Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN TINGGI SURABAYA

NO:73/1974 Pid.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi komponen nilai tugas dari mata kuliah percobaan-

penyertaan-gabungan dan gugurnya hak

DOSEN:

- Dr. Yenti Garnasih , SH MH

- Albert Aries , SH ,MH

Oleh

Indira Fadhilatul ilmi / 010001700212

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TRISAKTI

2019
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL……..................................................................................................... . i

DAFTAR ISI..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ..........................................................................…………. 3

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................…………. 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................……. 7

2.1 Pembahasan .....................................................................……………………… 7

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………… 20

3.1 kesimpulan…………………………………………………………….. 21

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................……………. 21
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

“Kehilangan Hak Menuntut dan Hak Menjalankan Hukuman“, demikianlah judul


dari titel VIII Buku I KUHP. Dalam judul itu disebutkan hak menuntut dan hak
menjalankan hukuman.
Berbicara tentang hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada
istilah subjectief strafrecht (jus puniendi) yang di dalamnya recht tidak berarti “hukum”
tetapi “hak” , yaitu hak dari Negara, diwakili oleh alat-alatnya untuk menghukum
seorang oknum yang melanggar hukum pidana.Disamping subjectief
strafrecht ada objectief strafrecht yang berarti rangkaian peraturan yang merupakan
hukum pidana. Jadi, recht dalam objectief strafrecht berarti “hukum”.
Dalam bahasa Belanda, kata recht memang mempunyai dua arti, yaitu hak dan hukum ,
sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “hukum” tidak dapat berarti “hak”. Berhubung
dengan ini tidak ganjil apabila dalam Wetboek van Strafrecht ada suatu bagian, yaitu
titel VIII Buku I yang dalam judulnya menggunakan kata recht dalam arti “hak”. Dengan
diterjemahkannya Wetboek van Strafrecht menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebenarnya ganjil apabila ada titel VIII Buku I dari KUHP yang dalam judulnya
memuat pengertian “hak” yang tidak diliputi perkataan “hukum”.
   Sebab-sebab Gugurnya Hak Menuntut Pidana dalam Hukum Pidana
Gugurnya hak menuntut Pidana dalam Hukum Pidana meliputi :
1.    Perbuatan yang diputus dengan Putusan yang menjadi tetap
Pasal 76 KUHP mengandung prinsip penting, yaitu bahwa seseorang tidak dapat
dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim
dengan putusan yang telah berkekuatan tetap (gewisjde atau res judicata). Prinsip ini
juga dikenal sebagai ne bis in idem (tidak dua kali dalam hal yang sama), tidak hanya
mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum karena melakukan suatu
tindakan pidana, tidak boleh dituntut lagi mengenai perbuatan itu lagi, tetapi juga
jika orang dalam perkara pertama dibebaskan (vrijspraak) atau dilepaskan dari segala
tuntutan (ontslag van rechtsvervolging), maka atas perbuatan yang sama itu tidak
boleh dilakukan penuntutan lagi.
Keputusan hakim (yang berkekuatan tetap) adalah keputusan terhadap
perbuatan atau perkara yang berupa :
a.  Pembebasan (vrijspraak) – pasal 191 ayat (1) KUHAP;
b. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtsvervolging)–
pasal 191 ayat (2) KUHAP;
c.  Penjatuhan pidana – pasal 193 ayat (1) KUHAP.

