Anda di halaman 1dari 23

Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.

FIKIH PUASA

Yayasan Darul Faqih Malang Indonesia


Sekretariat Pusat: Jalan Arif Rahman Hakim V/73 Malang
Pesantren Darul Faqih:
Jalan Gapura No 197 Pandanlandung Wagir Malang
Email: darulfaqihmalang@yahoo.com

1
 Fadhilah Puasa

 Rasulullah saw bersabda:


.‫غ ِف َْر لَ ْهُ َما تَقَ َّد َْم ِمنْ ذَن ِب ِْه‬
ُ ‫سابًا‬
َ ِ‫صا َْم َر َمضَانَْ ِإي َمانًا َواحت‬
َ ْ‫َمن‬
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan
mengharap (ridha) Allah, niscaya ia akan diampuni dari dosa-dosanya
yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 Rasulullah saw bersabda:


‫ ِإذَا لَمْ يُغفَرْ لَ ْهُ فِي ِه؛ فَ َمتَى؟‬،ُ‫بُعدْا ً ِل َمنْ أَد َركَْ َر َمضَانَْ َولَمْ يُغفَرْ لَ ْه‬
“Sangat rugi bagi orang yang mendapati bulan Ramadhan namun ia
tidak diampuni. Kalau ia tidak diampuni di bulan itu, lalu kapan?”
(HR. Ibnu Abi Syaibah dan al-Thabrani)

 Rasulullah saw bersabda:


ُ َ‫صائِ ِْم أَطي‬
ْ‫ب‬ ُْ ُ‫صو َْم فَ ِإنَّ ْهُ ِلي َوأَنَا أَج ِزي ِب ِْه َولَ ُخل‬
َّ ‫وف فَ ِْم ال‬ َّ ‫ن آ َد َْم لَ ْهُ إِ َّّْل ال‬
ِْ ‫ع َم ِْل اب‬َ ْ‫ كُل‬:‫قال هللا عز وجل‬
.‫ك‬ ِْ ‫يحِ ال ِمس‬
ْ ‫ّللاِ ِمنْ ِر‬
َّْ ‫ِعن َْد‬
“Allah swt berfirman, ‘Setiap perbuatan ibnu Adam (manusia) adalah
baginya, kecuali berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku
dan Aku yang akan membalasnya.’ Sungguh bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada bau minyak kasturi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

 Rasulullah saw bersabda:


.‫سب ِعينَْ َخ ِريفًا‬ ِْ َّ‫ّللاُ بِذَ ِلكَْ اليَو ِْم َوج َه ْهُ عَنْ الن‬
َ ‫ار‬ َ ‫ّللاِ إِ َّّْل بَا‬
َّْ ‫ع َْد‬ َّْ ‫سبِي ِْل‬
َ ‫صو ُْم يَو ًما فِي‬
ُ َ‫َما ِمنْ عَبدْ ي‬
“Tidak ada dari seorang hamba yang berpuasa satu hari di jalan
Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh
70 tahun (jarak tempuh perjalanan selama tujuh puluh tahun, penj),
sebab (puasa) di hari itu.” (HR. Muslim)

 Ibnu Rajab menyebutkan, sampainya seseorang pada bulan


Ramadhan dan kesempatan berpuasa di bulan itu adalah nikmat
besar yang telah dikaruniakan oleh Allah swt. Hal ini ditunjukkan
oleh hadits Nabi Muhammad saw tentang tiga orang yang dua di
antaranya menjadi syahid (gugur di medan perang karena membela
agama Allah, penj). Kemudian orang ketiga meninggal dunia di atas
tempat tidurnya (bukan syahid, penj). Maka dilihat dalam mimpi
bahwa orang ketiga ini mendahului kedua temannya. Sahabat
menanyakan hal itu. Maka Nabi saw bersabda:
َْ‫ ِإنَّْ بَينَ ُه َما ََلَبعَ ُْد ِم َّما بَين‬،ِ‫ فَ َوالّذِيْ نَفسِيْ ِبيَ ِده‬،ُ‫صا َمه‬
َ َ‫ َوأَد َركَْ َر َمضَانَْ ف‬،‫صالَة‬
َ ‫س بَع َد ُه َما َكذَا َو َكذَا‬َْ ‫أَلَي‬
.‫ض‬ْ ِ ‫اء َواَلَر‬ ِْ ‫س َم‬
َّ ‫ال‬

2
“Bukankah setelah keduanya (dua orang syahid, penj) ada sekian-
sekian shalat, dan ia (orang ketiga) mendapati bulan Ramadhan dan
ia berpuasa di dalamnya. Demi Dzat yang jiwaku berada dalam
kekuasaan-Nya, sesungguhnya antara keduanya pasti lebih jauh dari
pada jarak langit dan bumi.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Hibban)

 Pengertian Puasa

Puasa adalah menahan diri dari semua hal yang bisa membatalkannya,
sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat khusus.

 Hukum Meninggalkan Puasa Ramadhan

Allah swt berfirman:


183 ‫ البقرة‬.َْ‫علَى الَّذِينَْ ِمنْ قَب ِلكُمْ لَ َعلَّكُمْ تَتَّقُون‬ ّ ِ ‫علَي ُك ُْم ال‬
َْ ‫ص َيا ُْم َْك َما ُك ِت‬
َ ‫ب‬ َْ ‫َيا أَي َها الَّذِينَْ آ َمنُوا ُك ِت‬
َ ‫ب‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Hukum orang yang meninggalkan puasa Ramadhan, seperti hukum orang


yang meninggalkan shalat. Jika dia meninggalkan karena mengingkari
hukumnya yang wajib, maka dia dihukumi kafir. Demikian pula dengan
rukun Islam yang lain (zakat, haji, dan sebagainya).

Jika meninggalkan puasa karena malas dan menganggap remeh, sebagian


ulama tidak menghukuminya kafir, namun dianggap tidak lengkap
Islamnya, karena Rasulullah saw mengibaratkan Islam seperti bangunan
yang dibangun di atas lima penyangga. Jika lengkap kelima penyangga
tersebut, bangunan akan kokoh. Jika kurang lengkap, bangunan akan
mudah roboh. Rasulullah saw bersabda:
ْ‫صو ِم‬ َّ ‫اء‬
َ ‫الزكَا ِْة َو‬ َّ ‫هللاِ َوإِقَام ال‬
ِْ َ ‫صالَ ِْة َوإِيت‬ ُ ‫هللاُ َوأَنَّْ ُم َح َّمدْا ً َر‬
ْ ‫سو ُْل‬ ْ َّ‫ش َهادَة أَنْ ّْلَ إِلهَْ إِ ّْل‬َ ْ‫علَى َخمس‬ َ ‫اإلسالَ ُْم‬ ِ ‫ي‬َْ ِ‫بُن‬
‫ متفق عليه‬.ً‫ال‬ ْ ‫سبِي‬ َْ ‫ن است َ َطا‬
َ ‫ع إِلَي ِْه‬ ِْ ‫ت ِل َم‬
ِْ ‫جِ البَي‬
ّْ ‫َر َمضَانَْ َو َح‬
“Islam dibangun di atas lima penyangga: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke baitullah bagi yang
mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang meninggalkan puasa, hakim atau pemerintah wajib


memerintahkannya untuk bertaubat dan memberinya sanksi. Jika tidak
mau bertaubat, dalam hukum Islam, orang tersebut dipenjara dan tidak
diberi makan dan minum sampai terbenamnya matahari (Maghrib). Orang

3
tersebut tidak dihukumi kafir, namun dikhawatirkan akhir hayatnya mati
dalam keadaaan su-ul khatimah. Na’udzubillah…

Rasulullah saw bersabda:


:َ‫ فَقَا ّْل‬.ُ‫ إِ ِنّي ّْلَ أ ُ ِطيقُ ْه‬:ُْ‫ فَقَلت‬.ْ‫ اصعد‬:َ‫ فَقَا ّْل‬،ً‫الً َو ِعرا‬ ْ َ‫عي فَأَتَيَا بِي َجب‬ َّْ ‫ن فَأ َ َخذَا ِبضَب‬ ِْ َ‫بَينا أَنَا نَائِمْ إِذْ أَتَانِي َر ُجال‬
‫ َما َه ِذ ِْه اَلَص َواتُ ؟‬:ُْ‫ قُلت‬،‫شدِيدَة‬ َ ْ‫اء ال َجبَ ِْل إِذَا بِأَص َوات‬ َ ‫ص ِعدتُْ َحتَّى إِذَا كُنتُْ فِي‬
ِْ ‫س َو‬ َ َ‫ ف‬.َْ‫سهلُ ْهُ لَك‬
ِ ُ ‫سن‬ َ ‫إِنَّا‬
‫ تُسِي ُْل‬،‫شقَّقَ ْةً أَشدَاقِ ِهم‬ َ ‫ ُم‬،‫ ث ُ َّْم ان َطلَقَْ ِبي فَ ِإذَا أَنَا ِبقَومْ ُمعَلَّ ِقينَْ ِبعَ َراقِيبِ ِهم‬.‫ار‬ ِْ َّ‫عوا ُْء أَه ِْل الن‬
َ ‫ َهذَا‬:‫قَالُوا‬
‫ رواه ابن خزيمة‬.ْ‫صو ِم ِهم‬ َ ‫ َه ُؤّلَ ِْء الَّذِينَْ يُف ِط ُرونَْ قَب َْل ت َ ِحلَّ ِْة‬:‫ َمنْ َه ُؤّلَ ِء؟ قا َ َْل‬:ُْ‫ قُلت‬،‫أَشدَاقُ ُهمْ َد ًما‬
“Ketika tidur, aku bermimpi didatangi dua orang membawa pundakku.
Keduanya membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, Naiklah!
Aku menjawab, “Aku tidak mampu.” Keduanya mengatakan, “Kami akan
membantu memudahkanmu.” Maka aku mendaki, ketika sampai di
puncak gunung, tiba-tiba terdengar suara melengking keras. Aku bertanya:
“Suara apa itu? Mereka menjawab, “Itu adalah suara penghuni neraka.”
Kemudian dia berangkat lagi membawaku, ternyata aku dapati suatu kaum
yang bergantungan tubuhnya, mulutnya pecah dan mengeluarkan darah.
Saya bertanya, ”Siapa mereka?” Dia berkata, “Mereka adalah orang-orang
yang berbuka puasa sebelum dibolehkan (waktunya) berbuka puasa.” (HR.
Ibnu Khuzaimah)

 Hukum-Hukum Puasa

Puasa mempunyai 4 (empat) macam hukum:


1. Wajib, yaitu dalam 6 macam puasa:
a. Puasa Ramadhan
b. Puasa Qadla
c. Puasa Kaffarah/penebus [seperti kaffarah dzhihar
(menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibunya),
atau kaffarah sebab berhubungan suami istri pada siang hari
bulan Ramadhan].
d. Puasa saat haji dan umrah, sebagai ganti dari menyembelih
hewan ternak dalam pembayaran fidyah.
e. Puasa dalam ritual shalat Istisqa (shalat memohon turunnya
hujan), jika diperintahkan oleh pemerintah.
f. Puasa nadzar.

2. Sunnah, terbagi menjadi 3 (tiga) macam:


A. Terulang tiap tahun, seperti puasa hari Arafah, puasa Tasu’a
(tanggal 9), ‘Asyura (tanggal 10), dan tanggal 11 bulan
Muharram, puasa 6 hari di bulan Syawwal, puasa pada bulan-
bulan suci (yaitu bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram,

4
dan Rajab), puasa 10 hari pertama dari bulan Dzul Hijjah, dan
sebagainya.
B. Tidak terulang tiap tahun, seperti puasa al ayyam al biidh
(“hari-hari putih”, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan
hijriyyah), dan puasa al ayyam as suud (“hari-hari hitam”, yaitu
tanggal 28, 29, dan 30 pada tiap bulan hijriyyah).
C. Terulang tiap minggu, seperti puasa hari Senin dan Kamis.
Catatan:
- Puasa sunnah yang paling afdhal adalah puasa Nabi Dawud,
yaitu satu hari puasa satu hari tidak.

3. Makruh, seperti puasa hari Jum’at saja, atau Sabtu saja, atau Ahad
saja. Tidak makruh, jika digabung dengan yang lain, misalnya Jum’at
dengan Sabtu, atau Sabtu dengan Ahad, atau 3 hari berturut-turut
(Jum’at, Sabtu, dan Ahad). Makruh juga puasa tiap hari sepanjang
tahun (puasa dahr) bagi orang yang khawatir puasa tersebut dapat
membahayakan dirinya.

4. Haram, terbagi menjadi 2 (dua) bagian:


A. Haram namun puasanya sah, yaitu puasanya seorang istri tanpa
seizin suaminya, dan puasanya seorang budak sahaya tanpa
seizin tuannya.
B. Haram dan puasanya tidak sah, dalam 5 (lima) kasus:
1. Puasa saat hari Raya Idul Fitri (1 Syawwal)
2. Puasa saat hari Raya Idul Adha (10 Dzul Hijjah)
3. Puasa saat hari-hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan
Dzul Hijjah.
4. Puasa separuh terakhir di bulan Syakban, yaitu tanggal 16, 17,
18 sampai akhir bulan Syakban.
5. Puasa hari syak (ragu), yaitu puasa hari ke-30 pada bulan
Syakban, jika sudah ramai dibicarakan tentang terlihatnya
bulan/hilal.

Catatan:
- Kapankah boleh berpuasa pada hari syak (30 Syakban) atau pada
separuh terakhir bulan Syakban?

Boleh dalam 3 (tiga) hal:


1. Jika puasanya merupakan puasa wajib, seperti puasa qadla, kaffarah
atau nadzar.
2. Jika dia punya kebiasaan puasa sunnah, seperti puasa hari Senin
dan Kamis. Sudah dihukumi menjadi kebiasaannya meskipun baru
satu kali berpuasa sunnah tersebut.

5
3. Jika separuh terakhir pada bulan tersebut sambung dengan hari
sebelumnya, contohnya, seseorang berpuasa pada tanggal 15
Syakban, maka boleh baginya puasa tanggal 16. Jika boleh puasa
tanggal 16, maka boleh baginya puasa tanggal 17, dan seterusnya
sampai akhir bulan. Namun jika terputus dengan tidak puasa 1 hari,
misalnya tanggal 18 Syakban kemudian dia tidak berpuasa, maka
tanggal 19 dan seterusnya dia tidak boleh berpuasa lagi.

 Syarat Sah Puasa

Artinya, jika sudah terpenuhi syarat-syarat 4 (empat) di bawah ini sah


puasanya, yaitu:
1. Islam
Dengan demikian dia harus terus dalam keadaan Islam sepanjang
siang, jika sampai murtad/keluar dari agama Islam, –na’udzubillah-
meskipun hanya sekejap, maka puasanya batal. Allah swt berfirman:
َ َّْ‫لَئِنْ أَش َركتَْ لَيَحبَ َطن‬
.65‫ الزمر‬.َْ‫ع َملُك‬
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu.” (QS. Al-Zumar: 65)
2. Berakal
Disyaratkan sepanjang hari itu dia harus terus dalam keadaan
berakal. Jika seumpama sekejap saja dia gila, maka puasanya batal.
Adapun hilangnya akal karena pingsan atau mabuk, akan dibahas
secara terperinci pada pembahasan tentang hal-hal yang dapat
membatalkan puasa.
3. Tidak haid atau nifas.
Dengan demikian, bagi orang wanita yang ingin berpuasa, dia harus
suci dari haid dan nifas sepanjang siang. Jika keluar darah haid pada
akhir siang (meskipun waktu berbuka tinggal sekejap saja), maka
puasanya batal. Begitu juga jika dia suci/terputus haidnya di siang
hari, kemudian dia berniat puasa, maka puasanya tersebut tidak sah,
namun disunnahkan baginya untuk menahan diri dari hal yang bisa
membatalkan puasa (dengan tanpa niat untuk berpuasa). Rasulullah
saw bersabda:
َ ‫صم؟ فَذَ ِلكَْ نُق‬
‫ رواه البخاري‬.‫صانُْ دِينِ َها‬ َْ ‫أَلَي‬
َ ُ ‫س إِذَا َحاضَتْ لَمْ ت‬
ُ َ ‫ص ِ ّْل َو َلمْ ت‬
“Bukankah jika seorang wanita haid, ia tidak shalat dan tidak
berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari)

4. Mengetahui bahwa di hari itu dia boleh berpuasa.


Artinya, bukan di hari yang dilarang untuk berpuasa, sebagaimana
telah dibahas.

