihat sebagai suatu porous medium yang berisi cairan (analog
dengan spon yang berisi penuh air). Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat cartilago
dibawah pengaruh beban adalah karakteristik material dari solid matriks dan
permeabilitasnya.
 Permeabilitas
Permeabilitas merupakan suatu parameter material di dalam jaringan cartilago yang
menggambarkan tahanan friksional dari solid matriks yang memiliki porous material
sehingga cairan bisa mengalir melewatinya. Permeabilitas jaringan yang rendah akan
menghasilkan lebih besar tahanan terhadap gerakan cairan dibawah pengaruh beban,
begitu pula sebaliknya. Dibandingkan dengan spon biasa, maka cartilago sendi yang
normal memiliki permeabilitas yang sangat rendah.
Ada 2 cara mekanikal untuk mengalirkan cairan melalui media yang berporous seperti
cartilago sendi (Mow and Torzilli, 1975) yakni :
1. Cairan dapat dipaksa mengalir melalui solid matriks yang berporous dengan cara
mengaplikasikan tekanan gradient yang tinggi yakni tekanan pada sisi atas
cartilago lebih besar daripada tekanan pada sisi bawah cartilago (gbr. 4.10a).
2. Jika cartilago sendi berada dibawah balok kaku yang berporous, kemudian
dilakukan compressi maka cairan akan mengalir juga (gbr. 4.10b).

70
Bab 5. Postur

Dalam keadaan ini, gerakan cairan disebabkan oleh compressi yang menghasilkan
peningkatan tekanan secara lokal, dan menghasilkan gaya yang menyebabkan
eksudasi cairan dari jaringan tersebut.
Kedua mekanisme ini bekerja secara simultan pada cartilago sendi selama gerakan
sendi. Hal ini telah ditunjukkan secara experimental oleh Mansour and Mow (1976),
bahwa permeabilitas dari cartilago normal akan menurun secara dramatis pada saat
terjadi peningkatan tekanan dan deformasi.
Dengan demikian, cartilago sendi mempunyai suatu mekanisme regulator feedback
mekanikal yang bertujuan untuk mencegah pelepasan total dari cairan interstitial.
Sistem regulator biomekanis ini mempunyai implikasi yang dalam terhadap jaringan
normal yang membutuhkan nutrisi, lubrikasi (peminyakan) sendi, kapasitas menahan
beban dan kelelahan jaringan.
Pada umumnya, selama terjadi kondisi patologis maka continuitas dari solid matriks
(collagen dan proteoglycan) menjadi terganggu oleh adanya stress mekanikal atau
efek biochemis dari aksi enzim yang abnormal. Dengan demikian, permeabilitas
jaringan akan menjadi lebih besar pada jaringan yang osteoarthritis daripada jaringan
yang normal (karena terjadi kerusakan pada jaringan serabut collagen dan hilangnya
makromolekul proteoglycan).
Selama aktivitas fungsional seperti melompat maka cairan interstitial tidak sempat
tertekan keluar sehingga jaringan cartilago akan bersifat lebih elastis atau kurang
elastis. Dengan demikian, akan terjadi perubahan bentuk pada saat pembebanan dan
dengan segera akan kembali ke bentuk semula pada saat tanpa beban. Jika beban
terjadi dengan perlahan dan tetap konstan terhadap jaringan cartilago (seperti selama
berdiri dalam waktu yang lama), maka deformasi jaringan akan terus meningkat pada
saat cairan tertekan keluar.
 Lubrication (Peminyakan)
Ada 2 jenis fundamental dari lubrication yakni : Boundary lubrication dan Fluid Film
lubrication. Boundary lubrication bergantung pada absorbsi kimia dari molekul-
molekul lubricant yang monolayer terhadap permukaan kontak padat (Bowden and
Tabor, 1967). Secara relatif, selama gerakan terjadi maka permukaan komponen-

71
Bab 5. Postur

komponen yang menumpu dilindungi oleh molekul-molekul lubricant yang slide satu
sama lain di atas permukaan lawanannya, mencegah terjadinya adhesif dan abrasi
(luka lecet) yang secara alamiah terjadi pada permukaan kontak. Ada bukti
eksperimen yang kuat bahwa cairan sinovial di dalam sendi sinovial dapat bekerja
dibawah kondisi pembebanan, seperti halnya dengan boundary lubrication pada
cartilago sendi dimana kemampuan peminyakannya tidak bergantung pada viscositas
(kekentalan) cairan sinovial. Hal ini memungkinkan terjadinya absorbsi chemis dari
cairan sendi ke permukaan sendi pada saat kondisi pembebanan yang berat.
Jika dalam kondisi pembebanan yang rendah dan atau terjadi gerakan oscilasi serta
kecepatan yang relatif tinggi pada permukaan kontak, maka kemungkinan fluid film
lubrication sangat diperlukan oleh sendi dalam kondisi tersebut. Dalam fluid film
lubrication, lapisan peminyakannya jauh lebih tebal daripada ukuran molekul
peminyakan boundary lubrication sehingga menyebabkan pemisahan yang relatif
besar dari kedua permukaan tumpuan. Kapasitas pemumpuan beban dari cairan
tersebut dapat melalui 3 mekanisme, yaitu :
1. Mekanisme hydrostatik lubrication : Mekanisme ini terjadi ketika tidak ada
gerakan slide dari permukaan tumpuan (cartilago sendi) sehingga tekanan didalam
fluid film dapat dibangkitkan oleh tekanan external melalui mekanisme
hydrostatik lubrication (gbr. 4.11a)
2. Mekanisme hydrodinamik lubrication : Mekanisme ini terjadi ketika permukaan
tumpuan bergerak secara tangensial terhadap permukaan tumpuan lawanannya
dan membentuk convergensi pada tepi cairan sehingga tekanan tersebut dapat
dibangkitkan oleh viskositas cairan yang menyebabkan cairan terserap ke dalam
celah diantara kedua permukaan tersebut (gbr. 4.11b).
3. Mekanisme squeeze film lubrication : Mekanisme ini terjadi ketika permukaan
tumpuan bergerak secara perpendicular terhadap permukaan lawanannya, dan
cairan harus ditekan keluar dari celah tersebut sehingga tekanan tersebut dapat
dibangkitkan didalam fluid film lubrication untuk memaksa keluar peminyakan.
Dengan demikian, beban tidak dapat disanggah dalam jangka waktu yang tidak
menentu oleh proses squeeze film lubrication. Pada akhirnya, fluid film akan

72
Bab 5. Postur

menjadi tipis ketika terjadi kontak yang tajam antara kedua permukaan sendi.
Meskipun demikian, mekanisme ini cukup untuk menumpu beban yang tinggi
dalam durasi yang pendek (gbr. 4.11c).
 Kerusakan / kelelahan (Wear)
Kerusakan adalah terjadinya pelepasan material dari permukaan solid oleh karena
adanya aksi mekanikal. Kerusakan tersebut dapat dibagi kedalam 2 komponen, yakni:
1) Kerusakan interfacial yang terjadi akibat adanya interaksi dari permukaan
tumpuan.
2) Kerusakan fatigue yang terjadi akibat adanya deformasi dari body kontak
(permukaan sendi).
Jika kedua permukaan tumpuan terjadi kontak maka kerusakan interfacial dapat
terjadi, oleh adanya adhesif atau abrasi (luka lecet). Kerusakan adhesif dapat terjadi
jika kedua permukaan solid mengalami kontak yang lebih kuat daripada material yang
terletak di bawahnya. Kemudian akan muncul fragmen-fragmen, sebagai akibat dari
kerobekan pada salah satu permukaan dan terjadi perlengketan satu sama lain. Abrasi
terjadi ketika suatu material yang lunak tergores oleh salah satu permukaan yang jauh
lebih keras, dimana dapat disebabkan oleh permukaan lawanannya atau adanya
partikel-partikel yang hilang.
Kerusakan permukaan cartilago dapat diobservasi pada in vitro. Jika terjadi kerusakan
ultrastruktural dan atau hilangnya massa permukaan, maka lapisan permukaan
cartilago menjadi lebih lunak dan lebih permeabel. Dalam keadaan ini, tahanan
terhadap gerakan cairan akan berkurang, yang memungkinkan cairan bocor keluar
dari fluid film melalui permukaan cartilago sehingga terpecah di atas permukaan.
Hilangnya cairan akan meningkatkan kemungkinan kontak yang tajam pada
permukaan solid cartilago dan akhirnya dapat lebih memperberat terjadinya proses
abrasi.
Kerusakan fatigue dapat terjadi pada permukaan tumpuan yang baik lubrication-nya.
Kerusakan ini terjadi akibat adanya deformasi yang berulang secara periodik.
Kerusakan fatigue terjadi karena adanya akumulasi dari kerusakan material secara
mikroskopik ketika terjadi stress secara berulang-kali. Meskipun besarnya stress yang

73
Bab 5. Postur

terjadi jauh labih kecil daripada kekuatan material, tetapi pada akhirnya kerusakan
akan terjadi jika cukup sering mengalami stress. Pada sendi sinovial, adanya gerakan
rotasi dan slide dapat menyebabkan area permukaan sendi bergerak kedalam dan
keluar dari area kontak. Proses ini menyebabkan stress yang berulang pada cartilago
dan dapat terjadi selama aktivitas fisiologis manusia. Ketika cartilago terbebani,
beban akan disanggah oleh matriks collagen/proteoglycan dan disanggah pula oleh
adanya tahanan (resisten) dari gerakan cairan yang melewati cartilago. Dengan
demikian, beban yang berulang dan gerakan sendi dapat menyebabkan stress yang
berulang pada solid matriks serta terjadi exudasi dan inhibisi yang berulang dari
cairan interstitial jaringan.
Stress yang berulang pada matriks collagen/proteoglycan akan menyebabkan
kerusakan pada :
1) Serabut collagen
2) Jaringan makromolekul proteoglycan, atau
3) Interface (ruang) antara serabut-serabut dan matriks interfibrillar.
Dari sebagian besar hipotesis yang populer, salah satu hipothesis menyatakan bahwa
kelelahan cartilago disebabkan oleh kerusakan akibat beban tension pada kerangka
serabut collagen. Begitu pula, semakin bertambah usia dan adanya penyakit
sebelumnya dapat menyebabkan perubahan yang berat di dalam populasi molekul
proteoglycan. Perubahan ini merupakan bagian dari akumulasi kerusakan pada
jaringan tersebut.
Exudasi dan inhibisi cairan interstitial yang terjadi secara berulang-kali dapat
menyebabkan pengeluaran molekul proteoglycan dari matriks cartilago mendekati
permukaan sendi. Dengan kata lain, gerakan cairan akan jauh dari area stress yang
terkonsentrasi (area kontak). Menurut Radin and Paul (1977) bahwa fenomena ini
dapat menjelaskan mengapa beban yang tinggi sangat berbahaya bagi cartilago ;
beban yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba akan menyebabkan cairan tidak sempat
untuk bergerak jauh dari area kontak stress yang tinggi, sehingga dengan demikian
akan menghasilkan stress yang tinggi pada matriks collagen/proteoglycan.

74
Bab 5. Postur

Kerusakan struktural pada cartilago dapat diobservasi melalui X-foto. Bagian vertikal
dari cartilago yang memperlihatkan keretakan disebut dengan fibrillasi, yang akhirnya
dapat meluas melewati lapisan cartilago yang sangat dalam. Kadang-kadang, lapisan
cartilago mengalami lebih banyak erosi daripada retak. Sekali terjadi kerusakan
mikrostruktur pada cartilago, maka mekanisme kerusakan yang bersifat mekanikal
akan terjadi secara progresif ; terjadi pengeluaran molekul proteoglycan oleh gerakan
cairan yang keras dan kemampuan self lubrikasi dari cartilago mengalami kerusakan.
Proses ini mempercepat kerusakan interfasial dan terjadi kelelahan cartilago yang
telah merusak matriks collagen/proteoglycan.
Biomekanik Degenerasi Cartilago
Cartilago sendi mempunyai kapasitas yang terbatas untuk perbaikan dan regenerasi. Jika
stress yang besar terjadi pada cartilago maka kerusakan total dapat terjadi dengan sangat
cepat. Suatu hipotesis menyatakan bahwa peningkatan kerusakan secara progresif
berkaitan dengan :
1. Besarnya stress yang dialami
2. Jumlah stress tinggi yang dialami
3. Molekul-molekul intrinsik dan struktur mikroskopik dari matriks collagen/
proteoglycan.
Besarnya stress yang dialami oleh cartilago ditentukan oleh beban total yang terjadi pada
sendi dan bagaimana beban tersebut didistribusikan di atas area kontak (besarnya
konsentrasi stress terjadi pada area kontak). Ada sejumlah kondisi yang banyak
menyebabkan konsentrasi stress berlebihan dan menyebabkan kerusakan cartilago.
Sebagian besar disebabkan oleh beberapa jenis sendi yang tidak kongruen sehingga
menghasilkan secara abnormal area kontak yang kecil. Sebagai contoh, osteoarthrosis
yang disebabkan oleh congenital acetabular displasia, capital femur epifisis yang
tergelincir keluar, atau fraktur intraartikular (Murray, 1965).
Meniscectomy pada knee dapat mengeliminir fungsi penyebaran beban dari meniscus
(Lutfi, 1975 ; Shrive et al., 1978), sementara ruftur ligamen dapat menghasilkan gerakan
relatif yang berlebihan pada kedua ujung tulang (Jacobsen, 1977) sehingga menghasilkan

75
Bab 5. Postur

peningkatan beban total dan peningkatan konsentrasi stress akibat articulatio sendi yang
abnormal.
Secara makroskopik, konsentrasi stress mempunyai efek yang lebih besar. Tekanan
kontak yang tinggi diantara kedua permukaan dapat menurunkan mekanisme fluid film
lubrication. Selanjutnya, kontak yang terjadi pada permukaan solid yang tajam dapat
menyebabkan konsentrasi stress yang secara mikroskopik menghasilkan abrasi material
dari kedua permukaan cartilago.
Beberapa orang dengan pekerjaan atau hobby tertentu mempunyai insiden degenerasi
yang tinggi, karena pekerjaan atau hobby-nya berkaitan dengan frekuensi pembebanan
yang tinggi pada sendi dan besarnya beban total yang terjadi pada sendi. Sebagai contoh,
sendi knee pada pemain sepakbola, sendi ankle pada pemain dancing ballet, dan lain-lain.
Osteoarthrosis juga dapat terjadi secara sekunder akibat kelainan molekul-molekul
intrinsik dan struktur mikroskopik dari matriks collagen/proteoglycan. Berbagai contoh
dari fenomena ini adalah degenerasi sekunder pada RA, hemorrhages didalam ruang
sendi pada kondisi hemophilia (Lee et al., 1974), gangguan metabolik collagen yang
beragam, dan kemungkinan juga degradasi cartilago (penurunan fungsi) oleh enzym
proteolytic (Ali and Evans, 1973). Adanya kelemahan struktural pada cartilago akan
mudah mengalami kerusakan oleh beban stress yang normal dan frekuensi beban yang
rendah.

C. BIOMEKANIK JARINGAN COLLAGEN


Jaringan collagen yang mengelilingi sistem skeletal adalah ligaman (termasuk
kapsul sendi), tendon dan kulit. Struktur-struktur ini bersifat pasif, karena tidak dapat
menghasilkan gerakan aktif. Jaringan collagen tersusun secara primer dari tiga jenis
serabut, yaitu serabut collagen, serabut elastis dan serabut reticulin. Serabut collagen
mempunyai peranan yaitu memberikan kekuatan dan kekakuan terhadap jaringan.
Serabut elastis berperan memberikan extensibilitas dibawah pengaruh beban, dan serabut
reticulin berperan memberikan bentuk yang besar didalam jaringan. Selain itu, komponen
jaringan collagen adalah subtansi dasar yakni unsur gelatinosa yang dapat mengurangi
friction diantara serabut.

76
Bab 5. Postur

Selama aktifitas, ligamen dan tendon utamanya mengalami beban tension.


Gerakan sendi menghasilkan beban tensile pada ligamen, sedangkan kontraksi otot
menghasilkan beban yang sama pada tendon. Kulit mengalami beban dalam bentuk yang
lebih kompleks, yaitu menahan beban tensile, kompressi dan shear.
Sifat – Sifat Mekanikal Dari Jaringan Collagen
Sifat-sifat jaringan collagen yang terbebani, dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu :
1. Orientasi structural dari serabut-serabut
Orientasi structural dari ketiga jaringan collagen adalah berbeda-beda dan sesuai
dengan fungsi setiap jaringan (gbr. 4.12).
Serabut tendon mempunyai struktur serabut yang hampir paralel alignment, yang
membuat tendon sangat cocok untuk menahan beban tensile yang tinggi. Serabut
ligament termasuk kapsul sendi mempunyai struktur serabut yang kurang konsisten
(kurang paralel) dimana bervariasi pada setiap ligament, bergantung pada fungsi
ligament tersebut (Kennedy et al, 1976). Sebagian besar serabut-serabut ligament
hampir mendekati paralel, tetapi beberapa ligament mempunyai struktur yang tidak
paralel. Kulit mempunyai struktur serabut yang saling bertautan. Susunan struktur ini
memberikan sifat extensibilitas dalam segala arah.
2. Sifat serabut collagen dan serabut elastis
Komponen-komponen utama dari jaringan collagen adalah serabut collagen dan
serabut elastis, dimana kedua serabut tersebut terdapat sekitar 90 % didalam jaringan
collagen. Kedua jenis serabut tersebut mempunyai sifat yang berbeda-beda dibawah
pengaruh beban karena serabut collagen tersusun dari unsur ductile – like (seperti
pipa) dan serabut elastis tersusun dari unsur brittle – like (seperti sapu) (Grood, 1978).
Sifat dari kedua jenis serabut tersebut telah ditunjukkan pada beberapa tes tensile.
Selama tes tensile, serabut collagen (pada tendon) sedikit memanjang pada saat mulai
terjadi pembebanan, tetapi dengan cepat menjadi kaku pada saat beban meningkat
sampai titik akhir tercapai (gbr. 4.13a). Kemudian terjadi deformasi sampai akhirnya
terjadi kerusakan yang berjarak dari 6 – 8 %. Serabut elastis (pada otot)
memperlihatkan pemanjangan yang besar (dua kali lebih panjang dari panjang awal)

77
Bab 5. Postur

ketika terjadi beban yang rendah. Pada saat beban meningkat, tiba-tiba serabut
menjadi kaku dan ruftur secara tiba-tiba tanpa adanya deformasi (gbr. 4.13b).
Serabut collagen relatif kuat dan dapat mentolerir sekitar setengah dari stress yang
ditolerir oleh tulang kortikal pada beban tension. Serabut elastis relatif lemah, hanya
dapat mentolelir sekitar 1/10 dari stress yang ditolerir oleh tulang kortikal pada beban
tension.
3. Proporsi antara serabut collagen dan serabut elastis
Proporsionya didalam jaringan collagen adalah bervariasi sesuai dengan fungsi setiap
jaringan didalam melakukan dan mempengaruhi sifat mekanikal jaringan tersebut.
Fungsi utama tendon adalah untuk mentransmisi gaya-gaya otot ke tulang atau fascia.
Jaringan ini memiliki hampir seluruh serabut collagen, sehingga sifatnya hampir
identik dengan berkas serabut collagen dibawah pengaruh beban tensile.
Fungsi utama ligamen termasuk kapsul sendi adalah untuk menstabilisasi sendi
selama gerakan dan untuk mencegah gerakan yang berlebihan. Seperti pada tendon,
sebagian besar ligamen pada tubuh manusia dominan mengandung serabut collagen.
Tetapi 2 ligamen pada spine yakni ligamen nuchae dan ligamen flavum tersusun dari
2
/3 serabut elastis dan menunjukkan hampir secara sempurna sifat elastisnya (Fielding
et al., 1970 ; Nachemson dan Evans, 1968). Kedua ligamen ini mempunyai fungsi
khusus yaitu untuk melindungi akar saraf-saraf dari gangguan mekanikal, sebagai
prestress pada diskus dan untuk memberikan stabilitas intrinsik pada spine.
Suatu eksperimen yang dilakukan terhadap ligamen cruciatum anterior yang
mempunyai persentase serabut collagen yang tinggi (90%) dan ligamen flavum yang
mempunyai persentase serabut elastis yang tinggi (60-70%). Kedua ligamen tersebut
dites dengan beban tension sampai terjadi kerusakan. Pada kurva load-elongasi
menunjukkan perbedaan dari hasil tes kedua ligamen tersebut.

LIGAMENT
Ada faktor-faktor utama yang menentukan kekuatan ligamen dibawah pengaruh
beban : ukuran dan bentuk ligamen serta kecepatan beban. Area Cross Sectional dari
suatu ligamen dapat mempengaruhi kekuatannya. Jumlah serabutnya yang banyak, lebih

78
Bab 5. Postur

lebar dan lebih tebal serabutnya merupakan ligamen yang kuat. Seperti pada tulang,
ligamen akan meningkatkan kekuatan dan kekakuannya pada saat kecepatan beban
meningkat. Kennedy et al. (1976) menemukan bahwa hampir 50% terjadi peningkatan
beban sampai terjadi kerusakan ketika kecepatan beban meningkat 4x lipat selama tes
tensile pada ligamen – ligament knee joint.
Hubungan ligamen dan tulang yang kompleks
Menurut Cooper & Misol (1970) yang memeriksa insersio ligamen pada knee anjing
dengan cahaya dan mikroskop electron, bahwa ada 4 zone di dalam insersio tersebut
berdasarkan basis histologiknya. Ujung ligamen merupakan zona 1, serabut collagen
yang saling bertautan dengan fibrocartilage merupakan zona 2. Secara bertahap
fibrokartilago tersebut menjadi mineral fibrokartilago (zona 3). Kemudian mineral
fibrokartilago bersatu dengan tulang kortikal (zona 4). Efek konsentrasi stress pada
insersio ligamen dapat dikurangi oleh adanya tiga unsur yang lebih kaku pada hubungan
tulang-ligamen (zona 1, 2 & 3).
Perpindahan sendi selama berusakan ligamen
Ketika ligamen mengalami pembebanan, terjadi mikrofailure (kerusakan kecil) sebelum
titik akhir tercapai. Ketika melampaui titik akhir tersebut, ligamen mulai mengalami
kerusakan yang berat dan secara simultan sendi mulai bergeser secara abnormal. Karena
kerusakan ligamen dapat menyebabkan perpindahan yang besar pada sendi, maka
kerusakan dapat juga terjadi pada struktur-struktur disekelilinginya seperti kapsul sendi
dan ligamen-ligamen lainnya. Noyes (1977) mengaplikasikan tes klinis yaitu anterior
drawer test, pada knee cadaver sampai pada titik kerusakan ligament cruciatum anterior.
Pada beban maksimum, sendi telah berpindah beberapa millimeter. Ligamen tersebut
masih dalam kontinuitasnya meskipun telah mengalami makrofailure dan mikrofailure
yang luas serta elongasi (pemanjangan) yang berlebihan.
Hasil dari tes in vitro ini dapat dihubungkan dengan penemuan klinis. Gambar 4.14
menunjukkan kurva study experimental yang terbagi dalam 3 regio. Regio pertama
berkaitan dengan banyaknya beban yang terjadi pada ligamen selama tes klinis stabilitas
sendi. Regio kedua berkaitan dengan banyaknya beban yang terjadi pada ligamen selama

79
Bab 5. Postur

aktivitas fisiologis. Regio ketiga berkaitan dengan banyaknya beban yang terjadi pada
ligamen mulai dari terjadinya mikrofailure sampai rufter secara sempurna.
Injury ligamen terbagi kedalam 3 kategori, bergantung pada kerasnya injury tersebut.
Injury kategori I, menghasilkan gejala – gejala klinis yang ringan, yaitu rasa nyeri tetapi
tidak terjadi instabilitas sendi yang dapat dideteksi secara klinis. Meskipun demikian,
mungkin terjadi mikrofraktur pada serabut collagen.
Injury kategori 2, menghasilkan nyeri hebat dan adanya instabilitas sendi yang dapat
dideteksi secara klinis. Kerusakan yang progresif sudah terjadi pada serabut collagen
sehingga menghasilkan ruftur parsial pada ligamen. Kekuatan dan kekakuan ligamen
mungkin berkurang menjadi 50 % atau lebih. Seringkali terjadi instabilitas sendi pada
ruftur parsial ligamen tetapi ditutupi oleh aktivitas otot, sehingga biasanya tes klinis
untuk stabilitas sendi dilakukan dibawah anastesi.
Injury kategori 3, menghasilkan nyeri hebat selama proses trauma dan setelah injury
nyeri sedikit berkurang. Secara klinis sendi mengalami instabil yang sempurna. Sebagian
besar serabut collagennya ruftur tetapi masih ada sedikit yang utuh, sehingga
kelihatannya ligamen masih dalam kontinuitasnya meskipun sudah tidak mampu
menyanggah beberapa beban.
Beban yang terjadi pada sendi yang instabil karena ruftur atau ruftur kapsul sendi akan
menghasilkan stress yang tinggi pada cartilago sendi secara abnormal. Adanya beban
yang abnormal pada cartilago sendi sangat berkaitan dengan terjadinya osteoarthritis.

TENDON
Fungsi tendon adalah untuk melekatkan otot ke tulang atau fascia, dan untuk
mentransmisikan beban tensile dari otot ke tulang atau dari otot ke fascia sehingga
menghasilkan gerakan sendi.
Ada 2 jenis susunan tendon yang dapat diidentifikasi yaitu :
1) Tendon dengan sarungnya (pembungkusnya), dan
2) Tendon tanpa sarungnya (pembungkusnya).
Pada lokasi-lokasi tertentu dimana tendon mengalami gaya friksi yang tinggi (seperti
tendon pada bagian dorsal dan palmar jari-jari tangan serta pada level wrist joint), maka

80
Bab 5. Postur

tendon tersebut memiliki sarung (gbr. 4.15). Sarung tersebut tersusun dari lapisan fibrous
yang berhubungan dengan lapisan sinovial parietal (Greenlee and Ross, 1967). Cairan
sinovial yang dihasilkan oleh sel-sel sinovial dapat mempermudah terjadinya slide pada
tendon tersebut. Sedangkan pada lokasi-lokasi tertentu dimana tendon hanya mengalami
gaya friksi yang rendah, maka tendon tersebut tidak memiliki sarung tetapi dikelilingi
oleh peritenon yang merupakan jaringan connective yang longgar.
Hubungan Otot – Tendon – Tulang Yang Kompleks
Sifat tendon dibawah pengaruh beban hampir identik dengan sifat ligamen. Ada 2 faktor
yang menentukan kekuatan tendon yaitu ukuran dan bentuk tendon, serta kecepatan
pembebanan. Seperti halnya ligamen, tendon tidak dapat dianggap sebagai isolasi, tetapi
harus dipertimbangkan sebagai suatu mata-rantai didalam sistem otot – tendon – tulang.
Struktur insersio tendon sama dengan struktur insersio ligamen yakni mempunyai 4 zone.
Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi besarnya stress pada tendon selama aktivitas :
1) Banyaknya kontraksi otot dimana tendon tersebut melekat.
Jumlah stress pada tendon dapat meningkat pada saat otot berkontraksi. Ketika otot
secara maksimal berkontraksi maka tendon akan mengalami stress tensile yang tinggi.
Stress tensile dapat meningkat lebih jauh jika otot memanjang dengan cepat. Sebagai
contoh, dorsifleksi ankle yang cepat tanpa memberikan refleks rileksasi pada otot
gastrocnemius dan soleus akan menghasilkan peningkatan tension pada tendon
Achilles. Jika beban tension tersebut melampaui titik akhir elongasi tendon maka
tendon Achilles akan mengalami ruftur.
2) Ukuran tendon yang berkaitan dengan ukuran otot.
Besarnya kontraksi otot bergantung pada area cross-sectional otot tersebut. Area yang
besar pada otot akan menghasilkan gaya kontraksi otot yang tinggi, sehingga beban
tensile yang ditransmisikan melalui tendon juga akan besar. Begitu pula, area cross-
sectional tendon yang besar dapat menerima beban tension yang besar. Dari beberapa
pengukuran menunjukkan bahwa kekuatan tendon menerima beban tension 2 x lebih
besar daripada kekuatan otot. Hal ini didukung oleh fakta bahwa ruftur pada otot lebih
sering terjadi daripada ruftur tendon. Otot yang besar biasanya mempunyai tendon
yang besar pula (area cross-sectional yang besar), seperti otot quadriceps dengan

81
Bab 5. Postur

tendon patellanya, dan otot triceps surae dengan tendon achillesnya. Tetapi ada juga
beberapa otot kecil yang mempunyai tendon besar, seperti pada otot plantaris yang
merupakan otot kecil dengan tendon yang besar.

BAB V
POSTUR

Postur adalah sikap tubuh, baik dengan support selama otot tidak bekerja (non-aktif)
maupun dengan koordinasi kerja beberapa otot untuk mempertahankan stabilitas. Secara
esensial, postur merupakan suatu unsur atau pola alignment tubuh yang dapat beradaptasi
dengan gerakan.
Postur dapat dipengaruhi oleh kesehatan secara general (kondisi umum), struktur tubuh,
sex (jenis kelamin), kekuatan dan daya tahan, kesadaran visual dan kinestetik, kebiasaan
individu, dan tuntutan dari tempat kerja, tradisi-tradisi sosial serta kultural.
Pada dasarnya, postur terbagi atas 2 bagian :
1. Postur Inaktif, adalah postur dimana otot tidak bekerja aktif ; postur ini
digunakan untuk latihan general rileksasi dengan memberikan kebebasan gerak terhadap
alat-alat respirasi dan kerja minimal dari otot jantung.
2. Postur Aktif, adalah postur yang membutuhkan aksi integral dari beberapa
otot. Postur ini terdiri atas 2 bagian, yaitu :
a. Postur statik, adalah postur yang menghasilkan interaksi beberapa otot
secara statik.
b. Postur dinamik, adalah postur yang menghasilkan interaksi beberapa
otot yang bekerja secara dinamis untuk menghasilkan gerakan yang efisien. Didalam
gerakan diperlukan stabilitas sendi dan membentuk suatu background gerakan,
sedangkan kerja otot akan membentuk postural background yang berperan ganda.

A. MEKANISME POSTURAL

82
Bab 5. Postur

1. Otot
Intensitas dan distribusi kerja otot sangat bervariasi didalam berbagai pola postur dan
karakteristik fisik setiap orang. Kelompok otot yang paling sering bekerja adalah otot-
otot yang mempunyai peran mempertahankan postur tetap tegak, yang bekerja
menetralisir efek-efek gravitasi. Kelompok otot ini sering disebut dengan antigravity
muscle, yang berperan mempertahankan sendi-sendi tetap lurus. Otot ini mempunyai
ciri khas tersendiri yaitu strukturnya berbentuk multi-pennate dan fan-shaped,
serabut-serabutnya dominan berwarna merah sehingga mampu berkontraksi secara
terus menerus tanpa lelah.
2. Kontrol Saraf
Postur dapat dipertahankan atau disesuaikan, sebagai hasil dari koordinasi komponen-
komponen mekanisme refleks yang sangat kompleks, yang biasa dikenal dengan
“Refleks Postural” yang melibatkan sistem saraf pusat.
Refleks Postural adalah suatu respon efferent terhadap stimulus afferent. Respon
efferent adalah saraf motorik dan antigravity muscle sebagai efektor utama. Stimulus
afferent berasal dari receptor-receptor yang paling penting yaitu : otot (muscle
spindle), sendi, mata, telinga, dan juga melibatkan receptor kulit khususnya kulit di
telapak kaki. Sistem saraf pusat yang mengontrol refleks postural adalah cortex
cerebri, cerebellum, red nucleus dan nucleus vestibular.
a. Otot (muscle spindle)
Neuromuscular dan neurotendinous spindle didalam otot berfungsi mencatat
perubahan tension. Peningkatan tension menyebabkan stimulasi dan
menghasilkan suatu refleks kontraksi dari otot, yang merupakan manifestasi dari
myotatik atau stretch refleks.
b. Mata
Sensasi visual mencatat adanya perubahan dalam posisi tubuh yang berkaitan
dengan lingkungan sekitarnya, dan mata membentuk salah satu receptor untuk
refleks righting dimana mampu mengembalikan posisi kepala dan tubuhnya
sendiri kedalam posisi tegak dari sikapnya yang terbiasa jelek.
c. Telinga

83
Bab 5. Postur

Stimulasi dari berbagai receptor yang dipersarafi oleh saraf vestibular berasal dari
pergerakan cairan yang terdapat didalam canal-canal semicircular pada telinga
bagian dalam. Setiap canal terletak didalam bidang yang berbeda-beda, dimana
mencatat adanya :
Pergerakan kepala yang menganggu atau menggerakkan cairan didalam canal.
Pengetahuan gerakan dan arah gerakan kepala.

d. Receptor Sendi
Dalam posisi penumpuan berat badan, penumpuan beban disekitar tulang-tulang
akan merangsang receptor-receptor didalam struktur persendian dan menimbulkan
reaksi refleks untuk mempertahankan posisi tersebut.
e. Sensasi Kulit
Sensasi kulit juga ikut berperan, khususnya kulit di telapak kaki ketika tubuh
dalam posisi berdiri.
Impuls-impuls dari seluruh receptor di atas akan dikirim dan dikoordinasikan didalam
Sistem Saraf Pusat yang melibatkan corteks cerebri, cerebellum, red nucleus dan
vestibular nucleus.

