Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

PSIKOLOGIS IBU DAN ANAK

Kelompok 5 :

Indrayani
Kristin Wulandari
Helen Metha Juniatri

POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN KENDARI


D-IV KEBIDANAN TINGKAT III
TAHUN AJARAN
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan rahmatNya kepada penulis sehingga penulis bisa
menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Shalawat beriringan salam
penulis do’akan kepada Allah SWT agar senantiasa tercurahkan buat tambatan
hati pautan cinta kasih yakninya Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam penyusunan makalah ini secara umumnya dan kepada
Dosen Pembimbing psikologis ibu dan anak secara khususnya.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Namun, penulis
tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat penulis harapkan
untuk perbaikan dan penyempurnaan pada makalah penulis berikutnya. Untuk
itu penulis ucapkan terima kasih.

Kendari, 20 maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................6
C. Tujuan............................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................8
A. Lansia............................................................................................................8
B. Pengertian Emosi........................................................................................10
C. Regulasi Emosi............................................................................................11
D. Bentuk-bentuk Emosi..................................................................................15
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Emosi..............................................16
F. Kemampuan Wanita Lansia Mengendalikan Emosi..................................17
G. Masalah Umum Pada Wanita Lansia..........................................................18
H. Emosi Sehat Wanita Lansia......................................................................20
I. Kematian........................................................................................................27

BAB III PENUTUP....................................................................................................30


A. Kesimpulan.....................................................................................................30

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebenarnya usaha untuk menyusun teori dalam psikologi kepribadian telah sejak
lama dilakukan yakni sebelum masehi, orang mencoba-coba memberikan ciri-ciri khusus
kepada sesuatu, baik itu berujud benda, pemandangan, musim, lukisan dan sebagainya,
dengan cara mencari sesuatu yang menyebabkan segala sesuatu itu mempunyai daya
tarik yang kuat. Demikianlah halnya dengan kehidupan manusia, seseorang berusaha
mencari ciri-ciri khusus, yang terdapat pada manusia yang lain. Empedocles seseorang
filsuf Yunani Kuno, yang berependapat bahwa segala yang ada didunia ini terdiri atas
empat unsur, yaitu ; tanah, air, api, dan udara, mencoba membedakan ciri-ciri khusus
bagaimana bila seseorang terlalu banyak salah satu dari keempat unsur tersebut. Bila
didalam tubuh seseorang terlalu banyak unsur tanah, misalnya maka orang itu
akanmemiliki sifat dingin, acuh tak acuh, tidak mudah terpengaruh, dsb. Sedang bila
kebanyakan unsur api, maka orang tersebut. Akan kelihatan lincah, mudah bergerak,
ribut dan seakan-akan tidak punya pendirian. Ada pula yang mencoba menghubungkan
tata bintang dalam hubungannya dengan musim, bernama astronomi, dalam
hubungannnya dengan watak orang yang dilahirkan pada musim itu (astrologi).Usaha-
usaha yang masih bersifat pra-ilmiah.

Menjadi tua adalah fase kehidupan yang pasti akan dialami oleh setiap manusia,
dan tidak dapat dihindari. Banyak kaum wanita menjadikan masa tua sebagai sebuah
momok yang sangat menakutkan. Ketakutan ini berawal dari pemikiran bahwa dirinya
akan menjadi tidak sehat, tidak bugar, tidak cantik lagi,bahkan tidak berguna. Bagi
sebagian wanita, fase kehidupan ini sangat tidak menyenangkan dan menyakitkan.
Padahal, masa lanjut usiamerupakan salah satu fase kehidupan yang akan tetap
dilaluioleh setiap wanita,sama halnya dengan fase-fase kehidupan sebelumnya, yaitu
pada masa anak-anak dan remaja, masa menikah dan bereproduksi, dan lain sebagainya.
Menurut badan kesehatan dunia,“WHO” (World Health Organization), masa
lanjut usia adalah suatu periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam
ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada
beberapa pendapat mengenai usia di masa lanjut usia ini yaitu ada yang menetapkan 60
tahun, 65 tahun dan 70 tahun.Usia tua atau sering disebut “senescence”, adalah suatu

4
periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi
tubuh, biasanya dimulai pada usia yang berbeda untuk individu yang berbeda (Papalia,
2001).
Data dari BKKBN bahwa di Indonesia sendiri saat ini masuk ke dalam negara
berstruktur penduduk tua (ageing population) karena memiliki proporsi lanjut
usia(berusia 60 tahun keatas) yang besar (> 7%). Hal tersebut dapat ditunjukkan dari data
Susenas bahwa pada tahun 2015terdapat Lansia sebanyak 21,5 juta jiwa atau sekitar
8,43% dari seluruh penduduk Indonesia. Dari data penduduk tersebut menunjukkan
populasi lansia cenderung meningkat setiap tahunnya, sehingga akan diikuti pula
meningkatnya masalah lansia. Selanjutnya, menurut data Survei Angkatan Kerja
Nasional (Sakernas) 2014, lansia masih aktif bekerja mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sebesar 47,48%, namun di sisi lain diketahui semakin bertambah tua
umurnya, maka lansia yang mengalami kemunduran fungsi organ akan semakin banyak.
Angka kesakitan lansia tahun 2014 sebesar 25,05% berarti bahwa sekitar satu dari empat
lansia pernah mengalami sakit dalam satu bulan terakhir. Hal tersebut menyebabkan
lansia rawan terhadap serangan berbagai penyakit (BKKBN, 2017 – www.bkkbn.go.id ).
Walau tidak selalu sama, ketika memasuki usia lanjut mereka dapat
mengalamibeberapa penyakit kronis yang disebabkan oleh beberapa kemungkinan yang
terjadi sebelumnya seperti, ditinggalkan pasangan, pemberhentian aktifitas atau
kerja,serta tantangan untuk mengalihkan energi dan kemampuan ke peran baru dalam
keluarga, pekerjaan dan hubungan intim (Wolman, 1982). Inilah kekuatiran-kekuatiran
yang dirasakan oleh para wanita di lanjut usianya, yangjika tidak teratasi akan
berdampak negatif bagi kesehatan emosionalnya.
Senada dengan pernyataan Wolman, dalam buku “Bunga Rampai Psikologi
Perkembangan Pribadi dari Bayi Sampai Lanjut Usia” (2001), dikemukan bahwaaspek
emosional yang terganggu seperti kecemasan dan stress berat secara tidak langsung dapat
mengganggu kesehatan fisik yang akan berakibat buruk terhadap stabilitas emosi.
Pada wanita lanjut usia, permasalahan psikologis terutama akan muncul bila
mereka tidak berhasil menemukan solusi terbaik bagi masalah yang timbul akibat proses
menua. Rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidak-ikhlasan menerima kenyataan baru
seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian
kecil dari keseluruhan perasaan/emosiyang tidak nyamandan harus dihadapi.Sedangkan
depresi, post powers syndrome danthe empty nest adalah permasalahan yang makin
memberatkan kehidupan wanita lansia.

5
Direktur dari Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan RI, dr. Eka Viora SP. KJ
mengatakan bahwa :
Pada abad ke-21 ini, tantangan khusus bidang kesehatan lansia adalah dengan
timbulnya masalah degeneratif dan “penyakit tidak menular” (PTM) seperti diabetes,
hipertensi, dan gangguan-gangguan kesehatan jiwa yaitu depresi, demensia, gangguan
cemas, sulit tidur. Penyakit-penyakit tersebut dapat menimbulkan permasalahan jika
tidak segera diatasi atau tidak dilakukan pencegahan, karenaakan menjadi penyakit yang
bersifat kronis dan multi patologis. Dengan demikian, perhatian semua negara terhadap
masalah kelanjut-usiaan ini harus terus diantisipasi, karena akan ada ketergantungan
biaya yang sangat besar. Biasanya, penyakitlansia adalah seputar gangguan penglihatan,
gangguan pendengeran, nafsu makan, dan sulit tidur.Di Indonesia, apabila permasalahan
lansia ini tidak ada aksi atau kesadaran dari semua stakeholder bukan hanya di bidang
kesehatan tapi juga termasuk layanan sosial dan sebagainya, maka akan menimbulkan
ancaman “triple burden”, yaitu jumlah kelahiran bayi yang masih tinggi, masih
dominannya penduduk muda, dan jumlah lansia yang terus meningkat.
(www.depkes.go.id, 2013)
Dengan demikian adalah sangat penting agar perubahan-perubahan dari fase
kehidupan wanitamenuju masa lanjut usiaharussegera diantisipasi dan di-edukasi sejak
dini sebagai sebuah bagian dari masa hidupnya, sehingga baik kesehatan emosi dan fisik
dapat tetap terpelihara dengan baik.
B. Rumusan masalah
1. Lansia
2. Pengertian Emosi
3. Regulasi Emosi
4. Bentuk-bentuk Emosi
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Emosi
6. Kemampuan Wanita Lansia Mengendalikan Emosi
7. Masalah Umum Pada Wanita Lansia
8. Emosi Sehat Wanita Lansia
9. Kematian
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Lansia
2. Mengetahui Pengertian Emosi
3. Mengetahui Regulasi Emosi

