Anda di halaman 1dari 37

Sejarah Perang Dingin: Latar Belakang,

Faktor Penyebab, Dampak


 Peristiwa Perang Dingin atau yang juga sering disebut dengan istilah Cold War.
Perang Dingin ini menjadi salah satu peristiwa yang cukup berpengaruh di dunia. Pada
saat terjadinya Cold War telah terjadi ketegangan yang harus melibatkan Blok Timur dan
Blok Barat. Dimana Blok Timur merupakan daerah kekuasaan Uni Soviet,  sementara
Blok Barat merupakan kekuasaan dari Amerika Serikat.
Peristiwa ini berlangsung cukup lama dan melahirkan berbagai peristiwa sebagai
dampak atas peristiwa tersebut. Bahkan dampaknya bisa dirasakan hingga sekarang.

1. Latar Belakang Mencuatnya Perang Dingin

Perang Dingin merupakan sebuah peristiwa yang cukup bersejarah bagi dunia.
Ada berbagai hal di dunia yang dipengaruhi  oleh adanya Perang Dingin ini. Perang
Dingin ini terjadi antara Blok Barat dan Blok Timur. Dimana Blok Barat dikuasai oleh
Amerika serikat dan Blok Timur dikuasai oleh Uni Soviet. Setelah berakhirnya Perang
Dunia II, telah lahir sebuah kemenangan antara negara Amerika Serikat dan juga Uni
Soviet. Keduanya merupakan sama-sama negara yang kuat.dan dari keduanya pula
timbul persaingan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya Cold War.
Tidak hanya itu, ada berbagai hal yang menjadi latar belakang terjadinya Perang Dingin
ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
 Munculnya Uni Soviet Sebagai Negara Adidaya yang Membebaskan Eropa
Bagian Timur Dari Kekuasaan Jerman
Pada masa Perang Dunia II, terdapat beberapa negara Eropa bagian timur yang kala itu
menjadi bagian dari kekuasaan Jerman. Semenjak kemenangan Uni Soviet dalam Perang
Dunia II, Uni Soviet telah berhasil membebaskan beberapa negara Eropa bagian timur
tersebut dari kekuasaan Jerman.
Beberapa negara tersebut antara lain adalah Bulgaria, Cekoslovakia, Polandia, Hongaria
dan Rumania yang akhirnya masuk ke dalam pemerintahan komunis Rusia.
 Munculnya Amerika Serikat Sebagai Negara yang Menjadi Pemenang Dalam
Perang Dunia II Dari Pihak Sekutu
Pada saat terjadinya Perang Dunia II yang menjadi pihak sekutu adalah Perancis, Inggris
dan Amerika Serikat. Dalam perang  kali ini, negara adidaya Amerika Serikat memiliki
peranan yang penting dalam memperbaiki sistem perekonomian negara-negara Eropa
bagian Barat.
 Kemunculan Beberapa Negara yang Menyatakan Merdeka Setelah Perang
Dunia II di Luar Wilayah Eropa

Setelah berakhirnya masa Perang Dunia II, cukup banyak memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan negara-negara di dunia, dalam hal ini adalah diluar wilayah
Eropa. Banyak bermunculan negara-negara baru yang memproklamirkan diri sebagai
negara yang merdeka. Kemudian negara-negara tersebut bersatu menjadi negara-
negara maju dan berkembang yang mampu mempengaruhi perkembangan politik dan
ekonomi dunia.

2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Mencuatnya Perang Dingin

Mencuatnya Perang Dingin ke permukaan selain dilatarbelakangi oleh berakhirnya


Perang Dunia II yang melahirkan negara-negara adidaya, juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi mencuatnya Perang Dingin
diantaranya adalah sebagai berikut:
 Keinginan Berkuasa
Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang melahirkan dua pemenang yakni Uni soviet
dan Amerika serikat. Kedua negara tersebut mengaku sama-sama kuat dan memiliki
kekuasaan. Keduanya sama-sama ingin menjadi penguasa dunia dengan menggunakan
berbagai cara.
Cara yang digunakan oleh Amerika Serikat sebagai negara kreditor adalah dengan
memberikan pinjaman kepada negara-negara yang membutuhkan. Bagi negara yang
diberikan pinjaman, maka secara tidak langsung juga menjadi bagian dari kekuasaan
Amerika Serikat.Pinjaman tersebut biasanya diberikan kepada negara berkembang yang
sedang gencar melakukan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Tidak hanya itu, Amerika Serikat juga berusaha untuk menjauhkan suatu negara dari
paham sosial-komunis dengan menjadi tempat pemasaran hasil industri. Sedangkan
rivalnya Uni soviet  memanfaatkan kondisi rakyat yang miskin untuk diajarkan paham
sosial-komunis. Uni Soviet menarik perhatian dari negara-negara  lain dengan cara
memberikan bantuan berupa senjata dan juga tenaga ahli. Dengan peralatan yang kuat
digunakan oleh para negara-negara yang baru saja untuk bisa mempertahankan
kemerdekaannya.
 Perbedaan Paham Antara Liberal-Kapitalis dan Sosial-Komunis
Siapa yang tidak mengenal kekuasaan Amerika Serikat dan Juga Uni Soviet. Kedua
negara ini memiliki kekuatan dan kekuasaan yang besar dan cukup berpengaruh pada
dunia.Apalagi keduanya merupakan negara pemenang dalam Perang Dunia II. Tentunya
beberapa negara akan tunduk pada kekuasaan keduanya. Kedua negara ini memiliki
ideologi atau paham yang dianut berbeda. Amerika serikat menganut ideologi liberal-
kapitalis, sementara Uni Soviet menganut paham sosial-komunis.
Ideologi sosial-komunis merupakan pandangan hidup yang berkeyakinan bahwa
negara adalah pengendali perusahaan yang keuntungannya akan dinikmati oleh rakyat.
Dengan demikian diharapkan kesejahteraan kaum buruh akan jauh lebih meningkat.
Sedangkan ideologi liberal-kapitalis adalah ideologi yang berpandangan bahwa
kebebasan individual lah yang akan mendukung secara sempurna kapitalisme
berkembang secara cepat dan pesat. Kedua ideologi ini antara liberal-kapitalis dan
sosial-komunis saling bertentangan. Yang kemudian menjadi salah satu faktor yang
memperkuat terjadinya persaingan diantara keduanya.
 Berdirinya Pakta Pertahanan
Dalam rangka untuk memenuhi kepentingan dan mengatasi perbedaan untuk bisa
meraih sebuah kekuasaan, negara-negara di bagian Eropa Barat yang dipimpin oleh
Amerika Serikat ini telah membentuk sebuah  pakta pertahanan yang berada di Atlantic
Utara. Pakta pertahanan tersebut diberi nama NATO yang merupakan kepanjangan dari
North Atlantic Treaty Organization.
Yang tergabung ke dalam anggota NATO, antara lain adalah Irlandia, Inggris,
Denmark, Belgia, Norwegia, Belanda, jerman Barat, Prancis, Portugal, Leuksemburg,
Kanada dan Amerika Serikat. Markas dari organisasi ini berada di Brussel, Belgia.
Sedangkan negara-negara di bagian Eropa Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet, pada
tahun 1955 juga membentuk pakta pertahanan dengan nama Pakwa Warsawa. Pakta
Warsawa sebagai bentuk persaingan terhadap apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Yang tergabung dalam Pakta Warsawa ini diantaranya adalah Uni Soviet, Bulgaria,
Jerman Timur, Hungaria, Albania, Rumania, Polandia dan Cekoslowakia.
Sejak berdirinya kedua pakta pertahanan tersebut, semakin membuat suasana
memanas. Keduanya saling menaruh rasa curiga dan ketidakpercayaan serta
kesalahpahaman diantara keduanya.
Amerika Serikat menuduh  Uni Soviet menggunakan ideologi sosial-komunis
kepada negara-negara demokrasi sebagai bentuk upaya perluasan hegemoni.
Sementara Uni Soviet menuduh Amerika Serikat telah menjalankan politik imperialis.
Karena perasaan saling percaya dan curiga inilah, muncullah istilah Perang Dingin atau
Cold War.
3. Peredaan Perang Dingin
Pada tahun 1970 Kondisi politik yang bersitegang antara Blok Barat dan Blok Timur
yang dipimpin oleh Uni Soviet dan juga Amerika Serikat mulai mereda. Ada berbagai hal
yang akhirnya membuat hubungan keduanya mulai membaik. Diantara peristiwa yang
membuat Perang Dingin ini mereda, antara lain adalah sebagai berikut:
 Isu Berlin Barat Akhirnya Diselesaikan di Dalam Meja Perundingan pada Tahun
1971.
Di dalam the Quardripatite agreement of september 3, 1971. Kesepakatan empat
kekuatan untuk Berlin menjamin atas keselamatan akses dari  dan menuju Berlin Barat
dengan memakai kereta maupun mobil melewati jalur Berlin Timur. Dan mengakhiri
penutupan paksa jalur tersebut atau menghentikan blokade yang sebelumnya dilakukan
oleh Uni soviet.
1. Mulai bergabungnya Inggris terhadap masyarakat ekonomi Eropa.
2. Pada tahun 1973, negara barat mulai melakukan hubungan diplomatik dengan
republik Rakyat Cina yang merupakan bagian dari partai komunis.
3. Terjadi kesepakatan atas pembatasan senjata yang dilakukan dalam persetujuan
Strategi arm limited Task I dan Strategi Arm Limited Task II.
4. Munculnya Mikhail Gorbachev  yang dipengaruhi oleh presiden Ronald Reagen
dalam rangka  meningkatkan kemampuan persenjataan untuk melakukan
persetujuan pembatasan nuklir balistik.
5. Keberhasilan deng Xiaoping  dalam menguasai partai Komunis pasca
meninggalnya Mao Tse tung di Republik Rakyat China. Deng Xiaoping merupakan
pimpinan dari kelompok yang menghendaki reformasi ekonomi.

4. Akhir Perang Dingin


Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya kedua negara yang saling berkuasa
yakni Amerika Serikat dan juga Uni Soviet mendeklarasikan untuk mengakhiri Perang
Dingin yang selama ini terjadi dan mempengaruhi situasi politik yang memanas.
Deklarasi tersebut dilakukan dua hari usai melakukan pertemuan puncak malta.
Konferensi pers dilakukan secara bersama  di kapal layar Soviet, Maxim Gorky.
Keduanya baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet akan mengurangi jumlah pasukan
dan persenjataan yang berada di wilayah Eropa. Mikhail Gorbachev selaku pimpinan Uni
Soviet menyatakan tidak akan menyulut perang terbuka kepada Amerika Serikat.
Sementara itu, George Bush yang merupakan presiden Amerika Serikat juga
menyatakan bahwa kedua pihak akan melakukan kerja sama dalam merealisasikan
perdamaian.
Pertemuan Puncak Yalta merupakan  salah satu pertemuan yang cukup penting
sejak pertemuan yang dilakukan oleh  Churchill, Stalin dan Roosevelt setelah Perang
Dunia II untuk Eropa di Yalta.
Kedua belah pihak menyatakan akan melakukan pembicaraan lebih lanjut pada Juni
1990 untuk membahas kebijakan di Amerika Tengah dan juga pemotongan senjata
armada laut.

5. Dampak Perang Dingin


Berlangsungnya Perang Dingin hingga puluhan tahun tentunya memberikan
dampak yang cukup besar bagi dunia. Dampak tersebut bisa dinilai sebagai dampak
positif maupun dampak negatif. Untuk lebih jelasnya simak ulasannya berikut ini!
Dampak Positif
Perang Dingin yang berlangsung dari tahun 1947 hingga tahun 1991 ini tentunya
berpengaruh dalam berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi, ideologi, sosial dan
militer.
 Bidang Ekonomi
Adanya Perang Dingin baik diakui maupun tidak ternyata membawa pengaruh yang
positif terhadap perkembangan perekonomian di dunia. Hal tersebut ditandai dengan
hadirnya negara super power.  Negara super power ini adalah mereka para pemegang
modal.
Negara-negara tersebut saling berlomba untuk bisa memperoleh keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan cara menginvestasikan modalnya kepada negara-negara
berkembang yang pada umumnya memiliki upah buruh yang masih rendah. Namun
ternyata hal tersebut justru berdampak positif bagi negara-negara berkembang
tersebut.
Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang menjadi lebih pesat. Sehingga baik
pemilik modal maupun  negara yang ditempati sama-sama diuntungkan.
Meskipun begitu, ternyata dalam dunia perekonomian juga membawa nilai politik.
Dimana negara dengan modal besar akan mendapatkan untuk yang besar, sementara
negara dengan modal kecil juga akan mendapatkan untung kecil.
Sehingga pada saat itu muncullah istilah globalisasi ekonomi. Dengan salah satu
kebijakannya adalah menyatukan mata uang. Seperti yang dilakukan di Eropa yakni
menggunakan mata uang Euro.
 Bidang Sosial Budaya
Isu-isu tentang Hak asasi Manusia mulai sedikit meluap sehingga undang-undang
tentang Hak asasi Manusia  mulai diakui keberadaannya. Dengan adanya HAM, rakyat
semakin percaya bahwa tidak akan ada lagi penindasan terhadap kaum lemah dan juga
percaya adanya demokrasi.
 Bidang Militer
Karena ada perasaan ingin menjadi yang terbaik maka kedua belah pihak
meningkatkan persenjataannya. Sehingga persaingan senjata berkembang dengan
pesat.

