Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang

bersifat progresif dan irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika

tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam

darah. Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan

kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah

lelah dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Smeltzer & Bare,

2015).

Menurut World Health Organization (WHO), menyebutkan pertumbuhan

jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

sebelumnya. Penyakit ginjal kronis berkontribusi pada beban penyakit dunia

dengan angka kematian sebesar 850.000 jiwa per tahun. The United States

Renal Data System (USRDS) mencatat bahwa jumlah pasien yang dirawat

karena End Stage Renal Disease (ESRD) secara global diperkirakan 3.010.000

pada tahun 2012 dengan tingkat pertumbuhan 7% dan meningkat 3.200.000

pada tahun 2013 dengan tingkat pertumbuhan 6% (Azam, 2018)

Berdasarkan data dari 7th Annual Report of Indonesian Renal Registry,

jumlah kematian pasien hemodialisis tahun 2014 di Indonesia sebesar 2.221

jiwa dengan penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab kematian tertinggi

(59%). PGK juga menempati beban biaya kesehatan paling tinggi kedua di

1
2

Indonesia setelah penyakit jantung. Pada tahun 2000 terdapat sebanyak 2.617

pasien yang menjalani hemodialisis dengan beban biaya yang ditanggung oleh

Askes sebesar Rp. 32,4 milyar dan pada tahun 2004 menjadi 6.314 kasus

dengan biaya Rp. 67,2 milyar.

Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan

bahwa prevalensi PGK di Indonesia sekitar 0,2%, meningkat seiring dengan

bertambahnya umur. Meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun

(0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%),

tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Selain itu, diketahui

prevalensi pada jenis kelamin laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan

(0,2%) (Rikesdas, 2018).

Terapi penggantian ginjal renal replacement therapy (RRT) merupakan

salah satu terapi yang dipertimbangkan pada pasien dengan gagal ginjal kronik

(GGK) tahap akhir. Terapi penggantian ginjal dapat berupa dialysis dan

transplantasi ginjal. Salah satu tindakan dialysis adalah hemodialisa merupakan

suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan

memerlukan dialysis jangka pendek atau pasien dengan GGK yang

membutuhkan terapi jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2015).

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal (TPG) yang

paling umum dijalani oleh pasien GGK. Ketika seseorang memulai terapi

ginjal pengganti (hemodialisis) maka ketika itulah klien harus merubah seluruh

aspek kehidupannya. Klien harus mendatangi unit hemodialisa secara rutin 2-3

kali seminggu, konsisten terhadap obat-obatan yang harus dikonsumsinya,

memodifikasi dietnya secara besar-besaran, mengatur asupan cairan hariannya


3

serta mengukur balance cairan setiap harinya. Masalah lainnya berupa

pengaturan-pengaturan sebagai dampak penyakit ginjalnya seperti dampak

penurunan hemoglobin yang lazim terjadi pada pasien gagal ginjal, pengaturan

kalium, kalsium, Fe dan lain-lain. Hal tersebut menjadi beban yang sangat

berat bagi klien yang menjalani hemodialisis. Termasuk pula masalah

psikososial dan ekonomi yang tentunya akan berdampak besar menyebabkan

klien seringkali menderita kelelahan yang luar biasa. Sehingga akhirnya

menyebabkan kegagalan terapi dan memperburuk prognosis klien dengan GGK

(Kim et al, 2011) .

Salah satu masalah besar yang berkontribusi pada kegagalan hemodialisis

adalah masalah kepatuhan klien. Secara umum kepatuhan (adherence)

didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan

pengobatan, mengikuti diet, dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup

sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (WHO. 2003).

Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi pelayanan

kesehatan adalah penting untuk kesuksesan suatu intervensi. Sayangnya,

ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada pasien yang

menjalani hemodialisis. Dan dapat berdampak pada berbagai aspek perawatan

pasien, termasuk konsistensi kunjungan, regimen pengobatan serta pembatasan

makanan dan cairan. Secara keseluruhan, telah diperkirakan bahwa sekitar 50

% pasien HD tidak mematuhi setidaknya sebagian dari regimen hemodialisis

mereka (Chironda & Bhengu, 2016).