6
4. Mengetahui Bagaimana Bentuk-bentuk Emosi
5. Mengetahui Apa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Emosi
6. Bagaimana Kemampuan Wanita Lansia Mengendalikan Emosi
7. Mengetahui Apa Masalah Umum Pada Wanita Lansia
8. Mengetahui Bagaimana Emosi Sehat Wanita Lansia
9. Mengetahui apa itu Lansia

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lansia
1. Defininis Lansia
Menurut Hurlock (2012: 380), tahap terakhir dalam kehidupan dibagi
menjadi dua, yakni usia lanjut dini yang berusia antara enam puluh
sampai tujuh puluh tahun dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh
puluh tahun sampai akhir kehidupan seseorang. Sedangkan menurut WHO
(dalam Ardi, 2013) yang disebut lansia yaitu jika seorang individu
berumur enam puluh sampai tujuh puluh empat.
Pada teori psikologi, usia lanjut usia merupakan proses penuaan
terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan
psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental
dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri
atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri
dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat seorang lansia mampu
berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan
status sosialnya (Maryam, 2008: 47)
Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi
kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan
mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Persepsi merupakan
kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi
sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuanuntuk
menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan
muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.
Dalam teori perkembangan, ditekankan pentingnya mempelajari apa
yang telah dialami lansia pada saat muda hingga dewasa. Erickson (dalam
Maryam, 2002: 52) membagi kehidupan menjadi delapan fase, antara lain :
a. Lansia yang menerima apa adanya.
b. Lansia yang takut mati
c. Lansia yang merasakan hidup penuh arti
d. Lansia yang menyesali diri
e. Lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan

8
f. Lansia yang kehidupannya berhasil
g. Lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri
h. Lansia yang perlu menemukan integritas diri melawan keputusan
(egointegrity vs despair).
2. Karakteristik Lansia
Lansia ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu.
Ciri- ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa peyesuaian diri
yang buruk daripada yang baik dan banyak kesengsaraan daripada
kebahagiaan. Adapun karakteristik lansia menurut Hurlock (1980) :
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
b. Perbedaan individual pada efek menua
c. Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda
d. Berbagai strereotip orang lanjut usia
e. Sikap sosial terhadap usia lanjut
f. Orang lansia memiliki status kelompok minoritas
g. Menua membutuhkan perubahan arah
h. Penyesuaian yang buruk
i. Keinginan menjadi muda sangat kuat
3. Tugas Perkembangan Lansia
Dalam perkembangan masa lansia juga memiliki tugas perkembangan
yang harus dilaksanakan oleh para individu yang menginjak usia lansia.
Seperti yang diungkapkan oleh Hurlock (1980: 386) ada tujuh tugas
perkembangan selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, yaitu:
a. Penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis
b. Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan
c. Menemukan makna kehidupan
d. Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
e. Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga
f. Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia
g. Menerima dirinya sebagai seorang lansia.
Menurut Erikson (dalam Maryam, 2008: 40) kesiapan lansia untuk
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi
oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila tahap tumbuh
kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan

9
baik dan bisa membina hubungan yang serasi dengan orang-orang
sekitarnya, pada otomatis di usia lanjut ia akan tetap melakukan
kegiatan yang biasa ia lakukan ketika tahap perkembangan sebelumnya,
seperti olahraga, mengembangkan hobi, bercocok tanam dan lain-lain.
Tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukakn penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara
santai
f. Mempersiapkan diri untu kematiannya dan kematian pasangannya.
Dalam mempelajari psikologi perkembangan kita juga akan memahami
perubahan emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupannya. Itulah
mengapa pentingnya mempelajari psikologi perkembangan. Pokok-pokok
dalam teori perkembangan adalah sebagai berikut :
a. Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa kehidupannya.
b. Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial
yang baru, yaitu pensiun dan/atau menduda/menjanda.
c. Lansia harus menyesuaikan diri sebagai akibat perannya yang berakhir
di dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya
akibatpensiun, serta ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-
temannya.
4. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia
Pada masa lansia banyak sekali perubahan-perubahan yang
terjadi. Menurut Papalia & Old (2001, dalam Mandasari 2007)
perubahan- perubahan yang terjadi pada masa lansia antara lain adalah
perubahan fisik (penglihatan, pendengaran, dan penciuman), perubahan
psikologi, dan perubahan emosional.

B. Pengertian Emosi
Emosi dalam amus Oxford adalah luapan perasaan yang berkembang dan
surut dalam waktu singkat (Joyce M Hawkins, 2000).Sedangkan Daniel
Goleman seorang pakar kecerdasan emosional memaknai emosi dengan

10
kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu setiap keadaan mental
yang hebat dan meluap-luap (Daniel Goleman, 1996).Dan pada kesempatan
yang lain, Daniel Goleman dan Roger F menyebutkan emosi adalah sebuah
respon dari kondisi yang dialami individu yang dikuti dengan perubahan
pikiran dari kondisi tersebut, perubahan psikis dan keinginan untuk
melakukan sesuatu yang didapat dari kondisi tersebut (H.M Arifin,
1976).29
Pengertian lain menyebutkan emosi adalah suatu konsep yang sangat
majemuk sehingga tidak dapat satu pun definisi yang diterima secara
universal. Emosi sebagai reaksi penilaian (positif atau negatif) yang
kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau
dari dalam diri sendiri (Sarlito W. Sarwono, 2010).30 Dalam arti
sederhananya, emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan
ataufeeling, misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau
ketidak-nikmatan, marah, takut bahagia, sedih dan jijik (Abu Ahmadi,
2002).31 Kemudian secara lebih luas, J. Bruono mendefinisikan emosi ke
dalam dua sudut pandang yaitu : a) secara fisiologi, emosi adalah proses
jasmani karena perasaan meluap danb)secara psikologis, emosi merupakan
reaksi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan (Al-Atapung, 2000).32
Emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu dan
cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah atau
menyingkirkan terhadap situasi tersebut. Serupa dengan yang dikatakan
oleh William Kames dalam Wegde, bahwaemosi adalah kecenderungan untuk
memiliki perasaan yang khas bila seseorang berhadapan dengan objek
tertentu dalam lingkungannya (Carole Wade&Carol Tavris, 90).33 Dan pakar
lainnya menyebutkan bahwa guratan ekspresi yang terlihat pada raut wajah
seseorang adalah bagian dari emosi (Triantoro Safaria, Nofrans Eka
Saputra, 2009).35
Dari definisi-definisi tersebut diatas, jelas bahwa emosi tidak
selalu negatif.Emosi adalah bagaikan bumbu kepada kehidupan, tanpa emosi
hidup ini terasa kering dan gersang.Namun dalam menjalani kehidupan,
para lansia perlu memperhatikan hal pengendalian emosi, baik yang
positif maupun negatif. Dari pemaparan di atas, emosi tidak selalu
berbentukkepada sesuatu yangburuk, bahkanemosi juga dapat berdampak

11
positif bagi para wanita lansia, yaitu sepertimenghilangkan stress
dengan meluapkannya pada kegiatan yang positif; berusaha menjadi orang
yang selalu berfikir positif; dan kenali diri sendiri agar terhindar
dari emosi yang berlebihan yang berdampak buruk bagi diri sendiri dan
orang lain.