2.    Sebab Meninggalnya pembuat/terdakwa/tersangka

3
Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari
pengadilan, maka menurut pasal 77 KUHP hak menuntut itu gugur (vervallen).
Jika ini terjadi dalam taraf pengusutan (voor-onderzoek) , maka pengusutan itu
dihentikan. Jika penuntutan telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan
dinyatakan tidak dapat diterima dengan tuntutannya. Begitupun apabila pengadilan banding
atau kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Apabila terdakwa meninggal dunia setelah kepadanya dijatuhi hukuman dengan
putusan hakim yang memiliki kekuatan tetap (gewisjde), maka menurut pasal 83 KUHP
gugurlah hak untuk menjalankan hukumannya, termasuk hukuman tambahan seperti
perampasan barang –barang , tetapi tidak termasuk perintah untuk merusakkan barang
atau menjanjikan barang itu tidak dapat dipakai lagi.
Namun terdapat pengecualian dalam hal ini,yakni dalam konteks ini yang dimaksud
pengecualian contohnya adalah dalam tindak pidana korupsi ( UU No.31 Tahun 1999 ) pasa
32-34. Merujuk pada isi dari pasal-pasal tersebut, maka matinya si terdakwa dalam
pelanggaran tersebut tidak menghapuskan tuntutan terhadapnya. Tuntutan tersebut dapat
dilakukan terhadap ahli waris atau wakil dari orang yang sudah meninggal dunia itu, dan
diselesaikan di hadapan Pengadilan Perdata.
3.    Sebab telah lampau waktu / daluwarsa
Undang-undang memberikan batasan sampai kapan jaksa dapat melaksanakan
kewenangannya melakukan penuntutan tersebut. KUHP memberikan batasan kapan
kewenangan itu berakhir yakni dalam pasal 78 , antara lain sebagai berikut :
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
a.    Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan sesudah satu tahun.
b.    Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurangan
, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun.
c.    Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga
tahun, sesudah dua belas tahun.
d.   Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
e.    Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan
belas tahun , masing- masing tenggang daluwarsa diatas dikurangi menjadi
sepertiga.
Pasal 79 KUHP menyatakan, bahwa daluarsa mulai berlaku pada keesokan harinya
setelah “ perbuatan “ dilakukan.
Prinsip lewatnya waktu ini juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk
mengungkap kasus perkara. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak penting lagi
mengangkat suatu kasus yang sudah dilupakan oleh masyarakat.
4.    Sebab penyelesaian di luar pengadilan
Pada dasarnya tidak semua perkara pidana hanya dapat dilakukan melalui lembaga
pengadilan, karena di lembaga pengadilan terjadi penumpukan perkara dan kinerja hakim
dipertanyakan , karena semua perkara pidana yang ringan hingga yang berat harus ditangani
oleh mereka. Hal ini agaknya tidak perlu terjadi karena KUHP telah memberikan jalan
berupa ketentuan dalam pasal 82 KUHP , bahwa penyelesaian perkara pidana oleh penuntut
umum yang tentunya ditujukan kepada tindak pidana yang diancam dengan denda saja,
dengan syarat :
a.         Jenis tindak pidana adalah pelanggaran

4
b.        Pelanggaran atas tindak pidana ini oleh UU diancam dengan sanksi denda,
c.         Pelaku berkenan membayar denda maksimum dengan suka rela,
d.        Jika penuntutan telah dimulai biaya-biaya perkara yang berkaitan dengan
pelaksanaan penuntutan dibebankan kepada pelaku,
e.         Ancaman pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu jika
dirumuskan dalam aturan undang-undang dapat dilaksanakan penuntut
umum atau dapat dikonversi kedalam sejumlah uang dengan taksiran yang
ditentukan oleh undang-undang.
f.         Pelaksanaan penyelesaian perkara pidana melalui lembaga ini dapat
diperhitungkan sebagai pemberatan bila terjadi pengulangan atau recidive.
Pasal 83 KUHP membuka kemungkinan dalam hal pelanggaran yang hanya diancam
dengan hukuman pokok berupa denda bahwa masalahnya dapat diselesaikan diluar
pengadilan , yaitu secara membayar kepada kejaksaan maksimum denda yang diancamkan
ditambah dengan biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh jaksa. Akan tetapi , hal ini hanya
dengan izin seorang pegawai negeri yang untuk itu ditentukan dalam suatu undang-undang
yang juga menentukan tempo di dalamnya maksimum denda yang harus dibayar.
Aturan pasal ini tidak berlaku bagi orang yang umurnya belum dewasa, sebelum
melakukan perbuatan itu, belum cukup enam belas tahun. Demikian bunyi ayat 4 dari pasal
82 KUHP. 
5.    Sebab Amnesti dan Abolisi
Hingga saat ini , rujukan tentang amnesti dan abolisi diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Amnesti diartikan dengan hak prerogratif presiden sebagai kepala Negara untuk
menghentikan proses peradilan pidana di semua tahapan, sehingga akibat hukum terhadap
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana menjadi dihapuskan. Oleh karenanya,
dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana dihapuskan.
Sedangkan abolisi dapat diartikan sebagai hak prerogratif presiden sebagai kepala
Negara untuk memerintahkan kepada penuntut umum agar menghentikan tindakan
penuntutan kepada seseorang. Dengan pemberian abolisi, maka dihapuskan penuntutan
terhadap mereka. Jadi, abolisi hanya dapat diberikan pada fase pra adjudikasi atau pada
fase adjudikasi sebelum ada putusan hakim.
Merujuk pada ketentuan pasal 14 ayat 2 UUD 1945 tentang Perubahan Pertama, maka
syarat dalam pemberian amnesti dan abolisi adalah sebagai berikut :
a.       Diberikan oleh presiden
b.      Dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Analisis putusan pengadilan tinggi surabaya no:73/1974 Pid , yang membahas tentang
kaidah hukum dalam hal terdakwa telah meninggal ( pada taraf pemeriksaan banding ) ,
pengadilan tinggi cukup mengeluarkan penetapan yang menyatakan tuntutan hukum gugur
atau tuntutan jaksa tidak dapat diterima karena terdakwanya meninggal dunia

