Anda di halaman 1dari 9

DRAMA BAHASA INDONESIA

Kelompok Monyet XI IPA 2


Pemeran :
1) Arrizal Dwi Nugeraha (14)
2) Alifah Ummu Zakiyah (07)
3) Irmayanti Muis (20)
4) Mutmainna (25)
5) Nur Fajriyyah (27)
6) Nurul Aulyah Dhiensny (30)

Hitam Putih

Kisah terindah adalah ketika asam-masam kehidupan terbengkalai dan hilang dari kehidupan dan
mucullah sebuah kunci keberhasilan yang manis, yang dapat diraih dari sebuah keyakinan dalam hati.

Saat bel pulang berbunyi…

Irma : “We, dipanggilka sama bu Sri tadi di ruangannya.”


Nurfa : “Hah? Tojengko?”
Irma : “Iya.”
Nurfa : “Kenapa bisa? Nda bermasalah jko toh? Ah nda mungkinko bermasalah.”
Irma : “Anu.. dikasih ikutka olimpiade matematika sama ibu.”
Nurfa : “Beh, selamat nah. Tawwana ikut olimpiade.”

Di tempat lain, Dhiens dan Rizal asik memajak salah satu adik kelasnya.

Inna : “Haa.. novel baru.”


Dhiens : “Woi, adek kelas. Uangnu dule.”
Inna : “Ha? Kenapaki kak?”
Dhiens : “Astaga dek, kudetnu. Di sini itu, harusko bayar iuran ke kita berdua. Harusko bayar 20.000
per minggu. Dan, dan apa lagi, Zal?”
Rizal : “Harusko bayar 5000 per hari.”
Inna : “Pemerasan ini kak.”
Rizal : “Janganko membantah dek.”
Nurfa : “Oi, apa nubikin disini? Ma’pajak meko seng?”
Alifah : “Issengi ine, sadarko sedikit. Gilako kah?”
Dhiens : “Santeko.”

Terdengar suara dering handphone milik Alifah


Alifah : “Aish, siapa sede ini menelepon jam segini?” (sambil mengambil handphonenya itu)
“Halo, oh tante, barusannya menelepon. Kenapaki? HA?!” (Handphone miliknya terjatuh)
Irma : “Kenapai?”
Nurfa : “We, baik-baik jko?”
Alifah : “U.. Ummiku.. Ummiiiii….” (lari)
Nurfa : “Ayo ke Alifah!”
Irma : “Ayomi.”
Rizal : “Kenapai itu?”
Dhiens : “Ah, bukan urusanta. We kau, ingatki nah yang tadi. Awasko!”
Inna : “Iye kak.”

Beberapa hari kemudian Alifah merasa dirinya begitu hancur. Tanpa kasih sayang ibunya dia
merasa hampa. Alifah merenung diri di lorong sekolah. Tiba-tiba Irma dan Nurfa datang.

Irma : “Alifah, tidak apa-apa jko toh?”


Nurfa : “We, baikji perasaanmu?”
Irma : “Alifah, mudengar jki kah? Kalau tidak mau meko lagi bicara sama kita, sudahmi pae.”

Beberapa saat kemudian Inna datang.

Inna : “Kak, kak Alifah… makasih kak, kemarin mauki bantuka. Kak? Kenapaki kak?”
Alifah : “Awwah, pergiko! Begitu diajarkanko sama orang tuamu di rumah? Suka campuri
urusannya orang?!” (Alifah membentak Inna dengan kasar)

Di dalam kelas…

Dhiens : “Zal, berapami uangta sekarang?”


Rizal : “Masih sedikit. Banyak anak-anak belum bayar.”
Dhiens : “Bangkrutki inie lama-lama.”
Rizal : “Bah.”

Alifah muncul dari pintu kelas mereka

Dhiens : “Apa nubikin disini?”