B. POSTUR YANG NORMAL


1. Postur dan Siklus Kehidupan
Perbedaan karakteristik antara manusia dan binatang adalah manusia dapat berdiri
tegak yang jauh lebih efektif daripada binatang, dan kedua tangannya bebas
melakukan tugas-tugasnya dalam aktivitas kegiatan sehari-hari.
Pada bayi yang baru belajar berdiri, kemampuannya mempertahankan posisi dalam
waktu yang lama adalah terbatas karena reaksi posturalnya belum sempurna sehingga
masih membutuhkan perkembangan struktur tubuh yang lebih kompleks.
Selama siklus kehidupan, perubahan proporsi tubuh selalu disertai dengan perubahan
kurva spine (gbr. 5.1). Pada bayi yang baru lahir, trunkus vertebranya berbentuk C-
curve (konveks kearah posterior) dimana vertebra dalam keadaan fleksi. Pada saat
bayi sudah dapat mengontrol kepalanya maka vertebra cervical akan berkembang

84
Bab 5. Postur

membentuk kurva konveks kearah anterior (lordosis). Kemudian, jika anak sudah
dapat duduk dan mulai berdiri maka terjadi perkembangan pada vertebra lumbal
dimana vertebral lumbal akan membentuk kurva konveks kearah anterior (lordosis),
dan setelah anak sudah bisa berdiri, berjalan atau berlari maka bentuk kurva
vertebranya sampai dewasa adalah :
 Vertebra cervical  konveks kearah anterior (lordosis)
 Vertebra Thoracal  konveks kearah posterior (kiphosis)

85
Bab 5. Postur

 Vertebral Lumbal  konveks kearah anterior (lordosis)


 Vertebra Sacrum  konveks kearah posterior (kiphosis)
Memasuki usia tua (manula), maka bentuk kurva dari trunkus vertebra lambat laun
akan kembali ke bentuk C-curve.
2. Posisi Dasar
Ada 3 posisi dasar (berdiri, duduk dan berbaring) yang dapat dimodifikasi, karena
adanya :
Penyesuaian kepala dan anggota gerak, hubungannya dengan trunkus
Penyesuaian trunkus, hubungannya dengan kepala atau anggota gerak.
Penciptaan posisi yang baik, yang disesuaikan dengan gerakan vertebra.
Dalam kehidupan sehari-hari, umumnya orang mengambil sikap yang asimetris
karena terjadi pemindahan berat tubuh didalam melakukan aktivitasnya. Pemindahan
berat tubuh sangat membantu mencegah kelelahan dan memberikan pemeliharaan
sirkulasi yang adequat khususnya didalam otot-otot postural tungkai pada saat berdiri.
Adanya pergantian support (sanggahan) dari satu tungkai ke tungkai yang lain maka
secara periodik otot-otot menjadi tidak terbebani dan rileks. Bagi orang yang tidak
dapat memindahkan posturnya atau berat tubuhnya maka orang tersebut sering
mengalami ischemia pada jaringan-jaringan tertentu khususnya yang mendapat
tekanan secara terus menerus, misalnya pasien paraplegia yang harus dilatih oleh
fisioterapis untuk mengubah posturnya secara teratur.
a. Posisi Berdiri
Dalam posisi berdiri, secara ideal adalah garis gaya gravitasi harus terpusat di atas
dasar tumpuannya sehingga keseimbangannya hanya dipertahankan oleh usaha
otot yang minimal. Sedangkan pusat gravitasi tubuh tepat berada di depan
Vertebra S2. Titik pusat ini ditemukan pada jarak sekitar 55 – 57 % dari total
panjang tubuh di atas tanah.
Dalam posisi berdiri, keseimbangan tubuh bergantung pada meratanya distribusi
berat tubuh ke masing-masing kaki dan diantara kedua kaki. Postur tegak yang
normal dan ideal adalah jika ditarik garis vertikal dari sisi lateral melalui pusat
gravitasi tubuh maka garis tersebut akan berjalan di :

51
Bab 5. Postur

◙ Melalui processus mastoideus


◙ Tepat di depan shoulder joint
◙ Melalui hip joint atau tepat di belakangnya
◙ Tepat di depan pusat knee joint
◙ Sekitar 5 cm di depan ankle joint (gbr. 5.2)
Ketika garis tersebut ditarik dari sisi anterior atau posterior melalui pusat gravitas
maka garis tersebut akan membagi dua tubuh yang sama besarnya dengan berat
tubuh yang didistribusikan secara merata pada kedua kaki.
Distribusi tekanan pada telapak kaki adalah bervariasi, bergantung pada
penggunaan sepatu atau tidak. Beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan
batasan angka pada orang normal ketika kaki tak bersepatu. Sekitar 45 – 65 %
berat tubuh diterima oleh kedua tumit, sedangkan kaki bagian depan menerima
berat tubuh sekitar 30 – 47 % dan hanya 1 – 8 % diterima oleh kaki bagian
tengah. Angka persentasi ini dapat berubah secara menyolok ketika terjadi injury
atau penyakit, stress mekanik dalam waktu yang lama, atau memakai sepatu yang
bertumit tinggi.
Postur tubuh yang seimbang dapat menurunkan kerja otot-otot yang
mempertahankan tubuh tetap tegak. Melalui EMG, dapat dilihat aktivitas otot
yang bekerja mempertahankan tubuh tetap tegak yaitu :
 Otot-otot intrinsik kaki dalam keadaan relaks sehingga sanggahan diberikan
oleh ligamen-ligamen kaki
 Secara kontinyu, otot soleus selalu aktif karena gaya gravitasi cenderung
untuk menarik tubuh kearah depan, sedangkan otot gastrocnemius dan tibialis
posterior bekerja kurang aktif.
 Otot quadriceps dan hamstring bekerja kurang aktif.
 Secara konstan otot iliopsoas tetap bekerja aktif.
 Otot gluteus medius dan tensor fascia latae bekerja aktif untuk menetralisir
ayunan postur ke lateral.

52
Bab 5. Postur

 Otot erector spine bekerja aktif untuk menetralisir kecenderungan gravitasi


yang menarik trunk kearah depan.
 Otot abdominal tetap relaks meskipun serabut bagian bawah dari otot obliqus
internal bekerja aktif untuk melindungi canalis inguinal.
 Otot upper trapezius, serratus anterior dan deltoideus pars posterior bekerja
aktif untuk mempertahankan struktur-struktur yang berada pada shoulder
girdle dan upper limb, sedangkan otot supraspinatus dan adanya tension dari
kapsul sendi bagian superior dapat mencegah dislokasi caput humeri kearah
bawah terhadap cavitas glenoidalis.
Posisi berdiri tegak juga dipertahankan oleh pergantian aksi dari group otot
antagonist yang mencegah terjadinya overbalance. Keadaan ini menghasilkan
suatu ayunan yang kecil dan kontinyu dari tubuh tersebut, walaupun tetap
mempertahankan garis gaya gravitasi jatuh di atas area tumpuan diantara kedua
kaki. Besarnya ayunan disekitar pusat dasar tumpuan adalah cenderung bertambah
besar pada usia yang sangat tua dan usia sangat muda. (gbr. 5.3)
Adanya ayunan postur yang terjadi secara konstan selama berdiri, menyebabkan
beberapa muscle spindle tertarik ke atas secara beraturan sehingga terjadi
pergantian aktivitas dan inaktivitas dari berbagai motor unit. Hal ini dapat
membantu mencegah kelelahan serta membantu kembalinya aliran darah vena.
b. Posisi Duduk
Duduk merupakan salah satu posisi yang paling sering digunakan dalam aktivitas
kegiatan sehari-hari. Dalam posisi duduk, hal yang esensial adalah posisi
alignment vertikal dari kepala ke trunk harus dipertahankan, kecuali dalam
keadaan istirahat dengan punggung dan kepala tersanggah pada kursi yang enak.
Stabilitas duduk bergantung pada posisi yang diambil serta bentuk dan luas
permukaan sanggahan. Dibandingkan dengan posisi berdiri, posisi duduk lebih
stabil dan umumnya memberikan relaksasi pada otot-otot tungkai.
Posisi duduk dapat dilakukan di atas lantai, bed atau di atas kursi/stool. Posisi
duduk di atas lantai akan menghasilkan postur tubuh yang bervariasi, bergantung
pada posisi yang diambil oleh kedua tungkai. Sedangkan posisi duduk di atas

53
Bab 5. Postur

kursi/stool cenderung untuk menghasilkan postur tubuh yang tegak, walaupun


sangat dipengaruhi oleh bentuk kursi/stool dan posisi yang diambil.

54
Bab 5. Postur

c. Posisi Tidur (Berbaring)


Posisi tidur merupakan posisi yang menyenangkan dan enak serta memberikan
relaksasi yang sempurna. Posisi ini merupakan postur normal bagi bayi selama
bulan-bulan awal setelah post natal.
Posisi tidur merupakan posisi yang paling mudah didalam mempertahankan
keseimbangan tubuh karena pusat gravitasi tubuh menjadi rendah terhadap dasar
tumpuan dan gaya gravitasi dapat dinetralisir oleh mekanisme secara pasif,
sehingga hanya sedikit aktivitas otot yang dibutuhkan untuk mempertahankan
tubuh. Dalam posisi ini, permukaan sanggahan harus kuat dan comfortable
sehingga pembengkokan tubuh dapat dicegah serta relaksasi maksimum dapat
diperoleh.

C. GOOD POSTUR DAN POOR POSTUR


1. Good Postur
Good Postur adalah suatu keadaan seimbang antara sistem muscular dan sistem
skeletal yang melindungi struktur penyanggah tubuh melawan injury atau deformitas
yang progresif, dimana struktur-struktur tersebut sedang bekerja atau istirahat. Dalam
keadaan ini, maka otot-otot akan berfungsi dengan sangat efisien dan bekerja dengan
usaha yang minimum serta menghasilkan posisi yang optimum terhadap organ-organ
thoracal dan abdomen.
Dalam posisi berdiri tegak, dikatakan good postur jika alignment dari segmen-segmen
tubuh membentuk bidang vertikal dan menghasilkan keseimbangan yang sempurna
dari satu segmen ke segmen lainnya sehingga keadaan tersebut dapat dipertahankan
dengan usaha otot yang minimum dan berfungsi secara efisien serta enak dipandang.
Dalam postur dinamik, maka alignment tubuh akan terinklinasi ke depan dan tetap
lurus sehingga melibatkan penyesuaian yang konstan untuk mempertahankan efisiensi
otot selama gerakan.
Good Postur dapat berkembang secara alamiah dan memberikan mekanisme
pemeliharan serta penyesuaian postur yang utuh dan sehat. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kenormalan serta perkembangan refleks postural dan otot yaitu :

54
Bab 5. Postur

 Background psikologis yang stabil ; emosi dan sikap mental


mempunyai efek yang besar terhadap sistem saraf secara keseluruhan dan hal ini
akan direfleksikan dalam postur setiap orang. Rasa gembira dan bahagia
merupakan stimulasi dan akan direfleksikan dalam bentuk sinyal postur yang
tertentu. Sebaliknya, perasaan sedih, konflik dan merasa rendah akan
menghasilkan postur-postur yang berbeda. Dengan demikian, sikap mental dapat
mempengaruhi kondisi fisik seseorang baik bersifat sementara (temporer) maupun
permanen.
 Keadaan hygiene yang baik (kondisi sehat) ; khususnya mengenai
nutrisi dan tidur yang cukup merupakan hal penting untuk kesehatan sistem saraf
dan pertumbuhan serta perkembangan tulang-tulang dan otot.
 Kesempatan untuk melakukan gerakan alamiah yang bebas ; hal ini
dapat mendorong perkembangan otot skeletal yang harmonis, misalnya
memberikan kesempatan kepada anak normal untuk melakukan aktivitas-aktivitas
yang menyenangkan seperti berlari, melompat dan memanjat.
2. Poor Postur (postur jelek)
Suatu postur dikatakan jelek jika postur tersebut tidak efisien dan gagal untuk
melaksanakan fungsinya atau sejumlah usaha otot yang sebenarnya tidak perlu
digunakan untuk mempertahankan postur tersebut. Poor postur selalu melibatkan :
 Kecacatan (kelainan bentuk) yang berkaitan dengan segmen-segmen tubuh dan
menghasilkan peningkatan strain pada struktur-struktur penyanggah tubuh.
 Keseimbangan yang inadequat di atas dasar sanggahan.
Dalam posisi berdiri, terjadi kegagalan alignment dari segmen-segmen tubuh
sehingga memerlukan kerja otot tambahan untuk mempertahankan keseimbangan.
Adanya deviasi postural akan disertai dengan peningkatan atau penurunan kurva
spine normal, sehingga terjadi kompensasi tubuh dan gangguan body mekanik yang
menyebabkan strain pada ligamen-ligamen dan menghasilkan tekanan yang tidak rata
pada permukaan sendi (gbr. 5.4). Hal ini akan menghambat aktivitas kegiatan sehari-
hari dan mungkin menghasilkan reaksi psikologis pada dirinya yang tidak
dikehendaki serta tidak enak dipandang. Sebagian besar, pasien-pasien poor postur

55
Bab 5. Postur

mempunyai sedikit perubahan struktural pada tubuhnya yang merupakan kegagalan


alignment tubuh.
Penyebab “poor postur” seringkali tidak jelas. Faktor-faktor yang sangat mendukung
pembentukan pola postur yang jelek (tidak efisien) adalah sikap mental dari pasien
dan kondisi kesehatan (hygiene) yang jelek. Kelemahan tubuh secara general setelah
sakit berat juga merupakan faktor predisposisi, karena dapat menurunkan efisiensi
dari sistem saraf secara keseluruhan. Kurangnya pengetahuan pasien tentang postur
dan kebiasaan yang jelek juga mendukung pola postur yang jelek.
Faktor-faktor predisposisi yang bersifat lokal adalah nyeri yang terlokalisir,
kelemahan otot, kontraktur otot, ketegangan otot secara lokal yang menyebabkan
disbalance muscle, gangguan neurologis serta gangguan stabilitas dan keseimbangan.
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perubahan pola postur tetapi tidak sampai
menurunkan efisiensi gerakan dan postur. Meskipun demikian, jika perubahan pola
postur tersebut berlangsung lama walaupun penyebabnya telah hilang maka dapat
menghasilkan suatu kelainan postur.

56
Bab 5. Postur

56
BAB VI
SIKAP DAN POSISI

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang pengertian postur dan beberapa posisi
dasar yang sering dilakukan pada aktivitas kegiatan sehari-hari. Sedangkan pada bab ini,
lebih banyak melihat pada keberadaan vertebra khususnya vertebra lumbal dikaitkan dengan
sikap dan posisi badan.
Secara anatomis dan fisiologis, regio lumbal mempunyai struktur yang sederhana
namun regio ini paling sering terlibat dalam aktivitas kegiatan sehari-hari yang berhubungan
dengan penggunaan sikap dan posisi tubuh. Kita ketahui bahwa, regio lumbal menerima
beban yang paling besar dari semua regio pada tubuh manusia, terutama lumbosacral. Oleh
karena itu, berbagai sikap dan posisi tubuh yang dilakukan dalam aktivitas kegiatan sehari-
hari sangat mempengaruhi besarnya beban yang terjadi pada regio lumbal. Posisi dan sikap
yang kita lakukan sehari-hari seperti duduk, tidur, berdiri, membungkuk, mengangkat,
gerakan shalat dan lain-lain, semuanya akan melibatkan regio lumbal, baik dalam keadaan
statis maupun dinamis dengan menerima beban berupa gaya external dan gaya internal yang
bervariasi.
Pada tahun 1975, Tuan Nachemson memaparkan hasil penelitiannya tentang
besarnya beban yang terjadi di L3 pada setiap perubahan sikap dan posisi tubuh. Hasil
penelitian tersebut memberikan arti yang sangat luas dan dalam, karena kenyataannya pada
setiap perubahan sikap dan posisi tubuh akan selalu disertai dengan perubahan besarnya
beban yang terjadi pada L3.

A. PENGARUH SIKAP ATAU POSISI TERHADAP PEMBEBANAN DI LUMBAL


Beban pada vertebra utamanya dihasilkan oleh berat tubuh, aktivitas otot dan gaya
external. Beban tersebut terutama bekerja pada diskus intervertebralis. Regio lumbal
merupakan area penumpuan beban yang utama pada vertebra sehingga beban yang
diterima pada regio ini paling besar terjadi.

57
Bab 6. Sikap dan Posisi

Kurvatur vertebra juga memberikan kontribusi terhadap kapasitas spring-like (seperti


pegas) vertebra dan menyebabkan columna vertebralis dapat menahan berbagai beban
yang lebih tinggi daripada vertebra berbentuk lurus. Kepentingan otot-otot trunk sebagai
support extrinsik untuk menstabilisasi vertebra dalam kehidupan manusia, tidak hanya
berperan selama gerakan tetapi juga dalam pemberian posisi.
Dalam keadaan statis, beban yang bekerja pada vertebra dianalisis dalam keadaan
equilibrium. Untuk menghitung tekanan intradiskal, maka Nachemson, Elfstrom dan
Morris telah melakukan percobaan pada diskus in vivo dengan menggunakan Disc
Manometry. Dalam percobaan ini, dilakukan tekanan pada diskus intervertebralis L3 dari
laki-laki berusia 35 tahun. Dari hasil pengukuran menunjukkan besarnya persentase
beban dari total berat badan (kg) pada kelima posisi tubuh yakni (gbr. 6.1) :
 Berbaring : tidur terlentang dengan relaksasi total = 25 %
Setengah tidur (half lying) = 75 %
 Berdiri dengan posisi tegak (benar) = 100 %
 Duduk dengan posisi tegak (benar) = 140 %
 Berdiri dengan posisi badan membungkuk (salah) = 150 %
 Duduk dengan posisi badan membungkuk (salah) = 185 %
Selama berdiri relaks dengan benar maka otot-otot postural selalu aktif dengan usaha
yang minimum jika tubuh dalam kondisi good alignment. Posisi berdiri bukan merupakan
posisi statik yang sempurna karena biasa terjadi perpindahan garis gravitasi pada saat-
saat tertentu, yang dikenal dengan ayunan postur. Agar tubuh tetap seimbang, maka harus
dicounter balance oleh aktivitas otot-otot erector spine dan abdominal sehingga ayunan
postur terjadi secara intermitten. Tidak hanya otot-otot tersebut, tetapi otot psoas juga
ikut terlibat. Selama berdiri, otot-otot erector spine selalu bekerja aktif sedangkan otot-
otot abdominal hanya bekerja aktif secara intermitten.
Selama berdiri, dasar sacrum akan terinklinasi ke depan dan ke bawah sekitar 30o
terhadap bidang transversal yang disebut dengan sudut sacrum. Tilting dari pelvis
disekitar axis transversal dapat merubah sudut tersebut. Sudut ini menurun ketika pelvis
tilting kearah belakang dan lordosis lumbal menjadi datar. Mendatarnya lordosis lumbal

58
Bab 6. Sikap dan Posisi

mempengaruhi thoracal spine, dimana thoracal spine akan sedikit memanjang untuk
menyesuaikan pusat gravitasi. Sebaliknya, ketika pelvis tilting kearah depan maka sudut
sacral akan meningkat dan menyebabkan peningkatan lordosis lumbal serta kyphosis
thoracal (gbr. 6.2). Perubahan pada inklinasi pelvis (sudut sacrum) dapat mempengaruhi
aktivitas dari otot-otot erector spine sehingga mempengaruhi statik dari vertebra. Jika
terjadi peningkatan inklinasi pelvis maka aktivitas otot tersebut akan meningkat pula, dan
sebaliknya.
Fleksi trunk dapat meningkatkan beban pada lumbal karena terjadi peningkatan moment
pembengkokan. Dalam keadaan fleksi trunk, diskus intervertebralis akan menonjol
kearah dorsal dan tertekan kearah ventral sehingga stress kompresi dan tensile meningkat.
Jika fleksi trunk disertai dengan gerakan rotasi maka diskus akan mengalami beban torsio
selain beban kompresi dan tensile sehingga dapat meningkatkan stress yang lebih besar
pada diskus.
Selama duduk relaks tanpa sanggahan, beban pada lumbal lebih besar daripada berdiri
relaks (Nachemson & Elfstrom, 1970). Dalam posisi ini, pelvis akan tilting kearah
belakang dan lordosis lumbal menjadi lurus. Garis gravitasi jatuh di ventral dari lumbal
spine dan akan bergeser lebih jauh kearah ventral jika posisi duduk membungkuk. Hal ini
akan menghasilkan lever arm yang lebih panjang sehingga membutuhkan gaya yang lebih
besar untuk menahan berat trunk (terjadi peningkatan torque pada lumbal). Sedangkan
jika duduk tegak maka terjadi tilting pelvis kearah depan dan meningkatkan lordosis
lumbal serta dapat menurunkan beban pada lumbal tetapi beban tersebut masih lebih
besar daripada berdiri tegak (gbr. 6.3).
Selama duduk dengan sanggahan, beban pada lumbal menjadi lebih kecil daripada duduk
tanpa sanggahan karena berat dari upper body disanggah oleh sandaran kursi. Inklinasi
dari sandaran kursi sangat mempengaruhi besarnya beban pada lumbal. Jika sandaran
kursi dimiringkan kearah belakang dan menggunakan sebuah bantal kecil pada regio
lumbal maka dapat menurunkan beban yang lebih besar pada lumbal spine (gbr 6.4).
Beban yang minimum pada spine dapat terjadi dalam posisi berbaring, dimana beban
yang dihasilkan oleh berat badan dapat dieliminir oleh tempat tidur. Jika dalam posisi
tersebut, kedua knee lurus maka akan terjadi tarikan dari otot psoas yang menghasilkan

59
Bab 6. Sikap dan Posisi

peningkatan beban yang kecil pada lumbal. Tetapi jika kedua knee dan hip dibengkokkan
serta disanggah dibawah knee maka lordosis lumbal menjadi berkurang karena otot psoas
dalam keadaan relaks dan beban menjadi menurun.

60
Bab 6. Sikap dan Posisi

B. PENGARUH POSISI MENGANGKAT TERHADAP BEBAN PADA LUMBAL


Beban kompresi yang dapat ditahan oleh corpus vertebra sampai terjadi kerusakan
(fraktur kompresi) adalah berkisar dari 5000 – 8000 Newton bahkan sampai 10.000 N.
Besarnya beban tersebut dipengaruhi oleh derajat degenerasi diskus dan faktor usia.
Corpus vertebra lebih mudah mengalami kerusakan daripada diskus jika terjadi beban
kompresi. Hal ini menunjukkan bahwa tulang kurang mampu menahan beban kompresi
daripada diskus. Sebaliknya, ruftur dapat terjadi pada bagian posterior annulus fibrosus
jika terjadi tension yang berlebihan dan torsional yang tinggi pada diskus akibat beban
stress yang dihasilkan oleh moment pembengkokan + rotasi trunk.
Pada saat mengangkat dan membawa suatu obyek, adanya beban external ikut
mempengaruhi besarnya beban pada vertebra lumbal. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi besarnya beban pada vertebra (khususnya lumbal) selama aktivitas
tersebut, yaitu :
1. Posisi dari obyek kaitannya dengan pusat gerakan vertebra
2. Derajat fleksi atau rotasi spine
3. Karakteristik dari obyek tersebut : ukurannya, bentuknya, beratnya dan kepadatannya.
Mempertahankan suatu obyek yang diangkat tetap dekat dengan tubuh dapat menurunkan
besarnya moment pembengkokan pada vertebra lumbal karena jarak antara pusat
gravitasi obyek dengan pusat gerakan vertebra adalah kecil/minimal. Lever arm yang
pendek dari gaya berat obyek akan menghasilkan moment pembengkokan yang rendah,
sehingga beban pada vertebra lumbal juga rendah (Anderson, Ortengren & Nachemson,
1976). Ukuran, bentuk, berat dan kepadatan obyek juga mempengaruhi beban pada
vertebra. Jika 2 buah obyek yang mempunyai berat, bentuk dan kepadatan yang sama
tetapi ukurannya berbeda, maka lever arm gaya berat obyek akan lebih panjang pada
obyek yang ukurannya besar daripada yang kecil sehingga menghasilkan moment
pembengkokan yang lebih besar (gbr. 6.5).
Jika sebuah obyek diangkat dan dipertahankan dalam posisi tubuh membungkuk maka
gaya yang dihasilkan bukan hanya dari berat obyek tetapi juga dari berat upper body yang
dapat menimbulkan moment pembengkokan yang besar pada diskus sehingga
menghasilkan beban yang tinggi pada vertebra (gbr. 6.6).

60
Bab 6. Sikap dan Posisi

Selama mengangkat, dianjurkan kedua knee bengkok untuk mengurangi beban pada
vertebra tetapi tekniknya harus benar. Mengangkat dengan kedua knee bengkok membuat
obyek lebih dekat dengan trunk sehingga lebih dekat dengan pusat gerakan vertebra.
Meskipun demikian, beban tidak akan berkurang jika obyek yang akan diangkat berada
jauh di depan knee walaupun kedua knee sudah bengkok karena obyek berada jauh dari
pusat gerakan sehingga menghasilkan moment pembengkokan yang lebih besar.
Bagi atlet angkat besi, mereka dengan mudah dapat mengangkat beban yang berat tanpa
terjadi fraktur pada vertebra. Hal ini karena ada faktor lain yang harus terlibat untuk
menurunkan beban pada vertebra. Adanya support intra-abdominal dapat menurunkan
beban pada vertebra lumbal (lumbosacral), dan telah dibuktikan oleh Bartelink (1957),
Morris et.al (1961), Eie dan Wehn (1962) dengan menggunakan pengukuran tekanan
intra-abdominal. Dari pengukuran tersebut menunjukkan bahwa tekanan intra-abdominal
yang dihasilkan oleh kontraksi otot erector spine dan support tersebut dapat menurunkan
beban pada vertebra lumbal sampai 40 %.

C. EFEK LATIHAN TERHADAP BEBAN PADA LUMBAL SPINE


Hampir seluruh gerakan pada tubuh dapat meningkatkan beban pada lumbal spine, dari
beban yang sedang selama berjalan dengan lambat atau gerakan twisting yang mudah
sampai beban yang tinggi selama latihan/exercise (Nachemson and Elfstrom, 1970).
Beberapa latihan yang sangat mempengaruhi beban pada lumbal spine adalah latihan
strengthening untuk otot-otot erector spine dan abdominal. Latihan-latihan tersebut harus
dilakukan secara efektif dengan cara menyesuaikan beban yang dihasilkan oleh spine
dengan kondisi punggung/back setiap orang.
Untuk melatih otot-otot erector spine dalam posisi prone lying, sebaiknya dihindari posisi
seperti pada gbr. 6.7a bagi pasien-pasien LBP walaupun dapat menghasilkan kontraksi
otot yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena posisi tersebut dapat menghasilkan stress
yang lebih besar pada struktur spine (terutama diskus lumbalis). Oleh karena itu, posisi
yang lebih baik adalah posisi awal latihan yang mempertahankan vertebra lebih paralel.
(gbr. 6.7b)

61
Bab 6. Sikap dan Posisi

Sedangkan latihan untuk otot abdominal, ada beberapa posisi awal latihan yang tidak
menghasilkan beban tinggi pada lumbal spine seperti bilateral/unilateral SLR, trunk curl
method atau reverse curl dengan modifikasi tahanan isometrik. Bilateral/unilateral SLR
lebih banyak mengaktifkan otot psoas daripada otot abdominal sehingga aktivitas otot
tersebut cenderung untuk menarik lumbal spine kearah lordosis. Sedangkan metode
latihan sit-up dengan posisi hip dan knee bengkok (fleksi) sangat besar mengaktifkan otot
abdominal daripada otot psoas, tetapi juga menghasilkan beban yang tinggi pada lumbal
spine terutama pada diskus intervertebralis (Nachemson and Elfstrom, 1970). Beban
tersebut dapat dikurangi dengan cara hanya melakukan trunk curl (gbr 6.8). Metode
reverse curl dapat mengaktifkan otot abdominal dan obliqus external et internal, dan jika
dimodifikasi dengan memberikan tahanan isometrik pada knee akan menjadi lebih efektif
untuk strengthening otot abdominal karena tekanan pada diskus juga rendah (gbr. 6.9).

D. SIKAP ATAU POSISI YANG BENAR DAN SALAH


Penilaian sikap atau posisi yang benar dan salah didasari oleh besarnya beban yang
diterima oleh vertebra lumbal. Sikap atau posisi yang benar adalah posisi yang
menghasilkan beban yang minimal pada vertebra lumbal, sedangkan sikap atau posisi
yang salah adalah posisi yang menghasilkan beban yang tinggi pada vertebra lumbal.
Dari penjelasan diatas, maka kita dapat menilai sikap atau posisi yang benar dan salah
berdasarkan besarnya beban pada vertebra lumbal. Sikap atau posisi tersebut perlu
diperhatikan dalam aktivitas kegiatan sehari-hari, karena banyak penyebab dari LBP
(Nyeri Pinggang Bawah) adalah sikap atau posisi yang salah.

62
Bab 6. Sikap dan Posisi

63
BAB VII
MEKANIKAL BERJALAN

A. PENGERTIAN BERJALAN
Berjalan adalah usaha seseorang untuk melangkah ke depan atau perjalanan dari satu
tempat ke tempat lain dengan melibatkan komponen-komponen fundamental berjalan
yakni arkus gerakan sendi, rangkaian aksi otot, kecepatan tubuh bergerak ke depan,
alignment trunk dan gaya reaksi lantai. Berjalan merupakan suatu cara didalam
memperoleh posisi yang akan digunakan untuk melihat, mendengar dan melakukan
tugas-tugas manual.
Aktivitas berjalan hanya memerlukan jumlah waktu dan energi yang minimal serta tubuh
memerlukan pola berjalan yang halus. Dengan demikian, didalam aktivitas berjalan
dibutuhkan suatu pola berjalan yang halus dan penggunaan energi yang ekonomis.

B. TUGAS-TUGAS FUNGSIONAL BERJALAN


Selama berjalan, ada 3 tugas fungsional berjalan yang harus diselesaikan yaitu :
1. Forward Progression
Agar tubuh dapat bergerak ke depan dengan pola berjalan yang halus dan ekonomis,
maka dibutuhkan 3 fungsi yaitu :
 Shock absorption : diperlukan adanya transfer atau perpindahan berat tubuh yang
cepat ke kaki yang bergerak ke depan
 Momentum kontrol : diperlukan kontrol stabilitas pada tungkai sebagai
penumpuan berat tubuh dari interaksi sistem persarafan dan kerja otot.
 Forward propultion : diperlukan gaya yang cukup dari sekelompok otot untuk
mendorong tubuh bergerak ke depan.
Dengan penggunaan momentum yang cukup untuk membantu terjadinya shock
absorption dan menggerakkan tubuh ke depan, maka kebutuhan kerja dari tubuh dapat
diminimalkan selama berjalan.

63
Bab 7. Mekanikal Berjalan

2. Single Limb Balance


Selama berjalan, pada saat satu tungkai terayun ke depan untuk bergerak maka
tungkai yang lain harus mampu menyeimbangkan tubuhnya. Pada saat itu tubuh
dalam keadaan off-balance karena hilangnya satu tungkai yang menyanggah (gbr.
7.1a). Dalam keadaan ini, seseorang akan jatuh kecuali :
 Ada gaya yang besar dari otot abduktor hip untuk mempertahankan tubuh
 Dia memiringkan tubuhnya kearah lateral di atas tungkai yang menumpu.
Kedua aksi tersebut terjadi dalam pola berjalan normal. Jika seseorang mempunyai
proprioceptor dan kontrol otot yang normal tetapi ada sedikit kelemahan pada
abduktor hip, maka keseimbangannya akan dikompensasi oleh lateral shift trunk yang
berlebihan (gbr. 7.1b). Sedangkan pasien yang mengalami gangguan proprioceptor
dan SSP (seperti hemiplegia) tidak akan mampu melakukan gerakan kompensasi
untuk menghasilkan keseimbangan sehingga pasien akan jatuh kearah sisi tungkai
yang terangkat (terayun) (gbr. 7.1c).
Dalam keadaan single limb balance dapat terjadi valgus thrust (lateral thrust) pada
knee dan ankle (gbr. 7.2). Bagi pasien-pasien RA dan paralysis akibat polio dapat
terjadi deformitas valgus pada knee dan ankle karena terjadi strain yang berulang
pada ligamen-ligamen.
Ada 2 mekanisme yang melindungi ligamen-ligamen dan mengontrol terjadinya
valgus thrust pada knee. Pertama, mekanisme untuk menyanggah knee bagian medial
melawan valgus thrust yang terjadi oleh aksi dari 3 otot sisi medial yakni m.
semitendinosus, m. gracilis dan m. sartorius. Kedua, mekanisme proteksi dari aksi m.
vastus medialis untuk mencegah pergeseran patella kearah lateral dan mengontrol
angulasi valgus knee. Sedangkan pada ankle (kaki), adanya stress valgus dapat
diproteksi oleh aksi m. tibialis posterior.
3. Limb Length Adjustment
Pada saat terjadi perubahan posisi diperlukan perubahan panjang dari kedua tungkai
sehingga kaki dapat mencapai tanah dengan mudah, dimana tungkai bagian depan

64
Bab 7. Mekanikal Berjalan

diarahkan untuk lurus sedangkan tungkai bagian belakang harus membengkok.


