Anda di halaman 1dari 29

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Lengkap Praktikum Kimia Fisik II dengan judul “Persamaan


Arrhenius dan Energi Aktivasi”, disusun oleh:
nama : Alya Rahmaditya Arfan
NIM : 1713141006
kelas / kelompok : Kimia Sains/ I (Satu)
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan Koordinator Asisten yang
bersangkutan dan dinyatakan diterima.

Makassar, Oktober 2019


Koordinator Asisten Asisten

Khairil Afdal Khairil Afdal


NIM. 1313042014 NIM. 1313042014

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab

Dr. Muhammad Wijaya, S.Si, M.Si,


NIP. 19730927 1999 03 1 001
A. JUDUL PERCOBAAN
Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi
B. TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan yang ingin dicapai setelah melakukan percobaan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk dapat menjelaskan hubungan laju reaksi dengan temperatur.
2. Untuk dapat menghitung energi aktivasi (Ea) dengan menggunakan
persamaan Arrhenius.
C. LANDASAN TEORI
Kinetia kimia, indentik dengan kata “Kinetik” yang menyiratkan gerakan
atau perubahan. Energi kinetik didefinisikan sebagai energi yang tersedia
karena gerakan suatu benda. Kinetika kimia ini membahas tentang laju reaksi.
Laju reaksi merupakan perubahan konsentrasi reaktan atau produk terhadap
waktu (M/s). Dalam suatu reaksi diketahui bahwa dinyatakan dengan suatu
persamaan umum yaitu
Reaktan → Produk
Persamaan ini memberitahukan bahwa, selama berlangsungnya suatu
reaksi, molekul reaktan bereaksi yang pada akhirnya akan membentuk produk.
Sebagai hasilnya, kita dapat mengamati jalannya reaksi dengan cara
memantau menurunnya konsentrasi reaktan atau meningkatnya konsentrasi
produk maupun sebaliknya (Chang, 2005: 30).
Definisi dari sebuah laju reaksi yaitu sebagai perubahan konsentrasi pada
setiap perubahan waktu dimana laju reaksi berbanding lurus dengan
konsentrasi. Penulisan kaidah laju reaksi dapat dicontohkan sebagai berikut
apabila terdapat reaksi aA+bB →cC +dD subtansi reaktan dari sebuah reaksi
dituliskan dengan nilai yang bernilai negatif sedangkan subtansi produk
dituliskan dengan nilai yang bernilai positif. Jumlah laju tidak bergantung
terhadap pereaksi atau produk yang mana yang dipilih. Turunan konsentrasi
pereaksi terhadap waktu adalah negatif karena merupakan laju konsumsi,
sedangkan untuk produk adalah positif karena merupakan laju produksi.
Penulisan dari laju reaksi dari suatu reaksi yaitu sebagai contoh dari reaksi
aA+bB → cC +dD yaitu :
−1 d [ A ] −1 d [B] 1 d [C] 1 d [ D]
= = =
a dt b dt c dt d dt

Terdapat beberapa faktor yang dapat membuat nilai laju reaksi menjadi tinggi
atau rendah, yaitu konsentrasi perekasi, suhu, tekanan, maupun katalis.
(Atkins dan Paula, 2006: 794).
Laju reaksi membahas pula tentang hukum laju. Hukum laju (rate law)
yaitu persamaan yang menghubungkan laju reaksi dan konstanta laju dan
konsentrasi reaktan. Dari konsentrasi reaktan dan laju awal, kita dapat
menghitung konstanta laju. Untuk reaksi umum dengan jenis
aA+bB → cC +dD