Alifah : “Bolehka gabung?”
Dhiens : “Maksudmu?”
Alifah : “Tidak bolehkah? Oke pae.”
Rizal : “Eh, tunggu. Mauko gabung apa?”
Alifah : “Mauka jadi anggotamu. Bisaka bantuko ma’pajak di adek kelas.”
Rizal : “Ha, gilako?”
Alifah : “Tidak bolehkah?”
Rizal : “Ah, bisaji iya.”
Alifah : “Thanks, nah.”
Dhiens : “Tapi, ada satu syarat. Nutauki adek kelas yang namanya Inna? Harusko bawaki itu anak
gudang sekolah! terserah kau mau seretki, karungi, lemparki atau apa, intinya harusko
bawaki itu anak kesana dalam waktu 5 menit.”
Alifah : “Hah? Ah, oke, gampang ji itu.”

Setelah 5 menit, di gudang sekolah…

Rizal : “Mau nuapai Inna? Baru-baru diambil uangna tadi pagi.”


Dhiens : “Mauja teski Alifah. “
Alifah : (Membuka pintu dengan keras) “Masukko! Jangko banyak goyang deh! Inie Inna!”
(Mendorong tubuh Inna hingga terjatuh).
Dhiens : “Jangan meko gemetar begitu Inna. Santai mako.”
Rizal : “Inie.” (memberi bola kepada Dhiens)
Dhiens : “Tidak kuapa-apai jko.” (Melempar bola dengan keras)
“We Rizal, ambilki dule itu bola.”
Rizal : “Siap.”
Dhiens : “Nah sekarang, kau Alifah, lempari ini anak! We! Kenapako? Mallako? Begituji mentalmu
baru mauko gabung di gengku? Hah! Mustahil weh!”
Alifah : (Melempar bola tersebut dengan keras ke Inna)

Setelah sekitar dua minggu kemudian, Alifah, Dhiens, dan Rizal kini semakin menjadi-jadi. Dan itu
sudah biasa di telinga teman-temannya terutama Nurfa dan Irma.

Saat hendak ke tempat nongkrongnya tiba-tiba…

Dhiens : “Alifah, hitungki dulu pemasukanta hari ini.”


Alifah : “Hm? Ok. Seribu, dua ribu, ti…”
Irma : “Eh! Dariko pajaki adek kelas sede?”
Nurfa : “Nassami Irma. Apalagi itue, mantan sahabatmu. Tambah jagomi tawwa.”
Dhiens : “Santeko nah, janganko sembarang tuduh. Uang di dapat di jalan ini.”
Irma : “Bukan di jalan tapi di kantongna adek kelas toh?”
Alifah : “Mulutmu jaga.”
Nurfa : “Bah, nda bisaki memang tuduhko. Tapi ingatko nah, kalau kulihatko pajaki adek kelas..
Awasko!”
Ketika Dhiens dan Alifah hendak pergi, tidak jauh dari mereka terlihat Inna sedang mondar-
mandir kebingungan.

Alifah : (menatap tajam wajah Inna tanpa sebab).


Inna : “Halo kak.. halo, halo.. awwah putuski.” (sambil memegang handphone di tangannya)
“Pulang sendirima pae.”
Dhiens : “Awwe, nda ada bisa dipajak.”
Alifah : “Bah.”
Inna : “Tabe, kak!”
Alifah : “Stopko, stopko! Enakmu itu lewat-lewat disini. Harusko bayar kalau lewat di depanku.”
Inna : “Eh, kak Alifah, kak Dhiens? Maaf kak, tapi uang pulangku mami ini kak, karena nda datangi
jemputanku.”
Dhiens : “Edede, janganko banyak alasan!” (sambil mengambil uang di kantong baju Inna)
Inna : “Janganki ambilki kak.”
Dhiens : “Oh.. beraniko lawan senior di’?” (hampir menampar Inna)

Irma dan Nurfa datang.