5
BAB II

2.1 PEMBAHASAN

A. Pengertian Penuntutan

Pada hakekatnya penegakan hukum bertujuan untuk menegakkan ketertiban dan kepastian
hukum dalam masyarakat yang berintikan keadilan. Kepastian hukum tanpa didasarkan
pada sendi-sendi keadilan akan menimbulkan ketidakpuasan dan mengandung banyak
reaksi.Tujuan diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
untuk memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia akan berwujudnya penegasan hukum yang
lebih baik, lebih baik demokrasi dari pada masa berlakunya HIR. Dalam kosiderans,
disebutkan bahwa tujuan KUHAP adalah untuk mewujudkan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM. Pengertian penuntutan
sebenarnya diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 7 KUHAP: ‘’Penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan’’20. Bertindak sebagai
penuntut adalah penuntut umum yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melaksanakan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Menurut KUHAP,
jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk kepada penyidik
dalam rangka penyempurnaan penyidikan. Penuntutumum dapat menghentikan
penuntutan dengan membuat atau menerbitkan surat ketetapan yang diberitahukan
kepada tersangka dan penyidik. Perkara dapat dihentikan penuntutannya karna: 1) Demi
kepentingan hukum (misalnya, tidak cukup bukti). 2) Ditutup demi hukum (misalnya,
tersangka/terdakwa meninggal dunia, ne bisin idem, daluarsa). 3) Penyampinganperkara
oleh Jaksa Agung untuk kepentingan umum (asas opurtunitas/deponering ).21 Dalam pasal
1 butir 6 ayat b jo pasal 13 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. Wewenang penuntutan ini ditegaskan oleh pasal 15 KUHAP yang
berbunyi: ‘’Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah
hukumnya menurut ketentuan Undang-undang’’. Kewenangan penuntut umum dalam hal
melakukan penuntutan terbatas pada tindak pidana yang terjadi di daerah hukumnya saja.
Untuk itu penuntut umum harus benar-benar mempelajari, mengetahui dan memahami
secara sungguh-sungguh apakah benar tindak pidana itu terjadi didaerah hkmnya. Kekurang
cermatan dari penuntut umum akan mempersulit diri sendiri didepan pengadilan. Kemudian
jika terdakwa, penasehat hukumnya mungkin juga hakim yang memeriksa perkara tersebut
mempermasalahkan mengenai tempat terjadinya tindak pidana. Untuk itu hendaklah
cermat dan menguasai tentang teori locusdelectie (tempat terjadinya tindak pidana).
Wirjono Projokikoro, mendefinisikan penuntutan sebagai menuntut seseorang terdakwa
dimuka hakim pidana untuk menyerahkan perkara seseorang terdakwa dengan berkas
perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian
memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. Dalam pasal 137 KUHAP dinyatakan
bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan tindak pidana didaerah hukumnya dengan melimpahkan perkaranya
kepengadilan yang berwenang mengadili perkaranya. Setiap Jaksa Penuntut Umum (JPU)

6
harus sadar bahwa penuntutan adalah proses yang sangat penting dalam keseluruhan
proses perkara acara pidana. Karna pada tahap proses penuntutan inilah terdakwa akan
dibuktikan apakah ia benar-benar bersalah melakukan tindak pidana atau tidak didepan
pengadilan. Berhasilnya penuntutan sangat tergantung kepada kemampuan penuntut
umum dalam mengajukan alat-alat bukti yang membuktikan terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana atau memang benar terdakwa dalam mempertanggungjawabkan atas
perbuatannya. Keberhasilan penuntutan sangat tergantung pada peran penuntut umum
dari mulai pra penuntutan ataupun penelitian berkas-berkas sampai pada tahap pembuktian
didepan sidang pengadilan. Dengan bekal kemampuan penuntut umum untuk membuktikan
bahwa terdakwa yang sangat bersalah melakukan tindak pidana dan didukung oleh berkas
perkara yang telah memenuhi berkas persyaratan fprmal maupun materil. Dengan demikian
hakim diharapkan akan yakin bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana seperti
yang didakwakan oleh penuntut umum. Sehingga pada akhirnya hakim akan menjatuhkan
pidana sesuai dengan tujuan hukum yaitu keadilan.

