Anda di halaman 1dari 5

Menambahkan penjelasan dari bahan ajar (dalam bentuk .ppt) yang telah dibagikan sebelumnya.

Tm dan Tg
(Melt Temperature and Glass Transition Temperature; Ind.: suhu leleh dan suhu transisi gelas)

Seperti diketahui bahwa suatu polimer pada umumnya berstruktur semikristalin, artinya di dalam polimer terdapat
dua struktur sekaligus, yaitu kristalin dan amorf. Dalam proses produksi, resin polimer dipanaskan untuk kemudian
dicetak dengan bentuk seperti yang dikehendaki. Pada saat polimer dipanaskan, kedua struktur (kristalin dan
amorf) secara bersamaan mengalami proses pemanasan tersebut. Dalam bahasa umum dikatakan bahwa pada
saat itu hanya terjadi proses pelelehan, tapi sesungguhnya istilah pelelehan hanya tertuju pada struktur kristalin.
Sedangkan untuk struktur yang amorf digunakan istilah transisi gelas (glass transition). Pada proses pemanasan,
struktur padatan kristalin akan meleleh menjadi leburan/lelehan (liquid). Sedangkan pada transisi gelas, struktur
amorf dari material yang bersifat seperti kaca/gelas (getas, brittle) akan berubah menjadi seperti karet (rubbery).

Gambar 1: Pengaruh kenaikan suhu terhadap keadaan (state) polimer dengan struktur kristalin dan amorf

Gambar 1 menjelaskan secara umum tentang peningkatan suhu (T, sumbu X) yang dilakukan dan perubahan panas
yang dihasilkan pada polimer (heat, sumbu Y), dengan asumsi ideal bahwa polimer terdiri dari 100 % berstruktur
kristalin (kiri) atau 100 % berstruktur amorf (kanan).
Dengan demikian istilah untuk suhu pemanasan pun berbeda. Untuk struktur ktristalin digunakan istilah titik
pelelehan (melting point), dengan simbol Tm. Sedangkan bagi struktur amorf dipakai istilah suhu transisi kaca
(glass transition temperature), dengan simbol Tg.

Gambar 2: Tg dan Tm (suhu leleh/lebur) polimer

Pada polimer yang kristalin, suhu leleh ada pada suatu suhu tertentu (Gambar 1) dengan range area yang
sempit/narrow (Gambar 2). Saat polimer ini dipanaskan sampai di atas Tm, maka terjadi perubahan sifat dari
fleksibel/rubbery/lentur menjadi lelehan.
Pada polimer amorf, jika dipanaskan hingga melebihi Tg-nya maka terjadi perubahan dari solid/padat ke rubbery.
Hanya saja berbeda dengan polimer kristalin, polimer amorf tidak mempunyai titik leleh (Tm) yang tegas, sehingga
dikatakan bahwa suhu lelehnya mempunyai area yang lebar (broad), seperti tampak pada Gambar 2

Berikut ini adalah contoh suhu transisi gelas (Tg) untuk beberapa polimer.

POLIMER Tg, °C
Polieteilen (LDPE) -125
Polipropilen (ataktik) -20
Polipropilen (isotaktik) 100
Polivinil asetat (PVAc) 28
Polietilentereftalat (PET) 69
Polivinil alkohol (PVA) 85
Polivinil chlorida (PVC) 81
Polistiren 100
Polimetilmetakrilat (ataktik) 105

Terlihat bahwa variasi Tg (suhu transisi gelas) untuk bermacam produk sangat bervariasi meskipun jenis
polimernya sama.

Beberapa hal yang memengaruhi suhu transisi gelas (Tg).

1. Besar/volume gugus .
Pada PET (polietilen tereftalat) terdapat bangun yang
bulk pada rantainya, ini akan menaikkan Tg.
Polietilen adipat Tg= - 70 °C;
PET Tg= 69 °C

2. Gaya intermolekuler.
Adanya gaya dwikutub (dipole) pada ikatan C-Cl
menjadikan PVC mempunyai gaya intermolekuler lebih
tinggi jika dibandingkan dengan PP.
Polipropilen (ataktik) Tg= - 20 °C
Polivinilkhlorida (ataktik) Tg= 81 °C

3. Pengaruh gugus ikutan bulk.


Adaya gugus ikutan berbentuk bulk (bulky pendant
group) membatasi kebebasan pergerakan, ini
menyebabkan kenaikan Tg.
Polipropilen (ataktik) Tg= - 20 °C
Polistirine ataktik Tg= 100 °C

4. Pengaruh gugus ikutan fleksibel.


Adanya gugus alifatik pada polibutilmetakrilat
memberi ruang bagi rotasi, ini akan menurunkan Tg.
Polimetil metakrilat Tg= 105 °C
Poliisobutil metakrilat Tg= 47 °C
Crosslinking.
Polimer yang berarsitektur crosslinking mempunyai Tg yang lebih tinggi karena terbatasnya pergerakan.
Karena merupakan hal yang khusus dan sebagai bagian dari sub-bab morfologi, maka pembahasan crosslinking
menempati bagian tersendiri.

