Anda di halaman 1dari 5

bumblebeepooh12.blogspot.

com

PENENTUAN ENERGI PENGAKTIFAN REAKSI IONIK


Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia agar dapat
berlangsung. Energi aktivasi memiliki simbol Ea dengan E menotasikan energi dan a yang ditulis
subscribe menotasikan aktivasi. Kata aktivasi memiliki makna bahwa suatu reaksi kimia membutuhkan
tambahan energi untuk dapat berlangsung.
Dalam reaksi endoterm, energi yang diperlukan untuk memutuskan ikatan dan sebagainya disuplai dari
luar sistem. Pada reaksi eksoterm, yang membebaskan energi, ternyata juga membutuhkan suplai energi
dari luar untuk mengaktifkan reaksi tersebut.
Dalam kinetika, suatu reaksi berlangsung melalui beberapa tahap. Diawali dengan tumbukan antar
partikel reaktan. Setelah reaktan bertumbukan, maka akan terjadi penyusunan ulang ikatan dalam
senyawa reaktan menjadi susunan ikatan yang berbeda ( membentuk senyawa produk ). Dalam
penyusunan ini, akan ada pemutusan ikatan dan pembentukan ikatan yang baru, yang membutuhkan
sejumlah energi. Ketika beberapa ikatan reaktan putus dan beberapa ikatan baru terbentuk, tercapailah
suatu keadaan dimana dalam sistem terdapat sejumlah reaktan dan produk. Keadaan ini kita sebut
sebagai transisi kompleks.
Dalam keadaan transisi kompleks, memiliki campuran antara produk dan reaktan yang cenderung
kurang stabil, karena produk yang terbentuk dapat membentuk reaktan kembali. Keadaan ini memiliki
energi yang cukup tinggi, karena sistem tidak stabil.
Proses untuk mencapai keadaan transisi kompleks membutuhkan energi yang disuplai dari luar sistem.
Energi inilah yang disebut dengan energi aktivasi. Pada reaksi endoterm ataupun eksoterm, keduanya
memiliki energi aktivasi yang positif, karena keadaan transisi kompleks memiliki tingkat energi yang
lebih tinggi dari reaktan (Vogel, 1994).
Pada tahun 1889 Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan empirik yang menggambarkan pengaruh
suhu terhadap konstanta laju reaksi. Persamaan yang diusulkan adalah : K = A . Ea
K = konstanta laju reaksi
A = faktor freakuensi
Ea = energi aktivasi
Persamaan tersebut dalam bentuk logaritma dapat ditulis :
Dari persamaan di atas terlihat bahwa kurva ln K sebagai fungsi dari 1/T akan berupa garis lurus
dengan perpotongan (intersep) ln A dan gradien –Ea/R (Tim Dosen Kimia Fisik, 2012).
Kedua faktor A dan Ea dikenal sebagai parameter Arrhenius. Plot dari log K terhadap T -1 adalah linear
untuk sejumlah besar reaksi dan pada temperatur sedang.
Persamaan tersebut analog dengan persamaaan garis lurus, yang sering disimbolkan dengan y = mx +c,
maka hubungan antara energi aktivasi suhu dan laju reaksi dapat dianalisis dalam bentuk grafik ln k vs
1/T dengan gradien –(Ea/RT) dan intersep ln A.Jika suatu reaksi memiliki reaktan dengan konsentrasi
awal adalah a, dan pada konsentrasi pada waktu t adalah a-x. Setelah reaksi berlangsung 1/n bagian dari
sempurna, x=a/n
(Atkins, 1994)
Beberapa faktor yang mempengaruhi energi aktivasi adalah sebagai berikut :
1. Suhu
Fraksi molekul-molekul mampu untuk bereaksi dua kali lipat dengan peningkatan suhu sebesar 10oC .
hal ini menyebabkan laju reaksi berlipat ganda.
2. Faktor frekuensi
Dalam persamaan ini kurang lebih konstan untuk perubahan suhu yang kecil. Perlu dilihat bagaimana
perubahan energi dari fraksi molekul sama atau lebih dari energi aktivasi
3. Katalis
Katalis akan menyediakan rute agar reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih rendah
(Castellan, 1982).
Energi pengionan adalah energi yang diperlukan untuk melepaskansuatu elektron dari atom, ion, atau