Berbagai riset mengenai kepatuhan klien GGK yang mendapat terapi

hemodialisis didapatkan hasil yang sangat bervariasi. Secara umum


4

ketidakpatuhan pasien dialisis meliputi 4 (empat) aspek yaitu ketidakpatuhan

mengikuti program hemodialisis (0 % - 32,3 %), ketidakpatuhan dalam

program pengobatan (1,2 % - 81 %), ketidakpatuhan terhadap restriksi cairan

(3,4 % - 74%) dan ketidakpatuhan mengikuti program diet (1,2 – 82,4 %).

Dampak ketidakpatuhan tersebut, dapat mempengaruhi kualitas hidup klien,

meningkatnya biaya perawatan kesehatan, meningkatnya morbiditas dan

mortilitas klien (Efe & Kocaoz, 2015).

Banyak faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan yang berdampak pada

kegagalan klien dalam mengikuti program terapi gagal ginjal. Penelitian yang

dilakukan oleh Zahroh (2018) tentang identifikasi faktor yang mempengaruhi

kepatuhan pasien hemodialisis dalam pembatasan cairan dengan 52 pasien

GGK dengan sikap pasien patuh dan tidak patuh. Hal tersebut antara lain

dipengaruhi faktor pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dan lama menjalani

hemodialisa. Penelitian yang dilakukan Niraj Beerandrakumar dkk (2018)

“Dietary and Fluid Regime Adherence in Chronic Kidney Disease Patients”,

bahwa yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien dengan hemodialisa adanya

faktor keterlibatan tenaga kesehtan dalam edukasi terhadap pasien dan

keluarga.

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh Saran et al (2003), pasien

dianggap tidak patuh jika mereka sudah melewatkan satu atau lebih sesi dialisis

dalam satu bulannya, memperpendek waktu dialisis dengan satu atau lebih sesi

dengan lebih dari 10 menit perbulan, memiliki tingkat kalium serum lebih

besar dari 6 mEq/L, kadar fosfat serum lebih besar dari 7,5 mg/ dl, atau IDWG

lebih besar dari 5,7 % dari berat badan. Melewatkan satu atau lebih dialisis
5

dalam sebulan dihubungkan dengan 30 persen peningkatan risiko kematian,

dan memperpendek waktu dialisis dikaitkan dengan 11 % lebih tinggi Risiko

Relatif (RR) dari kematian (Ahrari et al, 2014).

Beberapa penelitian mencoba menghubungkan antara pendidikan, lama

menjalani hemodialisa, tingkat pengetahuan, motivasi, peran perawat dan

dukungan sosial atau keluarga dengan kepatuhan pasien dalam menjalani

hemodialisa. Pada dasarnya pengetahuan atau kognotif menjadi domain yang

sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan. Sehingga meningkatkan

motivasi untuk mencari informasi dan kepatuhan pasien dalam menjalani

hemodialisa. Faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah dukungan

keluarga dalam bentuk instrumental berupa bantuan finansial dan material.

Dukungan nyata paling efektif dapat mengurangi tingkat depresi suatu

individu. Lama menjalani hemodialisa juga merupakan faktor dalam kepatuhan

pasien dalam pembatasan asupan cairan. Tingkat kejenuhan dan depresi

membuat sulitnya menerima stimulus dari luar dirinya.

Penelitian yang dilakukan Fery Lusiana (2017), mengatakan adanya

hubungan yang bemakna antara pengetahuan (p=0,027), dukungan keluarga

(p=0,045) dan perilaku (p=0,002) dengan kepatuhan diet pasien hemodialisa,

penelitian ini juga didukungan dengan penelitian lainnya yang mengatakan

adanya hubungan peran perawat sebagai tenaga kesehatan dalam memotivasi

pasien dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap dalam kepatuhan asupan

cairan (Widiany, 2017; Chironda & Bhengu, 2016; Efe & Kocaöz, 2015).

