Anda di halaman 1dari 14

MODUL III

KINETIKA KIMIA II

Tujuan Pembelajaran:

Mahasiswa mampu memahami pengaruh suhu terhadap laju, memahami


mekanisme reaksi dan intermediet reaksi dari reaktan menjadi hasil reaksi, serta
memahami berbagai jenis katalis berserta fungsi dan sifatnya.

1
KINETIKA KIMIA II

Energi Aktivasi dan Ketergantungan Konstanta Laju terhadap Suhu


Walau ada sedikit pengecualian, laju reaksi meningkat dengan
meningkatnya suhu. Sebagai contoh waktu yang diperlukan untuk merebus telur
pada 100 oC (sekita 10 menit) lebih cepat debandingkan pada 80 oC (sekitar 30
menit). Sebaliknya cara yang efektif untuk menyimpan makanan adalah dengan
menyimpannya pada suhu dibawah nol, yang akan memperlambat laju pembusukan
oleh bakteri.

2.1 Teori Tumbukan Pada Kinetika Kimia


Teori tumbukan molekul gas menyatakan bahwa molekul gas sering
mengalami tumbukan satu dengan yang lainnya. Jadi, sangat masuk akal jika kita
menganggap dan mengetahui bahwa reaksi kimia berlansung akibat dari tumbukan
antara molekul-molekul yang bereaksi. Dari segi teori tumbukan dari kinetika
kimia, maka kita perkirakan laju reaksinya lurus dengan banyaknya tumbukan per
detik atau berbanding lurus dengan frekuensi tumbukan molekul”

𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛
𝑙𝑎𝑗𝑢 ~
𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘

Tumbukan yang sederhana ini menjelaskan ketergantungan laju reaksi


terhadap konsentrasi. Untuk memastikan reaksi molekul A dengan molekul B
menjadi suatu hasil reaksi. Misalkan laju pembentukan molekul hasil reaksi
terbentuk lewat penggabungan lansung molekul A dan satu molekul B. konsentrasi
A menjadi 2 kali dari semula, misalnya jumlah tumbukan A-B juga akan bertambah
dalam vlume berapapun, akan ada dua kali lebih banyak molekul A yang akan
bertumbukan dengan molekul B. Akibatnya, laju akan meningkat 2 kali. Sama
halnya, konsentrasi molekul B ditambah 2 kali sehingga akan meningkatkan laju
menjadi dua kali. Jadi, kita dapat menyatakan hukum laju dengan:

laju = k[A][B]

2
reaksi ini adalah reaksi orde pertama dalam A maupun B dan mematuhi kinetika
laju orde ketiga. Teori tumbukan secara intuitif menarik, tetapi hubungan laju dan
tumbukan molekul jauh lebih rumit dibandingkan dengan yang anda duga.
Implikasi teori tumbukan ialah bahwa suatu reaksi selalu terjadi bila satu molekul
A dan satu molekul B bertumbuk. Namun demikian, tidak semua tumbukan
menghasilkan reaksi. Perhitungan berdasarkan teori kinetik molekul menunjukan
bahwa tekanan 1 atm dan temperatur 298 K terdapat 1 x 1027 tumbukan biner
(tumbukan antara dua molekul) dalam volume 1 mL setiap detik, dalam fasa gas.
Jumlah tumbukan per detik yang dapat terjadi dalam cairan lebih banyak lagi. Jika
setiap tumbukan biner menghasilkan hasil reaksi baru maka sebagian besar reaksi
akan terjadi dalam sesaat saja. Pada praktiknya, kita temukan bahwa laju reaksi
sangat beragam. Ini berarti bahwa dalam banyak hal, tumbukan saja tidak menjamin
bahwa suatu reaksi akan berlansung.
Setiap molekul yang bergerak memiliki energi kinetik; semakin cepat
gerakannya semakin besar energi kinetiknya. Ketika molekul-molekul
bertumbukan, sebagian dari energi kinetiknya dirubah menjadi energi vibrasi. Jika
energi kinetik awalnya besar, molekul yang bertumbukan akan bergetar kuat
sehingga memutuskan beberapa ikatan kimianya. Putusnya ikatan merupakan
langkah pertama ke pembentukan hasil reaksi, jika energi kinetik awalnya kecil,
molekul hanya akan terpental tetapi masih utuh. Dari segi energi, ada semacam
energi tumbukan minimum yang harus dicapai agar reaksi terjadi.
Kita postulatkan bahwa, untuk bereaksi molekul yang bertumbukan harus
memiliki energi kinetik total sama dengan atau lebih besar daripada energi aktivasi
(Ea) yaitu jumlah minimum energi yang diperlukan untuk mengawali reaksi kimia.
Apabila energinya lebih kecil daripada energi aktivasi, molekul tetap utuh dan tidak
akan mengalami perubahan akibat tumbukan. Sepsi yang terbentuk sementara oleh
molekul pereaksi sebagian akibat tumbukan sebelum membentuk hasil reaksi
dinamakan Kompleks Teraktifkan atau keadaan transisi.

