Anda di halaman 1dari 9

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan lengkap praktikum Kimia Fisik II dengan judul “Persamaan


Arrhenius dan Energi Aktivasi”, yang disusun oleh :
nama : Rahmaniar
NIM : 1713040016
kelas : Pendidikan Kimia B
kelompok : II (dua)
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan Koordinator asisten dan dinyatakan
diterima.

Makassar, September 2019


Koordinator Asisten, Asisten,

Muh. Duriatsyah Putra Khairil Afdal aaa


NIM. 1613041015 NIM. 1313142014

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab

Suriati Eka Putri, S.Si, M.Si


NIP. 19880305 2013 12 2 002

A. JUDUL PERCOBAAN
Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi
B. TUJUAN PERCOBAAN
Adapun tujuan percobaan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan hubungan laju reaksi dengan temperatur.
2. Menentukan konstanta laju reaksi dan menghitung energi aktivasi (Ea)
dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
C. LANDASAN TEORI
Bidang kimia yang mengkaji kecepatan atau laju terjadinya reaksi kimia
dinamakan kinetika kimia (Chemical kinetics).Kata “kinetik” menyiratkan
gerakan atau perubahan, energi kinetika sebagai energi yang tersedia karena
gerakan suatu benda.Kinetika merujuk pada laju reaksi (reaction rate) yaitu
perubahan konsentrasi reaktan atau produk terhadap waktu.Kita telah mengetahui
bahwa setiap reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan umum:
Reaktan produk
Persamaan ini memberitahukan bahwa selama berlangsungnya suatu reaksi
molekul reaktan bereaksi sedangkan molekul produk terbentuk. Sebagai hasilnya,
kita dapat mengamati jalannya reaksi dengan cara memantau turunnya konsentrasi
reaktan atau naiknya konsentrasi produk (Chang, 2005: 30).
Laju suatu reaksi kimia hanya bergantung pada beberapa konsentrasi, dan
jumlah perpangkatan konsentrasi ini diistilahkan dengan orde reaksi.Hal ini
dikarenakan reaksi kimia terjadi dalam beberapa langkah atau tahap (disebut
mekanisme) dan laju keseluruhan reaksi sering ditentukan oleh laju tahap yang
paling lambat.Meskipun setiap tahap reaksi kimia lainnya terjadi dengan segera,
laju reaksi secara keseluruhannya tidak dapat melebihi laju dari tahap yang paling
lambat tersebut. Persamaan laju diferensial seperti diatas tidak
banyak digunakan oleh para ahli kimia sehingga terbiasa untuk
mengintegralkan persamaan laju tersebut untuk mendapatkan persamaan yang
lebih berguna (Cairns, 2008 : 195-196).
Suatu reaksi sederhana dimana molekul A diubah menjadi molekul B,
menurunnya jumlah molekul A dan meningkatnya jumlah molekul B seiring
dengan waktu. Jadi untuk reaksi sederhana kita dapat menyatakan laju sebagai:
∆(A)
Laju = -
∆t
Karena ∆(A) adalah perubahan konsentrasi (dalam molaritas) selama waktu ∆t,
Karena konsentrasi A menurun selama selang waktu berikut. Salah satu untuk
mengkaji pengaruh konsentrasi reaktan terhadap laju reaksi ialah dengan
menetukan bagaimana laju awal bergantung pada konsentrasi awal. Pada
umumnya, yang lebih disukai adalah mengukur laju awal karena sewaktu reaksi
berlangsung konsentrasi reaktan menurun dan akan sulit mengukur perubahannya
secara akurat (Chang, 2005: 30, 33).
Pada sebagian besar reaksi kimia, peningkatan suhu akan menyebabkan
terjadinya peningkatan yang sesuai pada laju reaksi, yang dapat diukur melalui
peningkatan k, tetapan laju reaksi. Sebagai gambaran yang sangat kasar,
peningkatan suhu sebesar 10°C akan meningkatkan laju reaksi kira-kira dua
kalinya. Ahli kimia Swedia, Arrhenius, pertama kali menyatakan secara
matematika hubungan laju reaksi dengan suhu (Cairns, 2008 : 202).
Pada tahun 1889 Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan empirik yang
menggambarkan kerbergantungan konstanta laju reaksi pada suhu. Persamaan
yang diusulkan Arrhenius itu adalah sebagai berikut:
Ea
k = Ae−RT
k = konstanta laju reaksi
A = faktor frekuensi
Ea = Energi aktivasi
Persamaan di atas sering kali ditulis dalam bentuk logaritma sebagai berikut:
Ea
ln k = ln A - RT (Tim dosen kimia fisik II, 2019: 5).

