Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muhammad Ehsan

NIM : 1911012210015
Program Studi : KIMIA

Sejarah Perkembangan Baterai


baterai pertama kali ditemukan oleh fisikawan asal Italia. Alessandro Volta, seorang
fisikawan Italia, adalah orang pertama yang menemukan baterai pada tahun 1800. Volta juga
membuat penemuan penting lain dalam bidang pneumatik, serta meteorologi dan elektrostatika.
Alessandro Volta lahir di Como, Italia, dan pada usia 29 tahun menjadi profesor fisika di Royal
School di kota kelahirannya.

Pada tahun 1774, Volta menemukan electrophorus atau sebuah perangkat yang bisa
menghasilkan listrik statis. Setelah 5 tahun di Royal School, Alessandro Volta dipanggil untuk
menjadi profesor di University of Pavia pada tahun 1779. Di tempat tersebut, dia menemukan
“tumpukan volta”, metode praktis pertama untuk memproduksi listrik.

Tumpukan volta dibuat dengan menumpuk piringan tembaga dan cakram seng secara
berselingan dengan potongan karton yang dicelupkan dalam air garam ditempatkan di antara
kedua piringan tersebut. Tumpukan tersebut mampu menghasilkan arus listrik. Penemuan ini
diakui sebagai baterai pertama yang menghasilkan arus listrik secara konsisten dan dapat
diandalkan.

Selain berasal dari penemuan oleh fisikawan Italia, ternyata sejarah perkembangan baterai juga
terjadi di Baghdad. Penemuan ini berawal ketika sebuah silinder tembaga diletakkan di tengah-
tengah batang besi dalam larutan yang tidak diketahui. Larutan ini belakangan disebut elektrolit
dan peristiwanya dikenal sebagai ionisasi larutan elektrolit.

Baterai yang ditemukan di Baghdad merupakan salah satu artifak kuno yang paling
membingungkan para ilmuwan maupun arkeolog. Pada tahun 1930 silam, pada sebidang makam
kuno di luar Baghdad (Khujut Rabula), beberapa arkeolog yang melakukan penggalian di sana
menemukan sebuah artifak yang diduga merupakan satu set baterai kimia yang usianya telah
mencapai 2000 tahun lebih.
Artifak aneh tersebut terdiri atas sebuah silinder tembaga, batang besi, serta aspal yang disusun
sedemikian rupa dalam sebuah jambangan kecil (tinggi 14 cm dan diameter 8 cm) yang terbuat
dari tanah liat. Setelah para ahli mereka ulang, ternyata memang benar didapati bahwa artifak
tersebut merupakan sebuah baterai elektrik kuno. Para peneliti berhasil memperoleh tegangan
sebesar 1,5 volt dari artifak batu baterai elektrik tersebut, yang bekerja nonstop selama 18 hari
dengan cara memasukkan cairan asam ke dalam jambangannya, misalnya air jeruk (sunkist atau
lemon lebih bagus), H2SO4, serta semua larutan golongan elektrolit (Jenstea, 2010).

Usia artifak baterai kuno ini diperkirakan berkisar 2.000 – 5.000 tahun, jauh sebelum Alessandro
Volta (Italia) membuat baterai pertama kali pada tahun 1800 M serta Michael Faraday (Inggris)
menemukan induksi elektromagnetik dan hukum elektrolisis pada tahun 1831 M yang jarak
penemuannya hingga kini mencapai sekitar 200 tahun lebih. Temuan ini tentunya dapat
mengubah pandangan manusia masa kini akan kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh
peradaban manusia masa lalu.

Nampaknya, aktivitas elektrik telah dikenal oleh manusia pada masa-masa itu. Tidak hanya
artifak baterai di Baghdad saja yang menarik perhatian para ilmuwan maupun arkeolog di
seluruh dunia, tetapi juga terdapat beberapa artifak serupa yang diduga juga sebagai peralatan
elektrik masa silam, seperti Dendeera Lamps, Assyrian Seal, maupun The Coffin of Henettawy
(Jenstea, 2010).

Baterai Nickel Cadmium (Ni-Cad) yang merupakan baterai yang dibuat dari campuran Nikel dan
Cadmium, diproduksi pertama kali setelah penemuan artifak batu baterai di Baghdad yang
membuat perhatian dunia tertuju ke arah penelitian tentang pembuatan dan pengembangan
baterai yakni pada tahun 1946. Namun memiliki kekurangan yakni ada pada biaya pembuatan
yang mahal, kapasitas berkurang jika baterai tidak dikosongkan (memory effect), dan tidak
ramah lingkungan (beracun). Kemudian pada tahun 1980, baterai Nickel Metal Hydride (NiMH)
dikembangkan dengan kapasitas lebih besar dan tidak menggunakan senyawa kimia yang
berbahaya bagi lingkungan.