hukum lajunya berbentuk


Laju = k[A]X[B]Y
jika kita mengetahui nilai k, x dan y serta konsentrasi A dan B dapat
menggunakan hukum laju untuk menghitung laju reaksi. Jumlah dari pangkat-
pangkat setiap kosentrasi reaktan yang ada dalam hukum laju disebut orde
reaksi keseluruhan. Orde reaksi selalu ditentukan oleh konsentrasi reaktan dan
tidak pernah oleh konsentrasi produk (Chang, 2005: 34).
Membahas hukum laju maka membahas pula konstanta laju atau yang
biasa disebut dengan tetapan laju ataupun koefisien laju. Untuk reaksi
erlementer biasanya disebut dengan tetapan laju, tetapi apabila reaksi yang
lebih dari satu tahap biasanya dikatakan sebagai koefisien laju. Tetapan laju
atau kontanta laju ini mempunyai symbol k. suatu tetapan atau koefisien laju
ini bergantung dengan yang namanya orde reaksi. Apabila dia orde 1 maka
v = k[A]
dengan satuan v dm-3s-1 dan [A] adalah mol.dm-3 sehingga diketahui satuannya
tetapan laju atau koefisien laju untuk orde satu yaitu s-1. Sedangkan untuk
reaksi berorde dua yaitu:
v = k[A]2
v = k[A][B]
dengan satuan k yaitu dm3mol-1s-1 (Mulyani dan Hendrawan, 2003: 160).
Ketergantungan tetapan laju yang kuat pada suhu, seperti yang
dinyatakan oleh hukum Arrhenius, dapat kita kaitkan dengan distribusi
Maxwell-Boltzmann mengenal energi molekul. Jika Ea merupakan energi
benturan relatif yang kritis yaitu yang harus dimiliki oleh sepasang molekul
agar reaksi dapat terjadi, hanya sebagian kecil molekul saja yang dapat
mempunyai energi setinggi itu (atau melebihi energi itu) jika suhu cukup
rendah. Fraksi ini berkaitan dengan luas dibawah kurva distribusi Maxwell-
Boltzmann, yaitu antara Ea dan ∞. Jika suhu ditingkatkan, fungsi distribusi
bergerak kearah energi yang lebih tinggi. Fraksi molekul yang melewati
energi kritis Ea meningkat secara eksponensial (-Ea/RT). Jadi, laju reaksi ini
dapat disimpulkan berbanding lurus dengan (-Ea/RT) dan dengan demikian,
baik ketergantungan yang kuat pada suhu dan besarnya tetapan laju
eksperimen dapat kita pahami (Oxtoby, 2001: 435-436).
Salah satu aspek yang sangat penting dalam kinetika kimia adalah
bagaimana laju reaksi bergantung terhadap suhu. Pada tahun 1889, Arrhenius
mengusulkan sebuah persamaan empirik yang menggambarkan
kebergantungan konstanta laju reaksi pada suhu. Secara empirik, untuk
banyak reaksi kimia, tetapan laju dapat dihubungkan terhadap temperatur
absolut T melalui ungkapan
k = Ae−B / T
dengan A dan R adalah tetapan. Sehingga hubungan tersebut dirumuskan
dalam bentuk.
k = Ae− Ea/ RT
dengan R adalah tetapan gas ideal R=8,3145 JK −1 , k adalah konstanta kaju
reaksi dan Ea dikenal sebagai energi aktivasi. Pendekatan Arrhenius terhadap
hukum tersebut agak sedikit berbeda dari yang dilakukan Van’t Hoof. Dia
mencatat bahwa untuk reaksi kimia biasa, kebanyakan tumbukan antar
molekul pereaksi adalah tidak efektif; dalam artian bahwa energinya tidak
mencukupi. Dalam fraksi yang kecil dari tumbukan, bagaimanapun energinya
adalah cukup besar untuk mengizinkan suatu reaksi berlangsung.
e− Ea/ RT
Fraksi tersebut semakin besar dengan makin besarnya suhu T dan semakin
rendahnya E. Oleh karena itu, tetapan laju akan proporsional terhadap fraksi
tersebut.
Ea
ln k =ln A−
RT
(Mulyani dan Hendrawan, 2003: 166-168).
Ea
Persamaan ln k = ln A - terlihat bahwa kurva In k sebagai fungsi
RT
dari 1/T, akan berupa garis lurus dengan memotong (intersep) sumbu In k
pada In A dan gradient atau slope adalah –Ea/RT. Sehingga dapat dilihat dari
grafik dibawah, yaitu dari grafik yang ada kita dapat menyimpulkan bahwa
laju reaksi berbanding lurus atau semakin bertambah sering bertambahnya
waktu

ln K

Slope = -Ea/RT

1/T

(Tim Dosen Kimia Fisik, 2017: 5).


Persamaan yang ditunjukkan oleh Arrhenius, menunjukkan bahwa
Arrhenius percaya bahwa agar molekul bereaksi setelah berbenturan, molekul
itu harus menjadi teraktivasi dan parameter Ea kemudian dikenal sebagai
energy aktivasi. Energi aktivasi merupakan energi minimum yang dimiliki
oleh sesuatu zat agar suatu reaksi pada zat tersebut dapat berlangsung.
Semakin rendah energi aktivasinya, maka semakin cepat suatu proses reaksi
berlangsung. Hubungan antara energi aktivasi dengan laju rekasi didapatkan
dari persamaan Arrhenius. Adapun persamaan Arrhenius adalah sebagai
berikut :