 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Karena kedua belah pihak antara Amerika Serikat dan juga Uni Soviet merasa sama-
sama memiliki kekuatan dan menginginkan untuk menguasai dunia, keduanya saling
berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik. Salah satunya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bahkan keduanya saling bersaing untuk meluncurkan roket
ke luar angkasa.
Atas berkat peluncuran roket oleh kedua belah pihak, sehingga bisa diketahui
bagaimana bentuk tata surya. Terlepas dari siapa yang lebih dulu mengabarkan akan hal
ini, yang penting nyatanya ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain itu, teknologi juga berkembang pesat pada masa Perang Dingin. Apalagi teknologi
yang berhubungan dengan kegiatan militer maka akan lebih mendapat support dari
pemerintah.
Pada masa ini, tumbuh disiplin-disiplin ilmu tentang sains yang dapat berdampak
pada kehidupan masyarakat.
Teknologi modern mulai hadir  dalam berbagai bidang baik ekonomi, militer, ideologi
dan sumber daya alam. Dengan teknologi yang canggih akhirnya mampu memproduksi
barang dalam skala yang lebih besar dari sebelumnya.

Dampak Negatif
Selain memiliki pengaruh yang positif dalam berbagai bidang di dunia, adanya
Perang Dingin yang terjadi antara amerika Serikat dengan Uni Soviet dari tahun 1947
hingga 1991 ini juga memberikan dampak yang negatif pada berbagai bidang di dunia.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
 Bidang Militer
Perkembangan nuklir secara pesat oleh kedua belah negara ternyata cukup menjadi
momok yang besar bagi masyarakat. Masyarakat merasa ketakutan apabila perang
nuklir sampai terjadi.

 Bidang Politik
Dibangunnya tembok Berlin sebagai batas antara Jerman Timur dengan Jerman
Barat. Jerman mengalami perpecahan menjadi dua bagian karena menganut dua paham
yang berbeda. Jerman Barat menganut Liberal kapitalis sementara jerman timur
menganut sosial-komunis.
Selain itu, Uni Soviet juga menyiagakan bala tentara yang siap menembaki bagi
orang-orang  Jerman Timur yang berkeinginan untuk pindah ke Jerman Barat. Jerman
barat dianggap jauh lebih maju dibandingkan dengan jerman Timur sehingga banyak
orang-orang yang berkeinginan untuk pindah.
Akan tetapi hal itu menyinggung Uni Soviet. Sehingga uni soviet membuat kebijakan
demikian. Dan kota Berlin pun terbelah menjadi dua bagian.
Perang Dingin merupakan kondisi ketegangan yang terjadi antara Blok Barat dan
Blok Timur yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan juga Uni Soviet. Keduanya memiliki
paham yang berbeda sehingga saling bertentangan.
6. Fase-Fase Dalam Perang Dingin
Perang Dingin yang terjadi di belahan bumi di Eropa, telah berlangsung cukup
lama, yakni dimulai tahun 1947 hingga 1991.  Selama 44 tahun tersebut telah terjadi
berbagai macam peristiwa yang menunjukkan hubungan yang tidak harmonis baik
Blok Barat maupun Blok Timur. Keduanya saling menaruh rasa curiga dan muncul
kesalah pahaman. Baik yang dipimpin oleh Amerika Serikat maupun Uni Soviet.
Berlangsungnya Perang Dingin antara Blok Barat maupun Blok Timur tersebut, telah
terjadi dalam beberapa fase. Diantaranya adalah sebagai berikut:
 Periode 1947 hingga 1953
Pada periode ini merupakan awal mula terjadinya Perang Dingin. Adanya pembagian
wilayah Jerman membuat terbentuknya blok-blok negara. Tidak hanya itu, pada periode
ini juga telah dikeluarkan Truman Doctrine, Marshall Plan, blokade Berlin, dan lain
sebagainya.
bahkan telah terjadi kudeta komunis di Cekloslovakia, perang Korea, Pembelotan Tito,
Kemenangan Komunis di Cina dan juga pendirian NATO.
 Periode 1953 hingga 1956
Pada periode ini telah terjadi beberapa peristiwa penting, diantaranya adalah
Ekspansi NATO, telah terjadi perang Indocina, terjadi krisis di Matsu dan Quemoy, Krisis
di Suez dan pembentukan SEATO dan MEATO.
 Periode 1956 hingga 1958
Dalam dua tahun ini, hubungan Amerika Serikat dan juga Uni Soviet semakin
memanas. Terbukti telah terjadi berbagai peristiwa yang cukup merugikan bagi
keduanya. Diantaranya adalah  penindasan terhadap revolusi Hongaria yang dilakukan
oleh Uni Soviet, terjadi krisis di Irak, Jordania dan Lebanon, serta krisis di Taiwan.
 Periode 1958 hingga 1962
Pada periode ini telah terjadi peristiwa meningkatnya dukungan Uni Soviet terhadap
gerakan gerilya Komunis yang terjadi di Vietnam. Selain itu juga tengah terjadi krisis di
Kongo, Kuba dan Laos.
 Periode 1962 hingga 1985
Ancaman perang nuklir mulai disiarkan, juga terjadi krisis nuklir di Kuba dan Agresi
militer yang dilakukan oleh Uni Soviet ke Afganistan.
 Periode 1985 hingga 1990
Perang Dingin mulai mereda pasca munculnya Gorbachev, terbukti dengan semakin
turunnya pembicaraan mengenai Uni Soviet dan Amerika Serikat.
 Tahun 1991
Perang Dingin Berakhir
Sejarah Berlangsungnya Perang Dingin
Perang Dingin merupakan sebuah bentuk ketegangan yang terjadi sebagai
perwujudan konflik antara Blok Timur dengan Blok Barat.
Perang Dingin ini berlangsung selama 44 tahun dimulai dari tahun 1947 hingga 1991.
Selama kurun waktu tersebut telah terjadi berbagai peristiwa dan isu yang
dikembangkan oleh kedua blok.
Blok Timur dipimpin oleh Uni Soviet dan Blok Barat dipimpin oleh Amerika
Serikat. Perang Dingin ini sebenarnya berawal setelah Perang Dunia II telah berakhir. Di
dalam Perang Dunia kedua tersebut, amerika serikat dan juga Uni Soviet berada di
dalam satu sekutu yang memenangkan perang terhadap Italia, Jepang dan Jerman.
Namun sayangnya kemenangan yang diraih oleh sekutu tersebut tidak diimbangi
dengan terciptanya perdamaian sejati. Perbedaan ideologi yang cukup kontras antara
sosial-komunis dengan kapitalis-liberalis yang saling bertentangan membuat keduanya
berseteru tegang.
Apalagi setelah terjadi konferensi The Big Three yang diselenggarakan di Teheran,
Iran pada November tahun 1943 ini ternyata cukup berpengaruh terhadap peristiwa-
peristiwa selanjutnya.
Pertemuan ini diikuti oleh Inggris, Uni Soviet dan juga Amerika Serikat. Konferensi ini
berisi bagaimana strategi untuk militer terbaik untuk menghancurkan Jerman.
Pada Juli tahun 1945, pasca perang di Postdam, perbedaan pandangan atas Amerika
Serikat dengan Uni Soviet dianggap sebagai asal muasal terjadinya Perang Dingin.
Pada saat itu presiden amerika Serikat, Harry S Truman menginginkan terselenggaranya
pemilu yang bebas di negara-negara Eropa bagian timur, namun hal tersebut ditolak
oleh Stalin karena dianggap akan membentuk sebuah pemerintahan yang anti terhadap
Uni Soviet.
Stalin memiliki keyakinan bahwa hanya negara-negara dengan paham komunis
yang hanya bisa menjadi sekutu sejati dari Uni Soviet. Kala itu Stalin khawatir jika pemilu
bebas tersebut akan membentuk sebuah pemerintahan yang nantinya akan menjadi
musuh dari Uni Soviet di perbatasan sebelah barat.
Sejak masuknya para pasukan ke wilayah Timur, Stalin berpendapat harus tetap
menegakkan keyakinannya tersebut. Menanggapi hal tersebut, pihak Amerika malah
bersikap berlebihan. Pada bulan Mei tahun 1945, sebelum diselenggarakannya
Konferensi Postdam, Truman mengusulkan untuk menghentikan bantuan kepada Uni
Soviet.
Kemudian pada Bulan Oktober 1945 Truman menyatakan bahwa tidak akan
mengakui pemerintahan yang dibangun dengan cara paksaan dan tidak akan
mengabaikan aspirasi politik dari rakyatnya.
Pada Maret 1946, Churchil yang kala itu merupakan mantan perdana menteri Inggris
menyatakan dalam kunjungannya ke Amerika serikat bahwa Iron Curtain atau Tirai Besi
sedang digelar di daratan Eropa beserta Jerman yang terbagi ke dalam dua blok yang
saling berlawanan.
Dengan keputusan tersebut, Amerika Serikat semakin berbuat tidak baik dan
emosional. Hal tersebut meliputi dalam suasana politik yang tegang. Sehingga Amerika
Serikat melakukan berbagai mobilitas dalam berbagai bidang secara cepat.
Apalagi ditambah dengan para agen Inteligen Stalin yang bergerak menyuarakan betapa
pentingnya perjuangan ideologi untuk melawan imperialisme kapitalis.
Sehingga Amerika semakin terbakar dan ingin mengambil alih Eropa secara agresif
dengan cara melalui kekerasan dan pemogokan yang dilakukan di Prancis dan Italia.
Uni Soviet juga mengimbanginya dengan melakukan tekanan terhadap Iran yang
kemudian dibantu oleh Razim Syah Reza Pahlavi. Kala itu Turki sangat pro terhadap
Amerika.
Perang Sipil juga terjadi antara Yunani juga Cina. pada Musim semi tahun 1947
menurut Amerika Serikat, Uni Soviet telah mengeksplor paham komunisme dan
berbagai kegiatan yang bersifat subversif ke negara-negara bagian Eropa Barat.
Menyikapi hal tersebut, Amerika Serikat menggunakan Doktrin Presiden Truman untuk
melakukan Politik Containing terhadap kawasan yang sudah dikuasai oleh komunisme.
Truman meminta bantuan militer untuk dikirim ke Yunani dan Turki pada Kongres
US. Tujuan dari bantuan militer tersebut agar membatasi perkembangan komunisme di
wilayah Eropa Barat.
Selain itu, Amerika juga gencar memberikan bantuan ekonomi dan juga militer
kepada negara-negara Eropa bagian Barat melalui Marshall Plan.
Namun, Stalin menolak bantuan Marshall Plan ke bagian Eropa Timur yang merupakan
bagian dari wilayah kekuasaannya.
Yang kemudian Stalin menjawabnya dengan membentuk sistem satu partai
komunis dalam tubuh pemerintahan Eropa Timur. Pendudukan Cekoslowakia menjadi
bukti berdirinya komunis di Eropa dan cukup mengkhawatirkan bagi Amerika Serikat.
Apalagi ketika stalin melakukan blokade pada semua jalur lalu lintas barang dan manusia
dari zona pendudukan Jerman ke Berlin.
Tentu akhirnya membuat situasi semakin memanas. Karena telah terjadi blokade Berlin
Akhirnya sekutu melakukan air lift, yakni menjatuhkan bahan makanan dan obat-obatan
melalui udara.
Hal tersebut dilakukan setidaknya hingga 324 hari sebagai bentuk politik
containing. Pada bulan April 1949, Amerika serikat berhasil membentuk negara-negara
Eropa Barat untuk mendirikan sebuah pakta pertahanan. Pakta pertahanan tersebut
diberi nama North Atlantic Treaty Organization atau yang lebih dikenal dengan sebutan
NATO.
Anggota dari NATO ini antara lain adalah  Denmark, Norwegia, Islandia, Irlandia,
Inggris, Kanada, amerika Serikat, Portugal, Prancis, Luxemburg, Belanda, Belgia dan
Jerman Barat. Pusat Nato berada di Belgia. Menanggapi hal tersebut dalam Perang
Dingin, Uni Soviet juga mendirikan pakta pertahanan yang dinamakan Pakta Warsawa.
Negara-negara yang tergabung ke dalam pakta warsawa antara lain adalah Uni Soviet,
Albania, Cekoslovakia, Jerman Timur, Bulgaria, Polandia, Hongaria dan
Rumania. Munculnya kedua pakta pertahanan ini semakin membuat hubungan
keduanya memanas. Antara Blok Barat maupun Blok Timur timbul rasa saling curiga dan
akhirnya muncul kesalah pahaman.
Hal inilah yang mengakibatkan para peristiwa ini disebut sebagai Perang
Dingin. Kedua blok sama-sama bersaing mengembangkan senjata, menebar mata-mata
untuk memata-matai kegiatan kedua blok dan mempertahankan pengaruh terhadap
para sekutunya masing-masing.