Dengan demikian tungkai (extremitas inferior) yang bergerak ke depan untuk
mengambil suatu langkah harus lebih panjang daripada tungkai yang di belakang
(gbr.7.3).
Untuk mencapai gerakan extremitas inferior ke depan maka secara relatif terjadi
rotasi pelvis kearah depan dan pelvis drop pada sisi ipsilateral. Pemanjangan
extremitas yang lebih jauh dapat diperoleh dengan cara mempertahankan ankle tetap
pada sudut 90o. Pada akhirnya, total pemanjangan extremitas akan berkurang dengan
sedikit fleksi knee pada sisi penumpuan.

C. FASE-FASE BERJALAN
Adanya pergantian berdiri dan melangkah maka secara teknikal fase berjalan terdiri atas
stance phase (fase menumpu) dan swing phase (fase mengayun). Stance phase mulai
terjadi pada saat heel strike dan berakhir pada saat toe-off. Untuk mengidentifikasi
adanya aksi yang berkaitan maka stance phase dibagi kedalam fase heel strike, mid-
stance dan push-off, sedangkan swing phase dibagi kedalam fase awal swing dan fase
akhir swing.
Setiap interval dari fase-fase tersebut terdiri dari aktivitas yang kompleks, yang berkaitan
dengan penyelesaian tugas-tugas fungsional berjalan. Dengan demikian, untuk
mengidentifikasi tugas-tugas fungsional berjalan pada setiap fase berjalan maka deskripsi
fungsional yang tepat adalah :
 Stance phase terdiri atas : Weight Acceptance, Trunk Glide, Push dan Balance
Assistance
 Swing phase terdiri atas : Pick-up dan Reach.
Fase Menumpu (Stance phase) :
1. Weight Acceptance (0 – 15 % dari siklus berjalan)
Pada fase ini, terjadi heel strike sampai foot-flat dimana kaki pertama kali kontak
dengan tanah. Pada saat heel strike, tumit pertama kali menyentuh tanah dan
extremitas inferior akan terulur ke depan dengan fleksi hip 30o, knee full ekstensi dan

65
Bab 7. Mekanikal Berjalan

ankle membentuk sudut 90o (dorsifleksi ankle). Kemudian memasuki foot-flat knee
akan sedikit fleksi dan kaki merapat di tanah. Sementara itu, tungkai bagian belakang
dalam posisi toe-off. (gbr. 7.4)

66
Bab 7. Mekanikal Berjalan

Dalam fase ini, terjadi berbagai aktivitas dan tugas fungsional berjalan yakni :
a. Pada fase ini, menuntut adanya :
 Shock absorption
 Stabilisasi tungkai
 Bergerak ke depan
 Keseimbangan pada satu tungkai
b. Keadaan yang terjadi dalam fase ini adalah :
 Terjadi momentum ke depan dengan kuat sebelum heel strike
 Extremitas inferior mencapai tanah di depan tubuh
 Terjadinya heel strike menyebabkan kaki berhenti bergerak ke depan sehingga
momentum ke depan terjadi pada tungkai bawah (tibia)
c. Respon yang terjadi adalah :
RESPONSE
TUGAS FUNGSIONAL BERJALAN AKTIVITAS ANATOMICAL
1. Forward Progression
a. Dengan cepat terjadi plantar fleksi
ankle karena pada saat tumit kontak 1.a. Dikontrol oleh dorsifleksor ankle yakni
dengan tanah berat tubuh terjadi
disepanjang tibia. m. tibialis anterior dan group extensor
b. Dengan cepat terjadi fleksi knee seki-
tar 15o karena adanya momentum ke jari-jari kaki.
depan dari tungkai bawah (tibia)
c. Kecenderungan fleksi hip karena 1.b. Terjadinya fleksi knee dan momentum
adanya berat tubuh di belakang kaki
yang menumpu. ke depan dari tungkai bawah (tibia)

dikontrol oleh m. soleus dan tibialis

posterior, m. quadrieps, serta stabilitas


2. Single Limb Balance
a. Kecenderungan untuk jatuh dari tungkai atas (paha) oleh aktivitas m.
tungkai yang menumpu
b. Valgus thrust pada knee akibat lateral semitendinosus, biceps femoris dan
shift
c. Valgus thrust pada ankle gluteus maximus.

1.c. Dikontrol oleh group extensors hip dan

momentum ke depan

66
Bab 7. Mekanikal Berjalan

2.a. Terjadi lateral shift dari tubuh. Pelvis

distabilisasi oleh group otot abduktors :

m. gluteus medius, gluteus minimus

dan tensor fascia latae.

2.b. Dikontrol oleh otot-otot bagian medial

knee : m. vastus medialis, semitendi-

nosus dan gracilis.

2.c. Dikontrol oleh m. tibialis posterior dan

insersio soleus bagian medial.

2. Trunk Glide (15 – 40 % dari siklus berjalan)


Dalam fase ini, mulai dari foot-flat sampai terjadi maksimum dorsifleksi. Fase ini
merupakan fase yang membawa badan bergerak ke depan di atas kaki yang foot-flat,
dengan penumpuan pada satu tungkai. Trunk Glide merupakan interval dari mid-
stance. (gbr. 7.5)
Dalam fase ini, terjadi berbagai aktivitas dan tugas fungsional berjalan yakni :
a. Pada fase ini, menuntut adanya gerakan tubuh ke depan secara kontinu di atas
kaki yang datar (foot-flat)
b. Keadaan yang terjadi dalam fase ini adalah :
 Secara sempurna terjadi penumpuan pada satu tungkai.
 Terjadi foot-flat di atas tanah.
 Stabilitas extremitas inferior.
 Masih aktif terjadi momentum ke depan tetapi agak berkurang.
 Kecepatan gerakan ke depan menjadi lambat.

67
Bab 7. Mekanikal Berjalan

c. Respon yang terjadi adalah :


RESPONSE
TUGAS FUNGSIONAL BERJALAN AKTIVITAS ANATOMICAL
1. Forward Progression
a. Adanya momentum akan membawa
trunk dan extremitas inferior bergerak 1.a. Kecepatan gerakan ke depan dikontrol
ke depan di atas kaki yang menetap.
 Knee menjadi extensi ketika paha oleh aktivitas otot soleus dan tibialis
bergerak ke depan di atas tibia yang
stabil. posterior.
 Hip menjadi extensi ketika paha
bergerak ke depan  Otot quadriceps menjadi rileks
b. Garis berat tubuh bergeser dari  Extensor hip menjadi rileks.
belakang tumit ke kaki bagian depan. 1.b. Gerakan ke depan menyebabkan posisi

ankle berubah dari 5o plantar fleksi


2. Single Limb Balance
a. Terjadi penumpuan secara total pada menjadi 10o dorsifleksi.
salah satu extremitas.
b. Terjadi lateral shift secara maksimum
pada 20 % siklus berjalan, kemudian
mulai menurun.

2. Limb Length Adjustment


a. Extremitas yang lain mengayun ke
depan
2.a. Terjadi aktivitas abduktor hip secara

kontinu.

2.b. Stress pada knee mulai berkurang dan

otot-otot protector menjadi relaks.

3.a. Menuntut adanya gerakan abduksi, int.

rotasi dan extensi hip secara simultan

di atas hip joint yang menumpu.


3. Push (40 – 50 % dari siklus berjalan)

68
Bab 7. Mekanikal Berjalan

Pada fase ini, diawali dengan heel-rise sampai terjadi maksimum gaya push. Fase ini
merupakan fase dimana tumit terangkat ke atas pada kaki yang menumpu, diikuti
dengan gerakan badan ke depan oleh dorongan kaki yang menumpu. Fase push
merupakan interval awal dari push-off. (gbr. 7.6)
Dalam fase ini, terjadi berbagai aktivitas dan tugas fungsional berjalan yakni :
a. Pada fase ini, menuntut adanya gaya dorong ke depan
b. Keadaan yang terjadi dalam fase ini adalah :
 Tubuh agak ke depan dari kaki yang menumpu..
 Secara full knee extensi.
 Tumit mulai terangkat
 Ankle dalam posisi 10o dorsifleksi.
c. Respon yang terjadi :
RESPONSE
TUGAS FUNGSIONAL BERJALAN AKTIVITAS ANATOMICAL
1. Forward Progression
a. Berat tubuh cenderung untuk menarik:
 Hip kearah lebih extensi 1.a. Extensi hip dikontrol oleh otot iliacus.
 Knee kearah lebih extensi
 Ankle kearah lebih dorsifleksi Extensi knee dikontrol oleh otot
b. Tercipta Gaya Push
gastrocnemius pada 10o fleksi.

Tujuh otot plantarfleksor ankle bekerja

aktif : m. gastrocnemius, peroneus lo-

ngus dan brevis, flexor jari-jari kaki

yang besar, soleus, dan tibialis pos-

2. Single Limb Balance terior.


a. Posisi Trunk kembali ke midline
untuk persiapan transfer berat tubuh 1.b. Meningkatnya aktivitas dari tujuh otot
ke tungkai yang lain.
b. Tercipta gerakan pasif abduksi hip. plantar fleksor.

2.a. Abduktors hip menjadi relaks pada ma-

69
Bab 7. Mekanikal Berjalan

sa pertengahan push.

2.b. Pergeseran tersebut dikontrol oleh otot

adduktor longus dan magnus.

4. Balance Assistance (50 – 60 % dari siklus berjalan)


Fase ini terjadi penumpuan berat badan kembali oleh kedua tungkai akibat adanya
transfer berat tubuh dari satu tungkai ke tungkai yang lain, dimana satu tungkai dalam
keadaan toe-off sedangkan tungkai lain dalam keadaan heel strike. Pada fase ini

70
Bab 7. Mekanikal Berjalan

diawali dengan maksimum gaya push sampai toe-off, yang merupakan interval akhir
dari push-off. Dalam fase ini, terjadi fleksi knee dengan cepat sekitar 65o dan ankle
bergerak kearah plantar fleksi sekitar 20o. (gbr. 7.7)
Dalam fase ini, terjadi berbagai aktivitas dan tugas fungsional berjalan yakni :
a. Pada fase ini menuntut adanya bantuan keseimbangan tubuh dari tungkai lain
yang siap untuk menerima berat tubuh.
b. Keadaan yang terjadi dalam fase ini adalah :
 Masa penumpuan dari kedua tungkai
 Dengan cepat berat tubuh ditransfer ke tungkai yang lain
 Mempertahankan tungkai yang utama tetap kontak dengan tanah untuk
keseimbangan sementara tungkai yang lain siap untuk mengayun.
 Garis berat tubuh berada diantara kedua tungkai.
c. Respon yang terjadi :
RESPONSE
TUGAS FUNGSIONAL BERJALAN AKTIVITAS ANATOMICAL
1. Forward Progression
a. Transfer berat tubuh yang cepat akan
melepaskan tahanan pada knee dan 1.a. Transfer yang cepat ditandai dengan
ankle
b. Mempertahankan tetap kontak dengan fleksi knee secara pasif (0 – 50o). Tidak
tanah
ada otot fleksor knee yang bekerja

aktif.

1.b. Terjadi Postural equinus akibat gerakan

tibia ke depan dengan adanya fleksi

knee yang disertai extensi hip.

1.c. Gerakan aktif plantar fleksi : hanya otot

gastrocnemius dan tibialis posterior

yang relaks.

1.d. Extensi hip berkurang (-10o – 0o). Otot

2. Single Limb Balance (Lateral alignment) adduktor longus dan magnus bekerja

69
Bab 7. Mekanikal Berjalan

Masa penumpuan berat tubuh dengan aktif .

kedua tungkai.

Dengan cepat berat tubuh bergeser 2.a. Adduktor longus dan magnus mengon-

melewati midline dari kaki yang lain trol adanya lateral shift, dan menambah

stabilitas.

Fase Mengayun (Swing phase)


1. Pick-up (60 – 75 % dari siklus berjalan)
Fase ini merupakan fase awal dari swing, yang diawali dengan toe-off sampai akhir
fleksi knee. Pada fase ini terjadi kombinasi gerakan fleksi hip, knee dan dorsifleksi
ankle. (gbr. 7.8)
Dalam fase ini, terjadi berbagai aktivitas dan tugas fungsional berjalan yakni :
a. Pada fase ini menuntut terjadinya pengangkatan kaki dari tanah sebagai persiapan
untuk mencapai reach ke depan.
b. Keadaan yang terjadi dalam fase ini adalah :
 Seluruh berat tubuh disanggah oleh tungkai yang lain (tungkai yang menumpu)
 Tungkai yang terayun berada di belakang axis tubuh
 Jari-jari kaki menghadap ke bawah / kearah tanah akibat dari :
 Adanya fleksi knee
 Posisi ankle dalam equinus maximal.
c. Respon yang terjadi :
RESPONSE
TUGAS FUNGSIONAL BERJALAN AKTIVITAS ANATOMICAL
1. Forward Progression
a. Satu tungkai (extremitas inferior)
terangkat untuk membentuk postural 1.a. Terjadi gerakan aktif fleksi hip (0 – 5o)
equinus yang sebenarnya.
b. Pada saat toe-off, kaki bagian poste- oleh kontraksi otot iliacus, sartorius,

70
Bab 7. Mekanikal Berjalan

rior dan lateral menuju ke axis tubuh dan tensor fascia latae.

Juga gerakan aktif fleksi knee (50o –

70o) oleh kontraksi otot biceps femoris

(caput brevis) dan sartorius.

1.b. Tungkai yang terayun dibawa kearah

midline oleh kontraksi otot adduktor


2. Limb Length Adjustment
Tungkai yang terayun menjadi memen- magnus.

dek untuk mengangkat jari-jari kaki dari

tanah. 2.a. Pelvis akan berotasi ke depan dari

posisinya pada maximum posterior.

2. Reach (75 – 100 % dari siklus berjalan)


Fase ini merupakan fase akhir dari swing, yang diawali dengan periode extensi knee
selama mengayun. Pada fase ini, tungkai yang terayun bergerak ke depan untuk
langkah berikutnya. (gbr. 7.9)
Dalam fase ini, terjadi berbagai aktivitas dan tugas fungsional berjalan yakni :
a. Pada fase ini menuntut adanya gerakan kaki ke depan untuk langkah berikutnya
dalam forward progression, dan siap untuk menerima berat tubuh yang maju ke
depan.
b. Keadaan yang terjadi dalam fase ini adalah :

71
Bab 7. Mekanikal Berjalan

 Gerakan tubuh ke depan terjadi karena adanya gaya push dan aktivitas tungkai
lain yang stance.
 Tungkai/extremitas yang terayun dalam posisi fleksi pada setiap sendi, dan
dengan cepat terjadi extensi knee.
 Kaki masih berada di belakang axis tubuh.
 Jari-jari kaki tidak kontak dengan tanah.
c. Respon yang terjadi :
RESPONSE
TUGAS FUNGSIONAL BERJALAN AKTIVITAS ANATOMICAL
1. Forward Progression
a. Tungkai bergerak dengan cepat ke
depan untuk mencapai posisi Weight 1.a. Dengan cepat terjadi extensi knee dari
Acceptance sebelum garis berat tubuh
sangat jauh dari tungkai yang posisinya pada 70o fleksi akibat adanya
menumpu sebagai stabilitas
b. Jari-jari kaki tetap dipertahankan tidak relaksasi dari otot fleksor knee dan
kontak dengan tanah.
efek pendulum.

Extensors knee (kelompok Vastus)

menjadi aktif pada akhir masa reach

untuk mempertahankan full extensi

2. Limb Length Adjustment knee.


Tungkai yang terayun menjadi meman-
Fleksi hip sedikit meningkat (30o) dan
jang
dipertahankan oleh group adduktors.

1.b. Terjadi gerakan aktif dorsifleksi ankle.

2.a. Secara kontinu pelvis berotasi yang

diikuti dengan gerakan tungkai ke

depan. Pelvis juga drops kearah

adduksi tungkai.

72
Bab 7. Mekanikal Berjalan

73
Bab 7. Mekanikal Berjalan

D. GAYA FOOT-FLOOR
Gaya Foot-Floor adalah gaya yang dihasilkan oleh kaki dan bidang tumpuan selama
siklus berjalan.. Gaya ini merupakan gaya normal (FN), yang merupakan respon terhadap
besarnya gaya berat dari total tubuh selama siklus berjalan. Gaya ini dinilai dengan
persentase dari berat badan selama siklus berjalan. Gaya Foot-Floor hanya terjadi pada
stance phase (kaki yang menumpu).
1. Foot-Floor Force pada Weight Acceptance
Dalam fase ini, besarnya gaya normal terhadap permukaan kaki mulai dari 0 % yang
akan meningkat sejalan dengan bertambahnya persentase siklus berjalan. Pada akhir
fase ini (15 % dari siklus berjalan), gaya foot-floor mencapai titik maksimal pada +
120 % dari berat badan (gbr.7.10a).
2. Foot-Floor Force pada Trunk Glide
Memasuki fase ini, gaya foot-floor menurun sampai 60 % dari berat badan pada
pertengahan fase ini dan kembali meningkat pada akhir fase ini (40 % dari siklus
berjalan) sampai + 100 % dari berat badan (gbr. 7.10b).
3. Foot-Floor Force pada Push
Memasuki fase ini, gaya foot-floor akan meningkat lagi sampai 120 % dari berat
badan pada titik pertengahan fase ini dan kembali menurun sampai + 90 % dari berat
badan pada akhir fase push (50 % dari siklus berjalan) (gbr. 7.10c).
4. Foot-Floor Force pada Balance Assistance
Pada fase ini, ternyata gaya foot-floor akan terus menurun sampai + 5 % dari berat
badan pada titik akhir fase balance assistance (gbr. 7.10d).

E. LATERAL SHIFT
Lateral Shift adalah pergeseran gaya berat tubuh kearah lateral tungkai yakni kearah kaki
yang menumpu pada saat stance phase, sehingga terjadi valgus thrust pada knee dan ankle
dari kaki yang stance. Lateral shift terjadi secara maksimum pada titik + 15 % - 20 % dari
siklus berjalan (fase Trunk Glide) (gbr. 7.11).

72
Bab 7. Mekanikal Berjalan

F. VERTICAL DISPLACEMENT
Vertical Displacement adalah perpindahan atau perubahan garis berat tubuh (garis
gravitasi) terhadap bidang tumpuan. Vertical displacement terjadi secara maksimal sejauh
3 cm pada titik + 30 – 35 % dari siklus berjalan dan 75 – 80 % dari siklus berjalan.

73
Bab 7. Mekanikal Berjalan

74
BAB VIII
DINAMIKA

Dinamika merupakan salah satu bagian dari kinetika, selain statika. Dinamika adalah
ilmu yang mempelajari tentang gaya yang bekerja pada tubuh dalam keadaan bergerak (Σ F
atau Σ M ≠ 0). Dalam analisis kinetika (statika dan dinamika), dapat ditentukan besarnya
gaya pada sendi yang dihasilkan oleh otot, berat tubuh, jaringan-jaringan connective (seperti
ligamen), dan beban external baik secara statik maupun dinamis, serta dapat mengidentifikasi
keadaan tersebut yang menghasilkan gaya yang sangat tinggi.
Untuk menganalisis gaya-gaya yang bekerja pada suatu sendi selama gerakan, maka
harus menggunakan teknik solving dynamic problem (pemecahan problem dinamik). Gaya-
gaya utama yang dianalisis secara dinamik adalah gaya yang dihasilkan oleh otot, berat
badan, jaringan connective dan beban external. Dalam analisis dinamik, ada 2 faktor yang
harus dinilai yaitu :
1. Percepatan dari bagian tubuh yang bergerak
2. Massa moment inersia dari bagian tubuh tersebut ; massa moment inersia merupakan unit
yang digunakan untuk menyatakan besarnya torque yang dibutuhkan untuk mempercepat
gerakan tubuh tersebut dan massa ini bergantung dari bentuk tubuh.
Sedangkan langkah-langkah untuk menghitung besarnya gaya minimum yang bekerja pada
suatu sendi selama aktivitas dinamis adalah :
1. Mengidentifikasi struktur-struktur anatomi yang terlibat dalam menghasilkan gaya ;
struktur-struktur yang terlibat adalah bagian tubuh yang bergerak dan otot-otot utama
(primemover) yang menghasilkan gerakan.
2. Tentukan percepatan angular dari bagian tubuh yang bergerak ; untuk menentukan
percepatan angular dari bagian tubuh maka seluruh gerakan dari bagian tubuh tersebut
dicatat secara photographic yaitu menggunakan sebuah cahaya stroboscopic dan gerakan
kamera, atau sebuah sistem televisi scanning atau metode-metode lain. Dari film-film

74
Bab 8. Dinamika

tersebut maka dapat dihitung percepatan angular maksimal pada gerakan tertentu (Frenkel
& Burstein, 1970).
3. Tentukan massa moment inersia dari bagian tubuh yang bergerak ; untuk menentukan
massa moment inersia pada bagian tubuh yang menggerak, maka digunakan data
anthopometric.
4. Hitung torque yang bekerja disekitar sendi ; besarnya torque disekitar sendi sudah dapat
dihitung dengan menggunakan Hukum Newton II tentang gerakan yaitu besarnya torque
merupakan hasil perkalian dari massa moment inersia dan percepatan angular dari bagian
tubuh tersebut ( T = I x ∝). Tetapi bukan itu saja, torque juga merupakan hasil perkalian
dari gaya otot utama dan jarak tegak lurus dari gaya ke pusat sendi (lever arm)  T =
Fxd.
5. Hitung besarnya gaya otot utama yang menghasilkan percepatan pada bagian tubuh
tersebut ; Besarnya gaya otot utama dapat dihitung dengan rumus T = F x d, dimana T
(torque) dan d (lever arm) sudah dapat diketahui.
6. Hitunglah dengan menggunakan analisis statik, besarnya gaya reaksi sendi pada saat
tertentu.

A. DINAMIKA SHOULDER
Ada beberapa otot yang bekerja disekitar shoulder, dimana aksi otot tersebut mempunyai
3 aspek yaitu :
1. Karena glenohumeral joint mempunyai stabilitas yang kurang kuat, maka suatu otot
yang bekerja menghasilkan efek pada humerus harus bekerja bersama dengan otot-
otot lain untuk menghindari adanya gaya dislokasi pada sendi. (bandingkan dengan
elbow joint, dimana dapat stabil secara meluas oleh otot triceps bracii tanpa kontraksi
otot lain)
2. Eksistensi dari hubungan yang kompleks (clavicula, scapula & humerus), sehingga
ada suatu otot yang dapat menjangkau beberapa sendi dan menghasilkan efek pada
setiap sendi. Sebagai contoh, otot latissimus dorsi yang dapat menjangkau scapulotho-
racic artic. & glenohumeral joint.

75
Bab 8. Dinamika

3. Shoulder mempunyai ROM yang begitu besar sehingga beberapa otot mungkin
mempunyai fungsi yang berbeda, bergantung pada posisi awal dari tulang tersebut.
Sebagai contoh, caput longum dari biceps akan bekerja sebagai asesori abduktor
shoulder jika glenohumeral joint dalam posisi external rotasi, sedangkan fungsi ini
tidak mungkin terjadi jika humerus dalam posisi awal internal rotasi. (Basmajian &
Latif, 1957).
Dari ketiga faktor di atas, membuat kita sulit untuk menentukan fungsi yang simple dari
otot-otot disekitar shoulder. Sebagai contoh gerakan abduksi shoulder ; Inman et al.
(1944), Deluca & Forrest (1973) telah melihat adanya aktivitas electromyographic yang
penting pada otot deltoid, pectoralis mayor pars clavicularis, supraspinatus, infraspinatus,
subscapularis, upper & middle trapezius, serratus anterior, dan rhomboideus. Ketika
gerakan tersebut dilakukan melawan tahanan maka terlihat pula aktivitas dari otot teres
major pada electromyographic.
Kerja dari beberapa otot shoulder dapat menghasilkan efek aproksimasi pada origo dan
insersio otot tersebut. Sebagai contoh, kontraksi otot deltoid pars lateralis dapat
mengangkat humerus sepanjang axis humerus, tetapi tidak dapat menghasilkan gerakan
elevasi. Secara esensial, elevasi tidak akan terjadi karena garis aksi otot tersebut adalah
paralel terhadap axis humerus. Tetapi karena adanya fungsi kapsul sendi, lig.
Coracohumeral, dan otot-otot rotator cuff, maka terjadi aproksimasi pada origo dan
insersio otot deltoid sehingga menghasilkan gerakan elevasi.
Otot-otot rotator cuff adalah unik, karena selain menghasilkan gerakan pada sendi
glenohumeral juga menghasilkan tekanan pada caput humeri yang berasal dari massa
tendon otot tersebut, sehingga dapat menstabilkan glenohumeral joint. Dengan demikian,
adanya aksi tekanan dari otot supraspinatus dapat mencegah subluksasi caput humeri
kearah atas selama otot deltoid berkontraksi maksimal, dan adanya aksi yang kuat dari
otot subscapularis dapat mencegah subluksasi caput humeri kearah anterior. Pada gbr. 8.1
dapat dilihat aktivitas electromyography dari otot deltoid, pectoralis major pars
clavicularis, supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan subscapularis selama gerakan
fleksi + elevasi. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa otot-otot tersebut memberikan
kontribusi secara signifikan pada seluruh ROM fleksi shoulder.

76
Bab 8. Dinamika

B. DINAMIKA ELBOW
Gerakan pada elbow joint adalah fleksi, ekstensi, pronasi dan supinasi. Otot-otot yang
berperan pada gerakan tersebut adalah :

77
Bab 8. Dinamika

1. Fleksi
Fleksor elbow adalah :
 Brachialis
 Biceps Brachii, yang mempunyai 2 caput ; caput longum dan caput brevis.
 Brachioradialis
Otot-otot tersebut di atas mempunyai aksi yang berbeda-beda bergantung dari posisi
forearm (lengan bawah). Otot-otot lain yang berorigo dihumerus dan berinsersio di
forearm juga berperan sebagai asesori fleksor seperti extensor carpi radialis longus
dan pronator teres.
Berdasarkan analisis electromyography dan didukung oleh literatur yang ada maka
dapat disimpulkan bahwa :
 Brachialis merupakan fleksor elbow yang kuat tanpa dipengaruhi
oleh besarnya pronasi atau supinasi.
 Biceps Brachii merupakan fleksor elbow yang kuat dengan lengan
bawah dalam posisi supinasi dan juga mid-posisi ; dalam keadaan mid-posisi aksi
supinatornya ditahan oleh pronator teres dan pronator quadratus.
 Brachioradialis merupakan fleksor elbow yang kuat, terutama ketika
lengan bawah dalam keadaan mid-posisi.
Kekuatan otot-otot di atas, secara relatif diperoleh dari moment lengan panjang. Jika
dilakukan fleksi elbow secara isometrik pada 90o maka otot brachioradialis dapat
dipalpasi dengan baik pada bagian anterior lengan bawah.
Larson (1969) telah mengukur gaya fleksor elbow secara isometrik dengan fleksi
elbow 65o, dan ternyata bahwa gaya maksimal terjadi pada saat forearm dalam posisi
supinasi atau mid-posisi, sedangkan gaya minimal terjadi pada saat forearm dalam
posisi pronasi. Besarnya gaya otot tersebut berkisar 420 + 120 newtons, 430 + 120
newtons, dan 390 + 120 newtons.
2. Extensi

77
Bab 8. Dinamika

Extensor elbow adalah triceps brachii dan anconeus. Triceps brachii mempunyai 3
caput yaitu caput longum, caput lateral dan caput medial. Lever arm gaya triceps
secara signifikan dapat meningkatkan efektifitas triceps dalam posisi extensi elbow.
Pauly et al. (1967) telah melakukan study electromyography pada otot anconeus dan
menyimpulkan bahwa otot tersebut bekerja aktif pada awal extensi elbow,
mempertahankan extensi dan menstabilisasi elbow selama gerakan-gerakan yang
melibatkan extremitas superior. Sebagai contoh, kontraksi yang aktif pada otot
anconeus selama gerakan fleksi – extensi jari-jari tangan yang kuat. Otot-otot lain
disekitar elbow seperti biceps brachii, brachioradialis, dan triceps brachii, juga
berpartisipasi dalam stabilisasi elbow. Currier (1972) telah menggunakan kabel
tensiometer untuk mengukur gaya maksimal extensi secara isometrik pada 41 laki-laki
dengan derajat fleksi yang berbeda-beda. Maksimal tension terjadi pada 90o fleksi
dengan besar 220 newtons.
3. Pronasi
Otot-otot pronasi adalah pronator teres dan pronator quadratus. Sementara pronator
quadratus merupakan otot yang efektif dalam segala posisi baik fleksi maupun
extensi, tetapi gaya yang dihasilkan oleh otot pronator teres mempunyai lever arm
yang lebih pendek ketika elbow extensi penuh. Steindler (1970) telah menemukan
bahwa otot-otot lain seperti fleksor carpi radialis dapat berperan sebagai pronator
asesori.
4. Supinasi
Secara primer, ada 2 otot yang terlibat yaitu supinator dan biceps brachii. Aksi dari
otot ini tidak dipengaruhi oleh besarnya derajat fleksi dan extensi elbow. Ketika
biceps brachii bertindak sebagai supinator, maka aksi dari extensor elbow (triceps dan
anconeus) sangat diperlukan untuk menetralisir aksi fleksor dari otot tersebut.
ROM elbow yang normal sangat diperlukan untuk berbagai aktivitas yang melibatkan
elbow atau extremitas superior. Push-up atau berjalan dengan kruk memerlukan hampir
gerakan full extensi. Makan dan make-up wajah memerlukan lebih banyak fleksi elbow.
Membuka pintu dan menerima koin memerlukan lebih banyak gerakan supinasi. Menulis
dan menyeterika memerlukan pronasi lengan bawah.