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, baterai ini dianggap kurang mampu menangani
perangkat eletronik yang baru. Pada perkembangan selanjutnya adalah baterai Lithium-Ion yang
ditemukan pertama kali tahun 1960 di Bell Labs. Baterai ini paling banyak digunakan untuk
perangkat elektronik karena rasio energi dan berat paling baik, tanpa memory effect (bisa diisi
ulang kapan saja), bentuk sangat fleksibel, ringan, dan kehilangan daya saat digunakan paling
kecil. Namun sayangnya, kekurangan dari baterai ini adalah umur pakainya tergantung dari lama
pembuatan dan seringnya frekuensi isi ulang. Maka dari itu, muncullah baterai Lithium-Polymer
(Bataviase, 2010).

Lithium-Polymer (Li-Po) merupakan pengembangan dari Li-Ion, yang mulai digunakan untuk
perangkat elektronik sejak tahun 1996. Biaya pembuatan Li-Po lebih murah dibandingkan Li-
Ion, dan lebih tahan terhadap kerusakan fisik. Kapasitas penyimpanan energi Li-Po 20% lebih
tinggi dibanding Li-Ion, 300% lebih tinggi dibandingkan daya simpan NiCad dan NiMH. Tetapi
karena produksinya belum sebanyak baterai Li-Ion, harga jual dari baterai yang satu ini masih
lebih mahal (Bataviase, 2010).

Perkembangan Baterai Lithium

Litium merupakan salah satu logam alkali, dengan satu elektron valensi di kulit terluarnya,
memungkinkan elektron di kulit terluarnya untuk keluar. Saat elektron terluarnya keluar, litium
bersifat lebih positif dan lebih stabil, dan menjadi ion litium. Ahli kimia asal Swedia saat
memurnikan sampel mineral tidak menemukan logam litium dalam kondisi murni, tetapi ion
litium dalam bentuk garam. Litium murni merupakan unsur yang tidak stabil, karena harus
disimpan dalam minyak agar tidak bereaksi dengan udara yang dapat terbakar.

Pada awal tahun 1970, Stanley Whittingham menggunakan lithium’s enormous drive untuk


membuat elektron terluar dari litium keluar, ketika beliau mengembangkan baterai litium
pertama. Di tahun 1980, John Goodenough menggandakan tegangan listrik/beda potensial dari
baterai, sehingga tercipta kondisi yang tepat untuk baterai yang jauh lebih kuat dan bermanfaat.
Pada tahun 1985, Akira Yoshino berhasil menghilangkan litium murni dari komposisi baterai,
menggantinya dengan ion litium, yang lebih aman daripada litium murni. Inilah yang membuat
baterai dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Baterai lithium-ion (li-ion) telah membawa
manfaat yang besar dalam kehidupan manusia, karena mereka telah memungkinkan
pengembangan komputer, laptop, ponsel, kendaraan listrik, dan penyimpanan energi yang
dihasilkan dari tenaga surya dan angin. Setelah ini, kita akan mundur lima puluh tahun ke
belakang, ke awal baterai lithium-ion diciptakan .

Asap dari bensin merevitalisasi penelitian baterai.

Pada pertengahan abad ke-20, jumlah mobil yang berbahan bakar bensin di dunia meningkat
secara signifikan, dan mobil tersebut menghasilkan asap berbahaya yang menimbulkan polusi di
kota-kota besar. Dikombinasikan bahwa bayangan bahwa minyak adalah sumber daya yang
terbatas, membuat produsen kendaraan dan perusahaan minyak was-was. Mereka perlu untuk
revitalisasi (proses atau cara dan perbuatan untuk menghidupkan kembali suatu hal yang
sebelumnya terberdaya, menjadi sesuatu yang vital, penting) dalam kendaraan listrik dan sumber
energi alternatif agar bisnis mereka tetap hidup. Kendaraan listrik dan sumber energi alternatif
membutuhkan sesuatu yang dapat menyimpan energi dalam jumlah yang besar.  Sebenarnya, ada
dua baterai pada saat itu yang dapat diisi ulang: Baterai asam timbal (masih digunakan sebagai
baterai starter pada mobil berbahan bakar bensin, namun tidak cocok karena rasio energi:berat
kecil, yang artinya jika ingin energi besar, maka baterainya akan berat), dan baterai nikel-
kadmium (harga pembuatannya mahal, juga tidak ramah lingkungan) .
Perusahaan Minyak Berinvestasi dalam Teknologi Baru