Ea=−RT ln ( KA )
dimana Ea adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas, T adalah suhu K
adalah konstanta laju rekasi dan A adalah faktor pre-exponensial. Dalam
proses adsorpsi, energi aktivasi sebanding dengan konstanta adsorpsi.
Semakin rendah energi aktivasi dari suatu proses adsorpsinya, maka semakin
cepat pula proses adsorpsi yang berlangsung (Lasryza, 2012: 5).
Hubungan laju reaksi dengan temperature juga dijelaskan pada jurnal
penelitian yang berjudul “Studi Kinetika Pembentukan Karaginan dari
Rumput Laut” yang menjelaskan bahwa apabila semakin besar suhu di dalam
suatu reaksi maka konstanta laju reaksi pembentukan karaginan semakin
bertambah, sehingga mengakibatkan rate pembentukan karaginan juga
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu suatu reaksi,
partikel-partikel yang bereaksi akan bergerak lebih cepat, sehingga frekuemsi
tabrakan semakin besar. Selain itu, semakin lama suhu ekstraksi akan
menyebabkan proses ekstraksi semakin sempurna. Sehingga akan semakin
banyak karaginan yang larut dalam air dan rate pembentukan karaginan
semakin meningkat. Konstanta laju rate pembentukan karaginan semakin
besar dan ini sesuai dengan Arrhenius’ Law (Fathmawati, 2014: 29).
Jurnal penelitian yang juga menjelaskan pengaruh suhu dengan laju reaksi
yaitu pada jurnal yang berjudul “Hidrolisis Ampas Tebu Menjadi Furfural
dengan Katalisator Asam Sulfat” yang menjelaskan bahwa semakin tinggi
suhu reaksi maka hasil furfural yang diperoleh semakin besar pula. Hal ini
karena pada suhu yang tinggi menyebabkan kecepatan reaksi hidrolisis ampas
tebu menjadi semakin besar. Dengan demikian semakin tinggi suhu reaksi
maka hasil furfural yang didapatkan semakin besar pula. Hal ini sesuai dengan
persamaan Arrhenius yang menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi
maka konstanta kecepatan reaksi akan semakin besar, dan menyebabkan
kecepatan reaksi akan semakin bertambah besar pula. Dengan demikian hasil
furfural yang didapatkan akan semakin bertambah besar (Andaka, 2011 : 186).
Sedangkan hubungan energy aktivasi dengan laju reaksi yaitu berbanding
terbalik, hal tersebut dijelaskan dalam jurnal penelitian yang berjudul
“Evaluation of Activation Energy and Thermodynamic Properties of Enzyme-
Catalysed Transesterification Reactions” bahwa dalam penelitiannya energi
aktivasi untuk sistem produksi biodiesel yang dikatalisis oleh enzim dari hasil
yang diperoleh kebutuhan energi aktivasi yang dibutuhkan jika dalam jumlah
yang sedikit maka laju reaksi dari reaksi fikasi akan berjalan dengan cepat
begitupun sebaliknya (Pogaku, 2012: 153).

D. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. Rak tabung reaksi besar 3 buah
b. Gelas piasa 1000 mL 1 buah
c. Gelas kimia 400 mL 1 buah
d. Gelas kimia 250 mL 1 buah
e. Tabung reaksi besar 10 buah
f. Tabung reaksi kecil 10 buah
g. Gelas ukur 10 mL 2 buah
h. Pipet volume 10 mL 1 buah
i. Pipet volume 5 mL 1 buah
j. Penjepit tabung 2 buah
k. Pembakar spiritus 1 buah
l. Ball pipet 1 buah
m. Pipet tetes 2 buah
n. Termometer 360 oC 1 buah
o. Termometer 110 oC 3 buah
p. Kaki tiga 1 buah
q. Kasa asbes 1 buah
r. Korek api 1 buah
s. Botol semprot 1 buah
t. Lap kasar 1 buah
u. Lap halus 1 buah
v. Stopwatch 2 buah
2. Bahan
a. Aquades (H2O)
b. Es batu (H2O)(s)
a. Larutan Kalium Persulfat 0,04 M (K2S2O8)
c. Larutan Natrium Tiosulfat 0,01 M (Na2S2O3)
d. Larutan Kalium Iodida 0,1 M (KI)
e. Larutan Kanji/ Amilum 3% (C6H10O5)
f. Tissu
g. Label

E. PROSEDUR KERJA
1. Pada tabung-tabung reaksi yang berbeda disiapkan 2 sistem berikut :
Tabung 1 Tabung 2
Sistem Volume Volume Volume Volume Volume Volume
S2O82- H2O I- H2O S2O3- kanji
1 2,5 mL 2,5 mL 5 mL - 0,5 mL 0,5 mL
2 3,5 mL 1,5 mL 4 mL 1 mL 0,5 mL 0,5 mL

