Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab
Terdapat beberapa faktor yang dapat membuat nilai laju reaksi menjadi tinggi
atau rendah, yaitu konsentrasi perekasi, suhu, tekanan, maupun katalis.
(Atkins dan Paula, 2006: 794).
Laju reaksi membahas pula tentang hukum laju. Hukum laju (rate law)
yaitu persamaan yang menghubungkan laju reaksi dan konstanta laju dan
konsentrasi reaktan. Dari konsentrasi reaktan dan laju awal, kita dapat
menghitung konstanta laju. Untuk reaksi umum dengan jenis
aA+bB → cC +dD
ln K
Slope = -Ea/RT
1/T
Ea=−RT ln ( KA )
dimana Ea adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas, T adalah suhu K
adalah konstanta laju rekasi dan A adalah faktor pre-exponensial. Dalam
proses adsorpsi, energi aktivasi sebanding dengan konstanta adsorpsi.
Semakin rendah energi aktivasi dari suatu proses adsorpsinya, maka semakin
cepat pula proses adsorpsi yang berlangsung (Lasryza, 2012: 5).
Hubungan laju reaksi dengan temperature juga dijelaskan pada jurnal
penelitian yang berjudul “Studi Kinetika Pembentukan Karaginan dari
Rumput Laut” yang menjelaskan bahwa apabila semakin besar suhu di dalam
suatu reaksi maka konstanta laju reaksi pembentukan karaginan semakin
bertambah, sehingga mengakibatkan rate pembentukan karaginan juga
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu suatu reaksi,
partikel-partikel yang bereaksi akan bergerak lebih cepat, sehingga frekuemsi
tabrakan semakin besar. Selain itu, semakin lama suhu ekstraksi akan
menyebabkan proses ekstraksi semakin sempurna. Sehingga akan semakin
banyak karaginan yang larut dalam air dan rate pembentukan karaginan
semakin meningkat. Konstanta laju rate pembentukan karaginan semakin
besar dan ini sesuai dengan Arrhenius’ Law (Fathmawati, 2014: 29).
Jurnal penelitian yang juga menjelaskan pengaruh suhu dengan laju reaksi
yaitu pada jurnal yang berjudul “Hidrolisis Ampas Tebu Menjadi Furfural
dengan Katalisator Asam Sulfat” yang menjelaskan bahwa semakin tinggi
suhu reaksi maka hasil furfural yang diperoleh semakin besar pula. Hal ini
karena pada suhu yang tinggi menyebabkan kecepatan reaksi hidrolisis ampas
tebu menjadi semakin besar. Dengan demikian semakin tinggi suhu reaksi
maka hasil furfural yang didapatkan semakin besar pula. Hal ini sesuai dengan
persamaan Arrhenius yang menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi
maka konstanta kecepatan reaksi akan semakin besar, dan menyebabkan
kecepatan reaksi akan semakin bertambah besar pula. Dengan demikian hasil
furfural yang didapatkan akan semakin bertambah besar (Andaka, 2011 : 186).
Sedangkan hubungan energy aktivasi dengan laju reaksi yaitu berbanding
terbalik, hal tersebut dijelaskan dalam jurnal penelitian yang berjudul
“Evaluation of Activation Energy and Thermodynamic Properties of Enzyme-
Catalysed Transesterification Reactions” bahwa dalam penelitiannya energi
aktivasi untuk sistem produksi biodiesel yang dikatalisis oleh enzim dari hasil
yang diperoleh kebutuhan energi aktivasi yang dibutuhkan jika dalam jumlah
yang sedikit maka laju reaksi dari reaksi fikasi akan berjalan dengan cepat
begitupun sebaliknya (Pogaku, 2012: 153).