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di RSUD Dr. Ahcmad Mochtar

Bukittinggi, dimana data menunjukan bahwa jumlah pasien gagal ginjal kronis
6

yang menjalani tindakan hemodialisa pada tahun 2016 sebanyak 7767 tindakan

yang terdiri dari 122 pasien baru, 7645 pasien lama. Pada tahun 2017 jumlah

tindakan hemodialisa sebanyak 8591, yang terdiri dari 127 pasien baru dan

8464 pasien lama. Pada tahun 2018 jumlah tindakan hemodialisa sebanyak

9029, yang terdiri dari 185 pasien baru dan 8844. Pada tahun 2019 bulan

Januari – Februari didapatkan 240 pasien GGK dengan 1679 tindakan

hemodialisis.

Melalui wawancara terhadap 5 pasien yang telah melakukan terapi

hemodialisa. Didapatkan 2 pasien dapat membatasi intake cairan, dan 3 pasien

tidak dapat membatasi intake cairan. Pada pasien yang patuh, mereka

melakukan pembatasan intake cairan dengan jumlah kurang lebih yang telah

dianjurkan oleh perawat dan dokter asal tidak sampai merasakan dampak

kelebihan cairan seperti edema dan sesak nafas. Sedangkan pasien yang tidak

patuh, tidak melakukan pembatasan intake cairan dengan alasan haus. Jika

dilihat dari pengetahuan pasien tentang pembatasan intake cairan, pasien sudah

tahu tentang pentingnya pembatasan intake cairan tapi pasien tekadang tidak

melakukannya sesuai dengan yang dianjurkan dokter dan perawat karena alas

an haus dan lupa, dan keluarga juga tidak bisa terlalu melarang ketika pasien

tidak patuh dalam pembatasan intake cairan tersebut dengan alasan kasihan

dengan pasien. Dalam pembatasan intake cairan pasien hemodialisa ada peran

perawat yang sangat penting dalam asupan cairan pasien, disini perawat sudah

melaksakan perannya dalam edukasi dan membimbing pasien dalam kepatuhan

dalam asupan cairan pasien, tapi mungin belum secara keseluruhan dipahami
7

dan diikuti oleh pasien, buktinya masih ada pasien yang masih belum patuh

dalam pembatasan intake cairan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditentukan rumusan masalah

penelitian apa faktor – faktor yang berhubungan dengan kepatuhan asupan

cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa di Rsud Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2019 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan asupan cairan pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang

kepatuhan asupan cairan pada pasien hemodialisa di RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2019.

b. Mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga dalam kepatuhan

asupan cairan pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi tahun 2019.

c. Mengetahui distribusi frekuensi peran perawat dalam kepatuhan

asupan cairan pada pasien hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi tahun 2019.


8

d. Mengetahui distribusi frekuensi kepatuhan asupan cairan pada pasien

hemodialisa di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2019.

e. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan kepatuhan asupan cairan

pasien hemodialisa.

f. Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan asupan

cairan pasien hemodialisa.

g. Mengetahui hubungan peran perawat dengan kepatuhan asupan cairan

pasien hemodialisa.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pasien yang menjalani Hemodialisis

Agar hasil penelitian ini dapat memberikan motivasi pasien yang

menjalani hemodialisis untuk mengontrol intake cairan.

2. Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi

rumah sakit, sehingga ke depan ada perencanaan dan tindakan atau

rancangan yang lebih baik dalam rangka untuk meningkatkan mutu

pelayanan rumah sakit dengan penyedian sarana prasaran yang diperlukan

untuk dapat meningkatkan kepatuhan dalam asupan cairan pada pasien

yang menjalani hemodialisis.