Perang Dingin (bahasa Inggris: Cold War, bahasa Rusia: холо́дная война́, kholodnaya voyna, 1947–1991)


adalah sebutan bagi suatu periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang
dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni
Soviet beserta sekutu negara-negara satelitnya. Peristiwa ini dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam
mengalahkan Jerman Nazi di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni
Soviet sebagai dua negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar. Uni
Soviet, bersama dengan negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya, membentuk Blok Timur. Proses
pemulihan pasca-perang di Eropa Barat difasilitasi oleh program Rencana Marshall Amerika Serikat, dan
untuk menandinginya, Uni Sovietkemudian juga membentuk COMECON bersama sekutu Timurnya. Amerika
Serikat membentuk aliansi militer NATO pada tahun 1949, sedangkan Uni Soviet juga membentuk Pakta
Warsawa pada tahun 1955. Beberapa negara memilih untuk memihak salah satu dari dua negara adidaya ini,
sedangkan yang lainnya memilih untuk tetap netral dengan mendirikan Gerakan Non-Blok.
Peristiwa ini dinamakan Perang Dingin karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat dalam aksi militer
secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang dapat menyebabkan kehancuran
besar. Perang Dingin juga mengakibatkan ketegangan tinggi yang pada akhirnya memicu konflik militer
regional seperti Blokade Berlin (1948–1949), Perang Korea (1950–1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin
1961, Krisis Rudal Kuba (1962), Perang Vietnam (1959–1975), Perang Yom Kippur(1973), Perang
Afganistan (1979–1989), dan penembakan Korean Air Penerbangan 007 oleh Soviet (1983). Alih-alih terlibat
dalam konflik secara langsung, kedua belah pihak berkompetisi melalui koalisi militer, penyebaran ideologi
dan pengaruh, memberikan bantuan kepada negara klien, spionase, kampanye propaganda secara besar-
besaran, perlombaan nuklir, menarik negara-negara netral, bersaing di ajang olahraga internasional, dan
kompetisi teknologi seperti Perlombaan Angkasa. AS dan Uni Soviet juga bersaing dalam berbagai perang
proksi; di Amerika Latin dan Asia Tenggara, Uni Soviet membantu revolusi komunis yang ditentang oleh
beberapa negara-negara Barat, Amerika Serikat berusaha untuk mencegahnya melalui pengiriman tentara
dan peperangan. Dalam rangka meminimalkan risiko perang nuklir, kedua belah pihak sepakat melakukan
pendekatan détente pada tahun 1970-an untuk meredakan ketegangan politik.
Pada tahun 1980-an, Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan diplomatik, militer, dan
ekonomi terhadap Uni Soviet di saat negara komunis itu sedang menderita stagnasi perekonomian. Pada
pertengahan 1980-an, Presiden Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev, memperkenalkan kebijakan reformasi
liberalisasi perestroika ("rekonstruksi, reorganisasi", 1987) dan glasnost ("keterbukaan", ca. 1985). Kebijakan
ini menyebabkan Soviet dan negara-negara satelitnya dilanda oleh gelombang revolusi damai yang berakhir
dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dan pada akhirnya menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-
satunya kekuatan militer yang dominan di dunia. Perang Dingin dan berbagai peristiwa yang menyertainya
telah menimbulkan dampak besar terhadap dunia dan sering disebutkan dalam budaya populer, khususnya
dalam media yang menampilkan tema spionase dan ancaman perang nuklir.

Asal istilah[sunting | sunting sumber]


Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan istilah perang
dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul "You and the Atomic Bomb" (Anda dan Bom Atom),
yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada tanggal 19 Oktober 1945. Esai tersebut
menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir. Orwell menulis:
"Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya telah
memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan dirinya dengan
senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies lainnya untuk mengambil
alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan berpikir bahwa gagasan
ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa
dekade terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali perbudakan.
Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang
mengerikan. Teori James Burnham telah banyak dibahas, namun sebagian kecil orang belum
menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan
struktur sosial mungkin akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan menegakkannya dalam
"perang dingin" permanen dengan tetangganya."[1]
Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi Moskow Desember
lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin' terhadap Britania dan Imperium Britania."[2]
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan negara
satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia II dicetuskan pertama
kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan Amerika dan penasihat presiden.[3] Dalam sebuah pidato
di South Carolina pada tanggal 16 April 1947,[4] Baruch menyatakan bahwa: "Janganlah kita tertipu: hari
ini kita ada di tengah-tengah perang dingin."[5] Seorang reporter dan kolumnis surat kabar
bernama Walter Lippmann menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam
bukunya yang berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah "perang
dingin", ia menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Prancis dari tahun 1930-an, la
guerre froide.[6]
Latar belakang[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Awal Perang Dingin

Informasi lebih lanjut: Ketakutan Merah dan  Permainan Besar

Pasukan Amerika di Vladivostok, Agustus 1918, selama intervensi Sekutu dalam Perang Saudara Rusia.

Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar
sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir, yang
lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I, meskipun
ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi
sejak pertengahan abad ke-19.[7]
Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari Perang
Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional. [8] Pemimpin Vladimir
Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan", dan ia
memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai dengan
pembentukan KominternSoviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet. [9]
Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan sosialis",
menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus digantikan oleh
dominasi sosialis."[10] Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang politik internasional
sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-negara lainnya ke arah sosialisme
dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia
sedang berada dalam periode "stabilisasi sementara kapitalisme" menjelang keruntuhannya.[11]
Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling ketidakpercayaan dan
kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi umum Partai Bolshevik yang
dibentuk untuk menentang kapitalisme.[12] Ada dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih anti-
Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia,[7] pemberian dana oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak
Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,
[13]
 deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis
diurungkan,[14] tuduhan adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh
Britania dan Prancis memicu kudeta,[15] penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun
1933,[16] dan Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas
adanya spionase dari Britania, Prancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang
melatarbelakangi Perang Dingin.[17]
Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil keuntungan dari
front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania menandatangani persekutuan
formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang,
Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya.[18]
Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania dan
Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban terbesar dalam
pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja
menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir
dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat
menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu.[19]

Akhir Perang Dunia II (1945–1947)[sunting | sunting sumber]


Konferensi pascaperang di Eropa[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Konferensi Teheran  dan Konferensi Yalta
Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan perbatasan di
Eropa.[20] Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai pembentukan dan pemeliharaan
keamanan dunia pascaperang.[20] Sekutu Barat menginginkan sistem keamanan dengan membentuk
seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan
konflik secara damai melalui organisasi internasional.[21]
Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia,[22] serta besarnya jumlah korban
tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama Perang Dunia II, [23] Uni
Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi urusan dalam negeri negara-
negara yang berbatasan dengannya.[20][24]
Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia
pascaperang. Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi ekonomi
global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah organisasi perdamaian
dunia - lebih bersifat global dibandingkan dengan Churcill, yang visinya berfokus untuk mengamankan
kontrol atas Laut Tengah, memastikan keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-
negara Eropa Timur untuk menjadikannya sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.[25]
Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk mencapai tujuan
mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai ancaman terbesar dalam
pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar negara-negara Eropa Timur oleh Soviet,
Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh
dukungannya. Perbedaan visi antara Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak
melakukan negosiasi secara terpisah dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churcill melakukan
perjalanan ke Moskow dan sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan
tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin
mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churcill dalam isu dan Reparasi Polandia.[25]

Zona pendudukan Sekutu di Jerman pascaperang.

Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pascaperang
berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun konferensi ini juga gagal
mencapai konsesus mengenai kerangka kerja pascaperang di Eropa.[26] Pada bulan April 1945, Churcill dan
Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk menentang keputusan Soviet yang
memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang
dikontrol oleh Soviet.[27]
Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki Eropa Timur,
[26]
 sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa Barat. Di wilayah
Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya dan Prancis mendirikan zona
pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi empat
zona pendudukan.[28]
Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai pendirian
organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas penegakannya
oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan anggotanya untuk
menggunakan hak veto.[29] Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah menjadi sebuah forum aktif untuk
bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun propaganda.[30]
Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang[sunting | sunting sumber]
Winston Churchill, Harry S. Trumandan Joseph Stalin di Konferensi Potsdam, 1945.

Informasi lebih lanjut: Konferensi Potsdam  dan Menyerahnya Jepang


Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman, perbedaan serius
muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa Timur. [31] Selain itu, jumlah
partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh satu sama lainnya untuk
mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan mempertahankan kubu mereka
masing-masing.[32] Dalam konferensi ini, Truman memberitahu Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki
senjata baru yang kuat.[33]
Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat bahwa
sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin menanggapinya
dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan menyatakan harapannya
bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang. [33] Satu minggu setelah berakhirnya
Konferensi Potsdam, Amerika Serikat membom Hiroshima dan Nagasaki. Tak lama setelah serangan,
Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki
Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman kepada Soviet. [34]
Awal Blok Timur[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Blok Timur

Perubahan wilayah pasca-perang di Eropa Timur dan pembentukan Blok Timur, yang dijuluki "Tirai Besi".

Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur dengan
mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang awalnya diserahkan kepada
Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini termasuk Polandia bagian timur
(kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet yang berbeda),[35][36] Estonia (yang kemudian
menjadi RSS Estonia),[37] Latvia (menjadi RSS Latvia),[35][36] Lithuania (menjadi RSS Lithuania),[35][36] bagian
timur Finlandia (menjadi RSS Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).[38][39]
Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya juga
ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit,[40] negara-negara ini di
antaranya Jerman Timur,[41] Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat Bulgaria, Republik Rakyat
Hongaria,[42] Republik Sosialis Cekoslowakia,[43] Republik Rakyat Romania, dan Republik Rakyat Albania.[44]
Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem ekonomi
komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph Stalin dan polisi
rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial. [45] Di Asia, Tentara Merah telah
membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan melanjutkan untuk menempati sebagian
besar wilayah Korea bagian utara.[46]
Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin oleh Lavrentiy Beria,
mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok Timur untuk membasmi
perlawanan anti-komunis.[47] Jika muncul sedikit saja semangat kemerdekaan di negara-negara Blok
Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa
kasus, dieksekusi.[48]
Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan Soviet yang
ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet Joseph Stalin tidak dapat
diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat.[49] Pada bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang
Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk "memaksakan kehendak Amerika Serikat
dan Imperium Britania kepada Rusia".[50] Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena
ketidaklayakan sumber daya militer.[49]
Persiapan untuk "perang baru"[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Artikel X dan  Tirai Besi

Pada bulan Februari 1946, laporan "Telegram Panjang" George F. Kennan dari Moskow membantu untuk
mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam melawan Soviet, yang menjadi
dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama Perang Dingin. [51] Pada bulan September,
pihak Soviet merilis telegram Novikov, yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat,
namun pengiriman telegram ini ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini
menjelaskan bahwa AS "berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan
kemampuan militer dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam
sebuah perang baru".[52]
Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang
menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di Jerman
pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk mempertahankan
keberadaan militernya tanpa batas di Eropa.[53] Sebulan kemudian, Byrnes mengakui bahwa
pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk memenangkan hati warga Jerman [...]
itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan Rusia [...]"[54]
Beberapa minggu setelah dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania Winston
Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi", dalam sebuah pidato di Fulton, Missouri.
[55]
 Dalam pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika bersekutu untuk melawan Soviet,
yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai besi" dari "Stettin di Baltik hingga
ke Trieste di Adriatik".[40][56]
Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur dan Jerman
Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang diawasi
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi militer Barat, namun
usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan kesungguhan usulan ini. [57]

Permulaan Perang Dingin (1947–1953)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Dingin (1947–1953)

Kominform dan perpecahan Tito–Stalin[sunting | sunting sumber]


Informasi lebih lanjut: Kominform  dan Perpecahan Tito–Stalin

Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Kominform, yang tujuannya adalah untuk menegakkan
ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik atas negara-negara
satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok Timur.[58] Kominform mengalami kemunduran
pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–Stalin, yang menyebabkan Soviet
mengucilkan Yugoslavia. Yugoslavia tetap menjadi negara komunis, namun mulai mengadopsi
posisi Non-Blok.
Kontainmen dan Doktrin Truman[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kontainmen  dan Doktrin Truman

Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil langkah-
langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya Stalin (ditengah kebingungan dan
keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika Serikat melalui persaingan yang bisa
mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang lain.[59] Bulan Februari 1947, pemerintah Britania
mengumumkan bahwa mereka tidak sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang
Saudara Yunani untuk melawan pemberontak komunis.
Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan
mengadopsi kebijakan kontainmen,[60] yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan
penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar $ 400
untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan meluncurkan Doktrin
Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes antara masyarakat bebas dan
rezim totaliter.[60] Meskipun kenyataannya para pemberontak komunis mendapat bantuan dari pemimpin
Yogoslavia Josip Broz Tito,[16] AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk
melawan royalis dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet. [61]
Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus kebijakan luar
negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada kontainmen (penahanan)
dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang Vietnam.[62][63] Partai moderat dan
konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai memberikan dukungan penuh tanpa syarat
kepada Sekutu Barat,[64] sedangkan Komunis Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, telibat dalam
operasi intelijen,[65] operasi ini tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di
kalangan komunis ini mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini
berasal dari aktivis anti-Perang Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir.[66]
Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia[sunting | sunting sumber]
Pada awal 1947, Britania, Prancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Uni
Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk jumlah rinci tentang
penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah dihancurkan oleh Sekutu selama
perang.[67] Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman, Amerika Serikat mengesahkan
program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan ekonomi bagi semua negara Eropa yang
bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni Soviet.[67]
Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian Eropa
dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa.[68] Rencana ini juga menyatakan bahwa kemakmuran
Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman.[69] Satu bulan kemudian, Truman
mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947, membentuk Departemen
Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal ini selanjutnya akan menjadi
birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.[70]
Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok Timur
untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS berusaha untuk “membeli”
Eropa agar berpihak kepada AS.[58] Oleh sebab itu, Stalin melarang negara-negara Blok Timur menerima
bantuan Marshall.[58] Alternatif Uni Soviet dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon
menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan
membentuk Rencana Molotov (kemudian dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan
nama Comecon).[16] Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-
perangnya terhadap Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali
Jerman atau dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni Soviet.
[71]

Pada awal 1948, menyusul laporan yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia,
Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok Timur yang
diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya.[72][73] Kebrutalan publik dalam kudeta ini
mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres Amerika Serikat, yang ketakutan
bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet untuk menyapu habis seluruh pendukung
Rencana Marshall.[74]
Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan ekonomi dan
militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS, militer Yunani berhasil
memenangkan perang saudara.[70] Partai Demokrasi Kristen Italia juga sukses mengalahkan
aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948.[75] Pada saat yang bersamaan, terjadi
peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok Timur, dan pengusiran diplomatik.[76]
Blokade Berlin[sunting | sunting sumber]

C-47s melakukan pembongkaran di Bandar Udara Tempelhof di Berlin selama berlangsungnya Blokade Berlin.