C. Regulasi Emosi
1. Pengertian Emosi
Emosi dalam segi etimologi berasal dari kata “e-movere” yang
artinya adalah menggerakkan, bergerak. Kemudian ditambah dengan awalan
“e” untuk memberikan arti “bergerak menjauh”, mislanya emosi sedih
mendorong perubahan suasana hati untuk melakukan sesuatu yaitu menangis
(Goleman dalam Salamah, 2009).
Menurut Chaplin (dalam Safaria, 2009) mendefinisikan emosi
sebagai suatu keadaan yang timbul dari individu dan menimbulkan suatu
perubahan yang disadari. Emosi bisa bersifat mendalam dan dimana hal
tersebut bisa menyebabkan perubahan perilaku individu.
Kemudian Lazarus (dalam darwis 2006) mengemukakan pendapatnya
tentang emosi. Menurutnya emosi adalah bentuk yang kompleks dari suatu
organisme, yang melibatkan perubahan fisik, misalkan dalam bernafas
semakin cepat, nadi berdenyut semakin cepatdari biasanya, produksi
kelenjar, sedangkan dari sudut mental adalah suatu keadaan senang atau
cemas yang ditandai adanya perasaan yang kuat dan diwujudkan dalam
tingak laku individu. Jika emosi tesebut sangat kuat bisa menyebabkan
terjadinya gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat disosiasi dan
kecenderungan terhadap tindakan yang tidak baik.
Emosi menurut Darwin (2006: 18) adalah suatu gejala psiko-
fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap dan tingkah laku,
serta diungkapkan dalam bentuk ekspresi tertentu. Emosi dirasakan
secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik.
Ketika emosi meledak-ledak secara psikis hal itu memberi kepuasan,
namun secara fisik membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki
terasa ringan juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Akan
tetapi, hal tersebut tidak terjadi pada semua orang dan disemua

12
kesempatan. Terkadang orang bahagia tetapi malah meneteskan air mata,
atau kesedihan yang sama tidak membuat kepedihan yang serupa.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa emosi
adalah suatu perasaan yang dapat menimbulkan perubahan yang disadari
mengikuti keadaan psikologis dan mental serta diekspresikan dalam
bentuk perilaku yang tampak.

2. Macam-macam Emosi
Beberapa tokoh telah mengemukakan pendapat mengenai macam- macam
emosi antara lain seperi yang telah diungkapkan oleh Sarlito,
Descartes, Goleman dan Lazarus. Sarlito (1986: 51) mengungkapkan ada
beberapa macam emosi, antara lain: gembira, bahagia, terkejut, jemu,
benci, was-was, dan lain-lain. Menurut Descartes (dalam Salamah), ada
enam emosi dasar yang dimiliki tiap individu, antara lain cinta (love),
kebahagiaan (enjoy), heran atau ingin tahu (wonder), benci (hate),
keinginan atau hasrat (desire) dan kesedihan (sadness).
Selain itu, menurut Goleman (2002, dalam Yuliani) mengemukakan
pendapat tentang beberapa macam emosi yang dimiliki oleh individu.
Macam-macam emosi tersebut yaitu marah, jijik, malu, rasa bersalah,
sedih dan takut.
Sedangkan menurut lazarus (dalam Salamah) tidak jauh berbeda
dengan Goleman. Lazarus mengungkapkan bahwa macam-macam emosi- emosi
yang terdapat dalam diri seseorang yaitu: anger (marah), anxiety
(cemas), Fright (takut), jealously (cemburu), disgust (jijik), shame
(malu), sadness (sedih), envy (iri hati), happiness (senang), pride
(bangga), relief (lega), hope (harapan), love (cinta), dan compassion
(rasa kasihan).
3. Pengertian Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan dalam menstrategikan bagaimana
menyesuaikan intensitas atau durasi dari reaksi emosional ke tahap
yang lebih menyenangkan untuk mencapai tujuan (Berk, 2004).
Menurut Gross (2001) beliau mendefinisikan bahwa regulasi emosi
merupakan upaya individu untuk membuat mengontrol emosi yang mereka
miliki ketika dalam keadaan yang sulit sekalipun. Selain itu,

13
regulasi emosi juga mencakup semua strategi sadar maupun tidak sadar
yang digunakan oleh individu untuk meningkatan, mempertahankan atau
mengurangi suatu keadaan yang diterima oleh respon emosional
individu.
Gross dan Thomson (2007) juga mengemukakan pendapatnya mengenai
regulasi emosi yaitu sekumpulan berbagai proses tempat emosi diatur.
Proses regulasi emosi ini bisa dilakukan secara otomatis maupun
secara kontrol oleh individu itu sendiri, dan bahkan disadari ataupun
tidak disadari, juga dapat memiliki efek yang dapat membangkitkan
suatu emosi. Dalam regulasi emosi melibatkan perubahan dalam dinamika
emosi, ataupun waktu munculnya, besar lamanya dan mengimbangi respon
perilaku, pengalaman maupun psikologis dan juga dapat mengurangi,
memperkuat ataupun memelihara emosi tergantung dari tujuan
individu itu sendiri. Hal tersebut hampir sama dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Greenberg & Stone (dalam Mawardah, 2014). Menurut
mereka regulasi emosi adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh
individu dalammmengekspresikan emosi baik lisan maupun tulisan dimana
hal tersebut bisa membantu peningkatan kesejahteraan individu
tersebut dan juga membantu fungsi fisik pada seseorang ketika
menghadapi situasi bersifat traumatik dalam kehidupannya yang bisa
memicu terjadinya distress psikologis.Dari beberapa definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi merupakan kemampuan individu
untuk tetap menjaga ketenangan emosi dalam suatu kondisi apapun
meskipun dibawah suatu tekanan, yang meliputi semua kesadaran dan
ketidaksadaran.
4. Proses Regulasi Emosi
Menurut Gross (2007) ada lima tahap dalam proses regulasi emosi,
yaitu :
a. Situation selection (seleksi situasi), maksudnya adalah ketika
individu merubah aksinya dengan tujuan mendapatkan situasi yang
diinginkan dan juga bisa meminimalisir atau memaksimalkan emosi
yang dirasakannya.
b. Situation modification (modifikasi situasi), merupakan
pemodifikasian situasi terhadap penyebab stimulus munculnya

14
emosi. Seperti merubah suasana tegang yang merupakan emosi
negatif menajdi suasana yang nyaman.
c. Attentional Deployment (Fokus/menjaga perhatian), upaya
mengalihkan perhatian individu dari situasi yang kurang
menyenangkan yang bertujuan untuk mempengaruhi emosi.
d. Cognitive change (merubah kognitif), merupakan suatu bentuk
regulasi emosi dengan merubah pemahaman individu terhadap suatu
stimulus yang membuatnya merasa emosi.
e. Respon modulation (modulasi respon), dimana regulasi emosi ini
dilakukan ketika emosi sudah muncul dan dapat mempengaruhi
kognitif serta fisik dari suatu individu itu sendiri.
5. Strategi Regulasi Emosi
Menurut Garnefski (dalam Jektaji, dkk, 2015) terdapat
beberapa strategi dalam melakukan regulasi emosi, diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Self blame, adalah menyalahkan diri sendiri, maksudnya disini
lebihmengacu pada pola pikir yang menyalahkan dirinya sendiri.
b. Acceptance, mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah
ataskejadian yang menimpa dirinya
c. Ruminative thinking, individu cenderung selalu memikirkan
perasaanyang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi.
Nolen menyatakan Ruminative cenderung berasosiasi dengan
tingkat depresi yang tinggi.
d. Positive refocusing, kecenderungan individu lebih memikirkan
hal-hal yang menyenangkan dan menggembirakan daripada
memikirkan situasi yang terjadi. Berfokus pada hal-hal yang
positif
e. Refocusing on planning, adalah pemikiran terhadap langkah apa
yang akan diambil dalam menghadapi peristiwa negatif yang
dialami.
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Regulasi Emosi
Menurut Salovey dan Skufter 1997 (dalam Istiqomah, 2014)
terdapat beberapa hal yang mempengaruhi strategi regulasi emosi,
antara lain adalah :

15
a. Usia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seiring berjalannya
usia,makan semakin dewasa individu semakin adaptif strategi
regulasiemosi yang digunakan (Gross, Richard & John, 2004)
b. Jenis kelamin. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Karista,
menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan
strategi regulasi emosi yang digunakan. Dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa laki-laki dewasa muda lebih banyak
menyalahkan diri sendiri saat meregulasi emosinya, sedangkan
perempuan dewasa muda lebih sering menyalahkan orang lain.
c. Poal asuh. Pola asuh dalam keluaraga mensosialisasikan perasaan
dan pikiran mengenai emosi secara positif akan berdampak
positif pula bagi keluarga itu sendiri.
d. Hubungan interpersonal, hal ini dapat mempengaruhi regulasi
emosi. Apabila emosi individu meningkat maka timbul keinginan
yang kuat untuk mencapai suatu tujuan dengan berinteraksi
melalui lingkungan dan individu lainnya
e. Pengetahuan mengenai emosi. Pengetahuan tersebut sangat penting
dilakukan sejak dini ,agar di masa mendatang individu sudah
memiliki pengetahuan tentang emosi diri sendiri maupun orang
lain, sehingga dapat membantu mereka untuk melakukan regulasi
emosi secara lebih adaptif.
f. Perbedaan individual. Dipengaruhi juga oleh tujuan, frekuensi,
dan kemampuan individu.

