Anda di halaman 1dari 25

71.

ADDISON

Definisi

Penyakit Addison adalah suatu kondisi dimana kelenjar adrenal tidak dapat
memproduksi dengan cukup beberapa jenis hormon, Addison melibatkan
terganggunya fungsi dari kelenjar korteks adrenal. Hal ini menyebabkan penurunan
produksi dua hormon yang biasanya dirilis oleh korteks adrenal : kortisol dan
aldosterone. Kondisi tersebut dikenal dengan DR.Addison pada tahun 1855
mengemukakan tentang penyakit tersebut. Penyakit Addison juga dikenal sebagai
kekurangan adrenalin kronik, hipokortisolisme atau hipokortitisme merupakan
penyakit endokrin langka dimana kelenjar adrenalin memproduksi hormon steroid
yang tidak cukup. Hipofungsi atau insufisiensi adrenal primer berasal dari dalam
kelenjar adrenal dan ditandai oleh penurunan sekresi hormon-hormon
mineralokortikoid (aldosteron), glukokortikoid (kortisol) serta androgen. Penyakit
Addison sangat jarang ditemukan, dari hasil penelitian di Inggris didapatkan hasil
dari satu juta orang hanya terjadi 8 kasus saja. Kebanyakan kasus terjadi antara umur
20 sampai 50 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada semua umur. Pada penyakit
Addison gejala berkembang secara lambat mulai dari beberapa bulan sampai dengan
tahun ditandai dengan: lemah badan, lekas lelah, anoreksia, penurunan berat badan
dan hiperpigmentasi.

Pigmentasi oral dapat menjadi tanda pada penyakit Addison ini. Biopsi dari
lesi oral menunjukkan acanthosis dengan granulasilver positif dalam sel-sel pada
stratum germinativum, melanin terlihat pada lapisan basal (Kirkland L, 2010)
Gambaran klinis

Pada pasien dengan penyakit Addison, intraoral terdapat pigmentasi pada


mukosa bukal, bagian bawah mukosa gingiva, mukosa alveolar dan palatum durum.
Lidah tampak halus dengan hilangnya papilla dan terjadi pigmentasi pada posterior
lidah (Sarkar, 2012).

Etiologi

Penyakit Addison dapat disebabkan oleh insufisiensi adrenal primer seperti


autoimun, infeksi dan tumor adrenal atau insufisiensi adrenal sekunder karena tumor
atau infeksi, kurangnya aliran darah ke kelenjar hipofisis, radiasi kelenjar hipofisis,
atau pengangkatan bagian hipotalamus atau kelenjar hipofisis. Kerusakan lebih dari
90% pada kedua kelenjar adrenal dan biasanya disebabkan oleh proses autoimun
(ketika antibodi dalam darah bereaksi secara khusus terhadap jaringan adrenal).
Tuberkulosis (20% kasus), pengangkatan kedua kelenjar adrenal, tumor pada kelenjar
adrenal, sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipofisis (Sanjaya, 2017).

Rencana perawatan
Tujuan penatalaksanaan dari penyakit Addison adalah untuk mengatasi syok,
rehidrasi cairan, melakukan penggantian kortikosteroid, pemantauan terhadap tanda
vital. Terapi sulih kortikosteroid seperti kortison maupun hidrokortison yang
memberikan efek mineralokortoid. Terapi glukortikoid sintetik seperti
hydrocortisone, prednisone atau dexamethasone oral 1-3 kali sehari memberi efek
glukokortikoid. Pemberian fluorokortison oral (florinef) 1-2 kali sehari untuk
mencegah kondisi dehidrasi, hipotensi, hiponatremia, dan hyperkalemia. Pemberuan
vasopresor amina juga perlu diberikan jika terjadi hipotensi menetap. Rehidrasi cairan
dengan salin IV, glukosa dan elektrolit terutama natrium melalui infus (Sarkar 2012).

72. PIGMENTASI FISIOLOGIS

Definisi

Pigmentasi fisiologis biasanya dapat dijumpai pada gingiva, palatum durum,


mukosa dan lidah. Jika pada gingiva, warna fisiologis normal gingiva adalah merah
muda atau pink salmon, dengan variasi fisiologis dari pigmentasi melanin. Pigmentasi
melanin pada gingiva umum terjadi pada individu berkulit gelap. Hiperpigmentasi
melanin memiliki peran detensif terhadap kemajuan inflamasi gingiva. Melanin
adalah pigmen endogen yang paling umum yang terdapat dalan tubuh. Pigmen coklat
nonhemoglobin yang dihasilkan oleh melanosir dan juga merupakan cation chelator
kuat. Melanosit adalah sel dendritic yang berasal neuroektodermal. Mereka bekerja
independen dari sel epitel sekitarnya dan berperilaku sebagai kelenjar eksokrin
uniseluler yang mengkonversi tirosin ke melanoprotein (melanin), yang kemudian di
transfer ke keratinosit dengan cara melanosom. Dengan demikian, melamin ini
disimpan dalam lapisan basal dari epitel oral. Kebanyakan pigmentasi disebabkan
oleh lima pigmen utama, yaitu melanin, melanoid, oksihemoglobin, pengurangan
hemoglobin, dan karotin (Karydis, 2012)

