Mengetahui,
Dosen Penanggung jawab
B. TUJUAN PERCOBAAN
1. Menjelaskan hubungan laju reaksi dengan temperatu.
2. Menentukan konstanta laju reaksi.
3. Menghitung energi aktivasi (Ea) denganmenggunakan persamaan Arrhenius.
C. LANDASAN TEORI
Kinetika kimia adalah cabang ilmu kimia yang nrmpelajari kecepatan
reaksi kimia dan mekanisme reaksi kimia yang terjadi. Pengertian kecepatan
reaksi digunakan untuk melukiskan kelajuan perubahan kimia yang terjadi.
Sedangkan pengertian mekanisme reaksi digunakan untuk nelukiskan serangkaian
langkah-langkah reaksi yang meliputi perubahan keseluruhan dari suatu reaksi
yang terjadi. Dalam kebanyakan reaksi. Kinetika kimia Eunya mendeteksi bahan
dasar permulaan yang lenyap dan hasil yang timbul. jadi hanya reaksi keseluruhan
yang dapat dianuti, Perubahan reaksi keseluruhan yang terjadi kenyaiaan_nya
dapat terdiri atas beberapa reaksi yang benurutan, masing-masing reaksi
merupakan suatu langkah reaksi pernbentukan hasil-hasil akhir. Dalam
nembicarakan reaksi-reaksi kimia dalah penting untuk mnbedakan antara suatu
teaksi keseluruhan dan satu langkah reaksi dalam teaksi tersebut. Bila suatu reaksi
terjadi dalam beberapa langkah reaksi kemungkinan spesies perantara dibentuk.
dan nereka mungkin tidak dapat dideteksi karena mereka segera digunakan dalam
langkah reaksi berikutnya. Meskipun demikian, dengan nengetahui beberapa
faktor yang npmpengaruhinya. Kadang-kadang dapat diketahui seberapa jauh
tersebut berperanan dalam mekanisme reaksi (Sastrohamidjojo, 2018: 161).
Setiap molekul yang bergerak memiliki enertgi kinetik, semakin cepat
gerakannya semakin besar energi kinetiknya. Ketika molekul bertumbukan,
sebagian dari energi inetinya diubah menjadi energi vibrasi. Jika energi kinetik
awalnya besar, molekul yang bertumbukan akan bergetar kuat sehingga
memutuskan beberapa ikatan kimianya. Putusnya ikatan merupakan langkah
pertama pembentukan produk. Jika energi kinetik awalnya kecil, molekul hanya
akan berpental tetapi masih utuh. Dari segi energi, ada semacam energi tumbukan
minimun yang harus tercapai yang harus tercapai agar reaksi terjadi. Molekul
yang bertumbukan harus memiliki energi kinetik total sama dengan atau lebih
besar energi aktivasi (Ea), yaitu jumlah minimun energi yang diperlukan untuk
mengawali reasi kimia. Apabila energi lebih kecil daripada energi aktivasi, moleul
tetap utuh, dan tidak ada perubahan tumbukan. Spesi terbentuk sementara oleh
molekul reatan sebagai akibat tumbukan sebelum pembentukan produk
dinamakan komples teraktifan (juga dinamakan keadaan transisi) (Chang, 2004:
44).
Kinetika reaksi kimia biasanya dinyatakan dengan persamaan laju reaksi
yang sederhana. Dimana persamaan menyatakan perubahan konsentrasi dari
species reaktan tunggalnya sebagai fungsi waktu. Reaks seperti ini dikenal
sebagai reaksi kinetika sederhana. Bidang kimia yang mengkaji kecepatan, atau
laju terjadinya reaksi kimia dinamakan kinetika kimia (chemical kinetics). Kata
kinetik menyiaratkan gerakan atau perubahan. Energi kinetik didefinisikan
sebagai energi yang tersedia karena gerakan suatu benda. Di sini kinetika merujuk
pada laju reaksi (rection rate), yaitu perubahan konsentrasi reaktan atau produk
terhadap waktu (M/s). Kita telah mengetahui bahwa setiap reaksi dapat
dinyatakan dengan persamaan umum
Reaktan → produk
Persamaan ini meberitahukan bahwa, selama berlangsungnya suatu reaksi,
molekul reaktan bereaksi sedangkan molekul produk terbentuk. Sebagai hasilnya,
kita dapat mengamati jalannya reaksi dengan cara memantau menurunnya
konsentrasi reaktan atau meningkatnya konsentrasi produk (Chang, 2004: 30).
