Anda di halaman 1dari 16

Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

PERTEMUAN 10
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Menjelaskan tentang Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha
B. URAIAN MATERI
1. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan
perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka
untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang
dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk
menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undangundang
menentukan berbagai larangan sebagai berikut:

Pasal 8 (1)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundangundangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan
dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

S1 Hukum Universitas Pamulang 131


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertenty sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;

f tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang


paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label;

1. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama
dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informast secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau
bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

S1 Hukum Universitas Pamulang 132


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Penjelasan
Ayat (1) huruf g
“Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata best
before yang biasa digunakan dalam label produk makanan”.
Ayat (2)
“Barang-barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Ayat (3)
“Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut
peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Ayat (4)
“Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/ atau jasa dari peredaran”.

Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal,_ | yaitu larangan memproduksi
barang dan/atau jasa, dan | larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang | dimaksud.
Larangan-larangan yang dimaksudkan ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk
mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat

merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan
informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.' Berbeda dengan
produk-produk lainnya, terhadap barang-barang yang berupa sediaan farmasi mendapat
perlakuan khusus, karena kalau barang jenis ini rusak, cacat atau bekas, tercemar maka dilarang
untuk diperdagangkan, walaupun disertai dengan informasi yang lengkap dan benar tentang
barang tersebut. Sedangkan barang lainnya tetap dapat diperdagangkan asal disertai dengan
informasi yang lengkap dan benar atas barang tersebut.

Larangan-larangan yang tertuju pada “produk* sebagaimana dimaksudkan di atas


adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dan penggunaan

S1 Hukum Universitas Pamulang 133


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai
harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan
diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarnya, atau yang
tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya.

Untuk melindungi konsumen agar tidak dirugikan dan segi mutu barang, maka dapat
ditempuh dengan berbagai cara antara lain:

a. Standar Mutu

Berkenaan dengan pengawasan kualitas/mutu barang, dalam WTO telah dicapai


Persetujuan tentang Hambatan Teknis Dalam Perdagangan. Persetujuan ini mengikat negara
yang menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain
menentukan aturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan,
perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk keperluan lain, maka
peraturan standar dan pengujian serta sertifikasl yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan
yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional.’ Sedangkan untuk mengkajt
kemungkinan risiko, elemen terkalt yang petlu dipertimbanghan antara Jain adalah tersedianya
intormaal dlmiah dan teknis, teknologi pemrosesan atau kegunaan akhir yang dituju oleh
produk.?

Berdasarkan ketentuan di atas, maka produk yang masuk dalam suatu megara akan
memenuhi ketentuan tentang standar kualitas yang diinginkan dalam suatu negara. Hal ini berarti
produk impor yang dikonsumsi oleh konsumen akan memenuhi standar yang telah ditetapkan
oleh masingmasing negara, sehingga konsumen akan terlindungi baik dari segi kesehatan,
maupun tentang jaminan diperolehnya produk yang baik sesuai dengan harga yang dibayarkan.
Oleh karena itu untuk mengawasi kualitas/mutu barang, diperlukan adanya standardisasi mutu
barang.

S1 Hukum Universitas Pamulang 134


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Menyadari peranan standardisasi yang penting dan strategis tersebut, pemerintah


dengan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang kemudian disempurnakan dengan
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk Dewan Standardisasi Nasional. Di
samping itu, telah dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar
Nasional Indonesia (SNI) dan Keppres No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan
Pengawasan SNI dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Standardisasi Secara Nasional.

Dengan telah dibentuknya Dewan Standarisasi Nasional dan diterbitkannya Peraturan


Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia, dan Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka mulai 1
Februari 1996 hanya ada satu standar mutu saja di Indonesia, yaitu Standar Nasional Indonesia
(SNI),

Sekarang SNI diatur dalarn Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang


Standardisasi dan Penilaian Kesesusian, di mana dalam Pasal 3 ditentukan bahwa Standardisasi
dan Penilaian Kesesuaian bertujuan untuk:
a. meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persuingan usaha
yang sechat dan transparan dalam perdayangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku
Usaha, serta kemampuan inovasi teknologi;
b. meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan
masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan,
maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi
transaksi perdagangan barang dan/atau jasa di dalam negeri dan luar negeri.