D. Bentuk-bentuk Emosi
Bentuk–Bentuk emosi menurut Daniel Goleman dalam bukunya
“Emotional Intellengence” mengelompokkan emosi dalam beberapa golongan
yaitu: amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut,
jengkel dan juga malu. Emosi ini bisa muncul sebagai emosi positif
yaitu: senang, bahagia, cinta, waspada, ingin tahu; dan juga emosi
negative, yaitu: sedih, takut, marah, benci, dengki, cemas (Daniel
Coleman, 1996).36
Sedangkan menurut M. Darwis Hude,bentuk-bentukemosidapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut:37

16
1. Emosi Positif
Emosi positif adalah emosi yang menyenangkan dan diinginkan
oleh setiap orang.Emosi positif yang kerap dialami oleh manusia.Yang
termasuk didalam emosi positif yaitu: cinta,gembira, bahagia dan
perasaan senang yang berkelebihan dan tidak beralasan
2. Emosi Negatif
Emosi negatif sejatinya tak pernah dikendalikan oleh manusia,
sehingga selalu diusahakan untuk dihindari, kendati tak mudah
diwujudkan. Emosi negatif yang kerap menghantui manusia, antara lain:
 Kecemasan
Pada dasarnya, kecemasan selalu membawa akibat yang tidak
baik bagi kesehatan mental seseorang. Orangyang selalu dihinggapi
kecemasan dipastikan akan terus-menerus tertekan dan jatuh dari
ketenangan.
 Fobia
Fobia sebenarnya merupakan ketakutan aneh yang masih
disadari oleh pengidapnya, namun tidakmampudijelaskan atau
diatasinya.
 Marah dan Benci
Emosi marah adalah emosi yang paling sering muncul dalam
kehidupan sehari-hari karena masyarakat umumnya mengidentikkan
istilah emosi dengan marah.Emosi lain yang berdekatan dengan
marah adalah benci, kedua emosi ini dapat muncul beriringan,
atau bersifat kasual. Kebencian bias disulut oleh kemarahan
atau sebaliknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa beberapa dari
bentuk-bentuk emosi adalah emosi positif dan emosinegatif (M.
Darwis Hude, Majalah Siantar, 2016).

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Emosi


Emosi pada setiap individu termasuk keapda para lansia, dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan tempat Lansia
berada termasuk lingkungankeluarga, panti dan masyarakat,
17
keharmonisan keluarga, kenyamanan disekitar tempat tinggal dan
kondisi masyarakat yang kondusif akan sangat mempengaruhi
perkembangan emosi.
2. Faktor Pengalaman
Pengalaman yang dialami oleh Lansia selama hidupnya akan
mempengaruhi emosinya. Pengalaman selama hidupnya dalam berinteraksi
dengan orang lain dan lingkungan akan menjadi referensi bagi Lansia
dalam menampilkan emosinya.
3. Faktor Peran Sosial
Lansia wanitacenderung memiliki emosionalitas yang lebih tinggi
daripada lansia pria karena lansia wanita memiliki kondisi emosi yang
didasarkan pada peransosial yang diberikan oleh masyarakat
sepertiharusmengontrol perilaku agresif dan asertifnyaHal ini
menyebabkantimbulnya kecemasan dalam dirinya.Secara otomatisperbedaan
emosional antara pria dan wanita berbeda (Hasanat M, 1994).39Eliot M.
Benner dan Peter Saloveymengatakan bahwa lansia wanita lebih sering
berusaha mencari dukungan sosial untuk menghadapistresssedangkan
lansia prialebih memilih melakukan aktifitas fisik untuk
mengurangistress (Eliot M. Benner dan Peter Salovey, 1997).

F. Kemampuan Wanita Lansia Mengendalikan Emosi


Elizabet B Hurlock mengatakan bahwadalam pengendalian emosi sangat
erat kaitannya dengan kondisi emosional seseorang. Seorang lansia yang
pandai dalam mengelola emosi, dapat mengendalikan diri dengan baik,
mereka akan mampu mengekspresikanemosi yang dimilikinya secara baik,
tepat dan benar. Berbeda dengan lansia yang tidak dapat mengendalikan
emosi, mereka akancenderung mengekspresikan perasaan secara berlebihan
(Elizabet B Hurlock, 376).
Jadi pernyataan di atas, maka maksud dari pengendalian emosi
adalah menahan, mengontrol luapan perasaan baik senang maupun sedih yang
muncul dalam waktu yang singkat.Oleh sebab itu, wanita lansia dinilai
sangat penting untuk dapat menjaga dan mengendalikan emosinya guna
memperoleh kebahagian dimasa tuanya.

18
Masalah yang biasa dihadapi wanita Lansia adalah ketidak-mampuan
untuk mengendalikan emosinya. Misalnya:1.) ketika apa yang diinginkan
tidaksesuai dengan kemauannya seperti, kekecewaan terhadap keluarga
karena dianggap tidak mampu lagi mengelola hartanya karena keterbatasan
fisik dan psikis sehinggaseluruh hartanya sekarang dikendalikan anak dan
menantunya, 2.)emosi meningkat karena keinginan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari namunkondisi fisik sudah tidak mampu, 3.) terlalu
mengkuatirkan bahkan hingga stress melihat kesehatannya yang labil,4.)
dikarenakan kemampuan alat indranya yang menurun sehingga tidak
mampuberfungsi dengan baik dan menimbulkan emosi bagi dirinya sendiri
dan juga dengan orang-orang terdekatnya.
Menurut hasil penelitian dari Direktorat Bina Ketahanan Keluarga
Lansia dan Badan kependuduan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Jakarta
tahun 2012 mengenai pembinaan mental emosional bagi Lansia menyatakan
bahwa pada umumnya perasaan para lansia tetap berfungsi dengan baik
danjika ada yang mengalami penurunan sering kali pada aspek biologisnya
sebagai akibat dari penurunan fungsi organ tubuh (BKKBN, 2012).
Sedangkan faktor psikologisnyapun sangat berperan dalam kehidupan
perkembangan wanita lansia.Para lansia terutama pada kaum wanita,
seringkali menunjukkan emosi yang kurang stabil dan hal ini dapat
ditangkap sebagai tanda bahwa terdapat masalah dalam pengendalian
emosinya sehingga perlu dikonsultasikan.
Holloway B.W menjelaskan bahwa pengendalian emosi khususnya emosi
marah adalah suatu tindakan untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu
amarah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara
sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk atau merugikan diri
sendiri dan orang lain (Holloway, B.W, 2003).Sebagai contoh, meluapkan
amarah merupakan hal wajar, namun terkadangamarah yang terlalu meluap
menjadi tak terkendali.
Menurut penelitian yang telah dimuat dalam Journal of Experimental
Social Psychology,perasaan marah sebenarnya dikarenakan adanya pikiran
negatif terhadap, suatu hal dan pikiran itu terus berkelanjutan sehingga
tidak bisa dikontrol lagi.Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Dominik
Mischkowski, yaitu seorang mahasiswa psikologi sosial setingkat Doktor

19
di Ohio State University,menunjukkan bahwadengan mengambil langkah untuk
menjaga jarak dengan seseorang yang memicu kemarahan akan membantu
wanita lansia untuk dapat meredakan emosinya yang meluap seperti,
kemarahan atau kesedihan yang sedang dirasakan (Novi Ariani, 2016).