3. Bagi Institusi pendidikan

Agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan

bahan kepustakaan dalam pemberian Asuhan Keperawatan pada pasien

hemodialisa.
9

4. Bagi Peneliti

Agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai aplikasi ilmu yang

telah didapat selama perkuliahan dan sebagai bahan masukan dalam

menambah informasi, menambah ilmu dan wawasan ilmu pengetahuan.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas faktor – faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa di

Rsud Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2019. Variabel independen

dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang HD, peran persepsi pasien

terhadap pelayanan perawat dan dukungan keluarga dan variabel dependen

dalam penelitian ini adalah kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dengan

hemodialisa. Desain penelitian ini menggunakan rancangan analitik dengan

pendekatan potong lintang (cross sectional) yaitu penelitian yang bertujuan

mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan dalam suatu komunitas dan

selanjutnya menjelaskan suatu keadaan tersebut melalui pengumpulan atau

pengukuran variabel korelasi yang terjadi pada obyek penelitian secara

simultan dan dalam waktu yang bersamaan. Penelitian ini menggunakan

instrument berupa kuesioner sebagai alat ukur penelitian.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Gagal Ginjal

1. Definisi

Gagal ginjal dapat terjadi dari suatu situasi akut atau dari persoalan-

persoalan kronis. Gagal ginjal akut merupakan suatu keadaan klinis yang

ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara mendadak dengan akibat

terjadinya peningkatan hasil metabolit seperti ureum dan kreatinin (Guyton

& Hall, 2005).

Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun

bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,

menyebabkan uremia (Smeltzer & Bare, 2015).

2. Etiologi

Pada gagal ginjal akut, fungsi ginjal hilang secara cepat. Daftar dari

penyebab-penyebab seringkali dikategorikan berdasarkan di mana

kerusakan telah terjadi (Guyton & Hall, 2005).

a. Faktor prerenal

Faktor ini adalah disebabkan oleh pengaliran darah ke ginjal yang

berkurang. Contoh-contoh dari penyebab prerenal adalah hipovolemia

yang disebabkan oleh kehilangan darah, dehidrasi dari kehilangan

10
11

cairan tubuh akibat muntah, diare, berkeringat, dan demam, konsumsi

cairan yang sedikit sekali, konsumsi obat seperti diuretik (water pills)

yang mungkin menyebabkan kehilangan air yang berlebihan serta

obstruksi pengaliran darah ke ginjal yang disebabkan oleh halangan

dari arteri atau vena renal.

b. Faktor renal

Faktor renal merupakan kerusakan secara langsung pada ginjal

sendiri. Ini termasuk sepsis yang memicu kepada peradangan pada

ginjal dimana fungsi ginjal menjadi tidak adekuat. Ini adalah

disebabkan oleh pengambilan obat-obatan yang mengakibatakan

keracunan pada ginjal. Antara obatnya adalah obat anti peradangan

nonsteroid seperti ibuprofen dan naproxen serta yang lain-lain adalah

antibiotik seperti aminoglycosides [gentamisin(Garamycin),

tobramycin], lithium (Eskalith, Lithobid), obat-obatan yang

mengandung iodine seperti yang disuntikan untuk studi radiologi

dengan dye (zat pewarna). Selain itu Rhabdomyolysis adalah salah

satu faktor renal yang menyebabkan gagal ginjal akut. Ini adalah suatu

situasi dimana terjadi penguraian otot yang disignifikasi dalam tubuh,

dan produk-produk degenerasi dari serat otot menyumbat pada sistem

penyaringan di ginjal.

Ini sering terjadi karena trauma dan luka. Glomerulonefritis akut

atau peradangan glomeruli ginjal merupakan satu faktor gagal ginjal.

Antara penyakit dapat menyebabkan peradangan ini adalah sistemik


12

lupus eritematosus, Wegener's granulomatosis, dan sindroma

Goodpasture.

c. Faktor post renal

Ini disebabkan oleh faktor - faktor yang mempengaruhi

pengaliran urin yaitu obstruksi dari kantung kemih atau ureter yang

menyebabkan tekanan karena tidak ada tempat untuk pengaliran urin

ke luar. Ketika tekanan meningkat ia turut mengefek ginjal. Hipertrofi

prostat turut mengobstruksi uretra dan menghalang kantung kemih

dari mengosong. Batu-batu ginjal juga dapat memicu kepada obstruksi

saluran kemih.

Gagal ginjal kronis berkembang melalui waktu berbulan-bulan

dan bertahun-tahun. Penyebab-penyebab yang paling umum dari gagal

ginjal kronis dihubungkan pada diabetes yang tidak terkontrol,

tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol serta glomerulonefritis

kronik. Di antara penyebab-penyebab yang tidak umum adalah

penyakit ginjal polikistik, refluks nefropati, batu di ginjal dan kanker

prostat.