78
Bab 8. Dinamika

C. DINAMIKA HIP
Selama level berjalan, terjadi gerakan pada hip joint dengan ROM yang bervariasi.
Murray (1967) menggunakan electrogoniometer untuk mengukur ROM hip pada bidang
gerak sagital selama level berjalan. Dari hasil pengukuran ditemukan bahwa fleksi
maksimal (35o – 40o) terjadi pada akhir swing phase saat anggota gerak bawah bergerak
ke depan untuk mencapai heel strike, sedangkan extensi maksimum terjadi pada saat heel-
off. (gbr. 8.2). Sedangkan pada bidang gerak frontal dan transversal telah diukur secara
electrogoniometer oleh Johnson & Smith. Pada bidang gerak frontal, abduksi terjadi
selama swing phase dan maksimum abduksi terjadi setelah toe-off ; sebaliknya pada heel
strike, hip joint dalam posisi adduksi sampai pada akhir stance phase. Pada bidang gerak
transversal, hip joint dalam posisi external rotasi selama swing phase, sedangkan internal
rotasi terjadi sebelum heel strike sampai akhir stance phase. Rata-rata ROM yang tercatat
pada 33 laki-laki normal adalah 12o pada bidang gerak frontal dan 13o pada bidang gerak
transversal.
Murray et al. (1969) telah mempelajari pola berjalan pada 67 laki-laki normal dengan
berat dan tinggi yang sama tetapi usia yang beragam antara 20 – 87 tahun dan
dibandingkan pola berjalannya. Nampak terdapat perbedaan dalam posisi body sagital
antara laki-laki usia tua dengan muda pada saat heel strike, seperti pada gambar 8.3. Pada
laki-laki tua, nampak pemanjangan tungkai yang lebih pendek, terjadi penurunan ROM
hip fleksi-extensi, serta terjadi penurunan plantar fleksi ankle dan elevasi jari-jari kaki
pada tungkai bagian depan.
Sementara Johnston & Smidt telah mengukur ROM hip joint pada 33 laki-laki normal
selama aktivitas kegiatan sehari-hari. Hasil pengukuran ROM hip joint pada 3 bidang
gerak selama aktivitas kegiatan sehari-hari dapat dilihat pada tabel. 8.1

79
Bab 8. Dinamika

80
Bab 8. Dinamika

Tabel 8.1
Nilai Pengukuran ROM Maksimum Hip pada 3 bidang gerak selama AKS
Nilai ROM
No. Aktivitas Bidang Gerak
yang tercatat

80
Bab 8. Dinamika

1. Mengikat sepatu dengan kaki di atas lantai Sagital 124o

Frontal 19o

Transversal 15o

2. Mengikat sepatu dengan kaki menyilang di Sagital 110o

atas paha Frontal 23o

Transversal 33o

3. Duduk di atas kursi kemudian naik dari kursi Sagital 104o

Frontal 20o

Transversal 17o

4. Berhenti berjalan untuk mengambil sesuatu Sagital 117o

dari lantai Frontal 21o

Transversal 18o

5. Squat / jongkok Sagital 122o

Frontal 28o

Transversal 26o

6. Menaiki tangga Sagital 67o

Frontal 16o

Transversal 18o
81
Bab 8. Dinamika

Nilai ROM yang diperoleh pada beberapa aktivitas menunjukkan bahwa fleksi hip sekitar
120o, abduksi sekitar 20o, dan external rotasi sekitar 20o.
Menurut Paul, beban yang terjadi pada hip selama level berjalan menunjukkan bahwa ada
2 gaya maksimal pada laki-laki terjadi selama stance phase ketika abduktors hip
berkontraksi untuk menstabilisasi pelvis, yakni gaya sekitar 4x BB terjadi setelah heel
strike, dan gaya yang lebih besar sekitar 7x BB terjadi sebelum toe-off. Sedangkan pada
wanita, besarnya gaya sedikit berbeda dimana gaya maksimum hanya sekitar 4x BB
terjadi pada akhir stance phase (gbr. 8.4a & b).
Selama foot flat, gaya reaksi sendi pada tungkai yang satu akan menurun sampai kurang
dari besarnya BB. Sedangkan selama swing phase, gaya reaksi sendi dihasilkan oleh
kontraksi extensors hip dan besarnya gaya tersebut relatif rendah, yakni sama dengan
besarnya BB. Sementara pada wanita, rendahnya gaya reaksi sendi mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu : pelvis wanita yang lebih lebar, perbedaan sudut inklinasi
neck-shaft femur, perbedaan alas kaki, dan perbedaan pola berjalan secara umum.
Penelitian Rydell (1965) yang menggunakan instrumen prosthese menunjukkan bahwa
gaya reaksi sendi akan meningkat pada caput femur selama stance phase, dan semakin
cepat berjalan maka gaya reaksi sendi semakin meningkat pula.
Bagi pasien post-op fraktur neck femur dengan menggunakan nail plate pada neck femur,
menunjukkan bahwa gaya yang bekerja pada hip joint dapat mencapai 4x BB ketika
pasien menggunakan kedua elbow dan tumitnya untuk mengangkat pantat dan hipnya di
atas depan (untuk BAB/BAK). Gaya ini dapat berkurang secara drastis jika pasien
menggunakan rekstok gantung (suspension) sebagai bantuan bagi tangan untuk
mengangkat pantat dan hipnya. Penggunaan gips spica hip (spica cast) dapat mengurangi
gaya yang bekerja pada hip sekitar 2/3 BB selama aktivitas di tempat tidur.
Menurut Pauwels (1936), Blount (1956) & Denham (1959) bahwa penggunaan external
support seperti tongkat / kruk pada sisi kontralateral dari hip yang terganggu atau telah
dioperasi, menunjukkan adanya penurunan gaya reaksi sendi pada hip joint karena
penggunaan support tersebut dapat menurunkan besarnya kontraksi abduktors hip.

82
Bab 8. Dinamika

D. DINAMIKA KNEE
Selama level berjalan, juga terjadi gerakan pada tibiofemoral joint dengan ROM yang
beragam. Murray et al. (1964) telah menggunakan electrogoniometer untuk mengukur
besarnya ROM tibiofemoral joint pada bidang gerak sagital selama level berjalan. Selama
siklus berjalan, ternyata knee (tibiofemoral joint) tidak pernah terjadi extensi full tetapi
hanya mendekatinya sekitar 5o fleksi, yang terjadi pada awal stance phase yaitu heel strike
dan pada akhir stance phase sebelum toe-off. Sedangkan maksimum fleksi sekitar 75o
terjadi selama middle swing phase.

83
Bab 8. Dinamika

Levens et al. (1948) juga mengukur ROM tibiofemoral joint pada bidang gerak
transversal selama siklus berjalan, dengan menggunakan teknik photographic dan
memasang sebuah pin skeletal dari femur ke tibia. Dia menemukan pada 12 orang coba
bahwa total rotasi tibia terhadap femur berkisar dari 4,1o sampai 13,3o dengan nilai rata-
rata 8,6o. Sedangkan menurut Kettelkamp et al. (1970) yang menggunakan
electrogoniometer pada 22 orang coba, menemukan bahwa besarnya rotasi selama siklus
berjalan sedikit lebih besar daripada penemuan Levens et al. Dia juga menemukan bahwa
external rotasi terjadi selama extensi knee pada saat stance phase dan mencapai
puncaknya pada akhir swing phase tepat sebelum heel strike, dan internal rotasi terjadi
selama fleksi knee pada saat swing phase.
Kettelkamp et al. (1970) juga mengukur ROM tibiofemoral joint pada bidang gerak
frontal selama siklus berjalan dengan orang coba sebanyak 22 orang. Dia menemukan
bahwa maksimal abduksi terjadi selama extensi knee pada saat heel strike dan awal stance
phase, sedangkan maksimal adduksi terjadi selama fleksi knee pada swing phase. Total
gerakan tersebut (abduksi & adduksi) sekitar 11o.
Selama aktivitas kegiatan sehari-hari, ROM tibiofemoral joint pada bidang gerak sagital
juga telah diukur oleh Kettelkamp et al. (1970) & Laubenthal et al. (1972). Besarnya
ROM tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.2
Tabel 8.2
Besarnya ROM Tibiofemoral Joint pada Bidang Gerak Sagital Selama AKS

No. Jenis Aktivitas Nilai ROM dari extensi knee

Sampai fleksi knee


1. Berjalan 0 – 67o

2. Naik Tangga 0 – 83o

3. Turun Tangga 0 – 90o

82
Bab 8. Dinamika

4. Duduk dibawah 0 – 93o

5. Mengikat sepatu 0 – 106o

6. Mengangkat suatu obyek 0 – 117o

Gangguan internal pada tibiofemoral joint dapat mengganggu terjadinya mekanisme


screw-home, yaitu mekanisme gerakan kombinasi extensi dengan external rotasi tibia.
Mekanisme screw-home selalu terjadi pada knee normal selama gerakan. Mekanisme ini
dapat memberikan stabilitas yang lebih kuat pada knee. Untuk melihat mekanisme screw-
home dapat digunakan Helfet test. Tes ini dilakukan dalam posisi duduk dengan kaki
terjuntai (high sitting). Kemudian tepi medial dan lateral patella diberi tanda, lalu
tuberositas tibia dan midline (garis tengah) patella diberi tanda garis, dan diperiksa
apakah sejajar atau tidak antara tuberositas tibia dengan patella. Kemudian knee
diextensikan secara penuh dan gerakan tuberositas tibia diobservasi. Pada knee yang
normal, tuberositas tibia akan bergerak kearah lateral selama extensi dan segaris dengan
½ lateral patella pada saat extensi full. Sedangkan pada knee yang abnormal, tidak terjadi
gerakan external rotasi tibia selama extensi karena adanya perubahan gerakan pada
permukaan sendi, sehingga secara abnormal tibiofemoral joint akan terkompressi jika
knee dipaksa untuk extensi dan menyebabkan permukaan sendi akan rusak.
Pada patellofemoral joint, gerakan kearah fleksi penuh akan menyebabkan patella slide
kearah caudal sekitar 7 cm di atas condylus femur dan patella masuk ke dalam sulcus
intercondylaris. Dari extensi penuh ke 90o fleksi, facet medial dan lateral femur masih
bersendi dengan patella, sedangkan di atas 90o fleksi, patella akan berotasi kearah
external sehingga hanya facet medial femur yang bersendi dengan patella. Sebaliknya
gerakan kearah extensi penuh akan menyebabkan patella slide kearah cranial (kembali ke
posisinya semula).

83
Bab 8. Dinamika

Untuk mengetahui besar maksimum dari gaya reaksi sendi, gaya otot dan gaya ligamen
pada tibiofemoral joint selama siklus berjalan maka digunakan analisis dinamik. Morrison
(1970) telah menghitung besarnya gaya reaksi sendi yang ditransmisikan melalui dataran
tibia pada laki-laki dan perempuan selama siklus berjalan. Secara simultan dia mencatat
adanya aktivitas otot melalui EMG untuk menentukan besar maksimum dari gaya tersebut
pada dataran tibia selama fase berjalan (gbr. 8.5).
Gaya reaksi sendi akan mencapai 2 – 3 kali BB pada saat heel strike, yang dihasilkan oleh
kontraksi otot hamstring. Selama fleksi knee pada awal stance phase (foot flat – awal
trunk glide), gaya reaksi sendi mencapai sekitar 2x BB yang dihasilkan oleh kontraksi
otot quadriceps femoris. Gaya reaksi sendi yang maksimal terjadi selama akhir stance
phase tepatnya sebelum toe-off (sekitar 2 – 4 kali BB), yang dihasilkan oleh kontraksi
otot gastrocnemius, dimana bervariasi pada setiap individu. Pada akhir swing phase,
kontraksi otot hamstring menghasilkan gaya reaksi sendi yang sama dengan BB. Pada
laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan yang signifikan tentang besarnya gaya
reaksi sendi.
Pada knee normal, gaya reaksi sendi disanggah oleh meniskus dan cartilago sendi.
Penelitian Sedhom et al. (1974) yang memeriksa distribusi stress pada knee dengan dan
tanpa meniskus pada in vitro, menunjukkan bahwa dalam kondisi penumpuan BB
besarnya stress pada tibiofemoral joint ketika meniskus telah robek akan mencapai 3x
lebih besar daripada meniskus masih utuh.
Pada knee normal, beban stress akan didistribusikan secara merata di atas area yang lebar
pada dataran tibia, tetapi jika meniskus robek maka beban stress tidak didistribusikan
secara merata melainkan hanya terbatas pada area kontak didalam pusat dataran tibia.
Dengan demikian, kerobekan meniskus tidak hanya meningkatkan besarnya stress pada
cartilago sendi di pusat dataran tibia, tetapi juga mengurangi ukuran dan mengubah lokasi
dari area kontak. Stress yang tinggi dalam waktu yang lama pada area kontak yang kecil
akan berbahaya bagi cartilago (terjadi kerobekan), dimana akan terbentuk fibril didalam
area tersebut.
Gaya yang ditopang oleh ligamen-ligamen lebih rendah daripada gaya yang bekerja pada
dataran tibia. Morrison (1970) telah menghitung gaya yang bekerja pada ligamen-ligamen

84
Bab 8. Dinamika

knee selama siklus berjalan. Dia menemukan bahwa lig. Cruciatum posterior menopang
gaya yang paling tinggi sekitar ½ BB, dimana terjadi pada saat heel strike dan pada akhir
stance phase.
Fungsi Patella
Patella mempunyai 2 fungsi biomekanik yang utama, yakni :
1. Membantu gerakan extensi knee dengan memanjangkan lever arm quadriceps femoris
pada seluruh ROM-nya.
2. Memberikan distribusi yang lebih baik terhadap beban stress kompresi dari femur
(bagian distal) dengan meningkatkan area kontak diantara tendon patella & femur.

85
Bab 8. Dinamika

Kontribusi patella terhadap panjang lever arm gaya quadriceps dapat berubah dari fleksi
penuh ke extensi penuh (Smidt, 1973 ; Lindahl & Movin, 1967). Pada saat fleksi penuh,
gerakan patella memberikan kontribusi sekitar 10 % dari total panjang lever arm
quadriceps. Sedangkan pada saat gerakan kearah extensi, panjang lever arm quadriceps
meningkat secara cepat sampai 45o fleksi. Pada titik tersebut, patella memanjangkan lever
arm quadriceps sekitar 30 %. Melewati 45o fleksi sampai mendekati extensi, panjang dari
lever arm quadriceps sedikit menurun. Menurut Lieb & Perry (1968) bahwa besarnya
gaya otot quadriceps yang diperlukan untuk mengextensikan knee meningkat sekitar 60%
pada akhir 15o fleksi, karena terjadi penurunan panjang lever arm quadriceps sehingga
dibutuhkan gaya otot yang besar untuk menghasilkan torque disekitar knee.
Pada kasus patellectomy (pengangkatan patella), tendon patella lebih dekat dengan pusat
axis dari tibiofemoral joint (gbr. 8.6). Pada situasi ini, lever arm quadriceps menjadi lebih
pendek, sehingga dibutuhkan gaya otot yang lebih besar daripada kondisi normal. Pada
gerakan aktif extensi akan membutuhkan gaya otot sebesar 30% lebih besar daripada gaya
otot normal (Kaufer, 1971). Gaya otot yang sangat besar ini menyebabkan otot quadriceps
femoris bekerja melampaui kapasitas otot tersebut, sehingga berbahaya bagi orang-orang
yang mengalami gangguan intraartikular.
Selama aktivitas, kontraksi otot quadriceps dan berat tubuh dapat menghasilkan gaya
pada patellofemoral joint. Gaya tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya derajat fleksi
knee yang berkaitan dengan kontraksi otot quadriceps. Derajat fleksi knee yang besar
dapat menghasilkan gaya otot quadriceps yang tinggi sehingga resultan gaya reaksi sendi
lebih tinggi pada patellofemoral joint. Selama level berjalan, nilai maksimum dari gaya
tersebut mencapai ½ BB, yang terjadi selama middle stance phase karena menghasilkan
derajat fleksi knee yang terbesar pada fase tersebut. Selama aktivitas naik-turun tangga
yang memerlukan derajat fleksi knee yang lebih besar, akan menghasilkan gaya reaksi
sendi pada patellofemoral joint yang lebih tinggi sekitar 3,3x BB. Semakin besar derajat
fleksi knee maka gaya reaksi sendi semakin tinggi dibandingkan dengan gaya otot
quadriceps (gbr. 8.7).
Bagi pasien yang mengalami gangguan pada patellofemoral joint akan merasakan nyeri
yang hebat ketika melakukan aktivitas yang memerlukan derajat fleksi knee yang besar.

85
Bab 8. Dinamika

Mekanisme yang efektif untuk menurunkan gaya reaksi sendi tersebut adalah menjaga
atau mempertahankan derajat fleksi knee tetap rendah.
Pada 90o fleksi, gaya reaksi sendi tersebut adalah nol (0). Gaya ini akan meningkat
dengan cepat pada saat terjadi gerakan kearah extensi dan mencapai nilai maksimum
sekitar 1,4x BB pada 36o fleksi knee. Melewati 36o fleksi (kearah extensi), gaya ini mulai
menurun dengan cepat mencapai ½ BB pada saat extensi penuh. Gaya otot quadriceps
juga bernilai nol (0) pada saat 90o fleksi dan meningkat dengan cepat pada saat terjadi
gerakan kearah extensi serta mencapai nilai maksimum pada saat extensi penuh (gbr. 8.8).
Jika diberikan manual resisten pada 90o fleksi (tahanan di tibia bagian distal), maka gaya
reaksi sendi akan mencapai 1,4x BB dan menurun secara menetap jika digerakkan kearah
extensi (gbr. 8.9).
Kenyataannya bahwa gaya reaksi sendi adalah rendah pada saat extensi penuh, sehingga
bagi pasien yang mengalami gangguan pada patellofemoral joint dapat melakukan latihan
melawan tahanan dengan sedikit nyeri pada 20o fleksi knee atau lebih rendah.

E. DINAMIKA ANKLE
ROM normal pada ankle joint selama berjalan telah dipelajari secara meluas oleh Murray
et al. (1964), Wright et al., 1964, Lamoreaux (1971), & Stauffer et al. (1977).
Sammarco et al. (1973) telah mempelajari ROM total pada bidang gerak sagital secara
rontgenography dan mencatat nilai rata-rata ROM selama berjalan pada 24 orang normal
dengan usia antara 20 – 60 tahun. Dia menemukan bahwa ROM totalnya bervariasi antara
24 – 75o dengan nilai rata-rata 43 + 12.7o, dan kecenderungan menurun pada usia tua.
Besarnya ROM dorsifleksi dan plantarfleksi hampir sama yaitu 21o dan 23o. Stauffer et al.
juga telah mempelajari ROM normal dengan 2 pola berjalan yang berbeda pada 5 orang
laki-laki. Dia menemukan bahwa besarnya ROM plantar fleksi pada saat heel strike akan
menurun dengan pola berjalan yang cepat (60 langkah/menit). Sedangkan ROM
dorsifleksi, secara esensial tidak berubah.
Bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan pada ankle joint, menurut Sammarco et al.
(1973) menunjukkan penurunan ROM pada bidang gerak sagital selama berjalan.
Penurunan ROM yang paling besar pada pasien-pasien tersebut adalah dorsifleksi.

86
Bab 8. Dinamika

Stauffer et al. (1977) juga telah mempelajari beban pada ankle joint selama berjalan
dengan menggunakan sebuah plate gaya, photography kecepatan tinggi, rontgenogram, &
kalkulasi free body. Mereka telah menentukan bahwa gaya kompressi dan shear yang
bekerja pada ankle joint selama stance phase, dan dihitung besarnya gaya tersebut pada
orang normal, serta pasien-pasien kondisi ankle sebelum dan setelah operasi pemasangan
prosthese ankle.
Pada orang normal, gaya kompressi pada ankle joint dihasilkan oleh kontraksi otot
gastrocnemius dan soleus yang ditransmisikan melalui tendon achilles. Gaya tersebut
hanya bekerja selama stance phase, dimana pada awal stance phase mencapai gaya
sebesar 20% BB. Sedangkan pada akhir stance phase, ketika gaya tendon achilles
mencapai level tertinggi, gaya kompressi sendi mencapai nilai tertinggi sekitar 5x BB
(gbr. 8.10a). Gaya shear juga mencapai nilai maksimum sekitar 0,8x BB tepatnya setelah
mid-stance phase selama heel off (gbr. 8.10b)
Beberapa pasien kondisi ankle menunjukkan bahwa gaya kompressi sendi menurun
sekitar 3x BB, begitu pula gaya shear.
Menurut Greenwal (1971), bahwa ankle joint mempunyai permukaan tumpuan beban
sekitar 11 – 13 cm2. Dengan permukaan tumpuan yang luas maka dapat menghasilkan
gaya stress yang lebih rendah daripada knee atau hip. Jika terjadi minor deviasi pada
konfigurasi anatomis sendi ankle, maka dapat menghasilkan perubahan yang besar dalam
pola penumpuan berat badan dan besarnya beban maksimum. Ramsey & Hamilton
memperhatikan adanya perubahan area kontak pada tibiotalar akibat bergesernya talus sisi
lateral (gbr. 8.11). Hal ini sering terjadi pada sprain yang berat dan fraktur ankle joint.
Jika kondisi ini tidak dikoreksi (diterapi) maka dapat menyebabkan perubahan
biomekanik yang besar pada ankle joint. Pada kasus ini, talus sisi lateral hanya bergeser
sekitar 1 – 2 mm, tetapi telah terjadi penurunan total area kontak pada talus dan area
kontak utama telah bergeser ke sisi medial talus, sehingga dapat menghasilkan perubahan
degeneratif awal pada ankle joint.

87
88

BIOMEKANIK TULANG

Tulang bertanggung jawab terhadap 2 fungsi mekanikal penting bagi manusia.


Pertama, tulang memberikan kerangka skeletal yang kaku untuk menyanggah dan
melindungi jaringan-jaringan tubuh lainnya. Kedua, tulang membentuk suatu sistem lever
yang kaku dan dapat digerakkan dengan gaya yang berasal dari otot yang melekat pada
tulang tersebut. Pada bab ini akan dibahas tentang aspek biomekanik dari komposisi dan
struktur tulang, pertumbuhan dan perkembangan tulang, dan respon tulang terhadap beban
stress.

A. Komposisi dan Struktur Jaringan Tulang


Kandungan unsur/bahan dan organisasi struktural dari tulang dapat mempengaruhi
cara tulang merespon adanya beban mekanikal. Komposisi dan struktur tulang
menghasilkan suatu bahan/unsur yang kuat untuk beban yang relatif ringan.
Kandungan Bahan/Unsur Tulang
Bangunan utama dari tulang adalah kalsium karbonate, kalsium fosfat, collagen dan
air. Persentase relatif dari unsur tulang ini bervariasi pada kelompok usia dan kesehatan
tulang. Secara umum, kalsium karbonate dan kalsium fosfat membentuk sekitar 60% -
70% dari berat kering tulang. Mineral-mineral tersebut memberikan kekakuan pada
tulang dan secara utama menentukan kekuatan kompressi tulang. Mineral-mineral
lainnya meliputi magnesium, sodium, dan fluoride, juga memiliki peran struktural vital
dan peran metabolik terhadap pertumbuhan dan perkembangan tulang. Collagen
merupakan protein yang dapat memberikan fleksibilitas pada tulang dan memberikan
kontribusi terhadap kekuatan regangan (tensile) tulang.
Kandungan air pada tulang membentuk sekitar 25% - 30% dari berat total tulang.
Air yang terdapat pada jaringan tulang merupakan kontributor penting terhadap kekuatan
tulang. Aliran air melalui tulang juga membawa nutrisi ke sel-sel tulang dan membawa
sisa-sisa/sampah metabolik dari sel-sel tulang kedalam matriks mineral. Disamping itu,
air mengangkut ion-ion mineral ke tulang dan dari tulang untuk penyimpanan dan
penggunaan berikutnya oleh jaringan tubuh ketika dibutuhkan.

88
89

Organisasi Struktural
Persentase relatif dari mineral tulang tidak hanya bervariasi pada setiap usia tetapi
juga pada tulang spesifik dari tubuh. Beberapa tulang lebih berpori-pori (mudah
menyerap) daripada tulang lainnya. Tulang yang lebih berpori-pori lebih kecil proporsi
kalsium karbonate dan kalsium fosfat, dan lebih besar proporsi dari jaringan nonmineral.
Jaringan tulang telah dikelompokkan kedalam 2 kategori berdasarkan porositasnya (pori-
pori) (lihat gambar 1). Jika porositasnya rendah, maka 5% - 30% volume tulang diisi
oleh jaringan nonmineral, sehingga jaringan tersebut disebut dengan tulang kortikal.
Jaringan tulang yang memiliki porositas yang relatif tinggi maka 30% sampai lebih besar
dari 90% volume tulang diisi oleh jaringan nonmineral, yang dikenal dengan tulang
spongy, cancellous, atau tulang trabecular. Tulang trabecular memiliki struktur sarang
laba-laba dengan susunan vertikal dan horizontal mineral, dinamakan trabeculae,
membentuk sel-sel yang terisi dengan sumsum tulang dan lemak. Tulang kortikal
mengandung jaringan konektif mineral yang padat dengan porositas yang rendah dan
ditemukan pada batang tulang panjang. Tulang trabecular mengandung jaringan konektif
mineral yang kurang padat dengan porositas yang tinggi, ditemukan pada ujung-ujung
tulang panjang dan vertebra.

Gambar 1. Struktur tulang kortikal dan trabecular

89
90

Porositas tulang merupakan hal yang menarik karena porositas tulang secara
langsung mempengaruhi karakteristik mekanikal dari jaringan. Dengan kandungan
mineral yang lebih tinggi maka tulang kortikal akan lebih kaku, sehingga tulang tersebut
dapat menahan stress yang lebih besar tetapi kurang kuat menahan strain atau deformasi
relatif daripada tulang trabecular. Karena tulang trabecular lebih bersifat spons daripada
tulang kortikal, maka dapat lebih banyak mengalami strain sebelum fraktur. Strain adalah
besarnya deformasi yang dibagi oleh panjang awal struktur atau oleh orientasi angular
awal struktur.
Batang tulang panjang tersusun oleh tulang kortikal yang kuat (lihat gambar 2).
Tulang trabecular yang relatif tinggi terdapat pada vertebra, yang memberikan kontribusi
terhadap kemampuan shock absorber. Tulang trabecular dapat berkembang menjadi 4
tipe struktur, bergantung pada apakah tulang tersebut harus menahan gaya yang relatif
tinggi atau relatif rendah dan apakah beban utamanya adalah beban axial (tension atau
kompressi) atau asimetris (bending/pembengkokan). Maka dari itu, kekuatan dan
elastisitas tulang trabecular sangat bervariasi sesuai dengan lokasinya pada tubuh serta
sesuai dengan usia dan kesehatan seseorang.

Gambar 2. Contoh tulang kortikal dan tulang trabecular

Baik tulang kortikal dan tulang trabecular adalah anisotropic; anisotropic adalah
tulang yang memperlihatkan kekuatan dan kekakuan yang berbeda sebagai respon

90
91

terhadap gaya yang diaplikasikan dari arah yang berbeda-beda. Tulang paling kuat
menahan stress kompressi dan paling lemah menahan stress shear.
Tipe Tulang
Struktur dan bentuk dari 206 tulang pada tubuh manusia dapat memungkinkan
manusia melakukan fungsi spesifik secara penuh. Secara nominal, sistem skeletal terbagi
kedalam sentral atau axial skeleton dan perifer atau appendicular skeleton (lihat gambar
3). Axial skeleton meliputi tulang-tulang yang membentuk axis tubuh yaitu tengkorak,
vertebra, sternum dan costa. Tulang-tulang lainnya membentuk tambahan/pelengkap
tubuh atau appendicular skeleton. Tulang-tulang juga dikategorikan secara umum
menurut bentuk dan fungsinya.

Gambar 3. Pembagian sistem skeletal

91
92

Tulang pendek seperti kubus meliputi tulang-tulang carpal dan tarsal (lihat gambar
4). Tulang-tulang ini memberikan keterbatasan gerak slide dan berperan sebagai shock
absorber.
Tulang datar juga digambarkan dari namanya (lihat gambar 4). Tulang-tulang ini
melindungi organ-organ dan jaringan lunak yang terletak didalamnya serta memberikan
area yang luas untuk perlekatan otot dan ligamen. Tulang datar meliputi scapula,
sternum, costa, patella, dan
beberapa tulang tengkorak.
Tulang irregular (tidak
beraturan) memiliki bentuk-
bentuk yang berbeda untuk
memenuhi fungsi khusus pada
tubuh manusia (lihat gambar 4).
Sebagai contoh, vertebra
memiliki sebuah tulang,
terowongan proteksi untuk
spinal cord, memiliki beberapa
processus untuk perlekatan otot
dan tulang, dan menyanggah
berat dari bagian atas tubuh
sementara memungkinkan
gerakan trunk pada seluruh 3
bidang utama. Sacrum,
coccygeus, dan maxilla adalah
contoh lain dari tulang irregular.

Gambar 4. Contoh tulang pendek, tulang datar, tulang


tidak beraturan, & tulang panjang

92
93

Tulang panjang membentuk kerangka dari appendicular skeleton (lihat gambar 4).
Appendicular skeleton terdiri dari tulang panjang, batang silindris yang kasar (juga
dinamakan dengan tubuh atau diaphysis) dari tulang cortical, dengan ujungnya seperti
bola dikenal sebagai condylus, tuberculum, atau tuberositas. Suatu cartilago sendi yang
self-lubrikasi dapat melindungi ujung tulang panjang dari pengausan pada titik kontak
dengan tulang lainnya. Tulang panjang juga memiliki area rongga sentral yang dikenal
sebagai cavitas atau canal medullaris.
Tulang panjang disesuaikan dengan ukuran dan beratnya untuk fungsi biomekanis
khusus. Tibia dan femur adalah tulang yang besar dan berat/padat untuk menyanggah
berat tubuh. Tulang panjang pada extremitas superior meliputi humerus, radius, dan ulna
adalah tulang yang lebih kecil dan lebih ringan untuk memperlancar pergerakan yang
mudah. Tulang panjang lainnya meliputi clavicula, fibula, metatarsal, metacarpal, dan
phalang.

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang


Tulang mulai tumbuh pada awal perkembangan janin, dan secara kontinyu terjadi
perubahan komposisi dan struktur selama masa kehidupan. Beberapa perubahan tersebut
adalah pertumbuhan normal dan kematangan tulang.
Pertumbuhan Longitudinal
Pertumbuhan longitudinal dari tulang terjadi pada epiphysis atau dataran
epiphyseal (lihat gambar 5). Epiphysis adalah diskus cartilaginous yang ditemukan dekat
ujung tulang panjang. Secara kontinyu sisi diaphysis (sentral) pada setiap epiphysis akan
menghasilkan sel-sel tulang baru. Selama atau segera memasuki usia remaja dataran
epiphyseal menghilang dan terjadi penyatuan tulang, merupakan akhir dari pertumbuhan
longitudinal. Sebagian besar epiphysis merapat pada usia sekitar 18 tahun, meskipun
beberapa epiphysis mungkin masih ada sampai pada usia sekitar 25 tahun. Penyatuan
dataran epiphyseal berdasarkan pada regio tulang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

93
94

Tabel 2. Perkiraan usia terjadinya penutupan/penyatuan epiphyseal

Regio (tulang) Usia (tahun)


1. Columna Vertebralis 25
2. Thoraks :
a. Sternum 25
b. Costa 25
3. Extremitas Superior
a. Clavicula 25
b. Scapula 15 – 17
c. Humerus :
 Caput menyatu dengan shaft 20
 Epicondylus lateral 16 – 17
 Epicondylus medial 18
d. Ulna
 Olecranon 16
 Ujung bawah 20
e. Radius
18 – 19
 Caput dan shaft
20
 Ujung bawah ke shaft
4. Extremitas Inferior
a. Tulang pelvic 7–8
 Rami inferior pubis dan ischium 20 – 25
 Acetabulum
b. Femur 18
 Trochanter major dan minor 18
 Caput femur 20
 Ujung bawah femur
c. Tibia 20
 Ujung atas tibia 18
 Ujung bawah tibia
d. Fibula 25
 Ujung atas 20
 Ujung bawah

Pertumbuhan Circumferential
Tulang panjang akan tumbuh diameternya sepanjang masa kehidupan, meskipun
sebagian besar terjadi pertumbuhan tulang yang cepat sebelum usia dewasa. Lapisan
bagian dalam dari periosteum membentuk lapisan jaringan tulang baru yang konsentrik

94
95

(kearah pusat) pada puncak salah satu tulang. Pada saat yang sama, tulang akan
diabsorbsi kembali atau dihilangkan sekitar circumferensia cavitas medullaris, sehingga
secara kontinyu diameter cavitas membesar. Hal ini dapat terjadi dengan berbagai cara
antara lain dengan stress bending (pembengkokan) dan stress torsional pada tulang yang
relatif masih konstan.

Gambar 5. Dataran epiphyseal adalah lokasi pertumbuhan longitudinal pada tulang


yang belum matang

Perubahan pada ukuran dan bentuk tulang tersebut adalah kerja dari sel-sel khusus
yang disebut dengan osteoblast dan osteoclast, dimana masing-masing membentuk dan
mengabsorbsi jaringan tulang. Pada tulang dewasa yang sehat aktivitas osteoblast dan
osteoclast sangat seimbang.
Perkembangan tulang dewasa
Disana, terjadi hilangnya collagen secara progresif dan meningkatnya kerapuhan
tulang sejalan dengan usia. Maka dari itu, tulang anak-anak lebih lunak/lembut daripada
tulang orang dewasa.
Secara normal, mineral tulang terakumulasi (tertimbun) pada masa kanak-kanak
dan masa remaja, mencapai puncaknya pada usia sekitar 25 – 28 tahun wanita dan usia
sekitar 30 – 35 tahun laki-laki. Mengenai masa puncak ini, beberapa peneliti tidak
sependapat tentang lamanya waktu kepadatan tulang masih konstan. Bagaimanapun juga,
kaitannya dengan usia, kemunduran yang progresif dari kepadatan tulang dan kekuatan

95
96

tulang pada laki-laki dan wanita akan mulai secepatnya pada awal usia 20-an. Hal ini
melibatkan suatu penurunan yang progresif pada sifat mekanikal dan kekuatan general
tulang, dengan meningkatnya penurunan substansi tulang dan meningkatnya porositas.
Tulang trabecular khususnya sering terkena, dengan terjadinya penanggalan dan
disintegrasi pada tulang trabeculae akan menganggu integritas struktur tulang dan
penurunan kekuatan tulang yang serius.