Irma : “Woi Dhiens, berhentiko!” (dengan suara keras)


Alifah : “Irma? Apa nubikin disitu?”
Irma : “Kau iya, mauko lagi pajaki ini anak?”
Dhiens : “Tidak nah! Iyo toh?  Toh?”
Nurfa : “Ah… Alasan!”
Dhiens : “Tojenga.. iyo toh Alifah?”
Alifah : “He’em, tidak toh Inna?” (sambil mencubit tangan Inna diam-diam)
Inna : “I.. Iya tidakji kak, tidak napajak jka.”
Alifah : “Lihat sai, apakah kubilang tadi. Ayomi pergi, we.”
Dhiens : “Bah, banyak tukang tuduh disini.” (Alifah dan Dhiens meninggalkan TKP)

Di dalam kelas…

Alifah : “Awwah gara-gara Irma sama Nurfa mi ini, gagal mki lagi pajaki itu anak.”
Dhiens : “Iyo, pakanassuna. Aissh.”
Rizal : “Ah, kenyangku.”
Alifah : “Diamko.”
Rizal : “Kenapa begitu sekali mukanu berdua? Suram.”
Dhiens : “Itue, adek kelas. Berani sekali sama kita.”
Alifah : “Itu juga, Irma sama Nurfa, nagagalkan terus rencanata.”
Rizal : “Kasiannya.”
Alifah : “Resenu.”
Rizal : “Sudahmi, sudahmi. Ayo ke kantin, makan, sambil pikirki caranya pajaki itu anak.”
Dhiens : “Awwah, perutnu terusmo isi.”
Rizal : “Daripada marah- marahko nda jelas. Ayo eh, kutraktirko makan.”
Alifah : “Wah, pakai apako bayarki nanti makananta?”
Rizal : “Santai saja, di sini mi dilihat gunanya kas kelas.”
Dhiens : “Haha, ayomi paeng.”

Saat itu Inna hendak pulang dirumahnya. Ia menunggu jemputannya di gerbang sekolah.

Inna : “Manami kakakku?”


Dhiens : “Woi Inna!”
Alifah : “Woi!”
Inna : “Kenapaki kak?”
Rizal : “Oh, yang ini? Yang kurang ajar sama kau berdua? Mau dikasih pelajaran ini anak.”
Alifah : “Mauko kasih pelajaran apa?  IPA,IPS, atau matematika?”
Dhiens : “Mauko mati we?”
Rizal : “Issengi inie. Eh kenapako ketawa?” (sambil menatap tajam Inna)
Inna : “Tidakji kak. Kenapaki marah kak, apa salahku? Tidak pernahka kurasa gangguki.”
Dhiens : “Ha, pura-pura tidak tau lagi he.” (sambil mendorong bahu Inna)
Inna : “Maafkanka kak … maafka, janganki marahika kak.”
Alifah : “Uangnu pae eh.” (menggeledah tas Inna)
“Mana uangmu? Orang kaya bede.”

Tiba-tiba..

Nurfa : “Eh… berhentiko, mauko apai lagi itu anak?”


Alifah : “Tidak diapa-apai ji nah.”
Rizal : “Mau jki kenalan.”
Dhiens : “Bah, kalian ji itu terlalu berlebihan. Inna, digangguiko daritadi?”
Inna : “Hmm..” (sambil tertunduk takut melihat wajah Alifah dan teman-temannya)
Nurfa : “Sudahmi Inna, jangan meko lagi tolongi.”
Irma : “Sudahmi, tidak ada bisa belako disini. Kau bertiga, ikutika ke ruang BK!”
Rizal : “Eh, tidak digangguiji ini anak nah!”
Irma : “Ah, cepat meko iyya.”  (sambil menarik tas Rizal)
Rizal : “Ehh..”
Irma : “Dhiens cepatko!”
Dhiens : “Apakah kau, tidak salahja nah!”
Irma : “Dhiens!” (sambil menatap marah yang sangat-sangat)
Sementara itu Alifah berusaha kabur dari mereka

Nurfa : “Eh, Alifah mauko kemana?”


Alifah : “Tidakji! Hehehe.”
Irma : “Janganko ada lari nah! Ikutika ke ruang BK sekarang!” (dengan nada membentak)
Nurfa : “Cepatko!” (dengan wajah yang sangat marah)
Alifah : “Iye iye.”

Setelah keluar dari ruang BK, Irma dan Nurfa membagikan alat kebersihan kepada Dhiens, Alifah
dan Rizal, kemudian menyuruh mereka membersihkan lapangan sekolah.

Dhiens : “Gara-gara kau mi ini dihukumki.”


