Anda di halaman 1dari 26

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Lengkap Praktikum Kimia Fisik II dengan judul “Persamaan


Arrhenius dan Energi Aktivasi” yang disusun oleh :
nama : Andi Nurhidayah
NIM :1813040012
Kelas : Pendidikan Kimia B
kelompok : II (Dua) B1
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan Koordinator Asisten yang
bersangkutan, dan dinyatakan diterima.

Makassar, Desesmber 2020


Koordinator Asisten, Asisten,

Nurul Annisa Fitri Sulfiah Nur


NIM. 1713141003 NIM. 1713142004

Mengetahui,
Dosen Penanggung jawab

Suriati Eka Putra, S.Si.,M.Si


NIP. 19880305 2012122 002
A. JUDUL PERCOBAAN
Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi

B. TUJUAN PERCOBAAN
1. Menjelaskan hubungan laju reaksi dengan temperatu.
2. Menentukan konstanta laju reaksi.
3. Menghitung energi aktivasi (Ea) denganmenggunakan persamaan Arrhenius.

C. LANDASAN TEORI
Kinetika kimia adalah cabang ilmu kimia yang nrmpelajari kecepatan
reaksi kimia dan mekanisme reaksi kimia yang terjadi. Pengertian kecepatan
reaksi digunakan untuk melukiskan kelajuan perubahan kimia yang terjadi.
Sedangkan pengertian mekanisme reaksi digunakan untuk nelukiskan serangkaian
langkah-langkah reaksi yang meliputi perubahan keseluruhan dari suatu reaksi
yang terjadi. Dalam kebanyakan reaksi. Kinetika kimia Eunya mendeteksi bahan
dasar permulaan yang lenyap dan hasil yang timbul. jadi hanya reaksi keseluruhan
yang dapat dianuti, Perubahan reaksi keseluruhan yang terjadi kenyaiaan_nya
dapat terdiri atas beberapa reaksi yang benurutan, masing-masing reaksi
merupakan suatu langkah reaksi pernbentukan hasil-hasil akhir. Dalam
nembicarakan reaksi-reaksi kimia dalah penting untuk mnbedakan antara suatu
teaksi keseluruhan dan satu langkah reaksi dalam teaksi tersebut. Bila suatu reaksi
terjadi dalam beberapa langkah reaksi kemungkinan spesies perantara dibentuk.
dan nereka mungkin tidak dapat dideteksi karena mereka segera digunakan dalam
langkah reaksi berikutnya. Meskipun demikian, dengan nengetahui beberapa
faktor yang npmpengaruhinya. Kadang-kadang dapat diketahui seberapa jauh
tersebut berperanan dalam mekanisme reaksi (Sastrohamidjojo, 2018: 161).
Setiap molekul yang bergerak memiliki enertgi kinetik, semakin cepat
gerakannya semakin besar energi kinetiknya. Ketika molekul bertumbukan,
sebagian dari energi inetinya diubah menjadi energi vibrasi. Jika energi kinetik
awalnya besar, molekul yang bertumbukan akan bergetar kuat sehingga
memutuskan beberapa ikatan kimianya. Putusnya ikatan merupakan langkah
pertama pembentukan produk. Jika energi kinetik awalnya kecil, molekul hanya
akan berpental tetapi masih utuh. Dari segi energi, ada semacam energi tumbukan
minimun yang harus tercapai yang harus tercapai agar reaksi terjadi. Molekul
yang bertumbukan harus memiliki energi kinetik total sama dengan atau lebih
besar energi aktivasi (Ea), yaitu jumlah minimun energi yang diperlukan untuk
mengawali reasi kimia. Apabila energi lebih kecil daripada energi aktivasi, moleul
tetap utuh, dan tidak ada perubahan tumbukan. Spesi terbentuk sementara oleh
molekul reatan sebagai akibat tumbukan sebelum pembentukan produk
dinamakan komples teraktifan (juga dinamakan keadaan transisi) (Chang, 2004:
44).
Kinetika reaksi kimia biasanya dinyatakan dengan persamaan laju reaksi
yang sederhana. Dimana persamaan menyatakan perubahan konsentrasi dari
species reaktan tunggalnya sebagai fungsi waktu. Reaks seperti ini dikenal
sebagai reaksi kinetika sederhana. Bidang kimia yang mengkaji kecepatan, atau
laju terjadinya reaksi kimia dinamakan kinetika kimia (chemical kinetics). Kata
kinetik menyiaratkan gerakan atau perubahan. Energi kinetik didefinisikan
sebagai energi yang tersedia karena gerakan suatu benda. Di sini kinetika merujuk
pada laju reaksi (rection rate), yaitu perubahan konsentrasi reaktan atau produk
terhadap waktu (M/s). Kita telah mengetahui bahwa setiap reaksi dapat
dinyatakan dengan persamaan umum
Reaktan → produk
Persamaan ini meberitahukan bahwa, selama berlangsungnya suatu reaksi,
molekul reaktan bereaksi sedangkan molekul produk terbentuk. Sebagai hasilnya,
