LP Spondylosis Lumbalis Inggar M 17613045

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

SPONDYLOSIS LUMBALIS
Laporan Pendahuluan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik
Keperawatan III

Oleh :
INGGAR MAHARANI
NIM 17613045
Kelompok A7

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2020
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disusun Oleh : INGGAR MAHARANI

Judul : LAPORAN PENDAHULUAN SPONDYLOSIS


LUMBALIS

Telah disetujui dalam rangka Praktik Klinik Keperawatan III (PKK III)

Mahasiswa DIII Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Ponorogo pada tanggal 30 Maret – 30 April 2020 di Ruang 24 B

RSUD dr.Saiful Anwar Malang.

Oleh :

Pembimbing Institusi

(Fillia Icha Sukamto, S.Kep., Ns., M.Kep )


LAPORAN PENDAHULUAN
SPONDYLOSIS LUMBALIS

1.1 Anatomi Fisiologi Vetebrae


1.1.1 Anatomi Vetebrae
1. Struktur Vertebra Lumbalis
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh
yang memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna
vertebralis, meliputi 7 columna vertebra cervical, 12 columna
vertebra thoracal, 5 columna vertebra lumbal, 5 columna vertebra
sacral dan 4 columna vertebra coccygeal. Vertebra sacral dan
cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20 sampai
25 tahun. Menurut Prescher & Apley 2011, Susunan tulang
vertebra secara umum terdiri dari corpus, arcus dan foramen
vertebra, antara lain sebagai berikut :
a. Korpus
Merupakan bagian terbesar dai vertebra, berbentuk
silindris yang mempunyai beberapa facies, yaitu : anterior dan
superior.

b. Arcus
Merupakan lengkungan simetris di kiri-kanan dan
berpangal pada korpus menuju dorsal dan ada tonjolan ke arah
lateral yang disebut prosesus spinosus.

c. Foramen vertebra
Merupakan lubang yang besar yang terdapat diantara
korpus dan arkus. Formen vertebra ini membentuk saluran
yang disebut canalis vertebralis yang berisi medula spinalis.
Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral
di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.
2. Diskus intervertebralis
Merupakan struktur elastis diantara korpus vertebra.
Struktur diskus bagian dalam disebut nukleus pulposus sedangkan
bagian tepi disebut anulus fibrosus. Diskus berfungsi sebagai
bantalan sendi antar korpus yang berdekatan untuk menahan
tekanan dan menumpu berat badan (Prescher, 2011 ).

3. Stabilitas
Menurut Prescher, 2011 Stabilitas pada vertebra ada dua
macam, yaitu pasif dan aktif. Stabilitas pasif terdiri dari:

a. Ligamentum longitudinal anterior yang melekat pada bagian


anterior tiap diskus dan anterior korpus vertebra yang berfungsi
mengontrol gerakan ekstensi.
b. Ligamentum longitudinal posterior yang memanjang dan
melekat pada bagian posterior diskus dan posterior korpus
vertebra yang berfungsi untuk mengontrol gerakan fleksi.
c. Ligamentum flavum terletak di dorsal vertebra diantara lamina
yang berfungsi melindungi medula spinalis dari posterior
d. Ligamentum transversus melekat pada tiap prosesus tranversus
yang berfungsi mengontrol gerakan fleksi.
Sedangkan yang berfungsi sebagai stabilitas aktif adalah
otot-otot penggerak lumbal, antara lain: m. rektus abdominis, m.
psoas mayor, m. quadratus lumborum yang terletak di anterior dan
lateral serta m. longisimus torakalis, m. iliocostalis di posterior.

1.1.2 Fisiologi Vetebra


Menurut Guyton, 2011 Fungsi kolumna vertebralis yaitu
sebagai berikut :
1. Menyangga berat kepala dan batang tubuh
2. Memungkinkan pergerakan kepala dan batang tubuh
3. Melindungi medula spinalis
4. Memungkinkan keluarnya nervus spinalis dari kanalis spinalis
5. Tempat untuk perlekatan otot.
Di sepanjang medula spinalis melekat 31 pasang nervus
spinalis melalui radix anterior (motorik) dan posterior (sensorik).
Masing-masing radix melekat pada medula spinalis melalui sederetan
radices (radix kecil) yang terdapat di sepanjang segmen medula
spinalis. Setiap radix mempunyai sebuah ganglion radix posterior yang
axon sel-selnya memberikan serabut-serabut saraf perifer dan pusat.
Radix nervus spinalis berjalan dari masing-masing segmen spinalis
foramen intervertebralis yang sesuai tempat keduanya menyatu
membentuk nervus spinalis. Di sini antara saraf sensorik dan motorik
bercampur. Karena pertumbuhan memanjang columna vertebralis tidak
sebanding dengan pertumbuhan medulla spinalis, panjang radix
n.spinalis bertambah panjang dari atas ke bawah. di daerah cervikal
atas, radix nervus spinalis pendek dan bearjalan hampir horizontal,
tetapi di bawah di ujung medula (pada orang dewasa di L1)
membentukl seberkas saraf vertikal di sekitar filum terminal vertebra
yang disebut cauda equina.

Gambar 1: Columna Vertebralis

Sumber : Peng, B., et al. 2012. The Pathogenesis of Discogenic Low Back Pain.
Vol 87: 62-67. Journal of Bone and Joint Surgery
Gambar 2 : Struktur Columna Vertebralis Lumbal