B. ALASAN PENGHAPUSAN PENUNTUTAN

Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah
lewat waktu (verjaard). Dalam hal lewat waktu ini, penuntut umum tidak dapat lagi
melakukan penuntutan, seandainya penuntut umum tetap ingin melakukan penuntutan,
maka akan ditolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterimah (niet
onvankelijk verklaring van het O. M.). Hilangnya hak menuntut karna lewat waktu (verjaard)
diatur dalam pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karna nebis in idemdiatur
dalam pasal 76 KUHP. Disitu dikatakan “kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah
(feit)yang baginya telah diputuskan oleh hakim Indonesia dengan keputusan yang telah
tetap”.Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah, pertama pengertian perbuatan (feit) dan
putusan yang telah tetap. Van Hamel menunjukkan ada tiga pengertian perbuatan (feit) itu:
1) Perbuatan (feit), terjadinya kesalahan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam
suatu kejadian beberapa orang dianiaya dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan
pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-
perbuatan itu kemudian dari yang lain. 2) Perbuatan (feit), perbuatan yang didkwakan. Ini
terlalu sempit, diambil contoh: seseorang dituntut melakukan perbuatan penganiayaan yang
mengakibatkan kematian, kemudian ia sengaja melakukan pembunuhan, maka berarti
masih dapat dilakukan penuntutan atas dassr “sengaja melakukan paembunuhan” karna hal
ini lain dari ‘’penganiayaan yang mengakibatkan kematian’’. Vos tidak dapat menerima
pengertian perbuatan dalam arti yang kedua ini. 3) Perbuatan (feit) perbuatan materil, jadi
perbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini
maka ketidak pantasan yang ada pada pengertian terdahulu dapat dihindari. Jika ada
perbedaan tempat dan waktu suatu perbuatan materil terjadi masalah pula, misalnya jika
seseorang dituntut untuk melakukan suatu perbuatan yang dilakukan di Jakarta pada
tanggal 1 januari 1991 tidak dapat dituntut atas perbuatan itu juga yang dilakukan di Bogor
pada tanggal 1 januari 1990. Loge Raad dahulu selalu menerapkan pengertian yang
ketiga.Van Bammelen dan Pompe melihat hubungan erat antara pengertian perbuatan di
dalam pasal 76 KUHP dan pasal 63 KUHP (gabungan delik/concursus). Pompe memberi
definisi tentang perbuatan yang sama antara pasal 76 dan pasal 63 KUHP “tingkah laku
konkret yang ditunjukkan pada tujuan yang sama sepanjang tujuan itu menjadi obyek
norma”. Putusan yang telah memiliki tujuan tetap berlaku sebagai keputusan yang tidak
dapat diubah lagi. Ini meliputi setiap putusan bebas dari tuntutan hukum dan pemidanaan