G. Masalah Umum Pada Wanita Lansia


Mari kita pelajari lebih dalam beberapa masalah umum yang
seringkali dihadapi oleh wanita lansia. Menurut Hurlock, ia menjelaskan
beberapa kondisiunik bagi orang usia lanjut termasuk kepada para wanita
lansia(Hurlock,1980), antara lain adalah:
a. Keadaan fisik lemah dan tak berdaya, sehingga harus tergantung pada
orang lain.
Ketika memasuki usia lanjut dan tidak lagi produktif, maka para
wanita akan cenderung terlihat lebih lemah fisiknya.Jika biasanya
bernampilan rapi, energik dan lincah dalam melakukan segala sesuatu,
namun keadaaan ini dapat berubah sebaliknya di akhir masa baktinya.
Sebagai contoh: Seorang wanita karir yang telah memasuki pensiunnya,
harus sebijak mungkin menggunakan hari-hari dalam masa pensiunnya
tersebut, sebab bila tidak, maka ia dapat memiliki gangguan kesehatan
emosional dan fisik yang serius sehingga harus bergantung pada
keluarganya.
b. Status ekonominya sangat terancam sehingga cukup beralasan untuk
melakukan berbagai perubahan besar pada pola hidupnya.
Dalam usianya yang sudah tidak produktif, otomatis perekonomian
wanita lansia tidak lagi stabil. Adalah sebuah tindakan yang bijak
apabila ada keputusan-keputusan untuk meminimalisir masalah yang
dapat timbul seputar harta-benda yang dimiliki, gaya atau pola hidup.
c. Menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahan status ekonomi
dan kondisi fisik.
Wanita lansia yang bijak akan membuat perencanaan yang matang
untuk hari tuanya. Dari jauh hari ia sudah merencanakan apa yang akan
dilakukannya di masa lanjut usianya, dengan sisa aset yang
dimilikinya sehingga ia tidak akan bergantung kepada orang lain,
meskipun kepada anak-anak atau cucunya sendiri.

20
Beberapa wanita lansia memilih untuk menjual rumah besarnya,
dan sebagian uang hasil penjualan rumahnya itu ia bayarkan kepada
panti jompo yang akan menampungnya (karena ia tidak ingin bergantung
pada anak-anaknya untuk mengurusi dirinya), sebagian ia bagi-bagikan
kepada anak-anaknya, dan sisanya ia sumbangkan kepada gereja.
d. Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah
meninggal atau pergi jauh atau cacat.
Meskipun ia telah kehilangan pasangan dan partner hidupmya,
wanita lansia yang bijak akan tetap berusaha memelihara kehidupan
sosial di masa lanjut usianya.Para wanita lansia dapat bergabung
dengan komunitas-komunitas lansia untuk mengisi kekosongan posisi
pasangan hidupnya terdahulu. Hal ini sangat positif sehingga mereka
tidak akan merasa kesepian dan rendah diri.
e. Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang yang semakin
bertambahSejumlah wanita lansia mengisi hari-hari masa tuanya dengan
hal-hal yang menyenangkan dan menyehatkan.Ada yang bergabung dalam
komunitas senam lansia, kelompok pecinta seni atau kuliner, menjadi
pengajar di komunitas-komunitas sosial, kemanusiaan dan keagamaan,
dll.
f. Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar sebagai orang
dewasa Dapat mendidik dan memperlakukan anak sebagai manusia yang
dewasa adalah salah satu target pencapaian bagi para wanita lansia,
dimana hal ini akan memudahkannya masa tuanya. Ibu adalah pendidik
anak yang tak kenal kata pensiun. Wanita lansia hendaknya tetap
memberi pembelajaran-pembelajaran hidup kepada anak-anaknya sampai
mereka mecapai kedewasaan yang matang, bukan dari segi usia saja,
namun dewasa secara psikis dan spiritual.
g. Mulai terlibat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus
direncanakan untuk orang dewasaKetika masih dalam masa paruh baya,
seringkali wanita lansia tidak memiliki cukup waktu untuk terlibat
dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan sosialnya.Tetapi ketika
telah memasuki masa tidak produktif lagi, adalah sangat positif bila
wanita lansia dapat bergabung dengan komunitas-komunitas
kemasyarakatan, sebagai salah satu sumbangsih yang dapat disalurkan

21
melalui pemikiran-pemikiran, pengalaman kerja dan pengalaman hidup,
dll.
h. Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk orang
yang berusia lanjut dan memiliki kemauan untukmengganti kegiatan lama
yang berat dengan kegiatan yang lebih cocok.Ketika semua hal yang
positif telah dilakukan dalam mengisi fase hidupnya yang baru, para
wanita lansia lama-kelamaan akan mulai dapat menikmati dan mensyukuri
hari-harinya yang baru. Dalam tahap inilah wanita lansia mulai dapat
mengendalikan dan mengontrol emosinya dengan sehat.

H. Emosi Sehat Wanita Lansia


Sehat secara emosional meliputi keadasn seseorang secara umum dan
secara psikologis.Termasuk di dalamnya bagaimana perasaan kita terhadap
diri sendiri, seberapa besar kualitas hubungan kita dengan lingkungan
dan kemampuan kita untuk mengendalikan perasaan serta bagaimana sikapnya
dalam menghadapi permsalahan hidup.Seorang lansia yang sehat secara
emosional bukan sekedar bebas dari masalah kesehatan mental, namun lebih
dari itu seorang yang sehat emosinya adalah seseorang yang bebas dari
depresi, rasa kuatir dan rasa tidak aman. Berikut ini Dr. Nannerl
Hoetarjo, dr.SpM dari Malang, menyebutkan ciri-ciri lansia yang sehat
secara emosional, yaitu ;
a. Merasa nyaman
b. Mempunyai kehidupan yang riang, suka tersenyum
c. Mempunyai kemampuan untuk mengendalikan stress
d. Mempunyai tujuan yang jelas, baik dalam aktifitas keseharian
maupun dalam hubungan dengan sesama
e. Suka belajar sesuatu yang baru dan mudah beradaptasi terhadap
perubahan
f. Seimbang dalam berisitirahat dan beraktifitas
g. Mampu membangun dan mempertahankan hubungan dengan orang lain
h. Mempunyai rasa percaya diri yang besar
(htttps://nannerl43.wordpress.com)
Ciri-ciri emosi yang sehat diatas akan memampukan para wanita lansia
untuk dapat berpartisipasi secara optimal dalam kehidupannya pribadi

22
dan dengan orang lain, serta memberi dorongan yang kuat untuk dapat
bertahan dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya.
Seorang wanita lansia yang sehat secara emosional tidak berarti
bahwa ia tidak akan lagi mengalami masalah-masalah yang sulit dalam
kehidupannya, namun jika ia berusaha menjaga kesehatan emosionalnya, ia
akan mampu mengendalikan diri dan emosinya saat berhadapan dengan si
pemicu masalah, sehingga ia akan terlihat lebih santai, tetap focus dan
tetap positif.
Bagaimana supaya para wanita lansia dapat menjaga kesehatan
emosinya?Seorang ahli menyebutkan cara-cara agar wanita lansia dapat
tetap sehat secara emosional, yaitu :
a. Mengoptimalkan ke-lima Pancaindera
Wanita lansia dapat mencoba mendengarkan lagu-lagu yang lembut
sambil beristirahat (relaksasi), meletakkan bunga yang indah
dan harum dalam ruangan-ruangan dirumahnya, meminum sesuatu
yang menghangatkan tubuh, memijat tangan dan kaki sendiri, dan
menyalakan minyak aromaterapi
b. Menyibukkan Diri Dengan Pekerjaan Yang Kreatif
Wanita lansia disarankan untuk membuat kesibukan sebagai
aktifitasnya sehari-hari, baik di dalam rumah atau di luar
rumah, seperti: melukis, berkebun, belajar alat musik atau
teknik vocal, menyulam, bergabung dalam komunitas dansa, dll
c. Memelihara Hewan Piaraan
Adalah sangat baik bagi para wanita lansia untuk memelihara
hewan piaraan di rumahnya agar ia merasa memiliki teman hidup
yang dapat menemaninya setiap saat dan tidak kesepian
d. Mengucap Syukur Senantiasa Atas kehidupan
Hendaknya para wanita lansia dapat menyisihkan waktunya untuk
merasakan syukur dan nikmat yang dikaruniakan Tuhan dalam
hidup. Dengan banyak beribadah dan berdoa, akan membuatnya
merasa dekat dengan Tuhan sehingga kedamaian akan memampukannya
mengucap syukur atas kehidupan yang dimilikinya.
Don Cobert, M.D. juga menyebutkan beberapa cara agar wanita lansia
dapat tetap menjaga kesehatan emosinya, yaitu :