kita dapat mengamati jalannya reaksi dengan cara memantau menurunnya
konsentrasi reaktan atau meningkatnya konsentrasi produk (Chang, 2004: 30).
Kajian kinetika berkaitan dengan laju perubahan konsentrasi pereaksi dan
produk, saat reaksi berlangsung, jumlah pereaksi berkurang sedangkan jumlah
produk meningkat. Dalam hal ini terjadi pengkonsumsian pereaksi dan
pembentukkan produk. Pengungkapan laju reaksi kimia bisa didasarkan pada
pereaksi atau pada produk. Sebagai ilustrasi, kita lihat reaksi antara pereaksi A
dan B menghasilkan produk Y yang dapat dipresentasikan oleh persamaan reaksi
berikut:
A + 3B → 2Y
Laju konsumsi A (vA) diberikan oleh
d[A]
VA = -
dt
Laju pembentukkan Y (vy) diberikan sebagai
d [Y ]
Vy = -
dt
Dari stoikiometri reaksi kita dapat pahami bahwa laju berkurangnya A adalah 1/3
kali dari laju berkurangnya B dan ½ laju dari terbentuknya produk
Y (Mulyani, 2003: 157-158).
Teori kinetik gas menyatakan bahwa molekul gas sering bertumbukkan satu
dengan yang lainnya. Jadi, sangat masuk akal jika kita menganggap, dan biasanya
benar, bahwa reaksi kimia berlangsung sebagai akibat dari tumbukkan antara
molekul-molekul yang bereaksi. Dari segi teori tumbukan dan kinetika kimia,
maka kita perkirakan laju reaksi akan berbanding lurus dengan banyaknya
tumbukan molekul per detik, atau berbanding lurus dengan frekuensi tumbukan
molekul:
banyaknya tumbukan
Laju =
detik
Hubungan yang sederhana ini menjelaskan ketergantungan laju reaksi terhadap
konsentrasi (Chang, 2004: 43).
Hukum laju dapat ditentukan dengan melakukan serangkaian eksperimen
secara sistematis. Pada reaksi A + B C, untuk menentukan orde reaksi
terhadap A maka konsentrasi A dibuat tetap sementara itu konsentrasi B divariasi
kemudian diukur laju reaksinya pada variasi konsentrasi tersebut. Sedangkan
untuk menentukan orde reaksi terhadap B, maka konsentrasi dibuat tetap
sementara itu konsentrasi A divariasi kemudian diukur laju reaksinya pada variasi
konsentrasi tersebut (Partana, 2003: 49).
Aspek yang sangat penting dalam kinetika kimia adalah bagaimana laju
reaksi bergantung pada temperatur. Secara empirik, untuk banyak reaksi kimia,
tetapan laju dihubungkan terhadap temperatur absolut T melalui ungkapan:
k = A e –B/T
dengan A dan B adalah tetapan. Hubungan tersebut dirumuskan oleh Van’t Hoff
dan Arrhenius dalam bentuk:
k = Ae –E/RT
dengan R adalah tetapan gas ideal (R = 8,3145 KJ-1) dan E dikenal sebagai energi
pengaktifan (Mulyani, 2003: 166).
Energi aktivasi untuk reaksi elementer selalu positif (meskipun dalam
beberapa kasus dapat sangat kecil) sebab selalu ada semacam halangan energi
yang harus dilampaui. Jadi, laju reaksi elementer meningkat dengan
meningkatnya suhu. Hal ini tidak selamanya benar untuk laju reaksi keseluruhan
yang terdiri
atas lebih dari satu reaksi elementer. Kadang-kadang terdapat “energi aktivasi
negatif sehingga laju reaksi keseluruhan melambat pada suhu yang lebih
tinggi (Oxtoby, 2001: 437).
Sebagian besar reaksi kimia, peningkatan suhu akan menyebabkan
terjadinya peningkatan yang sesuai pada laju reaksi yang dapat diukur melalui
peningkatan k, tetapan laju reaksi. Peningkatan suhu sebesar 10 oC akan
meningkatankan laju reaksi kira-kira dua kalinya. Ahli kimia Swedia, Arrhenius,
pertama kali menyatakan secara matematika hubungan antara laju reaksi dengan
suhu, yaitu:
k = Ae-E/RT
A adalah tetapan yang dikenal dengan faktor frekuensi dan merupakan ukuran
jumlah benturan yang terjadi diantara pereaksi, e-E/RT adalah fraksi kecil dari
jumlah total benturan yang menghasilkan suatu reaksi sempurna; E adalah energi
aktivasi untuk reaksi, yaitu energi yang diperlukan untuk mendorong terjadinya
benturan di antara pereaksi dengan energi yang cukup untuk membentuk produk;
R adalah tetap gas umum (R = 8,314 J K -1 mol-1); dan T adalah suhu dalam
Kelvin (Cairns, 2008: 202).
Besarnya frekuensi tumbukan (𝑘0) dan energi aktivasi (𝐸) dapat
dihitungan dengan membuat plot grafik hubungan antara ln konstanta rekasi (ln
𝑘) terhadap 1/𝑇. Hubungan antara 1/T terhadap ln k merupakan persamaan garis.
Dari persamaan Hukum Arrhenius bahwa
Maka persamaan, dapat disusun menjadi