2. Masing-masing tabung 1 dan tabung 2 dari sistem 1 dan 2 didinginkan


dengan air es hingga suhunya sama yaitu 200C.
3. Bila suhu kedua larutan dalam tabung telah sama, kedua larutan dalam
tabung tersebut kemudian dicampurkan dengan cara isi tabung 1
dimasukkan kedalam tabung 2 kemudian kembali dimasukkan ke tabung 1
secepat mungkin dan dicataat suhu.
4. Prosedur diatas diulangi untuk suhu 300C, 40 0C, 500C dan 600C dengan
cara pemanasan.
5. Setiap kali selesai melakukan percobaan dicatat waktu dan suhu reaksi
yang diperlukan.
F. HASIL PENGAMATAN
No. Perlakuan Hasil Pengamatan
SISTEM 1
1.
Pada suhu 20⁰C
- Tabung I
Bening
2,5 mL K2S2O8 0,04 M + 2,5 mL
H2O
- Tabung II
Bening
5 mL KI 0,1 M + 0,5 mL Na2S2O3+
0,5 mL Kanji 3%
Bening
- Didinginkan
Bening berubah menjadi ungu
Campuran tabung I ke tabung II
pada saat 22 detik dengan suhu
kemudian dituangkan kembali ke
akhir 22⁰C
tabung I dengan cepat.
1. Pada suhu 30⁰C
- Tabung I
2,5 mL K2S2O8 0,04 M + 2,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
5 mL KI 0,1 M + 0,5 mL Na2S2O3+ Bening
0,5 mL Kanji 3%
- Didiamkan pada suhu kamar Bening
- Campurkan tabung I dan II Bening berubah menjadi ungu
kemudian dituangkan kembali ke pada saat 17 detik dengan suhu
tabung I dengan cepat. akhir 31⁰C
2. Pada suhu 40⁰C
- Tabung I
2,5 mL K2S2O8 0,04 M + 2,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
5 mL KI 0,1 M + 0,5 mL Na2S2O3+ Bening
0,5 mL Kanji 3%
- Didiamkan pada suhu kamar Bening
Campurkan tabung I dan II
Bening berubah menjadi ungu
kemudian dituangkan kembali ke
pada saat 15 detik dengan suhu
tabung I dengan cepat.
akhir 38 ⁰C
3. Pada suhu 50⁰C
- Tabung I
2,5 mL K2S2O8 0,04 M + 2,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
5 mL KI 0,1 M + 0,5 mL Na2S2O3+ Bening
0,5 mL Kanji 3%
- Dipanaskan Bening
Bening berubah menjadi ungu
Campurkan tabung I dan II kemudian
pada saat 13 detik dengan suhu
dituangkan kembali ke tabung I
akhir 45⁰C
dengan cepat.
4. Pada Suhu 60⁰C
- Tabung I
2,5 mL K2S2O8 0,04 M + 2,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
5 mL KI 0,1 M + 0,5 mL Na2S2O3+ Bening
0,5 mL Kanji 3%
- Dipanaskan Bening
- Campurkan tabung I dan II Bening berubah menjadi ungu
kemudian dituangkan kembali ke pada saat 5 detik dengan suhu
tabung I dengan cepat. akhir 54⁰C
SISTEM 2
1. Pada suhu 20⁰C
- Tabung I
3,5 mL K2S2O8 0,04 M + 1,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
4 mL KI 0,1 M + 1 mL H2O + 0,5 Bening
mL Na2S2O3+ 0,5 mL Kanji 3%
- Didinginkan Bening
Campurkan tabung I dan II kemudian
Bening berubah menjadi ungu
dituangkan kembali ke tabung I
pada saat 18 detik dengan suhu
dengan cepat.
akhir 22⁰C
2. Pada suhu 30⁰C
- Tabung I
3,5 mL K2S2O8 0,04 M + 1,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
4 mL KI 0,1 M + 1 mL H2O + 0,5 Bening
mL Na2S2O3+ 0,5 mL Kanji 3%
- Didiamkan suhu kamar
Bening
Campurkan tabung I dan II kemudian
Bening berubah menjadi ungu
dituangkan kembali ke tabung I
pada saat 15 detik dengan suhu
dengan cepat.
akhir 28⁰C
3. Pada suhu 40⁰C
- Tabung I
3,5 mL K2S2O8 0,04 M + 1,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
4 mL KI 0,1 M + 1 mL H2O + 0,5 Bening
mL Na2S2O3+ 0,5 mL Kanji 3%
- Dipanaskan
- Campurkan tabung I dan II Bening
kemudian dituangkan kembali ke Bening berubah menjadi ungu
tabung I dengan cepat. pada saat 10 detik dengan suhu
akhir 36⁰C

4. Pada suhu 50⁰C


- Tabung I
3,5 mL K2S2O8 0,04 M + 1,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
4 mL KI 0,1 M + 1 mL H2O + 0,5 Bening
mL Na2S2O3+ 0,5 mL Kanji 3%
- Dipanaskan Bening
- Campurkan tabung I dan II Bening berubah menjadi ungu
kemudian dituangkan kembali ke pada saat 8 detik dengan suhu
tabung I dengan cepat. akhir 45⁰C
5. Pada suhu 60⁰C
- Tabung I
3,5 mL K2S2O8 0,04 M + 1,5 mL Bening
H2O
- Tabung II
4 mL KI 0,1 M + 1 mL H2O + 0,5 Bening
mL Na2S2O3+ 0,5 mL Kanji 3%
- Dipanaskan Bening
- Campurkan tabung I dan II
Bening berubah menjadi ungu
kemudian dituangkan kembali ke
pada saat 5 detik dengan suhu
tabung I dengan cepat.
akhir 25⁰C

