Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDUHULUAN

A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus dan mengalami perkembangan kejadian yang cepat. Hal ini
dibuktikan dengan peningkatan kejadian rerata pada tahun 1990-1999 menjadi
dua kali lipat pada tahun 2000-2007 (WHO, 2009).
DBD ditempatkan menjadi penyakit virus terkait nyamuk yang paling
penting di dunia. Diperkirakan sekitar 2,5 miliar orang dalam 100 negara yang
berbeda hidup dalam risiko yang tinggi. Setiap tahunnya diperkirakan terjadi
sekitar lima puluh juta kasus infeksi DBD baru dengan angka kematian di atas
20.000 jiwa (Bhatia, Dash, Sunyoto, 2013). Dalam penelitian Martin dkk.(2010)
mengenai kejadian DBD di Amerika dalam tiga dekade terakhir, didapatkan
total 8,491,416 kasus DBD dengan angka kematian 2,210 jiwa. (WHO,2012)
Tujuh puluh persen dari seluruh populasi dunia yang berisiko terhadap
DBD tinggal di area Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat. Kejadian
epidemis menjadi masalah besar di beberapa negara berikut; Indonesia,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste. Hal ini terjadi karena wilayah
negara tersebut berada pada zona equator dan wilayah angin muson tropis,
dimana Ae. aegypti berkembang cepat (WHO, 2009).
Menurut Dinkes Sumatra Barat didapatkan data bahwa, Incidence rate
DBD di provinsi Sumatera Barat mencapai 63,23 per 100.000 penduduk dengan
CFR 28,71%. Sebagian besar kabupaten/kota di Sumatera Barat adalah daerah
endemis DBD, yaitu Kota Padang, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota
Padang Panjang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Tanah datar, Kabupaten
Solok, Kota Sawahlunto, dan Kabupaten Sijunjung. (Dinkes Sumbar, 2012).
Pada tahun 2014, Sumatera Barat masih merupakan provinsi dengan
angka kejadian DBD tinggi, terbukti pada tahun 2014, 18 dari 19 kabupaten/kota
terjangkit demam berdarah dengue. Ditemukan 2.328 kasus dari total jumlah

1
2

penduduk Sumatera Barat 5.098.790 jiwa dengan 10 jumlah kasus meninggal.


(Kemenkes RI, 2015).
Faktor kepadatan penduduk memicu tingginya kasus dengue
hemorrhagic fever, karena tempat hidup nyamuk hampir seluruhnya adalah
buatan manusia mulai dari kaleng bekas, ban bekas hingga bak mandi. Karena
itu, 10 kota dengan tingkat DBD paling tinggi seluruhnya merupakan ibukota
provinsi yang padat penduduknya.
Data kementerian kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mencatat
jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2009 mencapai
sekitar 150 ribu. Angka ini cenderung stabil pada tahun 2010, sehingga kasus
demam berdarah dengue di Indonesia belum bisa dikatakan berkurang.
Demikian juga dengan tingkat kematiannya, tidak banyak berubah dari 0,89% 2
pada tahun 2009 menjadi 0,87% pada pada 2010. Ini berarti ada sekitar 1.420
korban tewas akibat demam berdarah dengue pada 2009 dan sekitar 1.317
korban tewas pada tahun 2010. ( Pramudiarja, 2011).
Demam Berdarah Dengue masih menjadi permasalahan kesehatan baik
di wilayah perkotaan maupun wilayah semi-perkotaan. Perilaku vektor dan
hubungannya dengan lingkungan, seperti iklim, pengendalian vektor, urbanisasi,
dan lain sebagainya mempengaruhi terjadinya wabah demam berdarah di daerah
perkotaan. Belum ada prediksi yang tepat untuk menunjukkan kehadiran dan
kepadatan vektor (terutama Aedes Aegypti di lingkungan perkotaan dan semi
perkotaan). Penyebaran dengue dipengaruhi faktor iklim seperti curah hujan,
suhu dan kelembaban. Kelangsungan hidup nyamuk akan lebih lama bila tingkat
kelembaban tinggi, seperti selama musim hujan (Nazri, Hashim, Rodziah,
Hassan, & Yazid, 2013). Kelembaban yang tinggi dengan suhu berkisar antara
28-320C membantu nyamuk Aedes bertahan hidup untuk jangka waktu yang
lama. Pola penyakit di Indonesia sangat berbeda antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya. Tingginya angka kejadian DBD juga dapat dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk. Peningkatan jumlah kasus DBD dapat terjadi bila
kepadatan penduduk meningkat. Semakin banyak manusia maka peluang tergigit
3