Pigmentasi fisiologis mukosa oral klinis dimanifestasikan sebagai multifocal


atau difus pigmentasi melanin dengan prevalensi variabel di kelompok etnis yang
berbeda. Melanin biasanya ditemukan di kulit semua orang. Pada orang berkulit
gelap gingiva mungkin berisi pigmen melanin yang lebuh besar daripada mukosa
alveolar. Jika gingiva berpigmen dilakukan pembedahan reseksi, akan sembuh
dengan sedikit atau tidak ada pigmentasi; karena itu, prosedur bedah harus dirancang
sehingga untuk melindungi jaringan berpigmen (Kanakamedala, 2010)

Gambar klinis

Berikut beberapa gambaran klinis dari pigmentasi gingiva. Gambar a


menunjukkan pigmentasi gingiva difus, gambar b pigmentasi padat dan gambar c
pigmentasi tidak beraturan (bintik-bintik atau macula) (Ade, 2014).
Gambar cba

Etiologi

Lesi berpigmen oral dapat memiliki berbagai etiologi, termasuk obat, logam
berat, genetika, gangguan endokrin, dan radang. Hiperpigmentasi gingiva disebabkan
oleh deposisi melanin yang berlebihan oleh melanosit terutama di lapisan sel basal
dan suprabasal dari epitel. Pigmentasi yang gelap atau kecoklatan dan perubahan
warna jaringan gingiva dapat disebabkan oleh berbagai faktor lokal dan sistemik.
Kondisi sistemik seperti gangguan endokrin, Albright syndrome, melanoma maligna,
terapi antimalaria, trauma, penyakit paru kronis, dan racial pigmentation dapat
menyebabkan hiperpigmentasi gingiva. Tinggi nya kadar pigmentasi melanin
biasanya diamati pada orang Afrika, Asia Timur, atau Hispanic ethnicity (Ponnaiyan,
2014).
Rencana perawatan

Untuk menghilangkan hiperpigmentasi dapat dilakukan beberapa perawatan


diantaranya adalah gingival scraping dengan menggunakan scalpel dimana
menghancurkan sel-sel epitel yang menghasilkan pigmen melanin terutama pada
lapisan basal. Gingival scraping pada hiperpigmentasi gingiva harus dilakukan hati-
hati untuk mencegah pengambilan gingiva berlebihan yang dapat menyebabkan resesi
gingiva, kerusakan jaringan periodonyal serta penyembuhan luka yang buruk
(Muhammad 2016).

Terapi

Pada kasus pigmentasi gingiva terapi dapat dengan metode bedah dan non
bedah. Metode bedah adalah teknik bedah konvensional dengan menggunakan pisau
bedah, abrasi gingiva dengan high speed, pengerokan gingiva dengan scalpel, free
gingival graft, gingivektomi, crysurgery, electrosurgery, Acellular dermal matrix, dan
sinar laser . sedangkan yang termasuk teknik non bedag yaitu dengan menggunakan
bahan kimia seperti Fenol 90%.

Prognosa

Prognosa umum dapat dikatakan baik jika pasien kooperatif dan tidak
menderita penyakit sistemik. Pada prognosa lokal dikatakan sedang jika gingiva RA
dan RB (hiperpigmentasi) kebiasaan buruk pasien seperti merokok.

Pemeriksaan penunjang

Pada kasus pigmentasi gingiva diperlukan pencatatan tentang riwayat medis,


riwayat keluarga serta pemeriksan darah untuk mengantisipasi adanya kontraindikasi
perawatan (Ade, 2014).

73. Pigmentasi Patologis (ion logam, tembakau, obat-obatan)


Definisi

Pigmentasi patologis oleh karena tembakau atau rokok memiliki hubungan


yang erat dengan pigmentasi melanin gingiva. Perokok lebih memiliki kecenderungan
mengalami hiperpigmentasi dibandingkan dengan tidak perokok (ASH, 2013).

Gambar klinis

Secara klinis lesi ini biasanya multiple dan berwarna coklat seperti macula
dengan diameter kurang dari 1 cm yang terletak pada labial dari gingiva cekat dan
pada papilla interdental mandibular. Pigmentasi gingiva cenderung terjadi pada
permukaan labial dari gigi anterior sedangkan pada permukaan palatal akibat
tembakau jarang ditemukan melainkan ditemukan pada individu yang bukan perokok.