23
a. Hidup Sehat
Setiap wanita lansia dianjurkan secara rutin memeriksakan diri
untuk menjaga kesehatannya, baik kesehatan emosi dan fisik.
Berilah asupan yang cukup dan menyehatkan untuk semua organ
tubuh serta bebaskan diri dari emosional yang negatif, yang
dapat menyebabkan sakit fisik. Hal ini dikuatkan oleh hipotesis
Dr. John Sarno yang menjelaskan keterkaitan antara penyakit
emosi dan fisik. Ia menyimpulkan bahwa sakit punggung karena
kejang dan penyakit punggung kronis seringkali merupakan akibat
dari ketegangan, stres, frustasi, kecemasan, kemarahan
terpendam dan kekuatiran kronis. Ia berteori bahwa ketegangan
mempengaruhi sirkulasi darah ke otot-otot punggung. Para
penderita penyakit punggung, cenderung mengalami:
 Sakit kepala akibat tegang
 Sakit kepala akibat migrain
 Eksema
 Colitis (Radang usus besar)
 Ulcers (Tukak lambung
 Asma
 Demam hay
 Sering buang air kecil
 Sembelit. Ketegangan menyebabkan pembuluh-pembuluh darah
yang menyuplai otot-otot dan urat-urat saraf punggung
mengerut, sehingga mengurangi suplai darah dan oksigen ke
jaringan-jaringan yang mengakibatkan kejang yang
menyakitkan, kekakuan otot, kesemutan dan merosotnya
kekuatan otot-otot seputar pundak, leher, lengan, kaki dan
pantat, dan lebih parahnya dapat menyebabkan peradangan
jaringan disebabkan oleh kerusakan di daerah yang terkena
peradangan (fibromylgia, fibrositis, muofascitis, luka
akibat stresberulang, dll) yang disebut oleh Dr. Sarno
sebagai penyakit “Tension Myositis Syndrome” atau TMS (J.
Sarno, 1998).

24
b. Mengganti pemikiran yang rusak dengan kebenaran
Literatur psikologis dan psikiatris kadang-kadang menyebut
pemikiran yang rusak dengan sebutan “pembalikan psikologis”.
Ini merupakan suatu kondisi dimana pasien ingin sembuh namun
dalam alam bawah sadarnya ia mengatakan tidak ingin sembuh,
sehingga mengeluarkan reaksi menolak pengobatan dengan berbagai
cara. Hal ini banyak dialami oleh pasien lansia ketika mengalami
penyakit yang kronis, dimana mereka menganggap kemungkinan untuk
sembuh sangat tipis sehingga menolak pengobatan. Contoh lain
pemikiran yang rusak adalah adanya kepercayaan-kepercayaan salah
tentang kehidupan. Dr. James Durlacher menjelaskan, ketika
seseorang mengalami stress, depresi, marah, cemas atau merasa
bersalah, maka ia akan cenderung menafsirkan pemikiran-pemikiran
yang salah, seperti: “tak ada yang benar dengan diriku”, “aku
tak adapat melakukan sesuatu yang benar”, “segala sesuatu yang
kusentuh pasti gagal”, dll. Beberapa psikolog dan psikiater
menerapkan terapi kognitif untuk mengatasi hal ini, dimana pasien
belajar untuk mengubah cara berpikir dan cara menafsirkan
peristiwa-peristiwa dengan positif dan sebagian besar dari terapi
itu melibatkan perubahan cara seseorang dalam berbicara,
misalnya, “aku mungkin melakukan kesalahan kali ini, tetapi aku
dapat melakukan banyak hal lainnya dengan lebih baik” atau,
“Aku telah gagal dalam hal ini, tetapi secara keseluruhan aku
telah menikmati keberhasilan-keberhasilan lainnya dalam hidupku”
(James V. Durlacher, 1994).
c. Karena itu secara spiritual, Don Colbert menyarankan agar kita
mengakui kepada Allah segala kekurangan dan pemikiran-pemikiran
yang merusak itu, agar Allah segera memulihkan dan membebaskan
kita. Satu hal yang ampuh adalah, bacalah ayat-ayat Alkitab yang
sangat berkuasa untuk mentransformasi pemikiran-pemikiran yang
rusak itu (Mazmur 103:2-4, Amsal 3:5-6, Filipi 4:9,13-14, 2
Korintus 2:14, 1 Petrus 4:12-13)
d. Membersihkan diri dengan pengampunan

25
Orang-orang yang mau mengampuni, adalah orang-orang yang
memutuskan untuk mengakhiri kebencian dan keinginan untuk
menghukum serta rela melepaskan semua klaim untuk menjatuhkan
hukuman atas suatu pelanggaran (Matius 18:21-22). Pengampunan akan
memampukan seseorang untuk melepaskan kemarahan, kebencian,
kepahitan, malu, kesedihan, penyesalan, rasa bersalah, dan emosi-
emosi negatif lainnya yang meracuni tubuh dan jiwanya. Sebuah
proyek ilmiah yang diadakan di University of Wisconsin, yang
diberi nama “Penelitian Pengampunan” menunjukkan bahwa belajar
untuk mengampuni dapat menolong dan menhindari seseorang dari
penyakit jantung pada para lansia. Insiden penyakit jantung lebih
tinggi dalam diri orang-orang yang tak mampu mengampuni (W.Tiller,
r. McCrary, M.Atkinson, 1986).
e. Memang mengampuni membutuhkan waktu dan proses, namun Don Colbert
sekali lagi memberi langkah-langkah agar kita mampu mengampuni
satu sama lain, yaitu: 1) akuilah bahwa kita terluka, 2)
Terimalah pengampunan dari Allah, 3) Dengan terbuka, serahkan
orang-orang yang menyakiti anda ke dalam tangan Tuhan, 4)
Mintalah Tuhan untuk memberi kekuatan untuk dapat mengampuni, 5)
Ucapkanlah kata-kata pengampunan. Adapun peristiwa-peristiwa di
Alkitab yang menjelaskan tentang hal pengampunan ada dalam kisah
Yusuf (Kejadian 37-45), perumpamaan anak yang hilang (Lukas
15:11-32) dan perumpamaan tentang seorang hamba yang berutang
banyak (Matius 18:23-35). Pengampunan akan menghalangi emosi-
emosi yang meracuni dan mematikan.
f. Terapi sukacita
Sukacita adalah emosi pribadi yang sangat dalam. Manifestasi
eksternal dari sukacita adalah mudah tersenyum serta memiliki
kemampuan untuk tertawa lepas. Alkitab berkata, “Hati yang
gembira adalah obat yang manjur” (Amsal 17:22). Dr. Lee Berk
dari Loma Linda University Medical Center menuliskan manfaat
tertawa bagi kesehatan dan kesembuhan. Ia menyipulkan bahwa
tertawa dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi
hormon-hormon stress yang berbahaya dalam tubuh. Tertawa juga