Alifah : “Tidak sendiri jko cika.”
Rizal : “Sudahmi, nyapu mko nanti baek-baek!”
Dhiens : “Ah, gilaka lama-lama, bambangna poe. Apa kau lihat-lihat?” (menatap wajah Inna yang
sepertinya ketakutan)
Rizal : “Sudahmi anu, ayomi ke lapangan.”
Irma : “Haha, menyapuko sana, jarrako!”
Rizal : “Huu, tanjanu rong.”
Nurfa : “Ayomi ke kelas deh.”
Irma : “Oke.”

Di dalam kelas, Irma dan Nurfa berbincang-bincang mengenai kejadian tadi.

Irma : “Muingatki anak yang tadi?” (sambil terus menerus membuka lembaran bukunya)
Nurfa : “Siapa?”
Irma : “Inna!”
Nurfa : “Kenapa memangi?”
Irma : “Kasihanka sama dia! Jahat sekali itu bertiga deh.”
Nurfa : “Bah, dari dulu kerjanya kasih habisi uangnya adek kelas.”
Irma : “Kalau saya jadi Inna itu.. kulapormi di guru BK dari hari pertama napajakika.”
Nurfa : “Kalau kulihatki lagi napajaki adek kelas, bukan kulapor ke BK, sekalianmi ke komnas
HAM!”
Irma : “Haha, tojeng.”

Tiba-tiba Inna datang menemui Irma dan Nurfa yang sedang belajar di kelas.

Inna : “Kak, jangan mki hukumki kak Alifah, kak Rizal, sama kak Dhiens nah?”
Irma : “Kenapai dek? Orang tidak baik kayak mereka harus dikasih hukuman.”
Inna : “Kasihanka kak!”
Irma : “Anggapmi sebagai balasan karena sukaki napajaki dek.”
Inna : “Ayolah kak, ayo ke ruang BK kak? Bilangki kalau janganmi dihukum… ayolah kak.”
Nurfa : “Sudahmi Irma. Kah dia yang dipajaki, bukan kau. Okelah Inna kalau itu maumu.”

Ketiganya masuk ke ruang BK dan memberi tahu  agar Alifah, Dhiens, dan Rizal dilepaskan dari
hukumannya. Mereka lalu pergi menuju anak-anak yang sedang dihukum membersihkan lapangan.

Rizal : “Gila. Banyakna daun kering.”


Dhiens : “Panasna poe, merah mami mukaku.”
Alifah : “Berdebu weh.” (sambil mengibaskan tangan di depan wajah)
Inna : (datang dengan wajah setengah takut) “Kak… berhenti mki menyapu, sudah mka bilang di
guru BK supaya dicabut hukumanta.”
Dhiens : “Hah? Tojengko?”
Irma : “Iyo, sudahmi Inna bilang begitu di guru BK. Berhenti mko semua menyapu, terus minta
maafko ke Inna.”
Rizal : “Makasih nah, baik sekaliko sama kita. Padahal selaluki pajakiko.”
Alifah : “Minta maafka juga.”
Dhiens : “Maafkan ka juga nah.”
Inna : “Iye kak, kumaafkan jeki.”
Irma : “Bagusnya dilihat kalau junior sama senior akrab kayak begini.”
Nurfa : “Bah benar sekali.”

Keesokan harinya, Irma, Dhiens dan Nurfa sedang dalam perjalanan ke tempat les.

Irma : “Mau betulan jko mendaftar di tempat lesku toh?”


Dhiens : “Iyo iya. Seharusnya kuajakki juga Alifah.”
Nurfa : “Astaga, na Alifah mi itu yang paling rajin pergi les. Dulu.. sebelum masuk di gengmu.”
Dhiens : “Berubahma nah.”

Irma, Nurfa, dan Dhiens lalu berpapasan dengan Inna tepat di depan tempat les mereka.

Inna : “Halo, kak.”


Irma : “Eh Inna? Apa mubikin disini?”
Inna : “Iye? Leska juga disini kak. Ehm, duluanka kak.”
Nurfa : “Iye.”
Tepat pada pukul 7 malam, anak-anak berhamburan keluar dari tempat les. Setengah jam berlalu,
namun jemputan Inna belum juga datang. Jadi, ia memutuskan untuk menunggunya di sebuah taman
kecil di dekat sana.