6
 Syarat Wajib Puasa

Artinya, jika sudah terpenuhi 5 (lima) syarat ini, seseorang wajib berpuasa,
yaitu:
1. Islam
Dengan demikian, orang kafir tidak dituntut di dunia untuk
berpuasa. Adapun orang murtad, dia wajib meng-qadla puasa yang
ditinggalkan saat dia murtad, jika dia sudah kembali lagi masuk
Islam.
2. Mukallaf
Yaitu baligh dan berakal. Adapun anak kecil, wajib bagi walinya
(orang tua, kakek, dan sebagainya) untuk menyuruhnya berpuasa
saat dia berumur 7 tahun. Jika sudah berumur 10 tahun tidak mau
berpuasa, sang wali wajib memukulnya jika hal tersebut
memungkinkan.
3. Mampu
Baik secara indrawi maupun syar’i. Mampu secara indrawi
maksudnya bukan orang yang sakit parah, atau sulit sembuh, atau
sangat tua. Mampu secara syar’i, artinya bukan orang yang sedang
haid atau nifas.
Allah berfirman:
184 ‫ البقرة‬.‫سفَرْ فَ ِعدَّةْ ِمنْ أَيَّامْ أ ُ َخ َْر‬ َ ْ‫أَيَّا ًما َمعدُودَاتْ فَ َمنْ كَانَْ ِمنكُمْ َم ِريضًا أَو‬
َ ‫علَى‬
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
4. Sehat
Karena itu orang yang sakit tidak wajib berpuasa.

Ukuran sakit yang menjadikannya boleh tidak berpuasa: sekira jika tetap
berpuasa, dikhawatirkan sakitnya tambah parah, atau sembuhnya menjadi
lama. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
ُ َ‫ان أَنْ ي‬
‫ رواه البخاري‬.‫ فَلْيُط ِع َما َمكَانَْ ُك ِ ّْل يَومْ ِمس ِكين‬:‫صو َما‬ ِْ َ‫خ ال َك ِبي ُْر َوال َمرأ َ ْةُ ال َك ِبي َر ْةُ ّْلَ يَست َ ِطيع‬
ُْ ‫ُه َْو الشَّي‬
“Dia (orang yang membayar fidyah, penj) adalah orang laki-laki atau
perempuan lanjut usia, keduanya tidak mampu berpuasa, maka keduanya
memberi makan (untuk) setiap harinya satu orang miskin.” (HR. Bukhari)

5. Muqim
Dengan demikian, puasa tidak wajib bagi orang yang sedang
bepergian jauh (minimal 82 KM) dan perjalanannya merupakan

7
perjalanan yang mubah/boleh, bukan untuk maksiat. Disyaratkan
pula, dia berangkat sebelum terbitnya fajar. Dalilnya adalah Surat al-
Baqarah ayat 184 di atas.

Hukum yang afdhal bagi musafir adalah tetap berpuasa, jika tidak
membahayakan dirinya. Jika membahayakan, maka diutamakan
untuk tidak berpuasa.

 Rukun-Rukun Berpuasa

Ada 2 (dua), yaitu:


1. Niat, baik puasa sunnah maupun puasa wajib. Niat wajib untuk
dilakukan setiap hari. Dan disunnahkan pada awal bulan Ramadhan
untuk berniat puasa selama sebulan.
Niat puasa wajib, harus dilakukan pada malam hari. Waktunya sejak
matahari terbenam (maghrib) dan berakhir hingga terbenamnya fajar
(subuh). Rasulullah saw bersabda:
ْ َ‫صيَا َْم قَب َْل الفَج ِْر ف‬
.ُ‫الَ ِصيَا َْم لَ ْه‬ ّ ِ ‫َمنْ لَ َْم يَج َم ِْع ال‬
“Barangsiapa tidak mengumpulkan (berniat) puasa sebelum fajar, maka
tidak ada puasa baginya (puasanya tidak sah, penj).” (HR. Turmudzi dan
Nasai)

Adapun niat puasa sunnah, waktunya berakhir hingga waktu dzuhur.


Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah:
َ ْ‫ فَ ِإنِّي ِإذَن‬:‫ قَا َْل‬.َْ‫ ّل‬:‫سلَّ َْم ذَاتَْ يَومْ فَقَا َلْ َهلْ ِعن َدكُمْ شَيء؟ فَقُلنَا‬
.ْ‫صائِم‬ َ ‫علَي ِهْ َو‬ ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬ َّْ َ‫عل‬
َ ْ‫ي النَّبِ ُي‬ َ ‫َد َخ َْل‬
‫صحيح مسلم‬
“Nabi saw masuk ke rumahku pada suatu hari, kemudian beliau bertanya,
‘Apakah kalian memiliki sesuatu (untuk dimakan?’ Kami jawab, ‘Tidak.’
Beliau lalu berkata, ‘Kalau demikian, aku berpuasa.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, niat puasa sunnah, sah dilakukan meski setelah


terbitnya fajar, namun dengan 2 (dua) syarat:
1. Niat tersebut dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur.
2. Sejak terbitnya fajar sampai masuk waktu Dzuhur tidak melakukan
sesuatu pun yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum,
dan sebagainya.

Lafadz niat adalah:

ْ‫سنَ ِة‬
َّ ‫انْ َه ِذ ِْه ال‬
َ ‫ض‬َ ‫ض شَه ِرْ َر َم‬ ِ ‫غدْ عَنْ أَد‬
ْ ِ ‫َاءْ فَر‬ َ ْ‫صو َم‬ َ ُْ‫نَ َويت‬
.‫للِ تَعَالَى‬
ْ ‫ضا‬ً ‫فَر‬
8
“Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa-i fardli syahri Ramadlaana
haadzihis sanati fardlan lillaahi ta’aala” (saya niat berpuasa besok
untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah
Ta’ala).

Perbedaan antara niat puasa wajib dengan niat puasa sunnah:

No Niat Puasa Wajib Niat Puasa Sunnah


1 Masuk waktunya sejak Masuk waktunya sejak
terbenamnya matahari (waktu terbenamnya matahari (waktu
Maghrib) sampai terbitnya Maghrib) sampai bergesernya
fajar, dengan demikian wajib matahari di siang hari (waktu
niat di malam hari. dzhuhur), dengan demikian tidak
wajib niat di malam hari.
2 Wajib menentukan jenis Tidak wajib menentukan jenis
puasanya, seperti puasa puasanya, kecuali jika puasa
Ramadhan, puasa kaffarah, sunnahnya merupakan puasa
puasa nadzar, atau puasa yang waktunya tertentu, seperti
qadla puasa hari Arafah
3 Tidak boleh menggabungkan 2 Boleh menggabungkan 2 puasa
puasa fardlu dalam satu hari, sunnah atau lebih dalam satu
misalnya niat puasa nadzar hari, misalnya niat puasa hari
dan niat puasa qadla Senin dan niat puasa hari Arafah
Ramadlan. sekaligus (seumpama harinya
bertepatan).

Catatan:

Dalam kasus yang bagaimanakah, sah puasa sunnah dengan niat yang
dilakukan setelah terbitnya fajar, meskipun telah melakukan hal yang
dapat membatalkan puasa (telah makan, atau minum, dan sebagainya)?

Contohnya adalah jika sudah menjadi kebiasaan seseorang berpuasa


sunnah pada hari tertentu, seperti hari Senin atau hari Arafah. Kemudian
di hari itu dia lupa dan makan di pagi hari misalnya, setelah itu dia ingat
bahwa hari itu adalah hari Senin atau hari Arafah, maka sah niatnya
dengan syarat dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur.

2. Meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.

Allah swt berfirman:

9
ْ‫ط اَلَس َو ِد‬ ُْ َ‫ط اَلَبي‬
ِْ ‫ض ِمنَْ ال َخي‬ ُْ ‫ّللاُ لَكُمْ َو ُكلُوا َواش َربُوا َحتَّى يَتَبَيَّنَْ لَ ُك ُْم ال َخي‬
َّْ ‫ب‬َْ َ ‫ش ُرو ُهنَّْ َوابتَغُوا َما َكت‬ ِ ‫فَاْلنَْ بَا‬
.187 ‫ البقرة‬.‫ص َيا َْم ِإ َلى اللَّي ِْل‬ ّ ِ ‫ِمنَْ الفَج ِْر ث ُ َّْم أ َ ِتموا ال‬
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan
Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Namun tidak batal jika hal-hal itu dilakukan karena lupa, atau dipaksa,
atau karena tidak tahu, yang ketidaktahuannya karena udzur.

Sedang ketidaktahuan seseorang dianggap udzur jika:


a. Hidup jauh dari ulama.
b. Baru masuk atau mengenal Islam.

 Waktu Wajib Puasa Ramadhan

Wajib Puasa Ramadhan setelah didapati salah satu dari 5 (lima) hal. Dua
hal bersifat umum, dan tiga hal bersifat khusus.

Adapun dua hal yang bersifat umum adalah:


1. Setelah sempurnanya bulan Sya’ban 30 hari.
Rasulullah saw bersabda:
‫ متفق عليه‬.ً ‫صو ُموا ِل ُرؤيَتِ ِْه َوأَف ِط ُروا ِل ُرؤيَتِ ِْه فَ ِإنْ ُغ َّْم َعلَيكُمْ فَأَك ِملُوا ِع َّد ْةَ شَعبَانَْ ثَالَثِينَْ يَومْا‬
ُ
“Berpuasalah karena kalian melihat hilal dan berbukalah karena
kalian melihatnya. Jika hilal tertutup bagi kalian, maka
sempurnakanlah jumlah Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Terlihatnya bulan/hilal dengan persaksian dari seorang yang adil


(bukan fasiq), lelaki, merdeka, rasyid (bijaksana), tidak tuli, tidak
buta, sadar, tidak melakukan dosa besar, tidak punya kebiasaan
selalu melakukan dosa kecil, taatnya lebih banyak dari pada
maksiatnya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata:


.‫ صحيح أبي داود‬.‫ام ِْه‬ َْ َّ‫صا َْم َوأ َ َم َْر الن‬
ِ ‫اس ِب ِص َي‬ َ َ‫هللاِ أ َ ِنّي َرأَيت ُ ْهُ ف‬ ُ ‫الهالَ َْل فَأَخ َبرتُْ َر‬
ْ ‫سو َْل‬ ِ ‫اس‬ُْ َّ‫ت َ َرا َءي الن‬
“Orang-orang melihat hilal, kemudian aku memberitahu Rasulullah bahwa
aku melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-
orang berpuasa.” (Shahih Abi Dawud)

Maksud “bersifat umum” adalah: wajib puasa bagi seluruh penduduk


wilayah tersebut, juga bagi orang yang berada dalam satu mathla’ (terbit
dan terbenamnya matahari waktunya sama), ini menurut pendapat Imam

10
Nawawi. Sedang menurut Imam Rafi’i, wajib atas penduduk yang berada di
wilayah tersebut dan juga penduduk yang berada sampai sepanjang jarak
qashar (82 Km).

Adapun tiga hal yang bersifat khusus adalah:


1. Dengan melihat hilal, maka wajib bagi orang tersebut untuk
berpuasa, meski dia orang yang fasiq.
2. Seseorang diberitahu tentang terlihatnya hilal. Dalam hal ini ada 2
(dua) kemungkinan:
- Jika pembawa berita adalah orang yang dapat dipercaya, wajib
puasa di hari itu, baik yang menerima berita yakin dengan
kebenaran beritanya atau tidak.
- Jika pembawa berita bukan orang yang dapat dipercaya, maka
tidak wajib puasa hari itu, kecuali jika si penerima berita yakin
dengan kebenaran beritanya.
3. Dengan sangkaan yang merupakan hasil ijtihad, seperti mendengar
semacam petasan atau ‘blenggur’ yang biasanya digunakan untuk
menandai masuknya bulan Ramadhan.

 Permasalahan-Permasalahan Penting tentang Terlihatnya Hilal

1. Seseorang mendapat berita dari orang yang dia yakini kebenaran


beritanya, bahwa hilal telah terlihat, kemudian dia berpuasa
Ramadhan. Setelah 30 hari berpuasa Ramadhan, hilal untuk menandai
berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya bulan Syawwal tidak
kunjung terlihat juga, apakah boleh dia tidak berpuasa pada hari ke-
31, walaupun hilal saat itu tidak terlihat?

Menurut Imam Ramli, dia boleh tidak berpuasa, namun dengan cara
yang tidak ditampak-tampakkan di depan umum. Sedang menurut
Imam Ibnu Hajar, dia tetap wajib berpuasa.
2. Jika seseorang melakukan perjalanan, berangkat dari daerahnya di
akhir bulan Syakban dan dia dalam keadaan tidak berpuasa karena di
daerahnya hilal belum terlihat. Setelah sampai di daerah tujuan, dia
mendapati penduduk daerah tersebut sedang berpuasa karena di
wilayah tersebut hilal telah terlihat, bagaimanakah hukumnya? Atau
sebaliknya, dia bepergian dalam keadaan berpuasa karena di
daerahnya hilal telah terlihat, kemudian di daerah tujuan,
penduduknya belum berpuasa, bagaimanakah hukumnya?

Dalam kasus pertama, jika orang tersebut mendapati mereka sedang


berpuasa, maka orang tersebut wajib pula berpuasa seperti penduduk
daerah tersebut. Sedang dalam kasus kedua, jika orang tersebut

11
mendapati mereka belum berpuasa, menurut Imam Ramli dia
membatalkan puasanya. Sedang menurut Imam Ibnu Hajar, dia tidak
boleh membatalkan puasanya, karena puasanya tersebut dibangun
atas keyakinan terlihatnya hilal, maka dia tidak boleh melanggar
keyakinannya tersebut.

3. Jika seseorang melakukan perjalanan dari wilayahnya pada akhir


bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa, karena hilal belum terlihat,
atau sebaliknya, dia sudah tidak berpuasa lagi karena hilal telah
terlihat. Setelah sampai di daerah tujuan, dia mendapati penduduknya
sudah tidak berpuasa sedang dirinya masih berpuasa, atau sebaliknya,
dia mendapati penduduk daerah tersebut masih berpuasa, sedang
dirinya sudah tidak berpuasa, bagaimanakah hukumnya?

Dalam dua contoh kasus di atas, menurut pendapat terkuat, dia wajib
mengikuti apa yang dilakukan oleh penduduk daerah tersebut, karena
saat itu dia menjadi bagian penduduk daerah tersebut.