G. ANALISIS DATA
1. Sistem I
Target Suhu (oC) t (s) T (oC) T (K) 1/T ln 1/t
20 22 22 295 0.003389831 -3.091
30 17 31 304 0.003289474 -2.8332
40 15 38 311 0.003215434 -2.7081
50 13 45 318 0.003144654 -2.5649
60 5 54 327 0.003058104 -1.6094

Grafik Hubungan 1/T dengan ln 1/T pada sistem I


0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-0.5

-1

-1.5
ln 1/t

-2
f(x) = − 3995.6 x + 10.3
R² = 0.82
-2.5

-3

-3.5
I/T

a. Menantukan Nilai Ea dan A secara grafik


Persamaan grafik :
y = mx + b
−Ea
m=
R
Ea = −R( m)
1) Nilai Energi Aktivasi (Ea)
y = mx + b
y = -3995,6 +10,302
Diketahui : m = -3995,6
J
R = 8,314
moL
Ditanyakan : Ea . . . . . ?
Penyelesaian :
−Ea
=m
R
Ea=−R ( m )
J
Ea=−8,314 (−3995,6)
moL
J
Ea=33219,41
moL
2) Nilai Faktor Frekuensi
y = mx + b
y = -3995,6 +10,302
Diketahui : b = 10,302
Ditanyakan :A.....?
Penyelesaian :
−Ea 1
ln k =¿ ¿ + ln A
R T
ln A = b
A = eb
A = e10,302
A = 29792,14
b. Nilai Konstanta Laju Reaksi (K)
Untuk T = 295 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 295 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×295 K
moL . K
K = 29792,14. e13,5444
K = 29792,14 ( 1,31142.10-6)
K = 0,00390
Untuk T = 304 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 304 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×304 K
moL . K
K = 29792,14. e13.143417
K = 29792,14 ( 1,9583.10-6)
K = 0,0583
Untuk T = 313 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 311 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×311 K
moL . K
K = 29792,14. e12,84758
K = 29792,14 ( 2,63248.10-6)
K = 0,078427
Untuk T = 318 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 318 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×318 K
moL . K
K = 29792,14. e12,56477
K = 29792,14 ( 3,4929.10-6)
K = 0,147053
Untuk T = 327 K
J
Diketahui : Ea = 33219,41
moL
T = 327 K
A = 29792,14
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−33219,41
moL
K = 29792,14.e
J
8,314 ×327 K
moL . K
K = 29792,14. e12,21895
K = 29792,14 ( 4,93599.10-6)
K = 0,147053
Hasil yang diperoleh :
t (s) T (K) 1/T k Ln k
0.0390
22 295 0.00339 -3.2424
7
0.0583
17 290 0.00329 -2.8414
4
0.0784
15 288 0.00322 -2.5456
3
0.1040
13 286 0.00314 -2.2628
6
0.1470
5 278 0.00306 -1.917
5

Grafik Hubungan ln K dengan 1/T

Grafik Hubungan ln K dengan 1/T


0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
-0.5

-1

-1.5
ln K

-2
f(x) = − 3995.6 x + 10.3
R² = 1
-2.5

-3

-3.5
1/T

2. Sistem II
Suhu Target (oC) t (s) T (oC) K 1/T ln 1/t
20 18 22 295 0.00339 -2.8904
30 15 28 301 0.00332 -2.7081
40 10 36 309 0.00324 -2.3026
50 8 45 318 0.00314 -2.0794
60 5 52 325 0.00308 -1.6094