Kajian kinetika berkaitan dengan laju perubahan konsentrasi pereaksi dan
produk, saat reaksi berlangsung, jumlah pereaksi berkurang sedangkan jumlah
produk meningkat. Dalam hal ini terjadi pengkonsumsian pereaksi dan
pembentukkan produk. Pengungkapan laju reaksi kimia bisa didasarkan pada
pereaksi atau pada produk. Sebagai ilustrasi, kita lihat reaksi antara pereaksi A
dan B menghasilkan produk Y yang dapat dipresentasikan oleh persamaan reaksi
berikut:
A + 3B → 2Y
Laju konsumsi A (vA) diberikan oleh
d[A]
VA = -
dt
Laju pembentukkan Y (vy) diberikan sebagai
d [Y ]
Vy = -
dt
Dari stoikiometri reaksi kita dapat pahami bahwa laju berkurangnya A adalah 1/3
kali dari laju berkurangnya B dan ½ laju dari terbentuknya produk
Y (Mulyani, 2003: 157-158).
Teori kinetik gas menyatakan bahwa molekul gas sering bertumbukkan satu
dengan yang lainnya. Jadi, sangat masuk akal jika kita menganggap, dan biasanya
benar, bahwa reaksi kimia berlangsung sebagai akibat dari tumbukkan antara
molekul-molekul yang bereaksi. Dari segi teori tumbukan dan kinetika kimia,
maka kita perkirakan laju reaksi akan berbanding lurus dengan banyaknya
tumbukan molekul per detik, atau berbanding lurus dengan frekuensi tumbukan
molekul:
banyaknya tumbukan
Laju =
detik
Hubungan yang sederhana ini menjelaskan ketergantungan laju reaksi terhadap
konsentrasi (Chang, 2004: 43).
Hukum laju dapat ditentukan dengan melakukan serangkaian eksperimen
secara sistematis. Pada reaksi A + B C, untuk menentukan orde reaksi
terhadap A maka konsentrasi A dibuat tetap sementara itu konsentrasi B divariasi
kemudian diukur laju reaksinya pada variasi konsentrasi tersebut. Sedangkan
untuk menentukan orde reaksi terhadap B, maka konsentrasi dibuat tetap
sementara itu konsentrasi A divariasi kemudian diukur laju reaksinya pada variasi
konsentrasi tersebut (Partana, 2003: 49).
Aspek yang sangat penting dalam kinetika kimia adalah bagaimana laju
reaksi bergantung pada temperatur. Secara empirik, untuk banyak reaksi kimia,
tetapan laju dihubungkan terhadap temperatur absolut T melalui ungkapan:
k = A e –B/T
dengan A dan B adalah tetapan. Hubungan tersebut dirumuskan oleh Van’t Hoff
dan Arrhenius dalam bentuk:
k = Ae –E/RT
dengan R adalah tetapan gas ideal (R = 8,3145 KJ-1) dan E dikenal sebagai energi
pengaktifan (Mulyani, 2003: 166).
Energi aktivasi untuk reaksi elementer selalu positif (meskipun dalam
beberapa kasus dapat sangat kecil) sebab selalu ada semacam halangan energi
yang harus dilampaui. Jadi, laju reaksi elementer meningkat dengan
meningkatnya suhu. Hal ini tidak selamanya benar untuk laju reaksi keseluruhan
yang terdiri
atas lebih dari satu reaksi elementer. Kadang-kadang terdapat “energi aktivasi
negatif sehingga laju reaksi keseluruhan melambat pada suhu yang lebih
tinggi (Oxtoby, 2001: 437).