26
berguna untuk menurunkan tekanan darah. Pada tahun 2000, suatu
tim peneliti di Universitas Maryland melaporkan bahwa orang-orang
yang menggunakan humor dalam pola bicaranya kemungkinan terkena
serangan jantung lebih kecil daripada mereka yang tidak
menggunakan humor (.L.Berk, et al., 1989).
g. Tertawa diawali dengan senyuman. Ekspresi wajah berhubungan
secara neurologis dengan keadaan emosional. Bukan hanya tertawa
dan tersenyum yang mencerminkan keaadaan emosi seseorang, namun
ekspresi ini dapat memicu suatu keaadan emosional. Senyuman di
wajah dapat menyebabkan suatu tanggapan di hati yang membawa
sukacita (R. Levenson, et al., 1996). Oleh sebab itu, para wanita
lansia perlu melakukan terapi tertawa ini.
h. Rileksasi sebagai bentuk pemulihan kesehatan
Rileksasi telah menjadi suatu pemulihan kesehatan selama ribuan
tahun. Hippocrates menyarankan pijat pada abad keempat SM untuk
menolong orang-orang menjadi lebih rileks. Buku-buku kesehatan
Cina yang ditulis lebih dari empat ribu ahun yang lalu berisi
informasi tentang pijat sebagai praktik kesehatan. Dr. Herbert
Benson, seorang ahli kardilogi dari Harvard, menggambarkan reaksi
psikologis yang ia sebut dengan “tanggapan rileksasi”. Ia
menyebutkan rileksasi dapat dilakukan dengan latihan pernafasan,
meditasi, pijat, aerobik, terapi musik, terapi aroma, terapi
humor, latihan peregangan dan doa adalah hal-hal yang dapat
dilakukan untuk merangsang sistem syaraf parasimpatik yang
bermanfaat untuk memulihkan kekuatan, pemudaan kembali, proses
regenerasi seluruh tubuh, membangun kekebalan tubuh, sistem
pencernaan, kardiovaskuler, serta sistem saraf lainnya dalam
tubuh (H. Benson, et al., 1974).
i. Tubuh lansia yang sudah mulai menurun kesehatan fisiknya sangat
memerlukan rileksasi, sebab tubuh perlu berisitrahat dari segala
kegiatan fisik sehari-hari sehingga terhindar dari penyakit yang
lebih serius. Ketika berileksasi, ingatlah ayat-ayat Alkitab yang
dapat menyegarkan pikiran untuk mendatangkan emosi positif
(Mazmur 4:9; 127:2; Amsal 3:24)

27
j. Memelihara hubungan kasih (Don Cobert, M.D, 2008)
Bertindak berdasarkan kasih itu memerlukan sebuah perjuangan.
Kasih berarti memilih untuk beralih dari diri sendiri kepada
orang lain dan mengubah pola pikir kita yang radikal akan dunia.
Yang perlu diingat adalah dalam mengasihi tidak harus berarti
memikul kepedihan emosional atau penyakit yang berhubungan dengan
stress. Penderitaan fisik secara emosional dan yang berhubungan
dengan stress berasal dari kebencian. Orang-orang yang mengasihi
dapat bertahan melalui masa sulit secara finansial atau sosial.
Otang yang hidup dalam kasih akan dianggap sebagai orang yang
memiliki kualitas hidup baik. Contoh tindakan kasih seperti
memberi kata-kata yang meneguhkan iman bagi orang lain,
meluangkan waktu khusus bersama keluarga, memberi hadiah kepada
orang-orang yang dikasihi, melayani Tuhan dan sesama dengan
segenap hati, jiwa, dan kekuatan sampai akhir hayat, dll. Seperti
yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Dan kiranya Tuhan menjadikan
kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang
terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami
juga yang mengasihi kamu. Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya
tak bercacat dan kudus, dihadapan Allah dan Bapa kita pada waktu
kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya” (I
Tesalonika 3:12-13).
k. Membangun Kehidupan Spiritualitas di Masa Lanjut Usia
Membangun kehidupan spiritualitas kepada Tuhan juga merupakan
sebuah benteng yang ampuh untuk dapat menjaga emosi lansia agar
tetap sehat di masa tua.Adalah sangat penting untuk memelihara
kehidupan spiritualitas dalam kehidupanlansia, sebagai cara
untukmengatasi gejolak-gejolak emosi di masa tua, dan hal ini
berguna jugabagi wanita lansia untuk memenuhi kebutuhannya akan
Tuhan. Terlibat dalam kegiatan spiritualitas dapat membuat wanita
lansia merasa kuat dan memiliki kedamaian batin. Tidak
terpenuhinya intimacy yang akrab dengan orang lain membuat lansia
merasa kesepian, namun ini dapat diatasi dengan melakukan
pendekatan kepada Tuhan. Lansia yang merasa dekat dengan Tuhan,

28
dapat menggantikan emosi-emosi yang negatif seperti rasa
kehilangan, kesepian, perasaaan tidak berharga, kemarahan, dll.
Spiritualitas tidak hanya memberikan individu suatu perasaan
keterhubungan dengan Tuhannya, tapi juga sebagai penghiburan diri
yang mendatangkan perasaan-perasaan yang positif. Lansia yang
religious akan mampu mengatasi emosionalnya tetap stabil.
Spiritualitas tidak hanya memberikan individu suatu perasaan
keterhubungan dengan Tuhan, namun juga sebagai penghiburan diri
yang mendatangkan emosi positif karena terhubung langsung dengan
perlindungan dan kekuatan yang tertinggi.
Charles Spurgeon sebagaimana dikutip Donald Whitney mengatakan:
“it must take care above all that I cultivate communion with Christ,
for though that can never be the basis of my peace-mark that-yet it
will be the channel of it.” Mendisiplinkan rohani adalah cara
membangun kedekatan dengan Tuhan. Ini merupakan sebuah contoh yang
baik yang perlu diteladani, seperti Kristus membangun relasi yang
dekat dengan Bapa,dengan mendisiplinkan rohaninya melalui doa,
meditasi/kontemplasi, belajar dan merenungkan perkataan Firman Tuhan
dengan teratur (Donald Whitney, 1991).Ginger Gabriel mengatakan,
“Being a woman of God is about being more with God than you could
ever hope to be without Him”. Hendaknya setiap wanitanya Allah
selalu memiliki pengharapan untuk dapat selalu bersama dengan Tuhan
daripada hidup tanpa bersamaNya (Ginger Gabriel, 1993).
Terkait dengan hal diatas, Joyce Meyer dalam bukunya,
“Mengelola Emosi Anda” menyebutkan sebuah cara untuk menjaga
kesehatan emosional, yakni dengan “Menaati Firman Tuhan”
(Yak.1:22). Untuk menerima dari Allah apa yang telah Ia janjikan
dalam FirmanNya, kita harus menaati Firman itu, sehingga para lansia
diharapkan dapat menjadi pelaku-pelaku Firman Tuhan di masa
tuanya.Ketika kita menjadi pelaku Firman, maka sukacita, harapan dan
kekuatan dari Roh Kudus akan membuat hidup menjadi bergairah dan
menghasilkan segala emosi yang positif (Joyce Meyer, 2005).

I. Kematian

29
2. Definis Kematian
Kematian masih sulit untuk didefinisikan karena bukan merupakan
peristiwa tunggal melainkan suatu proses. Sebelumnya kematian
didefinisikan sebagai kondisi dimana tidak ada lagi detak jantung/
denyut nadi atau tidak lagi bernapas (Upton, 2012: 244).
Kematian adalah bagian normal dari kehidupan, namun beresiko
tinggi jika tidak ada dukungan yang tersedia, khususnya dari keluarga
sendiri. Kematian pasti akan dialami oleh semua makhluk hidup yang
adadi dunia ini. Bagi orang yang ditinggalkan pasti merasakan
kehilangan akan kematian tersebut, terlebih lagi jika yang meninggal
adalah teman, tetangga bahkan keluarga mereka sendiri.
3. Fase-fase Menjelang Kematian
Menurut Kubler-Ross (dalam Santrock, 2002), beliau membagi
perilaku dan proses berpikir seseorang yang akan mengalami kematian
menjadi lima fase yaitu penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar-
menawar, depresi dan penerimaan.
a. Penolakan dan isolasi, merupakan fase pertama dimana orang
menolakbahwa kematian benar-benar ada. Namun, penolakan tersebut
biasanyapertahanan diri yang bersifat sementara.
b. Kemarahan. Pada fase ini orang yang yang menjelang
kematianmenyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan.
Daripenolakan tersebut akan memunculkan rasa marah, benci dan
iri.
c. Tawar-menawar. Pada fase ketiga menjelang kematian dimana
seseorang mengembangkan harapan bahwa kematian sewaktu-waktu
dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang melakukan hal tersebut
seringkali dengan Tuhan sambil mencoba untuk menunda kematian.
Dalam usaha mereka untuk memperpanjang hidup dengan berjanji
untuk mengubah hidupnya hanya didedikasikan kepada Tuhannya
danmelayani orang lain.
d. Depresi. Pada fase keempat dalam menghadapi kematian dimana
orangakan dijemput oleh ajalnya akhirnya menerima kematian. Orang
yangmenjelang kematiannya mungkin akan menjadi pendiam, menolak
pengunjung serta menghabiskan banyak waktunya untuk menangis dan