Pengawasan mutu produk yang dilakukan oleh pemerintah (khususnya Deperindag)


tersebut jangkauannya meliputi produk ekspor, produk dalam negeri dan produk impor yang
beredar di pasar dalam negeri. Namun, peraturan teknis yang diberlakukan terhadap produk yang

S1 Hukum Universitas Pamulang 135


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

diimpor dari negara lain (negara anggota WTO) harus diberikan perlakuan yang tidak kurang
menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada produk nasional dan
produk serupa yang berasal dari negara lain.

Kebijaksanaan mutu di lingkup Departemen Perindustrian dan Perdagangan dilaksanakan


dengan cara sertifikasi berdasarkan ketentuan Pre Shipment Inspection (PSI) . dan Pre
Distribution Inspection (PDI) yang didukung sistem jaringan Laboratorium penguji mutu.
Melalui ketentuan sersebut, pelaksanaan pengawasan mutu produk dapat menjamin tersedianya
produk yang bermutu sesuai standar, paik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri.

Untuk lebih menjamin produk tersebut, yang diperlukan bukan hanya sampai pada
dipenuhinya spesifikasi dan pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu dilakukan pengawasan
oleh Departemen Perdagangan (sekarang Departemen Perindustrian dan Perdagangan) terhadap
produk yang telah memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di pasaran dalam negeri, maupun
yang akan diekspor. Berkaitan dengan itu, maka terhadap komoditi ekspor dan impor berlaku
ketentuan:’

a. standar komoditi ekspor tidak boleh lebih rendah daripada SNI, yang berarti standar komoditi
ekspor mempergunakan SNI atau dengan spesifikasi tambahan non mandatory bila diperlukan;

b. standar komoditi impor minimal harus memenuhi SNI dan standar nasional negara yang
bersangkutan.

Pemberlakuan SNI ini merupakan suatu usaha peningkatan mutu, yang di samping
menguntungkan produsen, juga menguntungkan konsumen, tidak hanya konsumen dalam negeri
tapi juga konsumen di luar negeri, karena standar yang berlaku di Indonesia telah disesuaikan
dengan standar mutu internasional, yaitu dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh Dewan
Standardisasi Nasional dengan Nomor Seri SNI 19-9000:1992. Di mana ISO 9000 Sendiri pada
umumnya:

S1 Hukum Universitas Pamulang 136


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

a, mengatur semua hegiatan dari perusahaan dalam hal teknis, administrasi dan sumber daya
manusia yang memengaruhi mutu produk dan jasa yang dihasilkan;
b.memberkan kepuasan kepada para pelanggan dan pemakar akhuir:
c. penerapan honsep penghematan biaya dengan cara pelaksanaan pekerjaan yang benar pada
setiap saat;
d. memberikan petunjuk tentang koordinasi antara manusia, mesin dan informasi untuk mencapai
tujuan standar;
e. mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen mutu untuk mencapai tujuan mutu dari
perusahaan.

Dengan demikian, sasaran dari ISO 9000 mencakup kebutuhan dan kepentingan
perusahaan, yaitu untuk mencapai dan memelihara mutu yang diinginkan dengan biaya yang
optimum, yaitu dengan menggunakan sumber daya (teknologi, bahan dan manusia) yang tersedia
secara terencana dan efisien.

Sasaran lainnya adalah untuk kebutuhan dan harapan pelanggan, yaitu kepercayaan
terhadap kemampuan perusahaan untuk menghasilkan mutu yang diinginkan dan
pemeliharaannya secara konsisten. ISO 9000 akan menunjang program perbaikan mutu untuk
mencapai mutu yang memenuhi keinginan konsumen di seluruh dunia.