 Sunnah-Sunnah Berpuasa dan Bulan Ramadhan

1. Mempercepat (ta’jil) buka puasa jika sudah yakin masuk waktu


berbuka (yakni terbenamnya matahari). Jika ragu, maka dia harus
berhati-hati dengan menunda sebentar buka puasa sampai merasa
yakin dengan masuknya waktu berbuka. Rasulullah saw bersabda:
‫ متفق عليه‬.‫َّلت َ َزا ُْل أ ُ َّمتِي ِب َخيرْ َما َع َّجلُوا ال ِفط َْر‬
“Umatku senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka
mempercepat berbukanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Sahur, walaupun dengan seteguk air. Masuk waktu sahur mulai


pertengahan malam. Rasulullah saw bersabda:
‫ صحيح‬.ْ‫س َّح ُروا َولَوْ ِب ُجر َع ِْة َماء‬
َ َ‫ت‬
“Bersahurlah walaupun dengan seteguk air.” (Shahih)
‫متفق عليه‬. ً‫س ُحو ِْر بَ َرك َْة‬
َّ ‫س َّح ُروا فَ ِإنَّْ فِي ال‬
َ َ‫ت‬
“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu ada barakah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
‫ رواه أحمد في المسند‬.‫حر‬ َّ ‫ب أَكلَ ْةُ ال‬
ِْ ‫س‬ ِْ ‫ام أَه ِْل ال ِكتَا‬ ِ َ‫فَص ُْل َما بَينَْ ِصي‬
ِْ َ‫امكُمْ َوبَينَْ ِصي‬
“Pembeda antara puasa kalian dengan puasa ahli kitab adalah makan
sahur.” (HR. Ahmad dan al-Musnad)
3. Mengakhirkan sahur di akhir malam. Disunnahkan untuk berhenti
makan sebelum terbitnya fajar seukuran membaca 50 ayat
(seperempat jam). Hal ini berdasarkan hadits riwayat Zaid:

12
‫س ُحو ِر؟‬ ِ َ‫ كَمْ كَانَْ بَينَْ اَلَذ‬:ُْ‫صالَ ِْة قُلت‬
َّ ‫انْ َوال‬ َّ ‫سلَّ َْم ث ُ َّْم قَا َْم إِلَى ال‬
َ ‫علَي ِهْ َو‬ ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬ ّْ ِ‫س َّحرنَا َم َْع النَّب‬
َ ِ‫ي‬ َ َ ‫ْت‬
‫ متفق عليه‬.‫ قَدر َخمسِينَْ آيَة‬:‫قَا َْل‬
“Kami sahur bersama Nabi saw kemudian beliau berdiri untuk shalat.
Aku (perawi) bertanya, ‘Berapakah waktu itu jarak antara adzan dan
sahur? Zaid menjawab, ‘Seukuran (membaca) 50 ayat (al-Qur’an).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
4. Berbuka dengan ruthab (kurma muda), jika tidak ada maka dengan
kurma, jika tidak ada maka dengan air zamzam, jika tidak ada maka
dengan air biasa, jika tidak ada maka dengan makanan manis yang
masak tanpa menggunakan api (seperti madu atau kismis), jika tidak
ada maka makanan manis yang masak dengan api. Diriwayatkan
bahwa Nabi saw:
‫ صحيح‬.‫اء‬ َ ‫ي فَ ِإنْ لَمْ تَكُنْ فَعَلَى ت َ َم َراتْ فَ ِإنْ لَمْ تَكُنْ َحسا َح‬
ِْ ‫س َواتْ ِمنَْ ال َم‬ َ ُ‫علَى ُر َطبَاتْ قَب َْل أَنْ ي‬
َْ ّ‫ص ِل‬ َ ‫طر‬
ُْ ‫يف‬
‫أبي داود‬
“Berbuka dengan beberapa ruthab (kurma basah) sebelum shalat.
Jika tida ada ruthab, beliau berbuka dengan tamr (kurma kering).
Jika tidak ada maka beliau berbuka dengan air.” (Shahih Abu
Dawud)
5. Berdoa saat berbuka, lafadz yang terpendek adalah: “Allahumma
laka shumtu, wa bika aamantu, wa ‘ala rizqika afthartu”.
Selain teks doa di atas, terdapat riwayat lain tentang doa Rasulullah.
Disebutkan bahwa Nabi saw jika berbuka, membaca doa:

‫ صحيح‬.ُ‫هللا‬ ْ ِ‫قْ َوثَبَتَْ اَلَج ُْر إ‬


ْ ‫ن شَا َْء‬ ِْ َّ‫ظ َمْأ ُ َوابتَل‬
ُ ‫ت العُ ُرو‬ َْ ‫ذَ َه‬
َّ ‫ب ال‬
‫أبي داود‬
“Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat, dan telah pasti
pahala (puasa) insya Allah.” (Shahih Abu Dawud)

Terkait fadhilah doa saat berpuasa, Rasulullah saw bersabda:


‫ صحيح الترمذي‬.‫اإل َما ُْم العَا ِد ُْل َودَع َو ْةُ ال َمظلُو ِْم‬ َّ ‫ثَالَثَةْ ّْلَ ت ُ َردْ دَع َوت ُ ُهمْ ال‬
ُْ ‫صائِ ُْم َحتَّى يف‬
ِ ‫طر َو‬
“Tiga orang yang doanya tidak ditolak: Orang berpuasa sampai ia berbuka,
pemimpin yang adil, dan doa orang yang terdzalimi.” (Shahih al-Turmudzi)

6. Memberi makan untuk orang yang berbuka.


7. Jika berhadats besar, disunnahkan mandi janabah/mandi besar
sebelum terbit fajar. Aisyah meriwayatkan:
‫ متفق عليه‬.‫صو ُْم‬ ِ َ ‫سلَّ َْم كَانَْ يُد ِر ُك ْهُ الفَج ُْر َو ُه َْو ُجنُبْ ِمنْ أَه ِل ِْه ث ُ َّْم يَغت‬
ُ َ‫س ُْل َوي‬ َ ‫علَي ِْه َو‬ ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬ َْ ِ‫أَنَّْ النَّب‬
َ ‫ي‬
“Bahwa Nabi saw pernah memasuki waktu fajar dalam keadaan
junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

13
8. Mandi di malam hari setiap ba’da Maghrib di bulan Ramadhan,
supaya lebih giat untuk qiyamul lail (tarawih, tadarrus, dan lain-
lain).
9. Melaksanakan shalat Tarawih selama bulan Ramadhan.
‫ متفق عليه‬.‫سابْا ً ُغ ِف َْر لَ ْهُ َما تَقَ َّد َْم ِمنْ ذَنبِ ِْه‬
َ ِ‫َمنْ قَا َْم َر َمضَانَْ إِي َمانْا ً َواحت‬
“Barangsiapa menghidupkan (malam Ramadhan) karena iman dan
mengharap (ridha Allah), maka akan diampuni baginya dosa yang telah
lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
10. Senantiasa melaksanakan shalat Witir. Shalat Witir pada bulan
Ramadhan mempunyai kekhususan hukum yaitu:
a. Disunnahkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah.
b. Disunnahkan bagi imam untuk memperkeras bacaan.
c. Disunnahkan untuk membaca qunut pada separuh kedua
bulan Ramadhan.
11. Memperbanyak bacaan Al-Qur’an.
ْ‫اس ِبال َخي ِرْ َوأَج َو َْد َما يَكُونُْ فِي َر َمضَانَْ ِحينَْ يَلقَاهُْ ِجب ِري ُل‬
ْ ِ َّ‫سلَّ َمْ أَج َو َْد الن‬
َ ‫علَي ِْه َو‬ ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬ َ ْ‫كَانَْ النَّ ِبي‬
‫ رواه البخاري‬.َْ‫ض َعلَي ِْه القُرآن‬ ُْ ‫َويُع ِر‬
“Rasulullah adalah orang yang paling baik dalam melakukan kebaikan dan
paling baik dalam Ramadhan saat ditemui oleh Jibril dan ia membacakan
al-Qur’an kepada Nabi.” (HR. Bukhari)
12. Memperbanyak melakukan kesunnahan-kesunnahan, seperti
shalat Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, dan sebagainya.
13. Memperbanyak amal-amal shalih, seperti shadaqah, shilaturrahmi,
menghadiri majlis taklim/pengajian, i’tikaf, umrah, menjaga hati dan
anggota tubuh dari perbuatan maksiat, memperbanyak doa, dan
sebagainya.
14. Lebih meningkatkan semangat ibadah pada 10 hari terakhir,
mengejar lailatul qadar pada malam-malam tersebut, terutama pada
tanggal-tanggal ganjilnya. Diriwayatkan dari Aisyah ra:
َ ‫ظ أَه َل ْهُ َو‬
‫ متفق‬.‫ش َّْد ال َمئ َز َْر‬ ِ ‫سلَّ َْم كَانَْ إِذَْا َد َخ َْل العَش َْر اَل َ َو‬
َْ ‫اخ َْر أَحيَا اللَّي َْل َوأَي َق‬ َ ‫علَي ِْه َو‬ َ ْ‫أَنَّْ النَّ ِب َّي‬
ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬
‫عليه‬
“Bahwa Nabi saw jika memasuki 10 hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau
menghidupkan malam, membangunkan istri beliau, dan meninggalkan
hubungan suami istri (untuk dipergunakan ibadah). (HR. Bukhari dan
Muslim)
15. Lebih memperbanyak dalam menafkahi keluarganya.
16. Meninggalkan banyak bergurau, terutama yang mengandung
ejekan. Jika diejek oleh seseorang, harus segera ingat bahwa dirinya
sedang berpuasa.
َ ‫فَ ِإنْ ا ُم ُرؤْ شَات َ َم ْهُ أَوْ قَاتَلَ ْهُ فَليَقُلْ إِ ِنّي‬
َ ‫صائِمْ إِ ِنّي‬
‫ رواه مسلم‬.ْ‫صائِم‬