Gambar 6. Struktur tulang panjang

Perubahan-perubahan ini jauh lebih menonjol pada wanita daripada laki-laki. Pada
wanita terjadi penurunan utama pada volume dan kepadatan tulang kortikal dan
penurunan kepadatan tulang trabecular sejalan dengan usia. Sekitar 0,5% - 1,0% massa
tulang hilang setiap tahun, pada wanita sampai mencapai usia sekitar 50 tahun atau
menopause. Pada saat menopause, terjadi peningkatan derajat/tingkat kehilangan tulang
dengan nilai setinggi 6,5% per tahun yang dilaporkan selama awal 5 – 8 tahun. Meskipun
perubahan yang sama terjadi pada laki-laki, tetapi laki-laki tidak signifikan

96
97

perubahannya sebelum usianya lebih tua. Wanita pada semua usia cenderung memiliki
tulang yang lebih kecil dan area tulang kortikal yang lebih kecil daripada laki-laki.
C. Sifat Tulang terhadap Bentuk Pembebanan Yang Beragam.
Stress adalah beban perunit area yang berkembang pada permukaan tulang
sebagai respon terhadap beban ekternal yang terjadi, yang dinyatakan dalam gaya per
unit area yaitu N/cm2 atau N/m2 dan lainnya.
Strain adalah deformasi yang terjadi pada suatu titik dalam struktur tersebut
akibat pengaruh pembebanan. Ada 2 jenis dasar dari strain yakni :
3) Normal strain adalah besarnya deformasi yang dapat merubah panjang struktur
tersebut (memanjang).
4) Shear strain adalah besarnya deformasi angular yang terjadi pada struktur tersebut
sehingga terjadi perubahan sudut pada struktur tersebut.
Gaya dan momen dapat diaplikasikan pada sebuah struktur tulang dalam berbagai
arah, sehingga menghasilkan beban tention, kompresi, bending (pembengkokan), shear,
torsion dan kombinasi beban (lihat gambar 7)

Gambar 7. Variasi bentuk pembebanan pada tulang

97
98

7. Tension
Pada beban tensile, beban yang sama besar dan berlawanan arah diaplikasikan
ke arah luar (menjauh) dari permukaan struktur tulang, dan menghasilkan stress
tensile dan strain dibagian dalam struktur tersebut. Stress tensile dapat didefinisikan
sebagai beberapa gaya kecil yang arahnya menjauh dari permukaan struktur tulang.
Maksimal stress tensile terjadi pada bidang tegak lurus terhadap beban tension (lihat
gambar 8). Dibawah pengaruh beban tensile maka struktur tulang akan memanjang
dan menipis. Mekanisme kerusakan dari jaringan tulang akibat beban tension adalah
terutama terpecahnya garis-garis semen didalam tulang dan tertarik keluar dari sel –
sel tulang.

Gambar 8. Beban Tension/Tensile

Secara klinis, fraktur yang dihasilkan oleh beban tensile biasanya nampak pada
tulang cancellous. Sebagai contoh, fraktur pada basis metatarsal V yang berdekatan
dengan perlekatan tendon peroneus brevis dan fraktur pada calcaneus yang
berdekatan dengan perlekatan tendon Achilles. Suatu fraktur pada calcaneus akibat

98
99

kontraksi yang kuat dari otot trisep surae dapat menghasilkan beban tensile yang
tinggi pada tulang tersebut.

8. Kompresi
Pada beban kompresi, beban yang sama besarnya dan berlawanan arah
teraplikasi kearah permukaan struktur tulang dan stress kompresi serta strain terjadi
didalam struktur tulang. Stress kompresi dapat dianggap sebagai beberapa gaya yang
kecil, yang diarahkan kedalam permukaan struktur tulang. Maksimal stress kompresi
terjadi pada bidang tegak lurus dengan beban yang teraplikasi (lihat gambar 9).
Dibawah beban kompresi maka struktur tulang akan memendek dan melebar.
Mekanisme kerusakan yang terjadi pada jaringan tulang utamanya adalah keretakan
sel – sel tulang secara oblique.

Gambar 9. Beban kompresi

Fraktur yang dihasilkan oleh beban kompresi biasanya dijumpai pada vertebra,
dimana menunjukkan suatu pemendekan dan pelebaran yang terjadi pada vertebra
manusia akibat beban compresi yang tinggi (lihat gambar 10).
Beban compresi yang dapat merusak suatu sendi dihasilkan oleh kontraksi kuat
yang abnormal dari otot – otot disekitarnya. Sebagai contoh, fraktur bilateral
subcapital pada neck femur yang terjadi selama electrical shock terapi, dimana

99
100

kontraksi otot-otot disekitar hip joint menghasilkan beban compresi pada caput femur
melawan acetabulum.

G Gambar 10. Fraktur kompresi pada vertebra

9. Shear
Pada beban shear, beban teraplikasi secara paralel terhadap permukaan struktur
tulang, dan stress shear serta strain terjadi didalam struktur tersebut. Stress shear
dapat dianggap sebagai beberapa gaya kecil yang bekerja pada permukaan struktur
tulang dalam bidang paralel terhadap beban yang teraplikasi (lihat gambar 11).
Ketika terjadi shear, akan menyebabkan deformasi structural secara internal dalam
pola angular, sudut siku-siku (900) menjadi tumpul atau akut.

100
101

Gambar 11. Beban Shear

Fraktur shear biasanya terlihat didalam tulang cancellous. Contohnya pada


fraktur condylus femur dan dataran tibia.
Stress yang terjadi pada tulang kortikal orang dewasa berbeda pada setiap
pembebanan (beban compresi, tensile dan shear). Tulang kortikal dewasa dapat
menahan stress yang lebih besar pada beban compresi dari pada beban tension, dan
dapat menahan stress yang lebih besar pada beban tension dari pada shear (Reilly and
Burstein, 1975). Sedangkan pada tulang muda, pertama kali terjadi kerusakan akibat
beban compressi dan fraktur yang melengkung (buckle fraktur) mungkin terjadi pada
sisi compressi.
10. Bending (Pembengkokan)
Bending terjadi ketika suatu beban diaplikasikan pada suatu struktur dalam
pola yang menyebabkan struktur tersebut membengkok disekitar axis. Struktur yang
mengalami pembengkokan disebabkan oleh kombinasi beban tension dan compressi.
Ketika tulang mengalami beban bending, stress tensile dan strain bekerja pada satu
sisi dari axis netral, serta stress compressi dan strain bekerja pada sisi lain, tetapi
disana tidak terjadi stress dan strain pada axis netral.
Karena tulang tidak simetris maka stress tensile dan compressi tidak mungkin
sama. Ada dua type bending yaitu bending yang dihasilkan oleh tiga gaya (three –
point bending) dan bending yang dihasilkan oleh empat gaya (four – point bending).
Fraktur – fraktur yang dihasilkan oleh kedua type bending tersebut umumnya dapat
diobservasi. Three point bending terjadi ketika 3 gaya yang bekerja pada struktur
tersebut menghasilkan 2 momen gaya yang sama (lihat gambar 12a). Struktur
tersebut akan retak pada titik aplikasi gaya bagian middle. Jenis fraktur three – point
bending terjadi pada “boot top” fraktur selama bermain ski. Pada “boot-top” fraktur,
salah satu momen bending teraplikasi pada bagian atas tibia pada saat pemain ski
jatuh ke depan di atas ujung sepatu ski. Suatu momen yang sama dihasilkan oleh kaki
dan ski yang terfiksir. Pada saat bagian atas tibia bengkok ke depan, stress tensile dan

101
102

strain bekerja pada sisi posterior tulang, sedangkan stress compressi serta strain
bekerja pada sisi anterior.

Gambar 12. Dua tipe beban bending : A. Three-point bending, B. Four-point bending

Four point bending terjadi ketika 2 gaya kopel bekerja pada suatu struktur yang
menghasilkan 2 momen gaya yang sama. Sebuah gaya kopel terbentuk ketika 2 gaya
paralel yang terjadi sama besarnya tetapi dalam arah yang berlawanan terhadap
struktur tersebut (lihat gambar 12b). Karena besarnya momen bending sama pada
seluruh area diantara 2 gaya kopel tersebut maka struktur akan retak pada titik yang
paling lemah.
Stiff pada knee joint yang dimanipulasi dengan cara yang salah selama
program rehabilitasi dapat menyebabkan fraktur femur yang dihasilkan oleh four
point bending. Pada saat knee dimanipulasi, kapsul bagian pasterior dan tibia
membentuk satu gaya kopel, dan gaya caput femur serta capsule hip joint membentuk
kopel gaya lain. Pada saat momen bending teraplikasi pada femur, maka femur
mengalami kerusakan pada titik yang paling lemah – awalnya letak fraktur. Fraktur
yang dihasilkan oleh four point bending umumnya disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas (lihat gambar 13).

102
103

Gambar 13. Fraktur yang dihasilkan oleh


Beban fout point bending

11. Torsion
Torsion terjadi ketika beban teraplikasi pada suatu struktur dalam pola yang
menyebabkan struktur tersebut terputar disekitar axis. Ketika struktur tersebut
mengalami beban torsion, maka stress shear didistribusi keseluruh struktur tersebut
(lihat gambar 13).

103
104

Gambar 13. Beban Torsion


Dibawah pengaruh beban torsion, maka stress shear yang maksimal bekerja
pada bidang paralel dan tegak lurus dengan axis netral struktur tersebut. Selain itu,
stress tensile dan compressi yang maksimal bekerja pada bidang diagonal terhadap
axis netral struktur tersebut. Pola fraktur pada tulang yang mengalami beban torsion
adalah tulang pertama kali rusak pada beban shear, dengan formasi keretakan paralel
terhadap axis netral tulang (lihat gambar 14). Biasanya keretakan tulang terbentuk
disepanjang bidang stress tensile yang maksimal.

Gambar 14. Fraktur Torsion Pada Vertebra


yang disertai dengan beban
kompresi

12. Kombinasi Beban


Meskipun setiap bentuk beban telah dijelaskan secara terpisah, tetapi dalam
kehidupan sehari – hari tulang jarang terbebani hanya dalam satu bentuk.
Pembebanan tulang pada manusia adalah kompleks karena dua alasan utama :
struktur geometrik tulang yang tidak beraturan, dan secara konstant tulang
mengalami beragam beban yang tidak menentu. Baru – baru ini dilakukan
pengukuran strain pada permukaan antero-medial tibia orang dewasa selama aktifitas
berjalan dan jogging (Lanyor el all, 1975). Carter (1978) telah menghitung nilai
stress dari pengukuran strain tersebut. Selama aktifitas berjalan normal, stress

104
105

compressi terjadi selama heel strike, stress tensile terjadi selama stance phase, dan
stress compressi juga terjadi selama push off.
Secara relatif, stress shear yang tinggi terjadi pada bagian terakhir siklus
berjalan, merupakan beban torsion yang signifikan. Beban torsion ini ditunjukkan
dengan terjadinya external rotasi tibia selama stance phase dan push off.
Selama jogging pola stressnya berbeda. Stress compressi terutama terjadi pada
toe strike. Hal ini akan diikuti dengan stress tensile yang tinggi selama push off.
Stress shear yang terjadi adalah kecil pada seluruh langkah jogging, merupakan
beban torsion yang minimal. Beban torsion ini ditunjukkan dengan terjadinya
external dan internal rotasi tibia dalam pergantian pola langkah jogging.
Pemerikasaan klinis terhadap beberapa pola fraktur menunjukkan bahwa hanya
sedikit fraktur yang dihasilkan oleh satu bentuk pembebanan atau dua bentuk
pembebanan yang sama; dan paling banyak fraktur dihasilkan oleh kombinasi
beberapa bentuk pembebanan.

D. Pengaruh Aktivitas Otot Terhadap Distribusi Stress Dalam Tulang


Ketika tulang terbebani, kontraksi otot yang melekat pada tulang tersebut akan
mengubah distribusi stress dalam tulang. Kontraksi otot ini dapat menurunkan atau
mengeliminir stress tensile pada tulang dengan menghasilkan stress compressi baik
secara sebagian (parsial) maupun secara total menetralisir stress tersebut. Efek kontraksi
otot tersebut dapat dijelaskan pada tibia yang mengalami three – point bending. Gbr 4.8a
menunjukkan tungkai pemain ski yang jatuh ke depan, terutama tibianya terjadi moment
pembengkokkan.
Stress tensile yang tinggi terjadi pada aspek posterior tibia, dan stress compressi
yang tinggi bekerja pada aspek anterior. Kontraksi otot triceps surae menghasilkan stress
compressi yang tinggi pada aspek posterior tibia (gbr 4.8b), sehingga menetralisir stress
tensile yang tinggi dan dapat melindungi tibia dari kerusakan akibat tension. Kontraksi
otot ini mungkin menghasilkan stress compressi yang lebih tinggi pada permukaan
anterior tibia.

105
106

Kontraksi otot menghasilkan efek yang sama pada hip joint. Selama gerakan,
moment bending teraplikasi pada neck femur, dan stress tensile terjadi pada cortex
superior. Kontraksi otot gluteus medius menghasilkan stress compressi sehingga dapat
menetralisir stress tensile tersebut, dan akhirnya baik stress compressi maupun stress
tensile tidak bekerja pada cortex superior. Dengan demikian, kontraksi otot dapat
menyebabkan neck femur mampu menahan/menopang beban yang lebih tinggi.
Kelelahan Tulang Dibawah Pembebanan Berulang
Fraktur dapat dihasilkan oleh beban tunggal atau aplikasi suatu beban yang
terjadi secara berulang kali. Suatu fraktur akan terjadi pada aplikasi beban tunggal jika
beban tersebut melebihi kekuatan maksimal tulang. Aplikasi beban yang rendah dan
terjadi secara berulang kali mungkin menghasilkan suatu fraktur; fraktur tersebut
dinamakan dengan fatique fraktur. Fatique fraktur khususnya dihasilkan oleh beban yang
tinggi dengan repetisi yang rendah atau beban yang relatif normal dengan repetisi yang
tinggi.
Tes yang dilakukan pada tulang organ mati menunjukkan bahwa mikrofraktur
fatique mungkin terjadi pada tulang yang mengalami beban dengan repetisi yang rendah
(Carter and Hayes, 1977). Pada test tersebut juga mengungkapkan bahwa tulang
mengalami kelelahan dengan cepat ketika beban atau deformasi mendekati batas strength
tulang (Carter and Hayes, 1977); yaitu diperlukan sejumlah repetisi untuk menghasilkan
suatu fraktur.
Beban repetisi pada tulang organ hidup, tidak hanya besarnya beban dan jumlah
repetisi yang mempengaruhi proses fatique, tetapi juga frekwensi pembebanan.
Semenjak tulang organ hidup dapat memperbaiki strukturnya sendiri, maka suatu fatique
fraktur hanya terjadi ketika proses remodeling didahului oleh proses fatique, yaitu ketika
frekwensi pembebanan menghambat kebutuhan remodeling untuk mencegah kerusakan.
Fatique fraktur biasanya terjadi secara terus menerus selama aktifitas fisik yang berat.
Ketika otot mengalami kelelahan, kemampuannya untuk berkontraksi akan berkurang;
akibatnya otot-otot kurang mampu untuk menyimpan energi dan untuk menetralisir
beberapa stress yang terjadi pada tulang. Hal ini menghasilkan perubahan distribusi
stress dalam tulang yang secara abnormal menyebabkan beban tinggi pada tulang, dan

106
107

suatu fatique fraktur mungkin terjadi. Kerusakan mungkin terjadi pada sisi tulang yang
mengalami beban tensile atau sisi tulang yang mengalami beban compressi dan atau pada
kedua sisi tulang tersebut. Kerusakan pada sisi tensile akan menghasilkan keretakan
tulang secara tranversal, dan tulang tersebut dengan cepat bertambah retak menjadi
fraktur yang sempurna. Fatique fraktur pada sisi compressi terjadi lebih lambat; proses
remodeling lebih cepat dari proses fatique sehingga tulang tidak mungkin mengalami
fraktur yang sempurna. Teori kelelahan otot tersebut sebagai penyebab dari fatique
fraktur pada extremitas bawah dapat diuraikan pada skema berikut ini :

Exc yang berat

Kelelahan otot

Hilangnya kapasitas Perubahan pola berjalan


penyimpanan energi

Pembebanan yang abnormal

Perubahan distribusi stress

Compressi yang tinggi Kombinasi Tension yang tinggi

Keretakan sel oblique Pemisahan sel – sel tulang.


Terjadi keretakan sel transversal

Fraktur oblique Fraktur transversal

REFERENSI :

Susan J. Hall, 2003, Basic Biomechanics, Fourth Edition, McGraw-Hill Company, New
York.

107
108

Frankel Victor H., Margertha Nordin, Basic Biomechanics of The Skeletal System, Lea
and Febiger, Philadelphia: 1982

BIOMEKANIK SENDI

Sendi-sendi pada tubuh manusia sangat menuntun kemampuan arah gerakan dari
segmen tubuh. Struktur anatomi dari sendi seperti knee joint sedikit bervariasi pada setiap
orang, sebagaimana dengan arah gerakan dari segmen tubuh yang membentuk sendi seperti
paha dan tungkai bawah yang membolehkan untuk bergerak pada sendi tersebut.
Bagaimanapun juga, perbedaan ketegangan atau kelemahan dari jaringan lunak disekitarnya
menghasilkan perbedaan ROM sendi. Pada bab ini akan dibahas tentang aspek biomekanik
dari fungsi sendi, meliputi konsep stabilitas sendi dan fleksibilitas sendi, serta kaitannya
dengan implikasi adanya potensial injury.

A. Arsitektur Sendi
Pada ahli anatomi telah mengelompokkan sendi dalam beberapa hal yaitu
berdasarkan pada kompleksitas sendi, sejumlah axis yang terjadi, geometris sendi, atau
kapabiltas/ kemampuan gerakan. Dalam bab ini kami memfokuskan pada gerakan
manusia sehingga sistem klasifikasi sendi berdasarkan pada kapabilitas/kemampuan
gerakan yang terjadi.
Sendi-sendi Tak Bergerak (Immovable Joints)
1. Synarthroses (tak bergerak) : sendi-sendi fibrous ini dapat meminimalkan gaya yang
terjadi (shock absorber) tetapi memberikan sedikit atau tidak ada gerakan pada tulang
yang membentuk sendi.
a. Sutura : pada sendi ini, alur-alur yang tidak beraturan dari lapisan tulang
saling merapat membentuk sendi dan dihubungkan dengan kuat oleh serabut-
serabut yang bersambung dengan periosteum (lihat gambar 1). Serabut-serabut
tersebut mulai mengeras pada awal usia remaja dan pada akhirnya diganti dengan
sempurna oleh tulang. Sebagai contoh pada tubuh manusia adalah sutura
tengkorak.

108
109

b. Syndesmoses : pada sendi ini, jaringan fibrous yang padat mengikat tulang
secara bersamaan, memberikan gerakan yang sangat terbatas. Sebagai contoh
adalah coracoacromial, mid-radioulnar, mid-tibiofibular dan inferior tibiofibular
joints.

Gambar 1. Struktur sutura kepala

Sendi-sendi yang Sedikit Bergerak


2. Amphiarthroses : sendi-sendi kartilaginous ini dapat meminimalkan gaya yang terjadi
dan memberikan lebih banyak gerakan daripada synarthrodial joint.
a. Synchondroses : pada sendi ini, tulang yang membentuk sendi dipertahankan
secara bersamaan oleh lapisan cartilago hyalin yang tipis. Sebagai contoh adalah
sternocostal joint dan epiphyseal plates (sebelum ossification/mengeras)
b. Symphyses : pada sendi ini, dataran cartilago hyalin yang tipis dipisahkan
oleh sebuah diskus fibrocartilago dari tulang. Sebagai contoh adalah sendi-sendi
vertebra dan symphisis pubis (lihat gambar 2).

109
110

Gambar 2. Contoh intervertebral joint dan symphisis pubis


Sendi-sendi yang Bebas Bergerak
3. Diarthroses atau synovial : pada sendi ini, permukaan tulang yang membentuk sendi
tertutup dengan cartilago sendi, kapsul sendi yang membungkus sendi, dan membran
sinovial yang membatasi kapsul sendi bagian dalam dimana terdapat cairan yang
mengeluarkan suatu pelumas/lubrikasi dikenal sebagai cairan sinovial (lihat gambar
3).

Gambar 3. Struktur Sendi Sinovial

Ada beberapa tipe sendi-sendi sinovial :


a. Gliding (plane; arthrodial) : pada sendi ini, permukaan tulang yang
membentuk sendi hampir datar, dan gerakan yang terjadi hanya gerakan nonaxial
gliding. Sebagai contoh adalah intermetatarsal, intercarpal dan intertarsal joint,
serta facet joint vertebra (lihat gambar 4).
b. Hinge (ginglymus) : salah satu permukaan tulang yang membentuk sendi
adalah konveks dan permukaan tulang lainnya adalah konkaf. Ligamen collateral

110
111

yang kuat membatasi gerakan pada suatu bidang, seperti gerakan engsel. Sebagai
contoh adalah humeroulnar dan interphalangeal joints (lihat gambar 4).
c. Pivot (sekrup; trochoid) : pada sendi ini, rotasi terjadi disekitar salah satu
axis. Sebagai contoh adalah atlantoaxial joint, proksimal dan distal radioulnar
joint (lihat gambar 4).
d. Condyloid (ovoid/seperti telur; ellipsoidal) : salah satu permukaan tulang
yang membentuk sendi adalah berbentuk konveks ovular, dan permukaan tulang
lainnya adalah berbentuk konkaf dimana saling sebangun/bertautan. Gerakan
fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi dan sirkumduksi dapat terjadi pada sendi ini.
Sebagai contoh adalah metacarpophalangeal joint II – V dan radiocarpal joint
(lihat gambar 4).

111
112

Gambar 4. Contoh-contoh Sendi Sinovial pada Tubuh Manusia

e. Saddle (sellar) : kedua permukaan tulang yang membentuk sendi adalah


berbentuk seperti tempat duduk pada pelana kuda. Kemampuan gerakan adalah
sama dengan condyloid joint, tetapi ROM gerakannya lebih besar. Sebagai
contoh adalah carpometacarpal joint pada ibu jari (lihat gambar 4).
f. Ball and socket (spheroidal) : pada sendi ini, permukaan tulang yang
membentuk sendi adalah saling sebangun antara konveks dan konkaf. Rotasi pada
seluruh bidang gerak (3 bidang gerak) dapat terjadi pada sendi ini. Sebagai
contoh adalah hip dan shoulder joint (lihat gambar 4).
Sendi sinovial sangat beragam strukturnya dan kemampuan gerakannya. Sendi-
sendi sinovial umumnya dikelompokkan sesuai dengan jumlah axis rotasi yang
terjadi. Sendi-sendi yang memberikan gerakan sekitar satu, dua, dan tiga axis rotasi
masing-masing dikenal sebagai uniaxial, biaxial dan triaxial joint. Beberapa sendi
yang hanya terbatas memberikan gerakan pada satu arah dikenal sebagai nonaxial
joint. Kemampuan gerakan sendi juga kadang-kadang menggambarkan istilah derajat
kebebasan (df = degree freedom), atau sejumlah bidang gerak pada sendi tersebut.
Pada uniaxial joint memiliki satu df, biaxial joint memiliki dua df, dan triaxial joint
memiliki tiga df.
Dua struktur sinovial seringkali berkaitan dengan diarthrodial joint yaitu bursa
dan pembungkus tendon. Bursa adalah kapsul yang kecil, berbatasan dengan
membran sinovial dan terisi dengan cairan sinovial, dan merupakan struktur bantalan
yang terpisah dengan sendi. Sebagian besar bursa memisahkan (memberi jarak)
tendon dari tulang, mengurangi gaya friksi pada tendon selama gerakan sendi.
Beberapa bursa seperti bursa olecranon elbow yang memisahkan tulang dari kulit.
Pembungkus tendon merupakan struktur sinovial yang berlapis ganda, yang
mengelilingi tendon yang terletak sangat dekat dengan tulang. Beberapa tendon otot

112
113

yang panjang yang melewati wrist dan sendi jari-jari tangan terlindungi oleh
pembungkus tendon.
Cartilago Sendi
Sendi-sendi dari alat mekanikal harus selalu diminyaki pelumas jika bagian-
bagian mesin tersebut dapat bergerak bebas dan tidak aus satu sama lainnya. Pada
tubuh manusia, tipe khusus yang padat dengan jaringan konektif putih dikenal
sebagai cartilago sendi yang memberikan proteksi lubrikasi (perlindungan pelumas).
Lapisan proteksi dari bahan/unsur ini yang tebalnya 1 – 5 mm melapisi ujung tulang
yang membentuk sendi pada diarthrodial joint. Cartilago sendi memiliki 2 tujuan
penting. Pertama, cartilago sendi berperan menyebarkan beban diatas area yang luas
pada sendi sehingga besarnya stress pada suatu titik kontak antara kedua tulang dapat
diminimalkan. Kedua, cartilago sendi berperan memberikan gerakan pada tulang-
tulang pembentuk sendi dengan meminimalkan gaya friksi dan keausan.
Cartilago sendi adalah jaringan lunak, berpori-pori (porous), dan permeabel
yang dapat mengeluarkan cairan. Cartilago sendi dapat mengalami deformasi
(kelainan bentuk) dibawah pembebanan, dan meneteskan/memancarkan cairan
sinovial. Pada sendi sinovial yang sehat, ujung tulang yang membentuk sendi
ditutup/dilapisi dengan cartilago sendi sehingga gerakan salah satu ujung tulang
terhadap tulang lainnya secara khas disertai dengan aliran cairan sinovial yang
tertekan keluar didepan area kontak yang bergerak dan juga terhisap dibelakang area
kontak yang bergerak. Pada saat yang sama, permeabilitas cartilago menurun pada
area kontak langsung sehingga memberikan suatu permukaan dengan cairan pelumas
film (film lubrikasi) yang dapat terbentuk dibawah pembebanan.
Cartilago dapat mengurangi stress kontak maksimum yang bekerja pada sendi
sekitar 50% atau lebih. Lubrikasi (pelumasan) yang disuplai atau disediakan oleh
cartilago sendi begitu efektif sehingga gaya friksi yang terjadi hanya sekitar 17% -
33% dari gaya friksi yang dihasilkan oleh skateboard diatas es/salju dibawah beban
yang sama, dan hanya ½ dari penumpuan yang dilumasi/diminyaki.
c. Komposisi cartilago sendi

113
114

Solid matriks dari cartilago bertanggung jawab terhadap 20 – 40 % berat air


jaringan tersebut, yang tersusun dari serabut collagen (60%) dan interfibrillar
proteoglycan gel (40%) yang mempunyai daya tarik-menarik tinggi terhadap air,
serta sel-sel chondrosit (+ 2%). 60 – 80 % dari jaringan tersebut mengandung
banyak air, yang dapat ditekan keluar dibawah pengaruh beban (lihat gambar 5).

Gambar 5. Komposisi Cartilago Sendi


d. Sifat biomekanik cartilago sendi
Sifat biomekanis dari cartilago sendi hanya dapat dipahami berdasarkan
sifat-sifat material jaringan tersebut dan interaksi yang terjadi selama
pembebanan. Yang menentukan sifat material jaringan tersebut adalah solid
matriks (collagen dan proteoglycan) dan interstitial water (kandungan air dalam

114
115

jaringan interstitial) yang dapat bergerak bebas. Dengan demikian, cartilago sendi
dapat dilihat sebagai suatu porous medium yang berisi cairan (analog dengan
spon yang berisi penuh air). Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat cartilago
dibawah pengaruh beban adalah karakteristik material dari solid matriks dan
permeabilitasnya.
 Permeabilitas
Permeabilitas merupakan suatu parameter material di dalam jaringan
cartilago yang menggambarkan tahanan friksional dari solid matriks yang
memiliki porous material sehingga cairan bisa mengalir melewatinya.
Permeabilitas jaringan yang rendah akan menghasilkan lebih besar tahanan
terhadap gerakan cairan dibawah pengaruh beban, begitu pula sebaliknya.
Dibandingkan dengan spon biasa, maka cartilago sendi yang normal memiliki
permeabilitas yang sangat rendah.
Ada 2 cara mekanikal untuk mengalirkan cairan melalui media yang
berporous seperti cartilago sendi (Mow and Torzilli, 1975) yakni :
1) Cairan dapat dipaksa mengalir melalui solid matriks yang berporous
dengan cara mengaplikasikan tekanan gradient yang tinggi yakni tekanan
pada sisi atas cartilago lebih besar daripada tekanan pada sisi bawah
cartilago (lihat gambar 6).

115
116

Gambar 6. Hukum Darcy tentang mekanisme aliran cairan melalui cartilago


2) Jika cartilago sendi berada dibawah balok kaku yang berporous,
kemudian dilakukan kompresi maka cairan akan mengalir juga. Dalam
keadaan ini, gerakan cairan disebabkan oleh compressi yang
menghasilkan peningkatan tekanan secara lokal, dan menghasilkan gaya
yang menyebabkan eksudasi cairan dari jaringan tersebut (lihat gambar
6).
Kedua mekanisme ini bekerja secara simultan pada cartilago sendi
selama gerakan sendi. Hal ini telah ditunjukkan secara experimental oleh
Mansour and Mow (1976), bahwa permeabilitas dari cartilago normal akan
menurun secara dramatis pada saat terjadi peningkatan tekanan dan
deformasi.
Dengan demikian, cartilago sendi mempunyai suatu mekanisme
regulator feedback mekanikal yang bertujuan untuk mencegah pelepasan total
dari cairan interstitial. Sistem regulator biomekanis ini mempunyai implikasi
yang dalam terhadap jaringan normal yang membutuhkan nutrisi, lubrikasi
(peminyakan) sendi, kapasitas menahan beban dan kelelahan jaringan.
Pada umumnya, selama terjadi kondisi patologis maka continuitas dari
solid matriks (collagen dan proteoglycan) menjadi terganggu oleh adanya
stress mekanikal atau efek biochemis dari aksi enzim yang abnormal. Dengan
demikian, permeabilitas jaringan akan menjadi lebih besar pada jaringan yang
osteoarthritis daripada jaringan yang normal (karena terjadi kerusakan pada
jaringan serabut collagen dan hilangnya makromolekul proteoglycan).
Selama aktivitas fungsional seperti melompat maka cairan interstitial
tidak sempat tertekan keluar sehingga jaringan cartilago akan bersifat lebih
elastis atau kurang elastis. Dengan demikian, akan terjadi perubahan bentuk

116
117

pada saat pembebanan dan dengan segera akan kembali ke bentuk semula
pada saat tanpa beban. Jika beban terjadi dengan perlahan dan tetap konstan
terhadap jaringan cartilago (seperti selama berdiri dalam waktu yang lama),
maka deformasi jaringan akan terus meningkat pada saat cairan tertekan
keluar.
 Lubrication (Peminyakan)
Ada 2 jenis fundamental dari lubrication yakni : Boundary lubrication
dan Fluid Film lubrication. Boundary lubrication bergantung pada absorbsi
kimiawi dari molekul-molekul lubricant yang monolayer terhadap permukaan
kontak padat (Bowden and Tabor, 1967). Secara relatif, selama gerakan
terjadi maka permukaan komponen-komponen yang menumpu dilindungi
oleh molekul-molekul lubricant yang slide satu sama lain di atas permukaan
lawanannya, mencegah terjadinya adhesif dan abrasi (luka lecet) yang secara
alamiah terjadi pada permukaan kontak. Ada bukti eksperimen yang kuat
bahwa cairan sinovial di dalam sendi sinovial dapat bekerja dibawah kondisi
pembebanan, seperti halnya dengan boundary lubrication pada cartilago sendi
dimana kemampuan peminyakannya tidak bergantung pada viscositas
(kekentalan) cairan sinovial. Hal ini memungkinkan terjadinya absorbsi
kimiawi dari cairan sendi ke permukaan sendi pada saat kondisi pembebanan
yang berat.
Jika dalam kondisi pembebanan yang rendah dan atau terjadi gerakan
oscilasi serta kecepatan yang relatif tinggi pada permukaan kontak, maka
kemungkinan fluid film lubrication sangat diperlukan oleh sendi dalam
kondisi tersebut. Dalam fluid film lubrication, lapisan peminyakannya jauh
lebih tebal daripada ukuran molekul peminyakan boundary lubrication
sehingga menyebabkan pemisahan yang relatif besar dari kedua permukaan
tumpuan. Kapasitas penumpuan beban dari cairan tersebut dapat melalui 3
mekanisme, yaitu :
1) Mekanisme hydrostatik lubrication : Mekanisme ini terjadi ketika
tidak ada gerakan slide dari permukaan tumpuan (cartilago sendi)

117
118

sehingga tekanan didalam fluid film dapat dibangkitkan oleh tekanan


external melalui mekanisme hydrostatik lubrication (lihat gambar 7).
2) Mekanisme hydrodinamik lubrication : Mekanisme ini terjadi ketika
permukaan tumpuan bergerak secara tangensial terhadap permukaan
tumpuan lawanannya dan membentuk convergensi pada tepi cairan
sehingga tekanan tersebut dapat dibangkitkan oleh viskositas cairan yang
menyebabkan cairan terserap ke dalam celah diantara kedua permukaan
tersebut (lihat gambar 7).
3) Mekanisme squeeze film lubrication : Mekanisme ini terjadi ketika
permukaan tumpuan bergerak secara perpendicular terhadap permukaan
lawanannya, dan cairan harus ditekan keluar dari celah tersebut sehingga
tekanan tersebut dapat dibangkitkan didalam fluid film lubrication untuk
memaksa keluar peminyakan. Dengan demikian, beban tidak dapat
disanggah dalam jangka waktu yang tidak menentu oleh proses squeeze
film lubrication. Pada akhirnya, fluid film akan menjadi tipis ketika
terjadi kontak yang tajam antara kedua permukaan sendi. Meskipun
demikian, mekanisme ini cukup untuk menumpu beban yang tinggi dalam
durasi yang pendek (lihat gambar 7).