Plastisizer.
Adanya plastisizer pada suatu plastik membuat plastik menjadi lebih fleksibel sehingga mudah dibentuk, karena
plastisizer bersifat melemahkan gaya intermolekular polimer. Dengan demikian plastisizer merupakan bahan yang
dapat menurunkan Tg.
-o0o-

CROSSLINKING
Polimer yang berarsitektur crosslinking mempunyai Tg yang lebih tinggi karena terbatasnya pergerakan. Seperti
telah disinggung sebelumnya bahwa dilihat dari segi arsitektur rantai ikatan, terdapat polimer dengan bentuk
rantai lurus, rantai cabang dan crosslinking dengan bentuk sebagai berikut.

Rantai lurus rantai bercabang crosslinking

Lalu, apa bedanya rantai cabang dengan crosslinking?


Pada crosslinking terdapat semacam bentuk lingkaran tertutup (close loop). Secara tiga dimensi crosslinking
mempunyai bentuk sebagai berikut (bagian dengan warna lebih terang ada di belakang dan yang berwarna makin
gelap ada di bagian depan dalam penggambaran tiga dimensi ini):

Contoh polimer crosslinking generasi pertama yang banyak dikenal ialah karet alam. Charles Goodyear telah
merintis vulkanisasi keret alam menggunakan belerang (sulfur).
Contoh crosslinking: vulkanisasi karet alam (poliisopren) oleh Goodyear.

Secara sisntetis, polisiopren dapat dibentuk dari isopren menggunakan katalisator Ziegler-Natta.

Katalisator
Ziegler-Natta

Contoh polimer crosslinking lain yang sering ditenui adalah poliuretan, poliester, epoksi resin dll.

Berikut ini adalah contoh kopolimerisasi antara vinil ester dengan stirine yang membentuk crosslinking

Lalu, sebetulnya apa sih manfaat crosslinking bagi kita? Untuk menggambarkannya, berikut diberikan beberapa
keuntungan polimerisasi crosslinking:
 menaikkan kekuatan (tensile strength),
 lebih liat (tahan terhadap retakan),
 polimer menjadi lebih tahan panas
 lebih tahan terhadap pengaruh dari cairan kimia.

Dengan demikian terlihat bahwa polimer crosslinking cenderung bersifat sebagai polimer termosetting. Polimer
termosetting hasil crosslinking ini cukup sulit untuk didadur ulang. Oleh sebab itu di kemudian hari dikembangkan
jenis polimer crosslinking yang dapat didaur ulang atau disebut dengan reversible crosslink. Yang termasuk dalam
reversible crosslink adalah jenis elastomer termoplastik seperti karet SBS (stiren-butadien-stiren) atau SBS rubber.
Bentuk SBS rubber di atas lazim disebut dengan blok kopolimer. Kopolimer adalah polimer yang terdiri atas lebih
dari satu jenis monomer, dengan kata lain tersusun dari dua atau lebih komonomer. Dengan demikian blok
kopolimer adalah kopolimer dimana komonomer terangkai secara terpisah (mungkin lebih tepat tersendiri)
dengan rantai utama polimer. Rangkain tersendiri tersebut dinamakan blok. Barangkali struktur berikut dapat
memperjelas pemahaman blok kopolimer.

blok butadien

Terlihat bahwa setiap setiap blok polibutadiene diapit oleh blok polistirine. Selanjutnya blok kopolimer khususnya
untuk polistiren cenderung membuat kumpulan yang lebih besar (cluster) yang bersama dengan blok polibutadien
membentuk crosslinking. Saat karet SBS dipanaskan maka cluster polistiren akan pecah (terputus) sehingga seolah
bersifat sebagai polimer termoplastik dan dapat didaur ulang.

Keseluruhan pembahasan mekanisme crosslinking di atas adalah berdasarkan pada reaksi kimia. Perlu diketahui
bahwa selain dengan proses kimia, polimer crosslinking dapat juga direkayasa melalui radiasi. Prinsip
pembentukan polimer crosslinking dengan radiasi dapat dijelaskan dengan mekanisme seperti pada ilustrasi di
bawah.

Sebagai contoh pada polietilen rantai lurus yang kemudian dikenai radiasi maka atom H akan terlempar dari ikatan
dan bersama atom H dari rantai lain membentuk gas H2. Hal ini kemudian memicu terbentuknya ikatan
crosslinking pada sisi yang ditinggalkan atom H tersebut. Proses iradiasi ini mempunyai keuntungan yaitu
meniadakan proses operasi dengan tekanan serta suhu yang relatif tinggi seperti pada polimerisasi crosslinking
berbasis reaksi kimia. Namun demikian dalam aplikasi di industri, metode radiasi ini masih jarang dipakai, karena
jika dibandingkan dengan metoda reaksi kimia, metode radiasi masih relatif mahal.

Anda mungkin juga menyukai