E. PROSEDUR KERJA
1. Pada tabung-tabung reaksi yang berbeda disiapkan 2 sistem berikut :
Tabung 1 Tabung 2
Sistem Volume Volume Volume Volume Volume Volume
S2O82- H2O I- H2O S2O3- kanji
1 2,5 mL 2,5 mL 5 mL - 0,5 mL 0,5 mL
2 3,5 mL 1,5 mL 4 mL 1 mL 0,5 mL 0,5 mL
G. ANALISIS DATA
1. Sistem I
Target Suhu (oC) t (s) T (oC) T (K) 1/T ln 1/t
20 22 22 295 0.003389831 -3.091
30 17 31 304 0.003289474 -2.8332
40 15 38 311 0.003215434 -2.7081
50 13 45 318 0.003144654 -2.5649
60 5 54 327 0.003058104 -1.6094
-1
-1.5
ln 1/t
-2
f(x) = − 3995.6 x + 10.3
R² = 0.82
-2.5
-3
-3.5
I/T
J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×304 K
moL . K
K = 29792,14. e13.143417
K = 29792,14 ( 1,9583.10-6)
K = 0,0583
Untuk T = 313 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 311 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×311 K
moL . K
K = 29792,14. e12,84758
K = 29792,14 ( 2,63248.10-6)
K = 0,078427
Untuk T = 318 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 318 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×318 K
moL . K
K = 29792,14. e12,56477
K = 29792,14 ( 3,4929.10-6)
K = 0,147053
Untuk T = 327 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 327 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×327 K
moL . K
K = 29792,14. e12,21895
K = 29792,14 ( 4,93599.10-6)
K = 0,147053
Hasil yang diperoleh :
t (s) T (K) 1/T k Ln k
0.0390
22 295 0.00339 -3.2424
7
0.0583
17 290 0.00329 -2.8414
4
0.0784
15 288 0.00322 -2.5456
3
0.1040
13 286 0.00314 -2.2628
6
0.1470
5 278 0.00306 -1.917
5
-1
-1.5
ln K
-2
f(x) = − 3995.6 x + 10.3
R² = 1
-2.5
-3
-3.5
1/T
2. Sistem II
Suhu Target (oC) t (s) T (oC) K 1/T ln 1/t
20 18 22 295 0.00339 -2.8904
30 15 28 301 0.00332 -2.7081
40 10 36 309 0.00324 -2.3026
50 8 45 318 0.00314 -2.0794
60 5 52 325 0.00308 -1.6094
-1
-1.5
ln 1/t
-3
-3.5
1/T
J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×301 K
moL . K
K = 35632,02. e13,148505
K = 35632,02 ( 1,94839 . 10-6)
K = 0,0694251
Untuk T = 309 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 309 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×309 K
moL. K
K = 35632,02. e12,808915
K = 35632,02 (2,73852. 10-6)
K = 0,097579
Untuk T = 318 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 318 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×318 K
moL. K
K = 35632,02. e12,4455983
K = 35632,02 ( 3,93501 . 10-6)
K = 0,140212189
Untuk T = 325 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 325 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×325 K
moL. K
K = 35632,02. e12,1775393
K = 35632,02 (5,14472. 10-6)
K = 0,1833168
Hasil yang diperoleh :
t (s) T (K) 1/T k ln k
18 295 0.00339 0.053134271 -2.9349
15 301 0.00332 0.069425162 -2.6675
10 309 0.00324 0.097579142 -2.3271
8 318 0.00314 0.140212189 -1.9646
5 325 0.00308 0.183316828 -1.6965
-1
-1.5
ln k
-2.5
-3
-3.5
I/T
H. PEMBAHASAN
Percobaan yang berjudul Persamaan Arrhenius dan Energi aktivasi ini
mempunyai tujuan yaitu untuk dapat menjelaskan hubungan laju reaksi
dengan temperature, dapat menentukan konstanta laju reaksi dan juga dapat
menghitung energi aktivasi (Ea) dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
Pada tahun 1889, Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan empirik yang
menggambarkan kebergantungan konstanta laju reaksi pada suhu. Semakin
tinggi suhu, maka akan semakin tinggi pula laju reaksi, hal ini disebabkan
karena ketika suhu dinaikkan maka tumbukan-tumbukan antar molekul juga
semakin kuat. Sedangkan energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang
diperlukan oleh partikel-partikel pereaksi untuk membentuk kompleks
teraktivasi (Mulyani dan Hendrawan, 2003: 166-168). Prinsip dasar dari
percobaan ini yaitu kebergantungan konstanta laju reaksi dan energi aktivasi
pada parameter suhu yang berbeda-beda. Adapun prinsip kerjanya yaitu
penyiapan sistem, penetapan suhu, pencampuran, perhitungan waktu dan
pengamatan.