Nabila Akmaliyah, Smoker’s melanosis pada pria dengan kebiasaan merokok


sejak remaja

Etiologi

Penyebab manifestasi pigmentasi patologis dapat disebabkan karena


kebiasaan buruk yaitu merokok dan dan faktor lain karena obat-obatan anti malaria
seperti chloroquine dan quinidine, antimikroba, minosiklin, amiodaron, klorpromazin,
ACTH, zidovudine, ketoconazole, mthyldopa, busulphan, menthol, obat kontrasepsi,
paparan logam berat (Ferreira, 2017).

Rencana perawatan

Rencana perawatan yang diberikan adalah dengan memberi komunikasi.


Edukasi, dan intruksi kepada pasien. Komunikasi berupa memberi dukungan pada
pasien agar tidak khawatir dengan kondisi di dalam mulutnya. Edukasi yang
diberikan adalah memberi penjelasan menyeluruh pada pasien bahwa warna
kehitaman pada gusi disebabkan karena kebiasaan merokok, kondisi tersebut
merupakan varian normal dan tidak berbahaya. Juga perlu dijelaskan bahwa kondisi
varian normal ini sering terjadi dan tidak mengarah pada keganasan. Pemberian
instruksi merupakan hal yang sangat penting, menginstruksikan pasien untuk
mengurangi atau menghentikan kebiasaan buruk seperti merokok dan menjaga
kesehatan gigi dan mulutnya serta rutin memeriksakan gigi ke dokter gigi setiap 6
bulan sekali.

74. POST-HERPETIC NEURALGIA

Definisi

Postherpetic neuralgia (PHN) atau neuralgia paska herpetika (NPH)


merupakan suatu komplikasi dari infeksi varicella zoster virus (VZN) yang sering
terjadi pada kelompok usia tua. Postherpetic neuralgia didefinisikan sebagai kondisi
nyeri neuropatik yang kronis pada dermatom yang dipengaruhi oleh varicella zoster
virus yang muncul setelah hilangnya ruam atau lesi kulit karena infeksi virus tersebut
(Jericho, 2010).

Gambaran klinis
Pada pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan
(dideskripsikan sebagai rasa terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten
(nyeri seperti ditusuk, ditembak) dan atau nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus
seperti alodinia (nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri) (Jericho, 2010).

Etiologi

Neuralgia didefinisikan sebagai kondisi nyeri neuropatic yang kronis pada


dermatom yang disebabkan oleh varicella zoster virus yang muncul setelah hilangnya
ruam atau lesi kulit karena infeksi virus tersebut.

Rencana perawatan

Perawatan dengan pengobatan antivirus yang agresif untuk infeksi akut dapat
mengurangi resiko pengembagan komplikasi post herpetic neuralgia. Ketika rasa
sakit dirasakan parah, analgesic dosis besar dapat membantu, alternative obat yang
lain yaitu amitriplyne dan gabapentin. Penerapan stimulasi transcutaneous electrical
pada daerah yang terkena kadang dapat efektif, penerapan ini setiap jam selama 5-10
menit setiap hari, dan pemberian stimulator secara persisten dapat mencegah adanya
nyeri (Dubinsky, 2004).

Terapi

Focus terapi dilakukan pada manajemen nyeri dan masalah terkait komplikasi
yang dapat muncul. Obat pilihan pertama yang biasa digunakan yaitu agen
antidepresan trisiklik, gapapentin, dan pregabalin. Pedoman saat ini mengajurkan
pengibotan PHN secara hierarkis. Dengan kanal kalsium α2-δ ligan (gabapentin dan
pregabalin), TCA (amitriptilin, nortriptilin atau desipramin), atau patch lidokain
sebagai terapi lini pertama. Untuk pilihan terapi lini kedua dapat menggunakan opioid
dan patch atau krim capsaicin topical atau dapat juga dengan mengombinasikan dua
obat dengan mekanisme kerja yang berbeda (Dubinsky, 2004).
Prognosa

Prognosa postherpetic neuralgia (PHN) dikatakan baik jika penanganan nya


tepat.

75. PRIMARY HERPETIC GINGIVOSTOMATITIS

Definisi

Primary herpetic gingivostomatitis (PHGS) merupakan penyakit infeksi virus


herpes simpleks primer tipe 1 atau 2 (HSV-1 atau HSV-2). Gejala khas nya berupa
deman yang muncul tiba-tiba, anoreksia, nyeri iritasi dan nyeri yang intens pada
rongga mulut, dan pada rongga mulut berupa vesikel atau ulserasi multiple pada gusi
dan mukosa mulut. Umumnya, penyakit PHGS terjadi pada anak dan remaja akhir,
insidensinnya pada anak hingga usia 5 tahun adalah 33 % sedang pada masa remaja
akhir insidensi infeksi ini mencapai 70-80% . Akan tetapi, infeksi ini terkadang juga
dijumpai pada orang dewasa, misalnya yang pernah dilaporkan terjadi pada seorang
pasien berusia 70 tahun. Infeksi virus Herpes simplex (VHS) pada orang dewasa
dapat bermanifestasi sebagai faringotonsilitis, dengan lesi yang terbatas hanya pada
tonsil palatinalis dan orofaring posterior, disertai dengan gejala rasa terbakar pada
kerongkongan, demam, malaise dan sakit kepala (Fatahzadeh, 2007).