A + B C + D

3
Jika hasil reaksi lebih stabil dibandingkan pereaksi, maka reaksi akan
diiringi dengan pelepasan kalor, dengan kata lain reaksinya eksotremik. Sebaliknya,
jika hasil reaksi kurang stabil dibandingkan pereaksi, maka kalor akan diserap dari
lingkungan oleh campuran yang bereaksi dan reaksinya bersifat endotermik. Dalam
kedua kasus ini kita akan memplot energi potensial dari sistem yang bereaksi
terhadap tahapan reaksi. Secara kualitatif, kedua plot ini menunjukkan perubahan
energi potensial sewaktu pereaksi dirubah menjadi hasil reaksi.
Kita dapat membayangkan energi aktivasi sebagai penghalang yang
mencegah molekul yang kurang berenergi untuk bereaksi. Karena jumlah molekul
pereaksi dalam reaksi biasa sangat banyak, maka kecepatan dan dengan demikian
juga energi kinetik molekul, juga sangat beragam. Umumnya, yang memiliki energi
kinetik yang cukup untuk melampui energi aktivasi. Dengan demikian, molekul-
molekul ini dapat terlibat dalam reaksi. Meningkatnya konstanta laju karena
meningkatnya suhu sekarang dapat dijelaskan: molekul yang memiliki energi yang
lebih tinggi terdapat pada suhu yang lebih tinggu, maka laju pembentukan hasil
reaksi akan lebih besar pada suhu yang lebih tinggi.

2.2 Persamaan Arrhenius


Ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap suhu dapat dinyatakan
dengan persamaan Arrhenius berikut ini:

(2.1)
𝑘 = 𝐴𝑒 −𝐸𝑎/𝑅𝑇

Dimana Ea adalah energi aktivasi dari reaksi (KJ/mol), R adalah konstanta


gas (8.314 J/K.mol), T adalah suhu mutlat dan e adalah basis dari skala logaritma
natural. Besaran A menyatakan frekuensi tumbukan dan dinamakan faktor
frekuensi. Faktor ini dapat dianggap sebagai kosntanta untuk sistem reaksi tertantu
dalam rentangan suhu yang cukup lebar. Persamaan (2.1) diatas menunjukkan
bahwa konstanta laju berbanding lurus dengan A dan, dengan begitu berbanding
lurus dengan frekuensi tumbukan. Karena tanda minus untuk eksponen Ea/RT,
maka konstanta laju menurun dengan meningkatnya energi aktivasi dan

4
meningkatnya suhu. Persamaan ini dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih baik
dengan menghitung logaritma natural :

ln 𝑘 = ln 𝐴𝑒−𝐸𝑎/𝑅𝑇
𝐸𝑎
(2.2)
= ln 𝐴 − 𝑅𝑇

Persamaan (1.10) dapat dirubah ke dalam bentuk persamaan linear:

Ea 1
ln k = + ln A
R T
(2.3)

y = m x + b

Jadi, plot ln k terhadap 1/T menghasilkan garis lurus yang kemiringannya m sama
dengan – Ea/R dan titik potong b dengan sumbu y alah ln A.
Persamaan yang menghubungkan konstanta laju k1 dan k2 pada suhu T1 dan
T2 dapat digunakan untuk menghitung energi aktivasi atau untuk menentukan
kosntanta laju pada suatu reaksi jika energi aktivasinya diketahui. Untuk
menurunkan persamaan kita mulai dengan persamaan (2.2):

𝐸𝑎
𝑙𝑛 𝑘1 = 𝑙𝑛 𝐴 −
𝑅𝑇1
𝐸𝑎
𝑙𝑛 𝑘2 = 𝑙𝑛 𝐴 −
𝑅𝑇2

Dengan mengurangkan ln k2 dari ln k1 dihasilkan:

𝐸𝑎 1 1
ln 𝑘1 − 𝑙𝑛 𝑘2 = ( − )
𝑅 𝑇2 𝑇1
𝑘1 𝐸𝑎 1 1
𝑙𝑛 = ( − )
𝑘2 𝑅 𝑇2 𝑇1

5
𝑘 𝐸𝑎 𝑇1 −𝑇2
𝑙𝑛 𝑘1 = ( ) (2.3)
2 𝑅 𝑇1 𝑇2

Untuk reaksi sederhana (contohnya, reaksi antara atom-atom), kita dapat


merumuskan faktor frekuensi (A) dalam persamaan Arrhenius dengen frekuensi
tumbukan antara spesi-spesi yang bereaksi. Untuk reaksi yang lebih rumit, kita juga
harus mempertimbangkan “faktor orientasi” yaitu bagaimana molekul-molekul
yang bereaksi berorientasi relatif satu terhadap lainnya.

1.5 Mekanisme Reaksi Dan Hukum Laju


Persamaan kimia yang sudah sepenuhnya setara tidak memberikan
informasi banyak tentang bagaimana reaksi sesungguhnya terjadi. Dalam banyak
kasus, persamaan ini sekedar menyatakan jumlah dari sederet reaksi sederhana yang
sering dinamakan Tahap Elementer karena reaksi-reaksi sederhana tersebut
mempresentasikan jalannya reaksi keseluruhan pada tingkat molekul. Ueurtan
tahap-tahap elementer yang mengarah pada pembentukan hasil reaksi dinamakan
Mekanisme Reaksi. Sebagai contoh mekanisme reaksi, mari kita lihat reaksi antara
nitrat oksida dan oksigen:

2NO (g) + O2 (g) 2NO2 (g)

Kita mengetahui bahwa hasil reaksi tidak terbentuk lansung dari tumbukan
dua molekul NO dengan satu molekul O2 karena N2O2 terdeteksi selama jalannya
reaksi. Anggaplah reaksi sebenarnya berlansung dalam dua tahap elementer seperti
berikut:
2NO (g) N2O2 (g)

N2O2 (g) + O2 (g) 2NO2 (g)

Pada tahap elementer pertama, dua molekul NO bertumbukan membentuk


satu molekul N2O2. Peristiwa ini diikuti dengan reaksi N2O2 dan O2 yang
menghasilkan dua molekul NO2. Persamaan kimia total, yang menyatakan
keseluruhan perubahan, dinyatakan dengen penjumlahan tahap elementer 1 dan 2:

6
Tahap 1 : NO + NO N2O2

Tahap 2 : N2O2 + O2 2NO2

Reaksi total : 2NO + N2O2 + O2 N2O2 + 2NO2

Spesi seperti N2O2 disebut zat antara karena spesi-spesi itu muncul dalam dalam
mekanisme reaksi yaitu pada tahap elementer tetapi tidak dalam persamaan setara
keseluruhan. Perlu diingat bahwa zat antara selalu terbentuk diawal setiap tahap
elementer dan terpakai dalam tahap elementer berikutnya.
Banyaknya molekul yang bereaksi dalam tahap elementer menentukan
molekularitas reaksi. Setiap tahap elementer yang baru dibahas disebut reaksi
bimolekular yaitu reaksi yang tahap elementernya hanya melibatkan satu molekul
yang bereaksi.
Reaksi unimolekular adalah reaksi yang tahap elementernya hanya
melibatkan satu molekul yang bereaksi. Perhatikan proses alami dari ozon di
stratosfer yang menyerap radiasi ultraviolet yang berbahaya dan terurai membentuk
molekul oksigen:

Tahap 1 : O3 (g) O (g) + O2 (g)

Tahap 2 : O3 (g) + O (g) 2O2 (g)

Reaksi total : 2O3 (g) 3O2 (g)

Dalam mekanisme ini, tahap 1 adalah reaksi unimolekular dan tahap 2adalah reaksi
bimolekular.
Hanya ada sedikit reaksi trimolekular yaitu reaksi yang melibatkan tiga
molekul dalam satu tahap elementer, yang diketahui. Alasannya adalah bahwa
dalam reaksi serentak, yang kecendrungan terjadinya jauh lebih kecil dibandingkan
peristiwa tumbukan bimolekular.
Dengan mengetahui tahap elementer suatu reaksi, kita dapat menentukan
hukum laju. Misalkan kita mengikuti tahap elementer unimolekular berikut:

A hasil reaksi

7
Karena ini adalah proses yang terjadi pada tingkat molekul, semakin banyak
molekul A yang ada, semakin cepat laju pembentukan hasil reaksi. Jadi kita dapat
menuliskan hukum laju secara lansung berdasarkan tahap elementer:

laju = k[A]

untuk tahap elementer yang melibatkan molekul A dan B:

A + B hasil reaksi

Laju pembentukan hasil reaksi bergantung pada seberapa sering A dan B


bertumbukan, yang juga pada kosentrasi A dan B. Dalam hal ini kita dapat
menuliskan hukum laju sebagai:

laju = k[A][B]

sama halnya, untuk tahap elementer bimolekular dengan jenis

A + A hasil reaksi

Hukum lajunya menjadi

laju = k[A]2

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa orde reaksi untuk setiap pereaksi


dalam tahap elementer sama dengan koefisien stoikiometrinya di dalam persamaan
kimia untuk tahap itu, sebaliknya, kita tidak dapat mengetahui hanya dengan
melihat persamaan setara keseluruhan saja apakah reaksi ini berlansung seperti
yang ditunjukkan atau dalam tahap elementer. Tahap elementer ini harus memenuhi
dua syarat:
 Jumlah tahap elementer harus menghasilkan persamaan setara keseluruhan
untuk reaksi tersebut

8
 Tahap penentu laju, yaitu tahap paling lambat dari seluruh rangkaian tahap
menuju pembentukan hasil reaksi, harus memprediksi hukum laju yang sama
seperti yang ditentukan secara percobaan.
Perlu diingat bahwa setiap skema reaksi yang diajukan, kita harus mampu
mendeteksi keberadaan setiap zat antara yang terbentuk dalam satu atau lebih tahap
elementer.
Penguraian hidrogen peroksida memperjelas mekanisme reaksi berdasarkan
percobaan ini. Reaksi ini dibantu oleh ion iodida. Reaksi keseluruhannya adalah:

2H2O2 (aq) 2H2O (l) + O2 (g)

Dari percobaan, hukum lajunya adalah

laju = k[H2O2][I-]

jadi reaksinya adalah orde pertama baik terhadap H2O2 maupun I-. Dari reaksi diatas
penguraian tidak terjadi dalam satu tahap elementer seperti dalam persamaan setara
keseluruhan. Jika ya, reaksinya adalah orde kedua dalam H2O2 (perhatikan
koefisien 2 dalam persamaan). Selain itu, ion I-, yang bahkan tidak ada dalam
persamaan keseluruhan, muncul dalam rumus hukum laju. Kita dapat menjelaskan
hukum laju yang teramati dengan menganggap bahwa reaksi berlansung dalam dua
tahap elementer yang terpisah, masing-masing adalah reaksi bimolekuler:
k1
Tahap 1: H2O2 + I- H2O + IO-
k2
Tahap 2: H2O2 + IO- H2O + O2 + I-

Jika kita asumsikan lagi bahwa tahap 1 adalah penentu laju, maka laju reaksi dapat
ditentukan dari tahap pertama saja:

laju = k1[H2O2][I-]
dimana k1 = k. Perhatikan IO- adalah zat antara karena ion ini tidak muncul dalam
persamaan setara keseluruhan. Meskipun I- tidak muncul dalam persamaan

9
keseluruhan, I- berbeda dari ion IO- karena ion I- ada pada awal reaksi dan pada
akhir reaksi. Fungsi I- adalah untuk mempercepat reaksi (katalis).