Gambar 7. Kapasitas suatu cairan atau lubrikasi dalam pembebaban. A.


Mekanisme hidrostatik lubrikasi, B. Mekanisme hidrodinamik
lubrikasi, dan C. Mekanisme tekanan film lubrikasi.

118
119

 Kerusakan / kelelahan (Wear)


Kerusakan adalah terjadinya pelepasan material dari permukaan solid oleh
karena adanya aksi mekanikal. Kerusakan tersebut dapat dibagi kedalam 2
komponen, yakni :
1) Kerusakan interfacial yang terjadi akibat adanya interaksi dari
permukaan tumpuan.
2) Kerusakan fatigue yang terjadi akibat adanya deformasi dari
body kontak (permukaan sendi).
Jika kedua permukaan tumpuan terjadi kontak maka kerusakan
interfacial dapat terjadi, oleh adanya adhesif atau abrasi (luka lecet).
Kerusakan adhesif dapat terjadi jika kedua permukaan solid mengalami
kontak yang lebih kuat daripada material yang terletak di bawahnya.
Kemudian akan muncul fragmen-fragmen, sebagai akibat dari kerobekan
pada salah satu permukaan dan terjadi perlengketan satu sama lain. Abrasi
terjadi ketika suatu material yang lunak tergores oleh salah satu permukaan
yang jauh lebih keras, dimana dapat disebabkan oleh permukaan lawanannya
atau adanya partikel-partikel yang hilang.
Kerusakan permukaan cartilago dapat diobservasi pada in vitro. Jika
terjadi kerusakan ultrastruktural dan atau hilangnya massa permukaan, maka
lapisan permukaan cartilago menjadi lebih lunak dan lebih permeabel. Dalam
keadaan ini, tahanan terhadap gerakan cairan akan berkurang, yang
memungkinkan cairan bocor keluar dari fluid film melalui permukaan
cartilago sehingga terpecah di atas permukaan. Hilangnya cairan akan
meningkatkan kemungkinan kontak yang tajam pada permukaan solid
cartilago dan akhirnya dapat lebih memperberat terjadinya proses abrasi.
Kerusakan fatigue dapat terjadi pada permukaan tumpuan yang baik
lubrication-nya. Kerusakan ini terjadi akibat adanya deformasi yang berulang
secara periodik. Kerusakan fatigue terjadi karena adanya akumulasi dari
kerusakan material secara mikroskopik ketika terjadi stress secara berulang-

119
120

kali. Meskipun besarnya stress yang terjadi jauh labih kecil daripada kekuatan
material, tetapi pada akhirnya kerusakan akan terjadi jika cukup sering
mengalami stress. Pada sendi sinovial, adanya gerakan rotasi dan slide dapat
menyebabkan area permukaan sendi bergerak kedalam dan keluar dari area
kontak. Proses ini menyebabkan stress yang berulang pada cartilago dan
dapat terjadi selama aktivitas fisiologis manusia. Ketika cartilago terbebani,
beban akan disanggah oleh matriks collagen/proteoglycan dan disanggah pula
oleh adanya tahanan (resisten) dari gerakan cairan yang melewati cartilago.
Dengan demikian, beban yang berulang dan gerakan sendi dapat
menyebabkan stress yang berulang pada solid matriks serta terjadi exudasi
dan inhibisi yang berulang dari cairan interstitial jaringan.
Stress yang berulang pada matriks collagen/proteoglycan akan menyebabkan
kerusakan pada :
1) Serabut collagen
2) Jaringan makromolekul proteoglycan, atau
3) Interface (ruang) antara serabut-serabut dan matriks interfibrillar.
Dari sebagian besar hipotesis yang populer, salah satu hipothesis
menyatakan bahwa kelelahan cartilago disebabkan oleh kerusakan akibat
beban tension pada kerangka serabut collagen. Begitu pula, semakin
bertambah usia dan adanya penyakit sebelumnya dapat menyebabkan
perubahan yang berat di dalam populasi molekul proteoglycan. Perubahan ini
merupakan bagian dari akumulasi kerusakan pada jaringan tersebut.
Exudasi dan inhibisi cairan interstitial yang terjadi secara berulang-kali
dapat menyebabkan pengeluaran molekul proteoglycan dari matriks cartilago
mendekati permukaan sendi. Dengan kata lain, gerakan cairan akan jauh dari
area stress yang terkonsentrasi (area kontak). Menurut Radin and Paul (1977)
bahwa fenomena ini dapat menjelaskan mengapa beban yang tinggi sangat
berbahaya bagi cartilago ; beban yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba akan
menyebabkan cairan tidak sempat untuk bergerak jauh dari area kontak stress

120
121

yang tinggi, sehingga dengan demikian akan menghasilkan stress yang tinggi
pada matriks collagen/proteoglycan.
Kerusakan struktural pada cartilago dapat diobservasi melalui X-foto.
Bagian vertikal dari cartilago yang memperlihatkan keretakan disebut dengan
fibrillasi, yang akhirnya dapat meluas melewati lapisan cartilago yang sangat
dalam. Kadang-kadang, lapisan cartilago mengalami lebih banyak erosi
daripada retak. Sekali terjadi kerusakan mikrostruktur pada cartilago, maka
mekanisme kerusakan yang bersifat mekanikal akan terjadi secara progresif ;
terjadi pengeluaran molekul proteoglycan oleh gerakan cairan yang keras dan
kemampuan self lubrikasi dari cartilago mengalami kerusakan. Proses ini
mempercepat kerusakan interfasial dan terjadi kelelahan cartilago yang telah
merusak matriks collagen/proteoglycan.
e. Biomekanik Degenerasi Cartilago
Cartilago sendi mempunyai kapasitas yang terbatas untuk perbaikan dan
regenerasi. Jika stress yang besar terjadi pada cartilago maka kerusakan total
dapat terjadi dengan sangat cepat. Suatu hipotesis menyatakan bahwa
peningkatan kerusakan secara progresif berkaitan dengan :
1) Besarnya stress yang dialami.
2) Jumlah stress tinggi yang dialami
3) Molekul-molekul intrinsik dan struktur mikroskopik dari
matriks collagen/ proteoglycan.
Besarnya stress yang dialami oleh cartilago ditentukan oleh beban total yang
terjadi pada sendi dan bagaimana beban tersebut didistribusikan di atas area
kontak (besarnya konsentrasi stress terjadi pada area kontak). Ada sejumlah
kondisi yang banyak menyebabkan konsentrasi stress berlebihan dan
menyebabkan kerusakan cartilago. Sebagian besar disebabkan oleh beberapa
jenis sendi yang tidak kongruen sehingga menghasilkan secara abnormal area
kontak yang kecil. Sebagai contoh, osteoarthrosis yang disebabkan oleh
congenital acetabular displasia, capital femur epifisis yang tergelincir keluar, atau
fraktur intraartikular (Murray, 1965).

121
122

Meniscectomy pada knee dapat mengeliminir fungsi penyebaran beban dari


meniscus (Lutfi, 1975 ; Shrive et al., 1978), sementara ruftur ligamen dapat
menghasilkan gerakan relatif yang berlebihan pada kedua ujung tulang (Jacobsen,
1977) sehingga menghasilkan peningkatan beban total dan peningkatan
konsentrasi stress akibat articulatio sendi yang abnormal.
Secara makroskopik, konsentrasi stress mempunyai efek yang lebih besar.
Tekanan kontak yang tinggi diantara kedua permukaan dapat menurunkan
mekanisme fluid film lubrication. Selanjutnya, kontak yang terjadi pada
permukaan solid yang tajam dapat menyebabkan konsentrasi stress yang secara
mikroskopik menghasilkan abrasi material dari kedua permukaan cartilago.
Beberapa orang dengan pekerjaan atau hobby tertentu mempunyai insiden
degenerasi yang tinggi, karena pekerjaan atau hobby-nya berkaitan dengan
frekuensi pembebanan yang tinggi pada sendi dan besarnya beban total yang
terjadi pada sendi. Sebagai contoh, sendi knee pada pemain sepakbola, sendi
ankle pada pemain dancing ballet, dan lain-lain. Osteoarthrosis juga dapat terjadi
secara sekunder akibat kelainan molekul-molekul intrinsik dan struktur
mikroskopik dari matriks collagen/proteoglycan. Berbagai contoh dari fenomena
ini adalah degenerasi sekunder pada RA, hemorrhages didalam ruang sendi pada
kondisi hemophilia (Lee et al., 1974), gangguan metabolik collagen yang
beragam, dan kemungkinan juga degradasi cartilago (penurunan fungsi) oleh
enzym proteolytic (Ali and Evans, 1973). Adanya kelemahan struktural pada
cartilago akan mudah mengalami kerusakan oleh beban stress yang normal dan
frekuensi beban yang rendah.
Fibrocartilago Sendi
Pada beberapa sendi, fibrocartilago sendi bisa dalam bentuk diskus
fibrocartilaginous atau parsial diskus yang dikenal sebagai meniskus, yang juga
terdapat diantara tulang pembentuk sendi. Diskus intervertebralis dan meniskus knee
joint adalah contoh fibrocartilago sendi. Diskus intervertebralis berperan sebagai
bantalan diantara vertebra, mengurangi level/tingkat stress dengan menyebarkan

122
123

beban yang terjadi. Meskipun fungsi diskus dan meniskus tidak jelas, tetapi
memungkinkan memiliki peran sebagai berikut :
1. Mendistribusikan berbagai beban diatas permukaan sendi
2. Memperbaikin kesesuaian/kecocokan dari permukaan sendi.
3. Membatasi translasi atau slip salah satu tulang dengan tulang lainnya.
4. Melindungi perifer (tepi) sendi.
5. Lubrikasi (pelumasan)
6. Shock absorpsi
Jaringan Penyambung (konnektif) Sendi
Tendon yang menghubungkan otot ke tulang, dan ligamen yang
menghubungkan tulang ke tulang lainnya, adalah jaringan pasif yang secara utama
terdiri dari serabut collagen dan serabut elastik. Tendon dan ligamen tidak memiliki
kemampuan untuk berkontraksi seperti jaringan otot, tetapi dapat memanjang. Kedua
jaringan ini bersifat elastik dan akan kembali ke posisi panjang awalnya setelah
distretching (diregangkan), kecuali jaringan tersebut diregang melampaui batas
elastiknya. Suatu tendon atau ligamen yang mengalami peregangan (stretch)
melampaui batas elastiknya selama injury akan tetap dalam posisi teregang dan dapat
dikembalikan ke posisi panjang awalnya hanya melalui pembedahan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara rutinitas tendon akan mengalami penyembuhan untuk
memperbaiki kerusakan kecil yang bersifat internal sepanjang daur kehidupan agar
jaringan tetap utuh.
Tendon dan ligamen seperti tulang, dapat merespon terhadap perubahan stress
mekanikal yang habitual dengan menghasilkan hipertropi atau atropi. Penelitian telah
menunjukkan bahwa latihan yang teratur dalam jangka waktu yang lama dapat
menghasilkan peningkatan ukuran dan kekuatan pada tendon dan ligamen, serta
peningkatan kekuatan hubungan antara tendon dan tulang atau antara ligamen dan
tulang.
Fakta (Evidence) juga menunjukkan bahwa ukuran ligamen seperti ligamen
cruciatum anterior adalah proporsi dengan kekuatan antagonisnya (dalam hal ini
adalah otot quadriceps). Tendon dan ligamen tidak dapat hanya mengalami

123
124

penyembuhan setelah ruptur, tetapi pada beberapa kasus/kondisi akan mengalami


regenerasi secara keseluruhan, seperti dalam fakta (evidence) terjadi regenerasi
sempurna pada tendon semitendinosus setelah tindakan pelepasan secara bedah untuk
memperbaiki ruptur ligamen cruciatum anterior.

B. Stabilitas Sendi
Stabilitas suatu sendi adalah kemampuan sendi untuk menahan terjadinya
dislokasi. Secara spesifik, stabilitas sendi adalah kemampuan sendi untuk menahan
pergeseran salah satu tulang terhadap tulang lainnya, sambil mencegah injury pada
ligamen, otot, tendon otot disekitar sendi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
stabilitas sendi :
1. Bentuk permukaan tulang pembentuk sendi
Pada beberapa sendi mekanikal, bagian-bagian yang membentuk sendi selalu
dalam bentuk yang berlawanan sehingga saling cocok satu sama lain dengan kuat
(lihat gambar 8). Pada tubuh manusia, ujung tulang pembentuk sendi biasanya
perpaduan antara permukaan konveks dan konkaf.

Gambar 8. Beberapa bentuk permukaan sendi

Meskipun sebagian besar sendi memiliki bentuk permukaan sendi secara


reciprokal, kedua permukaan tersebut tidak simetris, dan secara khas terjadi satu
posisi yang paling rapat dimana terjadi area kontak yang maksimum. Hal ini dikenal
sebagai close-packed position, dan dalam posisi ini stabilitas sendi biasanya sangat

124
125

besar. Suatu gerakan tulang pada sendi yang menjauhi dari close-packed position
menghasilkan suatu posisi yang dikenal sebagai loose-packed position, dimana
terjadi penurunan area kontak. Sedangkan suatu posisi sendi yang menghasilkan
kelonggaran maksimal didalam sendi atau tidak ada kontak dalam sendi dikenal
sebagai maximally loose-packed position.
Beberapa permukaan sendi memiliki bentuk yang berbeda-beda sehingga
dalam close-packed position dan loose pack position menghasilkan area kontak yang
bervariasi (area kontak besar atau kecil) dan stabilitas yang berbeda-beda (bisa lebih
stabil atau kurang stabil). Sebagai contoh, acetabulum memberikan socket yang
relatif dalam untuk caput femur, dan selalu terjadi area kontak yang relatif besar
antara kedua tulang, hal ini yang menjadi salah satu alasan bahwa hip adalah sendi
yang stabil. Namun demikian pada shoulder, fossa glenoidalis yang kecil memiliki
diameter vertikal sekitar 75% dari diameter vertikal caput humeri dan diameter
horizontal yang 60% dari ukuran caput humeri. Olah karena itu, area kontak antara
kedua tulang tersebut relatif kecil sehingga memberikan kontribusi terhadap
instabilitas relatif pada shoulder kompleks. Ditemukan adanya variasi anatomikal
dalam bentuk dan ukuran permukaan tulang pembentuk sendi diantara beberapa
individu ; oleh karena itu, beberapa orang memiliki sendi-sendi yang lebih atau
kurang stabil daripada rata-rata.
2. Susunan ligamen dan otot
Ligamen, otot, dan tendon otot relatif mempengaruhi stabilitas sendi. Pada
beberapa sendi seperti knee dan shoulder, dimana konfigurasi tulang pembentuk
sendinya terutama tidak stabil, namun ketegangan ligamen dan otot dapat
memberikan kontribusi secara signifikan terhadap stabilitas sendi dengan membantu
mempertahankan ujung tulang pembentuk sendi secara bersama-sama. Jika jaringan
otot lemah akibat disuse (inaktivitas) atau ligamen laxity akibat overstretch
(peregangan berlebihan), maka stabilitas sendi akan menurun. Ligamen dan otot yang
kuat seringkali dapat meningkatkan stabilitas sendi. Sebagai contoh, latihan
penguatan (strengthening) pada group otot quadriceps dan hamstring dapat

125
126

meningkatkan stabilitas knee joint. Susunan yang kompleks dari ligamen dan tendon
yang membungkus knee dapat dilihat pada gambar 9.
Sudut perlekatan sebagian besar tendon pada tulang tersusun sedemikian rupa
sehingga ketika otot menghasilkan ketegangan maka ujung tulang pembentuk sendi
akan tertarik saling merapat satu sama lain, hal ini akan meningkatkan stabilitas
sendi. Keadaan ini biasanya ditemukan ketika otot sisi lawanannya (antagonis)
menghasilkan ketegangan secara simultan (bersamaan). Namun demikian, ketika otot
mengalami kelelahan, maka otot kurang mampu memberikan kontribusi terhadap
stabilitas sendi, dan injury mungkin lebih sering terjadi. Ruptur ligamen cruciatum
paling sering terjadi ketika ketegangan pada otot yang lelah disekitar knee tidak
cukup untuk melindungi ligamen cruciatum dari peregangan (stretch) yang
melampaui batas elastiknya.

Gambar 9. Susunan ligamen dan tendon yang membungkus knee joint

3. Jaringan penyambung lainnya (connective tissue).

126
127

Jaringan penyambung fibrous yang berwarna putih dikenal sebagai fascia.


Fascia mengelilingi atau membungkus otot dan bundel serabut otot didalam otot,
memberikan proteksi dan support. Suatu fascia yang sangat kuat atau traktus fascia
yang menonjol dikenal sebagai traktus iliotibial band yang melintas pada sisi lateral
knee (lihat gambar 10), dapat memberikan kontribusi terhadap stabilitas knee. Fascia
dan kulit pada lapisan luar tubuh merupakan jaringan lainnya yang memberikan
kontribusi terhadap integritas sendi.

Gambar 10. Traktus Iliotibial band pada sisil lateral knee

C. Fleksibilitas Sendi

127
128

Fleksibilitas sendi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range


of motion (ROM) yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Statik
fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara pasif
digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter), sedangkan dinamik fleksibilitas menunjukkan
pada ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif yang dihasilkan
oleh kontraksi otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik untuk relatif
tightness atau laxitas sendi, dimana implikasi untuk potensial injury. Namun demikian,
dinamik fleksibilitas harus cukup atau tidak membatasi ROM yang dibutuhkan untuk
aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau aktivitas olahraga. Penelitian menunjukkan
bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah independen satu sama lain.
Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual
fleksibilitas merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya
fleksibilitas yang luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas
yang sama pada seluruh sendi.
Pengukuran ROM Sendi
ROM sendi dapat diukur secara langsung dalam unit derajat. Pada posisi
anatomikal, seluruh sendi dianggap berada pada derajat 0 (zero degree). Oleh karena itu,
ROM fleksi hip merupakan ukuran derajat yang dicapai oleh tungkai yang bergerak dari
0o ke titik maksimum fleksi (lihat gambar 11). Sedangkan ROM extensi (kembali ke
posisi anatomikal) adalah gerakan dari fleksi maksimum ke posisi 0o, kemudian gerakan
dari posisi anatomikal ke arah lain (ke posterior) diukur sebagai ROM hiperekstensi. Alat
yang digunakan untuk mengukur ROM sendi dapat dilihat pada gambar 12.

128
129

Gambar 11. Gerakan fleksi hip dengan ROM yang dicapai


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fleksibilitas Sendi
Faktor-faktor yang berbeda dapat mempengaruhi fleksibilitas sendi. Bentuk
permukaan tulang pembentuk sendi dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat
mempengaruhi atau mengakhiri gerakan pada ROM yang luas. Sebagai contoh, ketika
elbow mengalami hiperextensi yang luas maka kontak olecranon ulna dengan fossa
olecranon humerus dapat membatasi gerakan yang lebih jauh. Otot dan/atau lemak pada
bagian anterior lengan dapat membatasi gerakan fleksi elbow. Beberapa atlit pada
olahraga asimetris secara bilateral seperti tennis mungkin memiliki ROM yang kurang
pada lengan yang dominan daripada lengan yang nondominan di glenohumeral joint
shoulder.

129
130

Gambar 12. Alat ukur goniometer, elektrogoniometer, dan Leighton flexometer


digunakan untuk mengukur ROM

Fleksibilitas sendi utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas


jaringan kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi.
Ketegangan ligamen dan otot yang membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang
paling besar untuk ROM sendi. Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka
extensibilitasnya akan menurun. Kandungan air dari diskus cartilaginous yang ada pada
beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendi-sendi tersebut.
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa extensibilitas jaringan kolagen sedikit
meningkat pada kenaikan temperatur. Meskipun penemuan ini menjelaskan bahwa
latihan “warm-up” dapat meningkatkan ROM sendi, hal ini belum didokumentasikan
dengan baik pada manusia. Durasi 15 menit pada statik bicycle telah menunjukkan
adanya penurunan resting tension (ketegangan saat istirahat) pada otot hamstring, yang
disertai dengan peningkatan ROM hip. Namun demikian, dalam suatu penelitian yang
membandingkan efek-efek statik stretching pada ROM ankle dengan statik stretching
yang didahului oleh latihan warm-up, aplikasi panas superfisial, atau ultrasound,
menunjukkan bahwa semua protokol menghasilkan efek-efek yang sama. Oleh karena
itu, penelitian yang lebih lanjut dibutuhkan untuk mengidentifikasi mekanisme spesifik
yang berperan dalam efek-efek warm-up pada ROM sendi.

D. Asas

130
131

BIOMEKANIK OTOT SKELETAL

Otot hanya merupakan jaringan yang mampu secara aktif mengembangkan


ketegangan (tension). Karakteristik ini memungkinkan otot skeletal atau otot lurik dapat
melakukan fungsi penting dalam mempertahankan postur tubuh tegak, menggerakkan
anggota gerak tubuh, dan mengabsorbsi (meredam) terjadinya shock. Karena otot hanya
dapat melakukan fungsi tersebut pada saat dirangsang dengan baik, maka sistem saraf dan
sistem otot secara kolektif seringkali dikenal sebagai neuromuskular system. Pada bab ini
akan dibahas tentang sifat-sifat jaringan otot, organisasi fungsional dari jaringan otot, dan
aspek biomekanik dari fungsi otot.

A. Sifat-sifat Jaringan Otot


Ada 4 sifat jaringan otot yaitu ekstensibilitas, elastisitas, irritabilitas, dan
kemampuan mengembangkan ketegangan (tension). Sifat-sifat tersebut umumnya
terdapat pada seluruh otot yaitu otot jantung, otot halus, dan otot skeletal pada manusia,
juga dimiliki oleh otot-otot mamalia, reptil, amphibi, burung, dan serangga.
Ekstensibilitas dan Elastisitas
Sifat ekstensibilitas dan elastisitas umumnya terdapat pada beberapa jaringan
biologis. Seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini, ekstensibilitas adalah
kemampuan terulur atau meningkatnya pemanjangan otot, dan elastisitas adalah
kemampuan otot untuk kembali ke panjang normal setelah diulur (distretch). Elastisitas
otot akan mengembalikan otot ke posisi pemanjangan istirahat normal (normal resting)

131
132

setelah mengalami penguluran dan memberikan transmisi ketegangan yang halus dari
otot ke tulang.
Sifat elastis otot digambarkan sebagai 2 komponen utama. Komponen elastis paralel
(PEC) ditunjukkan oleh membran otot, yang memberikan tahanan pada saat otot secara
pasif terulur (stretch). Komponen elastis seri (SEC) terdapat pada tendon, bekerja
sebagai pegas yang lentur untuk menyimpan energi elastis ketika otot yang tegang diulur
(distretch). Komponen-komponen elastisitas otot ini dinamakan demikian karena
membran otot dan tendon masing-masing paralel dengan serabut otot dan seri atau
segaris dengan serabut otot, dimana memberikan komponen kontraktil. Elastisitas otot
skeletal manusia secara utama terdapat pada SEC (tendon).
Baik SEC dan PEC memiliki sifat merekat yang memungkinkan otot terulur dan
kembali ke dalam bentuk semula. Ketika penguluran statik pada group otot seperti
hamstring dipertahankan selama jangka waktu tertentu, maka secara progresif otot akan
memanjang, dan meningkatkan ROM sendi. Demikian pula, setelah group otot tertentu
diulur (distretch), maka tidak akan kembali dengan segera ke posisi pemanjangan
istirahat (resting length), tetapi secara bertahap akan memendek selama jangka waktu
tertentu. Respon viskoelastik ini pada otot tidak bergantung pada jenis kelamin
(independent).
Irritabilitas dan Kemampuan Mengembangkan Ketegangan
Sifat karakteristik otot lainnya adalah irritabilitas. Irritabilitas adalah kemampuan
untuk merespon suatu stimulus. Stimulus yang mempengaruhi otot dapat berupa
elektrokimiawi seperti aksi potensial dari saraf yang mempersarafinya, atau mekanikal
seperti pukulan/benturan dari luar pada bagian otot. Ketika diaktivasi oleh stimulus maka
otot akan merespon dengan berkembangnya ketegangan (tension).
Kemampuan untuk mengembangkan ketegangan (tension) merupakan salah satu
sifat karakteristik yang khas pada jaringan otot. Secara historis, perkembangan
ketegangan (tension) dari otot telah dikenal sebagai kontraksi, atau komponen kontraktil
dari fungsi otot. Kontraktilitas adalah kemampuan otot untuk memendek dari panjang
otot. Namun demikian, ketegangan pada suatu otot tidak mungkin menghasilkan
pemendekan otot (akan dibahas pada subbab berikutnya).

132
133

B. Organisasi Struktural Otot Skeletal


Ada sekitar 434 otot pada tubuh manusia, yang membentuk 40% - 45% dari berat
tubuh sebagian besar orang dewasa. Otot-otot didistribusikan secara berpasangan pada
sisi kanan dan kiri dari tubuh. Sekitar 75% pasangan otot bertanggung jawab terhadap
gerakan tubuh dan postur tubuh, dengan masih melibatkan seperti kontrol mata dan
menelan dalam aktivitas. Ketika ketegangan berkembang pada suatu otot, maka
pertimbangan biomekanik seperti besarnya gaya yang dibangkitkan, kecepatan gaya
yang berkembang, dan lamanya waktu gaya tersebut dipertahankan dapat dipengaruhi
oleh karakteristik anatomis dan fisiologis tertentu dari otot tersebut.
Serabut Otot
Sebuah sel otot tunggal dinamakan dengan serabut otot karena berbentuk seperti
benang/ serabut. Membran yang membungkus serabut otot kadang-kadang dinamakan
dengan sarkolemma dan secara khusus sitoplasma ini dinamakan dengan sarkoplasma.
Sarkoplasma pada setiap serabut otot mengandung sejumlah nukleus dan mitokondria,
serta sejumlah benang/serabut myofibril yang berjalan paralel sejajar satu sama lain.
Myofibril mengandung 2 tipe filamen protein yang susunannya menghasilkan
karakteristik pola striated sehingga dinamakan otot striated atau otot skeletal. Observasi
melalui mikroskop terlihat adanya perubahan struktur bands (A bands, I bands) dan garis
didalam otot skeletal selama kontraksi otot. Sarkomer terbagi-bagi antara 2 Z lines, yang
merupakan unit struktural dasar dari serabut otot. Setiap sarkomer dibagi dua oleh suatu
M line. A band berisi filamen myosin yang kasar dan tebal, serta dikelilingi oleh 6
filamen aktin yang tipis dan halus. I band berisi hanya filamen aktin yang tipis. Pada
kedua band tersebut, filamen-filamen protein dipertahankan dalam posisinya oleh
perlekatan pada Z line, yang melekat ke sarkolemma. Pada pusat A band terdapat H
zone, yang berisi hanya filamen myosin yang tebal.

133
134

134
135

Gambar 13. Struktur otot dan sel otot


Selama kontraksi otot, filamen aktin yang tipis dari salah satu ujung sarkomer akan
slide satu sama lain. Sebagaimana terlihat melalui mikroskop, Z line bergerak kearah A
bands untuk mempertahankan ukuran awalnya, sementara I bands menjadi sempit dan H
zone menjadi hilang. Proyeksi dari filamen myosin dinamakan dengan cross-bridge yang
membentuk hubungan fisik dengan filamen aktin selama kontraksi otot, dengan sejumlah
hubungan yang proporsional dengan produksi gaya dan pengeluaran energi.
Suatu saluran jaringan membran yang dikenal sebagai retikulum sarkoplasmik
adalah berhubungan dengan setiap serabut secara external. Secara internal, serabut
terbelah oleh terowongan kecil yang dinamakan dengan transverse tubule. Transverse
tubule berjalan secara sempurna melalui serabut dan hanya terbuka kearah external.
Retikulum sarkoplasmik dan transverse tubule merupakan saluran-saluran untuk
tranportasi mediator elektrokimiawi dari aktivasi otot. Beberapa lapisan jaringan
konektif/ penyambung memberikan superstruktur untuk struktur serabut otot. Setiap
membran serabut atau sarkolemma dikelilingi atau dibungkus oleh jaringan konektif tipis
yang dinamakan dengan endomysium. Serabut-serabut otot yang tergabung kedalam
fascicle dibungkus oleh jaringan konektif yang dikenal sebagai perimysium. Kelompok-
kelompok fascicle membentuk otot secara keseluruhan yang kemudian dibungkus/
dikelilingi oleh epimysium, yang berlanjut sampai dengan tendon otot.
Pada usia dewasa, terlihat sangat bervariasi panjang dan diameter serabut otot
didalam otot. Beberapa serabut dapat berjalan pada seluruh panjang otot, sedangkan otot
lainnya jauh lebih pendek. Serabut dengan panjang diatas 30 cm telah diidentifikasi
terdapat pada otot sartorius. Serabut otot skeletal akan tumbuh panjang dan diameternya

135
136

dari lahir sampai dewasa, dengan 5 kali lipat peningkatan diameter serabut selama masa
ini. Diameter serabut juga dapat meningkat oleh program resistance training dengan
beberapa repetisi pada beban yang besar dalam seluruh kelompok usia dewasa.
Secara genetik, sejumlah serabut otot yang ada ditentukan dan bervariasi dari orang
ke orang. Jumlah serabut yang sama yang nampak saat lahir akan dipertahankan
sepanjang kehidupannya, kecuali kadang-kadang hilang/menurun setelah injury.
Peningkatan ukuran otot setelah resistance training secara umum diyakini terjadi
peningkatan diameter serabut otot yang lebih besar daripada jumlah serabut otot. Namun
demikian, kemungkinan terjadi hiperplasia atau peningkatan jumlah serabut otot dapat
terjadi diantara beberapa individu sebagai respon terhadap program training.
Motor Unit
Serabut otot diorganisasi/diatur kedalam group fungsional dengan ukuran yang
berbeda-beda. Sejumlah serabut otot yang diinnervasi oleh susunan motor neuron
tunggal, kelompok ini dikenal sebagai motor unit. Axon pada setiap motor neuron akan
membagi beberapa cabang sehingga setiap serabut otot disuplai oleh satu motor end
plate. Secara khas, hanya satu motor end plate per serabut otot. Serabut dari sebuah
motor unit dapat menyebar diatas area beberapa sentimeter dan diselang-seling oleh
serabut motor unit lainnya. Suatu pengecualian yang jarang terjadi adalah motor unit
dibatasi pada suatu otot tunggal dan terlokalisir didalam otot tersebut. Sebuah motor unit
tunggal pada mammalia dapat berisi dari kurang lebih 100 sampai mendekati 2000
serabut, bergantung pada tipe gerakan yang dihasilkan oleh otot tersebut. Gerakan-
gerakan yang dikontrol dengan tepat, seperti gerakan mata atau jari-jari dihasilkan oleh
motor unit-motor unit dengan jumlah serabut yang kecil. Gerakan yang kasar, sangat
kuat, seperti gerakan yang dihasilkan oleh gastrocnemius yang merupakan hasil dari
aktivitas motor unit yang besar.