Inna : (Sibuk mengutak-atik handphonenya).

Tiba-tiba, seorang pria tinggi dengan perawakan misterius berdiri di sampingnya. Pria itu
menatap tajam. Inna seketika gemetar. Ia seolah-olah dapat melihat wajah seram dari balik masker pria
tersebut.

Inna : (Menggeser kakinya, menjauh dari pria tersebut)


Rizal : (Merampas tas Inna)
Inna : “Tolonggg..!!!!!!”
Rizal : “Diamko!” (mendorong bahu Inna hingga terjatuh).

Dari arah belakang pria misterius itu, muncullah Dhiens, Irma dan Nurfa.

Irma : “Dhiens!”
Dhiens : “Astaga.. maafkanka.”
Nurfa : “Pingsan ki weh, bagaimana mi ini?”
Dhiens : “Tunggu.. tunggu! Kayak kukenal ini orang..” (membuka masker dan topi Rizal).
Dhiens, Irma Nurfa : “Rizal?!”
Inna : “Kak Rizal?”
Dhiens : “Astaga betul-betul ini anak.”
Nurfa : “Bawaki ke rumah sakit!”
Irma : “Iyo, ayo!”

Di rumah sakit...

Alifah : “We kenapai Rizal?”


Irma : “Panjang ceritanya, Alifah.”

Irma dan Nurfa menceritakan kronologis peristiwa tersebut kepada Alifah.

Alifah : “Tegamu pukulki Rizal, Dhiens!”


Dhiens : (menunduk).
Alifah : “Kutauji kalau salahki Rizal, tapi jangan meko sampai segitunya weh!”
Dhiens : “Apa kutaukanki kalo Rizal itu?! Nukira mauka pukulki kalau Rizal itu?”
Alifah : “Harusnya cek-cek ko dulu sebelum bertindak! Mikir pake otak! Kalau sampai ada apa-
apana Rizal, nda kumaafkan ko!”
Nurfa : “Sudahmi, sudahmi. Nda sembuh Rizal gara-gara berdebatko disini. Mending berdoako.”
Suster : “Permisi. Pasien sudah siuman, silahkan masuk.”

Di dalam UGD…

Irma : “Rizal, baek-baek jko?”


Rizal : (mengangguk)
Dhiens : “Rizal, maafkanka. Nda kutauki kalau kau itu tadi. Maaf sekalika.”
Rizal : “Astaga, sante mako kapang. Baek-baek ja.”
Nurfa : “Itu wae Rizal, janganko lagi begitu. Kukira tommi itu tobat-tobat mko.”
Rizal : “Hm, khilafka. Inna, maafkanka nah. Lagi butuh sekalika uang tadi. Maaf sekalika.”
Inna : “Iye kak, tidak apa-apaji. Lain kali, bilang mki kak kalau butuh, mungkin bisaka membantu.”
Alifah : “Iyo ine, jangko langsung ambil uangna orang anu.”
Rizal : “Maafka, nda kuulangi mi lagi perbuatanku.”
Dhiens : “Sembuh mko cepat. Kutraktirko makan nanti, gantinya karena kukasih masukko rumah
sakit.”
Nurfa : “Hmm, ‘kutraktirko’ itu maksudnya kita semua toh? Yeay ditraktir!!!”
Dhiens : “Ah, bukan begitu, maksudku traktir…”
Alifah, Irma, Inna, Rizal : “Yeyyy ditraktir Dhiens! Makan gratis!!!”
Suster : “Helloooo!! Rumah sakit ini dek bukan pasar!! Kalau mau ribut di luar sana!! Huh, anak
jaman sekarang tidak mengerti tata krama.”

Semuanya tertawa bahagia. Kini tiada lagi permusuhan di antara mereka.

“Dari sekian juta kejahatan seorang manusia, pasti ada sebuah pintu yang dapat
menghantarkannya ke dalam kehidupan yang lebih baik, jauh dari kebencian dan amarah. Dengan hati
yang sungguh-sungguh untuk meraihnya.”

Anda mungkin juga menyukai