Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS HUKUM PRODUK CACAT (DEFECTIVE PRODUCT)

A. Pengertian Produk Cacat


Terdapat beberapa pengertian mengenai produk cacat, menurut (Bustami & Nurlela, 2007)
produk cacat merupakan produk yang dihasilkan dalam proses produksi, dimana produk yang
dihasilkan tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan, tetapi masih bisa diperbaiki
dengan mengeluarkan biaya tertentu. Produk cacat menurut (Kholmi & Yuningsih, 2009)
merupakan suatu produk yang dihasilkan namun tidak dapat memenuhi standar yang telah
ditetapkan perusahaan, tetapi masih dapat diperbaiki. Jadi, dapat disimpulkan bahwa produk
cacat merupakan produk yang dihasilkan melalui suatu proses dan produk tersebut tidak
sesuai dengan spesifikasi atau standar, yang sudah ditetapkan oleh produsen pembuat produk
tersebut, tetapi masih dapat diperbaiki dengan mengeluarkan beban atau biaya tertentu.
Menurut Jiwa (2009), penyebab suatu produk dikatakan cacat ada tiga kategori, yaitu cacat
produk atau manufaktur, cacat desain, dan cacat peringatan atau instruksi.

B. Jenis-jenis Produk Cacat


1) Kesalahan Produksi atau Cacat Manufaktur
Kesalahan produksi, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a) Kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan
pada sarana inspeksi, apakah kelalaian karena manusia atau ketidakberesan pada mesin
dan yang serupa dengan hal itu.
b) Produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksudkan
oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.
Contoh kasus :
Beberapa waktu lalu, Apple mengumumkan telah menemukan adanya cacat produksi pada
perangkat iPhone 8. Diketahui perangkat yang cacat tersebut dipasarkan pada periode
September 2017 sampaCi Maret 2018. Cacat produksi yang dimaksud ada pada bagian logic
board di mana efeknya, ponsel menjadi seringkali restart, tidak merespons (freeze), atau
bahkan tidak dapat dinyalakan. Untuk menanggulangi masalah ini, Apple menyatakan akan
memberi perbaikan gratis khusus untuk perangkat yang mengalami cacat produksi ini.
Caranya mudah, pengguna cukup membawa perangkat iPhone 8-nya ke gerai resmi Apple.
Namun sebelum dibawa ke gerai resmi, ada baiknya pengguna memastikan lebih dahulu
apakah kerusakan yang dialami merupakan cacat produksi atau karena faktor lain. Pasalnya
Apple menyatakan tidak akan memberi perbaikan gratis pada masalah lain yang ditemukan di
ponsel yang bersangkutan.

2) Cacat Desain
Cacat desain merupakan salah satu hal yang merugikan bagi konsumen apabila desain dari
produk yang digunakan oleh konsumen tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. Cacat desain
adalah cacat produk yang ditandai dengan bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada
manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa, atau bila keuntungan dari desain produk
tersebut lebih kecil daripada risikonya.
Contoh Kasus :
Pembuat kapal selam Navantia asal Spanyol menyatakan telah menyelesaikan perluasan
lambung bertekanan (pressure hull) kapal selam S80 pertama milik Angkatan Laut Spanyol,
sebuah langkah yang dapat mencegah kapal selam tenggelam ke dasar laut. Pada tahun 2013,
media melaporkan kapal selam S80 mengalami penundaan serius karena ternyata kapal selam
itu Cacat Desain, sehingga Kapal Selam S-80 “Super Scorpene” tidak dapat mengapung
karena terlalu berat 70 ton sehingga tidak dapat mengapung sama sekali. Navantia, kontraktor
utama program kapal selam kemudian membawa insinyur ahli dari luar untuk membantu
mengatasi masalah ini. Mereka kemudian berusaha memecahkan masalah dengan
memperpanjang lambung tekanan kapal selam tempat Air Independent Propulsion (AIP),
kesemua pengerjaan ini kemungkinan baru bisa diselesaikan pada tahun 2018. Desain ulang
kapal selam itu membuat pengerjaan menjadi terlambat dari jadwal meski para pejabat
pertahananan Spanyol pernah menyatakan kapal selam akan siap pada akhir tahun 2015.