Grafik Hubungan 1/T dengan ln 1/T pada sistem II


0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
-0.5

-1

-1.5
ln 1/t

f(x) = − 3957.7 x + 10.48


-2
R² = 0.98
-2.5

-3

-3.5
1/T

a. Menantukan Nilai Ea dan A secara grafik


Persamaan grafik :
y = mx + b
−Ea
m=
R
Ea = −R( m)
1) Nilai Energi Aktivasi (Ea)
y = mx + b
y = -3957,7x + 10,481
Diketahui : m = -3957,7
J
R = −8,314
moL
Ditanyakan : Ea . . . . . ?
Penyelesaian :
−Ea
=m
R
Ea=−R ( m )
J
Ea=−8,314 (−3957,7)
moL
J
Ea=32904,318
moL
2) Nilai Faktor Frekuensi
y = mx + b
y = -3957,7x + 10,481
Diketahui : b = 10,481
Ditanyakan :A.....?
Penyelesaian :
−Ea 1
ln k =¿ ¿ + ln A
R T
ln A = b
A = eb
A = e 10,481
A = 35632,02
b. Nilai Konstanta Laju Reaksi (K)
Untuk T = 295 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 295 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT
J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×295 K
moL . K
K = 35632,02. e13,41593
K = 35632,02 (1,49119. 10-6)
K = 0,0531342
Untuk T = 301 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 301 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×301 K
moL . K
K = 35632,02. e13,148505
K = 35632,02 ( 1,94839 . 10-6)
K = 0,0694251
Untuk T = 309 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 309 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×309 K
moL. K
K = 35632,02. e12,808915
K = 35632,02 (2,73852. 10-6)
K = 0,097579
Untuk T = 318 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 318 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×318 K
moL. K
K = 35632,02. e12,4455983
K = 35632,02 ( 3,93501 . 10-6)
K = 0,140212189
Untuk T = 325 K
J
Diketahui : Ea = 32904,318
moL
T = 325 K
A = 35632,02
J
R = 8,314
moL . K
Dinyatakan :K.....?
Penyalesaian :
− Ea
K = Ae RT

J
−32904,318
moL
K = 35632,02.e
J
8,314 ×325 K
moL. K
K = 35632,02. e12,1775393
K = 35632,02 (5,14472. 10-6)
K = 0,1833168
Hasil yang diperoleh :
t (s) T (K) 1/T k ln k
18 295 0.00339 0.053134271 -2.9349
15 301 0.00332 0.069425162 -2.6675
10 309 0.00324 0.097579142 -2.3271
8 318 0.00314 0.140212189 -1.9646
5 325 0.00308 0.183316828 -1.6965