Dengan diadopsinya ISO 9000 ini diharapkan dapat mengubah pola pikir pengusaha di
negara berkembang yang pada umumnya berpendapat bahwa barang yang baik dan seragam
tidak menguntungkan perusahaannya, karena berbagai alasan seperti:

a. Ppenerapan standar mutu yang tinggi akan menaikkan ongkos produksi;


b. penekanan atas mutu suatu produk akan mengurangi produktivitas;
c. Konsumen di dalam negeri tidak kritis dengan standar mutu.

S1 Hukum Universitas Pamulang 137


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Padahal jika dicermati, pemenuhan standar sangat diperlukan dalam transaksi


perdagangan internasional karena menjamin keseragaman tingkat kualitas barang yang
diperdagangkan. Demikian pula pemenuhan standar juga dapat mengurangi sengketa tentang
kualifikasi dan kualitas barang yang diekspor atau diimpor.®

b. HKI / Merek

Perlindungan konsumen di bidang mutu barang juga dapat terjadi dengan pemenuhan
ketentuan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Ketentuan tentang HKI ini juga telah
disepakati pada Putaran Uruguay, yang merupakan salah satu lampiran dari Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yaitu Persetujuan tentang aspek-aspek dagang dari
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs). Kesepakatan tentang TRIPs tersebut, merupakan suatu langkah maju dalam bidang
perlindungan HKI, karena dengan adanya persetujuan tersebut, maka setiap anggota diwajibkan
untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya. Bahkan dimungkinkan untuk
menerapkan dalam hukum domestiknya sistem perlindungan yang lebih luas daripada yang
diwajibkan, sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan persetujuan TRIPs. Persetujuan
tentang Aspek-aspek Dagang dart HKI dalam WTO tersebut meru uk pada konvensi konvens:
yang berkaitan dengan HKI yang sudah ada sebelumnya, seperus Konvensi Pans, Konvens,
Berne, Konvens: Roma, maupun traktat tentang HKI atag Rangkaian Elektronik Terpadu

Perlindungan konsumen dalam Persetujuan TRIPs tidak disebutkan secara tegas,


namun disebutkan bahwa dalam penjatuhan sanksi tertentu, dimaksudkan untuk mengurangi
risiko pelanggaran lebih lanjut serta men ad kan kepentingan pihak ketiga sebagai dasar
pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi tersebut Hal ini beraru bahwa konsumen merupakan
pihak yang dipertimbangkan dalam penjatuhan sankss terhadap produsen yang melanggar
ketentuan HKI Demikian pula, badan peradilan diben wewenang untuk memenntahkan agas
barang yang terbukd merupakan hasi) pelanggaran HIN, tanpa kompensasi apa pun, dikeluarkan
dar arus perdagangan sedemikian rupa untuk menghindarkan kerugian yang dialami pemegang

S1 Hukum Universitas Pamulang 138


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

hak, atau dimusnahkan (kecuali kalau hal itu bertentangan dengan persyaratan konstitusional)
Sedangkan terhadap barang impor, badan peradilan diberi wewenang memerintahkan suatu pihak
untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan, antara lain untuk mencegah masuknya ke
dalam arus perdagangan di dalam wilayah hukum mereka barangbarang pelanggaran atas HKI
yang duumpor

Berdasarkan Kesepakatan TRIPs tersebut, maka produsen pemegang HKI akan terhindar
dari kerugian akibat pemalsuan HKI oleh pihak yang tidak berhak, sedangkan pihak konsumen
terhindar dari kerugian akibet penggunaan produk palsu yang di samping dapat merugikan
konsumen karena kualitasnya yang rendah, juga karena membayar harga yang lebih tinggi
dibanding kualitas parang tersebut.

Di antara berbagai Hak Kekayaan Intelektual di atas, merek dagang merupakan salah
satu hak yang sangat terkait dengan perlindungan konsumen, karena pelanggaran atas pak merek
akan berdampak secara luas terhadap konsumen, karena merek meliputi segala kebutuhan
konsumen. Oleh karena itu Hak Kekayaan Intelektual yang dibahas secara khusus adalah merek
dagang, yaitu merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang
sejenis lainnya.”