Artikel utama: Blokade Berlin

Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi “Bizonia” (1
Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Prancis juga digabungkan pada
bulan April 1949).[77] Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali perekonomian Jerman, pada awal
1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan
untuk menggabungkan wilayah pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal.
[78]
 Selain itu, sesuai dengan Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata
kembali perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche
Mark untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh Soviet.[79]
Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 - 12 Mei 1949), salah satu krisis
besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus akses dan mencegah
makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin Barat.[80] Amerika Serikat, Britania,
Prancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan beberapa negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-
besaran untuk memasok Berlin Barat dengan makanan dan perlengkapan lainnya.[81]
Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat. Para
Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal di Berlin
(seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946),[77] yang diselenggarakan pada tanggal 5 Desember
1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus kemenangan besar bagi partai non-Komunis.[82] Hasil ini
secara efektif membagi Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga
Berlin berunjukrasa dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan,
[83]
 dan pilot US Air Force Gail Halvorsen kemudian menanggapinya dengan membentuk “Operasi
Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman.[84] Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur dan
mencabut blokade terhadap Berlin.[47][85]

Presiden Truman menandatangani Amendemen Undang-Undang Keamanan Nasional 1949 dengan para tamu


di Oval Office.

Britania, Prancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat
menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk mendirikan North
Atlantic Treaty Organization (NATO).[47] Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama diledakkan
di Semipalatinsk, RSS Kazakhtan.[16] Setelah Soviet menolak untuk berpartisipasi dalam upaya
pembangunan kembali Jerman yang telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa Barat pada tahun 1948,
[78][86]
 AS, Britania, dan Prancis mempelopori pembentukan Jerman Barat di tiga zona pendudukan mereka
yang digabungkan pada bulan April 1949.[31][87] Soviet kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan
pendirian Republik Demokratik Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober.[31]
Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar bergantung dan
tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan usaha milik
negara, sedangkan media cetak biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian besarnya dimiliki oleh
partai komunis lokal.[88] Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis untuk menyerang kapitalisme,
mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang terhadap imperialisme. [89]
Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of America ke Eropa
Timur,[90] upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan dibentuknya Radio Free
Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan mengenai era kekacauan dari sistem
komunisme di Blok Timur.[91] Radio Free Europe berusaha untuk mencapai tujuannya dengan melayani
pendengar sebagai stasiun radio pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang
dikontrol dan didominasi oleh partai.[91] Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek
yang paling menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa
Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer, seperti George F.
Kennan.[92]
Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa Perang Dingin
pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan. [92] Amerika Serikat, dibantu oleh CIA, mendanai
daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis bagi kalangan intelektual Eropa dan
negara-negara berkembang, atau dengan kata lain, mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan
pengaruh komunisnya.[93] CIA diam-diam juga mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang
disebut Pembasmian untuk Kebebasan.[94]
Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun 1955, AS
menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO.[31] Sebelumnya, bulan Mei 1953, Soviet gagal
mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.[95]
Perang Saudara Cina dan SEATO[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Perang Saudara Cina dan  Pakta Pertahanan Asia Tenggara
Mao Zedong dan Joseph Stalin di Moskow, Desember 1949

Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan Pemerintahan


Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika Serikat di Tiongkok, dan Uni
Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat Tiongkok yang baru terbentuk.[96] Chiang dan
pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di
Tiongkokdan akhir dari monopoli atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera
memperluas dan meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.[16] Dalam NSC-68, sebuah
dokumen rahasia pada tahun 1950,[97] disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional mengusulkan untuk
memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran pertahanan. [16]
Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia, Afrika,
dan Amerika Latin untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya dipimpin oleh partai-
partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang dominasi kolonial Eropa di Asia
Tenggara dan wilayah lainnya.[98] Pada awal 1950-an (periode ini kadang dikenal dengan “Pactomania”),
AS membentuk serangkaian aliansi dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand,
dan Filipina (terutama ANZUS pada tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini membuat AS
memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang di negara-negara tersebut.[31]
Perang Korea[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Perang Korea

Jenderal Douglas MacArthur, Komandan CiC PBB (duduk), mengamati penembakan laut Incheondari USS  Mt.
McKinley, 15 September 1950.

Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah pecahnya Perang
Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan dari Kim Il-
Sung menginvasi Korea Selatan.[99] Joseph Stalin “merencanakan, mempersiapkan, dan memulai” invasi
tersebut,[100] menyusun “rencana [perang] dengan rinci” yang kemudian dikirimkan kepada Korea Utara.
[101][102][103][104]
 Untuk mengejutkan Stalin,[16] Dewan Keamanan PBB mendukung dan memfasilitasi pertahanan
di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang
diberi kursi tetap di dewan, bukannya Komunis Cina.[105]Personel militer gabungan PBB yang terdiri dari
Korea Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Prancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda,
Belgia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.[106]
Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur militer.[107] Opini
publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar menentang perang ini. Banyak
yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi perang besar dengan Komunis Cina, atau
bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang berbeda mengenai perang ini seringkali menimbulkan
ketegangan dalam hubungan Britania–Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat
untuk meredakan konflik dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan
PBB dan penarikan semua pasukan asing.[108]
Meskipun Cina dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk
mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan gencatan
senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.[31] Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung
kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal di Korea Utara, memberikannya
kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus kepribadian yang tak tertembus berdekade-
dekade lamanya.[109][110] Di Korea Selatan, pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari
AS menerapkan sistem pemerintahan totaliter.[111] Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea
Selatan jatuh di bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali
sistem multi-partai pada tahun 1987.

Krisis dan peningkatan (1953-1962)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Dingin (1953–1962)

Kekuatan tentara NATO dan Pakta Warsawa di Eropa pada tahun 1959.

Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser
dinamika Perang Dingin.[112] Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada bulan
Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan Amerika Serikat telah
meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga dari pengeluaran
militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.[16]
Setelah kematian Joseph Stalin, Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan
pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy
Malenkov dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan delegasi
dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin.[113] Sebagai bagian dari
kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari
kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya pada masa lalu.[70]
Pada tanggal 18 November 1956, saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah resepsi di
kedutaan Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya: "Entah kalian suka atau
tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur kalian", pernyataannya ini mengejutkan semua
tamu yang hadir.[114] Khrushchev kemudian mengklaim bahwa ia tidak membicarakan mengenai perang
nuklir, melainkan mengenai kemenangan komunisme atas kapitalisme. [115] Tahun 1961, Khrushchev
menyatakan: "bahkan jika Uni Soviet berada di belakang Barat, dalam satu dekade kekurangan
perumahan akan lenyap, barang-barang konsumsi akan melimpah, dan dalam dua dekade,
pembangunan masyarakat komunis di Uni Soviet akan selesai".[116]
Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan "New Look" sebagai strategi
kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih mengandalkan senjata nuklir untuk
melawan musuh-musuhnya pada masa perang.[70] Dulles juga menyerukan doktrin "pembalasan besar-
besaran" dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet
memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur
tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun 1956.[16]
Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Pakta Warsawa dan  Revolusi Hongaria
Peta negara-negara Pakta Warsawa.

Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai, meskipun
situasi di Eropa tetap belum kondusif.[117] Soviet, yang sudah membentuk jaringan perjanjian bantuan
timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949,[118] juga membentuk suatu aliansi formal untuk
melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.[31]
Revolusi Hongaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan pemimpin Stalinis
Hongaria Mátyás Rákosi.[119] Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan, [120] rezim baru ini secara resmi
dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan niatnya untuk menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji
untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas. Tentara Soviet mulai menyerbu.[121] Ribuan warga
Hongaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet,[122] dan lebih dari 200.000 warga melarikan
diri keluar Hongaria.[123] Pemimpin Hongaria Imre Nagy dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses
dalam sebuah persidangan rahasia.[124]
Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat dengan
pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul daripada Amerika
Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun, Khrushchev menolak
keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan bahwa tujuan barunya adalah untuk "hidup
berdampingan secara damai".[125] Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, di
mana perjuangan kelasinternasional berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada pada konflik tak
terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui perang global. Sekarang, perdamaian akan
memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi keruntuhannya sendiri,[126] dan juga memberikan waktu
bagi Soviet untuk meningkatkan kemampuan militer mereka,[127] yang akan tetap bertahan puluhan tahun
sampai munculnya era "pemikiran baru" Gorbachev. [128]
Peristiwa di Hongaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa Barat, dan
terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara Barat dan komunis
merasa kecewa dengan respon brutal Soviet.[129] Partai komunis di Barat tidak pernah pulih dari pengaruh
Revolusi Hongaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang segera diakui oleh beberapa pihak, seperti
politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang menyatakan bahwa: "luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hongaria
terhadap komunisme tidak pernah benar-benar sembuh". [129]
Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa[sunting | sunting sumber]

Wilayah-wilayah di dunia yang berada di bawah pengaruh Soviet setelah Revolusi Kuba tahun 1959 dan
sebelum perpecahan Sino-Soviettahun 1961.

Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi "kota yang
independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini membuat Amerika Serikat, Britania, dan Prancis diberi
ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih diduduki di Berlin Barat,
atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman Timur. Khrushchev sebelumnya
menjelaskan kepada Mao Zedong bahwa "Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat
Barat menjerit, maka saya akan meremas Berlin."[130] NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada
pertengahan Desember dan Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa. [131]
Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang merupakan
produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi, dan militer Truman dan Eisenhower,
namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu, takut bahwa Eropa yang independen
akan melakukan détente terpisah dari Uni Soviet, yang bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan
Barat.[132]
Persaingan di Dunia Ketiga[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kudeta Iran 1953,  Kudeta Guatemala 1954, Krisis Kongo, Dekolonisasi, dan Gerakan
Non-Blok

Perangko Soviet tahun 1961 yang menuntut kebebasan bagi negara-negara Afrika.

Perangko Soviet tahun 1961 intuk memperingati Patrice Lumumba, perdana menteri Republik Kongo.

Gerakan nasionalis di beberapa negara seperti Guatemala, Indonesia dan Indocina seringkali bersekutu


dengan kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat dibantu oleh komunis.[70] Dalam konteks ini,
Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin meningkatkan persaingan mereka untuk menyebarkan pengaruh
dengan cara mencari proksi di Dunia Ketiga, dan ini bertepatan dengan momentum dekolonisasi pada
tahun 1950-an dan awal 1960-an.[133] Selain itu, Soviet terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.
[134]
 Kedua belah pihak mulai melakukan pengiriman dan penjualan senjata kepada negara-negara Dunia
Ketiga untuk mendapatkan pengaruh.[135]
Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency (CIA) untuk menyusup ke dalam pergolakan
politik di Dunia Ketiga dan juga untuk mendukung sekutu mereka.[70] Pada tahun 1953, CIA
melaksanakan Operasi Ajax, sebuah operasi rahasia yang bertujuan untuk menggulingkan perdana
menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh yang menganut prinsip Non-Blok telah menjadi
nemesis Timur Tengah bagi Britania sejak ia menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian Oil
Company milik Britania pada tahun 1951. Winston Churchill mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh
"semakin beralih ke komunisme".[136][137][138][139] Shah yang pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian
naik jabatan sebagai monarki otokratik.[140] Kebijakan Shah yang baru ini di antaranya melarang aktivitas
partai komunis Tudeh dan penekanan perbedaan pendapat politik oleh SAVAK, badan keamanan dan
intelijen dalam negeri Shah.
Di Guatemala, sebuah kudeta militer yang didukung CIA berhasil menggulingkan presiden sayap
kiri Jacobo Arbenz Guzmán pada tahun 1954.[141]Pemerintah pasca-Arbenz yang dipimpin oleh Carlos
Castillo Armas mengembalikan semua properti milik AS yang dinasionalisasi, membentuk Komite
Nasional Pertahanan Melawan Komunisme, dan mendekritkan Hukum Pidana Pencegahan Terhadap
Komunisme atas permintaan Amerika Serikat.[142]
Presiden Indonesia, Soekarno, yang menganut prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada ancaman besar
pada awal tahun 1956, ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut otonomi dari Jakarta. Setelah
proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk menyingkirkan mereka yang
membangkang. Pada bulan Februari 1958, komandan militer di Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad
Husein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual) mendeklarasikan pembentukan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno.
Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara,
yang menentang pertumbuhan pengaruh dari Partai Komunis Indonesia. Karena retorika anti-komunis
mereka, pemberontakan mereka mendapat bantuan senjata, dana, dan bantuan lainnya dari CIA. Hal ini
terbukti saat pesawat Amerika yang dipiloti oleh Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di Ambonpada
bulan April 1958. Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi militer lewat laut dan
udara melalui Padang dan Manado. Pada akhir 1958, para pemberontak berhasil dikalahkan, dan
pemberontak yang tersisa menyerahkan diri pada bulan Agustus 1961. [143]
Di Irak, Abd al-Karim Qasim menggulingkan monarki Hashemite pada tahun 1958 dan membangun
aliansi dengan Partai Komunis Irak dan Uni Soviet.[144] Meskipun Partai Ba'ath yang anti-komunis adalah
faksi dominan dalam kabinet Qasim,[145] AS mulai khawatir bahwa pemberontakan mungkin akan
menginspirasi "reaksi berantai" di seluruh Timur Tengah. [146] Mesir dan Suriah juga berusaha untuk
membunuh Qasim untuk alasan mereka sendiri,[147] CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan
saputangan beracun kepada Qasim (meskipun masih diperdebatkan). [148]Setelah serangkaian kudeta,
Ba'athist berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB,
[149]
 meskipun militer Irak juga melakukan kudeta.[150]
Di Republik Kongo, yang baru merdeka dari Belgia pada bulan Juni 1960, CIA menghasut presiden Joseph
Kasa-Vubu untuk memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumbadan membubarkan kabinet
Lumumba pada bulan September.[151] Dalam Krisis Kongo yang terjadi setelahnya, CIA mendukung
Kolonel Mobutu dengan cara memobilisasi pasukannya untuk merebut kekuasaan melalui kudeta militer.
[151]

Di Guiana Britania, kandidat Partai Progresif Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi Jagan,


memenangkan posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang diselenggarakan pada tahun
1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya setelah adanya suspensi
dari Britania Raya yang masih memiliki kewenangan terhadap konstitusi negara tersebut.
[152]
 Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang diduga Marxis, Britania memenjarakan ketua PPP
pada tahun 1955 dan merekayasa perpecahan antara Jagan dengan rekan PPP nya. [153] Jagan lagi-lagi
memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961. Amerika Serikat menekan Britania untuk
menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana sampai haluan politik Jagan telah teridentifikasi. [154]
Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut kemerdekaan Vietnam, Prancis setuju
untuk melakukan negosiasi dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi Jenewa, perjanjian damai
ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara yang pro-Soviet dan Vietnam Selatan yang
pro-Barat. Antara tahun 1954 dan 1961, Amerika Serikat mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat
militer untuk memperkuat rezim pro-Barat Vietnam Selatan dalam menghalangi upaya komunis yang
berniat untuk mengacaukannya.[16]
Banyak negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak tekanan untuk
memihak salah satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di Indonesia, puluhan negara
Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang Dingin. [155] Konsesus yang ditetapkan di
Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan Non-Blok yang bermarkas di Belgrade pada
tahun 1961.[70] Sementara itu, Khrushchev memperluas kebijakan Moskow dengan menjalin hubungan
dengan India dan negara-negara netral lainnya. Gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah
tatanan dunia pasca-perang menjadi lebih pluralistik dengan diterapkannya dekolonisasi bagi negara-
negara Afrika dan Timur Tengah dan semangat nasionalisme juga meningkat di Asia dan Amerika Latin. [16]
Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Perpecahan Sino-Soviet dan  Perlombaan Angkasa
Diagram perkembangan Perlombaan Angkasa pada tahun 1957–1975.