Grafik Hubungan ln K dengan 1/T

Grafik Hubungan ln K dengan 1/T


0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
-0.5

-1

-1.5
ln k

f(x) = − 3957.7 x + 10.48


-2 R² = 1

-2.5

-3

-3.5
I/T

H. PEMBAHASAN
Percobaan yang berjudul Persamaan Arrhenius dan Energi aktivasi ini
mempunyai tujuan yaitu untuk dapat menjelaskan hubungan laju reaksi
dengan temperature, dapat menentukan konstanta laju reaksi dan juga dapat
menghitung energi aktivasi (Ea) dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
Pada tahun 1889, Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan empirik yang
menggambarkan kebergantungan konstanta laju reaksi pada suhu. Semakin
tinggi suhu, maka akan semakin tinggi pula laju reaksi, hal ini disebabkan
karena ketika suhu dinaikkan maka tumbukan-tumbukan antar molekul juga
semakin kuat. Sedangkan energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang
diperlukan oleh partikel-partikel pereaksi untuk membentuk kompleks
teraktivasi (Mulyani dan Hendrawan, 2003: 166-168). Prinsip dasar dari
percobaan ini yaitu kebergantungan konstanta laju reaksi dan energi aktivasi
pada parameter suhu yang berbeda-beda. Adapun prinsip kerjanya yaitu
penyiapan sistem, penetapan suhu, pencampuran, perhitungan waktu dan
pengamatan.
Perobaan kali ini dilakukan dengan cara penyiamapan system terlebih
dahulu. Dalam percobaannnya digunakan dua sistem. Yaitu dengan tujuan
mengetahui pengaruh konsentrasi terhadap kecepatan reaksi antara campuran
yang ditambahkan air dengan campuran yang tidak ditambahkan air. Pada
sistem satu untuk tabung satu diisi dengan campuran larutan kalium persulfat
dan aquades dengan perbandingan 1:1, sedangkan untuk tabung dua diisi
dengan campuran larutan kalium iodida, larutan natrium tiosulfat, dan larutan
kanji dengan perbandingan 1 : 0,1 : 0,1. Dan untuk sistem dua untuk tabung
satu diisi dengan campuran larutan kalium persulfat dan aquades dengan
perbandingan 1,75:0,5, sedangkan untuk tabung dua diisi dengan campuran
larutan kalium iodida, larutan natrium tiosulfat, dan larutan kanji dengan
perbandingan 0,8 : 0,1 : 0,1. Penambahan larutan kalium persulfat berfungsi
sebagai oksidator, yaitu mengubah I- menjadi I2. I- kemudian berikatan dengan
Na2S2O3 yang berfungsi sebagai reduktor, I2 berubah kembali menjadi I- yang
selanjutnya berikatan dengan larutan amilum. Larutan amilum atau kanji
dalam percobaan ini digunakan sebagai indikator adanya I2. I2 akan bereaksi
dengan amilum setelah Na2S2O3 pada campuran habis bereaksi dan hal ini
dijadikan sebagai waktu akhir reaksi, waktu dimana muncul warna biru
pertama kali (waktu awal reaksi saat kedua tabung dicampur). Larutan amilum
yang digunakan dibuat sesaat sebelum percobaan karena larutan ini mudah
rusak, sedangkan larutan KI sebagai senyawa penyedia gugus I -. Reaksi yang
diukur adalah reaksi kalium persulfat dengan ion iodida.
Selanjutnya percobaan dilanjutkan dengan menyamakan suhu pada
setiap sistem pada tabung satu dan tabung dua. Adapun variasi suhu yang kita
gunakan pada percobaan ini yaitu 20, 30, 40, 50, dan 60 0C hal ini agar kita
dapat mengetahui pengaruh suhu terhadap laju reaksi dan energi aktivasinya,
dimana ketika larutan pertama kali berwarna biru maka larutan tersebut
mengalami reaksi dan setelah seluruh larutan berwarna biru maka larutan telah
selesai bereaksi. Indikator warna biru yang muncul saat larutan bereaksi
disebabkan karena adanya larutan kanji. Penyebab terbentuknya warna biru
adalah dimana penambahan kalium persulfat yang bertugas untuk
mengoksidasi I- menjadi I2, lalu I2 ini akan diikat oleh S2O32-, pada pengikatan
ini warna larutan masih belum biru, namun stelah S2O32- ini habis bereaksi,
maka I2 akan lepas dan akan berikatan dengan I- yang akan membentuk I3-.
Warna biru mulai terbentuk saat I3- berikatan dengan amilum.
Selanjutnya dilakukan pencampuran larutan, pencampuran dilakukan
dengan cara memindahkan larutan tabung 1 ke tabung dua kemudian
dilanjutkan dengan pembuangan larutan campuran ke tabung 1. Pencampuran
larutan pada masing-masing tabung dalam sistem harus dilakukan secara cepat
dengan tujuan agar tidak terjadi perubahan suhu yang drastis pada masing-
masing tabung. Selain alasan tersebut, pencampuran juga dilakukan dari
tabung I ke tabung II dan kembali ke tabung I untuk dapat menghitung waktu
yang dibutuhkan untuk bereaksi sedangkan jika dilakukan hal sebaliknya
maka warna biru akan langsung nampak.
Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk suhu 20oC waktu yang
diperlukan untuk berubah warna untuk pertama kalinya yaitu untuk sistem
satu pada dektik ke 22 sedangkan untuk sistem dua pada detik ke 18, untuk
suhu 30oC sistem satu :17 detik, sistem dua : 15 detik, untuk suhu 40 oC sistem
satu :15 detik, sistem dua : 10 detik, untuk suhu 50 oC sistem satu :13 detik,
sistem dua : 8 detik, dan yang terakhir untuk suhu 60oC sistem satu :5 detik,
sistem dua : 5 detik. Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa seiring
naiknya suhu maka waktu yang digunakan dalam perubahan warna untuk
pertama kalinya baik pada sistem satu maupun pada sistem dua semakin
berkurang atau waktu yang perubahan warnanya semakin cepat. Hal tersebut
sesuai dengan teori. Menurut (Edahwati, 2007) perubahan warna yang terjadi
pada tabung akan semakin cepat bila reaksi berlangsung dalam temperatur
yang tinggi. Pada umumnya, penurunan suhu akan memperlambat reaksi
sedangkan kenaikan suhu akan mempercepat reaksi. Pada temperatur yang
lebih tinggi, ion-ion pereaksi akan memiliki energi kinetik yang lebih besar.
Berdasarkan teori tumbukan, energi kinetik yang lebih besar akan membuat
tumbukan antar partikel akan menjadi lebih sering, sehingga reaksi akan lebih
cepat berlangsung.
Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
Pada tabung I:
2S2O8 + 2H2O → 4SO42- + O2 + 4H+
S2O82- + 2I- → 2S2O4 + I2
Pada tabung II
Reduksi : I2 + 2e- → 2I-
Oksidasi : 2S2O3- + S4O62- + e-
Redoks I2 + 2S2O3 → S4O62- + 2I-
Perubahan suhu umumnya mempengaruhi harga tetapan laju k. Jika suhu
dinaikan maka harga k akan meningkat dan sebaliknya. Dari harga k tersebut
maka akan dapat dihitung energi aktivasi. Berdasarkan teori hubungan laju
reaski dengan energi aktivasi adalah berbanding terbalik. Semakin besar
energi aktivasi maka laju reaksi semakin lambat karena energi minimum untuk
terjadi reaksi semakin besar. Faktor yang mempengaruhi energi aktivasi (Ea)
yaitu suhu, faktor frekuensi (A), katalis. Ini membuktikan bahwa semakin
tinggi temperatur maka energi aktivasinya akan semakin kecil dan waktu yang
diperlukan semakin sedikit sehingga laju reaksi semakin meningkat (Oxtoby,
2001: 435-436). Berdasarkan data hasil percobaan dapat dibuat grafik 1/T dan
ln 1/T yang diperoleh sutau persamaan untuk sistem I y = -3995,6 +10,302
sedangkan pada sistem II diperoleh y = -3957,7x + 10,481 dan dipeoleh nilai
Ea pada sistem I = 33219,4J/mol dan sistem II= 32904,318J/mol.
Hasil yang diperoleh juga dapat dilihat bahwa pada sistem 1 waktu rata
rata yang digunakan untuk berubah warna untuk pertama kalinya lebih lama
dbandingkan dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan pada sistem 2. Dan juga
nilai energi aktivasi untuk sistem 1 lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
energi aktivasi pada sistem 2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan
air atau pada konsentrasi yang lebih rendah dapat mempercepat terjadinya
reaksi, yang artinya pada konsentrasi yang tinggi laju reaksinya akan semakin
lambat. Hal tesebut tidak sesuai dengan teori, menurut Chang (2005: 30)
bahwa semakin tinggi konsentrasi maka semakin cepat pula laju reaksinya.
Hal tersebut dikarenakan zat yang konsentrasinya lebih tinggi mengandung
jumlah partikel yang banyak maka akan semakin sering bertumbukan
sehingga kemungkinan terjadinya reaksi akan semakin besar.

I. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Dari hasil percobaan, maka dapat disimpulkan bahwa :
a. Laju reaksi berbanding lurus dengan temperature. Penurunan suhu akan
memperlambat reaksi sedangkan kenaikan suhu akan mempercepat reaksi.
Hasil yang diperoleh untuk suhu 20oC waktu yang diperlukan untuk
berubah warna untuk pertama kalinya yaitu untuk sistem satu pada dektik
ke 22, untuk sistem dua pada detik ke 18, untuk suhu 30 oC sistem satu :17
detik, sistem dua : 15 detik, untuk suhu 40 oC sistem satu :15 detik, sistem
dua : 10 detik, untuk suhu 50oC sistem satu :13 detik, sistem dua : 8 detik,
dan yang terakhir untuk suhu 60oC sistem satu :5 detik, sistem dua : 5
detik.
b. Hubungan laju reaski dengan energi aktivasi adalah berbanding terbalik.
Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksi semakin lambat karena
energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar. Data hasil percobaan
dapat dibuat grafik 1/T dan ln 1/T yang diperoleh sutau persamaan untuk
sistem I y = -3995,6 +10,302 sedangkan pada sistem II diperoleh y =
-3957,7x + 10,481 dan dipeoleh nilai energy aktivasi (Ea) pada sistem I =
33219,4 J/mol dan sistem II= 32904,318 J/mol.
2. Saran
Diharapkan untuk praktikan selanjutya agar:
a. Dapat memahami teori dan prosedur sebelum dilakukannya percobaan
b. Pada saat pencampuran optimalkan agar larutan dicampur dengan cepat
agar suhu larutan pada tabung satu dan tabung dua masih tetap sama
c. Meneliti dengan cepat terhadap perubahan warna yang terjadi
DAFTAR PUSTAKA

Andaka, Ganjar. 2011. Hidrolisis Ampas tebu Menjadi Furfural Dengan


Katalisator Asam Sulfat. Vo.4. No.2.

Atkins, Peter dan Julio de Paula. 2006. Physical Chemistry for the Life Sciences.
New York: W.H. Freeman and Company.

Chang, Raymond. 2005. Konsep-Konsep Inti Kimia Dasar Edisi ketiga jilid dua.
Jakarta: Erlangga .

Fathmawati, D., Abidin, A. Renardo P., dan Roesyadi, Achmad. 2014. Studi
Kinetika Pembentukan Karaginan dari Rumput Laut. Jurnal Teknik
Pomits. Vol. 3. No. 1. ISSN: 2337-3539.

Lasryza, Ayu, dan Sawitri, Dyah. 2012. Pemanfaatan Fly Ash Batubara sebagai
Adsorben Emisi Gas CO pada Kendaraan Bermotor. Jurnal Teknik Pomits.
Vol. 1. No. 1.

Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2003. Kimia Fisika II. Malang: JICA.

Oxtoby. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern. Jakarta: Erlangga.

Pogaku, Raindra., Jegannathan Kenthorai Raman and Gujjula Ravikumar. 2012.


Evaluation Of Activation Energy and Thermodynamic Properties Of
Enzyme-Catalysed Transesterification Reaction. Adances in Chemical
Engineering andd Science. Vol. 2. Hal. 150-154.

Tim Dosen Kimia Fisik. 2019. Penuntun Praktikum Kimia Fisik II.
Makassar:Universitas Negeri Makassar.

Anda mungkin juga menyukai