Ancaman atas pikiran minyak akan habis, mengakibatkan perusahaan raksasa minyak, Exxon,
memutuskan untuk membuat variasi dalam kegiatannya. Investasi dalam penelitian dasar,
membuat mereka merekrut beberapa peneliti terkemuka di bidang Energi. Stanley Whittingham
termasuk salah satu yang pindah ke Exxon pada tahun 1972. Stanley bersama rekan-rekannya
mulai menginvestigasi bahan superkonduktor, termasuk tantalum disulfida, yang dapat
interkalasi (penyisipan ion ke dalam antarlapis struktur yang dapat mengembang). Mereka
menambahkan ion ke tantalum disulfida dan mempelajari bagaimana konduktivitas (kemampuan
suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik) dipengaruhi .

Whittingham temukan sebuah material yang sangat padat-energi.

Saat melakukan suatu penelitian, terkadang menghasilkan penemuan yang tak terduga dan
berharga. Ternyata, ion kalium mempengaruhi konduktivitas tantalum disulfida. Interaksi antara
ion kalium dan tantalum disulfida menghasilkan energi yang cukup besar, ya lebih baik daripada
kebanyakan baterai pada saat itu. Stanley dengan cepat menyadari dan mengubah jalur menjadi
pengembangan teknologi baru yang bisa menyimpan energi untuk kendaraan listrik di masa
depan. Namun sayangnya, tantalum merupakan unsur yang berat, sehingga dia menggantinya
dengan titanium, unsur yang memiliki sifat serupa namun jauh lebih ringan .

Litium dalam Elektroda Negatif

Dalam baterai, elektron harus mengalir dari elektroda negatif (anoda) ke elektroda positif
(katoda). Oleh karena itu, anoda haruslah mengandung bahan yang mudah melepaskan elektron,
dan dari semua unsur, litium lah yang paling mudah melepaskan elektron. Hasilnya adalah
baterai litium yang dapat diisi ulang.
Lithium’s enormous drive

Baterai isi ulang pertama rusak ketika digunakan, karena memiliki bahan padat di elektoda yang
akan bereaksi dengan elektrolit. Kelebihan dari baterai Whittinghams adalah bahwa ion litium
disimpan di ruang kosong yang terdapat pada titanium disulfida di katoda. Ketika digunakan, ion
litium mengalir dari litium dalam anoda ke titanium disulfida di katoda. Ketika baterai terisi, ion
litium akan mengalir kembali..

Baterai Meledak dan Harga Minyak Anjlok

Sayangnya, kelompok yang telah melakukan produksi baterai ternyata mengalami beberapa
kemunduran. Ketika baterai lithium baru diisi ulang, kumis (whiskers) tipis tumbuh dari
elektroda litium. Ketika whiskers mencapai elektroda yang lain, baterai mengalami hubungan
arus pendek yang menyebabkan terjadinya ledakan.
‘Kumis’ tipis dari Litium

Stanley Whittingham mengumumkan penemuannya tentang penambahan aluminium ke


elektroda litium, dan baterai mulai diproduksi skala kecil untuk jam arloji bertenaga surya.
Tujuan selanjutnya adalah meningkatkan baterai litium yang dapat diisi ulang, sehingga dapat
digunakan untuk memberi daya pada mobil. Namun, harga minyak yang turun drastis pada awal
1980-an membuat Exxon perlu melakukan pengurangan. Pekerjaan pengambangan teknologi
baterai dihentikan dan dilisensikan ke tiga perusahaan di tiga belahan negara yang berbeda.
Ketika Exxon menyerah, John Goodenough mengambil alih .

Krisis Minyak Membuat Goodenough Tertarik Pada Baterai

Di masa kecil, John Goodenough mengalami masalah signifikan dalam belajar membaca, hal
inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa dia tertarik pada matematika dan fisika. Seperti
kebanyakan orang di tahun 1970-an, akibat dari krisis minyak, dia berkeinginan untuk kontribusi
pada pengembangan sumber energi alternatif.