Periode setelah 1956 ditandai dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet, terutama pecahnya aliansi
Cina-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao membela Stalin ketika Khrushchev
mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun 1956, dan menganggap pemimpin Soviet yang baru
sebagai "pemula yang dangkal", Mao juga menuduhnya telah kehilangan sisi revolusioner. [156] Sementara
itu, Khrushchev, yang merasa terganggu atas sikap Mao yang anti-perang nuklir, menyebut pemimpin
Cina sebagai "orang yang gila takhta".[157]
Setelah hal itu terjadi, Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun kembali aliansi dengan
Cina, namun Mao menolak setiap usulannya.[156] Permusuhan Cina-Soviet ini akhirnya tumpah dalam
perang propaganda intra-komunis.[158] Selanjutnya, Soviet mulai berfokus pada persaingan sengit dengan
Cina untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin gerakan komunis dunia.[159]
Dilatardepani oleh senjata nuklir, Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk membangun
persenjataan nuklir dan mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa mereka pergunakan untuk
menyerang satu sama lain.[31] Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil meluncurkan peluru kendali balistik
antar benua pertama (ICBM),[160] dan pada bulan Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi
pertama, Sputnik.[161] Peluncuran Sputnik ini menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan
Amerika Serikat. Persaingan ini memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh
astronot Frank Borman sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".[162]
Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Revolusi Kuba dan  Invasi Teluk Babi

Fidel Castro (kanan) dan Che Guevara, 1961.

Di Kuba, Gerakan 26 Juli berhasil merebut kekuasaan pada bulan Januari 1959, menjatuhkan


Presiden Fulgencio Batista, yang rezimnya tidak populer dan tidak direstui oleh pemerintahan
Eisenhower.[163]
Hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat terus berlanjut selama beberapa waktu setelah
kejatuhan Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja meninggalkan ibu kota untuk menghindari
pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner Kuba Fidel Castro pada bulan April, dan
memerintahkan Wakil Presiden Richard Nixon untuk mengadakan pertemuan dengan Castro di
kediamannya.[164] Eisenhower tidak yakin, apakah Castro seorang komunis atau bukan. Eisenhower juga
menentang upaya Kuba untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka pada Amerika Serikat.
[165]
 Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan Eropa Timur pada bulan Maret 1960. [166]
Bulan Januari 1961, sesaat sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara resmi memutuskan
hubungan dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961, Presiden Amerika yang baru terpilih, John F.
Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi pulau-pulau di Playa Girón dan Playa Larga
di Provinsi Las Villas — kegagalan yang mempermalukan Amerika Serikat di mata dunia.[165] Castro
menanggapinya dengan mengadopsi paham Marxisme-Leninisme, dan Soviet berjanji untuk memberikan
dukungan lebih lanjut kepada Kuba.[165]
Krisis Berlin 1961[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Krisis Berlin 1961, Tembok Berlin, dan Pembelotan dan emigrasi Blok Timur

Tank Soviet berhadapan dengan tank Amerika Serikat di Checkpoint Charlie, 27 Oktober, selama berlangsungnya
Krisis Berlin 1961

Krisis Berlin 1961 adalah insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin terkait dengan
status Berlin dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-an, pendekatan Soviet mengenai
kebijakan pembatasan emigrasi ditiru oleh sebagian besar negara Blok Timur lainnya.[167] Namun, ratusan
ribu warga Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat setiap tahunnya melalui "celah" yang terdapat
dalam sistem antara Berlin Timur dan Berlin Barat dan dengan bantuan dari pasukan Sekutu di Jerman
Barat.[168]
Emigrasi menyebabkan berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi seperti kalangan
profesional terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir 20% penduduk Jerman Timur telah
bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961.[169] Pada bulan Juni, Uni Soviet mengeluarkan ultimatum
baru yang menuntut penarikan pasukan Sekutu dari Berlin Barat.[170] Permintaan tersebut ditolak, dan
pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur mendirikan penghalang kawat berduri yang kemudian
konstruksinya diperluas hingga kelak membentuk Tembok Berlin, yang secara efektif menutup "celah"
antara kedua wilayah tersebut.[171]
Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Proyek Kuba dan  Krisis Rudal Kuba

Kapal P-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang di atas sebuah kapal barang Soviet selama Krisis Rudal Kuba.

Setelah Invasi Teluk Babi, Kennedy terus mencari cara untuk menggulingkan Castro, Kennedy dan
pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi penggulingan
pemerintahan Kuba. Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah program rahasia bernama Proyek
Kuba, yang dirancang di bawah pemerintahan Kennedy pada tahun 1961.
Pada bulan Februari 1962, Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap Kuba: "proyek Kuba" —
disetujui oleh CIA dan menetapkan penggulingan pemerintah Kuba pada bulan Oktober, kemungkinan
melibatkan militer Amerika — dan Kennedy mungkin memerintahkan operasi pembunuhan terhadap
Castro.[172] Sebagai respon, Soviet mempersiapkan pemasangan rudal nuklirnya di Kuba.[172]
Khawatir, Kennedy memutuskan berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan akhirnya menanggapi
instalasi rudal nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan blokade laut dan memberikan ultimatum kepada
Soviet. Khrushchev mundur dari konfrontasi, dan Uni Soviet membongkar rudalnya dengan imbalan janji
Amerika agar tidak lagi menyerang Kuba.[173]
Krisis Rudal Kuba (Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang nuklir daripada
sebelumnya.[174] Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep saling meyakinkan akan
bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya tidak siap untuk menggunakan senjata nuklir mereka, takut
akan adanya kehancuran global total karena saling balas dendam. [175] Dampak dari krisis ini menyebabkan
dilakukannya upaya pertama dalam membatasi perlombaan senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan
perbaikan hubungan,[117] meskipun upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah
ditetapkan sejak tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.[176]
Tahun 1964, rekan Kremlin Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap mengizinkannya untuk
pensiun dengan damai.[177] Khrushchev dituduh memerintah dengan kasar dan inkompetensi, dia juga
dianggap telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan membawa dunia ke ambang perang nuklir.
[177]
 Khrushchev juga dikatakan telah mempermalukan dunia komunis ketika ia meresmikan pembangunan
Tembok Berlin, yang dianggap sebagai sebuah penghinaan publik untuk Marxisme-Leninisme. [177] Posisi
jabatan Nikita Khrushchev digantikan oleh Leonid Brezhnev sebagai pemimpin Partai Komunis dan
sementara Alexei Kosygin menduduki kursi Perdana Menteri.

Konfrontasi di tengah détente (1962–1979)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Dingin (1962–1979)

Kekuatan pasukan NATO dan Pakta Warsawa di Eropa tahun 1973.

Amerika Serikat mendarat untuk pertama kalinya di bulan pada tahun 1969—puncak dari perlombaan angkasa.
F-4 Phantom II milik US Navy menyadap pesawat Tupolev Tu-95 D Soviet pada awal 1970-an.

Pada periode 1960-an dan 1970-an, peserta Perang Dingin berjuang untuk menyesuaikan diri dengan
pola baru hubungan internasionalyang lebih rumit, dunia tidak lagi dibagi menjadi dua blok besar yang
bertentangan.[70] Dari awal periode pasca-perang, Eropa Barat dan Jepang dengan cepat pulih dari
kehancuran Perang Dunia II dan mulai mengalami pertumbuhan ekonomi yang kuat sepanjang tahun
1950-an dan 1960-an, dengan PDB per kapita yang hampir mendekati Amerika Serikat,
sedangkan perekonomian Blok Timur mengalami stagnasi.[70][178]
Sebagai akibat dari krisis minyak 1973, dikombinasikan dengan semakin kuatnya pengaruh Dunia
Ketiga dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti Organisasi Negara-Negara Pengekspor
Minyak (OPEC) dan Gerakan Non-Blok, negara-negara Dunia Ketiga memiliki lebih banyak ruang untuk
memproklamirkan kemerdekaan mereka dan semakin menunjukkan bahwa mereka tahan banting
terhadap tekanan dari negara adidaya.[98] Sementara itu, Soviet dipaksa untuk mengalihkan perhatiannya
pada isu-isu internal seperti permasalahan ekonomi di dalam negeri. [70] Selama periode ini, pemimpin
Soviet seperti Leonid Brezhnev dan Alexei Kosygin mulai menerapkan pendekatan détente.[70]
Pengunduran diri Prancis dari NATO[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: NATO §  Pengunduran diri Prancis dari NATO

Keberlangsungan NATO sudah menghadapi tantangan pada awal sejarahnya, krisis terjadi selama


kepemimpinan Charles de Gaulle dari Prancis pada tahun 1958 dan seterusnya. De Gaulle protes
mengenai kuatnya peran Amerika Serikat dalam organisasi dan cemburu atas "hubungan istimewa"
antara Amerika Serikat dan Britania Raya. Dalam sebuah memo yang dikirimkan pada Presiden Dwight D.
Eisenhowerdan Perdana Menteri Harold Macmillan pada tanggal 17 September 1958, ia berpendapat
untuk membentuk tiga serangkai direktorat yang akan memposisikan Prancis pada kedudukan yang sama
dengan Amerika Serikat dan Britania Raya, dan juga perluasan cakupan NATO ke wilayah geografis yang
memiliki kepentingan dengan Prancis, seperti Aljazair Prancis, yang pemberontakannya di dukung oleh
Prancis.[179]
Karena respon yang diberikan tidak memuaskan, de Gaulle mulai mengembangkan penangkal
nuklir Prancis secara independen dan pada tahun 1966, Prancis mengundurkan diri dari NATO, diikuti
dengan pengusiran semua pasukan NATO dari daratan Prancis. [180]
Invasi Cekoslowakia[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Musim Semi Praha dan  Invasi Pakta Warsawa ke Cekoslowakia

Pada tahun 1968, periode liberalisasi politik di Cekoslowakia, yang dijuluki dengan Musim Semi Praha,
berlangsung dengan berbagai aksi, di antaranya "Program Aksi" liberalisasi, yang menuntut perluasan
kebebasan pers, kebebasan berbicara dan kebebasan bergerak, juga penekanan ekonomi pada barang-
barang konsumsi, kemungkinan sistem multi partai, membatasi kekuasaan polisi rahasia, [181][182] dan
kemungkinan Cekoslowakia untuk menarik diri dari Pakta Warsawa.[183]
Sebagai jawaban atas aksi Musim Semi Praha, tentara Soviet bersama dengan sebagian besar sekutu
Pakta Warsawa mereka, menyerbu Cekoslowakia.[184] Invasi ini diikuti oleh gelombang emigrasi, sekitar
70.000 warga Ceko dan Slowakia melarikan diri, dan total akhirnya mencapai 300.000 jiwa. [185] Invasi ini
memicu protes keras dari Yugoslavia, Rumania, Cina, dan juga dari partai-partai komunis di Eropa Barat.
[186]

Doktrin Brezhnev[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Doktrin Brezhnev
Leonid Brezhnev dan Richard Nixon selama kunjungan Brezhnev ke Washington pada Juni 1973; kunjungan ini
adalah permulaan détente antara Amerika Serikat dan Soviet.

Pada bulan September 1968, dalam pidatonya di Kongres Kelima Partai Persatuan Pekerja Polandia,
sebulan setelah menginvasi Cekoslowakia, Brezhnev menyampaikan Doktrin Brezhnev; yang mengklaim
bahwa "hak kami untuk melanggar kedaulatan negara manapun jika ada yang berupaya untuk
menggantikan Marxisme-Leninisme dengan kapitalisme". Dalam pidatonya, Brezhnev menyatakan: [183]

Ketika kekuatan yang bermusuhan dengan sosialisme mencoba mengubah perkembangan


“ negara sosialis tertentu menjadi kapitalisme, hal tersebut tidak hanya menjadi masalah bagi
negara yang bersangkutan, tetapi juga merupakan masalah bersama semua negara sosialis. ”
Doktrin tersebut dilatarbelakangi oleh kegagalan Marxisme-Leninisme dalam meningkatkan
kesejahteraan di negara-negara seperti Polandia, Hongaria dan Jerman Timur, yang mengalami
penurunan standar hidup yang kontras dengan kemakmuran Jerman Barat dan negara Eropa Barat
lainnya.[187]
Krisis di Dunia Ketiga[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Operasi Power Pack, Pembantaian di Indonesia 1965–1966,  Perang Vietnam,  Kudeta Chili
1973,  Operasi Burung Kondor, Perang Enam Hari,  Perang Atrisi, Perang Yom Kippur,  Perang
Ogaden,  Perang Saudara Angola, dan Invasi Indonesia ke Timor Timur

Alexei Kosygin (kiri) di samping Presiden AS Lyndon B. Johnson(kanan) dalam Konferensi Tingkat Tinggi Glassboro.

