REAKSI MOLEKULER
Dalam pokok bahasan ini akan diuraikan teori tumbukan dan teori keadaan transisi yang keduanya
merupakan teori dasar yang dikembangkan untuk menjelaskan laju suatu reaksi.
1. Selama periode 1864-1879, Guldberg dan Waage menerapkan principle of mass action untuk
laju reaksi dan kesetimbangan kimia. Contoh: (reaksi pada tekanan tinggi)
kc
2NO + O2
k '
2NO2
c
Laju total pengurangan NO: rNO = rf rr , pada keadaan setimbang rNO = 0 dan
2
kc C NO
Kc 2 2 (3-2)
kc ' C NO CO2
dimana,
1
KC : konstanta kesetimbangan
kC : konstanta laju reaksi pembentukan NO2
kC : konstanta laju reaksi pembentuk NO dan O2
2. Tahun 1889, Arrhenius menyatakan bahwa molekul-molekul harus teraktifasi terlebih dahulu
sebelum bereaksi.
Active molecules
EN
ER
EA
GY
Y EA
Reactans
Products
E
2
Persamaan Vant Hoff digunakan untuk menunjukkan hubungan antara energi aktifasi dengan
konstanta laju:
d ln K c E
(pada volume konstan) (3-3)
dT RT 2
d ln k c d ln k c ' E A E '
dT
dT
2
A2 (3-6)
RT RT
3
Integrasi persamaan di atas menghasilkan:
EA
ln k c f (T )dT ln A , dimana ln A adalah konstanta integrasi (3-9)
RT
Konsep keadaan teraktivasi (activated state) ini berhubungan dengan teori tumbukan untuk reaksi
bimolekuler dan teori keadaan transisi.
4
1. Teori Tumbukan
Asumsi:
1. Tidak ada interaksi antar molekul-
molekul kecuali mereka dalam kontak.
2. Molekul-molekul tidak saling
berpenetrasi. Mereka mempertahankan
bentuk dan ukuran walaupun
dalamtumbukan dan jarak pusat-
pusatnya minimal jumlah jari-jarinya.
3. Ketika molekul-molekul bereaksi ada
penyusunan kembali (rearrangement)
elektron valensi. Beberapa energi
dikeluarkan dalam melawan energy
barrier yaitu energi yang diperlukan
untuk mengganggu elektron dari
5
susunan mulanya, sekalipun susunan
akhir dalam produk lebih stabil.
6
o : Energy barrier
k = r/NANB (3-15)
k = d2(8kBT/)1/2 exp (-Eo/RT) (3-16)
k = Z exp (-Eo/RT) (3-17)
Z = Z /NANB (3-18)
Z: faktor frekuensi tumbukan identik dengan faktor pre-eksponensial dalam persamaan Arrhenius.
Dengan menggunakan teori tumbukan dapat dihitung faktor pre-eksponensial dari Arrhenius
sebagai berikut:
Ath = (8kBT/)1/2 d2 (3-19)
Ath = 10-3 Ld2 (8kBT/)1/2 (3-20)
7
2. Teori keadaan transisi
Teori keadaan transisi (transition state theory) atau disebut juga the activated complex theory,
yang diperkenalkan oleh Wigner, Pilzer dan Eyring pada tahun 1930-an, lebih modern dibanding
teori kinetik laju reaksi. Postulat-postulat dari teori ini adalah:
1. Untuk melalui dari keadaan mula-mula (intial state) ke keadaan akhir (final state), sistem
reaksi harus melalui alur reaksi yang disebut keadaan transisi (transition state), yang
mempunyai energi potensial terbesar pada alur tersebut.(ABC).
2. Spesi kimia dalam keadaan transisi (kompleks aktif) adalah dalam kesetimbangan yang
dinamis dengan keadaan reaktan.
