Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMPN 1 Negara, Kabupaten Jembrana,

Bali, pada bulan Januari 2020. Data penelitian ini diperoleh melalui

pengisian kuesioner oleh siswa-siswa di sekolah tersebut yang bersedia

menjadi responden penelitian. Penelitian ini melibatkan 160orang.

Karakteristik subjek penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Frekuensi Persentase


Jenis Kelamin
Laki-laki 67 41,9
Perempuan 93 58,1
Frekuensi Konsumsi
Junk Food
Sering 22 13,8
Jarang 128 80
Sangat Jarang 10 6,3
Tidak Pernah 0 0
Gejala Depresi
Tidak Ada 105 65,6
Ringan 54 33,8
Berat 1 0,6
Total 160 100
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian ini

berjenis kelamin perempuan, jarang mengkonsumsi junk food, dan tidak

ada gejala depresi.

4.1.2. Hubungan Antara Frekuensi Konsumsi Junk Food dengan

Gejala Depresi

Data frekuensi konsumsi junk food dan gejala depresi dianalisis

menggunakan metode Kruskall-Wallis. Metode ini dipilih karena variabel

penelitian ini merupakan variabel kategorik dan data penelitian tidak

memenuhi syarat dilakukannya uji Chi Square. Uji hipotesis ini dilakukan

di aplikasi SPSS versi 22.

Tabel 2. Hasil Analisis Kruskall-Wallis

Gejala Depresi
Nilai
Tidak Ringan Berat Total
p
Ada
Frekuensi Sering N 15 7 0 22 0,90
Konsumsi % 9,4 4,4 0 13,8
Junk Jarang N 83 44 1 128
Food % 51,9 27,5 0,6 80
Sangat N 7 3 0 10
Jarang % 4,4 1,9 0 6,3
Tidak N 0 0 0 0
Pernah % 0 0 0 0
Total N 105 54 1 160
% 65,6 33,8 0,6 100

Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

frekuensi konsumsi junk food dengan gejala depresi (p = 0,90).


4.2. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwamayoritas subjek penelitian ini

berjenis kelamin perempuan, jarang mengkonsumsi junk food, dan tidak ada

gejala depresi. Karakteristik ini identik dengan beberapa penelitian bertema

serupa. Penelitian di Cardiff, Inggris, yang dilakukan pada tahun 2018 juga

menggunakan populasi yang serupa dengan penelitian ini, yaitu siswa sekolah

menengah. Penelitian dengan desain cross sectional yang melibatkan 3.071

orang responden tersebut mendapati mayoritas subjek penelitiannya berjenis

kelamin perempuan, jarang mengkonsumsi junk food, dan tidak mengalami

depresi(Smith & Richards, 2018). Penelitian lain di Parepare, Sulawesi

Selatan, yang dilakukan pada tahun 2019 juga mendapati karakteristik subjek

yang relatif identik, yaitu mayoritas berjenis kelamin perempuan,

mengkonsumsi makanan yang sehat, dan tidak memiliki gangguan kesehatan

jiwa(Adenengsi & Rusman, 2019).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara frekuensi konsumsi junk food dengan gejala depresi (p = 0,90).Hasil

penelitian ini sejalan dengan sebuah penelitian di Parepare, Sulawesi Selata,

pada thaun 2019. Penelitian dengan desain cross sectional yang melibatkan 99

orang responden tersebut menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan

antara pemilihan makanan sehat atau tidak sehat dengan kesehatan mental

pada remaja (p = 0,67)(Adenengsi & Rusman, 2019). Hasil ini juga didukung

oleh sebuah meta-analisis yang diterbitkan di Journal of Affective Disorders

pada tahun 2018. Penelitian yang mengumpulkan studi prospektif tersebut


menyimpulkan bahwa konsumsi diet yang sehat berkaitan dengan penurunan

angka kejadian munculnya gejala depresi. Namun kekuatan asosiasinya sangat

lemah, sehingga kesimpulan tersebut tidak cukup untuk dijadikan suatu

landasan teori. Sebaliknya, konsumsi junk food tidak terkait dengan

peningkatan kejadian depresi (Molendijk et al., 2018).