Dengan memasukkan nilai konstanta gas ideal 𝑅 = 8,314 𝐽/ 𝑚𝑜𝑙.


𝐾 (Andini, 2020: 24-25)
Setiap molekul yang bergerak memiliki energi kinetik, semakin cepat
gerakannya, semakin besar energi kinetiknya. Kinetika molekul-molekul
bertumbukan, sebagian dari energi kinetiknya diubah menjadi energi vibrasi. Jika
energi kinetik awalnya besar, molekul yang bertumbukan akan bergetar kuat
sehingga memutuskan beberapa ikatan kimianya. Putusnya ikatan merupakan
langkah pertama ke pembentukkan produk. Jika energi kinetik awalnya kecil,
molekul hanya akan terpental tetapi masih utuh. Dari segi energi, ada semacam
energi tumbukan minimum yang harus tercapai agar reaksi terjadi. Kita
postulatkan bahwa, untuk bereaksi, molekul yang bertumbukan harus memiliki
energi kinetik total sama dengan atau lebih besar daripada energi aktivasi
(activation energy) (Ea), yaitu jumlah minimum energi yang diperlukan untuk
mengawali reaksi kimia. Apabila energinya lebih kecil daripada energi aktivasi,
molekul tetap utuh, dan tidak ada perubahan akibat tumbukan (Chang, 2004: 44).
Kebergantungan tetapan kesetimbangn standar terhadap temperatur
diberikan oleh hubungan:
d ln K 0c Δ U 0
=
dT RT 2
Pendekatan Arrhenius terhadap hukum tersebut agak sedikit berbeda dari
yang dilakukan Van’t Hoof. Dia mencatat bahwa untuk reaksi kimia biasa,
kebanyakan tumbukan antar molekul pereaksi adalah tidak efektif dalam artian
bahwa energinya tidak mencukupi. Dalam fraksi yang kecil dari tumbukan,
bagaimanapun energinya adalah cukup besar untuk mengizinkan suatu reaksi
berlangsung. Menurut prinsip Boltzman, fraksi dari tumbukan tersebutyang mana
energinya adalah eksesif dari suatu harga khusus E adalah
e-E/RT
Fraksi tersebut semakin besar dengan semakin besarnya suhu T dan semakin
rendahnya E. Oleh, karena itu, tetapan laju akan proporsional terhadap fraksi
tersebut. Ambil bentuk logaritma persamaan tersebut, kita dapatkan:
Ea
ln K = ln A -
RT
plot ln k terhadap 1/T, kita peroleh slop – E/R dan intersep ln A.
Dengan demikian, kita dapat menentukan besarnya harga energi pengaktifan dan
faktor praeksponensial dengan memvariasi tetapan laju terhadap
suhu (Mulyani, 2003: 167-168).
Jika laju kerusakan terjadi secara konstan atau linier maka
mengikuti ordo reaksi nol. Namun jika laju kerusakan terjadi secara tidak
konstan, secara logaritmik atau eksponensial, maka mengikuti ordo reaksi
satu. Penetapan ordo reaksi merupakan cara untuk memprediksi penurunan
mutu dalam pendugaan umur simpan. Dalam reaksi-reaksi kinetika, penurunan
mutu bahan pangan mengikuti ordo nol dan ordo satu (Bilang, 2018: 104).
Reaksi pembuatan kalium sulfat dari abu janjang kelapa sawit dan asam sulfat
mengikuti reaksi orde II dengan persamaan Arrhenius k = 1,5 x 10-9 e-5480/T
Semakin lama waktu reaksi semakin besar pula konversi kalium sulfat yang
terbentuk. Demikian pula, semakin tinggi suhu reaksi maka semakin besar pula
konversi kalium sulfat yang terbentuk. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh
kondisi terbaik dalam pembentukan kalium sulfat dari ekstrak abu janjang kelapa
sawit dan asam sulfat yaitu pada kondisi operasi suhu 90ºC selama 80menit
menghasilkan konversi (XA) sebesar 0,9301 (Andini, dkk, 2020: 25).
Teori tumbukan secara kualitatif, menurut Sastrohamidjojo (2018 : 170).
dapat menerangkan adnya empat faktor yang mempengaruhi kelajuan reaksi :
1. Kelajuan reaksi kimia tergantung pada sifat dari pereaksi-pereaksi, kerna
energi aktivasi berbeda dari reaksi satu dengan rekasi lainnya
2. Kelajuan rekasi tergantung pada konsentrasi pereaksi-pereaksi, karena jumlah
tumbukan naik sesuai dengan kenaikan konsentrasi.
3. Kelajuan rekasi tergantung pada susu, karena karena kenaikan suhu
mengakibatkan molekul-molekul bertumbukan lebih sering dan tumbukan-
tumbukannya akan lebih kuat daripada tumbukan sebelumnya yang akan
menyebabkan terjadinya reaksi.
4. Kelajuan reaksi tergantung pada adanya katalisator, karena katalis tumbukan
dibuat menjadi lebih efektif atau mengaktivasi dibuat lebih rendah.
Pada dasarnya nilai k laju reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu. Dalam
medel arrhenius suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
penurunan mutu pangan. Semakin tingggi suhu, maka akan semakin tinggi pula
laju reaksi dengan kata lain semakin tinggi nilai T maka semakin pula nilai k
(Bakar, 2019: 643). Persamaan arhenius harus dirumuskan ulang dalam bentuk
lain yang harus mengandung suhu dan konstanta dielektrik yang diperlukan. Jadi,
Persamaan arhenius yang dirumuskan harus dipertimbangkan untuk menghitung
energi aktivasi (Aziz, 2016: 7).

D. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Rak tabung reaksi 2 buah
b. Tabung reaksi besar 10 buah
c. Tabung reaksi kecil 10 buah
d. Gelas ukur 10 mL 3 buah
e. Gelas kimia 400 mL 1 buah
f. Gelas kimia 1000 mL 1 buah
g. Pipet volume 5 mL 1 buah
h. Ball pipet 1 buh
i. Pipet tetes 1 buah
j. Termometer 110℃ 6 buah
k. Botol semprot 1 buah
l. Pembakar Bunsen 1 buah
m. Kaki tiga 1 buah
n. Kasa asbes 1 buah
o. Penjeit tabung reaksi 2 buah
p. Stopwatch 1 buah
q. Korek 1 buah
r. Lap kasar 1 buah
s. Lap halus 1 buah
2. Bahan
a. Larutan Kalium iodida 0,1 M (KI)
b. Larutan Kalium persulfat 0,04 M (K2S2O8)
c. Larutan Natrium persulfate 0,01 M (Na2S2O8)
d. Aquades (H2O)l
e. Es batu (H2O)s
f. Larutan kanji 3%
g. Label
h. Tisu
i.
E. PROSEDUR KERJA
1. Sistem 1
a. Sebanyak 2 buah tabung reaksi disiapkan.
b. Pada tabung 1 dimasukkan 5 mL K2S2O8 0,04 M kemudian
ditambahkan 5 mL aquades (H2O)
c. Pada tabung 2 dimasukkan 10 mL KI 0,1 M kemudian ditambahkan 1
mL Na2S2O3 0,04 M dan 1 mL kanji 3%
2. Sistem 2
a. Sebanyak 2 buah tabung reaksi yang bersih disiapkan.
b. Pada tabung 1 dimasukkan 7 mL K2S2O8 0,04 M kemudian
ditambahkan 3 mL aquades (H2O).
c. Pada tabung 2 dimasukkan 8 mL KI 0,1 M kemudian ditambahkan 2
mL H2O, 1 mL Na2S2O3 0,04 M dan 1 mL kanji 3%
d. Kedua tabung dari masing-masing sistem 1 &2 didinginkan dalam air
es sampai suhu keempat tabung mencapai 200C.
e. Isi pada tabung 1 dimasukkan kedalam tabung 2 dan dituang kembali
ke tabung 1 dengan cepat.
f. Stopwatch dijalankan dan diukur waktu yang diperlukan campuran
sampai larutan berwarna biru untuk pertama kali.
g. Percobaan diulang untuk suhu 300C, 400C, 500C dan 600C.
F. HASIL PENGAMATAN
Waktu (s) Suhu saat t (oC)
No Suhu
Sistem I Sistem II Sistem I Sistem II
1 20o C 806 766 25 26
2 30o C 484 382 29 28
3 40o C 364 177 33 35
4 50o C 172 98 38 40
5 60o C 290 1.504 46 25