Mayat Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem.

Pada akhir April 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mendaratkan 22.000 tentaranya di Republik


Dominika dan kemudian mendudukinya selama satu tahun melalui invasi yang diberi kode Operasi
Power Pack. Operasi ini dilakukan untuk membendung ancaman menyebarnya revolusi bergaya Kuba di
Amerika Latin.[16] Pemilihan presiden diselenggarakan pada tahun 1966, yang menghasilkan kemenangan
bagi konservatif Joaquín Balaguer. Meskipun Balaguer mendapat dukungan dari sektor-sektor elit dan
kelompok petani, lawan politiknya dari partai PRD, mantan presiden Juan Bosch, tidak aktif
berkampanye.[188] Aktivis PRD dilumpuhkan dengan kekerasan oleh polisi Dominika dan angkatan
bersenjata.[188]
Di Indonesia, anti-komunis garis keras Jenderal Soeharto meraih kendali pemerintahan dari
pendahulunya, Soekarno, dan kemudian mulai membangun "Orde Baru". Dari tahun 1965 sampai 1966,
militer Indonesia melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar setengah juta anggota dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia serta organisasi-organisasi sayap kiri lainnya.[189]
Meningkatnya konflik yang sedang berlangsung antara pemimpin Vietnam Selatan Ngô Đình
Diệm dengan komunis Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) membuat Johnson
mengirimkan 575.000 tentara Amerika ke Asia Tenggara untuk melumpuhkan NLF dan sekutu Vietnam
Utara mereka dalam Perang Vietnam, namun kebijakan ini memakan banyak biaya dan melemahkan
perekonomian AS, dan pada tahun 1975, krisis ini memuncak dengan kegagalan Amerika Serikat. Dunia
memandang peristiwa ini sebagai kekalahan memalukan bagi sebuah negara adidaya yang paling kuat di
tangan salah satu negara termiskin dunia.[16] Vietnam Utara menerima persetujuan Soviet untuk memulai
perang pada tahun 1959. Uni Soviet mengirimkan 15.000 penasihat militer dan bantuan dana sebesar $
450 juta kepada Vietnam Utara selama perang, sedangkan Cina mengirimkan 320.000 tentara dan
bantuan dana senilai $180 juta.[190]
Di Chili, kandidat Partai Sosialis Salvador Allende memenangkan pemilihan presiden tahun 1970,
menjadi Marxis terpilih demokratis pertama yang menjadi presiden di negara-negara Amerika.
[191]
 Jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada tanggal 11 September
1973 dan dengan cepat mengambilalih semua kekuasaan politik menjadi kediktatoran militer,
tindakannya ini direstui oleh AS. Reformasi Allende ekonomi diurungkan dan lawan sayap kiri tewas atau
ditahan di kamp-kamp interniran di bawah arahan dari Dirección de Inteligencia Nacional (DINA).

Henry Kissinger, Penasihat Keamanan Nasional dan Sekretaris Negara Amerika Serikat pada masa pemerintahan


Presiden Nixon dan Ford, merupakan salah satu tokoh kunci dalam Perang Dingin (1969-1977).

Sementara itu, Operasi Burung Kondor di Amerika Selatan — yang digunakan oleh para diktator
di Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Uruguay, dan Paraguay untuk menekan perbedaan pendapat dengan
sayap kiri — juga mendapat dukungan dari Amerika Serikat, dan (kadang-kadang akurat) diperkirakan
juga terdapat Kuba atau Soviet di belakang gerakan oposisi tersebut.[192]
Amerika Serikat juga tidak senang saat Jamaika mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan
pemerintah Kuba setelah pemilihan Michael Manley pada tahun 1972.[193] Amerika Serikat meresponnya
dengan mendanai lawan-lawan politik Manley, mendorong pemberontakan dalam tubuh tentara
Jamaika, dan menyewa tentara bayaran untuk menentang pemerintahan Manley.[153] Kekerasan pun
terjadi.
Situasi di Timur Tengah terus menjadi sumber persengketaan. Mesir, yang menerima banyak bantuan
senjata dan bantuan ekonomi dari Uni Soviet, adalah klien Soviet yang merepotkan. Dengan terpaksa,
Uni Soviet berkewajiban untuk membantu Mesir dalam Perang Enam Hari(dengan mengirimkan
penasihat militer dan teknisi) dan Perang Atrisi (dengan mengirimkan pilot dan pesawat) untuk
melawan Israel yang pro-Barat.[194] Di samping pembelotan Mesir, dari yang sebelumnya pro-Soviet
menjadi pro-Amerika pada tahun 1972 (dibawah kepemimpinan Anwar El Sadat),[195] rumor mengenai
intervensi Soviet dalam Perang Yom Kippur pada tahun 1973 menyebabkan terjadinya pengiriman
tentara Amerika besar-besaran dan mengancam akan menghancurkan détente.[196] Meskipun pada era
pra-Sadat Mesir merupakan penerima bantuan terbesar Soviet di Timur Tengah, Soviet juga sukses
menjalin hubungan erat dengan komunis di Yaman Selatan, serta pemerintahan
nasionalis Aljazair dan Irak.[195] Soviet secara langsung memihak dan membantu Palestina dalam
menghadapi konflik dengan Israel, termasuk dukungan untuk Yasser Arafat dan Organisasi Pembebasan
Palestina.[197] Dari tahun 1973-1975, CIA berkolusi dengan pemerintah Iran untuk membiayai dan
mempersenjatai pemberontak Kurdi dalam Perang Irak–Kurdi Kedua dengan tujuan untuk melumpuhkan
pemimpin Irak Ahmed Hassan al-Bakr. Saat Iran dan Irak menandatangani Perjanjian Aljazair pada tahun
1975, dukungan untuk Iran pun juga turut berhenti.[198]

Seorang tentara Amerika dalam Perang Vietnam, 3 Agustus 1965.

Di Afrika, militer Somalia yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre melakukan kudeta tak berdarah pada
tahun 1969 dan mendirikan Republik Demokratik Somalia yang berpaham sosialis. Uni Soviet berjanji
untuk mendukung Somalia. Empat tahun kemudian, Kaisar Ethiopia Haile Selassieyang pro-Amerika
digulingkan dalam kudeta tahun 1974 oleh kelompok Derg, sebuah kelompok militer radikal pro-Soviet
yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Mariem menjalin hubungan dengan Kuba dan Soviet.
[199]
 Saat peperangan antara Somalia dan Ethiopia pecah pada tahun 1977-1978, Barre kehilangan
dukungan Soviet dan kemudian bersekutu dengan Amerika Serikat. Tentara Kuba juga berperan dalam
perang ini dengan memihak Ethiopia.[199]
Revolusi Anyelir di Portugis pada tahun 1974 yang melawan keotoriteran Estado Novo membuat Portugis
kembali ke sistem multi-partai dan sekaligus memfasilitasi kemerdekaan koloni Portugis
di Angola dan Timor Timur. Di Afrika, pemberontak Angola mengobarkan perang kemerdekaan multi-
faksi menentang kekuasaan Portugis sejak tahun 1961, setelah perang ini usai, perang dua
dasawarsa menggantikan perang anti-kolonial, yang ditandai dengan peperangan antara
komunis Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA), yang didukung oleh Kuba dan Soviet,
dengan Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA), yang didukung oleh Amerika Serikat, Republik Rakyat
Tiongkok, dan pemerintahan Mobutu di Zaire. AS, pemerintahan apartheid Afrika Selatan, dan beberapa
negara Afrika lainnya juga mendukung faksi ketiga, Uni Nasional untuk Kemerdekaan Penuh
Angola (UNITA). Tanpa berkonsultasi dengan Soviet, Kuba mengirimkan tentaranya untuk berjuang
bersama MPLA.[199] Pemerintah apartheid Afrika Selatan juga mengirimkan tentara untuk membantu
UNITA, namun MPLA berada di atas tangan karena didukung oleh Kuba dan Soviet. [199]
Di Asia Tenggara, koloni Timor Timur secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya dari Portugis
di bawah sayap kiri Fretilin pada bulan November 1975. Dengan dukungan dari Australia dan Amerika
Serikat, Soeharto menginvasi Timor Timur pada bulan Desember — yang memulai pendudukan
Indonesia di Timor Timur selama seperempat abad.[200]
Selama Perang Vietnam, Vietnam Utara menginvasi dan menduduki sebagian Kamboja untuk digunakan
sebagai pangkalan militer, yang juga berperan dalam memicu pecahnya Perang Saudara Kamboja antara
pemerintah pro-Amerika Lon Nol dan pemberontak Maoist Khmer Merah. Dokumen yang ditemukan
dari arsip Soviet mengungkapkan bahwa invasi Vietnam Utara ke Kamboja pada tahun 1970 dilaksanakan
atas permintaan dari Khmer Merah setelah bernegosiasi dengan Nuon Chea.[201] AS dan Vietnam Selatan
menanggapinya dengan melancarkan kampanye pengeboman dan serangan darat, efek dari operasi ini
masih diperdebatkan oleh para sejarawan.[202] Di bawah kepemimpinan Pol Pot, Khmer Merah membantai
1-3 juta, dari 8,4 juta total penduduk Kamboja, di ladang pembantaian.[203][204][205] Sosiolog Martin
Shaw menggambarkan kekejaman ini sebagai "genosida paling murni dari era Perang Dingin".[206] Vietnam
menggulingkan Pol Pot pada tahun 1979 dan membentuk pemerintah boneka di bawah pimpinan Heng
Samrin.
Perbaikan hubungan Cina-Amerika[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kunjungan Nixon ke Tiongkok tahun 1972
Sebagai akibat dari perpecahan Sino-Soviet, ketegangan yang berlangsung di sepanjang perbatasan Cina-
Soviet mencapai puncaknya pada tahun 1969, dan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon memutuskan
untuk memanfaatkan konflik tersebut sebagai alat untuk menggeser keseimbangan kekuasaan ke arah
Barat dalam Perang Dingin.[207] Cina juga berusaha meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat
dalam upayanya untuk mengambil keuntungan dari Soviet.
Pada bulan Februari 1972, Nixon mengumumkan pemulihan hubungan dengan Cina.[208] Ia melakukan
kunjungan ke Beijing dan bertemu dengan Mao Zedong dan Zhou Enlai. Pada saat itu, sumber daya nuklir
Uni Soviet telah setara dengan Amerika Serikat, Perang Vietnam juga telah melemahkan pengaruh
Amerika di Dunia Ketiga dan mendinginkan hubungannya dengan Eropa Barat.[209] Meskipun konflik tak
langsung antara dua adidaya dalam Perang Dingin terus berlanjut sampai akhir 1960-an dan awal 1970-
an, ketegangan perlahan-lahan mulai mereda.[117]
Nixon, Brezhnev, détente, dan Penembakan Pesawat Korean Air Lines Penerbangan
902[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Perundingan Pembatasan Senjata Strategis,  Perjanjian Helsinki, dan Organisasi untuk
Keamanan dan Kerjasama di Eropa

Leonid Brezhnev dan Jimmy Cartermenandatangani traktat SALT II, 18 Juni 1979 di Wina

Setelah kunjungannya ke Tiongkok, Nixon bertemu dengan para pemimpin Soviet, termasuk Brezhnev di
Moskow.[210] Perundingan Pembatasan Senjata Strategis (SALT) antara kedua belah pihak menghasilkan
dua kesepakatan mengenai pengawasan penggunaan senjata, yaitu SALT I, pakta pembatasan senjata
komprehensif pertama yang ditandatangani oleh kedua negara adidaya,[211] dan Traktat Peluru Kendali
Anti-Balistik, yang mengatur mengenai pembatasan sistem peluru kendali anti-balistik yang digunakan
untuk mempertahankan wilayah terhadap senjata nuklir yang dibawa misil. Ini bertujuan untuk
membatasi pengembangan peluru kendali anti-balistik dan rudal nuklir berbiaya mahal.[70]
Nixon dan Brezhnev mengumumkan era baru "hidup berdampingan secara damai" dan membangun
pendekatan hubungan baru yang disebut détente (peredaan ketegangan) antara dua negara adidaya.
Sementara itu, Brezhnev berusaha untuk memperbaiki kembali perekonomian Soviet yang mengalami
penurunan akibat besarnya pengeluaran militer.[16] Antara tahun 1972 dan 1974, kedua belah pihak juga
sepakat untuk memperkuat hubungan ekonomi mereka,[16] di antaranya dengan melakukan perjanjian
dalam rangka peningkatan aktivitas perdagangan. Sebagai hasil dari perundingan
mereka, détente menggantikan era permusuhan dari Perang Dingin dan kedua negara bisa hidup secara
berdampingan.[210]
Sementara itu, perkembangan hubungan AS dan Soviet juga bertepatan dengan "Ostpolitik" Kanselir
Jerman Barat Willy Brandt.[186] Perjanjian lainnya yang disahkan untuk menstabilkan situasi di Eropa
adalah Perjanjian Helsinki, yang ditandatangani dalam Konferensi Keamanan dan Kerjasama di
Eropa pada tahun 1975.[212]
Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1970-an, KGB, yang dikepalai oleh Yuri Andropov, terus menekan kritikus-kritikus terkenal
yang mengkritik kepemimpinan Soviet seperti Aleksandr Solzhenitsyn dan Andrei Sakharov.[213] Selama
periode détente ini, konflik tak langsung antara kedua negara adidaya masih terus terjadi di Dunia Ketiga,
khususnya dalam krisis politik di Timur Tengah, Chili, Ethiopia, dan Angola.[214]
Presiden Jimmy Carter berusaha untuk menetapkan pembatasan perlombaan persenjataan lebih lanjut
dengan mengesahkan SALT II pada tahun 1979,[215] namun upayanya ini dirusak oleh peristiwa lainnya
pada tahun itu, yaitu Revolusi Iran yang didukung oleh KGB,[216] Revolusi Nikaragua untuk menggulingkan
rezim pro-AS, dan yang paling membuat AS berang; intervensi Soviet dalam Perang Afganistan pada
bulan Desember.[16]
"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Perang Dingin (1979–1985)

Istilah "Perang Dingin Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan Perang Dingin dan
konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Ketegangan sangat meningkat
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan masing-masingnya menjadi lebih ter-militeristik. [12] Diggins
mengungkapkan: "Reagan mengerahkan segalanya untuk berjuang dalam 'Perang Dingin Kedua' dengan
mendukung kontra-pemberontakan di Dunia Ketiga."[217] Sementara Cox menyatakan: "Intensitas 'Perang
Dingin Kedua' sehebat durasinya yang singkat."[218]
Perang Soviet-Afganistan[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Perang Saudara Afganistan dan  Perang Soviet-Afganistan

Presiden Reagan menunjukkan dukungannya dalam pertemuan dengan para pemimpin Mujahidin


Afganistan di Gedung Putih, 1983.

