Hitam Putih
Kisah terindah adalah ketika asam-masam kehidupan terbengkalai dan hilang dari kehidupan dan
mucullah sebuah kunci keberhasilan yang manis, yang dapat diraih dari sebuah keyakinan dalam hati.
Di tempat lain, Dhiens dan Rizal asik memajak salah satu adik kelasnya.
Beberapa hari kemudian Alifah merasa dirinya begitu hancur. Tanpa kasih sayang ibunya dia
merasa hampa. Alifah merenung diri di lorong sekolah. Tiba-tiba Irma dan Nurfa datang.
Inna : “Kak, kak Alifah… makasih kak, kemarin mauki bantuka. Kak? Kenapaki kak?”
Alifah : “Awwah, pergiko! Begitu diajarkanko sama orang tuamu di rumah? Suka campuri
urusannya orang?!” (Alifah membentak Inna dengan kasar)
Di dalam kelas…
Setelah sekitar dua minggu kemudian, Alifah, Dhiens, dan Rizal kini semakin menjadi-jadi. Dan itu
sudah biasa di telinga teman-temannya terutama Nurfa dan Irma.
Di dalam kelas…
Alifah : “Awwah gara-gara Irma sama Nurfa mi ini, gagal mki lagi pajaki itu anak.”
Dhiens : “Iyo, pakanassuna. Aissh.”
Rizal : “Ah, kenyangku.”
Alifah : “Diamko.”
Rizal : “Kenapa begitu sekali mukanu berdua? Suram.”
Dhiens : “Itue, adek kelas. Berani sekali sama kita.”
Alifah : “Itu juga, Irma sama Nurfa, nagagalkan terus rencanata.”
Rizal : “Kasiannya.”
Alifah : “Resenu.”
Rizal : “Sudahmi, sudahmi. Ayo ke kantin, makan, sambil pikirki caranya pajaki itu anak.”
Dhiens : “Awwah, perutnu terusmo isi.”
Rizal : “Daripada marah- marahko nda jelas. Ayo eh, kutraktirko makan.”
Alifah : “Wah, pakai apako bayarki nanti makananta?”
Rizal : “Santai saja, di sini mi dilihat gunanya kas kelas.”
Dhiens : “Haha, ayomi paeng.”
Saat itu Inna hendak pulang dirumahnya. Ia menunggu jemputannya di gerbang sekolah.
Tiba-tiba..
Setelah keluar dari ruang BK, Irma dan Nurfa membagikan alat kebersihan kepada Dhiens, Alifah
dan Rizal, kemudian menyuruh mereka membersihkan lapangan sekolah.
Irma : “Muingatki anak yang tadi?” (sambil terus menerus membuka lembaran bukunya)
Nurfa : “Siapa?”
Irma : “Inna!”
Nurfa : “Kenapa memangi?”
Irma : “Kasihanka sama dia! Jahat sekali itu bertiga deh.”
Nurfa : “Bah, dari dulu kerjanya kasih habisi uangnya adek kelas.”
Irma : “Kalau saya jadi Inna itu.. kulapormi di guru BK dari hari pertama napajakika.”
Nurfa : “Kalau kulihatki lagi napajaki adek kelas, bukan kulapor ke BK, sekalianmi ke komnas
HAM!”
Irma : “Haha, tojeng.”
Tiba-tiba Inna datang menemui Irma dan Nurfa yang sedang belajar di kelas.
Inna : “Kak, jangan mki hukumki kak Alifah, kak Rizal, sama kak Dhiens nah?”
Irma : “Kenapai dek? Orang tidak baik kayak mereka harus dikasih hukuman.”
Inna : “Kasihanka kak!”
Irma : “Anggapmi sebagai balasan karena sukaki napajaki dek.”
Inna : “Ayolah kak, ayo ke ruang BK kak? Bilangki kalau janganmi dihukum… ayolah kak.”
Nurfa : “Sudahmi Irma. Kah dia yang dipajaki, bukan kau. Okelah Inna kalau itu maumu.”
Ketiganya masuk ke ruang BK dan memberi tahu agar Alifah, Dhiens, dan Rizal dilepaskan dari
hukumannya. Mereka lalu pergi menuju anak-anak yang sedang dihukum membersihkan lapangan.
Keesokan harinya, Irma, Dhiens dan Nurfa sedang dalam perjalanan ke tempat les.
Irma, Nurfa, dan Dhiens lalu berpapasan dengan Inna tepat di depan tempat les mereka.
Tiba-tiba, seorang pria tinggi dengan perawakan misterius berdiri di sampingnya. Pria itu
menatap tajam. Inna seketika gemetar. Ia seolah-olah dapat melihat wajah seram dari balik masker pria
tersebut.
Dari arah belakang pria misterius itu, muncullah Dhiens, Irma dan Nurfa.
Irma : “Dhiens!”
Dhiens : “Astaga.. maafkanka.”
Nurfa : “Pingsan ki weh, bagaimana mi ini?”
Dhiens : “Tunggu.. tunggu! Kayak kukenal ini orang..” (membuka masker dan topi Rizal).
Dhiens, Irma Nurfa : “Rizal?!”
Inna : “Kak Rizal?”
Dhiens : “Astaga betul-betul ini anak.”
Nurfa : “Bawaki ke rumah sakit!”
Irma : “Iyo, ayo!”
Di rumah sakit...
Di dalam UGD…
“Dari sekian juta kejahatan seorang manusia, pasti ada sebuah pintu yang dapat
menghantarkannya ke dalam kehidupan yang lebih baik, jauh dari kebencian dan amarah. Dengan hati
yang sungguh-sungguh untuk meraihnya.”