Gambar klinis

Timbulnya lesi dalam rongga mulut baik pada permukaan mukosa bergerak
maupun tidak bergerak. Lesi awal berupa vesikula yang dengan cepat akan pecah,
menyatu sehingga membentuk ulserasi besar yang sangat perih. Selanjutnya gingiva
menjadi eritema dan lunak. Pada pasien muda, diagnosis klinis PHGS biasanya
ditegakkan berdasarkan adanya tanda dan gejala klinis yang khas, terutama jika
dijumpai adanya tanda klasik berupa lesi vesikulaulseratif oral atau perioral disertai
gejala prodromal dan lesi di daerah keratinisasi seperti palatum dan gingiva (Treister
2007).

Etiologi

Terjadi nya penyakit PHGS disebabkan oleh dua hal, pertama oleh karena
pasien belum pernah terpapar oleh infeksi virus Herpes Simplex (VHS
) sehingga belum memiliki titer antibody di dalam tubuhnya. Hal tersebut
menyebabkan jika pada masa dewasanya pasien sedang dalam kondisi imunosupresi,
maka VHS dapat menginfeksi dan menimbulkan manifestasi. Penyebab lain oleh
karena infeksi VHS kemungkinan disebabkan oleh jenis virus yang lain, infeksi oleh
satu jenis tertentu tidak memproteksi terhadap jenis yang lain. (Erni, 2012)

Rencana perawatan
Prinsip perawatan yang akan dilakukan adalah kausatif, simptomatis dan
suportif, serta prefentif. Pasien dapat diberikan acyclovir 200 mg 5 kali sehari untuk 5
hari, asam mefenamat sebanyak 15 tablet untuk diminum hanya jika terasa nyeri, dan
benzydamin HCl kumur 4 kali sehari sebagai terapi simptomatis. Diberikan juga
vitamin B complex untuk terapi suportif serta edukasi pasien bahwa pasien sedang
dalam masa infeksius sehingga disarankan untuk menghindari kontak intim dengan
orang lain.

Terapi

Terapi kausatif : pasien diberikan acyclovir 15mg/kgBB pada anak, acyclovir


200 mg 5x/hari pada dewasa.

Terapi simtomatik : anastetik topical, analgesic-antipiretik, antiseptic kumur.

Terapi supportif: istirahat, hidrasi, immunomodulator, multivitamin (Glick, 2015).

Prognosa

Baik

76. Pteki/purpura/ hematoma oral

Definisi

Hematoma adalah perdarahan setempat yang membeku dan membentuk


massa yang padat. Terkadang perdarahan sesudah pencabutan dengan tang atau
pencabutan gigi dengan pembedahan berlangsung internal, yaitu meluas sepanjang
dataran fasial atau periosteum. Perdarahan bisa diatasi dengan tampon (terbentuknya
tekana ekstravaskular lokal dari tampon ), pembekuan atau keduanya. Hematom
biasanya bermula sebagai pembengkakan rongga mulut atau fasial yang sering
berwarna merah atau ekhimotik. Dengan berjalannya waktu akan berubah menjadi
noda memar berwarna biru dan hitam. Pada bedah mulut mayor, insidens hematom
berkurang dengan adanya hemostatis yang memadai pada waktu operasi, pemasangan
drain atau suction pasca bedah.

Gambar klinis

Pada gambar diatas hematoma yang terjadi pada pasien pasca pencabutan gigi.

Etiologi

Hematoma terjadi karena adanya ekstravasasi darah ke dalam jaringan akibat


tertusuknya pembuluh darah arteri maupun vena oleh jarum anastesi sewaktu
melakukan injeksi. Hematoma berkembang pada pipi. Injeksi ke daerah tuberositas
atau blok nervus posterior superior sering menyebabkan terbentuknya hematoma

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mengetahui penyebab, faktor resiko,


atau komplikasi yang sudah terjadi, seperti pemeriksaan rontgen untuk mengetahui
adanya fraktur tulang yang mengakibatkan hematoma, atau pemeriksaan darah guna
mengetahui kadar trombosit serta waktu pembekuan darah.

77. RECURRENT HERPES LABIALIS (HERPES LABIALIS/RHL)


Definisi

Infeksi virus herpes simplek 1 (VHS-1) yang biasa disebut herpes simpleks
labialis (HSL) merupakan masalah global kesehatan masyarakat yang memiliki
berbagai bentuk pengobatan dengan dampak yang minimal. Bentuk paling umum dari
infeksi virus tersebut adalah gingivostomatitis primer, atau berupa infeksi berulang
HSL, biasanya terjadi pada anak prasekolah atau taman kanak-kanak, remaj, dan
dewasa muda (Wayne, 2003).