3. Klasifikasi

The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the

National Kidney Foundation (NKF) mengklasifikasikan tahap penyakit

gagal ginjal kronis kepada berikut:

a. Tahap 1: kerusakan ginjal dengan (LFG normal atau > 90

mL/min/1.73 m

b. Tahap 2: penurunan ringan pada (LFG: 60-89 mL/min/1.73 m


13

c. Tahap 3: penurunan sedang pada (LFG: 30-59 mL/min/1.73 m

d. Tahap 4: penurunan berat di (LFG: 15-29 mL/min/1.73 m

e. Tahap 5: gagal ginjal (LFG <15 mL/min/1.73 m 2 atau dialisis).

4. Patofisiologi

Gambaran umum perjalanan gagal ginjal dapat diperoleh dengan

melihat hubungan antara bersihan kreatinin dan kecepatan Laju Filtrasi

Glomerulus (LFG) sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap

kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN) dengan rusaknya

massa nefron secara progresif oleh penyakit ginjal kronik.

Perjalanan umum gagal ginjal dapat dibagi menjadi empat stadium.

Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini

kreatinin serum dan kadar BUN adalah normal dan penderita

asimptomatik. Dalam stadium sedang berlaku insufisiensi ginjal, dimana

lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada tahap ini, kadar

BUN mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN

ini berbeda-beda karena tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada

stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar

normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya

mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi.

Pada stadium insufisiensi ginjal ini gejala-gejala nokturia dan poliuria

mulai timbul. Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik

disebut gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir

timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya

sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari
14

keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per

menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan

meningkat dengan mendadak sebagai respons terhadap LFG yang

mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita

mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak

sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam

tubuh. Urin menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap

sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligouria (pengeluaran kemih

kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses

penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan

biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik

mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,

penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan

dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialysis (Smeltzer & Bare, 2015).

5. Manafestasi Klinis

Manifestasi klinik yang dapat muncul pada klien dengan CKD dapat

mengenai semua sistem diantaranya yaitu:

a. Gangguan pada sistem Gastrointestinal

1) Anoreksia, nausea dan vomitus, berhubungan dengan gangguan

metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat –zat toksik

akibat metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metal

guanidine, serta sembabnya mukosa usus.

2) Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur

diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga napas


15

berbau amonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan

parotitis.

3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui.

4) Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.

b. Kulit

1) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat

penimbunan urokrom, gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin

uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.

2) Ekimosis akibat gangguan hematologis.

3) Urea fros, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat, (jarang

dijumpai)

4) Bekas-bekas garukan karena gatal.

c. Sistem Hematologi

1) Anemia dapat disebabkan berbagai faktor antara lain:

 Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan

eritropoesis pada sumsum tulang menurun.

 Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam

suasana uremia toksik.

 Defisisensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan

yang berkurang.

 Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.

 Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatirodisme sekunder.


16

2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia

Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit

yang berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP

(adenosin difosfat)

3) Gangguan fungsi leukosit.

Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun

sehingga imunitas juga menurun.

d. Sistem saraf dan otot

1) Restless leg syndrome

Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.

2) Burning feat syndrome

Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki.

3) Ensefalopati metabolik

Lemah , tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis,

mioklonus, kejang.

4) Miopati

Kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot ekstermitas

proksimal.

e. Sistem Kardiovaskular

1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan

aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron.


17

2) Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi perikardial,

penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini,

dan gagal jantung akibat penimbunan cairan hipertensi.

3) Gangguan irama jantung akibat elektrolit dan klasifikasi metafisik.

4) Edema akibat penimbunan cairan.

f. Sistem endokrin

1) Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-

laki akibat produksi testoteron dan spermatogenesis yang menurun.

Sebab yang lain juga dihubungkan dengan metabolik tertentu

(seng, hormon paratiroid). Pada wanita timbul gangguan

menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenorea.

2) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens keratinin < 15

mL/ menit), terjadi penurunan klirens metabolik insulin

menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini

dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan

berkurang.

3) Gangguan metabolisme lemak.

4) Gangguan metabolisme vitamin D

g. Gangguan sistem lain

1) Tulang: osteodistrofi renal,yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,

osteoklerosis, dan klasifikasi metastatik.


18

2) Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil

metabolisme.

3) Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Laboratorium

Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan

pemeriksaan laboratorium, seperti : Kadar serum sodium/ natrium dan

potassium/ kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit,

kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi

kreatinin urin, urinalisis.

Pada stadium yang cepat pada insufisiesi ginjal, analisa urine dapat

menunjang. Dan sebagai indikator untuk melihat kelainan fungsi

ginjal, batas kreatinin urin rata-rata dari urine tampung selama 24 jam.

Analisa urine rutin dapat dilakukan pada stadium gagal ginjal yang

mana dijumpai produksi urin yang tidak normal. Dengan urin analisa

juga dapat menunjukkan kadar protein, glukosa, RBCs/eritrosit, dan

WBCs/leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Pada gagal ginjal

yang progresif dapat terjadi output urin yang kurang dan frekuensi

urin menurun.

Monitor kadar BUN dan kadar kreatinin sangat penting bagi pasien

dengan gagal ginjal. Urea nitrogen adalah produk akhir dari

metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh ginjal.

Normal kadar BUN dan kreatinin sekitar 20 : 1. Bila ada peningkatan


19

BUN selalu diindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake

protein.

b. Pemeriksaan Radiologi

Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunakan untuk

mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain:

1) Flat-flat radiografy/ Radiographic keadaan ginjal, uereter dan

vesika urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan

kalsifikasi dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa

ginjal mengecil yang mungkin disebabkan karena adanya proses

infeksi.

2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat

secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan

memakai kontras atau tanpa kontras.

3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi

keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa

digunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh

trauma, pembedahan, anomali kongenital, kelainan prostat, calculi

ginjal, abses/ batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.

4) Arteriorenal Angiography digunakan untum mengetahui sistem

arteri, vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras

. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri

stenosis, aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa

gangguan bentuk vaskuler.


20

5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk

mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi,

ARF, proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.

c. Biopsi Ginjal

Untuk mengdiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan

ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus

golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF,

dan perencanaan transplantasi ginjal.

7. Pemeriksaan Penunjang Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Dalam rangka mendapatkan diagnosis yang tepat pada penyakit ginjal

sudah tentu diperlukan kelengkapan data-data yang saling mendukung satu

dengan lainnya. Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang tepat

dan terarah sehingga diagnosis penyakit ginjal yang tepat dapat dipenuhi.

Pada pelaksanaan sehari-hari ada lima bentuk pemeriksaan penunjang

untuk menilai fungsi struktur ginjal, yaitu pemeriksaan serologi,

pemeriksaan radiologi, biopsi ginjal, pemeriksaan dipstick terhadap urin,

perhitungan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditentukan dengan

memeriksa bersihan dari bahan-bahan yang diekskresikan oleh filtrasi

glomerulus (Perry & Potter, 2006).

Pada penyakit gagal ginjal kronik, pemeriksaan penunjang yang dapat

membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan

pemeriksaan perhitungan laju filtrasi glomerulus. Dalam pemeriksaan

perhitungan laju filtrasi glomerulus terdapat beberapa komponen yang harus


21

diperhatikan seperti umur, berat badan, jenis kelamin, dan kreatinin serum.

Hal ini berdasarkan formula Cockcroft-Gault yaitu:

( 140 –age ) ×Weight ×Constant


Estimate Creatinine Clearance in mL /minute =
Serum Creatinine

Constant untuk laki-laki : 1,23 manakala untuk perempuan : 1,04

a. Ureum

Gugusan amino dicopot dari asam amino bila asam itu didaur

ulang menjadi sebagian dari protein lain atau dirombak dan akhirnya

dikeluarkan dari tubuh. Amino transferase (transaminase) yang ada

diberbagai jaringan mengkatalis pertukaran gugusan amino antara

senyawa-senyawa yang ikut serta dalam reaksireaksi sintesis. Selain

itu, deaminasi oksidatif memisahkan gugusan amino dari molekul

aslinya dan gugusan yang dilepaskan itu diubah menjadi amoniak.