Perobaan kali ini dilakukan dengan cara penyiamapan system terlebih
dahulu. Dalam percobaannnya digunakan dua sistem. Yaitu dengan tujuan
mengetahui pengaruh konsentrasi terhadap kecepatan reaksi antara campuran
yang ditambahkan air dengan campuran yang tidak ditambahkan air. Pada
sistem satu untuk tabung satu diisi dengan campuran larutan kalium persulfat
dan aquades dengan perbandingan 1:1, sedangkan untuk tabung dua diisi
dengan campuran larutan kalium iodida, larutan natrium tiosulfat, dan larutan
kanji dengan perbandingan 1 : 0,1 : 0,1. Dan untuk sistem dua untuk tabung
satu diisi dengan campuran larutan kalium persulfat dan aquades dengan
perbandingan 1,75:0,5, sedangkan untuk tabung dua diisi dengan campuran
larutan kalium iodida, larutan natrium tiosulfat, dan larutan kanji dengan
perbandingan 0,8 : 0,1 : 0,1. Penambahan larutan kalium persulfat berfungsi
sebagai oksidator, yaitu mengubah I- menjadi I2. I- kemudian berikatan dengan
Na2S2O3 yang berfungsi sebagai reduktor, I2 berubah kembali menjadi I- yang
selanjutnya berikatan dengan larutan amilum. Larutan amilum atau kanji
dalam percobaan ini digunakan sebagai indikator adanya I2. I2 akan bereaksi
dengan amilum setelah Na2S2O3 pada campuran habis bereaksi dan hal ini
dijadikan sebagai waktu akhir reaksi, waktu dimana muncul warna biru
pertama kali (waktu awal reaksi saat kedua tabung dicampur). Larutan amilum
yang digunakan dibuat sesaat sebelum percobaan karena larutan ini mudah
rusak, sedangkan larutan KI sebagai senyawa penyedia gugus I -. Reaksi yang
diukur adalah reaksi kalium persulfat dengan ion iodida.
Selanjutnya percobaan dilanjutkan dengan menyamakan suhu pada
setiap sistem pada tabung satu dan tabung dua. Adapun variasi suhu yang kita
gunakan pada percobaan ini yaitu 20, 30, 40, 50, dan 60 0C hal ini agar kita
dapat mengetahui pengaruh suhu terhadap laju reaksi dan energi aktivasinya,
dimana ketika larutan pertama kali berwarna biru maka larutan tersebut
mengalami reaksi dan setelah seluruh larutan berwarna biru maka larutan telah
selesai bereaksi. Indikator warna biru yang muncul saat larutan bereaksi
disebabkan karena adanya larutan kanji. Penyebab terbentuknya warna biru
adalah dimana penambahan kalium persulfat yang bertugas untuk
mengoksidasi I- menjadi I2, lalu I2 ini akan diikat oleh S2O32-, pada pengikatan
ini warna larutan masih belum biru, namun stelah S2O32- ini habis bereaksi,
maka I2 akan lepas dan akan berikatan dengan I- yang akan membentuk I3-.
Warna biru mulai terbentuk saat I3- berikatan dengan amilum.
Selanjutnya dilakukan pencampuran larutan, pencampuran dilakukan
dengan cara memindahkan larutan tabung 1 ke tabung dua kemudian
dilanjutkan dengan pembuangan larutan campuran ke tabung 1. Pencampuran
larutan pada masing-masing tabung dalam sistem harus dilakukan secara cepat
dengan tujuan agar tidak terjadi perubahan suhu yang drastis pada masing-
masing tabung. Selain alasan tersebut, pencampuran juga dilakukan dari
tabung I ke tabung II dan kembali ke tabung I untuk dapat menghitung waktu
yang dibutuhkan untuk bereaksi sedangkan jika dilakukan hal sebaliknya
maka warna biru akan langsung nampak.
Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk suhu 20oC waktu yang
diperlukan untuk berubah warna untuk pertama kalinya yaitu untuk sistem
satu pada dektik ke 22 sedangkan untuk sistem dua pada detik ke 18, untuk
suhu 30oC sistem satu :17 detik, sistem dua : 15 detik, untuk suhu 40 oC sistem
satu :15 detik, sistem dua : 10 detik, untuk suhu 50 oC sistem satu :13 detik,
sistem dua : 8 detik, dan yang terakhir untuk suhu 60oC sistem satu :5 detik,
sistem dua : 5 detik. Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa seiring
naiknya suhu maka waktu yang digunakan dalam perubahan warna untuk
pertama kalinya baik pada sistem satu maupun pada sistem dua semakin
berkurang atau waktu yang perubahan warnanya semakin cepat. Hal tersebut
sesuai dengan teori. Menurut (Edahwati, 2007) perubahan warna yang terjadi
pada tabung akan semakin cepat bila reaksi berlangsung dalam temperatur
yang tinggi. Pada umumnya, penurunan suhu akan memperlambat reaksi
sedangkan kenaikan suhu akan mempercepat reaksi. Pada temperatur yang
lebih tinggi, ion-ion pereaksi akan memiliki energi kinetik yang lebih besar.