1.6 Katalisis
Kita telah melihat dalam penguraian hidrogen peroksida bahwa laju reaksi
bergantung pada konsentrasi ion iodida meskipun I- tidak muncul dalam persamaan
keseluruhan. Kita perhatikan bahwa I- bertindak untuk rekasi itu. Katalis adalah zat
yang meningkatkan laju reaksi kimia tanpa ikut terpakai. Katalis dapat bereaksi
membentuk zat antara, tetapi akan diperoleh kembali dalam tahap berikutnya.
Dalam pembuatan molekul oksigen dilaboratorium, sampel kalium klorat
dipanaskan, reaksinya adalah:

2KClO3 (s) 2KCl (s) + 3O2 (g)

Namun, penguraian termal ini sangat lambat tanpa adanya katalis. Laju penguraian
dapat ditingkatkan secara drastis dengan menambahkan sedikir katalis mangan
dioksida (MnO2) yaitu suatu zat yang berwujud serbuk hitam. Semua MnO2 dapat
diperoleh kembali pada akhir reaksi, sama seperti semua ion I- yang tetap ada
setelah penguraian H2O2.
Katalis mempercepat reaksi dengan menyediakan serangkaian tahapan
elementer dengan kinetika yang lebih baik dibandingkan jika tanpa adanya katalis.
Dari persamaan (2.1) kita ketahui bahwa kosntanta laju k dan reaksi berlansung
pada faktor frekuensi A dan energi aktivasi Ea. Semakin besar A atau semakin kecil
Ea, semakin tinggi lajunya. Dalam banyak kasus katalis mingkatkan laju dengan
menurunkan energi aktivasinya.
Mari kita anggapa bahwa reaksi berikut memiliki konstanta laju k tertentu
dan energi aktivasi Ea.

k
A + B C + D

Dengan kehadiran katalis, kosntanta lajunya ialah kc (konstanta laju katalitik):

10
kc
A + B C + D

berdasarkan laju katalis,

lajuberkatalis > lajutakberkatalis

Perhatikan gambar dibawah ini yang menunujkkan profil energi potensial


untuk kedua reaksi. Energi total dari pereaksi (A dan B) dan hasil reaksi (C dan D)
tidak dipengaruhi oleh katalis: satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah
penurunan energi aktivasi dari Ea menjadi Ea’ karena energi aktivasi ke kiri juga
menurun, katalis meningkatkan laju reaksi ke kiri sama besarnya dengan laju reaksi
ke kanan.

Gambar 3. Perbandingan energi aktivasi dari A (tanpa katalis) dan B (dengan


katalis)

Terdapat 3 jenis katalisis umum, bergantung jenis zat yang menaikkan lajunya:
1. Katalisis heterogen
Dalam katalisis heterogen, pereaksi dan katalis berbeda fasa. Biasanya katalis
berupa padatan dan pereaksi berwujud gas atau cairan. Katalis heterogen sejauh
ini adalah jenis katalisis yang paling penting dalam kimia insdustri, terutama
dalam sintesis berbagai bahan kimia. Disini dijelaskan dua contoh katalisis
heterogen yang spesifik.

11
Pembuatan Asam Nitrat
Asam nitrat adalah suatu asam organik yang paling penting. Asam ini
digunakan dalam hasil reaksisi pupuk, zat warna, obat-obatan dan bahan
peledak. Metode industri yang utama dalam memhasil reaksisi asam nitrat
adalah Metode Oswald. Dengan mereaksikan amonia dengan molekul oksigen
pada suhu sekitar 800 oC dengan bantuan katalis platina-rhodium.