Sumber : Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
Alih bahasa: Setiawan, I. dan Santoso, A. EGC: Jakarta
1.2 Definisi Spondylosis Lumbalis
Spondylosis berasal dari kata spondilo (bahasa Yunani) yang berarti
tulang belakang. Spondilosis merupakan suatu istilah yang merujuk pada
osteoarthritis degeneratif dari sendi antara korpus vertebra dan atau foramen
neural. Pada keaadaan ini, sendi faset tidak terlibat. Jika berat, hal ini dapat
menyebabkan penekanan pada akar saraf (radiks), yang kemudian akan
menyebabkan gangguan sensorik dan atau motorik, seperti nyeri, parastesia
atau kelemahan kedua tungkai (Anynomous, 2011).
Menurut Dorland (2011:1008), spondylosis yaitu ankilosis sendi
vertebral; perubahan degeneratif pada vertebra akibat osteoporosis.
Spondylosis adalah sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang belakang
(spine osteoarthritis) yang disebabkan oleh proses degenerasi sehingga
mengganggu fungsi dan struktur tulang belakang. Spondylosis dapat terjadi
pada level leher (cervical), punggung tengah (thoracal), maupun punggung
bawah (lumbal). Proses degenerasi dapat menyerang sendi antar ruas tulang
belakang, tulang dan juga penyokongnya (ligament). Spondylosis adalah
terminologi yang digunakan mengacu pada osteoarthritis degeneratif yang
terjadi pada persendian diantara pusat dari vertebra spinal dan/atau foramina
neural. Pada kondisi ini, facet joint tidak ikut terlibat.
Hal ini sering menyebabkan nyeri punggung biasa, biasanya terjadi
pada usia lanjut dan dapat melibatkan semua atau beberapa bagian dari tulang
belakang. Namun, paling sering pada regio servikal dan lumbal.Spondilosis
lumbalis dapat diartikan sebagai perubahan pada sendi tulang belakang
dengan ciri khas bertambahnya degenerasi diskus intervertebralis yang diikuti
perubahan pada tulang dan jaringan lunak atau dapat berarti pertumbuhan
berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior,
lateral dan kadang – kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra
sentralis (korpus) (Chairil, A, 2011).
1.3 Etiologi Spondylosis Lumbalis
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan
atau perubahan degenerative. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kondisi
ini tidak berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh,
aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Rothschild,2012).

Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan


oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen
intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen
intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga
menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada
facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat
menimbulkan nyeri pinggang (Smith, 2013)

1.4 Klasifikasi Spondylosis


Menurut Ivan dkk, 2016 Klasifikasi dari Spondylosis antara lain
sebagai berikut:
1. Spondylosis Cervical
Cervical spondylosis merupakan perubahan degenerasi dari
bantalan (disk) tulang belakang leher, hipertrofi hyperplasia tulang
belakang leher dan cedera leher yang menyebabkan hyperplasia tulang
belakang leher atau slipped disk tulang belakang, penebalan ligament,
iritasi atau kompresi saraf tulang belakang leher, saraf leher, pembuluh
darah sehingga menimbulkan berbagai gejala sindrom klinis. Manifestasi
klinis dari cervical spondylosis adalah nyeri leher dan bahu, pusing, sakit
kepala, mati rasa ekstremitas atas, atrofi otot, pada kasus yang parah
terjadi apasme kedua tungkai bawah dan kesulitan berjalan, bahkan
muncul quadriplegia, gangguan sfingter dan kelumpuhan anggota badan.

Cervical spondylosis sering terjadi pada orang tua, tetapi dengan


adanya perubahan gaya hidup dan perawatan kesehatan yang tidak
memadai, penyakit cervical spondylosis juga dapat terjadi pada remaja dan
tingkat insiden pada pria lebih tinggi dibanding wanita.

2. Spondylosis Lumbalis
Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang
belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis
yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti
pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di
aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan
inferior vertebra centralis (corpus). Secara singkat, spondylosis lumbalis
adalah kondisi dimana telah terjadi degenerasi pada  sendi intervertebral
yaitu antara diskus dan corpus vertebra lumbal.
Spondilosis sering kali mempengaruhi vertebrae lumbalis pada
orang diatas usia 40 tahun. Nyeri dan kekakuan badan diperjalanan
merupakan keluhan utama. Biasanya mengenai lebih dari 1 vertebrae.
Vertebrae lumbalis menopang sebagian besar berat badan. Duduk dalam
waktu yang lama menyebabkan tertekannya vertebrae lumbalis.
Pergerakan berulang seperti mengangkat dan membungkuk dapat
meningkatkan nyeri pada kasus spondilosis lumbalis.
3. Spondylosis Ankilosis
Spondilosis Ankilosis adalah merupakan penyakit reumatik
inflamasi sistemik kronik yang terutama menyerang sendi aksial
(vertebra). Yang merupakan tanda khas adalah terserangnya sendi sakro
iliaka, juga sering menyerang sendi panggul, bahu dan ekstremitas pada
stadium lanjut. ( Kapita Selekta Kedokteran, 2010 ).
1.5 Manifestasi Klinis Spondylosis Lumbalis
Manifestasi klinis yang muncul berupa neurogenik claudication yang
mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai serta rasa kebas dan kelemahan
motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan
berjalan dan diperingan saat duduk atau tidur terlentang. Karakteristik dari
spondilosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari
(Middleton, 2009).

Menurut Fita, 2013 Manifestasi Klinis dari Spondylosis Lumbalis,


antara lain sebagai berikut:

1. Nyeri
a. Morning sickness dan Start Pain
b. Nyeri lumbal disertai kekakuan
c. Nyeri jenis pegal/ngilu pada lumbal, terkadang hingga kebelakang
paha.
2. Pseudoradicular pain dan referred pain cenderung berhubungan dengan
area dermatom. Yang sesuai dengan segmen lumbal yang terkena antara
lain:
a. Nyeri bisa saja tidak dirasakan pada lumbal, namun dirasakan dilokasi
yang jauh dari lumbal. Misalnya: pada paha dan betis.
b. Nyeri yang dirasakan pada lipatan paha atau selangkangan berasal dari
L1.
c. Nyeri pada paha sisi anterior berasal dari L2.
d. Nyeri yang dirasakan pada sepertiga depan bagian bawah paha dan
lutut berasal dari L3.
e. Nyeri pada sisi medial betis sampai ibu jari kaki berasal dari L4.
f. Nyeri pada lateral tungkai sampai 3 jari tengah kaki dan mungkin juga
kelingking berasal dari L5.
g. Sisi lateral dan posterior kaki berasal dari S1.
3. Parasthesia sesuai dengan distribusi area dermatome dengan sensasi seperti
kesemutan atau perasaan kebas atau baal. Parasthesia umumnya meningkat
pada saat ekstensi lumbal.
4. Spasme otot paralumbal sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak
sendi. Spasme otot dijumpai pada aktualitas tinggi. Sedangkan jika
aktualitasnya rendah dan terlalu lama didiamkan maka yang ditemui adalah
tightness atau kontraktur otot paralumbal.
5. Kelemahan otot, umumnya pada otot abdominal dan otot gluteal
6. Perubahan postur yang terjadi sebagai upaya untuk menghindari provokasi
terhadap adanya nyeri atau adanya keadaan postur yang flat back atau
hiperlordosis lumbal.
1.6 Patofisiologi
Perubahan degenerative dapat menghasilkan nyeri pada axial spine
akibat iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat dalam facet joint, diskus
intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur
myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E.
Fish,2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya
dalam gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam
canalis spinal melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi
processus articular inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari
ligament flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa
neurogenik claudication , yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta
rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat
diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur
terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish,2009).

Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak


pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada
saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut
nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala gejala lain akibat tekanan pada
vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan
membungkuk (seperti pekerjaan manual pabrik) dapat meningkatkan nyeri
(Regan,2010)

1.7 Faktor – faktor Resiko Spondylosis Lumbalis

Menurut Ifan, dkk, 2016 Faktor faktor resiko dari Spondylosis


Lumbalis antara lain, adalah sebagai berikut :
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya spondilosis, faktor
ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya spondilosis semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. Spondilosis hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur
diatas 60 tahun.
Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan
bertambahnya umur dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan
endapannya berbentuk pigmen yang berwarna kuning.
Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans
atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39
– 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20
tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.
2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena spondilosis daripada laki-laki. Secara
keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi spondilosis kurang lebih sama
pada laki-laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi spondilosis lebih
banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran
hormonal pada patogenesis spondilosis.
3. Genetik
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan
degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa
50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan
faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi
dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 –
66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan,
sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance
training.
4. Stress mekanikal
Akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan
gerakan mengangkat, twisting dan membawa / memindahkan barang.

5. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada spondilosis nampaknya
terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya
osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan Asia
dari pada Kaukasia. OA lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika
asli dari pada orang kulit putih.
Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun
perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
6. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya
resiko untuk timbulnya spondilosis baik pada wanita maupun pada pria.
Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan spondilosis pada sendi
yang menanggung beban, tapi juga dengan OA sendi lain.
7. Cedera sendi, pekerjaan dan olah raga (trauma)
Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan spondilosis adalah trauma
yang menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan biomekanik
sendi tersebut.
8. Kepadatan tulang dan pengausan (wear and tear)
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak
rawan sendi melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses
degenerasi karena bahan yang harus dikandungnya.
9. Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan
reaksi peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi
oleh membran sinovial dan sel-sel radang.
10. Joint Mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka
rawan sendi akan menebal dan menyebabkan sendi menjadi tidak stabil /
seimbang sehingga mempercepat proses degenerasi.
11. Penyakit endokrin
Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam
proteglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga
merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit. Pada
diabetes melitus, glukosa akan menyebabkan produksi proteaglikan
menurun.
12. Deposit pada rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat
dapat mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis,
kristal monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.
1.8 Pathway

Usia lansia Obesitas

Fibrokartilago padat TTrauma primer seperti : Trauma secara Trauma sekunder seperti : Adanya
Kelebihan beban
penyakit HNP, osteoporosis, spondilitis,
dan tak teratur spontan, contohnya kecelakaan. lumbalsakral
stenosis spinal, spondilitis,osteoartritis

Stres mekanis diskus Pembentukan kurva


Kontraksi punggung
lumbal bawah lumbal abnormal

Terdesaknya otot para vetebra


Perubahan degenarasi berat Rusaknya
pembungkus saraf
Tulang belaakang menyerap goncangan ventrikal
Herniasi nukleus purposus
Hiperalgesia sekuder pada
neuron di sekitar lesi pada resio
Penekanan akar saraf ketika Terjadi perubahan struktur dengan diskus susun atas
lumbal skral
keluar dari kanallis spinalis fibri fertilago dan matrik gelatinus

Spondylosis Lumbalis

Nyeri punggung bawah


Kelemahan otot (Low Back Pain)

MK : nyeri
Kekakuan gerak pada pagi hari

Mobilitas fisik terganggu Jarang bergerak Kelemahan fisik umum

MK : hambatan mobilitas Mk : defisit perawatan diri


fisik
1.9 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suhadi, 2012 Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk
melihat gambaran yang mungkin dapat terlihat, seperti:

1. Penyempitan ruang discus intervertebralis


2. Perubahan kelengkuangan vertebrae dan penekanan saraf
3. Osteofit/Spur formation di anterior ataupun posterior vertebrae
4. Pemadatan Corpus vertebrae
5. Porotik (Lubang) pada tulang
6. Vertebrae tampak seperti bambu (Bamboo Spine)
7. Sendi sacroiliaca tidak tampak atau kabur
8. Celah sendi menghilang
Adapun pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain:

1. Foto polos lumbosakral dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique


sangat membantu untuk melihat keabnormalan pada tulang.
2. Mielografi merupakan tindakan invasif dengan memasukan cairan
berwarna medium ke kanalis spinalis sehingga struktur bagian dalamnya
dapat terlihat. Myelografi digunakan untuk penyakit yang berhubungan
dengan diskus intervertebralis, tumor atau abses.
3. CT scan adalah metode terbaik untuk mengevaluasi adanya penekanan
tulang dan terlihat juga struktur yang lainnya, antara lain ukuran dan
bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga
morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum
juga.
4. MRI memberikan gambaran yang lebih jelas CT scan.
5. Electro miography (ENG)/Nerve conduction study (NCS) digunakan untuk
pemeriksaan saraf pada lengan dan kaki. EMG dapat memberikan
informasi tentang:
a. Adanya kerusakan pada saraf
b. Lama terjadinya kerusakan saraf (akut/kronik)
c. Lokasi terjadinya kerusakan saraf
d. Tingkat keparahan dari kerusakan saraf
e. Memantau proses penyembuhan dari kerusakan saraf.
1.10 Komplikasi
Menurut Laporan Kasus Stase Rehabilitasi Medik oleh Chairil
pada tahun 2011 komplikasi yang dapat terjadi pada penderita Spondylosis
Lumbalis yaitu kanalis stenosis. Kanalis Stenosis merupakan kondisi
dimana ada penyempitan yang tidak normal pada kanalis spinali.
Penyempitan ini menyebabkan jumlah ruang untuk medulla spinalis dan
saraf menjadi terbatas. Ketika stenosis spinal memburuk, terjadi kompresi
atau penekanan pada medulla spinalis dan saraf-sarafnya. Stenosis spinal
dapat terjadi di bagian manapun dari kanalis spinalis, tetapi yang paling
sering adalah di bagian servikal dan lumbal (Medicinehealth).