14
“Jika seseorang menghina atau menengkarinya, maka hendaknya orang
yang berpuasa itu mengatakan. ‘Sesungguhnya aku berpuasa,
sesungguhnya aku berpuasa.” (HR. Muslim)

 Hal-Hal yang Dimakruhkan dalam Berpuasa, ada 8 (delapan):


1. Mengunyah sesuatu tanpa ada yang sampai ke tenggorokan (jika ada
yang sampai ke tenggorokan, puasanya batal).
2. Mencicipi makanan tanpa ada perlunya, (dengan syarat tidak ada
makanan yang sampai ke tenggorokan, jika ada, puasanya batal).
Adapun jika ada hajat, seperti untuk merasakan makanan,
hukumnya tidak makruh. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
َ ‫س أَنْ َيذُوقَْ ال َخ َّْل أَوْ الشَّي َْء َمالَمْ َيد ُخلْ حلقَ ْهُ َو ُه َْو‬
‫ رواه ابن أبي شيبة بسند حسن‬.ْ‫صائِم‬ َْ ‫ّْلَ َبأ‬
“Tidak mengapa ia mencicipi cuka atau sesuatu, selama (benda itu) tidak
masuk ke tenggorokannya dan ia dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ibnu
Syaibah dengan sanad hasan)
3. Hijamah (cantuk), yaitu mengeluarkan darah kotor, karena bisa
menyebabkan tubuh menjadi lemah. Diriwayatkan dari Tsabit al-
Bunani bahwa ia bertanya kepada Anas:
ِْ ‫ ِإ ّْلَّ ِمنْ أَج ِْل الضَّع‬,َ‫ ّْل‬:‫سلَّ َم؟ قَا َْل‬
.‫ف‬ َ ‫علَي ِْه َو‬ ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬ َ ِ‫هللا‬ ُ ‫علَى عَه ِْد َر‬
ْ ‫سو ِْل‬ َّ ‫الح َجا َم ْةَ ِلل‬
َ ‫صائِ ِْم‬ ِ َْ‫أَكُنتُمْ تكر ُهون‬
‫رواه البخاري‬
“Apakah dulu di zaman Rasulullah saw, kalian memakruhkan hijamah
(cantuk) bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali bila
menyebabkan tubuh lemah.” (HR. Bukhari).

Demikian pula dengan hukum donor darah. Hukumnya boleh, kecuali bila
dapat menyebabkan tubuh menjadi lemah.

4. Membuang (Jawa: nglepeh) air dari mulut saat berbuka, karena bisa
menghilangkan barakah puasa.
5. Mandi dengan cara berendam, walaupun mandinya merupakan
mandi wajib.
6. Siwak setelah Dzuhur, karena bisa menghilangkan bau mulut.
Menurut Imam Nawawi, hukumnya tidak makruh.
7. Terlalu kenyang saat berbuka atau sahur, dan banyak tidur, serta
melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Karena hal tersebut
bisa menghilangkan hikmah puasa.
8. Melakukan keinginan-keinginan yang mubah (boleh), yang biasanya
dilakukan oleh indra penciuman (hidung), indra penglihatan (mata),
indra pendengaran (telinga), dan sebagainya.

 Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Puasa, terbagi menjadi 2 (dua)


macam:

15
I. Membatalkan pahala puasa, ada 6 (enam):
1. Ghibah, yaitu menyebutkan sesuatu tentang seseorang ketika
orang tersebut tidak ada, sekiranya dia mendengar, dia akan
merasa tidak suka, walaupun isi pembicaraan itu benar
adanya.
2. Namimah, yaitu menyebarkan berita dengan tujuan terjadinya
fitnah.
3. Bohong.
4. Melihat sesuatu yang diharamkan, atau melihat sesuatu yang
halal namun dengan syahwat.
5. Sumpah palsu.
6. Berkata keji, atau melakukan perbuatan keji.
َْ ‫للِ َحا َجة فِي أَنْ َي َد‬
‫ رواه البخاري‬.ُ‫ع َط َعا َم ْهُ َوش ََرابَ ْه‬ ْ ‫س‬َْ ‫َمنْ لَمْ َيدَعْ قَو َْل الزو ِْر َوال َع َم َْل ِب ِْه فَلَي‬
“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan keji, maka
tidak ada perlunya bagi Allah, orang itu meninggalkan makanan dan
minumannya.” (HR. Bukhari)
II. Membatalkan puasa, baik membatalkan pahalanya maupun puasa
itu sendiri (karenanya wajib qadla):
1. Murtad, yakni keluar dari Islam, baik dengan niat dalam hati,
perkataan, perbuatan, walaupun perbuatan murtad tersebut
sekejap saja.
2. Haid, nifas, atau melahirkan, walaupun sekejap saja di siang
hari.
3. Gila, walaupun sebentar saja.
4. Pingsan dan mabuk (jika memakan waktu sepanjang siang).
Adapun jika siuman, walaupun sebentar saja, menurut Imam
Ramli sah puasanya. Menurut Ibnu Hajar, batal puasanya jika
mabuknya disengaja, walaupun cuma sebentar.
5. Berhubungan badan, dengan sengaja, tahu bahwa hukumnya
haram, dan tidak dipaksa.

Jika seseorang ‘merusak’ puasanya di bulan Ramadhan, di


siang hari, dengan berhubungan badan ‘secara sempurna’
(masuknya kemaluan laki-laki ke kemaluan wanita), dengan
melakukan itu dia berdosa karena dia sedang berpuasa
(artinya, bukan sedang bepergian jauh dan mubah, dan bukan
karena perbuatan zina dalam perjalanan itu), maka wajib
atasnya ‘menerima’ 5 (lima) dampak:
1. Dia berdosa
2. Wajib untuk tetap tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa (makan, minum, dan sebagainya)

16
3. Wajib di-ta’zir, yaitu menerima hukuman dari
hakim/pemerintah, jika dia tidak bertaubat.
4. Wajib meng-qadla puasanya.
5. Wajib melakukan kaffarah ‘udzma, yaitu salah satu dari 3
hal (secara berurutan, artinya, tidak boleh pindah ke urutan
kedua jika mampu melakukan urutan pertama), yaitu:
a. Membebaskan budak muslim, atau
b. Puasa dua bulan berturut-turut, atau
c. Memberi makanan 60 orang miskin, setiap orang miskin satu
mud.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra,
ْ‫ َهلْ ت َ ِج ُد‬:‫سلَّ َمْ فَقَا َْل‬
َ ‫علَي ِْه َو‬ ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬ َ ِ‫هللا‬
ْ ْ‫سو َل‬ ُ ‫ار َر َمضَانَْ فاَستَفتَى َر‬ ِْ ‫علَى ام َرأَتِ ِهْ فِي نَ َه‬ ْ ‫أَنَّْ َر ُج‬
َ ْ‫الً َوقَ َع‬
‫رقبه؟‬
‫ رواه البخاري‬.ً ‫ فَأَط ِعمْ ِس ِت ّينَْ ِمس ِكينْا‬:‫ قَا َْل‬.َ‫ ّْل‬:‫ َهلْ تَست َ ِطي ُْع ِصيَا َْم شَه َري ِن؟ قَا َْل‬:‫ قَا َْل‬.َ‫ ّْل‬:‫قَا َْل‬
“Bahwa seorang lelaki berhubungan badan dengan istrinya
pada siang bulan Ramadhan, kemudian ia meminta fatwa
kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda, ‘Apakah engkau
memiliki budak (untuk dimerdekakan)?’ Lelaki itu menjawab,
‘Tidak.’ Nabi bertanya, ‘Apakah engkau mampu berpuasa dua
bulan (berturut-turut)?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Nabi lalu
bersabda, ‘Berilah makan 60 orang miskin.” (HR. Bukhari)

Catatan:
- Kaffarah ini wajib atas orang laki-laki, tidak atas wanita, karena
dengan masuknya kemaluan laki-laki, sang wanita sudah menjadi
batal puasanya.
- Kaffarah terulang dengan terulangnya hari. Artinya, jika dia
melakukan hubungan badan tersebut, misalnya, selama dua hari,
maka dia wajib membayar kaffarah dua kali.