G. ANALISIS DATA
1. Sistem I
Target Suhu
t (s) T (oC) T (K) 1/T ln 1/t
(oC)

20 806 25 298 0.003355 -6,692643

30 484 29 302 0.003311 -6,182087

40 264 33 306 0.003267 -5,575951

50 172 38 311 0.003215 -5,147495

60 290 46 319 0.003134 -5,669882

GRAFIK HUBUNGAN 1/T dengan ln 1/t (sistem 1)

0
-1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

-2
-3
Series 1
Axis Title -4
Linear (Series 1)
-5 f(x) = − 15095.91 x + 43.77
R² = 0.92
-6
-7
-8
Axis Title

a. Menentukan Nilai Ea dan A secara grafik


Persamaan grafik :
y = mx + b
−Ea
m=
R
Ea = −R( m)

1) Nilai Energi Aktivasi (Ea)


y = mx + b
y = -5063.9x + 10.636

Diketahui : m = -5063.9
J
R = 8,314
moL
Ditanyakan : Ea . . . . . ?
Penyelesaian :
−Ea
=m
R

Ea=−R ( m )

J
Ea=−8,314 (−5063.9)
moL
J
Ea=42101,26
moL
2) Nilai Faktor Frekuensi
y = mx + b

y = -5063.9x + 10.636

Diketahui : b = 10.636

Ditanyakan :A.....?

Penyelesaian :

−Ea 1
ln k =¿ ¿ + ln A
R T

ln A = b

A = eb

A = e10.636
A = 41606,0138

a. Nilai Konstanta Laju Reaksi (K)


Untuk T = 298 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL

T = 298 K

A = 41606,0138

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×298 K
moL . K

K =41606,0138. e-16.9934

K = 41606,0138 (4.167351 x 10-8)

K = 0, 0001733

Untuk T = 302 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL

T = 302 K

A = 41606,0138

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×302 K
moL . K

K =41606,0138. e-16.7680

K = 41606,0138 (5.220957 x 10-8)

K = 0, 0002172

Untuk T = 306 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL

T = 306 K

A = 41606,0138

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×306 K
moL . K

K =41606,0138. e-16.5492

K = 41606,0138 (6.497911 x 10-8)

K = 0, 0002703

Untuk T = 311 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL

T = 311 K
A = 41606,0138

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×311 K
moL. K

K =41606,0138. e-16.2829

K = 41606,0138 (8.480596 x 10-8)

K = 0, 0003528

Untuk T = 319 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL

T = 319 K

A = 41606,0138

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×319 K
moL . K

K =41606,0138. e-16.4323
K = 41606,0138 (7.303697 x 10-8)

K = 0, 0003038

2. Sistem II
Target Suhu (oC) t (s) T (oC) T (K) 1/T ln 1/t

20 766 26 299 0.003344 -6.641182

30 382 28 301 0.003322 -5.945420

40 177 35 308 0.003246 -5.176149

50 98 40 313 0.003194 -4.584967

60 1504 25 298 0.003355 -7.315883

GRAFIK HUBUNGAN 1/T dengan ln 1/t (sistem 2)


0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-1
-2
-3
ln 1/t

-4 Series 1
Linear (Series 1)
-5 f(x) = − 15095.91 x + 43.77
R² = 0.92
-6
-7
-8
1/T

b. Menentukan Nilai Ea dan A secara grafik


Persamaan grafik :
y = mx + b
−Ea
m=
R
Ea = −R( m)

3) Nilai Energi Aktivasi (Ea)


y = mx + b
y = -15096x + 43.766
Diketahui : m = -15096
J
R = 8,314
moL
Ditanyakan : Ea . . . . . ?
Penyelesaian :
−Ea
=m
R

Ea=−R ( m )

J
Ea=−8,314 (−15096)
moL
J
Ea=125508.144
moL
4) Nilai Faktor Frekuensi
y = mx + b

y = -15096x + 43.766

Diketahui : b = 43.766

Ditanyakan :A.....?

Penyelesaian :

−Ea 1
ln k =¿ ¿ + ln A
R T

ln A = b

A = eb

A = e43.766

A = 10170265

b. Nilai Konstanta Laju Reaksi (K)


Untuk T = 299 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL

T = 299 K

A = 10170265
J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×299 K
moL . K

K =10170265. e-50.4900

K = 10170265 (1.181603 x 10-22)

K = 12017215,63

Untuk T = 301 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL

T = 301 K

A = 10170265

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×301 K
moL . K

K =10170265. e-50.1531

K = 10170265 (1.654952 x 10-22)

K = 16831300,40
Untuk T = 308 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL

T = 308 K

A = 10170265

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×308 K
moL . K

K =10170265. e-49.0132

K = 10170265 (5.174134 x 10-22)

K = 52622313,92

Untuk T = 313 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL

T = 313 K

A = 10170265

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×313 K
moL . K

K =10170265. e-48.2315

K = 10170265 (1.130643 x 10-22)

K = 11498938,93

Untuk T = 298 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL

T = 298 K

A = 10170265

J
R = 8,314
moL . K

Dinyatakan : K.....?

Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×298 K
moL . K

K =10170265. e-50.6691

K = 10170265 (9.878465 x 10-22)

K = 100466606,84

H. PEMBAHASAN
Kinetika kimia adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari kecepatan
reaksi kimia dan mekanisme reaksi kimia yang terjadi. Pengertian kecepatan
reaksi digunakan untuk melukiskan kelajuan perubahan kimia yang terjadi.
Sedangkan mekanisme kimia digunakan untuk melukiskan serangkaian langkah-
langkah reaksi yang meliputi perubahan keseluruhan dari suatu reaksi yang terjadi
(Sastrohamidjojo, 2018: 158). Laju reaksi didefiniskan sebagai perubahan
konsentrasi reaktan atau produk per satuan waktu. Salah satu yang
mempengaruhinya adalah suhu. Dimana, semkain tinggi suhu suatu sistem, maka
semakin cepa reaksi kimia akan berlangsung (Goldberg, 2005: 185).
Percobaan ini berjudul persamaan Arrhenius dan energi aktivasi. Menurut
Oxtoby (1999: 434) Svante Arrhenius pada tahun 1889 menyarankan bahwa
tetapan laju bervariasi secara eksponensial dengan kebalikan suhu. Persamaan
yang diusulkan Arhhenius untuk menyatakan kebergantungan konstanta laju
reaksi terhadap suhu dapat dituliskan sebagai berikut :
− Ea
I. k = Ae RT

Energi aktivasi (Ea) dari persamaan tersebut didefinisikan sebagai


jumlah minimum energi yang diperlukan untuk mengawali reaksi kimia. Apabila
energinya lebih kecil daripada energi aktivasi, molekulnya akan tetap utuh, dan
tidak mempengaruhi perubahan akibat tumbukan (Chang, 2003: 44).
Tujuan percobaan ini yaitu mahasiswa dapat menjelaskan hubungan laju
reaksi dengan temperatur dan menghitung energi aktivasi (Ea) dengan
menggunakan persamaan Arrhenius. Adapun prinsip dasar dari percobaan ini
adalah menghitung energi aktivasi dengan menggunakan persamaan Arrhenius
berdasarkan suhu dan waktunya. Adapun prinsip kerja dari percobaan ini yaitu
pengukuran, pencampuran, pendinginan, perhitungan waktu dan suhu campuran
mengalami perubahan warna.
Percobaan ini dilakukan dengan menvariasikan suhu dari larutan. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui perubahan laju reaksi berdasarkan suhunya sehingga
dapat dibandingkan dengan teori Arrhenius yang menyatakan bahwa tetapan laju
akan bervariasi secara eksponensial dengan kebalikan dari suhu

0,5 mL Na2S2O3 5 mL KI2 0,5 mL kanji


sehingga akan menghasilkan garis lurus (Oxtoby, 1999: 434). Semakin
tinggi suhu suatu sistem, maka semakin cepat suatu reaksi kimia akan
berlangsung (Goldberg: 2005: 185). Adapun variasi suhu yang dilakukan dalam
percobaan ini yaitu 20℃ ,30 ℃, 40℃, 50℃, dan 60℃.

2,5 mL K2S2O8 2,5 mL H2O

Percobaan ini terdiri dari dua sistem yaitu sistem I dan sistem II yang
memiliki perlakuan yang sama namun volume larutan yang berbeda. Pada sistem I
larutan K2S2O8 dicampurkan dengan H2O pada tabung I dan larutan KI, larutan
Na2S2O8, dan larutan kanji dimasukkan ke dalam tabung II. Pada tabung I, larutan
K2S2O8 berfungsi sebagai zat pengoksidasi ion iodida menjadi I2 dan H2O
berfungsi untuk mengencerkan laruta K2S2O8. Sedangkan pada tabung II, larutan
Na2S2O8 yang berfungsi untuk mereduksi I2 menjadi I- sebelum direaksikan
dengan larutan yang terdapat dalam tabung I. Larutan KI berfungsi sebagai
penyedia ion iodida. Dan larutan kanji berfungsi sebagai indikator untuk
mengidentifikasi adanya ion iodida dalam larutan. Begitupun dengan sistem 2,
dengan perlakuan yang sama dan volume yng berbeda.
Percobaan selanjutnya adalah menyiapkan air
dingin dan air panas. Dimana, air dingin berfungsi untuk
menurunkan suhu dan air panas berfungsi untuk
menaikkan suhu dalam proses penyamaan suhu antara
masing-masing tabung I dan tabung II. Selanjutnya
dilakukan pengukuran pada suhu 20℃, 30℃, 40℃, 50