molekul energi untuk melepaskanelektron pertama disebut energi pengionan pertama, untuk
melepaskanelektron kedua disebut energy pengionan kedua, dan seterusnya. Energi pengionan dihitung
elektron volt/atom atau k kal/mole.1 e v = 23,0629 k kal/mole(Alberty, 1997).
Versi termodinamika dari teori kompleks teraktifkan , mempermudah pembahasan reaksi dalam larutan.
Teori statistik sangat rumit untuk diterapkan, karena pelarut memegang peranan penting dalam
kompleksteraktifkan. Dalam pendekatan termodinamika, kita menggabungkan hukumlaju (Atkins,
1997).
Variasi konstanta laju reaksi antara ion, terhadap kekuatan ion dengan penambahan ion lamban, akan
menaikkan koefisien laju. Pembentukan satukompleks ionik bermuatan tinggi dari dua ion yang kurang
tinggimuatannya, dipermudah oleh kekuatan ion yang tinggi, karena ion yang baru mempunyai
atmosfer ion yang lebih rapat. Sebaliknya, ion denganmuatan berlawanan, bereaksi lebih lambat dalam
larutan dengan kekuatanion tinggi. Muatan itu saling menghilangkan, dan antaraksi antara
muatankompleks dengan atmosfernya lebih buruk jika ion-ion itu terpisah (Atkins,1997).
Satu cara untuk menganalisis ion dalam larutan adalah denganmemisahkan campuran menjdi
komponen-komponennya denganmemanfaatkan perbedaan kelarutan senyawanya yang mengandung
ion.Kecepatan reaksi bergantung pada jenis zat pereaksi, temperatur reaksi,konsentrasi zat pereaksi.
Tidak semua reaksi kimia dapat dipelajari secarakinetik (Sukarjo, 1989).
Biasanya reaksi kimia tergantung pada konsentrasi pereaksi- pereaksinya. Untuk menentukan tenaga
pengaktifan suatu reaksi ionik makadapat dilakukan dengan cara melakukan percobaan reaksi antara
persulfatdengan iodida menggunakan persamaan Arrhenius ( Basset, 1994).Ion persulfat direaksikan
dengan ion iodida, reaksi yang terjadiadalah:
S2O82- + 2I- → 2SO42- + I2
Untuk menyelesaikan seluruh bagian reaksi maka ditambahkan larutantiosulfat dan indikator amilum
yang berfungsi untuk memberikan warna biruketika tiosulfat telah habis atau pendeteksi titik akhir
reaksi, yang nantinyatiosulfat akan mereduksi iod yang kemudian ion yodida yang dihasilkanakan
bereaksi kembali dengan persulfat, sehingga nantinya tiosulfat habisdan iod berikatan dengan amilum
membentuk kompleks yang memberikanwarna biru pada larutan(Basset, 1994).
Energi aktifasi Ea dapat diperkirakan dari persamaan Arrhenius, jikakonstanta kecepatan reaksi
diketahui pada dua suhu atau lebih. Persamaanempiris kecepatan reaksi dianggap memenuhi suhu yang
lain sehinggahanya satu suhu yang diperlukan untuk menghitung kecepatan sejumlahkonsentrasi yang
diketahui.
K = Ae-Ea/RT
K = konstanta laju reaksiA = faktor frekuensiEa = energi aktivasiUmumnya konstanta laju meningkat
dengan meningkatnya temperatur, danharganya kira-kira dua kali untuk tiap kenaikkan 10oC.
Hubungankuantitatif pertama antara k dan temperatur adalah karena persamaanArheniuss : K = Ae-
Ea/RT
Dimana A adalah faktor pra-eksponensial atau faktor frekuensi, Ea adalah energi pengaktifan yakni
molekul-molekul harusmempunyai energi sebanyak ini sebelum membentuk produk. Persamaandiatas
mensyaratkan bahwa satuan Ea harus merupakan energi/mol(Sukarjo, 1989).
Kecepatan reaksi bergantung pada jenis zat pereaksi, temperatur reaksi, konsentrasi zat pereaksi. Untuk
menentukan tenaga pengaktifansuatu reaksi ionik maka dapat dilakukan dengan cara melakukan
percobaanreaksi antara persulfat dengan iodida menggunakan persamaan Arrhenius.Ion persulfat
direaksikan dengan ion iodida, reaksi yang terjadi adalah :S2O82-+ 2I- → 2SO42-+ I2
(Basset, 1994)