6. Sampainya suatu benda (bukan angin yang tidak


berwujud atau aroma rasa) ke tempat makanan dan obat
(tenggorokan, lambung, otak, dan sebagainya) melalui
lobang terbuka dalam tubuh.

Dengan demikian, tidak mengapa, misalnya, ada


benda masuk melalui lobang yang tidak terbuka, seperti
minyak yang masuk melalui pori-pori kulit. Menurut
Madzhab Syafi’i, semua lobang adalah terbuka, kecuali
mata.

17
 Beberapa permasalahan penting dalam hal ini:

1. Hukum suntik boleh jika darurat (sangat dibutuhkan). Namun para


ulama berbeda pendapat, apakah dapat membatalkan puasa atau
tidak.
- Pendapat pertama mengatakan suntik dapat membatalkan puasa
secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke jalur
makanan.
- Sedang pendapat kedua mengakatan, suntik tidak membatalkan
puasa secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke
jalur makanan tidak melalui lobang terbuka dalam tubuh.
- Pendapat ketiga memperinci; jika benda yang disuntikkan
merupakan makanan, puasanya batal. Jika bukan merupakan
makanan, maka dilihat: jika suntikan di urat, maka membatalkan
puasa. Jika tidak, seperti di otot, maka tidak membatalkan puasa.

2. Riak, hukumnya diperinci:


- Jika sampai keluar ‘batas luar’, kemudian ditelan, maka puasanya
batal.
- Jika sampai ‘batas dalam’ saja, kemudian ditelan, maka puasanya
tidak batal.
Batas luar adalah tempat keluarnya huruf kha’ (‫)خ‬. Sedang batas dalam
adalah tempat keluarnya huruf ha’ (‫)ح‬.

3. Hukum menelan air ludah, tidak membatalkan puasa, karena


sangat sulit dihindari, namun dengan 3 (tiga) syarat:

a. Air ludah tersebut murni, tidak bercampur benda atau materi lain.
b. Air ludah tersebut suci, tidak bercampur benda najis seperti darah.
c. Air ludah tersebut berada di dalam, seperti di mulut atau lidah.
Dengan demikian, jika dia menelan air ludah yang sudah berada di
bagian bibir yang berwarna merah, maka puasanya batal.

4. Hukum masuknya air dengan tanpa sengaja saat mandi, diperinci:


- jika mandi tersebut disyari’atkan (diperintahkan oleh syariat),
seperti mandi wajib/mandi janabah, atau mandi sunnah (seperti
mandi sebelum shalat Jum’at), maka puasanya tidak batal,
dengan syarat mandinya dengan cara menyiramkan air. Jika
dengan cara menyelam di air, maka puasanya batal.
- Jika mandinya tidak disyari’atkan, seperti mandi hanya untuk
menyegarkan badan, atau untuk membersihkan badan, maka jika

18
ada air masuk, batal puasanya, meskipun tidak disengaja, baik
mandi dengan cara menyiramkan air atau menyelam di air.
5. Hukum jika ada air yang tertelan tanpa disengaja saat berkumur
atau memasukkan air ke dalam hidung. Dalam hal ini hukumnya
terperinci:

a. Jika berkumur itu disyari’atkan, misalnya dalam wudlu atau


mandi besar, maka dilihat dahulu:
- Jika berkumurnya tidak dengan sangat, kemudian ada air
yang tertelan, maka puasanya tidak batal.
- Jika berkumur dengan sangat, kemudian ada air yang
tertelan, maka puasanya batal. Karena terlalu berlebihan dalam
berkumur saat puasa hukumnya makruh.

b. Jika berkumurnya bukan termasuk perkara yang disyari’atkan,


seperti berkumur dalam berwudlu atau mandi namun yang ke-empat
kalinya (padahal yang disunnahkan hanya tiga kali), atau berkumur
untuk menyegarkan mulut, dan sebagainya, kemudian ada air yang
tertelan, maka puasanya batal, meskipun berkumurnya tidak dengan
sangat.

7. Mengeluarkan mani (sperma), baik dengan tangan, atau tangan


istrinya, atau dengan berhayal, atau dengan melihat (jika dengan
berhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma),
atau dengan tidur berbaring bersama istrinya. Jika sperma keluar
dengan salah satu sebab di atas, maka puasanya batal. Allah SWT
berfirman dalam hadits qudsi:
‫ متفق عليه‬.‫يَدَع َطعَا َم ْهُ َوش ََرابَ ْهُ َوشَه َوت َ ْهُ ِمنْ أَج ِلي‬
“Ia meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya, karena-Ku.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Ringkasan masalah dalam permasalahan ini adalah, bahwa keluarnya


air mani terkadang membatalkan dan terkadang tidak membatalkan.

I. Membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:


a. Dengan cara mengeluarkannya dengan sengaja, dengan cara apapun.
b. Jika menyentuh atau berhubungan dengan istrinya secara langsung
tanpa penutup/pembatas semacam kain atau yang lain.

II. Tidak membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:


a. Jika air mani keluar tanpa menyentuh atau berhubungan, seperti
sebab berhayal atau melihat sesuatu (kecuali jika dengan berhayal

19
dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma, maka
puasanya batal).
b. Jika keluar karena menyentuh, namun dengan menggunakan
penutup/pembatas.
Catatan:

Hukum mencium saat puasa adalah haram jika sampai membangkitkan


syahwat. Jika tidak sampai membangkitkan syahwat maka hukumnya
makruh. Mencium tidak membatalkan puasa, kecuali jika sampai
mengeluarkan air mani.

ْ ‫ متفق عليه‬.‫صائِمْ َوكَانَْ أَملَ َككُمْ ِ ِإلر ِب ِْه‬ ِ ‫سلَّ َْم يُقَ ِبّ ُْل َويُبَا‬
َ ‫ش ُْر َو ُه َْو‬ َ ‫علَي ِْه َو‬ ْ ‫صلَّى‬
َ ُ‫هللا‬ َ ْ‫كَانَْ النَّ ِبي‬
“Nabi saw mencium dan menyentuh (istrinya) sedangkan beliau dalam
keadaan berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling bisa
mengendalikan syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

8. Muntah dengan sengaja.

Muntah dapat membatalkan puasa, walau hanya sedikit. Yang dimaksud


dengan muntahan adalah makanan yang keluar lagi, setelah sampai di
tenggorokan, walaupun berupa air, atau makanan, walaupun belum
berubah rasa dan warnanya. Jika muntah dengan tidak disengaja,
puasanya tidak batal.
ْ ِ ‫ن استَقَا َْء عَمدْا ً فَل َيق‬
‫ صحيح أبي داود‬.‫ض‬ ِْ ‫علَي ِْه قَضَاء َو َم‬ َْ ‫ع ْهُ القَي ُْء فَلَي‬
َ ‫س‬ َ ‫َمنْ ذَ َر‬
“Barangsiapa yang tidak sengaja muntah, maka ia tidak diwajibkan
mengqadha. Dan barangsiapa yang sengaja muntah, maka ia harus
mengqadha.” (Shahih Abu Dawud)
Jika seseorang muntah maka mulutnya menjadi najis, dengan demikian dia
wajib:
- membersihkan mulutnya dengan air, dan
- menyangatkan dalam berkumur sampai air kumuran dapat
membersihkan seluruh bagian mulutnya dalam batas luar (tempat
keluarnya huruf kha’/ ). Dalam kasus ini, jika ada air yang
tertelan dengan tanpa sengaja, puasanya tidak batal, karena
menghilangkan najis termasuk perkara yang disyari’atkan
(diperintah oleh syari’at).