1.11 Penatalaksanaan
Menurut Chairil, 2011 Penatalaksanaan pada penderita
Spondylosis Lumbalis, antara lain:
1. Penatalaksanaan Medikamentosa

Tujuan pemberian medikamentosa meliputi:

a. Simtomatik: mengurangi/ menghilangkan nyeri


Obat-obat yang digunakan meliputi NSAID (nonsteroid
anti inflammatory drugs), analgesik non opioid dan analgesik
opioid. Pemilihan analgesik tersebut dapat didasarkan pada
intensitas nyeri (ringan, sedang dan berat). Nyeri ringan digunakan
NSAID atau analgesik non opioid seperti parasetamol, aspirin,
ibuprofen. Nyeri sedang diberikan analgesik opioid ringan seperti
kodein, dihidrokodein, dekstropropoksifen, pentazosin. Kombinasi
antara NSAID dengan analgesik opioid ringan dapat juga
diberikan. Nyeri berat diberikan opioid seperti morfin, diamorfin,
petidin, buprenorfin.
Untuk kasus tertentu dapat diberikan analgesik ajuvan seperti
golongan fenotiazin, antidepresan trisiklik dan amfetamin.
b. Kausal : Menghilangkan spasme otot misalnya baklofen, diazepam,
eperison, tizanidine, dan lain-lain serta menghilangkan
kecemasan (antiansietas)
2. Penatalaksanaan Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal
dan adanya gejala permanen khususnya defisit motorik. Pembedahan
tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi. Prosedur operasi
yang dapat dilakukan antara lain: operasi dekompresi, operasi
stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil dan kombinasi keduanya.
3. Penatalaksanaan Terapi Fisik
a. Penentraman dan edukasi pasien
Edukasi meliputi pemberian keterangan sebanyak mungkin
sesuai kebutuhan pasien, sehingga pasien mengerti tentang
penyakitnya. Sebagai tambahannya, dokter harus berempati,
menyemangati dan memberikan informasi yang positif kepada
pasien. Menentramkan pasien, yaitu mengatakan bahwa tak ada
kelainan serius yang mendasari penyakitnya, prognosisnya baik
dan pasien dapat tetap melakukan aktifitas sehari-hari. Hal ini
untuk mengatasi pemikiran negatif dan kesalahan penerimaan
informasi terhadap pasien tentang nyeri punggung bawahnya. Ada
suatu bukti yang kuat dari systematic reviews bahwa nasehat untuk
beraktifitas secara normal akan mempercepat pemulihan dan
mengurangi disabilitas daripada nasehat untuk beristirahat dan ”let
pain be your guide”.

b. Tirah Baring

Modalitas kunci pengobatan nyeri punggung akut adalah


tirah baring. Istirahat harus menyeluruh dan spesifik, yang berarti
bahwa tidak ada beban pada punggung, karena dengan adanya
beban akan menyebabkan trauma, otot-otot akan berkontraksi
sehingga timbul rangsangan nosiseptif dan nyeri ini akan
mendasari kontraksi otot dan menyebabkan spasme. Dengan
menghindari gerak pada jaringan yang meradang selama periode
tertentu dapat secara bermakna mengurangi rangsangan nosiseptif.
Posisi istirahat yang diterima adalah posisi modifikasi Fowler,
yakni suatu posisi dimana tubuh bersandar dengan punggung dan
lutut fleksi dan punggung bawah pada posisi sedikit fleksi.
c. Back School

Istilah back school secara umum digunakan untuk


kelompok kelas yang memberikan edukasi tentang nyeri punggung.
Materi yang diberikan meliputi informasi tentang anatomi dan
fungsi tulang belakang, penyebab nyeri punggung bawah yang
dideritanya, cara mengangkat yang benar dan latihan ergonomik,
dan kadang-kadang nasehat tentang latihan dan untuk tetap
beraktifitas. Secara umum, penelitian menunjukkan bahwa back
school efektif dalam mengurangi disabilitas dannyeri untuk NPB
kronik.
d. Exercise (Latihan)
Latihan sudah menjadi standar penatalaksanaan nyeri pada
punggung. Latihan dapat dilakukan secara pasif maupun aktif dan
dalam pengawasan atau tanpa pengawasan. Tujuan dari latihan
meliputi memelihara fleksibilitas fisiologik kekuatan otot,
mobilitas sendi dan jaringan lunak serta ketahanan badan.
Beberapa penelitian prospektif acak gagal membuktikan manfaat
dari latihan dibanding plasebo pada NPB akut16, namun penelitian
lain menunjukkan bahwa latihan memberikan outcome yang baik
pada penatalaksanaan NPB kronik.
e. Mobilisasi atau Manipulasi Manual (Traksi, Lumbar Support,
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), Pemijatan
(Masase))
Manifestasi fisiologik yang jelas dari traksi masih kontraversial.
Namun demikian dalam prakteknya traksi telah dilakukan sejak
lama. Ada 2 macam traksi, yaitu traksi pelvik dan torakal (gravity
traction). Efek yang realistis dari traksi vertebra
lumbosakral tersebut adalah berkurangnya lordosis,
yang dapat dicapai
dengan melihat hasil:
1) Membukanya foramen intervertebralis
2) Meregangnya permukaan sendi
3) Memanjangnya muskulus spina erektor yang menyebkan
relaksasi dan lepasnya spasme dari muskulus tersebut.
4) Mengerasnya (kaku) serabut annulus fibrosus dari diskus. Efek
annulus ini bersama-sama dengan menurunnya tenaga intrinsik
dalam nukleus mengurangi tonjolan annulus (annular
buldging).
Tinjauan ulang Cochrane yang melibatkan 2 penelitian dengan
kualitas yang baik, menunjukkan bahwa traksi tidak lebih efektif
dibandingkan plasebo atau tanpa terapi pada beberapa laporan
outcome.
Pemijitan (masase) adalah termasuk cara pengobatan yang paling
tua di dunia. Efeknya dapat dikelompokkan menjadi efek refleks
dan mekanik. Efek refleks pada kulit berupa rangsangan pada
reseptor perifer yang kemudian impuls diteruskan melalui medula
spinalis ke otak dan menghasilkan sensasi yang menyenangkan
atau relaks. Di perifer impuls ini menyebabkan relaksasi otot dan
dilatasi atau konstriksi arteriole. Salah satu efek yang penting
adalah terjadinya efek sedatif sehingga menurunkan ketegangan
mental. Efek mekanik berupa (a) membantu kembalinya sirkulasi
darah dan cairan limfe karena masase yang dilakukan dengan
tenaga cukup kuat dalam arah sentripetal dan (b) terjadinya
gerakan intramuskuler dan melunaknya fibrosis serta relaksasi
spasme.
f. Interferential (Current) Therapy (IFC/IT)
Alat IFC menggunakan arus dengan frekuensi
sedang yang berkisar 4000 - 5000 Hz. Arus yang
berganti-ganti dengan frekunsi medium (1000-
10.000 Hz) mempunyai resistensi kulit lebih rendah
disbanding frekuensi rendah (< 1000 Hz) sehingga
penetrasi ke dalam kulit lebih mudah. Perbedaan IFC
dengan TENS mungkin kemampuannya dalam
mengahantarkan arus lebih tinggi. Dilaporkan bahwa
IFC berguna untuk kelainan muskuloskletal,
neurologis dan penatalaksanaan inkontinensia urin,
meskipun literatur lain gagal menunjukkan
keunggulannya dari intervensi lain atau plasebo
g. Short Wave Diathermy (SWD)
SWD merupakan suatu cara yang memproduksi panas
melalui konversi energi elektomagnet menjadi energi suhu (panas).
Osilasi frekuensi tinggi elektrik dan medan magnet menghasilkan
gerakan ion-ion, rotasi dari molekul polar dan distorsi molekul non
polar, dengan akibat terbentuknya panas. Federal Communications
Commission limits industrial, scientific and medical (ISM)
menggunakan frekuensi 13,56 MHz (panjang gelombangnya 22-
m), 27,12 (11-m) dan 40,68 MHz (7,5-m). Dengan 27,12 MHz
yang paling sering digunakan. Digunakan untuk kelainan
muskuloskletal (namun data tentang efikasinya masi
diperselisihkan). Penggunaan SWD perlu kehati-hatian pada:
Peringatan terhadap bahaya panas secara umum, pengguna metal
(misalnya perhiasan, alat pacu jantung, intrauterine devices,
surgical implant, deep brain stimulator, dll), pemakai kontak lensa,
hamil dan saat menstruasi serta immaturitas dari skletal