Sebagian besar reaksi kimia, peningkatan suhu akan menyebabkan
terjadinya peningkatan yang sesuai pada laju reaksi yang dapat diukur melalui
peningkatan k, tetapan laju reaksi. Peningkatan suhu sebesar 10 oC akan
meningkatankan laju reaksi kira-kira dua kalinya. Ahli kimia Swedia, Arrhenius,
pertama kali menyatakan secara matematika hubungan antara laju reaksi dengan
suhu, yaitu:
k = Ae-E/RT
A adalah tetapan yang dikenal dengan faktor frekuensi dan merupakan ukuran
jumlah benturan yang terjadi diantara pereaksi, e-E/RT adalah fraksi kecil dari
jumlah total benturan yang menghasilkan suatu reaksi sempurna; E adalah energi
aktivasi untuk reaksi, yaitu energi yang diperlukan untuk mendorong terjadinya
benturan di antara pereaksi dengan energi yang cukup untuk membentuk produk;
R adalah tetap gas umum (R = 8,314 J K -1 mol-1); dan T adalah suhu dalam
Kelvin (Cairns, 2008: 202).
Besarnya frekuensi tumbukan (𝑘0) dan energi aktivasi (𝐸) dapat
dihitungan dengan membuat plot grafik hubungan antara ln konstanta rekasi (ln
𝑘) terhadap 1/𝑇. Hubungan antara 1/T terhadap ln k merupakan persamaan garis.
Dari persamaan Hukum Arrhenius bahwa
Maka persamaan, dapat disusun menjadi
G. ANALISIS DATA
1. Sistem I
Target Suhu
t (s) T (oC) T (K) 1/T ln 1/t
(oC)
0
-1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-2
-3
Series 1
Axis Title -4
Linear (Series 1)
-5 f(x) = − 15095.91 x + 43.77
R² = 0.92
-6
-7
-8
Axis Title
Diketahui : m = -5063.9
J
R = 8,314
moL
Ditanyakan : Ea . . . . . ?
Penyelesaian :
−Ea
=m
R
Ea=−R ( m )
J
Ea=−8,314 (−5063.9)
moL
J
Ea=42101,26
moL
2) Nilai Faktor Frekuensi
y = mx + b
y = -5063.9x + 10.636
Diketahui : b = 10.636
Ditanyakan :A.....?
Penyelesaian :
−Ea 1
ln k =¿ ¿ + ln A
R T
ln A = b
A = eb
A = e10.636
A = 41606,0138
T = 298 K
A = 41606,0138
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×298 K
moL . K
K =41606,0138. e-16.9934
K = 0, 0001733
Untuk T = 302 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL
T = 302 K
A = 41606,0138
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×302 K
moL . K
K =41606,0138. e-16.7680
K = 0, 0002172
Untuk T = 306 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL
T = 306 K
A = 41606,0138
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×306 K
moL . K
K =41606,0138. e-16.5492
K = 0, 0002703
Untuk T = 311 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL
T = 311 K
A = 41606,0138
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×311 K
moL. K
K =41606,0138. e-16.2829
K = 0, 0003528
Untuk T = 319 K
J
Diketahui :Ea =42101,26
moL
T = 319 K
A = 41606,0138
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−42101,26
moL
K =41606,0138.e
J
8,314 ×319 K
moL . K
K =41606,0138. e-16.4323
K = 41606,0138 (7.303697 x 10-8)
K = 0, 0003038
2. Sistem II
Target Suhu (oC) t (s) T (oC) T (K) 1/T ln 1/t
-4 Series 1
Linear (Series 1)
-5 f(x) = − 15095.91 x + 43.77
R² = 0.92
-6
-7
-8
1/T
Ea=−R ( m )
J
Ea=−8,314 (−15096)
moL
J
Ea=125508.144
moL
4) Nilai Faktor Frekuensi
y = mx + b
y = -15096x + 43.766
Diketahui : b = 43.766
Ditanyakan :A.....?