3) Cacat peringatan atau industri


Adalah suatu kondisi dimana produk tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu
atau instruksi penggunaan tertentu. Hal tersebut sangat berkaitan dengan pemasaran suatu
produk, di mana keamanan suatu produk berkaitan erat dengan informasi yang diberikan
kepada pemakai berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas resiko
tertentu atau hal lain sehingga produsen dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa
produk mereka dapat dipergunakan.
Mengenai pencantuman informasi dan/atau petunjuk penggunakan barang dalam Bahasa
Indonesia, secara umum dapat dilihat ketentuannya pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Sedangkan untuk
produk telematika dan elektronika dapat dilihat lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan
(Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk
Telematika dan Elektronika (Permendag 19/2009).
Pada dasarnya, UU Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha (termasuk importir)
yang akan memperdagangkan barang-barang di Indonesia mencantumkan informasi dan/atau
petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia.
C. Tanggung Jawab Produk (Product Liability)
Product liability atau tanggung jawab product merupakan salah satu prinsip penting
didalam UUPK . Menurut Agnes M. Toar product liability adalah tanggung jawab para
produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran yang menyebabkan kerugian
pada pihak lain sebagai konsumen karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Product
disini secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang
(tangiable goods) baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan
dengan Product Liability, produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang
bersifat intangible, seperti listrik, produk alami, tulisan, atau perlengkapan tetap pada rumah
real estate dan juga yag termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu
produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggng jawab itu sendiripun bisa karena adanya perjanjian atau karena undang-undang
(karena adanya perbuatan melawan hukum.
Az. Nasution dalam bukunya "Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar"
memberikan pengertian bahwa product liability diterjemahkan sebagai tanggung jawab
produk cacat. Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab yang sudah
dikenal selama ini, karena tanggung jawab ini disebabkan oleh keadaan tertentu produk,
barang dan/atau jasa, yang meletakkan tanggung jawab produk kepada pelaku usaha pembuat
produk (produsen). Banyak negara-negara yang menerapkan konsep ini dalam perundang-
undangannya, bahkan Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa telah membuat peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai product liability ini diluar
peraturan mengenai perlindungan konsumen.
Tanggung jawab produk cacat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Produk cacat
Definisi produk cacat adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya
baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal
lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi
manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannnya sebagaimana diharapkan orang.
2. Ada kerugian yang diderita pemakai/konsumen produk cacat atau pihak yang memiliki
kaitan dengan penggunaan produk tersebut.
3. Tanggung jawab produsen
Tanggung jawab ini dibebankan kepada produsen tanpa kesalahan dari pihaknya, kecuali
produsen dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat
dipersalahkan kepadanya. Prinsip strict liability ini diterapkan dengan tujuan :
"Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut." Menyediakan
sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat dihindari.
Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha di Berbagai Undang-Undang

1. UU Perlindungan Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

2. UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan


Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha
di bidang Perdagangan

3. UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik
untukkepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentukbadan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

A. ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Terhadap Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen

Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen mengatur hak-hak konsumen, antara lain :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa


perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila


barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Terhadap Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen

Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban konsumen, antara lain :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;d.mengikuti upaya penyelesaian


hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Terhadap Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen

Hak pelaku usaha adalah:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

3. Terhadap Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen

Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang


dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kmpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen antara lain


berupa:

1. Contractual Liability, atau pertanggungjawaban kontraktual, yaitu tanggung jawab perdata


atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha baik barang maupun jasa atas kerugian
yang dialami konsumen akibat mengonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa
yang diberikan. Artinya dalam kontraktul ini terdapat suatu perjanjian atau kontrak langsung
antara pelaku usaha dengan konsumen.
2. Product Liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari
pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang
dihasilkan.

Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (tortius


liability). Unsur-unsur dalam tortius liability antara lain adalah unsur perbuatan melawan
hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian yang timbul.

Jadi, product liability dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract)
antara pelaku usaha dengan konsumen, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada product
liability atau pertanggungjawaban produk. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 19 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan.

3. Criminal Liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan
antara pelaku usaha dengan negara.

Dalam hal pembuktian, yang dipakai adalah pembuktian terbalik seperti yang diatur dalam
Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa pembuktian
terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu kerusakan, pencemaran
dan/atau kerugian yang dialami konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha, tanpa menutup kemungkinan dalam melakukan pembuktian.

Jadi, kedudukan tanggung jawab perlu diperhatikan, karena mempersoalkan kepentingan


konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggung
jawab dan sampai batas mana pertanggungjawaban itu dibebankan kepadanya. Tanggung
jawab atas suatu barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan atau industri, dalam
pengertian yuridis lazim disebut sebagai product liability.

Anda mungkin juga menyukai