h. Terapi Okupasi (Occupational Therapy)


Terapi okupasi dan juga terapi fisik menggunakan terapi
latihan aktif dan pasif, teknik manual dan cara-cara fisikal yang
pasif untuk mengatasi defisit fleksibilitas, kekuatan otot,
keseimbangan tubuh, pengontrolan neuromuskuler, postur dan
ketahanan tubuh. Serta membantu pasien mengatasi ketakutan
untuk bergerak (karena nyeri yang dialaminya). Terapi okupasi
mengkhususkan pada edukasi pasien, keluarga pasien dan penjaga
pasien. Terutama dalam menghadapi aktivitas yang berkaitan
dengan ekstrimitas atas dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi
cara makan, kebersihan, berbenah, mandi, berpakaian, cara
mengangkat beban dan lain lain. Kebanyakan penderita nyeri
kronik mempunyai gangguan sekunder di samping

nyerinya seperti infleksibilitas umum, ketidakmampuan berbenah,


nyeri miofascial dan abnormalitas postural lainnya, yang mana hal
tersebut menjadi fokus penatalaksanaan.
1.12 Konsep Asuhan Keperawatan
1) 1.12.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Biodata
Identitas klien (nama, umur, agama, suku bangsa,
golongan darah, tempat tinggal, jenis kelamin, pekerjaan).
Spondylosis Lumbalis terjadi pada umur diatas 60 tahun,
hampir tidak pernah terjadi pada anak-anak, jarang pada
umur dibawah 40 tahun. Penderita Spondylosis Lumbalis
juga dipengaruhi oleh Jenis kelamin, dalam kasus ini wanita
sering terkena spondilosis dari pada laki-laki. Secara
keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi spondilosis kurang
lebih sama pada laki-laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun
frekuensi spondilosis lebih banyak pada wanita dari pada
pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada
patogenesis spondilosis.
b. Keluhan utama
Pada penderita Spondylosis Lumbalis memiliki
keluhan utama adanya nyeri pinggang yang menjalar,
kesemutan dan kelemahan otot.
c. Riwayat Penyakit Sekarang

Biasanaya pada penderita Spondylosis Lumbalis akan


merasakan gejala nyeri pinggang yang menjalar, kesemutan
dan kelemahan otot sehingga akan terjadi keterbatasan
gerak. Dalam pengkajian yang digunakan untuk memperoleh
data rasa nyeri yang lengkap, perawat dapat menggunakan
PQRST :
2) Provoking incident : nyeri biasanya muncul secara
tiba – tiba.
3) Quality of pain : nyeri yang dirasakan pasien, seperti
terbakar, tertusuk -tusuk.
4) Severity (scale) of pain : skala nyeri yang dirasakan
pasien mulai dari 1 – 10. Semakin besar nilainya
maka semakin besar rasa nyeri.
5) Region : nyeri terjadi pada daerah tenggorokan
6) Time : nyeri akan terasa hilang timbul (intermiten)
dan memiliki durasi sekitar kurang dari 6 bulan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji
apakah pasien memiliki riwayat cedera sendi, obesitas, dan
riwayat radang sendi. Apabila terdapat riwayat diatas maka
pasien mempunyai resiko dalam hal ini. Selain itu apakah
pasien memiliki riwayat penyakit Tb, Hipertensi, dan DM.
Jika pasien memiliki DM membuat proses penyembuhan
menjadi lama.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga yang
merupakan keturunan dari keluarga adalah faktor adanya
penyakit sejenis, diabetes yang menurun kepada keturunan
dan kanker yang diturunkan secara genetik.
f. Riwayat Psikososial
Pada pengkajian riwayat psikososial merupakan
respon dari perasaan klien tentang penyakit yang
dideritanya. Serta pada riwayat psikososial ini juga dikaji
dengan peran pasien terhadap keluarga dan masyarakat yang
berpengaruh terhadap peran pasien di masyarakat.
g. Pola Nutrisi
Pada pasien Spondylosis Lumbalis biasanya tidak
mengalami penurunan nafsu makan. Makanan yang
diberikan pada pasien ini tetap tetapi dengan menu yang
sesuai dengan dianjurkan ahli gizi.
h. Pola Eliminasi
Dalam melakukan eliminasi pasien mungkin
membutuhkan bantuan, karena pasien mengalami
keterbatasan gerak, jadi mungkin tidak bisa melakukan
secara mandiri.
i. Pola Aktivitas dan Latihan
Dalam melakukan aktivitasnya pasien mungkin
membutuhkan bantuan, karena pasien mengalami
keterbatasan gerak, jadi mungkin tidak bisa melakukan
secara mandiri.
b. Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)
a. Keadaan Umum
Keadaan umum pasien adalah keadaan pasien saat
dikaji. Dalam keadaan umum yang harus dicatat adalah
kesadaran pasien (compos mentis, somnolen, stupor dan
koma). Tanda tanda vital dalam kasus ini dalam batas
normal jika nyeri yang dirasakan pasie tidak dalam kategori
nyeri sedang hingga berat.
b. Pemeriksaan Kepala