Walaupun Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis pada umumnya ditujukan


untuk mengatur pemakaian merek agar para pemakai merek tidak saling merugikan, namun
pengaturan tentang lalu lintas pemakaian merek tersebut sangat bermanfaat pula bagi para
konsumen, terutama karena konsumen dapat bebas dari kekeliruan pemakaian barang-barang
tertentu yang bermerek palsu. Hal tersebut disebabkan karena konsumen yang biasanya sudah
terikat menggunakan merek-merek tertentu yang dikenalnya, sehingga manakala terjadi
pemalsuan, maka sangat besar kemungkinan konsumen mengalami kerugian karena
mengonsumsi secara keliru barang tertentu yang kualitasnya berbeda dari yang biasanya.

S1 Hukum Universitas Pamulang 139


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Begitu pentingnya perlindungan konsumen agar tidak keliru mengonsumsi suatu produk,
maka berdasarkan Konvensi Paris, maupun dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, serta
pengadilan di Indonesia, untuk menentukan apakah suatu merek memiliki persamaan pada
pokoknya atay keseluruhannya, kriteria utamanya adalah seberapa jauh merek yang dimaksud
dapat menyebabkan kekeliruan dan kekacauan bagi khalayak ramai.'* Upaya perlindungan
khalayak ramai (konsumen) dari kekeliruan tersebut lebih luas lagi jika menyangkut merek
terkenal, karena larangan untuk menggunakan merek yang sama dengan merek yang sudah
didaftarkan oleh pihak lain, secara umum berlaku untuk barang sejenis, tapi knusus mengenai
merek terkenal, larangan tersebut juga dapat diberlakukan terhadap barang yang tidak sejenis,'>
yaitu jika penggunaan dari merek yang bersangkutan secara tidak wajar akan mengindikasikan
adanya hubungan antara barang tersebut dengan pemilik merek yang telah didaftarkan.'* Dasar
penentuan ada tidaknya persamaan antara satu merek dengan merek lainnya atau dapat tidaknya
membingungkan masyarakat, perlu pula mengamati cara pengucapan, penampilan dan maksud
dari merek yang bersangkutan.

Penentuan tentang ada tidaknya persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya
suatu merek terhadap merek lainnya yang didasarkan pada kekeliruan khalayak ramai
(konsumen) memang tepat, karena salah satu tujuan penggunaan merek adalah agar pihak
konsumen dapat mengetahui siapa yang memperdagangkan dan/atau memproduksi barang yang
bersangkutan. Melalui “tanda merek” tersebut pihak konsumen dapat mengetahui kualitas
barang/jasa yang bersangkutan baik melalui pengalamannya karena pernah menggunakan merek
tersebut, atau informasi yang diperolehnya dari konsumen lain. Atau dengan, melalui “tanda
merek” tersebut konsumen dapat menilai kualitasnya karena mengetahui siapa yang
memproduksi atau mengetahui barang dengan merek yang bersangkutan, sehingga "tanda merek"
tersebut sangat memengaruhi perdagangan si pedagang. Dengan demikian, merek memiliki
fungsi ganda, yaitu sebagai mekanisme untuk mengidentifikasi dan juga memberi keuntungan
dalam pemasaran.

S1 Hukum Universitas Pamulang 140


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Di samping itu, merek juga memberikan jaminan kualitas barang/jasa yang


bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga
memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen.?°