℃ , dan 60℃ . Suhu yang berbeda-beda ini bertujuan


untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kecepatan laju
reaksi. Masing-masing tabung I dan tabung II dari kedua sistem tersebut
disamakan suhunya dengan memanfaatkan adanya air dingin dan air panas yang
disediakan untuk membantu pada saat penyamaan suhu dari masing-masing
tesebut. Berdasarkan percobaan ini, pada suhu 20℃ dan 30℃, campuran
dimasukkan ke dalam air dingin dan pada suhu 40℃, 50

℃ , dan 60℃ dimasukkan ke dalam air panas.


Kemudian, ketika suhu dari masing-masing tabung
tersebut telah sama, masing-masing tabung tersebut
diangkat dan dengan cepat dicampurkan dengan isi
tabung. Dimana dari masing-masing sistem I dan sistem
II, larutan pada tabung I dicampurkan dengan larutan
yang terdapat pada tabung II dan dengan cepat
Dipanaskan
campuran tersebut dituangkan kembali ke dalam tabung
I. Larutan harus dicampurkan dengan cepat bertujuan untuk menjaga suhu
campuran agar tidak turun secara drastis.
Perubahan warna yang terjadi akan semakin cepat apabila
reaksi berlangsung pada temperatur yang lebih tinggi. Pada temperatur yang lebih
tinggi, ion-ion pereaksi akan memiliki energi kinetik yang lebih besar .
Pencampuran larutan dilakukan dari tabung 1 ke tabung 2 agar pembentukan
kompleks warna biru dapat terjadi perlahan-lahan sehingga waktunya dapat
diukur, sedangkan jika dilakukan sebaliknya, warna biru dapat terjadi secara
menyeluruh. Pada awal pencampuran stopwatch dijalankan untuk mengukur
waktu dan saat larutan telah megalami perubahan warna stopwatch dihentikan dan
suhu akhir diukur. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan waktu
dan suhu yang digunakan untuk bereaksi pada kedua sistem dan pada suhu yang
berbeda.
Percobaan ini, pada sistem I diperoleh waktu pada suhu 20℃ = 806 detik,
30℃ = 484 detik, 40℃ = 364 detik, 50℃ = 172 detik, dan suhu 60℃ = 290
detik. Sedangkan sistem II diperoleh waktu pada suhu 20℃ = 766 detik, 30℃ =
382 detik, 40℃ = 177 detik, 50℃ = 98 detik, dan 60℃ = 1.504 detik. Selain
waktu yang diukur, suhu dari reaksi tersebut juga diperhatikan dimana pada
sistem I suhu akhir yang diperoleh pada suhu 20℃ = 25℃, 30℃ = 29℃, 40℃ =
33℃, 50℃ = 38℃, dan suhu 60℃ = 46℃, Sedangkan sistem II diperoleh suhu
akhir pada suhu 20℃ = 26℃, 30℃ = 28℃, 40℃ = 35℃, 50℃ = 40℃, dan 60
℃ = 25℃..
Reaksi reduksi I2 menjadi I- oleh S2O32-, dapat diidentifikasi dengan adanya
warna merah kecoklatan yang dihasilkan oleh larutan kanji. Warna merah
kecoklatan muncul karena penambahan K2S2O8 pada percobaan ini bertujuan
untuk mengoksidasi I- menjadi I2, lalu I2 ini akan diikat oleh S2O32-, pada
pengikatan ini warna larutan belum berubah, namun setelah S 2O32- ini habis
bereaksi, maka I2 akan lepas dan akan berikatan dengan I- yang akan membentuk
I3-. Warna merah kecoklatan mulai terbentuk saat I 3- berikatan dengan amilum.
Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa iod bisa diidentifikasi
dari sifatnya yang mewarnai pasta kanji menjadi biru (Svehla, 1985: 352).
Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
2Na2S2O8 + 2I- → 2Na2 + 2S2O82- + I2 + 2e-
I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62-
I2 + I- → I3-

Berdasarkan dari percobaan ini, diperoleh larutan yang berwarna merah


kecoklatan. Yang menandakan bahwa iod telah berikatan dengan larutan kanji.