Herpes simplek labialis (cold sore/fever blisters) adalah bentuk herpes orofasial
rekuren yang paling sering terjadi. Herpes labialis rekuren terjadi pada 50-75 %
individu yang terkena infeksi VHS di mulut, dan terjadi tiga kali lebih sering pada
pasien yang mengalami demam dibandingkan pasien tanpa demam (Adolf, 2010).

Gambaran klinis

Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan muntah disertai
rasa tidak nyaman di mulut. Pada satu sampai dua hari setelah gejala prodromal,
timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil berkelompok di mukosa mulut, berdinding
tipis yang dikelilingi oleh peradangan. Vesikel cepat pecah, meninggalkan ulkus
dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga mulut. Lesi dapat mengenai seluruh
bagian di mukosa mulut. Selama berlangsungnya penyakit, vesikel dapat bersatu
menjadi lesi yang lebih besar dengan tepi tidak teratur. Gambaran khas adalah
gingivitis marginalis akut, generalisata, edema, dan eritema gingiva yang kadang-
kadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. Herpes labialis bisa terjadi terutama
pada orang dewasa muda dengan insidensi sebanyak 20-40%. Lesi bibir biasanya
terjadi pada daerah vermilion border dan kulit perioral. Lesi diawali dengan gejala
prodromal seperti rasa terbakar, gatal atau kesemutan, dan sakit ringan pada daerah
lesi. Lesi timbul kemerahan (eritema) sebagai papula, vesikula, ulser, krusta,
kemudian sembuh atau hilang tanpa meninggalkan bekas. Rasa sakit biasanya dialami
hanya pada 2 hari pertama kemunculan lesi vesikula. Ukuran lesi vesikula
berdiameter 1-5 mm, dengan jumlah hanya 1 atau dapat juga lebih dari 1 dan timbul
banyak berdekatan. Selama 48 jam vesikel pecah dan meninggalkan erosi dan
menjadi krusta dan sembuh dalam 7-10 hari. Lesi ini bersifat rekuren dan sembuh
tanpa meninggalkan bekas luka (Adolf, 2010).

Etiologi

Disebabkan karena re-aktivasi HSV-1 laten pada ganglion trigeminal setelah


infeksi primer. Faktor predisposisi yang dapat memicu reaktivasi dari HSV-1 laten
adalah stresss, truma, paparan sinar matahari dan menstruasi.

Rencana perawatan

Perawatan bagi penderita VHS meliputi kausatif disertai analgetik dan


antipiretik, pemberian terapi suportif seperti makanan yang cair tinggi kalori, protein,
multivitamin, serta obat kumur dengan kandungan anastetikum (Laskaris, 2005).

Terapi

Mengontrol faktor predisposisi, seperti: menggunakan sunscreen untuk


mengurangi frekuensi rekurensi akibat sinar matahari, istirahat yang cukup dan
makan makanan bergizi juga dapat mengurangi frekuensi rekuren. Perawatan topical
dapat menggunakan krim acyclovir 5% atau salep pencyclovir 1% pada saat awal
gejala prodromal atau gejala akan timbul lesi, penggunaan krim tetrakasin 1,8
sebanyak 6 kali sehari. Perawatan sistemik (untuk pasien immunokompromise)
pemberian obat (acyclovir tablet 200mg, 5 kali sehari selama 7 hari), pemberian obat
antipretik/analgesic (paracetamol elixir) dan antiseptic lokal (0,2 % obat kumur
aqueous chlorhexidine).

Prognosa

Prognosa reccurent herpes labialis dikatakan baik jika dapat menanganan yang
tepat dan pasien kooperatif.
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan biopsi, titer antibodi, dan kultur


virus maupun dengan mikroskop electron direk. Diagnosis ditegakkan melalui
anamnesis yang adekuat dan gambaran klinis serta hasil pemeriksaan penunjang di
laboratorium.

78. RECURENT ORAL HERPES (STOMATITIS HERPETIKA / RIH)

1 Etiologi lokal

Definisi

Penyakit mulut berupa vesikel atau ulserasi multiple pada mukosa mulut
akibat reaktivasi dari Herpes Simplex Virus (HSV) – 1 atau kadang-kadang HSV-2
yang laten pada ganglion syaraf. Infeksi herpes simpleks virus ditandai adanya lepuh
yang sakit dan gatal serta vesikel pada mukosa oral. Lesi didahului rasa sakit,
kesemutan, gatal, dimulai sebagai macula yang cepat berubah menjadi papula, lalu
vesikel selama sekitar 48 jam, kemudian menjadi ulser yang akan pecah dalam 72-96
jam serta sembuh tanpa jaringan parut. Lesi yang luas dapat muncul pada pasien
immunokompromise (Scully, 2013).
Gambar klinis