 Jika seseorang puasanya batal, maka apa yang diwajibkan atasnya?

Ada 4 (empat) macam hukum:


1. Wajib meng-qadla dan membayar fidyah, yaitu bagi dua kelompok
orang:

20
a. Bagi orang yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan
keselamatan atau kesehatan orang lain, seperti orang hamil
yang menghawatirkan kondisi janinnya, atau wanita
menyusui yang menghawatirkan kondisi bayi yang
disusuinya.

Adapun jika dia menghawatirkan kondisinya sekaligus


menghawatirkan kondisi janin/bayinya, maka hanya
diwajibkan untuk meng-qadla saja, tanpa membayar fidyah.
b. Bagi orang yang mempunyai kewajiban meng-qadla, namun
hingga datang bulan Ramadhan lain, dia belum juga meng-
qadla, dengan tanpa adanya udzur/halangan.

Fidyah adalah satu mud tiap harinya, dari makanan pokok suatu daerah
(beras, gandum, sagu, atau yang lain). Fidyah berulang dengan berulangnya
tahun. Artinya, jika lewat Ramadhan sampai dua kali dia tidak meng-qadla
puasanya, maka tiap hari di mana dia meninggalkan puasa, dia wajib
membayar dua mud, demikian seterusnya.

2. Wajib qadla, tanpa membayar fidyah, yaitu bagi orang yang


pingsan, atau lupa niat, atau sengaja membatalkan puasa,
bukan dengan cara bersetubuh (karena dengan bersetubuh,
ada pembahasan hukum tersendiri).
3. Wajib fidyah, tanpa wajib qadla, yaitu bagi orang yang sangat
tua, dan orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya.
4. Tidak wajib membayar fidyah, juga tidak wajib qadla,
seperti orang gila yang kegilaanya tidak disengaja.

 Beberapa keadaan diwajibkan untuk qadla, namun tetap harus


meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dan
lain-lain) sampai Maghrib, ada 6 keadaan, yaitu:
1. Bagi orang yang sengaja membatalkan puasanya.
2. Bagi orang yang tidak niat di malam hari, meskipun karena lupa.
3. Bagi orang yang sahur karena mengira masih malam/belum terbit
fajar, ternyata tidak.
4. Bagi orang yang berbuka puasa karena mengira sudah Maghrib,
ternyata belum.
5. Bagi orang yang tidak berpuasa karena mengira/meyakini masih
tanggal 30 Syakban, ternyata hari itu sudah masuk Ramadhan.
6. Bagi orang yang kemasukan air karena perbuatan yang tidak
disyari’atkan (tidak diperintahkan oleh syariat), seperti berkumur,
memasukkan air ke hidung, atau mandi untuk menyegarkan badan.

21
 Beberapa kondisi yang tidak membatalkan puasa, walaupun
kemasukan benda lewat lobang yang terbuka dalam tubuh, ada 7,
yaitu:

1. Karena lupa.
2. Karena tidak mengetahui bahwa hal itu dapat membatalkan
puasanya, dan ketidakmengertiannya memang termasuk udzur
(sebagaimana telah dijelaskan).
3. Karena dipaksa (tentang syarat hukum paksaan, telah dijelaskan
dalam Bab Shalat). Rasulullah saw bersabda:
‫ متفق عليه‬.‫سقَا ُْه‬ ْ ُ‫صو َم ْهُ فَ ِإنَّ َما أَط َع َم ْه‬
َ ‫هللاُ َو‬ َْ ‫ِي فَأ َ َك َْل أَوْ ش‬
َ ‫َرب فَليُتِ ّْم‬ َْ ‫َمنْ نَس‬
“Barangsiapa lupa, kemudian makan dan minum, maka sempurnakanlah
(teruskan) puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan
minum oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
‫ صحيح ابن ماجة‬.‫ض َْع عَنْ أ ُ َّمتِي ال َخ َطْأ َ َوال ِنّسيَانَْ َو َما استُك َر ُهوا َعلَي ِْه‬
َ ‫هللاَ َو‬
ْ َّْ‫إِن‬
“Sesungguhnya Allah tidak menghisab dari umatku: kesalahan, lupa, dan
sesuatu yang dipaksakan padanya.” (Shahih Ibnu Majah)
4. Karena kemasukan melalui aliran ludah yang ada di antara gigi-
giginya.
5. Karena kemasukan debu jalan.
6. Karena kemasukan hamburan ayakan tepung atau sejenisnya.
7. Karena kemasukan lalat yang terbang atau sejenisnya.
Atha’ mengatakan,
ُْ ‫ن ازد ََر َْد ِريق ْهُ ّْلَ أَقُو ُْل يف‬
‫ أخرجه البخاري‬.‫طر‬ ِْ ِ‫إ‬
“Jika tertelah ludahnya, maka aku tidak mengatakan puasanya batal.” (HR.
Bukhari)

 Beberapa Permasalahan Penting dalam Puasa

 Jika di siang hari seorang anak baligh, atau seorang musafir mukim
(sampai di daerahnya, atau memutuskan untuk tinggal di suatu daerah),
atau seorang yang sakit sembuh, dan mereka semua saat itu dalam
keadaan berpuasa, haram bagi mereka untuk membatalkan puasanya
dan wajib meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.

 Jika seorang wanita suci dari haid atau nifas, atau seseorang sembuh
dari gilanya, atau seorang kafir masuk Islam di siang hari bulan
Ramadhan, mereka dianjurkan untuk meninggalkan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa. Dan bagi orang yang gila dan orang kafir tadi, tidak
wajib qadla.

22
 Seorang yang murtad (keluar dari Islam), wajib meng-qadla puasa yang
ditinggalkannya selama dia murtad, walaupun di tengah
kemurtadannya, dia gila.

 Termasuk kesalahan yang sering terjadi di masyarakat adalah saat


mereka mendengar suara adzan Subuh, mereka bersegera minum,
dengan keyakinan bolehnya hal itu selama muadzzin masih
mengumandangkan adzan. Padahal hal itu tidak boleh. Dengan
demikian, jika dia melakukan hal itu, maka puasanya batal. Jika
puasanya merupakan puasa wajib, dia wajib meng-qadla-nya.

Hal ini karena adzan tidak dikumandangkan kecuali sudah masuk


waktu fajar/Subuh. Dengan demikian, jika orang tadi minum saat
muadzzin mengumandangkan adzan, berarti dia minum saat fajar telah
terbit, puasanya pun menjadi tidak sah (namun dia tetap harus
meneruskan untuk tidak makan, minum, dan sebagainya sampai
Maghrib).

 Jika seseorang meninggal dunia, padahal dia masih punya tanggungan


qadla puasa atau tanggungan kaffarah, maka boleh bagi walinya
berpuasa untuk melunasi tanggungan kerabatnya yang meninggal dunia
tersebut, atau mengeluarkan satu mud untuk tiap satu harinya.

 Boleh bagi seseorang untuk membatalkan puasanya jika puasanya


merupakan puasa sunnah, walaupun dengan tanpa udzur/halangan.
Namun jika puasa wajib (Ramadhan, qadla, nadzar, atau yang lain),
tidak boleh dibatalkan.

 Puasa wishal (puasa dua hari berturut-turut tanpa buka puasa/makan,


minum atau yang lainnya) hukumnya haram.

 Jika seseorang melihat orang lain yang berpuasa sedang makan, jika
dzahir sifat orang tersebut adalah taqwa, maka disunnahkan untuk
diingatkan, namun jika dzahir sifatnya adalah suka meremehkan
perintah-perintah Allah, maka wajib diingatkan.

23

Anda mungkin juga menyukai