Berdasarkan teori tumbukan, energi kinetik yang lebih besar akan membuat
tumbukan antar partikel akan menjadi lebih sering, sehingga reaksi akan lebih
cepat berlangsung.
Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
Pada tabung I:
2S2O8 + 2H2O → 4SO42- + O2 + 4H+
S2O82- + 2I- → 2S2O4 + I2
Pada tabung II
Reduksi : I2 + 2e- → 2I-
Oksidasi : 2S2O3- + S4O62- + e-
Redoks I2 + 2S2O3 → S4O62- + 2I-
Perubahan suhu umumnya mempengaruhi harga tetapan laju k. Jika suhu
dinaikan maka harga k akan meningkat dan sebaliknya. Dari harga k tersebut
maka akan dapat dihitung energi aktivasi. Berdasarkan teori hubungan laju
reaski dengan energi aktivasi adalah berbanding terbalik. Semakin besar
energi aktivasi maka laju reaksi semakin lambat karena energi minimum untuk
terjadi reaksi semakin besar. Faktor yang mempengaruhi energi aktivasi (Ea)
yaitu suhu, faktor frekuensi (A), katalis. Ini membuktikan bahwa semakin
tinggi temperatur maka energi aktivasinya akan semakin kecil dan waktu yang
diperlukan semakin sedikit sehingga laju reaksi semakin meningkat (Oxtoby,
2001: 435-436). Berdasarkan data hasil percobaan dapat dibuat grafik 1/T dan
ln 1/T yang diperoleh sutau persamaan untuk sistem I y = -3995,6 +10,302
sedangkan pada sistem II diperoleh y = -3957,7x + 10,481 dan dipeoleh nilai
Ea pada sistem I = 33219,4J/mol dan sistem II= 32904,318J/mol.
Hasil yang diperoleh juga dapat dilihat bahwa pada sistem 1 waktu rata
rata yang digunakan untuk berubah warna untuk pertama kalinya lebih lama
dbandingkan dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan pada sistem 2. Dan juga
nilai energi aktivasi untuk sistem 1 lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
energi aktivasi pada sistem 2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan
air atau pada konsentrasi yang lebih rendah dapat mempercepat terjadinya
reaksi, yang artinya pada konsentrasi yang tinggi laju reaksinya akan semakin
lambat. Hal tesebut tidak sesuai dengan teori, menurut Chang (2005: 30)
bahwa semakin tinggi konsentrasi maka semakin cepat pula laju reaksinya.
Hal tersebut dikarenakan zat yang konsentrasinya lebih tinggi mengandung
jumlah partikel yang banyak maka akan semakin sering bertumbukan
sehingga kemungkinan terjadinya reaksi akan semakin besar.
Atkins, Peter dan Julio de Paula. 2006. Physical Chemistry for the Life Sciences.
New York: W.H. Freeman and Company.
Chang, Raymond. 2005. Konsep-Konsep Inti Kimia Dasar Edisi ketiga jilid dua.
Jakarta: Erlangga .
Fathmawati, D., Abidin, A. Renardo P., dan Roesyadi, Achmad. 2014. Studi
Kinetika Pembentukan Karaginan dari Rumput Laut. Jurnal Teknik
Pomits. Vol. 3. No. 1. ISSN: 2337-3539.
Lasryza, Ayu, dan Sawitri, Dyah. 2012. Pemanfaatan Fly Ash Batubara sebagai
Adsorben Emisi Gas CO pada Kendaraan Bermotor. Jurnal Teknik Pomits.
Vol. 1. No. 1.
Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2003. Kimia Fisika II. Malang: JICA.
Tim Dosen Kimia Fisik. 2019. Penuntun Praktikum Kimia Fisik II.
Makassar:Universitas Negeri Makassar.