7
dan juga putusan pidana bersyarat. Berbeda dengan peniadaan penuntutan seperti tersebut
dimuka, jika suatu perbuatan ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat dipidana,
tuntutan penuntut umum tetap dapat diterima. Dalam hal terakhir ini putusan hakim akan
menjadikan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslagen van alle rechtsver
volging). Di sinilah letak perbedaan antara dsar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan
pidana, yaitu pada putusan hakim. Dalam hal tersebut berakhir, karna putusan hakim adalah
putusan akhir (vonnis), sedangkan yang tersebut pertama, disebut penetapan hakim
(beschiking). Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut.
Dalam hal putusan lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut penetapan
hakum berupa tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima ialah perlawanan (verzet).34
34J.M. Van Bemmelen, Ons Strafrecht Deel 1 Het Materiele Strafrecht Algemeen Dee
(Groningen: H.D. Tjeek Willing, 1986), h.170. 36 Menurut van Bemmelen selanjutanya,
kadang kala sulit untuk membedakan apakah itu dasar peniadaan penuntutan taukah dasar
paeniadaan pidana, karna istilah yang dipakai oleh pemuat Undang-undang tidak selalu
jelas. Sering disebut bahwa suatu ketentuan pidana dalam keadaan tertentu tidak dapat
diterapkan, yang menunjukkan dasar peniadaan penuntutan, padahal maksud dari pembuat
Undangundang ialah melarang penjatuhan pidana dalam hal itu. Hal baru jika tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima, maka dapat kembali dilakukan penuntutan yang
kedua terhadap perbuatan yang sama asalkan dasar peniadaan penuntutan telah
dihapuskan sedangkan apabila terjadi putusan lepas dari segala tuntutan hukum maka
penuntutan kedua tidak dimungkinkan. Di samping itu sulit menentukan apakah sesuatu
dalam rumusan merupakan unsur/elemen ataukah suatu dasar peniadaan pidana atau fait
d’excuse. Vos memberi contoh tentang “izin” yang dikeluarkan pemerintah apakah merupan
unsur ataukah fait d’excuse. Perbedaan ini penting sekali dalam hal pembutan surat
dakwaan dalam pembuktian, jika ia merupakan unsur/elemen maka itu harus dibuktikan
sesuai dengan ketentuan pembuktian. Juga penting untuk putusan hakim, jika pelanggaran
terhadap izin merupakan unsur, maka putusannya ialah bebas, kalau ternyata dakwaan
tidak dapat dibuktikan. Jika suatu izin merupakan dasar peniadaan pidana atau fait
d’excuse,maka putusannya ialah terbebas dari segala tuntutan hukum. Jelas menurut Vos,
jika tertulis “ini atau itu dilarang tanpa izin” dan jika terjadi pelanggaran adalah merupakan
suatu unsur. Sebaliknya suatu izin merupakan dasar peniadaan pidana jika kata-katanya
berbunyi: “peraturan tidak ditetapkan jika diberikan izin”, begitu pula “pembuat tidak
dipidana jika ada izin”. Apabila meragukan maka menurut Langemeijer pelanggaran
terhadap izin dipandang sebagai suatu unsur (element). Di dalam KUHP terdapat empat hal
yang menggugurkan penuntutan pidana yaitu: ne bis in idem, terdakwa meninggal dunia,
daluarsa dan penyelesaian perkara diluar pengadilan.

a) Ne bis in idem, ketentuan mengenai ne bis in idem atau suatu perkara tidak boleh
dituntut dua kali atas perbuatan yang hakim telah diadili dengan putusan yang berkekuatan
hukum tetap yang menjadi alasan gugurnya penuntutan pidana yang diatur dalam pasal 76
KUHP sebagai mana yang telah disebutkan diatas. Ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat ataupun kepada setiap individu agar
menghormati putusan tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan putusan yang
berkekuatan hukum tetap berupa: putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan
hukum dan putusan pemidanaan.

b) Terdakwa meninggal dunia, ketika terdakwa meninggal dunia itu dapat dijadikan dasar
untuk menhentikan penuntutan pidana. Penjatuhan hukuman pidana harus ditujukan

8
kepada pribadi orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila orang yang melakukan
pidana meninggal dunia, maka tidak ada lagi penuntutan pidana baginya atas perbutan yang
dilakukannya.Jika orang itu meninggal dunia maka penuntutan pidana kepadanya menjadi
gugur atau dengan kata lain ‘’kewenangan menuntut pudana gugur jika terdakwa meninggal
dunia’’.

c) Daluarsa, latar belakang yang mendasari daluarsa sebagai alasan yang menggugurkan
penuntutan pidana adalah dikaitkan dengan kemampuan daya ingat manusia dan keadaan
alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum
pembuktian. Daya ingat manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi seringkali
tidak mampu untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi dimasa lalu. Bahan
yang diperlukan dalam perkara semakin sulit untuk dipertanggungjawabkan yang
disebabkan oleh kerusakan dan lain-lain.Atas dasar hal inilah, maka pembentuk Undang-
undang harus memilih satu kebijakan yakni kewenangan untuk melakukan suatu
penuntutan pidana menjadi gugur karna alasa daluarsa dengan tenggang waktu tertentu.
Tenggang waktu tertentu yang menjadi alasan daluarsa penuntutan dibedakan menurut
jenis atau berat ringan perbuatan pidana.

d) Penyelesaian perkara diluar pengadilan, penyelesaian perkara diluar pengadilan sebagai


alasan yang menggugurkan penuntutan pidana diatur didalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang
berbunyi: ‘”Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan denda saja menjadi
hapus, kalau dengan suka rela membayar denda maksimum dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh
aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya”. Ketentuan pasal 82 ayat
1 KUHP tersebut sering kali disebut lembaga penebus (afkoop) atau lembaga hukum
perdamaian (schikking) sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana hanya
dimungkinkan pada perkara tertentu, yaitu suatu perkara pelanggaran yang diancam
dengan denda secara tunggal, pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman
pidana denda seberat pidana biaya lain yang harus dikeluarkan, atau penebusan harga-
harga tafsiran bagi barang yang terkena perampasan, dan harus bersifat sukarela dari
inisiatif terdakwa sendiri yang sudsh cukup umum. Dalam konsep KUHP gugurnya
kewenangan penuntutan pidana tidak hanya terdapat empat hal sebagaimana yang diatur
dalam KUHP, tetapi diperluas menjadi sebelas hal, yaitu:

a. Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap

b. Terdakwa meninggal dunia

c. Daluarsa

d. Penyelesaian perkara diluar pengadilan

e. Maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori III;

f. Presiden memberi amnesti atau abolisi

g. Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan


perjanjian

9
h. Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali, dan

i. Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Kecuali adanya alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan
dan alasan pemaaf yang menghilangkan pertanggungjawaban pidana pelaku yang dengan
demikian menghapus pemidanaan terhadap pelaku, terdapat pula alasan yang mendahului
alasan penghapus pidana tersebut. Jika alasan ini dapat diterima maka jaksa tidak dapat
melakukan penuntutan. Alasan-alasan itu adalah: alasan dengan tempat berlakunya KUHP
(locus delicti). Ini kemudian menjawab pertanyaan apakah perbuatan yang dilakukan oleh
tersangka berada dalam ruang lingkup KUHP. Kita harus mengingat pasal 2-8 KUHP, jika
memang perbuatan itu dilakukan dalam pasal tersebut diatas, maka penuntutan tidak dapat
dilakukan.

Keterkaitan dengan kasus , berdasarkan putusan mahkamah agung tgl 13-8-1979 no


186k/kr/1979

Mengadili perkara pidana dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai berikut :

Membaca putusan pengadilan negeri di surabaya tanggal 22 januari 1973 no.1102/1971


pid.korupsi dalam putusan nama tertuduh :

Drs.H Chozin Baidowi , umur +33 tahun , dilahirkan di sampang ( madura ) , bertempat
tinggal dahulu di jalan pantijajar no 7 surabaya , sekarang di kota sampang , pekerjaan ex
kepala perwakilan pabrik kertas basuki rachmad banyuwangi di surabaya , berada diluar
tahanan ( telah meninggal dunia pasa tanggal 26 september 1973 )

Yang di ajukan dimuka persidangan pengadilan negeri tersebut karena di tuduh :

I. Primair : bahwa ia terdakwa pada suatu waktu atau beberapa hari yang tak dapat di
tentuan lagi dengan pasti yang berjalam dalam suatu jangka waktu antara bulan september
hingga bulan februari ( september 1969 s/d februari 1970 ) di surabaya atau di tempat lain
dalam wilayah hukum pengadilan negeri di surabaya , sebagai kepala perwaakilan pabrik
kertas basuki rachmad banyuwangi di surabaya yaitu suatu badan yang didirikan dan biayai
atau di bantu oleh pemerintah . Kemnetrian prindustrian dasar dan ringan dan tenaga , ialah
salah suatu badan hukum yang mempergunakan modal dan kelonggaran - kelonggaran
lainnya dari negara untuk jabatan mana ia di angkat berdasarkan surat keputusan
dapartemen perindustrian dasar , surat keputusan kepala pabrik kertas basuki rachmat
tanggal 22 oktober 1969 no 334/kpts/Br/109 , berturut-turut sebagai suatu perbuatan yang
di teruskan karena tindakan-tindakannya dengan atau karena melakukan kejahatan atau
pelanggaran sbg berikut :

Membantu memberikan kesempatan ,ikhtiar atau keterangan kepada orang bernama


subroto , solichin azis , kabul kusnin dan sungkoro , ialah tidak mengechek dengan teliti
kebenarn kedudukan orang-orang tersebut sebagai pengusaha yang berbentuk CV atau
firma menurut KUHD , kedudukan bonafiditas ,likwiditas ,berdasarkan riwayat hidup
perusahaan atau neraca laba rugi nya , membiarkan tanpa jaminan atau borg berupa benda
perusahaan atau pribadinya secara kongkrit bank garansi yang resmi atau macam lainnya
lagi yang resmi sedangkan keadaan dan kenyataan ini adalah palsu belaka dan bahan alasan
untuk karangan perkataan bohongnya seolah-olah suatu CV atau FA yang bonafide dan

10
likwid untuk membujuknya sebagai kepala perwakilan PKBR surabaya yang dikepalai
terdakwa dengan subroto ,solichin azis pimpinan CV djaya sempurna sebanyak Rp.
106.300.709,41 dengan kabul kusnin pimpinan fa.kembang setaman sebanyak Rp. 11.535 .
002,48 dan dengan sungkono pimpinan CV adji soko sejumlah Rp.6.750. 478,25 yang
dimaksudkan mereka orang-orang tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri atau
orang lain yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuanagn negara PKBR di
sebabkan karena keuangan sebanyak tersebut di atas adalah uang hasil penjualan-penjualan
kertas oleh subroto , solichin azis , kabul kusnin sungkono yang mendapat fasilitas
pembelian secara kredit dari kepada perwakilan PKBR sebagai pembayaran harga kertas
yang diperolehnya karena fasilitas kredit tsb . pasal 1 a jo 16 UU no 24 /prp/60 jo pasal 64 jo
pasal 56 pasal 378 kuhp .