136
137

Gambar 14. Motor Unit

Sebagian besar motor unit skeletal pada mamalia tersusun oleh sel-sel twitch-tipe
yang merespon terhadap stimulus tunggal, dengan berkembangnya tension (ketegangan)
dalam bentuk seperti twitch (kejutan). Ketegangan pada serabut twitch setelah adanya
stimulus dari impuls saraf tunggal dapat meningkatkan nilai puncak kurang lebih 100
msec kemudian segera menurun.
Namun demikian, pada tubuh manusia, motor unit secara umum diaktivasi oleh
sejumlah impuls saraf. Ketika impuls yang cukup dan cepat, mengaktivasi sebuah
serabut yang siap dalam keadaan tension (ketegangan), maka sumasi akan terjadi dan
tension secara progresif akan meningkat sampai tercapai nilai maksimum bagi serabut
tersebut. Sebuah serabut yang secara berulang diaktivasi agar supaya dapat
dipertahankan pada level tension maksimum selama waktu tertentu, hal ini dalam
keadaan tetanus. Ketegangan (tension) yang terjadi selama tetanus dapat mencapai
sebanyak 4 kali puncak ketegangan selama twitch tunggal. Pada saat tetanus berlangsung
lama, maka kelelahan dapat menyebabkan penurunan level tension secara bertahap.
Tidak semua motor unit skeletal manusia adalah dari tipe twitch. Motor unit dari
tipe tonik ditemukan pada organ occulomotor. Motor unit ini memerlukan lebih banyak
stimulus daripada stimulus tunggal sebelum terjadi perkembangan awal dari tension.
Tipe Serabut
Serabut otot skeletal memperlihatkan beberapa struktural, histokimiawi, dan sifat
karakteristik yang berbeda-beda. Karena perbedaan ini memiliki implikasi langsung
terhadap fungsi otot, maka serabut otot merupakan hal yang menarik bagi para ilmuwan.
Serabut dari beberapa motor unit akan berkontraksi sampai mencapai ketegangan

137
138

(tension) maksimum yang lebih cepat daripada serabut lainnya setelah distimulasi.
Berdasarkan pada perbedaan karakteristik ini, serabut otot dibagi kedalam 2 kategori
utama yaitu serabut fast twitch (FT) dan slow twitch (ST). Untuk mencapai puncak
ketegangan, serabut FT hanya mengambil waktu sekitar 1/7 dibandingkan dengan waktu
yang diperlukan oleh serabut ST. Namun demikian, kisaran waktu twitch yang besar
untuk mencapai ketegangan maksimum nampak terlihat pada kedua kategori tersebut.
Perbedaan waktu puncak ketegangan tersebut disebabkan oleh adanya konsentrasi
myosin ATPase yang tinggi pada serabut FT. Serabut FT juga lebih besar diameternya
daripada serabut ST. Karena karakteristiknya, maka serabut FT biasanya lebih cepat
lelah daripada serabut ST. Meskipun keutuhan serabut FT dan ST dalam otot dapat
membangkitkan jumlah gaya puncak isometrik yang sama per area cross-sectional
(diameter) otot, beberapa orang yang memiliki persentase serabut FT yang tinggi mampu
membangkitkan jumlah torque dan power yang tinggi selama gerakan daripada memiliki
lebih banyak serabut ST.
Serabut FT terbagi kedalam 2 kategori berdasarkan pada unsur histokimiawi. Tipe
pertama dari serabut FT tahan terhadap kelelahan seperti karakteristik serabut ST. Tipe
kedua dari serabut FT memiliki diameter yang besar, mengandung mitokondria dalam
jumlah yang sedikit, dan lebih cepat lelah daripada tipe pertama.
Para peneliti telah menjelaskan beberapa skema kategorisasi berdasarkan pada
unsur metabolik dan kontraktil dari ketiga tipe serabut yang berbeda (tabel 1). Pada salah
satu skeme, serabut ST dikenal sebagai tipe I, dan serabut FT disebut dengan tipe IIa dan
tipe IIb. Istilah sistem lainnya adalah serabut ST dikenal sebagai slow-twitch oxidative
(SO), serabut FT terbagi kedalam serabut fast-twitch oxidative glycolytic (FOG) dan
fast-twitch glycolytic (FG). Kategorisasi tambahan lainnya adalah serabut ST, dan
serabut fast-twicth fatigue resistant (FFR) serta serabut fast-twitch fast fatigue (FF).
Beberapa sistem klasifikasi ini didasarkan pada perbedaan unsur serabut, dan tidak dapat
dipertukarkan.
Meskipun seluruh serabut pada sebuah motor unit adalah tipe yang sama, sebagian
besar otot skeletal mengandung serabut FT dan ST, dengan jumlah yang relatif bervariasi
dari otot ke otot dan individu ke individu. Sebagai contoh, otot soleus secara umum

138
139

hanya digunakan untuk penyesuaian postural sehingga mengandung terutama serabut ST.
Sebaliknya, otot gastrocnemius dapat mengandung lebih banyak serabut FT daripada
serabut ST.

Tabel 3. Karakteristik Serabut Otot Skeletal

Tipe I Tipe IIa Tipe Iib


Slow-Twitch Fast-Twitch Fast-Twitch
Oxidative Oxidative Glycolytic (FG)
(SO) Glycolytic (FOG) Serabut
Karakteristik
Serabut Serabut Fast-Twitch
Slow-Twitch Fast-Twitch Fast Fatigue
(ST) Fatigue Resistant (FF)
(FFR)
Kecepatan kontraksi Rendah Cepat Cepat

Kelelahan Rendah Sedang Cepat

Diameter Kecil Sedang Besar

Konsentrasi ATPase Rendah Tinggi Tinggi

Konsentrasi Mitokondria Tinggi Tinggi Rendah

Konsentrasi Enzym Glycolytic Rendah Sedang Tinggi

Serabut FT merupakan kontributor yang penting untuk kesuksesan performa atlit


dalam suatu event/pertandingan yang memerlukan kecepatan, kontraksi otot yang sangat
kuat dan cepat (power), seperti lari cepat (sprint) dan melompat. Suatu
event/pertandingan yang membutuhkan endurance (daya tahan) seperti lari jarak jauh,
bersepeda, berenang memerlukan fungsi serabut ST yang lebih tahan lelah secara efektif.
Penggunaan biopsi otot yang dilakukan oleh para peneliti menunjukkan sangat
mendukung kesuksesan atlit pada event-event yang memerlukan strength (kekuatan) dan

139
140

power yang cenderung memiliki proporsi serabut FT yang tinggi, dan atlit-atlit yang
endurance tinggi biasanya secara abnormal memiliki proporsi serabut ST yang tinggi.
Meskipun penemuan ini menjelaskan bahwa program atletik training dapat
menyebabkan konversi serabut dari ST ke FT atau sebaliknya, hal ini belum ditemukan
pada kasus nyata. Endurance exercise training (latihan daya tahan) telah menunjukkan
dapat meningkatkan kecepatan kontraksi dari serabut ST soleus yang dominan menjadi
20%. Namun demikian, peningkatan ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi
serabut ATPase yang lebih besar daripada peningkatan persentase serabut fast-twitch
yang ada dalam otot. Meskipun demikian, didalam serabut FT telah ditemukan dapat
terjadi konversi dari tipe IIb ke tipe IIa dengan program resistance (strength) training
yang berat (latihan penguatan), endurance training (latihan daya tahan), serta konsentrik
dan eksentrik isokinetik training.
Beberapa orang yang secara genetik diberikan persentase serabut FT yang tinggi
cenderung berolahraga yang memerlukan strength (kekuatan), dan beberapa orang yang
secara genetik diberikan persentase serabut ST yang tinggi akan memilih olahraga
endurance (daya tahan). Namun demikian, distribusi tipe serabut otot pada atlit strength-
trained dan atlit endurance-trained tergolong dalam kisaran (range) komposisi tipe
serabut yang ditemukan pada beberapa orang tidak terlatih (untrained). Dalam populasi
umum distribusi komposisi FT versus ST nampak terlihat, dan sebagian besar orang
memiliki keseimbangan serabut FT dan ST, serta relatif persentase yang kecil orang-
orang yang memiliki jumlah serabut FT yang sangat besar atau serabut ST yang sangat
besar.
Diketahui ada 2 faktor yang mempengaruhi komposisi tipe serabut otot yaitu usia
dan obesitas. Terjadi secara progresif, dimana usia berkaitan dengan penurunan jumlah
motor unit dan serabut otot serta ukuran serabut tipe II tidak berkaitan dengan jenis
kelamin atau training. Suatu penelitian longitudinal terhadap 28 pelari jarak jauh
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan proporsi yang signifikan pada serabut tipe I
selama jangka waktu 20 tahun, diperkirakan akibat hilangnya serabut tipe II secara
selektif. Sebaliknya, bayi dan anak-anak juga memiliki proporsi yang lebih kecil secara
signifikan pada serabut tipe IIb daripada orang dewasa, dan secara signifikan ditemukan

140
141

proporsi yang rendah pada serabut tipe IIb orang dewasa yang obesitas dibandingkan
dengan orang dewasa yang non-obesitas.
Bukti/fakta yang baru, menekankan pada peran genetik terhadap tipe serabut dan
menjelaskan bahwa otot skeletal dapat beradaptasi terhadap tuntutan perubahan
fungsional dengan menghasilkan perubahan pada phenotype genetik dari serabut
seseorang. Sel-sel batang myogenik yang dinamakan dengan sel-sel satelit secara normal
menjadi inaktif, tetapi dapat dirangsang melalui perubahan pada aktivitas otot secara
habitual (kebiasaan) untuk proliferasi dan membentuk serabut otot yang baru. Hal ini
dapat menjadi hipotesis bahwa regenerasi otot setelah latihan dapat memberikan suatu
stimulus terhadap keterlibatan sel satelit dalam remodeling (perbaikan) otot melalui
perubahan genetik yang nampak pada serabut otot dan fungsinya didalam otot.
Arsitektur Serabut
Variabel lainnya yang mempengaruhi fungsi otot adalah susunan serabut didalam
otot. Orientasi serabut didalam otot dan susunannnya dimana serabut melekat pada
tendon sangat bervariasi diantara otot-otot pada tubuh manusia. Orientasi struktural ini
dapat mempengaruhi strength (kekuatan) kontraksi otot dan ROM yang dilalui oleh
group otot yang menggerakkan segmen tubuh.
Ada 2 kategori utama susunan serabut otot yaitu susunan serabut paralel dan
susunan serabut pennate. Meskipun terdapat sejumlah subkategori dari susunan serabut
paralel dan pennate, perbedaan antara 2 kategori utama tersebut cukup untuk
menjelaskan gambaran biomekanikalnya.
Pada susunan serabut paralel, orientasi serabut sangat paralel dengan axis
longitudinal otot. Otot sartorius, rectus abdominis, dan biceps brachii memiliki orientasi
serabut paralel. Pada sebagian besar serabut otot yang paralel, terdapat serabut yang
tidak memanjang pada seluruh panjang otot, tetapi berakhir pada suatu lokasi didalam
muscle belly. Begitu serabut memiliki spesialisasi struktural yang memberikan
interkoneksi dengan serabut didekatnya pada beberapa titik/lokasi sepanjang permukaan
serabut, hal ini memungkinkan pengiriman ketegangan (tension) ketika serabut
dirangsang.

141
142

Susunan serabut pennate adalah susunan serabut yang membentuk sudut terhadap
axis longitudinal otot. Setiap serabut dalam otot pennate melekat pada salah satu atau
lebih tendon, beberapa serabut memanjang pada seluruh panjang otot. Serabut dari suatu
otot dapat memperlihatkan lebih dari satu sudut pennation (sudut perlekatan) pada
sebuah tendon. Otot tibialis posterior, rectus femoris, dan otot deltoid memiliki susunan
serabut pennate.
Ketika ketegangan (tension) berkembang dalam otot yang berserabut paralel,
adanya pemendekan otot terutama dihasilkan dari pemendekan serabutnya. Ketika
serabut dari otot pennate memendek, maka serabut-serabutnya akan berotasi disekitar
perlekatan tendonnya atau perlekatannya, yang secara progresif meningkatkan sudut
pennation. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa lebih besar sudut pennation, maka lebih
kecil jumlah gaya efektif yang ditransmisikan secara aktual ke tendon untuk
menggerakkan perlekatannya dengan tulang. Jika sudut pennation melebihi 60o, maka
jumlah gaya efektif yang ditransfer ke tendon kurang dari ½ gaya yang dihasilkan oleh
serabut otot. Pelari cepat (sprinter) ditemukan memiliki otot tungkai dengan sudut
pennation lebih kecil dari sudut pennation pelari jarak jauh, dengan demikian sudut
pennation yang lebih kecil akan memberikan keuntungan yaitu kecepatan kontraksi
memendek yang lebih besar untuk menghasilkan kecepatan lari yang lebih tinggi.
Meskipun pennation menurunkan gaya efektif yang dibangkitkan pada level
ketegangan serabut, susunan ini memberikan kemasan lebih banyak serabut daripada
yang dibentuk kedalam otot longitudinal yang menempati space/ruang yang sama.
Karena otot pennate berisi lebih banyak serabut per unit volume otot, maka otot tersebut
dapat membangkitkan lebih besar gaya daripada otot dengan serabut paralel dalam
ukuran yang sama. Hal yang menarik adalah ketika otot mengalami hipertropi maka
secara bersamaan terjadi peningkatan angulasi (sudut) pada bagian serabut, dan bahkan
tidak adanya hipertropi, otot yang lebih tebal memiliki sudut pennation yang lebih besar.
Sebaliknya, susunan serabut paralel dapat memungkinkan pemendekan yang lebih
besar pada seluruh bundel otot daripada susunan serabut pennate. Otot-otot berserabut
paralel dapat menggerakkan segmen-segmen tubuh melalui ROM yang lebih luas
dibandingkan dengan otot-otot berserabut pennate. Suatu penelitian lanjut menjelaskan

142
143

bahwa terdapat perbedaan organisasi struktural regional dan perbedaan fungsional


regional didalam otot.

C. Fungsi Otot Skeletal


Ketika otot secara aktif mengembangkan ketegangan, besarnya ketegangan yang
ada adalah konstan pada seluruh panjang otot, baik pada tendon dan lokasi perlekatan
muskulotendinogen pada tulang. Gaya ketegangan berkembang oleh adanya tarikan otot
pada perlekatannya di tulang dan menciptakan torque pada sendi-sendi yang dilewati
oleh otot. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa besarnya torque yang dibangkitkan
adalah hasil dari gaya otot dan lengan momen gaya. Beratnya segmen tubuh tempat
perlekatan otot, gaya eksternal yang bekerja pada tubuh, dan ketegangan suatu otot yang
melewati sendi seluruhnya dapat membangkitkan torque pada sendi tersebut.
1. Recruitment (Perekrutan) Motor Unit
Sistem saraf pusat menggunakan sistem kontrol elaborasi yang memungkinkan
perpaduan kecepatan dan besarnya kontraksi otot untuk keperluan gerakan sehingga
gerakan yang dilakukan menjadi halus, enak, dan tepat. Neuron-neuron yang
menginnervasi motor unit ST secara umum memiliki nilai ambang rangsang yang
rendah dan relatif mudah diaktivasi, sedangkan motor unit FT disuplai oleh saraf-
saraf yang lebih sulit diaktivasi. Maka dari itu, serabut ST diaktivasi terlebih dahulu,
bahkan ketika terjadi gerakan ekstremitas yang cepat.
Pada saat diperlukan gaya, kecepatan, dan/atau durasi aktivitas yang
meningkat, maka motor unit dengan ambang rangsang yang tinggi akan teraktivasi
secara progresif, yaitu dengan serabut tambahan tipe IIa (FOG) sebelum serabut tipe
IIb (FG). Didalam setiap tipe serabut, mudah mengalami aktivasi secara
berkelanjutan, dan sistem saraf pusat akan mengaktivasi secara selektif lebih banyak
motor unit atau sedikit motor unit.
Selama latihan intensitas rendah, sistem saraf pusat akan merekrut hampir
secara eksklusif serabut ST. Pada saat akivitas berlanjut dan terjadi kelelahan, maka
motor unit tipe IIa dan kemudian tipe IIb akan teraktivasi sampai seluruh motor unit
terlibat.

143
144

2. Perubahan panjang otot yang berkaitan dengan Perkembangan Tension


Ketika ketegangan otot menghasilkan torque yang lebih besar daripada torque
resistive pada sendi, maka otot akan berkontraksi memendek sehingga menyebabkan
suatu perubahan pada derajat sendi. Ketika otot berkontraksi memendek maka
kontraksinya adalah konsentrik dan menghasilkan gerakan sendi dalam arah yang
sama sebagaimana rangkaian torque dibangkitkan oleh otot. Serabut otot tunggal
mampu memendek sampai sekitar ½ dari normal resting length.
Otot-otot juga dapat berkembang ketegangannya tanpa memendek. Jika torque
yang berlawanan pada sendi yang dilewati oleh otot adalah sama dengan torque yang
dihasilkan oleh otot (dengan zero pada torque), maka panjang otot masih tidak
mengalami perubahan dan tidak ada gerakan yang terjadi pada sendi. Ketika
ketegangan otot berkembang tetapi tidak mengalami perubahan panjang otot maka
kontraksinya adalah isometrik. Karena perkembangan tension dapat meningkatkan
diameter otot, maka body builder dapat mengembangkan ketegangan isometrik untuk
memperlihatkan ototnya ketika berkompetisi. Pengembangan ketegangan isometrik
secara simultan pada beberapa otot dalam arah yang berlawanan, seperti otot triceps
brachii dan biceps brachii, dapat memperbesar area cross-sectional pada otot yang
tegang tersebut, meskipun tidak ada gerakan yang terjadi pada shoulder atau elbow
joint.
Ketika torque sendi yang berlawanan melebihi ketegangan otot yang dihasilkan
maka otot akan berkontraksi memanjang. Ketika otot berkontraksi memanjang untuk
mengembangkan ketegangan, maka kontraksinya adalah eksentrik dan arah gerakan
sendi berlawanan dengan torque otot. Ketegangan/kontraksi eksentrik terjadi pada
fleksor elbow selama ekstensi elbow atau fase menurunkan beban pada curl exercise.
Ketegangan/kontraksi eksentrik bekerja sebagai braking mechanism (mekanisme
pengereman) untuk mengontrol kecepatan gerak. Tanpa adanya ketegangan eksentrik
pada otot-otot, maka lengan bawah, tangan, dan beban akan diturunkan dalam pola
yang tidak terkontrol karena adanya gaya gravitasi. Penelitian menunjukkan bahwa
meningkatnya kemampuan untuk mengembangkan ketegangan dibawah kontraksi

144
145

konsentrik, isometrik, dan eksentrik dapat tercapai dengan sangat baik melalui
training dengan masing-masing bentuk latihan yang sama.
3. Peran Otot
Suatu otot yang aktif hanya dapat melakukan satu fungsi yaitu menghasilkan
atau mengembangkan tension (ketegangan). Karena satu otot jarang bekerja secara
terisolir, maka fungsi atau peran suatu otot selalu bekerja dengan otot-otot lainnya
yang melintasi sendi yang sama.
Ketika suatu otot berkontraksi dan menyebabkan gerakan pada segmen tubuh
dari suatu sendi, maka otot bekerja sebagai agonis, atau mover (penggerak). Karena
beberapa otot yang berbeda sering memberikan kontribusi terhadap gerakan, maka
terdapat perbedaan antara agonis primer dan agonis assistant (pembantu) sebagai
contoh, selama fleksi elbow, otot brachialis dan dan biceps brachii bekerja sebagai
agonis primer sedangkan brachioradialis, ekstensor carpi radialis longus, dan
pronator teres bekerja sebagai agonis assistant. Semua otot yang melewati satu sendi
dapat berfungsi sebagai agonis dengan mengembangkan ketegangan secara simultan
atau sendiri.
Otot yang bekerja berlawanan dengan agonis dikenal sebagai antagonis atau
opposer, dimana pada saat yang sama terjadi ketegangan eksentrik ketika agonis
menghasilkan gerakan. Agonis dan antagonis secara khas berpasangan dalam suatu
sendi. Selama fleksi elbow, ketika brachialis dan biceps brachii sebagai agonis
primer maka triceps dapat bekerja sebagai antagonis melalui ketegangan resistive.
Sebaliknya, selama ekstensi elbow ketika triceps brachii berperan sebagai agonis
maka otot brachialis dan biceps brachii dapat berperan sebagai antagonis. Meskipun
gerakan skill yang penuh secara khas tidak dihasilkan oleh ketegangan yang terus
menerus dari otot antagonis, antagonis sering memberikan aksi kontrol atau aksi
brake khususnya pada akhir gerakan yang cepat dan kuat. Agonis khususnya aktif
selama akselerasi (percepatan) segmen tubuh, sedangkan antagonis secara utama
aktif selama deselerasi (perlambatan) atau negatif akselerasi. Sebagai contoh, ketika
seseorang berlari menuruni bukit maka otot quadriceps bekerja secara eksentrik
sebagai antagonis untuk mengontrol besarnya fleksi knee yang terjadi.

145
146

Peran lain dari otot adalah sebagai stabilisasi pada bagian tubuh melawan gaya
tertentu. Gaya tersebut bisa internal dari ketegangan otot yang lain, atau eksternal
dari berat objek yang diangkat. Otot rhomboid bekerja sebagai stabilizer melalui
ketegangannya untuk menstabilisasi scapula melawan tarikan dari jeratan tali selama
ski air.
Peran keempat dari otot adalah sebagai neutralizer. Neutralizer berperan untuk
mencegah aksi asesoris yang tidak diinginkan yang secara normal terjadi ketika
agonis menghasilkan ketegangan konsentrik. Sebagai contoh, jika suatu otot
menghasilkan gerak fleksi dan abduksi pada suatu sendi tetapi hanya fleksi yang
diinginkan, maka aksi neutralizer dapat mengeliminir gerak abduksi yang tidak
diinginkan dan menghasilkan gerak adduksi. Ketika otot biceps brachii menghasilkan
ketegangan konsentrik maka dapat menghasilkan gerak fleksi elbow dan supinasi
lengan bawah. Jika hanya fleksi elbow yang diinginkan maka pronator teres bekerja
sebagai neutralizer untuk mengatasi supinasi lengan bawah.
Performa gerakan manusia secara khas melibatkan aksi yang kooperatif dari
beberapa group otot yang bekerja secara sekuensis dan saling berhubungan. Sebagai
contoh, tugas sederhana yaitu mengangkat gelas yang berisi air dari atas meja akan
memerlukan beberapa group otot yang berbeda untuk melakukan fungsi dengan cara
yang berbeda. Peran stabilizer diberikan oleh otot-otot scapula serta otot fleksor dan
ekstensor wrist. Fungsi agonis diberikan oleh otot-otot fleksor jari-jari tangan, elbow
dan shoulder. Karena fleksor shoulder yang utama yaitu otot deltoid anterior dan
pectoralis major juga menghasilkan gerak horizontal adduksi, maka horizontal
abduktor seperti otot deltoid pars middle dan supraspinatus bekerja sebagai
neutralizer. Kecepatan gerakan selama bergerak juga secara parsial dikontrol oleh
aktivitas antagonis pada ekstensor elbow. Ketika gelas tersebut diturunkan ke meja
maka gaya gravitasi berperan sebagai prime mover, sedangkan aktivitas antagonis
pada fleksor elbow dan shoulder dapat mengontrol kecepatan gerakan.
4. Otot Two-Joint dan Multijoint
Beberapa otot pada tubuh manusia dapat melewati 2 atau lebih sendi. Sebagai
contoh, biceps brachii, caput longum triceps brachii, hamstring, rectus femoris, dan

146
147

sejumlah otot-otot yang melewati wrist dan semua sendi jari-jari tangan. Semenjak
besarnya ketegangan yang ada pada beberapa otot adalah konstan sepanjang ROM
serta letak perlekatan tendon pada tulang, maka otot-otot tersebut dapat
mempengaruhi gerakan secara simultan pada kedua sendi atau semua sendi yang
dilewatinya. Efektifitas dari otot two-joint atau multijoint dalam menghasilkan
gerakan bergantung pada lokasi dan orientasi perlekatan otot yang relatif pada sendi,
adanya tightness (ketegangan yang berlebihan) atau laxity (kelenturan yang
berlebihan) pada unit musculotendinous, dan aksi otot lain yang melewati sendi.
Sedangkan otot one-joint menghasilkan gaya dalam arah yang segaris dengan
segmen tubuh, otot two-joint dapat menghasilkan gaya dengan komponen transversal
yang signifikan. Selama aktivitas yang berbasis power seperti jumping (meloncat)
dan sprint (lari cepat), otot-otot biartikular yang melewati hip dan knee khususnya
efektif dalam mengubah rotasi segmen tubuh kedalam gerak translasi seluruh tubuh
yang diinginkan.
Bagaimanapun juga, ada 2 kerugian yang berhubungan dengan fungsi otot two-
joint dan multijoint. Pertama, otot-otot tersebut tidak mampu memendek dengan luas
untuk menghasilkan full ROM pada semua sendi yang dilewatinya secara simultan,
keterbatasan ini disebut dengan aktif insuffisiensi. Sebagai contoh, fleksor jari-jari
tangan tidak dapat menghasilkan kepalan tangan yang kuat ketika wrist dalam
keadaan fleksi daripada wrist dalam keadaan neutral. Beberapa otot two-joint tidak
mampu menghasilkan gaya pada semua sendi ketika posisi kedua sendi yang dilewati
oleh otot dalam keadaan kendur maksimal. Kedua, pada sebagian besar orang, otot-
otot two-joint dan multijoint tidak dapat stretch dengan luas untuk full ROM dalam
arah yang berlawanan dengan semua sendi yang dilewatinya. Problem ini dikenal
sebagai pasif insuffisiensi. Sebagai contoh, ROM hiperekstensi yang luas mungkin
terjadi pada wrist ketika jari-jari tidak penuh ekstensi. Sebaliknya, ROM dorsifleksi
ankle yang luas dapat dihasilkan ketika knee dalam posisi fleksi karena adanya
perubahan tightness dari otot gastrocnemius.

D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Gaya Otot

147
148

Besarnya gaya yang dibangkitkan oleh otot juga berkaitan dengan kecepatan otot
berkontraksi memendek, panjang otot ketika dirangsang (berkontraksi), dan jangka
waktu sejak otot menerima stimulus. Karena faktor-faktor tersebut adalah signifikan
dalam menentukan gaya otot maka secara mendetail akan dibahas dibawah ini.
1. Hubungan gaya dan kecepatan
Gaya maksimal dari suatu otot dapat dikembangkan melalui kecepatan
kontraksi memendek atau memanjang hubungannya dengan zona kontraksi
konsentrik dan eksentrik. Hubungan gaya-kecepatan ini pertama kali dijelaskan oleh
Hill (1938) tentang perkembangan kontraksi konsentrik pada otot. Karena
hubungannya hanya untuk otot yang aktif maksimal, maka aplikasinya bukan pada
aksi otot selama aktivitas kegiatan sehari-hari.
Menurut Hill, hubungan gaya-kecepatan tidak berimplikasi bahwa tidak
mungkin menggerakkan beban yang berat pada kecepatan yang tinggi. Otot yang
lebih kuat, adalah otot yang menghasilkan ketegangan isometrik maksimum yang
besar. Besarnya gaya maksimum dapat dibangkitkan oleh otot sebelum terjadi
pemanjangan otot ketika tahanan ditingkatkan. Bagaimanapun juga, bentuk kurva
gaya-kecepatan yang umum masih sama, kaitannya dengan besarnya ketegangan
isometrik maksimum.
Hubungan gaya-kecepatan juga tidak berimplikasi bahwa tidak mungkin
menggerakkan beban yang ringan pada kecepatan yang rendah. Sebagian besar,
aktivitas kegiatan sehari-hari memerlukan gerakan yang lambat dan terkontrol
dengan beban submaksimal. Dengan beban submaksimal, kecepatan kontraksi
memendek dapat terkontrol, tetapi hanya sejumlah motor unit yang aktif. Sebagai
contoh, pensil yang dapat diambil dari meja dengan lambat atau cepat, bergantung
pada pola perekrutan motor unit yang terkontrol dalam group otot yang terlibat.
Hubungan gaya-kecepatan telah dites untuk otot skeletal, otot polos (otot
halus), dan otot jantung pada manusia, serta jaringan otot pada spesies lainnya. Pola
umum berlaku untuk seluruh tipe otot, bahkan otot kecil yang bertanggung jawab
terhadap kecepatan terbang dari sayap serangga. Nilai maksimum dari gaya pada
kecepatan zero dan nilai maksimum dari kecepatan pada beban minimal adalah

148
149

bervariasi sesuai dengan ukuran dan tipe otot. Meskipuun dasar fisiologis untuk
hubungan gaya-kecepatan kurang dipahami secara baik, namun bentuk konsentrik
dari bagian kurva berhubungan dengan besarnya produksi energi dalam otot.
Dibawah kondisi eksentrik, gaya maksimal suatu otot dapat menghasilkan gaya
yang melebihi isometrik maksimum. Bagaimanapun juga, pencapaian level gaya
yang tinggi nampak pada electrical stimulasi terhadap motor neuron. Gaya eksentrik
maksimal yang dihasilkan adalah sama dengan isometrik maksimum. Hal ini
memungkinkan karena sistem saraf memberikan inhibisi melalui jalur refleks untuk
melindungi injury otot dan tendon. Produksi gaya akan meningkat dibawah kondisi
eksentrik dengan aktivasi otot dan bukan fungsi aktivasi neural yang besar pada otot,
tetapi nampak adanya kontribusi dari komponen elastik otot.
Program strength training eksentrik dapat melibatkan penggunaan tahanan yang
lebih besar daripada kapabilitas pembangkit gaya isometrik maksimum pada atlit.
Secepatnya beban diangkat, maka otot mulai terjadi pemanjangan. Penelitian
menunjukkan bahwa tipe training ini lebih efektif daripada training konsentrik
didalam meningkatkan ukuran dan strength otot. Bagaimanapun juga, jika
dibandingkan training konsentrik dan isometrik, maka training eksentrik juga
berhubungan dengan meningkatnya nyeri otot dan kerusakan struktural.
2. Hubungan panjang otot dan ketegangan
Otot mampu menghasilkan ketegangan isometrik maksimum bergantung pada
level panjang otot. Pada serabut otot tunggal dan otot yang terisolir, pembangkit gaya
dapat mencapai puncak ketika otot dalam posisi normal resting length (bukan dalam
keadaan stretch atau memendek). Ketika panjang otot meningkat atau menurun
melewati resting length, gaya maksimum otot dapat menghasilkan penurunan,
mengikuti bentuk kurva bell.
Didalam tubuh manusia, kapabilitas pembangkit gaya dapat meningkat ketika
otot sedikit terulur. Otot dengan serabut paralel menghasilkan ketegangan maksimum
diatas posisi resting length, dan otot dengan serabut pennate dapat membangkitkan
ketegangan maksimum antara 120% dan 130% dari posisi resting length. Fenomena
ini dihasilkan dari kontribusi komponen elastik otot (khususnya SEC), yang dapat

149
150

menambah ketegangan yang ada pada otot ketika otot terulur. Penelitian
menunjukkan bahwa latihan eksentrik dapat menghasilkan sedikit peningkatan dan
peningkatan yang sementara dalam panjang otot sehingga dapat mengganggu
perkembangan gaya ketika derajat sendi menyebabkan otot tidak cukup dalam posisi
stretch.
3. Siklus stretch-shortening
Ketika otot secara aktif dalam posisi terulur sebelum kontraksi, maka kontraksi
yang dihasilkan lebih kuat daripada tidak ada stretch sebelumnya. Pola kontraksi
eksentrik ini diikuti dengan cepat oleh kontraksi konsentrik yang dikenal dengan
siklus stretch-shortening (SSC). Secara substansial, suatu otot dapat melakukan kerja
yang lebih besar ketika otot secara aktif terulur sebelum kontraksi memendek
daripada otot langsung berkontraksi memendek. Suatu eksperimen yang melibatkan
gerak dorsifleksi yang kuat diikuti dengan plantar fleksi dengan kecepatan yang
lambat dan cepat, maka SSC memberikan kontribusi sekitar 20,2% dan 42,5% secara
berturut-turut, untuk melakukan kerja positif. Kapasitas metabolik yang diberikan
pada kerja mekanikal juga berkurang ketika SSC ikut terlibat daripada tanpa
keterlibatan SSC.

E. Kekuatan (strength), daya ledak (power), dan daya tahan (endurance) otot
Dalam evaluasi praktis terhadap fungsi otot, karakteristik pembangkit gaya pada
otot telah dibahas dalam konsep strength, power, dan endurance otot. Karakteristik
tersebut memiliki implikasi yang signifikan terhadap kesuksesan pada bentuk aktivitas
fisik berat yang berbeda, seperti memotong kayu, lempar lembing, atau mendaki gunung.
Diantara orang-orang senior dan setiap individu dengan gangguan neuromuskular atau
injury, mempertahankan strength dan endurance otot yang cukup adalah esensial untuk
melakukan aktivitas kegiatan sehari-hari dan menghindari injury.
Kekuatan (strength) otot
Ketika para ahli memotong suatu otot dari percobaan binatang dan memberikan
electrical stimulasi pada otot tersebut dalam laboratorium, mereka langsung dapat
mengukur gaya yang dibangkitkan oleh otot.