Berdasarkan hal di atas tampak bahwa selain sebagai tanda untuk membedakan antara
satu produk dengan produk lainnya yang sejenis yang berguna bagi produsen, merek juga
merupakan sarana informasi bagi konsumen, karena merek sangat berarti dalam
mengidentifikasi/memberi ciri pada produk/jasa yang berasal dari sumber (produsen) tertentu.
Pengetahuan konsumen terhadap merek tertentu dengan kualitas tertentu pula, juga akan mampu
membangun keterikatan ke arah pembelian produk/jasa tersebut di masa mendatang. Hal ini juga
berarti bahwa pilihan konsumen terhadap barang yang menggunakan merek tertentu akan
menguntungkan produsennya karena penggunaan merek juga mempunyai fungsi untuk
menghubungkan antara barang dengan pemilik hak merek atau yang terdaftar sebagai pemakai
merek tersebut
Perlindungan konsumen dan keuntungan produsen yang didasarkan pada penggunaan
merek tertentu akan berlangsung lama karena pada dasarnya penggunaan merek/ hak atas merek
tidak memiliki jangka waktu berakhir yang sesungguhnya, karena jangka waktu perlindungan
hak atas merek tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama setiap kali akan
berakhir, asal pemegang hak merek membayar biaya perpanjangan.”

Jangka waktu tanpa batas tersebut telah ditentukan dalam Persetujuan tentang Aspek-
aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual, yang menentukan bahwa: “Initial registration, and
each renewal of registration, of a trademark shall be for a term of no less than seven years. The
registration of a trademark shall be renewable indefinitely”.

Ketentuan tersebut telah diakomodasikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 35 ayat (1)
dan ayat (2), sebagai berikut:
Pasa] 35 ayat (1):

S1 Hukum Universitas Pamulang 141


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak
Tanggal Penerimaan.
Pasal 35 ayat (2):
Jangka waktu pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk
jangka waktu yang sama.
Bagian perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual yang juga memilki peran sama
dengan merek dan juga memiuhiki perlindungan yang tanpa batas tertentu adalah indikasi
geografis, yaitu tanda yang mengindikasikan suatu barang sebagai berasal dari wilayah salah satu
angyota, atau suatu dacrah di dalam wilayah tersebut, di mana tempat asal barang tersebut
merupakan hal yang sangat penting bagi reputasi dari barang yang bersangkutan karena kualitas
dan karakteristiknya.?* Hak atas indikasi geografis tersebut dalam perundang-undangan
Indonesia juga telah diatur, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis. Hak atas indikasi geografis tersebut dalam undang-undang ini dibedakan
dengan indikasi asal. Rumusan masing-masing hak dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 6 dan 7
serta Pasal 63, sebagai berikut.

Pasal 1 angka 6 dan 7:

6. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau
produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau
kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu
pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

7. Hak atas Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang
menjadi dasar diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis masih ada.

Pasal 63

S1 Hukum Universitas Pamulang 142


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Endikasi asal dilindungi tanpa melalui kewajiban pendaftaran atau secara deklaratif sebagai
tanda yang menunjukkan asal suatu barang dan/atau jasa yang benar dan dipakai dalam
perdagangan.

Berdasarkan hal di atas, tampak bahwa ketentuan dalam perjanjian internasional di


bidang Hak atas Kekayaan Intelektual yang telah diakomodasi dalam perundang-undangan
Indonesia, sangat membantu dalam hal penentuan pilihan konsumen terhadap mutu barang yang
dikehendaki, sehingga konsumen terlindungi dari penggunaan barang dengan kualitas yang tidak
sesuai dengan yang dikehendaki.

C. LATIHAN DAN TUGAS


1. Jelaskan Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha terhadap Produk barang yang
dijualnya

D. DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Ali, Achmad. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone.
Badrulzaman, Meriam Darus. 1994. Aneka Hutum Bisnis. Bandung: Alumni.
----------1986. “Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku“, dalam
Hasil Simpostum Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang
diselenggarakan oleh BPHN. Jakarta: Bina Cipta.
Bintang, Sanusi dan Dahlan. 2000. Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Bodenheimer, Edgar. 1962. Jurisprudence, The Method and Philosophy of Law, Harvard
University. Cambridge.
Brotosusilo, Agus. 1992. Hak Produsen dalam Hukum Perlindungan Konsumen. dalam Majalah
Hukum dan Pembangunan. No. 5, Tahun XXiq, Oktober 1992. Jakarta: Fakultas

S1 Hukum Universitas Pamulang 143


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Hukum Universitas Indonesia.


