Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bidang kimia yang mengkaji kecepatan, atau laju terjadinya reaksi kimia
dinamakan kinetika kimia (chemical kinetics). Kata “kinetik” menyiratkan
gerakan atau perubahan. Di sini kinetika merujuk pada laju reaksi (reaction rate),
yaitu perubahan konsentrasi reaktan atau produk terhadap waktu (M/s). Kita
telah mengetahui bahwa setiap rekais dapat dinyatakan dengan persamaan:
reaktan produk
A B
laju = - (∆[A])/∆t atau laju = (∆[B])/∆t
Persamaan ini memberitahukan bahwa setiap reaksi dapat dinyatakan
bahwa selama berlangsungnya suatu reaksi molekul reaktan bereaksi dan
molekul produk terbentuk. Sebagai hasilnya, kita dapat mengamati jalannya
reaksi cara memantau menurunkannya konsentrasi reaktan atau meningkatnya
konsentrasi produk. Laju raksi adalah kuantitas positif, sehingga tanda minus
diperlukan di dalam rumus agar lajunya positif (Chang, 2005: 30).
Teori tumbukan menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi laju
reaksi. Konsep dasar yang digunakan adalah bahwa dalam reaksi harus ada
perubahan kimia. Ikatan dalam reaktan putus dan ikatan pada produk terbentuk.
Dalam teori tumbukan ditekankan adanya 2 hal yang menentukan laju raksi yaitu
frekuansi tumbukan dan orientasi molekul yang menyebabkan faktor sterik.
Semakin banyak frekuansi tumbukan dan kesesuaian oriantasi molekul reaktan,
laju reaksi semakin tinggi. Dalam reaksi dibutuhkan energi minimal agar
molekul reaktan bertumbukan dan menghasilkan produk. Energi minimal
tersebut dapat dikaitkan dengan pola reaksi kesetimbangan (Fatimah, 2015: 183).
Arhenius percaya bahwa agar molekul bereaksi setelah berbenturan
molekul itu harus menjadi teraktivasi dan parameter Ea kemudian dikenal
sebagai energi aktivasi. Gagasannya dikemukakan oleh ilmuwan pengikutnya
dan pada tahun 1915 A. Marcelin menunjukkan bahwa meski molekul banyak
membuat benturan, tidak semua benturannya reaktif. Hanya benturan energi
(artinya : energi kinetik transisi relatif dari molekul berbenturan) melebihi energi
kristilah yang menghasilkan reaksi. Jadi, Marcelin memberikan penafsiran
dinamik pada energi aktivasi yang disimpulkan dari laju reaksi. Ketergantungan
tetapan laju yang kuat pada suhu, seperti yang dinyatakan oleh Hukum Arhenius
dapat dikaitkan dengan distribusi Maxwell. Bolztman mengenai energi molekul.
Jika Ea merupakan energi benturan relatif yang kritis, yaitu harus dimiliki oleh
sepasang molekul agar reaksi dapat terjadi, hanya sebagian kecil molekul saja
yang mempunyai energy tinggi itu (atau lebih). Jika suhu cukup rendah, fraksi
ini berkaitan dengan luas dibawah kurva distribusi Maxwell Bolzman, yaitu
anatara Ea dan ∞. Jika suhu ditingkatkan fungsi distribusi bergerak kearah energi
dimana energinya yang lebih tinggi (Oxtoby, 2008: 435- 436).
Proses untuk mencapai keadaan transisi kompleks membutuhkan energi
yang disuplai dari luar sistem. Energi inilah yang disebut dengan energi aktivasi
(dalam kimia, disebut juga sebagai energi permulaan). Pada reaksi endoterm
ataupun eksoterm, keduanya memiliki energi aktivasi yang positif, karena keadaan
transisi kompleks memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dari reaktan. Energi
aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia agar
dapat berlangsung. Energi aktivasi memiliki simbol Ea dengan E menotasikan
energi dan a yang ditulis subscribe menotasikan aktivasi. Kata aktivasi memiliki
makna bahwa suatu reaksi kimia membutuhkan tambahan energi untuk dapat
berlangsung.
Ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap suhu dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut. Dikenal sebagai persamaan Arhenius:
K = Ae Ea/RT
dimana Ea adalah energy aktivasi dari reaksi (kilo joule permol). R adalah
jonstanta gas (8,314 J/K.mol), T adalah suhu mutlak dan e adalah basis dari skala
logaritma natural. Besaran A menyatakan frekuensi tumbukan dan dinamakan
factor frekuensi.Factor ini dapat dianggap sebagai konstanta untuk system reaksi
tertentu dalam kisaran suhu yang cukup besar. Persamaan diatas menunjukkan
bahwa konstanta laju berbanding lurus dengan A dan dengan begitu berbanding
lurus dengan frekuensi tumbukan. Selain itu karena tanda minus untuk eksponen
Ea/RT, maka konstanta laju menurun dengan meningkatnya suhu. Persamaan ini
dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih baik dengan menghitung logaritma
natural dikedua sisi :
Ln K = ln Ae –Ea/RT
setiap molekul yang bergerak memiliki energi kinetik, semakin cepat
gerakannya, semakin besar energi kinetiknya. Ketika molekul-molekul
bertumbukan, sebagian dari energi kinetiknya diubah diubah menjadi energi
vibrasi. Jika energi kinetik awalnya besar, molekulnya yang bertumbukan akan
bergetar kuat sehingga memutuskan beberapa ikatan kimianya. Putusan
pertama merupakan langkah pertama ke pembentukan produk. Jika energi
kinetik awalnya kecil, molekul hanya akan terpental tetapi masih utuh. Dari segi
energi ada semacam energi tumbukan minimum yang harus tercapai agar reaksi
terjadi (Chang, 2005: 44-45).
Laju reaksi meningkat (sering sangat tajam) dengan peningkatan suhu.
Hubungan antara tingkat k dan suhu konstan pertama kali diusulkan oleh
Arrhenius:
k = A e-E * / RT (32.48)
konstanta A disebut faktor frekuensi, atau faktor pra-eksponensial; E * adalah
energi aktivasi. Konversi Persamaan. (32.48) ke bentuk logaritmik, kami punya
log 10 k = log10 A - (E *) / (2.303 R T)
jelas bahwa dengan menentukan nilai k pada beberapa suhu, plot log lO k versus
IjT akan menghasilkan energi aktivasi dari kemiringan kurva dan faktor
frekuensi dari intercept. Meskipun faktor frekuensi mungkin sedikit bergantung
pada suhu, kecuali kisaran suhu sangat besar, efek ini biasanya bisa saja dapat
diabaikan (Castellan, 1983: 813).
Energi aktivasi merupakan suatu energi minimum yang harus dilewati
oleh suatu reaksi.
Misalnya A produk.
Pada reaksi A supaya menjadi produk, Ea merupakan energi penghalang yang
harus diatasi oleh reaksi A. Molekul A dalam hal ini memperoleh energi dengan
jalan melakukan tumbukan antar molekul. Suatu reaksi dapat terjadi bila energi
yang diperoleh selama tumbukan tersebut berhasil melewati energi aktivasi (Ea).
Tumbukan terjadi antara dua molekul yang berbeda, misalnya A dan B (reaksi
bimolekuler), energi penghalang A terbentuk kompleks aktif.
A+B A ……….. B produk
(Tim Dosen Kimia Fisik II, 2018: 6)
Kompleks yang diaktifkan memiliki struktur "ketat", formasinya
menyiratkan pengurangan kebebasan dalam sistem, oleh karena itu perubahan
entropi negatif ΔS. Jika kompleks yang diaktifkan memiliki struktur yang
longgar dibandingkan dengan reaktan, ΔS positif maka faktor pra-bayar juga
besar. Untuk beberapa reaksi, e- ΔS Ha / RT mungkin tidak menguntungkan
tetapi laju reaksi cukup besar karena pra-responsif yang besar. Reaksinya :
NO + O3 = NO2 + O2
dan
CH3I + HI = CH4 +I2
telah terbukti memiliki konstanta tingkat orde kedua k = 6,3 × 107√Te − 2300/
RT dan k = 5,2 × 1010√Te − 33.000 / RT, masing-masing. Menganalisis dua
hasil ini, dapat disimpulkan bahwa reaksi pertama memiliki penghalang aktivasi
rendah relatif terhadap yang kedua dan memiliki reaksi yang lebih rendah
sebelum reaksi kedua. Entropi aktivasi lebih negatif untuk oksidasi oksida nitrat
daripada abstraksi iodin, menunjukkan struktur terikat ketat untuk kompleks
pertama yang diaktifkan dan struktur longgar untuk kompleks yang diaktifkan
kedua (Rogers, 2011: 355).
Energi aktivasi itu sendiri menurut Chang (2005) adalah jumlah
minimum energi yang diperlukan untuk mengawali reaksi kimia. Apabila
energinya lebih kecil daripada energi aktivasi, molekul tetap utuh dan tidak ada
perubahan akibat tumbukan. Sama halnya dengan laju reaksi, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi energi aktivasi yaitu suhu, faktor frekuensi, dan
katalis. Dapat kita lihat bahwa pada percobaan ini suhu benar-benar berpengaruh.
Dimana fraksi molekul-molekul mampu untuk bereaksi dua kali lipat dengan
peningkatan suhu 10˚C. hal ini menyebabkan laju reaksi meningkat.Berdasarkan
uraian di atas telah diketahui hubungan antara persamaan Arhenius dengan
energi aktivasi. Energi aktivasi sangat berpengaruh terhadap kecepatan suatu
reaksi. Suatu reaksi dapat berjalan dengan cepat apabila energi aktivasinya
dipercepat. Maka dari itu percobaan ini dilakukan untuk menentukan hubungan
keduanya dan menentukan nilai energi aktivasi menurut suatu percobaan.