Teori yang menjelaskan reaksi kimia berdasarkan pada tumbukan molekul tidak cukup kuat sampai
dekade awal abad kedua puluh. Teori kinetik molekul yang pertama dikembangkan. Tercatat adanya
distribusi energi kinetik dan laju molekul – molekul senyawa gas. Jumlah tumbukan antara molekul –
molekul persatuan waktu dapat diturunkan dari teori kinetika molekul. Jumlah tersebut disebut
frekuensi tumbukan.
Hanya sebagian tumbukan saja yang menghasilkan reaksi. Hal ini didasarkan pada dua faktor : (1)
Hanya molekul – molekul yang lebih energetik dalam campuran reaksi yang akan menghasilkan reaksi
sebagai hasil tumbukan. (2) Kemungkinan (probabilitas) suatu tumbukan tertentu untuk menghasilkan
reaksi kimia tergantung dari orientasi molekul yang bertumbukan.
Energi yang harus dimiliki oleh molekul untuk dapat bereaksi disebut energi aktivasi. Dengan teori
kinetik molekul dapat ditentukan berapa fraksi dari seluruh molekul yang ada yang memiliki energi
melebihi nilai tertentu. Pikirkanlah bahwa laju reaksi kimia tergantung pada hasilkali frekuensi
tumbukan dengan fraksi dari molekul yang memiliki energi sama atau melebihi energi aktivasi. Karena
fraksi dari molekul teraktifkan ini biasanya sangat kecil, laju reaksi jauh lebih kecil dari pada frekuensi
tumbukannya sendiri. Tambahan lagi, semakin tinggi nilai energi aktivasi, semakin kecil fraksi molekul
yang teraktifkan dan semakin lambat reaksi berlangsung.
Untuk membayangkan reaksi
A2(g) + B2(g) → 2 AB(g)
Menurut pengertian teori tumbukan, anggaplaah bahwa selama tumbukan antara molekul A2 dan B2,
ikatan – ikatan A – A dan B – B putus dan ikatan A – B terbentuk. Hasilnya adalah perubahan pereaksi
– preaksi A2 dan B2 menjadi hasil reaksi AB. Molekul – molekul harus mempunyai orientasi tertentu
bila tumbukan akan efektif untuk menghasilkan reaksi kimia.
Bila dinyatakan frekuensi tumbukan sebagaiZ, fraksi molekul teraktifkan sebagai f, dan faktor
probabilitas sebagai p, laju reaksi kimia memiliki rumusan
laju reaksi = p. f. Z
Frekuensi tumbukan berbanding lurus dengan konsentrasi molekul – molekul yang terlibat dalam
tumbukan (katakanlah A dan B). Dengan demikian,Z dapat diganti dengan [A] x [B], dan rumusan
laju reaksi yang lebih dikenal ini dapat dituliskan
Laju reaksi = p.f [A] [B] = k [A] [B]
Teori tumbukan tampaknya membawa kita ke arah persamaan laju reaksi kimia yang umum, tetapi ada
beberapa kekurangan pada hasil yang telah dikemukakan. Persamaan di atas menunjukkan sebuah
reaksi dengan orde total dua, tetpi telah diketahui bahwa orde – orde reaksi lain mungkin ada.
Satu alternatif penting tentang teori tumbukan telah dikembangkan oleh ahli kimia Amerika,
Henry Eyring (1901 – 81), dan yang lainnya. Toeri ini dipusatkan pada spesies antara (intermediate
species) yang disebut kompleks teraktifkan, yang terbentuk selama tumbukan energetik. Spesies ini ada
dalam waktu yang sangat singkat, dan kemudian terurai, dapat kembali menjadi pereaksi – pereaksi
awal (dalam hal ini tidak ada reaksi) atau menjadi molekul hasil reaksi.
Pada kompleks teraktifkan terdapat ikatan lama yang meregang mendekati putus, dan ikatan
baru hanya terbentuk sebagian. Hanya bila molekul – molekul yang bertumbukan mempunyai jumlah
energi kinetik yang besar untuk disimpan dalam spesies tergangkan tersebut maka kompleks teraktifkan
akan terbentuk. Energi yang dibutuhkan tersebut dinamakan energi aktivasi.
Secara praktik telah diketahui bahwa reaksi – reaksi kimia cenderung berlangsung lebih cepat
pada suhu yang tinggi. Kita mempercepat reaksi biokimia tertentu dengan meningkatkan suhu,
misalnya pada pemasakan makanan. Di lain pihak kita memperlambat beberapa reaksi dengan
menurunkan suhu, seperti halnya pendinginan atau pembekuan makanan untuk mencegah pembusukan.
Sekarang kita mempunyai penjelasan mengenai pengaruh suhu terhadap laju reaksi : Peningkatan suhu
meningkatkan fraksi molekul yang memiliki energi melebihi energi aktivasi (Ralph. H. Petrucci, 1985).

Diposkan oleh Noprita Sari Safitri di 10.43

Anda mungkin juga menyukai