Subsidair : bahwa ia terdakwa pada waktu dan tempat serta kedudukan dalam tuduhan I
primair di atas berturut turut sebagai suatu perbuatan yang diteruskan karena perbuatanya
atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran dan yang dilakukanya dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan dengan jalan sbg berikut :

Syarat-syarat pembelian kredit tidak di jalankan semestinya , seperti bonafiditas pemohon ,


antara lain jaminan borg , bank garansi yang resmi dan lain sebagainya .

Tunggakan - tunggakan tidak di laporkan pada atasnya di banyuwangi tidak ada penagihan
yang aktif .

Tata tertib administrasi tidak dijalankan sebagaimana mestinya , dan sebgai balas jasa
terdakwa telah :

A. Memperoleh atau memiliki sebuha rumah lengkap dengan perabotanya terletak di jalan
pantijajar no 7 di surabaya di taksir harganya Rp. 3.500.000

B. Memperoleh atau memiliki emas murni seberat 1 kg dengan harga Rp.50.000,-

C. Memperoleh atau memiliki simpanan deposito pada bank bumi daya surabaya sebesar
Rp. 1.000.000 hingga jumlah keseluruhanya ditaksir Rp.5.000.000

Yang langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara . PKBR banyuwangi , karena
keuangan sebanyak tersebut di atas adalah sebagian dari hasil penjualan kertas-kertas oleh
subroto , solichin azis , kabul kusin dan sungkono yang mendapat fasilitas kredit pembelian
kertas dari perwakilan pabrik kertas basuki rachmat di surabaya , yang seharusnya di
setorkan kepada perwakilan PKBR di surabaya untuk pembayaran harga kertas yang di
terima berdasarkan fasilitas kredit tersebut , tetapi di berikan kepada terdakwa karena jasa-
jasanya memberikan bantuan untuk mendapatkan kredit pembelian kertas . pasal 1 b jo 16
UU no 24 /prp/60 jo pasal 64 KUHP .

II. Bahwa benar ia terdakwa pada waktu, tempat serta kedudukan pada tuduhan I di atas
berturut-turut sebagai suatu perbuatan yang di teruskan telah menerima hadiah atau
pemberian dari :

A. Subroto dan solichin azis berupa sebuah rumah di jalan pantijajar no 7 surabaya , lengkap
dengan perabotanya , 1kg emas murni dan yang kontan sebesar 1jt rupiah

B. Kabul kusnin berupa uang kontan sebesar Rp.300.000 yang di terima melalui wimpie

11
sukaryo

Sedangkan ia terdakwa mengetahui bahwa hadiah atau pemberian itu diberikan kepadanya
untuk membujuk supaya dalam jabatannya itu melakukan atau menglpakan sesuatu apa
atau yang berhubungan dengan apa yang telah dilakukan nya atau yang di alpakanya dalam
jabatanya yang berlawanan dengan kewajiban nya yaitu antara lain memberikan kredit
sebanyak-banyakanya , waktu pembayaran yang tidak di batasi lamanya , mengalpakan
persyaratan kredit , adanya tunggakan yang tidak di batasi lamanya , mengalpakaan
presyaratan kredit , adanya tunggakan tunggakan kredit , mengalpakan laporan secara
insidentil kepada pimpinannya di banyuwangi , tidak menagih secara aktif dan peringatan -
peringatan atau tindakan - tindakan hukum lainnya atas debet saldo pabrik kertas basuki
rachmat banyuwangi pada :

CV djaya sempurna atas nama subroto , solichin azis sebanyak Rp. 106.300.709,41

FA.kembang setaman atas nama kabul kusnin sebanyak Rp.11.535.002,48

CV adji soko atas nama sungkono sebanyak Rp.6.750.478,25 . pasal 1c jo 24 UU no


24/prp/60 jo 418 jo 419 pasal 64 kuhp .