Inspeksi : Lihat bentuk kepala klien, keadaaan kulit


kepala, rambut dengan penyebaran yang merata
atau tidak, warna rambut, bau rambut, ada
tidaknya lesi dan benjolan, muka kaku
menahan nyeri.
Palpasi : Bentuk ubun ubun, menentukan adanya
benjolan, hydrocepalus atau tidak, keadaan
rambut lengket dan mudah rontok atau tidak.
c. Pemeriksaan Mata

Inspeksi : Kesimetrisan dan kelengkapan pada mata,


posisi mata. Adanya enoftalamus, eksoftalmus,
strabismus. Apakah terdapat edema,
peradangan atau lesi, benjolan, ptosis pada
kelopak mata. Pada konjungtiva diperiksa
dengan menarik kelopak mata ke bawah dan
meminta klien melihat keatas. Konjungtiva
memikili warna misalnya anemis, ikterik,
kemerahan (infeksi). Amati bentuk dan reflek
pada pupil. Pupil normal dengan bentuk bulat,
isokor, bila terkena cahaya pupil akan mengecil
jika terkena cahaya yang disebabkan refleksi
cahaya. Jika pupil tidak memiliki reflek maka
adanya kerusakan pada saraf ketiga dan
menandakan pasien sudah meninggal. Amati
kornea adakah peradangan atau tidak. Amati
gerak bola mata.
Palpasi : Kaji tekanan Intra okuler.
d. Hidung

Inspeksi : Amati kesimetrisan tulang hidung, ada


tidaknya polip maupun lesi. Amati Tidak
adanya pernapasan dengan menggunakan
cuping hidung. Pada dalam hidung ada
tidaknya sekret yang menyumbat pernafasan.
Amati juga keadaan rambut hidung.
Palpasi : Kaji untuk merasakan ada atau tidak adanya
benjolan dan nyeri tekan pada hidung.
e. Telinga

Inspeksi : Periksa bentuk telinga, sejajar atau tidak.


Ukuran telinga, besar atau kecil. Keadaan daun
telinga. Keadaan lubang telinga apakah bersih
dari kotoran. Terdapat atau tidaknya lesi dan
benjolan pada telinga.
Palpasi : Palpasi pada telinga untuk menemukan ada
tidaknya edema atau nyeri tekan pada telinga.

f. Mulut

Inspeksi : Keadaan bibir klien (cyanosis, kering, ada lesi,


adanya sumbing). Kebersihan mulut pada
penderita ini biasanya kurang. Periksa keadaan
gigi apakah ada karies atau tidak. Pada gigi
apakah juga terdapat karang gigi. Ada tidaknya
sumber pendarahan di mulut. Posisi bibir,
mulut apakah simetris.
Palpasi : Lakukan palpasi pada bagian mulut untuk
menentukan apakah ada benjolan atau nyeri
tekan.
g. Laring

Inspeksi : Kaji keadaan bau nafas. Ada atau tidaknya


peradangan dan luka pada faring. Perhatikan
uvula apakah simetris. Perhatikan selaput
lendir. Pada suara adakah perubahan seperti
stridor, dyspneu,dan kaji Adakah penyumbatan
oleh benda asing.
h. Leher

Inspeksi : Kaji posisi leher simetris atau tidak. Adakah


peradangan, lesi, dan kelainan pada leher.

Palpasi : Lakukan palpasi untuk menentukan adanya


pembesaran pada kelenjar tiroid,
pembendungan vena jugularis dan kuat
lemahnya denyut nadi karotis.

i. Payudara dan Ketiak

Inspeksi : Amati ada tidaknya kelainan pada ukuran


payudarah, bentuk dan posisi payudarah,
terjadi perubahan atau tidak pada areola dan
payudara, adakah pembesaran kelenjar limfe
pada ketiak, amati kebersihan ketiak atau
adanya perubahan pada ketiak.
Palpasi : Lakukan palpasi untuk menentukan adanya
benjolan, nyeri tekan, atau tidak. Lalu tekan
bagian puting untuk melihat keluar atau
tidaknya secret dari puting.

j. Paru

Inspeksi : Amati bentuk thoraks apakah ada kelainan.