4NH3 (g) + 5O2 (g) 4NO (g) + 6H2O (g)

Nitrat oksida yang terbentuk mudah teroksidasi (tanpa katalis) menjadi


nitrogen dioksida:

2NO (g) + O2 (I) 2NO2 (g)

Ketika dilarutkan didalam air, NO2 membentuk asam nitrit dan asam nitrat:

2NO2 (g) + H2O (l) HNO2 (aq) + HNO3 (aq)

Jika dipanaskan asam nitrit berubah menjadi asam nitrat sebagai berikut:

3HNO2 (aq) HNO3 (aq) + H2O (aq) + 2NO (g)

NO yang dihasilkan dapat didaur-ulang untuk menghasilkan NO2 pada tahap


kedua.

2. Katalisi homogen
Dalam katalis homogen, pereaksi dan katalis terdispersi dalam satu fasa,
biasanya fasa cair. Katalis asam dan basa adalah jenis katalisis homogen yang
paling penting dalam larutan cairan. Contohnya, reaksi etil asetat dengan air
yang menghasilkan asam asetat dan etanol biasanya berlansung sangat lambat
sehingga sukar diukur.

12
O O

H3C C O C2H5 + H2O H3C C OH + C2H5OH


etil asetat asam asetat etanol

Tanpa kehadiran katalis, hukum lajunya adalah:

laju = k[CH3COOC2H5]

namun, reaksi dapat dikatalisis oleh asam. Dengan bantuan asam klorida,
lajunya menjadi:

laju = k[CH3COOC2H5][H+]

3. Katalisis enzim
Dari semua proses rumit yang ada dalam sistim makhluk hidup, tidak satupun
yang lebih menarik atau lebih penting daripada katalis enzim. Enzim adalah
katalis biologis. Kenyataan yang menakjubkan tentang enzim adalah bahwa
enzim tidak saja dapat meningkatkan lajureaksi biokimiawi sebanyak sekitar
106 sampai 1018 kali, tetapi enzim juga sangat spesifik. Satu enzim hanya
bekerja untuk molekul-molekul tertentu, yang disebut substrat atau pereaksi
dan tidak menggangu bagian lain dari sistem itu. Rata-rata sel hidup dapat
mengandung sampai 3000 enzim yang berbeda, masing-masing mengkatalisis
reaksi spesifik yang substratnya dikonversi menjadi hasil reaksi yang sesuai.
Katalisis enzim yang biasanya merupakan katalisis homogen dengan substrat
dan enzim berada dalam larutan berair yang sama.
Enzim umumnya adalah suatu molekul protein berukuran besar yang
mengandung satu atau lebih active side tempat terjadinya interaksi antara
enzim dengan substrat. Sisi-sisi aktif ini memiliki struktur yang sesuai dengan
molekulnya, sama seperti kunci dan gembok.
Tinjauan matematis untuk kinetika enzim cukup rumit, meskipun kita telah
mengetahui tahap dasar yang terlibat dalam reaksinya dengan skema
sederhananya sebagai berikut:

13
E + S ES

k
ES P + E

Dengan E, S dan P adalah enzim, substrat dan hasil reaksi, dan ES adalah zat
antara enzim-substrat. Seringkali diasumsikan pembentukan ES dan
penguraiannya kembali ke molekul enzim dan molekul substrat terjadi dengan
cepat dan bahwa tahap penentu lajunya adalah pembentukan hasil reaksi.
Secara umum, laju reaksi seperti itu dinyatakan dengan persamaan:

𝛿𝑃
𝑙𝑎𝑗𝑢 =
𝛿𝑡
= k[ES]

Konsentrasi dari zat antara ES ini sendiri berbanding lurus dengan banyaknya
substrat yang ada, dan plot laju versus konsentrasi substrat biasanya akan
menghasilkan kurva berikut seperti Gambar 1, dibawah ini.

Gambar. 1 perbandingan (a) reaksi tanpa dikatalis oleh enzim, (b) reaksi
dikatalis enzim.

14

Anda mungkin juga menyukai