Hubungan antara konstanta laju, Ea, A dan suhu yaitu dapat dilihat melalui
persamaan Arrhenius yaitu :

k = Ae-E/RT
Persamaan diatas menunjukkan bahwa nilai konstanta laju berbanding
lurus dengan nilai A dan dengan demikian berbanding lurus dengan frekuensi
tumbukan. Selain itu karena tanda minusuntuk eksponen Ea/RT maka konstanta
laju menurun dengan meningkatnya Ea dan meningkatnya
suhu (Chang, 2005: 43-45). Jadi, Ea berbanding lurus dengan besarnya laju reaksi,
yaitu semakin besar energi aktivasi maka semakin tinggi pula suhunya, begitupun
sebalikanya semakin rendah suhu yang digunakan maka semakin kecil pula energi
aktivasinya.

20℃ 30℃ 40℃

50℃ 60℃
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, pada sistem I
diperoleh harga konstanta laju pada suhu 20℃, 30℃, 40℃, 50℃ dan 60℃,
yaitu secara berturut-turut k = 4,785 x 10-4; k = 4,836 x 10-4; k = 4,950 x 10-4; k =
5,038 x 10-4; dan k = 5,127 x 10-4. Adapun nilai konstanta laju reaksi pada sistem 2
yang diperoleh berdasarkan analisis data yaitu pada suhu 20℃, 30℃, 40℃, 50℃
dan 60℃ juga cenderung tetap yaitu secara berturut-turut k = 4,292 x 10-4; k =
4,388 x 10-4; k = 4,460 x 10-4; k = 4,508 x 10-4 dan k = 4,568 x 10-4. Hal ini telah
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu suatu sitem,
maka semakin cepat reaksi kimia berlangsung (Goldberg, 2005: 185). Adapun
nilai Ea pada sistem 1 yaitu 42101,26 J/mol sedangkan nilai Ea pada sistem 2
yaitu 125504,144 J/mol. Artinya pada sistem 1 dibutuhkan energi yang lebih besar
yaitu 42101,26 J/mol untuk memulai reaksi, sedangkan pada sistem 2 dibutuhkan
energi sebesar 125504,144 J/mol untuk memulai reaksi.
Adapun reaksi yang terjadi untuk sistem I dan II:
Pada tabung 1:
2 S2O82- + 2 H2O 4 SO42- + O2 + 4 H+

Pada tabung 2:
I3- + 2 S2O32- 3I- + S4O62-
S2O32- + I3- 3I-
2 S2O3I- + I- S4O62- +I3-
S2O3I- + S2O3- S4O62- + I-

J. KESIMPULAN
a. Laju reaksi berbanding lurus dengan suhu yaitu makin tinggi suhu, maka
makin cepat laju reaksinya.
b. Energi aktivasi (Ea) yang diperoleh dengan menggunakan persamaan
Arrhenius adalah sebesar 42101,26 J/mol dan 125504,144 J/mol.
K. Saran
Sebaiknya praktikan lebih teliti lagi dalam melakukan percobaan
utamanya proses pemanasan dan pengukuran suhu sehinggga diperoleh hasil
yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Andini, Mierna Tri, Darwati dan Retno Dewati. 2020. Kinetika Reaksi
Pembentukan Kalium Sulfat dari Ekstrak Abu Janjang Kelapa Sawit dan
Asam Sulfat. ChemPro Journal. Vol. 1 No. 2.

Aziz, Shujahadeen. 2016. Role Of Dielectric Constant On Ion Transport:


Reformulated Arrhenius Equation. Hindawi Publishing Corporation.

Bakar, Abu, Kiman Siregar, dan Ratna. 2019. Pendugaan Penurunan Kandungan
Asam Askorbat Brokoli (Brasisca Oleracea Var. Italica) Selama
Penyimpanan Dingin Menggunakan Pendekatan Persamaan Arrhenius.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian. Vol 4, N0. 1.

Bilang, Mariyanti, Andi Dirpan, dan Nur Sakinah. 2018. Pengaruh Pemanasan
Berulang (Tyndalisasi) Saus Spaghetti Ikan Tuna Terhadap Daya Terima
dan Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Akselerasi Model
Persamaan Arrhenius. Canrea Jurnal. ISSN :2621-9468.

Cairns, Donald. 2008. Intisari Kimia Farmasi Edisi 2. Jakarta : EGC.

Chang, Raymond. 2004. Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti Jilid 2. Jakarta:


Erlangga.

Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2003. Kimia Fisika II. Bandung: JICA.

Oxtoby, David W, H. P. Gillis dan Norman H. Nacthrieb. 2001. Kimia Modern


Edisi 4 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Partna, Crys Fajar, dan Hery Purnomo. 2003. Kimia Dasar 2. Yogyakarta: JICA.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2018. Kimia Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Anda mungkin juga menyukai