Amati pernafasan pasien. Masih ada
tidaknya batuk.
Palpasi : Kaji apakah adanya nyeri tekan dan
benjolan pada dada. Penilaian vocal fremitus
dan taktil fremitus. Dengan meminta pasien
untuk mengatakan “ Tujuh Puluh Tujuh”
Perkusi : Perkusi normal suara sonor.
Auskultasi : Suara pasien jika didengarkan dengan
stetoskop suara vesikuler normalnya.

k. Jantung

Inspeksi dan Amati ada tidaknya pulsasi, amati adanya


Palpasi ictus cordis ( adanya denyutan dinding
toraks karena pukulan venrtike kiri)
normalnya ICS V berada pada linea
midclavicula kiri selebar 1 cm
Perkusi : Menentukan batas jantung, suara pekak.
Auskultasi : Suara BJ 1 Lup Bj 2 Dup. Tidak ada bunyi
tambahan.
l. Abdomen

Inspeksi : Amati bentuk abdomen simetris, tidak ada


lesi maupun benjolan. Terdapatnya
pembuluh darah vena..
Auskultasi : Peristaltik usus sekitar 5 -35 per menit.
Perkusi : Suara timpani
Palpasi : Tidak ada pembesaran pada abdomen, tidak
adanya nyeri tekan. Tidak adanya distensi.

m. Genetalia dan Anus

Inspeksi : Rambut bersih. Tidak ada lesi maupun


peradangan. Lubang uretra tidak menyempit.
Terdapat lubang anus.
Palpasi : Tidak adanya benjolan. Terabanya arteri
femoralis.
n. Pemeriksaan Ekstremitas
1) Ekstremitas Atas

Inspeksi : Kekuatan otot memiliki nilai 4. Otot simetris.


Tidak ada edema maupun lesi.
Palpasi : Tidak adanya oedema. Tidak ada nyeri tekan.

2) ekstremitas Bawah

Inspeksi : Memiliki nilai otot 4. Tidak adanya edema.

Palpasi : Tidak ada odema tidak ada nyeri tekan.

o. Pemeriksaan Kulit
1) Kulit
Kulit berwarna merah. Lembab. Memiliki suhu hangat.
Dengan tekstur halus. Turgor kulit kurang dari 3 detik.
2) Kuku
Kuku berwarna merah. Bentuk kuku normal. CRT
kurang dari 2 detik.
p. Pemeriksaan Persyarafan
1) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadarannya adalah composmentis.
2) Syaraf Kranial
a. Nervus Olfaktorius
Pasien dapat mencium bau
b. Nervus optikus
Pasien dapat melihat pada jarak 6 meter
c. Nervus Okulomotorius
Pupil mengecil ketika diberikan cahaya
d. Nervus Trochlearis
Gerakan bola mata baik
e. Nervus Trigerminus
Pasien dapat merasakan sensasi yang diberikan
f. Nervus Abdusen
Mata dapat bergerak ke samping
g. Nervus Facialis
Pasien dapat mengangkat alis, tersenyum,
mengerutkan dahi dan merasakan pada lidah
h. Nervus Auditorius
Pasien dapat mendengar dengan baik,
kemungkinan pasien tidak dapat berdiri dengan
seimbang
i. Nervus Glossopharyngeus
Uvula berada di tengah. Pasien tidak terdapat
kesulitan dalam menelan
j. Nervus Vagus
suara pasien normal
k. Nervus Accessorius
Pasien padat menggerakan leher. Dapat melawan
tahanan ketika menengok, dan dapat mengangkat
bahu
l. Nervus Hypoglosus
Keadaan lidah simetris. Berada di tengah ( Helmi,
2012).
1) Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu proses pernyataan yang


menjelaskan tentang respon manusia. Dalam diagnosa keperawatan
pernyataan dipengaruhi oleh status kesehatan manusia atau resiko
perubahan pola dari individu atau kelompok sehingga perawat
secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan
intervensi secara aktual (caranito, 2000 dalam Nursalam, 2011 :
59).
Menurut Nanda (2015) dalam buku Nurarif dan Kusuma diagnosa
keperawatan pada pasien Spondylosis Lumbalis adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen cidera (misal, biologis,
zat kimia, fisik, psikologis).
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuscular, nyeri
3. Defisit Perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
umum.

2) Intervensi
Intervensi adalah susunan berbagai rencana keperawatan
dalam proses keperawatan yang digunakan sebagai kelanjutan
rencana tindakan keperawatan yang berfungsi untuk mengurangi,
menghilangkan dan mencegah masalah – masalah pasien.
Perencanaan adalah salah satu proses keperawatan yang
merupakan langkah ketiga dalam melakukan tindakan
keperawatan. Dalam proses keperawatan dibutuhkan pengetahuan,
keterampilan, kesabaran, nilai kepercayaan. Dalam proses
keperawatan terdapat batasan praktik keperawatan, peran dari
tenaga kesehatan lainya yang digunakan untuk mengatasi masalah
keperawatan. Sehingga pengambilan keputusan tujuan yang baik
maka perawat dapat berkerja sama dengan tenaga kesehatan lainya
(Setiadi, 2012 : 45).
Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
Nyeri Akut b/d Agen 1. Pain level Pain Management
cidera (misal, biologis, 1. Lakukan pengkajian
2. Pain control
zat kimia, fisik, nyeri secara
psikologis). 3. Comfort level komprehensif
termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
Definisi: pengalaman Kriteria hasil: frekuensi, kualitas
sensorik dan emosional dan faktor presipitasi
1. Mampu
yang tidak 2. Observasi reaksi
mengontrol nyeri
menyenangkan yang nonverbal dari
(tahu penyebab
muncul akibat ketidaknyamanan
nyeri, mampu
kerusakan jaringan 3. Gunakan teknik
mengunakan
yang aktual atau komunikasi
teknik
potensial atau terapeutik untuk
nonfarmakologi
digambarkan dalam hal mengetahui
untuk mengurangi
kerusakan sedemikian pengalaman nyeri
nyeri ,mencari
rupa (International pasien
bantuan)
Association for the 4. Kaji kultur yang
2. Melaporkan
study of Pain):awitan mempengaruhi
bahwa nyeri
yang tiba-tiba atau respon nyeri
berkurang dengan
lambat dari intensitas 5. Evaluasi pengalaman
menggunakan
ringan hinga berat nyeri masa lampau
manajemen nyeri
dengan akhir yang 6. Evaluasi bersama
3. Mampu
dapat di antisipasi atau pasien dan tim
mengenali
di prediksi dan kesehatan lain
nyeri(skala,
berlangsung < 6 bulan. tentang
intensitas,
ketidakefektifan
frekuensi, dan
kontrol nyeri masa
Batasan karakteristik: tanda nyeri)
lampau
4. Menyatakan rasa
1. Perubahan selera 7. Bantu pasien dan
nyaman setelah
makan keluarga untuk
nyeri berkurang
2. Perubahan tekanan mencari dan
darah menemukan
3. Perubahan dukungan
frekuwensi jantung 8. Kontrol lingkungan
4. Perubahan yang dapat
frekuwensi mempengaruhi nyeri
pernafasan seperti suhu
5. Laporan isyarat ruangan ,
6. Diaforesis pencahayaan, dan
7. Perilaku distraksi kebisingan
(misal, berjalan 9. Kurangi faktor
mondar mandir presipitasi nyeri
mencari orang lain 10. Pilih dan lakukan
dan atau aktifitas penanganan nyeri
lain , aktfitas yang (farmakologi, non
berulang) farmakologi dan
8. Mengekspresikan interpersonal)
perilaku (misal, 11. Kaji tipe dan sumber
gelisah, merengek, nyeri untuk
menangis) menentukan
9. Masker wajah intervensi
(misal, mata kurang 12. Ajarkan tentang
bercahaya, tampak teknik non
kacau, gerakan farmakologi
mata berpencar atau 13. Berikan analgetik
tetap pada satu untuk mengurangi
fokus meringis) nyeri
10. Sikap melindungi 14. Evaluasi keefektifan
Diagnosa Keperawatan NOC NOC