3. Laju reaksi adalah sama dengan perkalian konsentrasi spesi yang dalam keadaan transisi
yang terbentuk dari keadaan reaktan dan frekuensi spesi-spesi yang mampu mencapai
keadaan produk.
Energi-energi reaktan, kompleks aktif, dan produk yang berada pada keadaan yang berbeda
biasanya ditunjukkan oleh energi potensial permukaan (potensial energy surfaces) di bawah ini:
8
A + BC ABC AB + C
POT ENSIAL ENERGY
REACTION COORDINATE
9
Gambar 3.3. Energi potensial reaktan, kompleks aktif dan produk (PMJ)
10
Dari postulat ke-2:
[ X ] f K [ A][ BC ] (3-21)
[X ] f : konsentrasi spesi pada keadaan transisi yang menuju ke produk
K : tetapan kesetimbangan untuk membentuk X dari [A]+[BC]
Laju total pembentukan produk:
r k [X ] f (3-22)
k : koefisien laju orde 1 untuk dekomposisi X menjadi produk.
Jika: r = k2[A][BC] maka k2 k K
Qx o
K exp (3-23)
Q A Q BC k BT
o: perbedaan antara level energi terendah dari A dan BC dan X atau energi aktifasi
pada 0 K.
Q : partition function/unit volume (q/V)
q= q
i 0
i exp i
k BT
(3-24)
11
v
k
(3-25)
Dengan: RT ln K c G H TS (3-28)
k BT S H
Maka: k
h
exp(
R
) exp(
RT
) (3-29)
E exp RT E (3-30)
d ln K c E
, (3-31)
dT RT 2
Jika:
12
E H PV
PV n RT , n 1 (bimolekuler )
E exp H 2 RT
k BT S E exp 2 RT
k exp( ) exp( )
h R RT
Qd (2 k B T )1 / 2 / h
, h = konstanta Planck (3-32)
Q x Qd Q x (3-33)
k kK
v Qd Q x o
k ( ) exp( )
Substitusi persamaan (3-23) dan (3-25): Q A Q BC k BT
1 2 k B T
1/ 2
k T
1/ 2
Q x o
k B exp
2 h Q A Q BC k BT
1/ 2
k T
Untuk v B dan Qd ( 2k B T )1 / 2
2 h
k B T Q x o
k exp (3-34)
h Q A QBC k BT
K = koefisien transmisi: kemungkinan bahwa tidak semua keadaan transisi mencapai produk,
biasanya K1
k B T Q x
Faktor pre-eksponensial dari Arrhenius: A
h Q A QBC
(3-35)
13
3. Penentuan Koefisien Kecepatan Reaksi dengan Experimental
14
1. Energi minimum yang harus dimiliki molekul yang akan bereaksi sebelum reaksi terjadi.
2. Selisih antara energi rata-rata molekul yang bereaksi dan energi rata-rata semua molekul
reaktan.
Energi aktivasi dapat ditentukan secara experimental dengan melakukan reaksi pada beberapa
suhu yang berbeda dan menggunakan persamaan (3-38):
E1
ln k ln A
R T
(3-38)
dengan memplot (ln k) versus (1/T) akan didapatkan garis lurus dengan slope sebanding dengan
energi aktivasi.
15
3.Contoh Soal
Lihat contoh 3-1 dari SF.
4.Soal
S.3-1 Calculate the number of collisions per cubic centimeter per second between molecules A and
B for mixture containing 100 Torr of each at 300 K. The molecular diameters of A and B are 0.3 and
0.4 nm respectively and the average velocity is 5 102 m s-1 at 300 K Given that the experimental
rate coefficient for the reaction is 1.18 105 mol-1 cm3 s-1 at 300 K, and that the activation energy is
40 kJ mol-1, calculate the fraction of collisions at 300 K that occur with sufficient energy for reaction
and determine the steric factor of the reaction.
S.3-2 Given brief account of the transition state theory of chemical kinetics, highlighting its
trenghths and weaknesses.
16
17