A adalah tetapan yang dikenal dengan faktor frekuensi dan merupakan


ukuran jumlah benturan yang terjadi di antara perekasi; e-E/RT adalah fraksi kecil
dari jumlah total benturan yang menghasilkan suatu reaksi sempurna; E adalah
energi aktivasi untuk reaksi, yaitu energi yang diperlukan untuk mendorong
terjadinya benturan diantara pereaksi dengan energi yang cukup untuk membentuk
produk; R adalah tetapan gas umum (R = 8,314 J K-1 mol-1), yang sepertinya
muncul hampir pada setiap persamaan kimia fisika; dan T adalah suhu dalam
Kelvin (Cairns, 2008: 202).
Konstanta laju reaksi (k) yaitu konstanta kesebandingan (proporsionalitas)
antara laju reaksi dan konsentrasi reaktan.Persamaan ini disebut hukum laju(rate
law) yakni persamaan yang menghubungkan laju reaksi dengan konstanta laju dan
konstanta.Dari konsentrasi reaktan dan laju awal, kita juga dapat menghitung
konstanta laju. Untuk reaksi umum dengan jenis
aA + bB cC + dD
hukum lajunya dapat dituliskan sebagai berikut:
laju = k (A)x(B)y
jika kita mengetahui nilai k, x, dan y, serta konsentrasi A dan B kita dapat
menggunakan hukum laju untuk menghitung laju reaksi. Seperti halnya k, x, dan y
juga harus ditentukan melalui percobaan.Jumlah dari pangkat-pangkat dari setiap
konsentrasi reaktan yang ada dalam hukum laju disebut orde reaksi (reaction
order) keseluruhan (Chang, 2005: 34).
Arrhenius percaya bahwa agar molekul bereaksi setelah berbenturan,
molekul itu harus menjadi “teraktivasi”, dan parameter Ea kemudian dikenal
sebagai energi aktivasi. Gagasannya disempurnakan oleh ilmuwan pengikutnya,
dan pada tahun 1915 A. Marcelin menunjukkan bahwa meskipun molekul
membuat banyak benturan, tidak semuanya benturan reaktif.Hanya benturan yang
energi benturannya (artinya, energi kinetik translasi relatif dari molekul yang
berbenturan) melebihi energi kritislah yang menghasilkan reaksi.Jadi, Marcelin
memberikan penafsiran dinamik pada energi aktivasi yang dapat disimpulkan dari
laju reaksi.Ketergantungan tetapan laju yang kuat pada suhu, seperti yang
dinyatakan oleh Hukum Arrhenius, dapat dikaitkan dengan distribusi Maxwell-
Boltzmann mengenai energi molekul. Jika Ea merupakan energi benturan relative
yang kritis, yaitu yang harus dimiliki oleh sepasang molekul agar reaksi dapat
terjadi, hanya sebagian kecil molekul saja yang mempunyai energi setinggi itu
(atau melebihi energi itu) jika suhu cukup rendah (Oxtoby, 2001 : 435).
Proses untuk mencapai keadaan transisi kompleks membutuhkan energi
yang disuplai dari luar sistem. Energi inilah yang disebut dengan energi aktivasi.
Pada reaksi endoterm ataupun eksoterm, keduanya memiliki energi aktivasi yang
positif, karena keadaan transisi kompleks memiliki tingkat energi yang lebih
tinggi dari reaktan (Malaque, 2013: 2). Energi aktivasi adalah suatu energi