Gejala intra oral berupa erythema dan vesikel kecil diameter 1-3mm
berkelompok pada palatum keras, attached gingiva, dorsum lidah, dan mukosa non
keratin di labial, bukal, ventral lidah dan palatum mole, vesikel mudah pecah
membentuk ulser yang lebih besar dengan tepi tidak teratur dan kemerahan.
Etiologi

Disebabkan oleh reaktivasi dari virus HSV-1 atau kadang-kadang HSV-2 ,


terjadinya reaktivasi dari HSV laten ke dalam saliva dan sekresi oral akibat adanya
faktor pemicu dan menimbulkan ulserasi rongga mulut.

Rencana perawatan

Pada pasien imunokompeten bersifat “Self limiting disease” (penyakit yang


dapat sembuh sendiri apabila daya tahan tubuh membaik).

Terapi

Terapi kausatif berupa antivirus untuk kasus yang berat (diberikan pada tahan
vesikel (72 jam pertama): acyclovir 1000mg perhari atau valacyclovir/`famciclovir
500-1000mg.

Prognosa

Baik

Pemeriksaan penunjang

Tidak diperlukan, tampilan klinis dan riwayat menjadi karakteristik khas.


2. Terkait gangguan hematologi

Definisi

Infeksi rekuren herpes merupakan bentuk sekunder atau rekuren dari infeksi
herpes simpleks primer. Infeksi rekuren terjadi ketika VHS-1 bersifat reaktif pada
keadaan laten dan bergerak secara sentripetal ke mukosa atau kulit (Ghom, 2010).

Gambaran klinis

Terlihat adanya gambaran vesikel yang mudah pecah yang kemudian berubah
menjadi ulcer kemerahan dengan ukuran 1-5 mm. Biasanya dapat terjadi dimana saja
di rongga mulut terutama pada gingiva, palatum durum dan dorsum lidah (Ghom,
2010).

Etiologi

Berhubungan dengan peningkatan antibody IgG dalam serum sebesar empat


kali lipat. Pasien dengan leukemia, transpaltasi ginjal, dan transpaltasi stem cell
lainnya bermanifestasi menyebabkan infeksi RIH terjadi (Greenberg, 2008).

Rencana perawatan

Pemberian obat topical anti virus seperti krim acyclovir, krim penciclovir,
dank rim docosanol dapat mengurangi rasa nyeri dan ukuran lesi (Greenberg, 2008).

79. SARKOMA KAPOSI

Definisi

Sarcoma Kaposi adalah kanker yang berkembang dari sel-sel yang melapisi
pembuluh getah bening atau pembuluh darah. Sarkoma Kaposi seringkali muncul
sebagai tumor pada kulit atau pada permukaan mukosa, seperti di dalam rongga
mulut. Pada populasi dengan HIV negative, SK jarang didapatkan. Orang yang
terinfeksi HIV mempunyai resiko 100 hingga 300 kali lebih sering terkena SK
dibandingakan populasi dengan HIV negative. Sarcoma Kaposi (SK) diungkapkan
oleh Moritz Kaposi pertama kali pada tahun 1872. Pada awal tahun 1980-an,
prevalensi SK mulai meningkat drastis dan menjadi keganasan paling banyak pada
pasien dengan Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), terutama pada laki-
laki homoseksual. Peneliti epidemiologi menunjukkan bahwa penularan seksual
menjadi faktor yang bertanggung jawab terhadap SK. Kejadian terakhir menujukkan
bahwa SK berhubungan dengan infeksi virus herpes yang dapat menyebar secara
vertical dan seksual. Pemeriksaan yang cermat pada kulit dan rongga mulut pada
pasien dengan infeksi HIV merupakan kunci untuk diagnosis dini SK. Evaluasi awal
pada pasien dengan kecurigaan SK adalah dengan memperhatikan riwayat penyakit
secara menyeluruh termasuk durasi dan laju perkembangan lesi kulit, serta ada
tidaknya gejala pernafasan dan gastrointestinal. Dengan mempertimbangkan adanya
variasi dari kondisi klinis yang serupa dengan lesi kutaneus SK, pemeriksaan biopsy
kulit diperlukan untuk penegakan diagnosis (Wen, 2010).

Gambaran klinis

Gambaran klinis pada palatum yang merupakan tanda Sarkoma Kaposi yang
terkait AIDS.
Etiologi

Etiologi paling umum penyakit sarcoma Kaposi adalah virus herpes (HHV-8).
Virus ini dapat melunar melalui hubungan seks dan kontak non-seksual seperti dari
ibu ke bayi (umum di Negara Afrika). Pada orang dengan AIDS, sarcoma Kaposi
disebabkan oleh interaksi antara HIV, system imun yang melemah dan virus herpes
manusia (HHV-8). Sarkoma Kaposi juga telah dihubungkan dengan penyebaran HIV
dan HHV-8 melalui aktivitas seks. Orang yang mengalami transplantasi ginjal atau
organ lainnya juga beresiko terkena sarcoma Kaposi (Wen, 2010).