Amoniak dihantar ke hati dan disana ia berubah menjadi ureum

melalui reaksi-reaksi bersambung. Ureum adalah satu molekul kecil

yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya

ia dipekatkan dalam urin dan diekskresi. Jika keseimbangan nitrogen

dalam keadaan mantap, ekskresi ureum kira-kira 25 gr setiap hari

(Guyton & Hall, 2005).

Kadar ureum dalam serum mencerminkan keseimbangan antara

produksi dan ekskresi. Metode penetapan adalah dengan mengukur

nitrogen, di Amerika Serikat hasil penetapan disebut sebagai nitrogen

ureum dalam darah (Blood Urea Nitrogen, BUN). Dalam serum

normal konsentrasi BUN adalah 8-25 mg/dl. Nitrogen menyusun


22

28/60 bagian dari berat ureum, karena itu konsentrasi ureum dapat

dihitung dari BUN dengan menggunakan faktor perkalian 2,14

(Guyton & Hall, 2005).

Penetapan ureum tidak banyak diganggu oleh artefak. Pada pria

mempunyai kadar rata-rata ureum yang sedikit lebih tinggi dari wanita

karena tubuh pria memiliki lean body mass yang lebih besar. Nilai

BUN mungkin agak meningkat kalau seseorang secara

berkepanjangan makan pangan yang mengandung banyak protein,

tetapi pangan yang baru saja disantap tidak berpengaruh kepada nilai

ureum pada saat manapun. Jarang sekali ada kondisi yang

menyebabkan kadar BUN dibawah normal. Membesarnya volume

plasma yang paling sering menjadi sebab.

Kerusakan hati harus berat sekali sebelum terjadi BUN karena

sintesis melemah. Konsentrasi BUN juga dapat digunakan sebagai

petunjuk LFG. Bila seseorang menderita penyakit ginjal kronik maka

LFG menurun, kadar BUN dan kreatinin meningkat. Keadaan ini

dikenal sebagai azotemia (zat nitrogen dalam darah). Kadar kreatinin

merupakan indeks LFG yang lebih cermat dibandingkan BUN. Hal ini

terutama karena BUN dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan

katabolisme protein tubuh.

b. Kreatinin

Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin.

Kreatinin disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot

rangka; disana ia terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk


23

fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Reaksi keratin + fosfat

↔ fosfokreatin bersifat reversibel pada waktu energi dilepas atau

diikat. Akan tetapi sebagian kecil dari kreatin itu secara irreversibel

berubah menjadi kreatin yang tidak mempunyai fungsi sebagai zat

berguna dan adanya dalam darah beredar hanyalah untuk diangkut ke

ginjal. Nilai normal untuk pria adalah 0,5 – 1,2 mg/dl dan untuk

wanita 0,5 – 1 mg/dl serum. Nilai kreatinin pada pria lebih tinggi

karena jumlah massa otot pria lebih besar dibandingkan jumlah massa

otot wanita.

Banyaknya kreatinin yang disusun selama sehari hampir tidak

berubah kecuali kalau banyak jaringan otot sekaligus rusak oleh

trauma atau oleh suatu penyakit. Ginjal dapat mengekskresi kreatinin

tanpa kesulitan. Berkurang aliran darah dan urin tidak banyak

mengubah ekskresi kreatinin, karena perubahan singkat dalam

pengaliran darah dan fungsi glomerulus dapat diimbangi oleh

meningkatnya ekskresi kreatinin oleh tubuli. Kadar kreatinin dalam

darah dan ekskresi kreatinin melalui urin per 24 jam menunjukkan

variasi amat kecil, pengukuran ekskresi kreatinin dalam urin 24 jam

tidak jarang digunakan untuk menentukan apakah pengumpulan urin

24 jam dilakukan dengan cara benar (Guyton & Hall, 2005).