Melalui persamaan Arhenius di atas maka digunakan pada percobaan ini.
Dimana kita akan menghitung energi aktivasi (Ea) menggunakan persamaan
arhenius.
1.2 Tujuan
Mahasiswa diharapkan mampu:
1.1.1 menjelaskan hubungan antara laju reaksi dengan temperatur; dan
1.1.2 menghitung energi aktivasi (Ea) dengan menggunakan persamaan
Arrhenius.
2. Metode Percobaan
2.1 Alat
2.1.1 Rak tabung reaksi 1 buah
2.1.2 Tabung reaksi besar 12 buah
2.1.3 Gelas kimia 1000 mL 1 buah
2.1.4 Pipet tetes 5 buah
2.1.5 Gelas ukur 10 mL 4 buah
2.1.6 Gelas kimia 250 mL 1 buah
2.1.7 Lap kasar 1 buah
2.1.8 Lap halus 1 buah
2.1.9 Sikat tabung 1 buah
2.1.10 Stopwatch 1 buah
2.1.11 Kaki tiga 1 buah
2.1.12 Kasa asbes 1 buah
2.1.13 Pembakar Bunsen 1 buah
2.1.14 Botol semprot 1 buah
2.1.15 Termometer 2 buah
2.1.16 Penjepit tabung 2 buah
2.2 Bahan
2.2.1 Larutan Kalium Persulfat (K2S2O8) 0,04 M
2.2.2 Larutan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 1 M
2.2.3 Larutan Kalium Iodida (KI) 0,4 M
2.2.4 Aquades (H2O)
2.2.5 Larutan amilum (C6H10O5)n
2.2.6 Es batu (H2O)
2.2.7 Label
2.3 Prosedur Kerja
Sistem 1
2 1 2 1 2
1
masing-masing tabung
5 mL S2O82- 5 mL H2O 10 mL I- 1 mL S2O3- 1 mL kanji diukur suhunya sampai
20oC
U n tu k s u h u 4 0 oC d a n 5 0 oC ta b u n g U la n g i p e r c o b a a n d e n g a n 2
d im a s u k k a n d a la m p e n a n g a s m e n g g u n a k a n su h u 3 0 oC , 4 0 oC ,
d a n 5 0 oC
Sistem 2
1 2
2 1 2 1 2
1
masing-masing tabung
7 mL S2O82- 3 mL H2O 8 mL I- 2 mL H2O 1 mL S2O3- 1 mL kanji diukur suhunya sampai
20oC
Tabun
g reak
si 1
0,0033
1. 25 225 298 -5,69
5
0,0033
2. 30 84 303 -5,71
0
0,0032
3. 40 65 308 -5,74
5
0,0030
4. 54 78 327 -5,79
5
3.1.2 Sistem II
N Suhu rata-rata Waktu Reaksi 1 -1 1
T (k) (k ) ln
o. (T˚C) (s) T T
0,0033
1. 25 99 298 -5,69
5
0,0032
2. 30 61 304 -5,72
9
0,0031
3. 46 20 319 -5,76
3
0,0031
4. 50 24 316 -5,75
6
-5.4
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-5.45
-5.5
-5.53
-5.55
ln 1/T
-5.6
f(x) = 0.02 x − 5.76
-5.65 R² = 0.15
-5.7 -5.69
-5.71
-5.75 -5.74
-5.8 -5.79
-5.85
1/T
-5.4
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-5.45
-5.5
-5.55
ln 1/T
Chang, Raymond. 2005. Konsep-Konsep Inti Kimia Dasar. Edisi Ketiga Jilid
Dua. Jakarta: Erlangga.
Oxtoby, David W., H.P. Gillis, dan Norman H. Nachtrieb. 2001. Prinsip-Prinsip
Kimia Modern Edisi Keempat jilid I. Jakarta :Erlangga.
Rogers, Donald W. 2011. Concise Physical Chemistry. John Wiley & Sons :
Kanada.
Tim Dosen Kimia Fisik II. 2018. Penuntun Praktikum Kimia Fisik II. Makassar:
Universitas Negeri Makassar.
Jawaban Pertanyaan
1. Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan suatu reaksi kimia
agar dapar berlangsung.
2. Adapun pengaruh suhu terhadap laju reaksi ialah berbanding lurus. Semakin
tinggi suhunya maka waktu reaksinya akan semakin cepat hal ini terjadi karena
semakin tinggi suhu maka energi kinetik suatu partukel untuk menimbulkan
tumbukan efektif semakin besar juga, jadi semakin tinggi suhu maka laju
reaksinya semakin cepat begitupun sebaliknya jika suhunya rendah maka laju
akan semakin lambat.