Rencana perawatan

Pilihan perawatan untuk Sarkoma Kaposi yaitu terapi lokal untuk penyakit
terlokalisir dapat dengan bedah eksisi, cryotherapy, 9-cis-rettinoic acid topical dan
terapi radiasi. Untuk terapi sistemik-penyakit tersebar luas atau keterlibatan organ
dalam seperti pada pasien dengan AIDS memulai highly active antiretroviral therapy
(HAART), untuk pasien menggunakan terapi imunosupresif dengan evaluasi ulang
terapi. Untuk pasien AIDS tidak merespons dengan HAART dapat dilakukan
kemoterapi sitotoksik sistemik Liposomal anthracyclines (missal liposomal
doxorubicin 20-40 mg/m² setiap 2-4 minggu), paclitaxel (100 mg/m² setiap 2
minggu). Untuk pasien KS klasik diberikan Liposomal anthracyclines (missal
liposomal doxorubicin 20-40 mg/m² setiap 2-4 minggu, Vinblastine (6mg IV sekali
seminggu), doxorubicin/bleomycin/vincristine (20-30 mg/m² atau 10 mg/m², atau 1-2
mg setiap 2-4 minggu), interferon-α (3-30 juta unit setiap hari tiga kali seminggu)
(Novia, 2009).

80. SIFILIS

Definisi

Sifilis adalah salah satu penyakit menular seksual yang kompleks, progresif
dengan banyak stadium disebabkan oleh infeksi bakteri spirochete treponema
pallidum. Asal mula sifilis belum diketahui secara pasti, ada dua hipotesis utama
yang menyebutkan bahwa sifilis dibawa dari Amerika ke Eropa oleh awak kapal
Christopher Colombus, hipotesus kedua mengatakan bahwa sifilis sebenarnya sudah
ada di Eropa tetapi belum diketahui. Penyakit sifilis memiliki empat stadium yaitu
primer, sekunder, laten dan tersier. Tiap stadium perkembangan memiliki gejala
penyakit berbeda-beda dan menyerang organ tubuh yang berbeda-beda pula (Katz,
2012).

Gambar klinis

Manifestasi klinis awal sifilis adalah papup kecil soliter, kemudian dalan satu
sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik dari sifilis
primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih, tunggal,
tidak nyeri, merah dan berbatas tegas. Dasar chancre banyak mengandung kuman
treponema yang dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen
pada sediaan kerokan chancre. Berikut gambar dari chancre pada labial oleh karena
sifilis (Cawson, 2017).

Etiologi

Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspecies


pallidum. Sifilis di transmisikan melalui kontak langsung dengan lesi yang infeksius
atau melalui transmisi vertical (jalur trans-plasenta) selama kehamilan. Kira-kira
sepertiga kontal dari seksual dengan sifilis yang infeksius akan menyebabkan
penyakit (tingkat transmisi 10-60%). Fokal infeksi dari bakteri biasanya adalah
genital pada pasien heteroseksual tetapi transmisi dari laki-laki yang berhubungan
seksual dengan laki-laki (LSL) mungkin terjadi melalui ekstra-genital (anal-oral)
melalui kontak oral-anal atau gential-anal. Pengguna narkoba suntik dan transfuse
darah juga merupakan jalur transmisi yang potensial. Transmisi secara vertical dapat
terjadi pada semua stadium kehamilan. Resiko dari transmisi bervariasi tergantung
dari stadium sifilis.
Penyakit sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan bakteri
gram negative 0,2 µm dan panjang 5-15 µm. Bakteri yang pathogen terhadap
manusia, bersifat parasite obligat intraseluler, mikroaerofilik, dan tidak mampu
bertahan hidup diluar tubuh host mamalia (Odell, 2010).

Rencana perawatan

Penatalaksanaan sifilis secara umum meliputi screening pemeriksaan infeksi


menular seksual (IMS) lain termasuk HIV. Pasien harus diberikan penjelasan secara
rinci mengenai sifilis, termasuk implikasi jangka panjang terhadap kesehatan diri dan
pasangan serta keluarganya. Terdapat sedikit studi yang memberikan informasi
mengenai lama puasa berhubungan seksual selama pengobatan, tetapu pasien
disarankan untuk menahan diri untuk melakukan kontak seksual sampai lesi dari
sifilis primer (jika ada) benar-benar sembuh dan sampai 2 minggu setelah selesai
pengobatan. Data klinis mengenai dosis optimal dan lama pengobatan serta efikasi
jangka panjang dari antimikroba lain selain penisilin masih kurang. Rekomendasi
pemberian antimikroba ini hanya berdasarkan pertimbangan laboratorium, pendapat
ahli, studi kasus serta pengalaman klinis. Penatalaksanaan secara parenteral lebih di
pilih daripada secaea oral karena terapi ini dapat diamati dan bioavailabilitasnya di
jamin (Cawson, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Ade ismail, abdul kodir , Teknik Bedah Dengan Skalpel pada Hiperpigmentasi
Gingiva, Odonto Dental Jurnal, Volume 1. Nomor 2 Desember 2014.
Action on Smoking and Health (ASH) Fact Sheet. 2013. [Distasi: 12 Mei 2014].
Diakses dari:http://ash.org.uk/.