Menimbang bahwa atas keberatan-keberatan tersebut mahkamah agung berpendapat :

Mengenai keberatan ad.1 :

Bahwa keberatan ini dapat di terima karena pengadilan tinggi cukup mengeluarkan
penetapan yang menyatakan tuntutan hukuman gugur atau tuntutan jaksa tidak dapat di
terima karena terdakwa meninggal dunia

Mengenai keberatan ad.2 :

Bahwa keberatan ini pun dapat di terima karena menurut pasal 16 UU no 24 prp tahun 1960
, segala harta benda yang di peroleh dari korupsi di rampas

Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang di uraikan di atas mahkamah agung


berpendapat , bahwa putusan pengadilan tinggi di surabaya tidak dapat di pertahankan lagi
oleh karena mana harus di batalkan :

Menimbang , bahwa karena putusan pengadilan tinggi di surabaya tersebut di batalkan ,


maka mahkamah agung akan mengadili sendiri perkara tersebut dengan ketentuan bahwa
putusan ini tidak mempunyai akibat hukum .

Memperhatikan pasal 40 UU no 14 tahun 1970 UU no 13 tahun 1965 dan UU no 1 tahun


1950 :

MEMUTUSKAN

Menerima permohonan kasasi dari penuntut kasasi : jaksa agung karena jabatanya demi
kepentingan hukum

Membatalkan putusan pengadilan tinggi di surabaya tanggal 10 april 1975 no.73/1947Pid.

Dan mengadili sendiri :

12
Menetapkan tuntutan hukuman menjadi gugur .

Menyatakan barang barang bukti yang disita berupa :

Satu buah rumah lengkap dengan perabotanya terletak dijalan pantijajar no 7 di


surabaya , 1kg emas murni lantakan , uang sebesar Rp 1.000.000 yang di depositkan pada
bank bumi daya surabaya .

Dirampas untuk negara .

Menentukan bahwa keputusan ini tidak mempunyai akibat hukum .

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan pada hari senin tanggal 13


agustus 1979 oleh busthanul arifin SH sebagai ketua , kabul arifin SH dan purwosunu SH .
hakim hakim anggota , dan di ucapkan dalam sidang terbuka pada hari rabu tanggal 5
september 1979 oleh busthanul arifin SH sebagai ketua , dan di hadiri oleh purwosunu SH
dan kabul arifin SH hakim-hakim anggota , di hadiri oleh muhammad salim SH jaksa agung
muda , dan di hadiri oleh muhammad salim SH jaksa agung muda , dan dihadiri oleh H.eddy
djunaedi SH MCJ , panitera pengganti luar biasa ,serta tidak di hadiri oleh penuntut kasasi .

Maka , dapat di simpulkan bahwa pada putusan mahkamah agung tg 13-8-1979


n0186k/Kr/1979 termasuk dalam putusan yang mengandung gugurnya hak menuntut
dikarenakan salah satu dari syarat gugurnya menuntut telah di penuhi yaitu meninggal nya
terdakwa dalam hal ini Drs.H Chozin Baidowi meninggal pada tingkat banding maka putusan
tersebut di aggap tuntutan tersebut gugur .

13
BAB III

3.1 KESIMPULAN

Berbicara tentang hak menuntut , maka perhatian di arahkan kepada istilah subjectief
strafrecht ( jus puniendi ) yang di dalamnya recht tidak berarti hukum tetapi hak , yaitu hak
dari negara , di wakili oleh alat-alatnya untuk menghukum seorang oknum yang melanggar
hukum pidana . Disamping subjectief starfrecht ada objectief straft recht yang berarti
rangkaian peraturan yang merupakan hukum pidana . jadi recht dalam objectief strafrecht
berarti hukum :

Gugurnya hak menuntut pidana dalam hukum pidana meliputi :

1. Ne bis in idem ( pasal 76 KUHP )

2. Matinya tersangka / terdakwa ( pasal77 KUHP )

3. Daluwarsa penuntutan ( pasal 78-81 KUHP )

4. Penyelsaian di luar sidang, bayar denda ( pasal 82 KUHP )

5. Di cabutnya suatu delik aduan ( pasal 75 KUHP )

Di luar KUHP :

Amensti , grasi dan abolisi

DAFTAR PUSTAKA

1. Materi bahan kuliah percobaan(pooging ) penyertaan ( deelneming ) dan gabungan tindak


pidana ( concurus ) - Albert Aries , SH MH (IPC)

2. Yurisprudensi indonesia di terbitkan oleh mahkamah agung R.I penerbitan 1978-II

3. Hukum pidana eddy o.s hieraj

4. Kitab undang undang hukum pidana ( KUHP)

14

Anda mungkin juga menyukai