Dunne, J.M. van. 1989. “Pertanggungjawaban Khusus Tanggung Jawab Produk”. Terjemahan
Agnes M. Toar. Bahan Penataran Hukum Perikatan Il, Dewan Kerja Sama Iimu Hukum
Belanda dengan Indonesia. 17-29 Juli 1989. Ujung Pandang: Proyek Hukum Perdata.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Gautama, Sudarga. 1994. Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional, TRIPs,
GATT Putaran Paraguay (1994). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Goodpaster, Gary. 1995. “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa”, dalam Arbitrase di
Indonesia—Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2. Jakarta: Ghalia Indonesia.
----------dkk. 1995. “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang secara Umum dan Arbitrase Dagang di
Indonesia”, dalam Arbitrase di Indonesia—Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Gunawan, Johannes. 1994, “Product Liability” dalam “Hukum Bisnis Indonesia”, dalam Pro
Justitia. Tahun XII, Nomor 2, April 1994.
Hadad, Tini (YLKI). 2000. “Peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam
Perlindungan Hukum Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas”, dalam Husni Syawali
dan Neni Sri Imaniyati. Penyunting. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung:
Mandar Maju.
Harahap, Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hartono, Sri Redjeki. 2000. “Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka
Era Perdagangan Bebas”, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting,
Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung. Mandar Maju.
----- 2000, Menyongsong Sistem Hukum Ekonomi yang Berwawasan Asay Keseimbangan,
dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Maju.
Himawan, Ch.. 1996. Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Sebagai Saran Pengembalian
Wibawa Hukum, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5. Tahun XXI,
Oktober 1991, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Hondius. 1992. Konsumentenrecht. Kluwer-Deventer: Praeadvis in Nederlanse Vereniging voor

S1 Hukum Universitas Pamulang 144


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Rechtsverlijking.
Kertadjoemena, H. S., GATT dan WTO, Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang
Perdagangan.
Knottembelt, Johannes. 1990. Productaansprakelijkheid. Disertasi. Rotterdam: Erasmus
Universiteit.
Kovach. 1994. Mediation, Principles and Practice. Paul, Minn: West Publishing Co,S.
Liliweri, Alo. 1992. Dasar-dasar Komunikasi Periklanan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Marzuki, H.M. Laica. 1996. “Aspek Hukum Administrasi dari Perseroan
Marzuki, Peter Mahmud. tanpa tahun. Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia. Surabaya:
Universitas Airlangga.
Masjchun Sofwan. Sri Soedewi. tanpa tahun. Hukum Perikatan. Yogyakarta: Badan Penerbit
Gadjah Mada.
Miru, Ahmadi. 2000. “Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia”.
Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Nasution, Az. 1988. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Kontrak Pembelian Rumah
Murah“. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Sehari tentang Pertanggungan Jawab
Produk dan Kontrak Bangunan. Jakarta.
Nieuwenhuis. 1985. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Terjemahan Djasadin Saragih. Surabaya:
Universitas Airlangga.
Nurmadjito. 2000. “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan
Konsumen di Indonesia“, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati. Penyunting.
Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.
Toar, Agnes M. 1989. “Tanggung Jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa
Negara”. Makalah. Ujung Pandang: Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan
Indonesia—Proyek Hukum Perdata.
Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan. 1992. Rancangan Akademik Undang-
Undang tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

S1 Hukum Universitas Pamulang 145


Modul Hukum Perlindungan Konsumen Program Studi Hukum

Yayasan Lembaga Konsumen. 1981. Perlindungan Konsumen Indonesia. Suatu Sumbangan


Pemikiran tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jakarta:
Yayasan Lembaga Konsumen.
Yodo, Sutarman. 2001. “Eksistensi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Dalam
Pengaturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen“, Makalah Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Makassar: November 2001.

S1 Hukum Universitas Pamulang 146

Anda mungkin juga menyukai