Penyelesaian :
−Ea 1
ln k =¿ ¿ + ln A
R T
ln A = b
A = eb
A = e43.766
A = 10170265
T = 299 K
A = 10170265
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×299 K
moL . K
K =10170265. e-50.4900
K = 12017215,63
Untuk T = 301 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL
T = 301 K
A = 10170265
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×301 K
moL . K
K =10170265. e-50.1531
K = 16831300,40
Untuk T = 308 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL
T = 308 K
A = 10170265
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×308 K
moL . K
K =10170265. e-49.0132
K = 52622313,92
Untuk T = 313 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL
T = 313 K
A = 10170265
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×313 K
moL . K
K =10170265. e-48.2315
K = 11498938,93
Untuk T = 298 K
J
Diketahui :Ea =125508.144
moL
T = 298 K
A = 10170265
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan : K.....?
Penyelesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−125508.144
moL
K =10170265.e
J
8,314 ×298 K
moL . K
K =10170265. e-50.6691
K = 100466606,84
H. PEMBAHASAN
Kinetika kimia adalah cabang ilmu kimia yang mempelajari kecepatan
reaksi kimia dan mekanisme reaksi kimia yang terjadi. Pengertian kecepatan
reaksi digunakan untuk melukiskan kelajuan perubahan kimia yang terjadi.
Sedangkan mekanisme kimia digunakan untuk melukiskan serangkaian langkah-
langkah reaksi yang meliputi perubahan keseluruhan dari suatu reaksi yang terjadi
(Sastrohamidjojo, 2018: 158). Laju reaksi didefiniskan sebagai perubahan
konsentrasi reaktan atau produk per satuan waktu. Salah satu yang
mempengaruhinya adalah suhu. Dimana, semkain tinggi suhu suatu sistem, maka
semakin cepa reaksi kimia akan berlangsung (Goldberg, 2005: 185).
Percobaan ini berjudul persamaan Arrhenius dan energi aktivasi. Menurut
Oxtoby (1999: 434) Svante Arrhenius pada tahun 1889 menyarankan bahwa
tetapan laju bervariasi secara eksponensial dengan kebalikan suhu. Persamaan
yang diusulkan Arhhenius untuk menyatakan kebergantungan konstanta laju
reaksi terhadap suhu dapat dituliskan sebagai berikut :
− Ea
I. k = Ae RT
Percobaan ini terdiri dari dua sistem yaitu sistem I dan sistem II yang
memiliki perlakuan yang sama namun volume larutan yang berbeda. Pada sistem I
larutan K2S2O8 dicampurkan dengan H2O pada tabung I dan larutan KI, larutan
Na2S2O8, dan larutan kanji dimasukkan ke dalam tabung II. Pada tabung I, larutan
K2S2O8 berfungsi sebagai zat pengoksidasi ion iodida menjadi I2 dan H2O
berfungsi untuk mengencerkan laruta K2S2O8. Sedangkan pada tabung II, larutan
Na2S2O8 yang berfungsi untuk mereduksi I2 menjadi I- sebelum direaksikan
dengan larutan yang terdapat dalam tabung I. Larutan KI berfungsi sebagai
penyedia ion iodida. Dan larutan kanji berfungsi sebagai indikator untuk
mengidentifikasi adanya ion iodida dalam larutan. Begitupun dengan sistem 2,
dengan perlakuan yang sama dan volume yng berbeda.
Percobaan selanjutnya adalah menyiapkan air
dingin dan air panas. Dimana, air dingin berfungsi untuk
menurunkan suhu dan air panas berfungsi untuk
menaikkan suhu dalam proses penyamaan suhu antara
masing-masing tabung I dan tabung II. Selanjutnya
dilakukan pengukuran pada suhu 20℃, 30℃, 40℃, 50
Hubungan antara konstanta laju, Ea, A dan suhu yaitu dapat dilihat melalui
persamaan Arrhenius yaitu :
k = Ae-E/RT
Persamaan diatas menunjukkan bahwa nilai konstanta laju berbanding
lurus dengan nilai A dan dengan demikian berbanding lurus dengan frekuensi
tumbukan. Selain itu karena tanda minusuntuk eksponen Ea/RT maka konstanta
laju menurun dengan meningkatnya Ea dan meningkatnya
suhu (Chang, 2005: 43-45). Jadi, Ea berbanding lurus dengan besarnya laju reaksi,
yaitu semakin besar energi aktivasi maka semakin tinggi pula suhunya, begitupun
sebalikanya semakin rendah suhu yang digunakan maka semakin kecil pula energi
aktivasinya.