oleh nyamuk Aedes aegypti juga akan lebih tinggi. (Pongsilurang, Sapulete, &
Wulan, 2015).
Penyakit DBD telah menjadi penyakit yang mematikan sejak tahun 2013.
Penyakit ini telah tersebar di 436 kabupaten/kota pada 33 provinsi di Indonesia.
Jumlah kematian akibat DBD tahun 2015 sebanyak 1.071 orang dengan total
penderita yang dilaporkan sebanyak 129.650 orang. Nilai Incidens Rate (IR) di
Indonesia tahun 2015 sebesar 50,75% dan Case Fatality Rate (CFR) 0,83%.
Jumlah kasus tercatat tahun 2014 sebanyak 100.347 orang dengan IR sebesar
39,80% dan CFR sebesar 0,90% (Kemenkes RI, 2016b).

Sedangkan di RSUD Dr. Ahcmad Mochtar Bukittinggi di ruangan Anak


prevalansi DBD pada tahun 2017 sebanyak 17 orang. Pada tahun 2018 sebanyak
18 orang. Sedangkan pada tahun 2019 pada bulan Januari- Oktober 31 sebanyak
orang.
Banyak faktor yang mempengaruhi kasus demam berdarah yang bila
tanpa penanganan yang tepat akan mengakibatkan kematian. Berbagai upaya
pengendalian prevalensi kasus DBD khususnya pada daerah dengan transmisi
yang tinggi atau persisten, sangat diperlukan. Daerah yang memiliki transmisi
tinggi adalah kota/kabupaten dengan IR yang cenderung tinggi sehingga
membutuhkan pengendalian penyakit yang teliti dan cepat (Qi et al., 2015).
Salah satu pengendalian DBD yang dilakukan di Indonesia dan dapat
dilakukan oleh semua umur dan dari seluruh jenjang pendidikan adalah kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Pemerintah di Indonesia mencanangkan
pembudidayaan PSN secara berkelanjutan oleh masyarakat dengan pesan inti
3M plus dan mewujudkan terlaksananya gerakan 1 rumah 1 Juru Pemantau
Jentik (Jumantik). Keberhasilan kegiatan PSN dapat diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ ≥ 95% diharapkan dapat mencegah atau
mengurangi kasus penularan DBD (Kemenkes RI, 2016).
Menurut uraian latar belakang di atas peneliti tertarik ingin melakukan
sebuah penelitian tentang “Asuhan Keperawatan Pada An. AP Dengan Dangue
Syok Sindrom di Ruangan Anak Rsud Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2019”
4

B. Rumusan masalah

Dari latar belakang yang telah di paparkan maka rumusan masalah pada
laporan kasus ini adalah “ Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pada An. AP
Dengan Dangue Syok Sindrom di Ruangan Anak Rsud Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2019?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui
Asuhan keperawatan Asuhan Keperawatan Pada An. AP Dengan Dangue
Syok Sindrom di Ruangan Anak Rsud Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Tahun 2019

2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan karya tulis ini adalah agar penulis
mampu :
a. Melaksanakan pengkajian pada An. AP dengan dengue haemorragic
fever
b. Menegakkan diagnosa keperawatan pada An. AP dengan dengue
haemorragic fever
c. Menyusun intervensi keperawatan pada An. AP dengan dengue
haemorragic fever
d. Melaksanakan implementasi keperawatan pada An.APC dengan dengue
haemorragic fever
e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada An. AP dengan dengue
haemorragic fever.
f. keperawatan pada An. AP dengan dengue haemorragic fever
g. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada An. AP dengan dengue
haemorragic fever.
5

D. Manfaat Manfaat
1. Bagi instalasi Rumah sakit
Agar dapat di gunakan sebagai masukan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada anak dengue hemorrhagic fever, serta dapat meningkatkan
mutu atau kualitas pelayanan kesehatan pada pasien.
2. Bagi instalasi pendidikan
Agar dapat digunakan sebagai wacana dan pengetahuan tentang
perkembangan ilmu keperawatan, terutama kajian pada anak dengan dengue
hemorrhagic fever.
3. Bagi penulis

Untuk menambah pengetahuan, pemahaman, dan pendalaman tentang


perawatan pada anak dengan dengue hemorrhagic fever.

4. Bagi pasien dan keluarga


Pasien dan keluarga dapat mengetahui cara pencegahan, perawatan,
penyebab, tanda dan gejala, serta pertolongan pertama yang dilakukan jika
mengalami dengue hemorrhagic fever.

Anda mungkin juga menyukai