Tidak adanya keterkaitan antara konsumsi junk food dengan kejadian

depresi dapat disebabkan oleh beberapa hal, terutama adalah faktor risiko dan

etiologi utama dari depresi. Diketahui bahwa faktor risiko dan etiologi depresi

dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu faktor biologis, genetik, dan

psikososial. Junk food termasuk pada faktor biologis karena diketahui bahwa

konsumsi junk food dapat membuat berkurangnya serotonin dan peningkatan

stress oksidatif dalam tubuh yang akan memicu terjadinya depresi.

Faktor genetik memiliki peranan yang lebih besar dalam patogenesis

terjadinya depresi. Diketahui bahwa terdapat ratusan lokus genetik yang

terbukti terkait dengan peningkatan risiko terjadinya depresi. Beberapa lokus

genetik yang paling sering dibahas adalah HTR1A, BDNF, CB1, GALR2, dan

P2RX7. Polimorfism pada semua lokus gen tersebut disertai interaksi dengan

berbagai lokus gen pro-inflamasi menyebabkan penurunan produksi sitokin,

sehingga muncul berbagai gejala depresi. Oleh sebab itu, seseorang yang

mengalami depresi akan memiliki risiko lebih besar untuk anaknya juga

menderita depresi(Shadrina et al., 2018).


Pada penelitian ini, faktor psikososial diperkirakan memiliki pengaruh

yang juga besar terhadap terjadinya depresi. Permasalahan pada lingkungan

pertemanan, prestasi, dan keluarga merupakan tiga permasalahan psikososial

utama pada kelompok usia ini. Permasalahan lain seperti ekonomi, lingkungan

virtual, dan penampilan diri juga terkadang ditemukan pada beberapa

remaja(Bányai et al., 2017). Berbagai permasalahan ini diduga lebih

berpengaruh terhadap adanya gejala depresi pada subjek penelitian ini.

Meskipun demikian, terdapat beberapa penelitian yang mendapati adanya

hubungan antara konsumsi junk food dengan kejadian depresi.

Sebuah penelitian di Tehran, Iran, yang dilakukan pada tahun 2018

menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian dengan

desain cross sectional yang melibatkan 200 orang tersebut menyimpulkan

bahwa konsumsi junk food berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya

depresi(Gholami et al., 2018). Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh

adanya perbedaan pada karakteristik populasi penelitian. Penelitian Gholami

tersebut menggunakan orang dewasa sebagai subjek penelitiannya, sedangkan

penelitian ini menggunakan siswa SMP. Orang dewasa dan siswa SMP

memiliki permasalahan hidup yang berbeda, sehingga kejadian depresi pada

orang dewasa bisa bukan hanya disebabkan oleh konsumsi junk food,

melainkan juga permasalahan lain, seperti ekonomi, keluarga, pertemanan,

dan karir.

Penelitian lain di Korea Selatan pada tahun 2016 juga menyimpulkan

hasil yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian dengan desain cross
sectional yang melibatkan 68.043 responden secara online tersebut

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi junk food dengan

keinginan untuk bunuh diri, terutama apabila konsumsinya bersamaan dengan

minuman berenergi. Keinginan bunuh diri itu sendiri merupakan salah satu

gejala dari depresi, sehingga penelitian tersebut dapat dijadikan pembanding

penelitian ini, meskipun metode yang digunakan sedikit berbeda. Penelitian

tersebut menggunakan kuesioner secara online, sedangkan penelitian ini

menggunakan kuesioner secara tatap muka(Park et al., 2016).

Kekurangan penelitian ini adalah tidak terdapatnya data lain yang

dapat memperkuat inti dari penelitian ini, antara lain data usia, riwayat depresi

pada orang tua, dan lingkungan sosial. Selain itu, catatan konsumsi junk food

diisi berdasarkan ingatan dan persepsi dari subjek, sehingga sangat mungkin

terdapat bias recall.


LAMPIRAN

A. Hasil Analisis SPSS

1. Univariat
2. Bivariat

Anda mungkin juga menyukai