Baca juga:

Terjadi Tegangan Tinggi Ketika Kobalt Oksida menjadi Katoda Menggantikan Tantalum
Disulfida
Kobalt Oksida sebagai Katoda di Baterai Litium

John Goodenough mengetahui tentang baterai buatan Whittingham, tapi pengetahuannya tentang
materi membuat dia tahu bahwa katodanya dapat memberi beda potensial/tegangan yang lebih
tinggi jika digunakan kobalt oksida, bukan tantalum disulfida. Baterai Whittingham
menghasilkan lebih dari 2 volt. tetapi Goodenough menemukan bahwa baterai dengan litium-
kobalt oksida di katoda hampir dua kali lipat lebih kuat, yaitu 4 volt. Kunci kesuksesannya
adalah kesadaran Goodenough bahwa baterai tidak harus diproduksi dalam keadaan isi
ulang (recharged), namun harus bisa diisi ulang setelah itu.

Perusahaan Elektronik di Jepang Menginginkan Baterai yang Ringan

Ketika harga minyak di bumi bagian barat menjadi murah, menjadikan minat investasi dalam
energi alternatif, teknologi dan pengembangan kendaraan listrik menjadi besar. Berbeda dengan
Jepang; perusahaan elektronik sangat membutuhkan baterai yang ringan serta dapat diisi ulang
yang dapat memberikan inovasi pada peralatan elektronik, seperti kamera video, telepon tanpa
kabel, dan komputer. Satu orang yang melihat kesempatan ini adalah Akira Yoshino dari Asahi
Kasei Corporation

Yoshino Menciptakan Baterai Litium-Ion Komersial Pertama


Baterai Akira Yoshino

Momen penemuan Akira Yoshino datang ketika ia mencoba menggunakan minyak bumi, produk
sampingan dari industri minyak. Ketika ia mengisi kokas minyak bumi dengan elektron, ion
litium ditarik ke dalam material. Kemudian, ketika ia menyalakan baterai, elektron dan ion
lithium mengalir menuju kobalt oksida di katoda, yang memiliki tegangan jauh lebih tinggi.
Baterai yang dikembangkan oleh Akira Yoshino stabil, ringan, memiliki kapasitas tinggi dan
menghasilkan 4 volt. Keuntungan terbesar dari baterai litium-ion adalah bahwa ion-ion
disisipkan dalam elektroda. Sebagian besar baterai lainnya didasarkan pada reaksi kimia di mana
elektroda perlahan tapi pasti berubah. Ketika baterai lithium-ion diisi atau digunakan, ion
mengalir di antara elektroda tanpa bereaksi dengan sekitarnya. Ini berarti baterai litium-ion
memiliki umur yang panjang dan dapat diisi ratusan kali sebelum kinerjanya memburuk.
Kelebihan lainnya dari baterai ini adalah tidak mengandung litium murni. Di tahun 1986, ketika
Akira Yoshino menguji keamanan pada baterai, dia menjatuhkan sepotong besi yang besar, tetapi
tidak ada yang terjadi. Namun, saat mengulangi percobaan dengan baterai yang mengandung
litium murni, terjadi ledakan yang hebat .

Baterai Litium-Ion Dibutuhkan untuk Masyarakat Bebas Bahan Bakar Fosil

Pada tahun 1991, sebuah perusahaan elektronik besar di Jepang mulai menjual baterai lithium-
ion pertama, terkemuka untuk revolusi dalam elektronik. Produksi ponsel menyusut, komputer
menjadi portabel dan pemutar MP3 dan tablet dikembangkan. Selanjutnya, para peneliti di
seluruh dunia telah menelusuri tabel periodik tentang pencarian baterai yang lebih baik, tetapi
belum ada yang berhasil menciptakan sesuatu yang mengalahkan kapasitas dan voltase baterai
lithium ion yang tinggi. Namun, baterai lithium-ion telah berubah dan ditingkatkan; antara lain,
John Goodenough telah menggantikan oksida kobalt dengan besi fosfat, yang membuat baterai
lebih ramah lingkungan. Seperti hampir semua hal lain, produksi baterai litium-ion berdampak
pada lingkungan, tetapi ada juga manfaat lingkungan yang besar. Baterai telah memungkinkan
pengembangan teknologi energi yang lebih bersih dan kendaraan listrik, sehingga berkontribusi
terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca .
DAFTAR PUSTAKA
https://warstek.com/2019/10/18/nobel-kimia/

http://www.martinrecords.com/info/baterai-sejarah-jenis-serta-cara-kerjanya/

Anda mungkin juga menyukai