Hambatan mobilitas fisik 1. Joint movement : Exercise therapy :


b/d gangguan active ambulation
neuromuscular, nyeri 2. Mobility level - Monitor vital
3. Self care : ADLs sign
Definisi : keterbatasan pada 4. Transfer sebelum/sesud
pergerakan fisik tubuh atau performance ah latihan dan
satu atau lebih ekstremitas Criteria hasil : lihat respon
secara mandiri dan terarah 1. Klien meningkat pasien saat
Batasan karakteristik : dalam aktivitas fisik latihan
1. Penurunan waktu 2. Mengerti tujuan dari - Konsultasikan
reaksi peningkatan mobilitas dengan terapi
2. Kesulitan 3. Memverbalisasikan fisik tentang
membolak-balik perasaan dalam rencana
posisi meningkatkan ambulasi
3. Melakukan aktivitas kekuatan dan sesuai dengan
lain sebagai kemampuan kebutuhan
pengganti berpindah - Bantu klien
pergerakan (mis, 4. Memperagakan untuk
meningkatkan penggunaan alat bantu menggunakan
perhatian pada untuk mobilisasi tongkat saat
aktivitas orang lain, (walker) berjalan dan
mengendalikan cegah
perilaku, focus pada terhadap
ketunadayaan/aktivit cedera
as sebelum sakit) - Ajarkan
4. Dispnea setelah pasien atau
beraktifitas tenaga
5. Perubahan cara kesehatan lain
berjalan tentang teknik
6. Gerakan bergetar ambulasi
7. Keterbatasan - Kaji
kemampuan kemampuan
melakukan pasien dalam
keterampilan mobilisasi
motorik halus - Latih pasien
8. Keterbatasan dalam
kemampuan pemenuhan
melakukan kebutuhan
keterampilan ADLs secara
motorik kasar mandiri sesuai
9. Keterbatasan kemampuan
rentang pergerakan - Damping
sendi danbantu
10. Tremor akibat pasien saat
pergerakan mobilisasi dan
11. Ketidakstabilan bantu penuhi
postur kebutuhan
12. Pergerakan lambat ADLs ps
13. Pergerakan tidak - Berikan alat
terkoordinasi bantu jika
Faktor yang klien
berhubungan : memerlukan
1. Intoleransi aktivitas - Ajarkan
2. Perubahan pasien
metabolism selular bagaimana
3. Ansietas merubah
4. Indeks masa tubuh posisi dan
diatas perintil ke-75 berikan
sesuai usia bantuan jika
5. Gangguan koknitif diperlukan
6. Konstraktur
7. Kepercayaan budaya
tentang aktivitas
sesuai usia
8. Fisik tidak bugar
9. Penurunan
ketahanan tubuh
10. Penurunan kendali
otot
11. Penurunan massa
otot
12. Malnutrisi
13. Gangguan
musculoskeletal
14. Gangguan
neuromuscular, nyeri
15. Agens obat
16. Penurunan kekuatan
otot
17. Kurang pengetahuan
tentang aktivitas
fisik
18. Keadaan mood
depresif
19. Keterlambatan
perkembangan
20. Ketidaknyamanan
21. Disuse, kaku sendi
22. Kurang dukungan
lingkungan (mis,
fisik atau social)
23. Keterbatasan
ketahanan
kardiofaskular
24. Kerusakan integritas
struktur tulang
25. Program pembatasan
gerak
26. Keengganan
memulai pergerakan
27. Gaya hidup monoton
28. Gangguan sensori
perseptual
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous.2011.Spondilosis.Availableat:http://en.wikipedia.org/wiki/Spondylos
is.Cited at: May 10th

Apley, A Graham dan Louis Solomon. 2011. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur
Sistem Apley ; Edisi Ketujuh, Alih Bahasa Edi Nugroho, Widya Medika.
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Alih
bahasa: Setiawan, I. dan Santoso, A. EGC: Jakarta

Chairil.2011. Laporan Kasus Stase Rehabilitasi Medik Spondylosis Lumbalis.


Universitas Sumatra Utara.

Herdman, T. Heather & Shigerni Kamitsuru. 2018. Nanda-I Diagnosis


Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11. Jakarta : EGC.

Herdman, T.H & Kamitsuru, 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi


dan Klasifikasi 2018-2019. Jakarta: EGC

Ivan K, Natalia F. 2016. Referat Spondylosis Lumbalis Fakultas Kedokteran


Universitas Hang Tuah Surabaya

Middleton, Kimberly dan David E.Fish. 2009. Lumbar Spondylosis: Clinical


Presentation and Treatment Approaches. Vol 2:94-104. Pubmed.

Nursalam. 2015. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekataan Praktis


Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika

Prescher, Andreas. 2011. Anatomy and Pathology of the Aging Spine. Vol
23:181-195. European Journal of Radiology.

Peng, B., et al. 2012. The Pathogenesis of Discogenic Low Back Pain. Vol 87: 62-
67. Journal of Bone and Joint Surgery

Rothschild BM and Wyler AR. Lumbar Sponylosis. Available


at:http://emedicine.medscape.com/article/249036. Updated: Apr 9th

Suhadi, Irwan. 2012. Gambaran Klinis dan Radiologi kasus Low Back Pain Di
Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode 2002-2005. Karya Tulis Ilmiah:
Universitas Maranatha.

Anda mungkin juga menyukai