50℃ 60℃
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, pada sistem I
diperoleh harga konstanta laju pada suhu 20℃, 30℃, 40℃, 50℃ dan 60℃,
yaitu secara berturut-turut k = 4,785 x 10-4; k = 4,836 x 10-4; k = 4,950 x 10-4; k =
5,038 x 10-4; dan k = 5,127 x 10-4. Adapun nilai konstanta laju reaksi pada sistem 2
yang diperoleh berdasarkan analisis data yaitu pada suhu 20℃, 30℃, 40℃, 50℃
dan 60℃ juga cenderung tetap yaitu secara berturut-turut k = 4,292 x 10-4; k =
4,388 x 10-4; k = 4,460 x 10-4; k = 4,508 x 10-4 dan k = 4,568 x 10-4. Hal ini telah
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu suatu sitem,
maka semakin cepat reaksi kimia berlangsung (Goldberg, 2005: 185). Adapun
nilai Ea pada sistem 1 yaitu 42101,26 J/mol sedangkan nilai Ea pada sistem 2
yaitu 125504,144 J/mol. Artinya pada sistem 1 dibutuhkan energi yang lebih besar
yaitu 42101,26 J/mol untuk memulai reaksi, sedangkan pada sistem 2 dibutuhkan
energi sebesar 125504,144 J/mol untuk memulai reaksi.
Adapun reaksi yang terjadi untuk sistem I dan II:
Pada tabung 1:
2 S2O82- + 2 H2O 4 SO42- + O2 + 4 H+
Pada tabung 2:
I3- + 2 S2O32- 3I- + S4O62-
S2O32- + I3- 3I-
2 S2O3I- + I- S4O62- +I3-
S2O3I- + S2O3- S4O62- + I-
J. KESIMPULAN
a. Laju reaksi berbanding lurus dengan suhu yaitu makin tinggi suhu, maka
makin cepat laju reaksinya.
b. Energi aktivasi (Ea) yang diperoleh dengan menggunakan persamaan
Arrhenius adalah sebesar 42101,26 J/mol dan 125504,144 J/mol.
K. Saran
Sebaiknya praktikan lebih teliti lagi dalam melakukan percobaan
utamanya proses pemanasan dan pengukuran suhu sehinggga diperoleh hasil
yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Andini, Mierna Tri, Darwati dan Retno Dewati. 2020. Kinetika Reaksi
Pembentukan Kalium Sulfat dari Ekstrak Abu Janjang Kelapa Sawit dan
Asam Sulfat. ChemPro Journal. Vol. 1 No. 2.
Bakar, Abu, Kiman Siregar, dan Ratna. 2019. Pendugaan Penurunan Kandungan
Asam Askorbat Brokoli (Brasisca Oleracea Var. Italica) Selama
Penyimpanan Dingin Menggunakan Pendekatan Persamaan Arrhenius.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian. Vol 4, N0. 1.
Bilang, Mariyanti, Andi Dirpan, dan Nur Sakinah. 2018. Pengaruh Pemanasan
Berulang (Tyndalisasi) Saus Spaghetti Ikan Tuna Terhadap Daya Terima
dan Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Akselerasi Model
Persamaan Arrhenius. Canrea Jurnal. ISSN :2621-9468.
Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2003. Kimia Fisika II. Bandung: JICA.
Partna, Crys Fajar, dan Hery Purnomo. 2003. Kimia Dasar 2. Yogyakarta: JICA.