minimum yang dibutuhkan agar reaksi kimia tertentu dapat terjadi.Energi aktivasi
berpengaruh pada rate reaksi (cepat atau lambat reaksi berlangsung).Energi
aktivasi ini di hitung dari, membuat grafik antara ln k vs 1/T menurut persamaan
Arhenius dan hasilnya ditabelkan.Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
semakin tinggi konsentrasikatalis, nilai energi aktivasi semakin menurun. Hal ini
sesuai dengan levenspile (1999) yang menyebutkan bahwa laju reaksi dan energi
aktivasi berbanding terbalik sehingga semakin besar konsentrasi katalis, reaksi
dekomposisi glukosa semakin mudah dan ditandai dengan energi aktivasi yang
semakin menurun (Anjana, 2014: 124).
Energy aktivasi (Ea) bahan komposit (Li)x (Al2O3)1-x dihitung dengan
mempergunakan Arhenius yaitu :
σ = σo .exp [-Ea/KT]
keterangan σ: konduktivitas, Ea : energy aktivasi, K = Konstanta Bolzman dan T=
Suhu. Dengan membuat kurva antara ln σ terhadap 1000/T, diperoleh kemiringan
garis yang merupakan energy aktivasi. Energy aktivasi ditentukan dengan
membuat kurva antara ln B terhadap 1000/T, dari kemiringan kurva dapat
dihitung energy aktivitas Ea. Perhitungan energy aktivitas dibagi dalam dua
bagian interval suhu yaitu pertama suhu 300oK sampai 420oK dan interval suhu
kedua 450 K sampai 570 K (Purwanto, dkk, 2012: 35).
Walau ada sedikit pengecualian, laju reaksi meningkat dengan
meningkatnya suhu.sebagai contoh, waktu yang diperlukan untuk merebus telur
pada 1000C (sekitar 10 menit) lebih singkat dibanding pada suhu 80oC (sekitar 30
menit). Sebaliknya, cara yang efektif untuk mengawetkan makanan ialah dengan
menyimpannya pada suhu dibawah 0 yang akan memperlambat laju pembusukan
oleh bakteri. Untuk menjelaskan perilaku ini kita harus mengetahui bagaimana
reaksi dimulai pada awlanya.Reaksi kimia berlangsung sebagai akibat dari
tumbukan antara molekul-molekul yang bereaksi. Dari segi teori tumbukan kita
perkirakan laju reaksi akan berbanding lurus dengan banyaknya tumbukan
molekul perdetik (Chang, 2005: 43).
Hukum kinetika kimia sebagaimana yang telah dinyatakan melalui
persamaan Arrhenius menyatakan bahwa kadar tindak balas kimia adalah
berkaitan dengan suhu dan masa. Kadar tindak balas umumnya meningkat sebesar
dua kali ganda bagi setiap pertambahan suhu 10°C.Dengan demikian, ramai ahli
geologo meramalkan bahwa kematangan kerogen merupakan fungsi suhu dan
masa. Selanjutnya, petroleum mungkin terjana daripada batuan yang tua dan sejuk
serta daripada batuan punca muda yang panas (Selley, 1939 : 191).
Ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap suhu dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut, dikenal dengan persamaan Arrhenius:
Ea
k = Ae−RT
Ea
lnk = ln Ae−RT
Ea
= ln A - RT
Ea 1
ln k = (-RT )(T ) + ln A