150
151

Sebagian besar pemeriksaan langsung pada strength otot yang umum dilakukan
adalah pengukuran torque/gaya otot yang dibangkitkan oleh seluruh group otot pada
suatu sendi. Lebih spesifik, strangth otot adalah kemampuan suatu group otot untuk
membangkitkan torque/gaya pada sendi tertentu.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa torque adalah produk dari gaya dan lengan
momen gaya, atau jarak perpendicular dimana gaya bekerja dari suatu axis rotasi. Oleh
karena itu, kekuatan otot berasal dari besarnya ketegangan otot yang dapat dibangkitkan
dan lengan moment gaya dari otot ke pusat sendi. Kedua sumber tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor.
Kapabiltas otot membangkitkan tension berkaitan dengan area cross-sectional otot
dan kondisi training yang diberikan. Kapabilitas pembangkit gaya per area cross-
sectional otot adalah sekitar 90 N/cm2. Dengan training strength konsentrik dan
eksentrik, perolehan strength diatas sekitar 12 minggu pertama kelihatannya
berhubungan lebih banyak pada perbaikan innervasi pada otot yang dilatih daripada
peningkatan area cross-sectional otot tersebut.
Suatu lengan moment gaya dapat dipengaruhi oleh 2 faktor yang sama penting.
Pertama, jarak antara perlekatan anatomical otot pada tulang dengan axis rotasi pada
pusat sendi, dan kedua adalah sudut perlekatan otot pada tulang khususnya fungsi relatif
dari derajat sendi. Torque/gaya yang sangat besar dihasilkan oleh ketegangan maksimum
dalam otot dengan orientasi 90o membentuk sudut terhadap tulang, dan secara anatomical
melekat jauh dari pusat sendi.
Daya ledak (power) otot
Mekanikal power adalah produk dari gaya dan kecepatan. Oleh karena itu, power
otot merupakan produk gaya otot dan kecepatan kontraksi memendek dari otot. Power
maksimum terjadi sekitar 1/3 kecepatan maksimum dan sekitar 1/3 gaya konsentrik
maksimum. Penelitian menunjukkan bahwa training yang didesain untuk meningkatkan
power otot diatas lingkup tahanan terjadi paling efektif dengan beban 1/3 dari 1 kali
repetisi maksimum.
Karena bukan gaya otot maupun kecepatan kontraksi memendek otot yang dapat
diukur secara langsung pada tubuh mannusia, maka power otot secara umum

151
152

didefinisikan sebagai kecepatan produksi torque pada sendi, atau produk resultan
torque/gaya dan kecepatan angular pada sendi. Maka dari itu, power otot dipengaruhi
oleh kekuatan otot (strength) dan kecepatan gerakan.
Power otot merupakan kontributor yang penting untuk aktivitas yang memerlukan
kekuatan otot (strength) dan kecepatan. Atlit lempar peluru yang sangat kuat pada suatu
tim tidak diperlukan sebagai pelempar terbaik, karena kemampuan untuk akselerasi
melempar peluru merupakan komponen utama dalam kesuksesan pertandingan.
Beberapa olahraga yang memerlukan gerakan dengan daya ledak yang tinggi, seperti atlit
angkat berat, pelempar, peloncat, dan atlit sprint (lari jarak pendek) didasarkan pada
kemampuan untuk membangkitkan power otot.
Semenjak serabut FT (fast-twitch) menghasilkan ketegangan yang lebih cepat
daripada serabut ST (slow twitch), maka persentase serabut FT yang besar pada otot
merupakan aset untuk individual training dalam rangka pertandingan yang menuntut
power otot. Setiap individu yang dominan serabut FT-nya dapat membangkitkan lebih
besar power daripada individu yang memiliki komposisi persentase serabut ST yang
tinggi. Setiap individu dengan komposisi serabut FT yang tinggi juga dapat
menghasilkan power maksimum dengan kecepatan kontraksi memendek yang tinggi.
Rasio untuk nilai rata-rata dari produksi power pada serabut tipe IIb, IIa, dan tipe I dalam
otot skeletal adalah 10 : 5 : 1.
Daya tahan (endurance) otot
Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk menghasilkan ketegangan/kontraksi
dalam jangka waktu yang lama. Ketegangan/kontraksi dapat terjadi secara konstan,
sebagaimana ketika atlit gymnastik melakukan aksi melintasi besi secara berulang kali,
atau berputar-putar yang beragam, selama mendayung, berlari, dan bersepeda. Jika
waktu ketegangan/kontraksi yang terjadi lebih lama maka daya tahan ototnya lebih besar.
Meskipun kekuatan maksimum dan power maksimum pada otot adalah relatif konsep
spesifik, daya tahan otot kurang dipahami dengan baik karena tuntutan gaya dan
kecepatan dalam aktivitas secara dramatis mempengaruhi panjangnya waktu yang dapat
dipertahankan.

152
153

Training untuk daya tahan otot secara khusus melibatkan sejumlah repetisi yang
besar melawan tahanan/beban yang relatif ringan. Tipe training ini tidak meningkatkan
diameter serabut otot.

BIOMEKANIK ELBOW DAN FOREARM (LENGAN BAWAH) KOMPLEKS

A. Bagian-bagian tulang yang membentuk Elbow dan Forearm Kompleks adalah os


humerus bagian distal, os radius dan ulna.

B. Sendi-sendi dan Gerakannya

1. Kapsul elbow joint membungkus 3 sendi, yaitu :


a. Humeroulnar joint, yang merupakan sendi utama untuk gerakan
fleksi dan ekstensi elbow.
b. Humeroradial joint, yang ikut bergerak saat gerakan fleksi dan
ekstensi tetapi sendi ini terutama mempengaruhi pronasi dan supinasi.
c. Proximal radioulnar joint, yang berpartisipasi dalam gerakan pronasi
dan supinasi.

2. Distal radioulnar joint


Secara struktural sendi ini terpisah dari elbow kompleks tetapi bergerak secara
simultan dengan proximal radioulnar joint sebagai suatu unit fungsional untuk
gerakan pronasi dan supinasi.

3. Karakteristik elbow joint

153
154

Elbow joint adalah sendi gabungan dengan kapsul sendi yang lentur/kendor,
distabilisasi oleh 2 ligamen utama yaitu ligamen collateral medial (ulnar) dan
ligamen collateral lateral (radial). Ligamen collateral medial terdiri atas : serabut
anterior yang memperkuat ligamen annular, serabut intermediate yang paling kuat,
dan serabut posterior atau ligamen Bardinet yang diperkuat oleh serabut transversal
dari ligamen Cooper. Sedangkan ligamen collateral lateral terdiri atas : serabut
anterior yang memperkuat ligamen annular kearah anterior, serabut intermediate
yang memperkuat ligamen annulare kearah posterior, dan serabut posterior. Kearah
anterior kapsul sendi diperkuat oleh ligamen anterior dan ligamen anterior oblique
serta kearah posterior diperkuat oleh serabut ligamen posterior.

a. Humeroulnar joint
1) Sendi ini merupakan modifikasi hinge joint. Kearah medial
terdapat trochlea humeri yang berbentuk hourglass pada ujung distal humerus
dengan permukaan konveks. Permukaan trochlea humeri menghadap ke
anterior dan bawah membentuk 45o dari shaft/corpus humerus. Fossa
trochlearis yang konkaf pada ujung proximal ulna menghadap ke atas dan
anterior membentuk 45o dari ulna.
2) Diduga bahwa sulcus trochlearis terletak dalam bidang sagital
tetapi dalam fakta sulcus trochlearis terletak secara oblique dan bukan
vertikal. Hal ini bervariasi pada setiap orang. Pada umumnya bagian anterior
sulcus nampak vertikal dan bagian posterior sulcus nampak berjalan oblique
kearah distal lateral, sehingga pada saat ekstensi full terbentuk carrying angle
pada lengan (carrying angle normal = 15o).
3) Gerakan utama adalah fleksi dan ekstensi; fossa yang konkaf
slide dalam arah yang sama dengan gerakan ulna.
4) Pada gerakan fleksi - ekstensi terjadi juga sedikit slide ke
medial dan lateral untuk memberikan gerakan full ROM; hal ini
menghasilkan suatu valgus angulasi yang selalu menyertai gerakan ekstensi
elbow dan varus angulasi yang selalu menyertai gerakan fleksi elbow. Ketika
tulang bergerak dalam arah medial dan lateral maka tepi trochlearis adalah

154
155

permukaan konveks, sedangkan sulcus trochlearis adalah permukaan konkaf


sehingga sliding ulna dalam arah yang berlawanan dengan gerakan tulang.
Gerak Fisiologis ulna Arah slide ulna terhadap trochlea
Fleksi Distal/anterior 45o
Varus angulasi Lateral
Ekstensi Proximal/posterior 45o
Valgus angulasi Medial
b. Humeroradial joint
1) Sendi ini adalah hinge-pivot joint. Kearah lateral terdapat
capitulum humeri yang berbentuk bola pada ujung distal humerus dengan
permukaan konveks. Tulang pasangannya yang konkaf adalah caput radius
pada ujung proksimal radius.
2) Pada saat fleksi dan ekstensi elbow, caput radius yang konkaf
akan slide dalam arah yang sama dengan gerakan tulang. Saat gerakan
pronasi dan supinasi forearm (lengan bawah), caput radius akan mengalami
spin terhadap capitulum humeri.
Gerak fisiologis radius Arah slide radius terhadap capitulum
Fleksi Anterior
Ekstensi Posterior
4. Karakteristik forearm (lengan bawah) joint
Baik proksimal radioulnar dan distal radioulnar joint adalah uniaxial pivot joint yang
berfungsi sebagai satu sendi untuk menghasilkan pronasi dan supinasi (rotasi)
forearm (lengan bawah).

a. Proksimal (superior) radioulnar joint


1) Sendi ini didalam kapsul elbow joint tetapi merupakan suatu
sendi yang berbeda. Sendi ini diperkuat oleh ligamen annulare yang dibantu
oleh serabut anterior ligamen collateral lateral dan serabut anterior ligamen
collateral medial.
2) Tulang radius dan ulna distabilisasi dengan kuat oleh membran
interosseous.

155
156

3) Cincin caput radius yang konveks bersendi dengan fossa


radialis ulna yang konkaf sehingga saat rotasi radius cincin caput radius yang
konveks bergerak dalam arah yang berlawanan dengan gerakan tulang.
Gerak fisiologis radius Arah slide proksimal radius terhadap ulna
Pronasi Posterior (dorsal)
Supinasi Anterior (volar

4) Saat rotasi caput radialis terjadi spin pada ligamen annularis


dan berlawanan arah dengan capitulum humeri.

b. Distal (inferior) radioulnar joint


1) Fossa ulnaris radius yang konkaf pada ujung distal radius
bersendi dengan bagian caput ulna yang konveks.
2) Saat gerakan fisiologis, permukaan sendi dari radius akan slide
dalam arah yang sama.
Gerak fisiologis radius Arah slide distal radius terhadap ulna
Pronasi Anterior (volar)
Supinasi Posterior (dorsal)

C. Fungsi Otot pada Elbow dan Forearm

1. Otot-otot Fleksor Elbow


a. Brachialis
Brachialis adalah otot one-joint yang berinsersio dekat dengan axis gerak pada
ulna, sehingga otot ini tidak dipengaruhi oleh posisi forearm (lengan bawah) atau
shoulder; otot ini berpartisipasi dalam semua aktivitas fleksi elbow.
b. Biceps brachii
Biceps adalah otot two-joint yang melewati baik pada shoulder dan elbow serta
berinsersio dekat dengan axis gerak pada radius, sehingga otot ini juga berperan
sebagai supinator forearm (lengan bawah). Otot ini berfungsi paling efektif
sebagai fleksor elbow antara fleksi 80o dan 100o. Untuk menghasilkan hubungan
panjang otot - ketegangan otot yang optimal maka sebaiknya shoulder
diextensikan untuk memanjangkan otot biceps ketika otot tersebut berkontraksi
sangat kuat untuk fungsi elbow dan forearm (lengan bawah).

156
157

c. Brachioradialis
Saat insersionya dari elbow dengan jarak yang luas ke distal radius, maka
brachioradialis berfungsi utama untuk memberikan stabilitas pada sendi, tetapi
otot ini juga berpartisipasi saat kecepatan gerak fleksi meningkat dan saat beban
diaplikasikan pada forearm (lengan bawah) dari midsupinasi ke full pronasi.

2. Otot-otot Ekstensor Elbow


a. Triceps brachii
Caput longum triceps melewati shoulder dan elbow joint; 2 caput lainnya adalah
uniaxial. Caput longum berfungsi paling efektif sebagai ekstensor elbow jika
disertai dengan fleksi shoulder secara simultan; hal ini untuk mempertahankan
hubungan panjang otot - ketegangan otot yang optimal pada otot.

b. Anconeus
Otot ini menstabilisasi elbow selama supinasi dan pronasi serta membantu
gerakan ekstensi elbow.

3. Otot-otot supinator forearm


a. Biceps brachii
b. Supinator
Perlekatan proksimal dari otot supinator pada ligamen annular dan collateral
lateral dapat berfungsi untuk menstabilisasi aspek lateral dari elbow.
Efektifitasnya sebagai supinator tidak dipengaruhi oleh posisi elbow sebagaimana
biceps brachii.

4. Otot-otot pronator forearm


a. Pronator teres
Otot ini menghasilkan gerak pronasi serta menstabilisasi proksimal radioulnar
joint dan membantu humeroradialis joint.
b. Pronator quadratus

157
158

Pronator quadratus adalah otot one-joint dan bekerja aktif selama semua aktivitas
pronasi.

D. Otot-otot Wrist dan Tangan


Beberapa otot yang bekerja pada wrist dan tangan melekat pada bagian distal
(epicondylus) dari humerus. Otot-otot tersebut memberikan gerakan pada jari-jari dan
wrist, apakah forearm dalam posisi pronasi atau supinasi.
1. Yang berorigo pada epicondylus medial humeri adalah fleksor carpi radialis,
fleksor carpi ulnaris, palmaris longus, serta fleksor digitorum superfisialis dan
profundus.
2. Yang berorigo pada epicondylus lateral humeri adalah ekstensor carpi radialis
longus dan brevis, ekstensor carpi ulnaris, dan ekstensor digitorum.
3. Otot-otot tersebut memberikan stabilitas pada elbow joint tetapi sedikit
memberikan kontribusi terhadap gerakan pada elbow. Posisi elbow akan
mempengaruhi hubungan panjang ketegangan dari otot selama aksi otot-otot tersebut
pada wrist dan tangan.

E. Analisis gerak
1. Ada 2 permukaan sendi yang konkaf pada humeroulnar joint yaitu fossa
coronoid dan fossa olecranon. Kearah anterior processus coronoid akan masuk ke
fossa coronoid selama gerak fleksi, dan kearah posterior processus olecranon akan
masuk ke fossa olecranon selama gerak ekstensi. Kedua fossa tersebut dapat
meningkatkan ROM fleksi dan ekstensi elbow, ditambah pula oleh adanya fossa
trochlearis ulna yang memberikan ROM yang luas dengan menghasilkan gerak slide
diatas trochlea humeri.
2. Pada saat gerak ekstensi dihambat oleh kontak processus olecranon pada
fossa olecranon, ketegangan ligamen anterior sendi, stretch otot fleksor elbow. ROM
ekstensi 0o - 5o/10o.
3. Pada saat gerak fleksi aktif dihambat oleh pertemuan otot anterior lengan
(biceps brachii) dengan otot anterior lengan bawah, sedangkan gerak fleksi pasif
terjadi relaksasi otot sehingga lebih utama dihambat oleh kontak caput radii melawan

158
159

fossa radialis humeri dan processus coronoid melawan fossa coronoid humeri,
ditambah pula ketegangan kapsul ligamen bagian posterior dan stretch otot triceps.
ROM aktif fleksi adalah 0o - 145o sedangkan pasif fleksi 0o - 160o.
4. Pada saat supinasi membran interosseous, kapsul ligamen bagian anterior dan
ligamen annulare menjadi tegang sehingga menghambat gerak tersebut.
5. Pada saat pronasi, secara mekanikal dibatasi oleh gerak radius yang
menyilang diatas ulna dan kontak melawan ulna.
F. Asas

BIOMEKANIK WRIST DAN TANGAN

A. Bagian-bagian Tulang
1. Wrist
Bagian-bagian tulang pada wrist adalah distal radius, scaphoid (S), lunatum (L),
triquetrum (Tri), pisiform (P), trapezium (Tm), trapezoid (Tz), capitatum (C), dan
hamatum (H).
2. Hand (tangan)
Bagian-bagian tulang pada hand terdiri atas 5 tulang metacarpal dan 14 phalangeal
yang membentuk tangan dan 5 jari-jari.

B. Sendi-sendi Wrist Kompleks dan Gerakannya


1. Wrist Kompleks
Wrist kompleks adalah multiartikular dan terbentuk dari 2 sendi gabungan. Wrist
kompleks adalah biaxial yang menghasilkan gerakan fleksi (palmar fleksi), ekstensi
(dorsal fleksi), radial deviasi (abduksi), dan ulnar deviasi (adduksi).
2. Radiocarpal joint
a. Sendi ini terbungkus oleh kapsul yang lentur tapi kuat, diperkuat
oleh ligamen-ligamen yang juga memperkuat midcarpal joint. Ligamen yang

159
160

memperkuat radiocarpal joint adalah ligamen collateral lateral (radial) dan medial
(ulnar), serta ligamen anterior (memiliki 2 serabut yaitu serabut radiocarpal
anterior dan serabut ulnocarpal anterior) dan posterior.
b. Permukaan sendi yang bikonkaf adalah ujung distal radius dan
diskus radioulnar (diskus artikularis); permuakaan sendi ini menghadap sedikit
kearah volar/palmar dan ulnar.
c. Permukaan sendi yang bikonveks adalah kombinasi permukaan
proksimal dari scaphoid, lunatum dan triquetrum. Triquetrum secara utama
bersendi dengan diskus. Tiga tulang carpal tersebut terikat secara bersamaan
dengan sejumlah ligamen interosseous.
d. Saat terjadi gerakan-gerakan wrist, baris proksimal tulang carpal
yang konveks akan slide dalam arah yang berlawanan dengan gerak fisiologis
tangan.
Gerak fisiologis wrist Arah slide dari carpal terhadap radius
atau diskus
Fleksi Dorsal
Ekstensi Volar
Radial deviasi Ulnar
Ulnar deviasi Radial
e. Selama radial deviasi ligamen collateral medial menjadi tegang, dan
selama ulnar deviasi ligamen collateral lateral menjadi tegang.
f. Selama gerak fleksi wrist ligamen posterior radiocarpal menjadi
tegang, selama gerak ekstensi wrist ligamen anterior radiocarpal dan ulnocarpal
menjadi tegang.

3. Midcarpal joint
a. Sendi ini merupakan sendi gabungan antara 2 baris carpal. Sendi ini
memiliki kapsul yang juga bersambung dengan sendi-sendi intercarpal. Sendi ini
diperkuat oleh ligamen interosseous dan ligamen-ligamen midcarpal yang
berjalan dari baris proksimal ke distal.
b. Kombinasi permukaan distal dari scaphoid, lunatum dan triquetrum
bersendi dengan kombinasi permukaan proksimal dari trapezium, trapezoid,
capitatum dan hamatum.
1) Permukaan sendi dari capitatum dan hamatum adalah konveks
dan slide terhadap permukaan sendi yang konkaf pada bagian scaphoid,
lunatum dan triquetrum.
2) Permukaan sendi dari trapezium dan trapezoid adalah konkaf
dan slide terhadap permukaan distal yang konveks pada scaphoid.
c. Saat terjadi gerak fisiologis dari wrist, suatu gerakan kompleks terjadi antara
tulang-tulang carpal.
Gerak fisiologis dari wrist Arah slide dari tulang-tulang carpal
Bagian distal kaitannya dengan tulang-
tulang carpal bagian proksimal
Fleksi C dan H - dorsal
Tm dan Tz - volar (palmar).

160
161

Ekstensi C dan H - volar (palmar)


Tm dan Tz - dorsal.
Radial deviasi C dan H - ulnar
Tm dan Tz - dorsal.
Ulnar deviasi C dan H - radial
Tm dan Tz - volar (palmar).
d. Midcarpal joint memberikan kontribusi yang besar saat gerakan fleksi wrist
(palmar fleksi) dan ekstensi wrist (dorsofleksi).
4. Pisiform
Pisiform dikategorisasikan sebagai tulang carpal dan sebaris dengan triquetrum pada
bagian volar (palmar) di baris proksimal dari tulang carpal. Pisiform bukan
merupakan bagian dari wrist joint tetapi berfungsi sebagai tulang sesamoid pada
tendon fleksor carpi ulnaris.
5. Ligamen-ligamen
Stabilitas dan beberapa gerakan pasif dari wrist kompleks dihasilkan oleh sejumlah
ligamen-ligamen yaitu ligamen collateral ulnar dan radial, ligamen radiocarpal dorsal
dan volar (palmar), ligamen ulnocarpal dan ligamen intercarpal.

C. Sendi-sendi Hand (tangan) Kompleks dan Gerakannya


1. Carpometacarpal (CMC) joint pada jari 2 - 5
a. Sendi-sendi ini terbungkus dalam suatu cavitas (rongga) sendi
secara umum dan mencakup sendi-sendi setiap metacarpal yang bersendi dengan
baris distal tulang carpal dan sendi-sendi antara setiap basis metacarpal.
b. Sendi-sendi jari 2, 3 dan 4 merupakan plane uniaxial joint; sendi jari
5 adalah biaxial joint. Sendi-sendi tersebut distabilisasi oleh ligamen-ligamen
transversal dan longitudinal. Metacarpal V adalah sendi yang paling mobile
(paling luas gerakannya), diikuti oleh metacarpal IV yang merupakan sendi
mobile berikutnya.
c. Fleksi semua metacarpal ditambah dengan adduksi metacarpal V
dapat memberikan kontribusi terbentuknya cupping/arching (mangkok/lengkung)
pada tangan, sehingga dapat memperbaiki gerakan memegang/menjepit
(prehension).

Gerak fisiologis dari metacarpal Arah slide dari metacarpal terhadap


Tulang-tulang carpal
Fleksi (cupping/lengkung) Volar (palmar)
Ekstensi (flattening/datar) Dorsal
2. Carpometacarpal (CMC) joint pada ibu jari
a. Sendi ini adalah berbentuk saddle biaxial joint antara trapezium dan
basis metacarpal I. Sendi ini memiliki kapsul yang lentur dan ROM yang luas,
yang dapat memberikan ibu jari bergerak jauh dari palmar tangan untuk gerak
opposisi pada aktivitas prehension (aktivitas memegang/menjepit).

161
162

b. Untuk gerakan fleksi-ekstensi ibu jari (komponen-komponen


opposisi-reposisi secara berurutan) terjadi pada bidang gerak frontal, permukaan
trapezium adalah konveks dan basis metacarpal I adalah konkaf; oleh karena itu,
permukaan sendinya akan slide dalam arah yang sama dengan gerak angulasi
tulang.
c. Untuk gerakan abduksi-adduksi ibu jari, terjadi dalam bidang gerak
sagital, permukaan trapezium adalah konkaf dan metacarpal I adalah konveks;
oleh karena itu, permukaan sendinya akan slide dalam arah yang berlawanan
dengan gerak angulasi tulang.
Gerak fisiologis dari metacarpal I Arah slide Basis Metacarpal
Fleksi Ulnar
Ekstensi Radial
Abduksi Dorsal
Adduksi Volar (palmar)
3. Metacarpophalangeal (MCP) joints
a. Sendi-sendi MCP joint adalah biaxial condyloid joint dengan ujung
distal setiap metacarpal adalah konveks dan phalanx proksimal adalah konkaf,
distabilisasi oleh ligamen-ligamen volar (palmar) dan 2 ligamen collateral.
Ligamen-ligamen collateral menjadi tegang saat gerakan full fleksi serta
mencegah abduksi dan adduksi dalam posisi full fleksi.
b. MCP ibu jari berbeda dengan yang lainnya karena diperkuat oleh 2
tulang sesamoid serta memiliki gerak abduksi dan adduksi yang minimal saat
posisi ekstensi.
Gerak fisiologis dari Phalanx I Arah slide dari Phalanx I
Fleksi Volar (Palmar)
Ekstensi Dorsal
Abduksi Menjauh dari pusat tangan
Adduksi Kearah pusat tangan.
4. Interphalangeal (IP) joints
a. Interphalangeal joint terdiri dari proximal interphalangeal (PIP) dan
distal interphalangeal (DIP) joint pada setiap jari tangan yaitu jari 2 - 5; ibu jari
hanya memiliki satu interphalangeal joint. Setiap sendi adalah uniaxial hinge
joint. Permukaan sendi pada ujung distal setiap phalanx adalah konveks;
permukaan sendi pada ujung proksimal setiap phalanx adalah konkaf.
b. Setiap kapsul sendi diperkuat oleh ligamen-ligamen collateral.
c. Berjalan dari radial ke ulnar, terjadi peningkatan ROM fleksi-
ekstensi pada sendi-sendi tersebut. Hal ini dapat memberikan gerakan opposisi
yang lebih besar pada jari-jari sisi ulnar sampai ibu jari dan juga menyebabkan
genggaman yang lebih kuat pada sisi ulnar.
Gerak fisiologis dari setiap phalanx Arah slide dari Basis Phalanx
Fleksi Volar (palmar)
Ekstensi Dorsal.

D. Fungsi Tangan

162
163

1. Hubungan panjang otot - ketegangan otot


Posisi wrist mengontrol panjang otot-otot ekstrinsik pada jari-jari tangan.
a. Pada saat jari-jari atau ibu jari fleksi, wrist harus distabilisasi oleh
otot-otot ekstensor wrist untuk mencegah fleksor digitorum profundus dan
superfisialis atau fleksor pollicis longus menghasilkan gerak fleksi wrist secara
simultan. Pada saat genggaman menjadi lebih kuat, maka secara sinkronisasi
terjadi ekstensi wrist dengan memanjangkan tendon-tendon fleksor ekstrinsik
yang melewati wrist dan mempertahankan semua unit musculotendinogen yang
lebih baik untuk kontraksi yang lebih kuat.
b. Untuk gerakan ekstensi jari-jari atau ibu jari yang kuat, otot-otot
fleksor wrist menstabilisasi atau memfleksikan wrist sehingga otot ekstensor
digitorum communis, ekstensor indicis, ekstensor digiti minimi, atau ekstensor
pollicis longus dapat berfungsi lebih efisien. Disamping itu, terjadi gerakan ulnar
deviasi; otot fleksor dan ekstensor carpi ulnaris bekerja aktif pada saat tangan
membuka.
2. Gerak cupping (lengkung) dan flattening (datar)
Gerak cupping dari tangan terjadi saat fleksi jari-jari tangan, dan gerak flattening dari
tangan terjadi saat ekstensi jari-jari tangan. Gerak cupping dapat memperbaiki
mobilitas tangan untuk penggunaan fungsional tangan dan gerak flattening untuk
membebaskan objek-objek.
3. Mekanisme ekstensor
Secara struktural, sarung ekstensor dibentuk oleh tendon ekstensor digitorum
communis, jaringan konnektifnya meluas, dan serabut-serabut dari tendon interossei
dorsal dan volar (palmar) serta lumbrical. Setiap struktur memiliki efek terhadap
mekanisme ekstensor.
a. Kontraksi yang terisolir dari otot ekstensor digitorum dapat
menghasilkan gerak clawing dari jari-jari tangan (MCP hiperekstensi disertai
dengan fleksi IP karena adanya tarikan pasif tendon-tendon fleksor ekstrinsik).
b. Ekstensi PIP dan DIP terjadi secara bersamaan dan dapat
disebabkan oleh otot-otot interossei atau lumbrical melalui tarikan otot tersebut
pada sarung ekstensor.
c. Disana harus terjadi ketegangan pada tendon ekstensor digitorum
communis untuk menghasilkan gerakan ekstensi interphalangeal. Hal ini terjadi
karena adanya kontraksi aktif dari otot, yang menyebabkan ekstensi MCP secara
bersamaan dengan kontraksi otot intrinsik, atau karena adanya stretch
(penguluran) dari tendon yang terjadi saat fleksi MCP.
4. Pola menggenggam dan memegang/menjepit
Sifat alamiah dari aktivitas yang diharapkan dapat menjelaskan tipe genggaman yang
digunakan
a. Power grip melibatkan gerakan menjepit suatu objek dengan fleksi
jari-jari secara parsial melawan palmar tangan, disertai dengan counterpressure
dari adduksi ibu jari. Power grip secara utama merupakan fungsi isometrik. Jari-
jari difleksikan, dirotasikan ke lateral dan ulnar deviasi. Besarnya gerak fleksi
bervariasi sesuai dengan object yang dipegang. Ibu jari memperkuat jari-jari

163
164

memegang dan membantu membentuk penyesuaian yang kecil untuk kontrol arah
gaya. Beberapa variasi adalah cylindrical grip, spherical grip, hook grip, dan
lateral prehension.
b. Pola-pola precision melibatkan gerakan memanipulasi suatu objek
yang tidak kontak dengan palmar tangan antara gerak opposisi abduksi ibu jari
dan jari-jari tangan. Otot-otot secara utama berfungsi secara isotonik. Permukaan
sensorik dari jari-jari digunakan untuk input sensorik maksimum dalam rangka
mempengaruhi penyesuaian yang nyaman (enak). Dengan objek yang kecil,
pegangan yang tepat terjadi secara utama antara ibu jari dan jari telunjuk.
Beberapa variasi adalah pad-to-pad, tip-to-tip, dan pad-to-side prehension.
c. Kombinasi grip melibatkan jari tangan 1 dan 2 (kadang-kadang jari
3) dalam melakukan aktivitas yang tepat/sesuai, sedangkan jari tangan 3 - 5
menambah/ melengkapi power genggaman.

E. Kontrol Tangan
1. Kontrol tangan tanpa beban (bebas)
Melibatkan faktor-faktor anatomik, kontraksi otot dan unsur-unsur viskoelastik dari
otot.
a. Gerakan clawing hanya terjadi dari kontraksi otot ekstrinsik.
b. Gerakan menutup hanya dapat terjadi dari kontraksi otot ekstrinsik
tetapi juga memerlukan gaya viskoelastik dari interossei biartikular.
c. Gerakan membuka memerlukan kontraksi yang sinergis dari otot
ekstensor ekstrinsik dan lumbrical.
d. Gerakan reciprokal dari fleksi MCP dan ekstensi IP disebabkan oleh
otot interossei. Otot lumbrical melepaskan ketegangan viskoelastik dari tendon
profundus dan membantu ekstensi IP.
2. Power grip
a. Otot fleksor ekstrinsik menghasilkan gaya menggenggam yang
utama.
b. Otot ekstensor ekstrinsik menghasilkan gaya kompressi untuk
mencegah subluksasi sendi jari-jari tangan.
c. Otot interossei merotasikan phalanx I untuk posisi menekan objek
eksternal dan juga memfleksikan MCP joint.
d. Otot lumbrical tidak berpartisipasi dalam power grip (kecuali jari
IV).
e. Otot-otot thenar dan adductor pollicis menghasilkan gaya-gaya
kompressi melawan objek yang sedang digenggam.
3. Pegangan yang tepat
a. Otot-otot ekstrinsik menghasilkan gaya kompressi untuk
mempertahankan objek antara jari-jari dan ibu jari.
b. Untuk manipulasi suatu objek, otot interossei menghasilkan abduksi
dan adduksi jari-jari, otot-otot thenar mengontrol gerakan ibu jari, dan otot-otot
lumbrical membantu menggerakkan objek menjauh dari palmar tangan. Besarnya
partisipasi setiap otot bervariasi, sesuai dengan besar dan arah gerakan.

164
165

4. Mencubit/menjepit
Gaya kompressi antara ibu jari dan jari-jari dihasilkan oleh otot-otot thenar yang
menonjol, adduktor pollicis, interossei dan otot-otot fleksor ekstrinsik. Otot-otot
lumbrical juga berpartisipasi.

F. Analisis gerak
1. Selama gerakan radial deviasi (abduksi) dan ulnar deviasi (adduksi)
midcarpal joint memberikan kontribusi terhadap luas ROM gerakan tersebut. Pada
radial deviasi dengan ROM 15o pada radiocarpal, midcarpal joint juga menghasilkan
ROM 8o. Pada ulnar deviasi dengan ROM 45o pada radiocarpal, midcarpal joint juga
menghasilkan ROM 15o.
2. Gerakan radial deviasi (abduksi) memiliki ROM yang lebih terbatas daripada
gerakan ulnar deviasi (adduksi). Hal ini disebabkan oleh terjadinya kontak antara
scaphoid dengan processus styloideus radii, dimana processus styloideus radii lebih
menonjol kearah distal dari processus styloideus ulna.
3. Selama gerakan fleksi dan extensi wrist, midcarpal joint juga ikut berperan.
Pada gerak fleksi wrist dengan ROM 50o pada radiocarpal joint juga menghasilkan
ROM 35o pada midcarpal joint. Sedangkan pada gerak ekstensi wrist, terjadi
sebaliknya dimana ROM pada radiocarpal joint sebesar 35o dan midcarpal joint
terjadi ROM sebesar 50o.

G. Asas

165
166

166

Anda mungkin juga menyukai