Adolf H. Infeksi herpes pada pasien imunokompeten. PKB “New Perspective of


Sexually Transmitted Infection Problems.” Surabaya 7-8 Agustus 2010. p.1-10
Cawson. R. A & Odell. E. W. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. 8th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2010: 42, 46-7.
Erni Marlina, Hadi Soenartyo. Primary herpetic gingivostomatitis in young adult.,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia Dentofasial,
Vol.11, No.2, Juni 2012:111-114

Fatahzadeh M, Schwartz AR. Human herpes simplex virus infection: epidemiology,


pathogenesis, symptom, Patology diagnosis and management.J Am Acad Deramatol
2007; 17; 5).
Ferreira L., Smoker’s Melanosis.Emedicine Medscape., 2017.

Glick M, dkk 2015. Burket”s Oral Medicine Diagnosis and Treatment 12 th Edition.
Hemilton. BC Decker Inc
Greenberg MS, Michael G, Jonathan A. Burket’s Oral Medicine 11th Edition. USA:
BC Decker Inc Hamilton. 2008: 71-72
Ghom, Anil Govindrao. Textbook of Oral Medicine 2nd Edition. 2010
Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago: The
Internet Journal of Orthopedic Surgery Dubinsky R, dkk. Practice Parameter:
Treatment of Postherpetic Neuralgia. 2004. American Academy of Neurology. p959-
965.

Katz, K.A. Syphilis. In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S.,
Leffell, D.J.,Wolff, K., eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Eight
Edition. New York: McGraw-Hill; 2012, p.2471-92.

Karydis A, Bland P, Shiloah J. Management oral melanin pigmentation. Journal of


tennesse dental association. 2012; 92(2): 11 – 15.
Kanakamedala, A.K., Geetha, A., Ramakrishnan, T., and Emadi, P. Management of
Surgical Hyperpigmentation by the Surgical Scalpel Technique-Repost of three cases.
Journal of Clinical and Diagnostic Research.2010.
Kirkland L. AdrenalCrisis; eMedicine; available at:
http://www.emedicine.com/med/topic65.htm Liotta EA, Elston DM, Brough A,
Travers R, Wells MJ, Callen JP. et all. 2010. Addison Disease. Medscape reference
drug, disease & procedure
Laskaris G. Treatment of oral disease: a concise textbook. Thieme; 2005. p.84-5
Muhammad Ryan dan Agung Krismariono, Gingiva Scraping untuk depigmentasi
gingiva, MKGK. Desember 2016; 2(3): 172-175
ISSN: 2460-0059 (online)

Nabila Akmaliyah., 2014, Smoker’s melanosis pada pria dengan kebiasaan merokok
sejak remaja, fakultas kedokteran gigi universitas trisakti Jakarta
Novia Indriyani Adisty, Sawitri , Willy Sandh ika. Kaposi’s Sarcoma-associated
Herpesvirus)., Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Soetomo Surabaya

Odell E, 2017, Cawson's Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine, 9th Ed.
Elsevier, London, h 430-454
Ponnaiyan, D., Jegadeesan, V., Perumal G., and Anusha, A.Correlating Skin Color
with Gingival Pigmentation Patterns in South Indians – A Cross sectional study.
OHDM. 2014. Vol 13 No. 1 pg 132-136.
Sanjaya, Ailing., Addison disease. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Vol 1
No 1 2017
Sarkar et al. 2012. Addison’s disease. Contemporary Clinical Dentistry. Volume 3
Issue 4. Pages 484-486
Treister, SN, Lerman AM. Acute oral ulceration. J Am Dent Assoc 2007;138;499-
501.)
Scully C. Oral and Maxillofacial Medicine. Oral and Maxillofacial Medicine: The
Basis of Diagnosis and Treatment: Third Edition. Elsevier Ltd. London, UK 2013.
277-280 p. USA: Jaypee. 2010
Wayne RG, Michael GA. Reccurent herpes simplex labialis: selected therapeutic
options. J Can Dent Assoc 2003; 69(8): 498-503).

Wen KM, Damania B. Kaposi sarcoma-associated herpesvirus (KSHV): Molecular


biology and oncogenesis. Cancer lett 2010; 289: 140-50

Anda mungkin juga menyukai