Tentara Soviet di Afganistan.

Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDPA) yang berhaluan komunis merebut
kekuasaan atas Afganistan melalui Revolusi Saur. Dalam hitungan bulan, penentang pemerintahan
komunis melancarkan pemberontakan di Afganistan timur, yang dengan cepat berkembang
menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin melawan tentara pemerintah.
Pemerintah Pakistan memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat pelatihan rahasia, sedangkan
Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung pemerintahan PDPA.[219]Sementara itu,
meningkatnya gesekan antara faksi-faksi yang bersaing di PDPA – faksi Khalq yang dominan
dan Parcham yang lebih moderat  – menyebabkan pemberhentian anggota kabinet dan penangkapan
perwira militer Parchami dengan dalih kudeta terhadap Parchami. Pada pertengahan 1979, Amerika
Serikat memulai sebuah program rahasia untuk membantu mujahidin.[220]
Bulan September 1979, Presiden Khalqist Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah kudeta PDPA
yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin, yang kemudian menjadi
presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada bulan Desember 1979. Setelah kematiannya,
sebuah pemerintahan yang diorganisir oleh Soviet, di bawah pimpinan Babrak Karmal, mengisi
kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan untuk menstabilkan Afganistan di bawah
pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka Soviet. Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa
yang kemudian menjadi perang domestik di Afganistan.[221]
Carter menanggapi intervensi Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian SALT II
dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman gandum dan barang-barang teknologi pada Uni
Soviet, serta meningkatkan pengeluaran militer. Amerika Serikat juga melakukan pemboikotan
terhadap Olimpiade Moskow 1980. Carter menyatakan bahwa tindakan Soviet merupakan "ancaman
yang paling serius terhadap perdamaian selama Perang Dingin Kedua".[222]
Reagan dan Thatcher[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Doktrin Reagan

Kabinet Thatcher bertemu dengan Kabinet Reagan di Gedung Putih, 1981.

Pada bulan Januari 1977, empat tahun sebelum menjadi presiden, Ronald Reagan mengungkapkan
dalam percakapannya dengan Richard V. Allen, mengenai harapan dasarnya terkait dengan Perang
Dingin: "Ide saya mengenai kebijakan Amerika terhadap Uni Soviet sederhana, dan beberapa orang akan
menyebutnya sangat sederhana, yaitu: Kita menang dan mereka kalah. Bagaimana menurut Anda?".
[223]
 Tahun 1980, Ronald Reagan mengalahkan Jimmy Carter dalam pemilu presiden 1980. Setelah
kemenangannya, ia bersumpah akan meningkatkan anggaran militer dan menghadapi Soviet di
manapun.[224] Baik Reagan maupun Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Margaret Thatcher, sama-
sama mengecam Uni Soviet dan ideologinya. Reagan menyebut Uni Soviet sebagai sebuah "kekaisaran
jahat" dan meramalkan bahwa komunisme akan hancur menjadi "tumpukan abu sejarah".[225]
Meskipun sentimen anti-Amerika di Iran setelah Revolusi Iran meningkat, pemerintahan Reagan tetap
mengulurkan tangan kepada pemerintah anti-komunis Ayatollah Khomeini dalam upayanya untuk
merekrut teokrasi bagi Amerika pada tahun 1980-an. Direktur CIA William Casey menggambarkan
pemerintahan Khomeini sebagai pemerintahan yang "goyah dan [mungkin] dalam pergerakan ke arah
kebenaran... AS hampir tidak memiliki kartu untuk dimainkan; sementara Uni Soviet memiliki banyak
kartu."[226] Salah satu metode yang dilakukan Amerika untuk mendukung Iran adalah dengan penjualan
senjata secara rahasia. Pada tahun 1983, CIA merilis daftar panjang komunis Iran dan aktivis sayap kiri
lainnya yang dicurigai bekerja dalam pemerintahan Khomeini.[227] Sebuah komisi khusus kemudian
melaporkan bahwa daftar itu disusun untuk mengambil "langkah-langkah, termasuk eksekusi massal,
untuk mengeliminasi semua infrastruktur pro-Soviet di Iran."[227]
Pada awal 1985, prinsip anti-komunis Reagan telah berkembang menjadi sikap yang dikenal
sebagai Doktrin Reagan — yang mana, selain penahanan, juga dirumuskan hak tambahan untuk
menumbangkan pemerintahan komunis yang ada.[228] Selain melanjutkan kebijakan Carter yang
mendukung penentang Islam dalam melawan Soviet dan PDPA di Afganistan, CIA juga berusaha
melemahkan Uni Soviet dengan cara mempromosikan politik Islam di wilayah Asia Tengah Soviet yang
mayoritas beragama Islam.[229] Di samping itu, CIA mendorong ISI yang anti-komunis di Pakistan agar
bersedia melatih Muslim dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam jihad melawan Uni Soviet.[229]
Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Solidarność  dan Darurat militer di Polandia

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke negara kelahirannya, Polandia, pada tahun 1979 telah mendorong
kebangkitan spiritual dan nasionalis yang memicu lahirnya gerakan solidaritas dan semangat anti-
komunisme. Hal ini diperkirakan merupakan penyebab dilakukannya upaya pembunuhan terhadap Paus
Yohanes Paulus II dua tahun kemudian.[230]
Pada bulan Desember 1981, Wojciech Jaruzelski bereaksi terhadap krisis di Polandia dengan
memberlakukan masa darurat militer. Untuk menanggapinya, Reagan memberlakukan sanksi ekonomi
terhadap Polandia.[231] Mikhail Suslov, ideolog top di Kremlin, menyarankan agar pemimpin Soviet tidak
campur tangan jika Polandia jatuh di bawah kendali gerakan Solidaritas, karena takut hal itu akan
menimbulkan sanksi ekonomi yang lebih berat lagi, yang berarti akan menjadi malapetaka bagi
perekonomian Soviet.[231]
Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Era stagnasi,  Strategi Inisiatif Pertahanan, RSD-10 Pioneer,  MGM-31
Pershing, Kematian Leonid Brezhnev,  Yuri Andropov,  dan Konstantin Chernenko
Perbandingan stok senjata nuklir AS dan Soviet/Rusia, 1945–2006

Delta 183 diluncurkan, membawa sensor eksperimen Strategi Inisiatif Pertahanan"Delta Star".

Moskow telah membangun sumber daya militer yang menghabiskan 25 persen dari produk nasional
bruto Uni Soviet, dengan mengorbankan barang-barang konsumsi dan investasi di sektor sipil.
[232]
 Pengeluaran Soviet untuk perlombaan senjata dan kompetisi Perang Dingin lainnya semakin
diperparah oleh masalah struktural dalam sistem perekonomian Soviet, [233] yang mengalami stagnasi
ekonomi selama satu dekade dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Brezhnev.

Pemboikotan Olimpiade Moskow 1980 (biru) dan Olimpiade Los Angeles 1984 (merah).

Investasi Soviet dalam sektor pertahanan tidak didorong oleh kepentingan militer, namun sebagian besar
untuk mendukung kepentingan partai-partai besar dan birokrasi negara, yang bergantung pada sektor
militer untuk mendukung kekuasaan dan hak istimewa mereka.[234]Militer Uni Soviet merupakan militer
terbesar di dunia dalam hal jumlah dan jenis senjata, jumlah tentara, dan jumlah pangkalan militer yang
mereka miliki.[235] Namun, keuntungan kuantitatif yang dipegang oleh militer Soviet seringkali
dirahasiakan keberadaannya, sehingga Blok Timur secara dramatis tertinggal oleh Barat. [236]
Setelah seorang anak Amerika berusia sepuluh tahun bernama Samantha Smith mengirimkan surat kepada Yuri
Andropov, yang mengungkapkan ketakutannya atas perang nuklir, Andropov mengundang Smith ke Uni Soviet.

Pada awal 1980-an, Uni Soviet telah membangun persenjataan dan pasukan militer yang melebihi
Amerika Serikat. Segera setelah Soviet menginvasi Afganistan, Presiden Carter memulai pembangunan
besar-besaran militer Amerika Serikat. Upaya ini semakin diintensifkan oleh pemerintahan Reagan, yang
meningkatkan pengeluaran militer dari 5,3 persen/total GNP pada tahun 1981 menjadi 6,5 persen pada
tahun 1986,[237] jumlah anggaran militer terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat. [238]
Ketegangan terus meningkat pada awal 1980-an ketika Reagan mengaktifkan kembali program B-1
Lancer yang sebelumnya dibatalkan oleh pemerintahan Carter, memproduksi LGM-118 Peacekeeper,
[239]
 menginstal rudal jelajah AS di Eropa, dan mengumumkan program eksperimental Strategi Inisiatif
Pertahanan, yang dijuluki "Star Wars" oleh media, yaitu program pertahanan untuk menembak jatuh
rudal musuh di tengah-tengah penerbangannya.[240]
Dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketegangan antara Soviet dan Amerika Serikat, serta
dipasangnya rudal balistik RSD-10 Pioneer milik Soviet yang mengarah ke Eropa Barat, NATO
memutuskan – di bawah dorongan dari Presiden Carter – untuk menginstal rudal jelajah dan MGM-31
Pershing milik Amerika Serikat di Eropa, terutama di Jerman Barat.[241] Rudal-rudal ini ditempatkan
dengan jarak mencolok, hanya berjarak 10 menit dari Moskow.[242]
Setelah pembangunan militer Reagan selesai, Soviet tidak menanggapinya dengan mengembangkan
sumber daya militernya lebih besar lagi karena pengeluaran militer Soviet sudah sangat besar.
[243]
 Besarnya anggaran militer Soviet mengakibatkan tidak efisiennya pembangunan dalam
sektor manufaktur dan pertanian, yang akhirnya menjadi beban berat bagi perekonomian Soviet.[244] Di
saat yang bersamaan, produksi minyak di Arab Saudi meningkat,[245] bahkan produksi minyak di negara-
negara non-OPEC juga meningkat pada periode tersebut, termasuk Soviet. [246]Perkembangan ini
memberikan kontribusi terhadap fenomena banjir minyak 1980-an yang mempengaruhi Uni Soviet.
Minyak mulai menjadi sumber utama pendapatan ekspor Soviet. [232][244] Namun,
permasalahan perekonomian komando,[247] turunnya harga minyak, dan pengeluaran militer yang tetap
besar secara bertahap membawa perekonomian Soviet menuju stagnasi. [244]
Pada tanggal 1 September 1983, Uni Soviet menembak jatuh Korean Air Penerbangan 007,
pesawat Boeing 747 yang mengangkut 269 penumpang, termasuk anggota Kongres Larry McDonald.
Pesawat itu ditembak karena melanggar wilayah udara Soviet dengan melewati pantai barat Pulau
Sakhalin, di dekat Kepulauan Moneron —tindakan yang oleh Reagan dianggap sebagai "pembantaian".
Tindakan Soviet ini semakin meningkatkan dukungan bagi AS supaya segera menerjukan militernya.
[248]
 NATO mengadakan latihan militer Able Archer 83 pada bulan November 1983, yang merupakan
simulasi peluncuran nuklir secara nyata. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai saat yang paling berbahaya
bagi dunia sejak Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962. Setelah pemimpin Soviet memahami maksud dari
latihan militer tersebut, maka diputuskan bahwa perang nuklir semakin dekat.[249]
Ketidaksetujuan publik AS mengenai campur tangan AS dalam konflik negara lain sudah berlangsung
sejak akhir Perang Vietnam.[250] Pemerintahan Reagan menekankan taktik kontra-pemberontakan dan
penyelesaian cepat dalam mencampuri konflik asing.[250] Pada tahun 1983, pemerintahan Reagan ikut
campur tangan dalam Perang Saudara Lebanon, menginvasi Grenada, membom Libya, dan mendukung
gerakan Contras di Amerika Tengah – paramiliter anti-komunis yang berusaha menggulingkan
pemerintahan pro-Soviet Sandinista di Nikaragua.[98] Intervensi Reagan terhadap Grenada dan Libya
mendapat dukungan dari publik AS, namun dukungannya pada Contra mengundang kontroversi.[251]
Sementara itu, Soviet sendiri mengeluarkan biaya tinggi dalam memfasilitasi intervensi mereka terhadap
asing. Meskipun Brezhnev meyakini pada tahun 1979 bahwa Perang Soviet-Afganistan akan berlangsung
singkat, gerilyawan Muslim, yang dibantu oleh AS dan negara-negara lainnya, mengobarkan perlawanan
sengit terhadap invasi tersebut.[252] Kremlin mengirimkan hampir 100.000 tentara untuk mendukung
rezim boneka di Afganistan, yang dijuluki oleh para pengamat luar dengan "perang 'Vietnam'-nya
Soviet".[252] Namun, dampak perang Afganistan ini jauh lebih parah bagi Soviet ketimbang dampak Perang
Vietnam bagi Amerika Serikat, karena konflik ini juga bertepatan dengan periode kekacauan dan krisis
internal dalam birokrasi dan perekonomian Soviet.[253]
Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS memprediksikan pada awal 1980-an, ia
menyatakan bahwa "invasi yang mengakibatkan krisis dalam negeri bagi Soviet... mungkin itu adalah
hukum termodinamika entropi... yang terjebak dengan sistem Soviet, yang sekarang tampaknya lebih
banyak mengeluarkan energi untuk menjaga keseimbangannya ketimbang untuk memperbaikinya. Kita
bisa melihat periode kebangkitan asing pada saat mengalami keruntuhan internal".[254][255]