Yang mana Ea adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas (8,314 J/K mol), T
adalah suhu mutlak dan e adalah basis skala logaritma natural. Besaran A
menyatakan frekuensi tumbukan dan dinamakan faktor tumbukan.Faktor ini dapat
dianggap sebagai konstanta untuk sistem reaksi tertentu dalam kisaran suhu yang
cukup lebar. Persamaan di atas menunjukkan konstanta laju berbanding lurus
dengan A dengan begitu berbanding lurus dengan frekuensi tumbukan. Karena
tanda minus untuk eksponen Ea/RT maka konstanta laju menurun dengan
meningkatnya energi aktivasi dan meningkatnya konstanta laju dengan
meningkatnya suhu (Chang, 2005: 45).
Investasi awal energi untuk memulai suatu reaksi energy yang diperlukan
untuk memutuskan ikatan pada molekul reaktan dikenal sebagai energi bebas
untuk aktivasi, atau energi aktivasi, yang disingkat dengan Ea. Energi aktivasi
digambarkan oleh bagian tanjakan bukit, dengan kandungan energi bebas reaktan
yang semakin meningkat. Penyerapan energy panas akan meningkatkan kecepatan
reaktan, sehingga reaktan tersebut bertubrukan lebih sering dan lebih bertenaga.
Selain itu, agitasi termal (perangsangan oleh panas) pada atom-atom dalam
molekul tersebut membuat ikatan itu lebih mudah putus. Pada puncak, reaktan
berada dalam kondisi tidak stabil yang dikenal sebagai keadaan transisi; reaktan
telah berada dalam kondisi siap, dan reaksi bisa terjadi (Campbell, 2002: 98).
Energi aktivasi untuk reaksi elementer selalu positif (meskipun dalam
beberapa kasus dapat sangat kecil) sebab selalu ada semacam halangan energi
yang harus dilampaui.Jadi laju reaksi elementer meningkat dengan meningkatnya
suhu. Hal ini tidak selamanya benar untuk laju reaksi keseluruhan yang terdiri atas
lebih dari satu reaksi elementer. Kadang-kadang terdapat “energi aktivasi negatif”
sehingga laju reaksi keseluruhan melambat pada suhu yang lebih tinggi. Katalis
mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan faktor A Arrhenius, atau, yang
lebih sering adalah dengan menurunkan energi aktivasi Ea dengan
memberikan kompleks teraktifkan baru dengan energi potensial yang lebih
rendah (Oxtoby, 2001: 437, 441).
Nilai energi aktivasi tersebut dipengaruhi oleh pH, bahwa pada suasanan
yang semakinasam, maka diperoleh energi aktivasi yang semakin besar. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi stabiltas amlodipin
bersilatas pada berbagaisuhu percobaan. Peningkatan suhu menyebabkan nilai
tetapan laju degradasi amlodipin bersilat meningkat atau menyebabkan stabilitas
amlodipine bersifat menurun (Minarsih, 2011: 30).
D. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Rak tabung reaksi 2 buah
b. Tabung reaksi besar 10 buah
c. Tabung reaksi kecil 5 buah
d. Gelas ukur 10 mL 3 buah
e. Pipet tetes 4 buah
f. Gelas kimia 250 mL 2 buah
g. Kasa asbes 1 buah
h. Kaki tga 1 buah
i. Pembakar spiritus 1 buah
j. Klem kayu 2 buah
k. Termometer 110oC 2 buah
l. Lap kasar 1 buah
m. Lap halus 1 buah
n. Stopwatch 1 buah
o. Botol semprot 1 buah
2. Bahan
a. Kalium iodida 0.1 M (KI) )
b. Kanji / amilium 3% (C6H10O5)
c. Amonium persulfat 0,04 M ((NH4)2S2O8)
d. Natrium tiosulfat 0,001 M (Na2S2O3)
e. Es batu (H2O(s))
f. Aquades (H2O(l))
g. Korek api
E. PROSEDUR KERJA
1. Untuk Sistem I
a. Disiapkan 2 buah tabung reaksi yang bersih.
b. Pada tabung 1 dimasukkan 2,5 mL (NH4)2S2O8 0,04 M kedalam tabung
kemudian ditambah dengan 2,5 mL H2O.
c. Pada tabung 2,5 mL KI 0,1 M dimasukkan dalam tabung reaksi
kemudian ditambah dengan 0,5 mL Na2S2O3 0,001 M dan 0,5 mL kanji
3%
d. Kedua tabung didinginkan dalam air es sampai suhu kedua taung
mencapai 200C.
e. Isi larutan pada tabung 1 dimasukkan kedalam tabung 2 dan dituang
kembali ke tabung 1 dengan cepat.
f. Stopwatch dijalankan dan diukur waktu yang diperlukan campuran
sampai tampak warna biru untuk pertama kali.
g. Langkah a,b,c,e dan f diatas diulang untuk suhu 300C, 400C, 500C dan
600C dengan cara dipanaskan.
2. Untuk Sistem 2
a. Disediakan 2 buah tabung reaksi besar yang bersih
b. Pada tabung 1, 3,5 mL (NH4)2S2O8 dimasukkan dalam tabung reaksi dan
ditambah dengan 1,5 mL H2O.
c. Pada tabung 2, 4 mL KI 0,1 M dan 1 mL H2O dimasukkan dalam tbung
reaksi kemudian ditambah dengan 0,5 mL Na2S2O3 0,001 M dan 0,5 mL
kanji 3%.
d. Kedua tabung didinginkan dalam air es sampai suhu kedua tabung 2 dan
dituang kembali ke tabung 1 dengan cepat.
e. Isi larutan pada tabung 1 dimasukkn kedalam tabung 2 dan dituang
kembali ke tabung 1 dengan cepat.
f. Stopwatch dijalankan dan diukur waktu yang diperukan campuran
sampai tampak warna biru untuk pertama kali.
g. Langkah a,b,c,e dan f diulang untuk suhu 300C, 400C, 500C dan 600C
dengan cara dipanaskan.

Anda mungkin juga menyukai