30
berduka. Perilaku yang demikian normal dalam situasi tersebut dan
sebenarnya merupakan usaha nyata untuk diri dari obyek yang
disayangi.
e. enerimaan. Pada fase ini merupakan fase mengembangkan rasa damai,
menerima takdir, dan beberapa hal seseorang yang akan menghadapi
kematiannya ingin ditinggal sendiri.
4. Fase-fase Duka Cita
Duka cita adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan
berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai disaat
kehilangan orang yang kita cintai. Rasa kehilangan merupakan hal
yang menyakitkan bagi mereka yang telah ditinggalkan oleh orang yang
mereka sayangi, apalagi dipisahkan karena kematian dan dialami oleh
pasangan hidup mereka. Menurut Averill (dalam Santrock, 2002) bahwa
setiap individu akan melewati 3 fase duka cita setelah kehilangan
orang yang dicintainya. Fase- fase tersebut adalah terkejut, putus
asa, dan pulih kembali. Pada fase awal, individu yang ditinggalkan
akan merasa terkejut, tidak percaya, sering menangis bahkan mudah
marah. Fase ini terjadi berlangsung selama 1-3 hari setelah kematian
orang yang dicintainya. Fase pertama ini sama seperti fase penolakan
dan kemarahan yang telah dikemukakan oleh Kubler-Ross pada individu
yang sekarat (Santrock, 2002).
Fase yang kedua, yaitu ditandai dengan perasaan sakit yang
berkepanjangan atas kematian, memori dan gambaran-gambaran visual
tentang kematian, kesedihan, sulit untuk tidur, mudah tersinggung,
dan gelisah. Pada fase ini seringkali akan memuncak di minggu kedua
sampai minggu ke empat setelah kematian orang yang dicintainya
tersebut, namun hal tersebut tidak berlangsung selamanya. Perasaan
tersebut akan mereda setelah beberapa bulan tetapi ada juga yang
bertahan bahkan 1-2 tahun (Santrock, 2002).
Pada fase ke tiga yaitu fase pulih kembali. Pada fase ini
individu yang telah ditinggalkan oleh orang yang mereka cintai akan
merasa damai, menerima takdir yang telah diberikan oleh Tuhan dan
pasrah atas kepergian orang yang dicintainya tersebut. Sehingga

31
individu yang telah ditinggalkan tidak merasa terpuruk lagi dan
bangkit dari kesedihan karena kepergian orang yang dicintainya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

32
1. Menjadi tua adalah fase kehidupan yang pasti akan dialami oleh setiap manusia, dan
tidak dapat dihindari. Banyak kaum wanita menjadikan masa tua sebagai sebuah
momok yang sangat menakutkan. Ketakutan ini berawal dari pemikiran bahwa dirinya
akan menjadi tidak sehat, tidak bugar, tidak cantik lagi,bahkan tidak berguna. Bagi
sebagian wanita, fase kehidupan ini sangat tidak menyenangkan dan menyakitkan.
Padahal, masa lanjut usiamerupakan salah satu fase kehidupan yang akan tetap
dilaluioleh setiap wanita,sama halnya dengan fase-fase kehidupan sebelumnya, yaitu
pada masa anak-anak dan remaja, masa menikah dan bereproduksi, dan lain
sebagainya.
2. Lansia
Menurut Hurlock (2012: 380), tahap terakhir dalam kehidupan
dibagi menjadi dua, yakni usia lanjut dini yang berusia antara enam
puluh sampai tujuh puluh tahun dan usia lanjut yang mulai pada usia
tujuh puluh tahun sampai akhir kehidupan seseorang. Sedangkan menurut
WHO (dalam Ardi, 2013) yang disebut lansia yaitu jika seorang
individu berumur enam puluh sampai tujuh puluh empat.
Pada teori psikologi, usia lanjut usia merupakan proses penuaan
terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan
psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan
mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang
terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik
konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat
seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai
yang ada ditunjang dengan status sosialnya (Maryam, 2008: 47)

DAFTAR PUSTAKA

33
Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta. 2002), 101.

Ali Baziad, Menopause Dan Andropause, (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawiroharjo, 2003).

Al-Atapung, Manusia dan Emosi, (Maumere: Sekolah tinggi Filsafat Katholik


Ledarero, 2000), 4418

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, (BKKBN), Media Pembelajaran ke


4, (Jakarta, 2012), 2.

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2004), 209.

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,


1996), 45.

Dallas Willard. Spirit of the Discipline, (New York: Harper & Row
Publishing,1988), 68.

Don Colbert, M.D, Deadly Emotions, (Jakarta: Imannuel, 2008)

Effendi, Nasrul, Drs., Kekeratan Kesehatan Masyarakat. (Jakarta: EGC, 1998)

Elizabeth, B. Hurlock, Pikologis Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 2002),


376.

Eliot M. Benner dan Peter Salovey, Emotion Regulation During Chilhood


Developmental, Intrpersonal and Individual Consideration, Emotioal
Developmental and Emotion Intelligence: Education Implication, (New York:
Basic Books, 1997), 170

Endang Purwoastuti, Menopause Siapa Takut, (Yogyakarta: Kanisius, 2000

34
Fox-Spencer, Rebecca dan Pam Brown, Menopause, (Jakarta: Erlangga, 2007)
Ginger Gabriel, Being A Woman Of God, (Singapore: Campus Crusade Asia
Ltd.,1995), 118

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1268.

Hasanat N, Apakah Perempuan Lebih Depresif Daripada Laki-laki, (Yogyakarta:


Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1994), 47.

Hendrikson, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Emosi

H.M. Arifin, Psikologi Dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia,


(Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 228.

Ibid, 422.

Holloway, B. W, Stat Fact the Clinical Pocket Reference For urses. F.A
(Philadelphia: Davis Company, 2003)

H. Benson, et al., “The Relaxation Response,” Psychiatry, 37 (1974), 37-


49

James V. Durlacher, Freedom from Fear Forever (Mesa, Ariz:Van Ness


Publishing Co., 1994), 83-84

Joyce Meyer, Managing Your Emotions, (Batam: Gospell Press, 2005)

Joyce M. Hawkins, Kamus Dwibahasa Oxford, (Jakarta: Erlangga, 2000), 228.

J. Sarno, The Mind-Body Prescription, (1, N-Warner Books, 1998)

Kasdu, Dini, Kiat Sehat dan Bahagia di Usia Menopause, (Jakarta:


Puspaswara, 2000)

35
L. Berk, et al., “Nheuroendocrine and stress hormone changes during
mirthful laughter”, The American Journal of The Medical Science, 298,
(1989), 390-6

Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk


Pendidikan Bidan. (Jakarta: IBG, 1998)

Manuaba, Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita Arcan, (Jakarta : IBG, 1999)

Notoatmodjo, S, Promosi Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007)

Novi Ariani, Pengendalian Diri, http://yohakimn.blogspot.com/, Di akses


pada
Rabu 3 Agustus 2016, 17.19 WIB

Prawirohardjo, Sarwono, Ilmu Kandungan (Jakarta: Yayasan Bina Pustaka,


1999)

R. Levenson, et al., “Voluntary Facial Action Generates Emotion Specific


Autonomic Nervous System Activity,” Psychophysiology, 27 (1990), 363-384

Robbins, Stephen P, Judge, Timothy A, Perilaku Organisasi Buku 1, (Jakarta:


Salemba Empat, 2008), 56-66

Sarlito W Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo


Persada, 2010), 124-125.

Ibid, 77

Triantoro Safaria, Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi, (Jakarta: Bumi


aksara,
2009), 12.19

Ibid., 310.

36
Wade, Carole, dan Tavris, Carol, Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 2007), 90.

W. Tiller, R. McCrary, M.Atkinson, “Toward Cardiac Coherence: A New


Noninvansive Measure of Autonamic System Order,” Alernative Therapies, 2
(1986), 5665

http://majalahsiantar.blog.spot.com/2013/10/22/faktor-faktor-yang-
memepengaruhi-
emosi/-10, di akses pada tanggal 3 Agustus 2016 19.31 WIB 23,

37

Anda mungkin juga menyukai