Tahun-tahun terakhir (1985–1991)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Dingin (1985–1991)

Mikhail Gorbachev dan Ronald Reagan menandatangani Traktat INFdi Gedung Putih, 1987

Reformasi Gorbachev[sunting | sunting sumber]


Informasi lebih lanjut: Mikhail Gorbachev, perestroika,  dan glasnost

Setelah tanggal 11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet
yang kelima untuk menggantikan Konstantin Chernenko yang sudah wafat.
Pada saat Mikhail Gorbachev, yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris Jenderal pada tahun 1985,
[225]
 perekonomian Soviet sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam dalam penerimaan mata uang
asing akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun 1980-an.[256]Masalah ini memaksa Gorbachev untuk
mengambil langkah-langkah guna membangkitkan kembali keterpurukan Soviet. [256]
Gorbachev menyatakan bahwa untuk membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan struktural
yang mendalam. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan agenda reformasinya yang
disebut perestroika atau restrukturisasi.[257] Perestroika memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota
produksi, kepemilikan swasta atas bisnis dan juga membuka jalan bagi investor asing. Langkah ini
dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya negara dari pembiayaan militer yang mahal untuk
menunjang Perang Dingin ke pengembangan sektor sipil yang lebih produktif.[257]
Meskipun muncul skeptisisme dari negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini terbukti
berkomitmen untuk memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk, bukannya melanjutkan
perlombaan senjata dengan Barat.[117][258] Untuk melawan penentang reformasinya yang berasal dari
internal partai, Gorbachev secara bersamaan memperkenalkan glasnost, atau keterbukaan. Kebijakan ini
memungkinkan meningkatnya kebebasan pers dan transparansi lembaga-lembaga negara.
[259]
 Glasnost dimaksudkan untuk mengurangi korupsi dalam tubuh Partai Komunis dan memoderasi
penyalahgunaan kekuasaan di Komite Sentral.[260] Glasnost juga memungkinkan meningkatnya kontak
antara warga Soviet dan Dunia Barat, khususnya dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi
bagi peningkatan détente antara kedua negara.[261]
Perbaikan hubungan[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík, Traktat INF, dan  START I

Menanggapi konsesi politik dan militer Kremlin yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan kembali


perundingan dengan Soviet terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan senjata. [262] Perundingan
pertama diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa, Swiss.[262] Dalam perundingan tersebut, kedua
pemimpin negara, disertai oleh seorang penerjemah, sepakat untuk mengurangi persenjataan nuklir di
masing-masing negara sebesar 50 persen.[263] Perundingan kedua, Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík,
diselenggarakan di Islandia. Perundingan tersebut berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah
Strategi Inisiatif Pertahanan Reagan yang ingin dieliminasi oleh Gorbachev, namun Reagan menolaknya.
[264]
 Negosiasi akhirnya gagal, namun dalam perundingan ketiga pada tahun 1987, kedua belah pihak
berhasil menghasilkan terobosan dengan ditandatanganinya Traktat Angkatan Nuklir Jangka
Menengah (INF). Traktat ini menghapuskan keberadaan semua senjata nuklir, rudal balistik, dan rudal
jelajah di kedua belah pihak dengan jarak antara 500 dan 5.500 kilometer beserta infrastrukturnya. [265]
Ketegangan antara Timur dengan Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an. Tahun 1989,
bertempat di Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush, menandatangani
perjanjian START I, yang mengakhiri perlombaan senjata antar kedua negara.[266] Selama tahun-tahun
berikutnya, Soviet dihadapkan pada keruntuhan perekonomian yang diakibatkan oleh turunnya harga
minyak dunia dan besarnya pembiayaan militer.[267] Selain itu, penempatan militer di negara sekutunya
diakui tidak relevan lagi bagi Soviet, dan pada tahun 1987, Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia
tidak akan ikut campur lagi dalam urusan dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa Timur.[268]
Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afganistan,[269] dan setahun kemudian Gorbachev
menyetujui reunifikasi Jerman,[267] satu-satunya alternatif untuk menanggapi skenario Tianmen.
[270]
 Ketika Tembok Berlin runtuh, konsep "Common European Home" yang dicetuskan oleh Gorbachev
mulai terbentuk.[271]
Pada tanggal 3 Desember 1989, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Malta, Gorbachev dan George H. W.
Bush secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin sudah berakhir.[272]Setahun kemudian, dua negara
tersebut bermitra dalam Perang Teluk melawan Irak.[273]
Goyahnya sistem Soviet[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Perekonomian Uni Soviet,  Revolusi 1989,  dan Jalur Baltik

Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989.

Pada tahun 1989, sistem aliansi Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya dukungan militer
dari Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta Warsawa juga kehilangan
kekuasaan.[269] Di Uni Soviet sendiri, kebijakan glasnost melemahkan ikatan yang selama ini menyatukan
Soviet.[268] Bulan Februari 1990, dengan semakin memuncaknya isu pembubaran Uni Soviet, para
pemimpin Partai Komunis terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaannya yang telah bertahan selama 73
tahun.[274]
Pada saat yang sama, isu kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong negara-negara
Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara Baltik mulai menarik diri dari Soviet
sepenuhnya.[275] Gelombang revolusi damai 1989 yang melanda Eropa Tengahdan Eropa Timur
meruntuhkan kedigjayaan komunisme Soviet di negara-negara seperti Polandia, Hongaria, Cekoslowakia
dan Bulgaria.[276]Rumania menjadi satu-satunya negara Blok Timur yang menggulingkan kekuasaan
komunis secara keras dengan mengeksekusi kepala negaranya.[277]
Pembubaran Uni Soviet[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: January 1991 events in Latvia,  Upaya kudeta di Soviet 1991, Sejarah Uni Soviet
(1982–1991),  dan Pembubaran Uni Soviet
Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, akhir resmi dari Uni Soviet

Sikap permisif Gorbachev terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet, bahkan Bush,
yang berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet, mengutuk pembunuhan
pada bulan Januari 1991 di Latvia dan Lituania. Bush memperingatkan bahwa hubungan ekonomi akan
dibekukan jika kekerasan terus terjadi.[278] Uni Soviet secara fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal pada
tahun 1991 dan meningkatnya jumlah republikan Soviet, khususnya di Rusia, yang mengancam akan
memisahkan diri dari Uni Soviet. Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, yang didirikan pada tanggal
21 Desember 1991, dipandang sebagai entitas penerus Uni Soviet, namun, menurut para pemimpin
Rusia, tujuannya adalah untuk "memungkinkan perpisahan secara beradab" antara republik-republik
Soviet dan juga sebanding dengan kelonggaran konfederasi.[279] Uni Soviet secara resmi dibubarkan pada
tanggal 25 Desember 1991.[280]

Dampak[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Dampak Perang Dingin

NATO/CSTO

NATO telah memperluas cakupannya ke negara-negara bekas Pakta Warsawa dan bekas Uni Soviet sejak


berakhirnya Perang Dingin.

Setelah Perang Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong pengeluaran militer secara
drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan warga di seluruh Uni Soviet menganggur.
[281]
 Sedangkan reformasi kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih parah daripada yang
dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.[282]
Setelah berakhir, Perang Dingin masih terus mempengaruhi dunia.[12] Setelah pembubaran Uni Soviet,
dunia pasca-Perang Dingin secara luas dianggap sebagai dunia yang unipolar, menyisakan Amerika
Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.[283][284][285] Perang Dingin juga membantu
mendefenisikan peran politik Amerika Serikat di dunia pasca-Perang Dunia II: pada tahun 1989 AS
menjalin kerjasama militer dengan 50 negara dan memiliki 526.000[286] tentara di luar negeri yang
tersebar di puluhan negara, dengan 326.000 terdapat di Eropa (dua pertiganya di Jerman Barat),[287] dan
sekitar 130.000 terdapat di Asia (terutama di Jepang dan Korea Selatan). [286] Perang Dingin juga menandai
puncak pengembangan industri-militer, terutama di Amerika Serikat, dan pendanaan militer secara
besar-besaran.[288] Pengembangan industri militer ini memiliki dampak besar terhadap negara yang
bersangkutan; membantu membentuk kehidupan kemasyarakatan, kebijakan, dan hubungan luar negeri
negara tersebut.[289]
Pengeluaran militer Amerika Serikat selama berlangsungnya Perang Dingin diperkirakan sekitar $ 8
triliun, sedangkan hampir 100.000 orang Amerika kehilangan nyawa mereka dalam Perang
Korea dan Perang Vietnam.[290] Sulit untuk memperkirakan jumlah korban dan kerugian dari pihak Soviet,
namun jika dilihat dari komparasi produk nasional bruto mereka, maka biaya keuangan yang dikeluarkan
oleh Soviet selama Perang Dingin jauh lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat. [291]
Selain hilangnya nyawa warga sipil oleh para tentara tak berseragam, jutaan jiwa juga tewas
dalam perang proksi antar kedua negara adidaya di berbagai belahan dunia, terutama di Asia Tenggara.
[292]
 Sebagian besar perang proksi dan bantuan untuk konflik-konflik lokal turut berakhir seiring dengan
usainya Perang Dingin. Perang antar-negara, perang etnis, perang revolusi, serta jumlah pengungsi
menurun tajam pada tahun-tahun pasca-Perang Dingin.[293]
Di sisi lain, konflik-konflik antar-negara di Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terhapus pasca-Perang Dingin.
Ketegangan ekonomi dan sosial yang dulu dimanfaatkan sebagai "bahan bakar" Perang Dingin terus
berlangsung di Dunia Ketiga.[12] Kegagalan kontrol negara di sejumlah wilayah yang dulunya dikuasai oleh
pemerintah komunis telah menghasilkan konflik sipil dan etnis baru, terutama di negara-negara
bekas Yugoslavia.[12] Berakhirnya Perang Dingin telah menghantarkan Eropa Timur pada era pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan jumlah negara demokrasi liberal, sedangkan di bagian lain dunia, seperti di
Afganistan, kemerdekaan diikuti dengan kegagalan negara.[12]

Historiografi[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Historiografi Perang Dingin

Setelah istilah "Perang Dingin" dipopulerkan untuk merujuk pada ketegangan antara AS-Soviet pasca-
Perang Dunia II, penafsiran terhadap asal usul konflik telah menjadi sumber perdebatan di
kalangan sejarawan, ilmuwan politik, dan jurnalis.[294] Secara khusus, sejarawan tidak sepakat mengenai
siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan hubungan Soviet-AS setelah Perang Dunia II, dan apakah
konflik antara dua adidaya tersebut tak terelakkan atau bisa dihindari.[295] Para sejarawan juga tidak
sepakat mengenai apa defenisi persisnya Perang Dingin itu, apa-apa saja yang menjadi sumber-sumber
konfliknya, dan bagaimana untuk menguraikan pola aksi dan reaksi antara kedua belah pihak. [12]
Meskipun penjelasan tentang asal usul dari konflik Perang Dingin dalam diskusi akademik berlangsung
dengan kompleks dan beragam, beberapa sekolah umum menetapkan pemikiran pada subjek yang
dapat diidentifikasi. Sejarawan umumnya berpendapat bahwa terdapat tiga pendekatan yang berbeda
untuk mempelajari Perang Dingin, yaitu: pendekatan "ortodoks", "revisionisme", dan "pasca-
revisionisme".[288]
Pendekatan "ortodoks" menyatakan bahwa Uni Soviet dan ekspansinya ke Eropa Timur lah yang memicu
berkobarnya Perang Dingin.[288] Kalangan "revisionis" menganggap bahwa Amerika Serikat bertanggung
jawab atas kerusakan perdamaian pasca-Perang Dunia II karena berupaya untuk mengkonfrontasi dan
mengisolasi Uni Soviet sebelum akhir Perang Dunia II.[288] Sedangkan "pasca-revisionis" memandang
Perang Dingin sebagai peristiwa yang lebih bernuansa, dan berusaha untuk lebih menyeimbangkan
mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab dalam Perang Dingin.
[288]
 Kebanyakan historiografi mengenai Perang Dingin menggunakan dua atau keseluruhan pendekatan
ini.[31]
MAKALAH
TENTANG : PERANG DINGIN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
1.DESMAN HURA
2.EZRI WASTI NOVIA GORI
3.GITTA NAOMI GLORIA DAELI
4.HERSA PANDI LAOLI

Mapel : Sejarah
Kelas : XII Mipa 1
Guru Mapel : Bapak B.Harefa.S.Pd

SMA NEGERI UNGGULAN SUKMA NIAS

Anda mungkin juga menyukai