Kreatinin dalam darah meningkat apabila fungsi ginjal

berkurang. Jika pengurangan fungsi ginjal terjadi secara lambat dan

disamping itu massa otot juga menyusun secara perlahan, maka ada

kemungkinan kadar kreatinin dalam serum tetap sama, meskipun


24

ekskresi per 24 jam kurang dari normal. Ini bisa didapat pada pasien

berusia lanjut kadar BUN yang meningkat berdampingan dengan

kadar kreatinin yang normal biasanya menjadi petunjuk ke arah sebab

ureumnya tidak normal. Ureum dalam darah cepat meninggi daripada

kreatinin bila fungsi ginjal menurun; pada dialisis kadar ureum lebih

dulu turun dari kreatinin. Jika kerusakan ginjal berat dan permanen,

kadar ureum terus-menerus meningkat, sedangkan kadar kreatinin

cenderung mendatar. Kalau kreatinin dalam darah sangat meningkat,

terjadi ekskresi melalui saluran cerna (Guyton & Hall, 2005).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan plasma

kreatinin, antara lain :

1) Diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin.

2) Menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam

keton, anion organik (pada uremia), atau obat (simetidin, sulfa).

Kreatinin darah meningkat jika fungsi ginjal menurun. Oleh

karena itu kreatinin dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator

khusus pada penyakit ginjal dibandingkan uji dengan kadar nitrogen

urea darah (BUN). Sedikit peningkatan kadar BUN dapat menandakan

terjadinya hipovolemia (kekurangan volume cairan); namun kadar

kreatinin sebesar 2,5 mg/dl dapat menjadi indikasi kerusakan ginjal.

Kreatinin serum sangat berguna untuk mengevaluasi fungsi

glomerulus.

Keadaan yang berhubungan dengan peningkatan kadar kreatinin

adalah : gagal ginjal akut dan kronis, nekrosis tubular akut,


25

glomerulonefritis, nefropati diabetik, pielonefritis, eklampsia, pre-

eklampsia, hipertensi esensial, dehidrasi, penurunan aliran darah ke

ginjal (syok berkepanjangan, gagal jantung kongestif), rhabdomiolisis,

lupus nefritis, kanker (usus, kandung kemih, testis, uterus, prostat),

leukemia, penyakit Hodgkin, diet tinggi protein.

Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin adalah :

Amfoterisin B, sefalosporin (sefazolin, sefalotin), aminoglikosid

(gentamisin), kanamisin, metisilin, simetidin, asam askorbat, obat

kemoterapi sisplatin, trimetoprim, barbiturat, litium karbonat,

mitramisin, metildopa, triamteren. Penurunan kadar kreatinin dapat

dijumpai pada : distrofi otot (tahap akhir), myasthenia gravis.

Untuk menilai fungsi ginjal, permintaan pemeriksaan kreatinin

dan BUN hampir selalu disatukan (dengan darah yang sama). Kadar

kreatinin dan BUN sering diperbandingkan. Rasio BUN/kreatinin

biasanya berada pada kisaran 12-20. Jika kadar BUN meningkat dan

kreatinin serum tetap normal, kemungkinan terjadi uremia non-renal

(prarenal); dan jika keduanya meningkat, dicurigai terjadi kerusakan

ginjal (peningkatan BUN lebih pesat daripada kreatinin). Pada dialisis

atau transplantasi ginjal yang berhasil, urea turun lebih cepat daripada

kreatinin. Pada gangguan ginjal jangka panjang yang parah, kadar

urea terus meningkat, sedangkan kadar kreatinin cenderung mendatar,

mungkin akibat akskresi melalui saluran cerna.

Rasio BUN/kreatinin rendah (<12)>20) dengan kreatinin normal

dijumpai pada uremia prarenal, diet tinggi protein, perdarahan saluran


26

cerna, keadaan katabolik. Rasio BUN/kreatinin tinggi (>20) dengan

kreatinin tinggi dijumpai pada azotemia prarenal dengan penyakit

ginjal, gagal ginjal, azotemia pascarenal.

B. Hemodialisis

1. Pengertian dan Prinsip Kerja Hemodialysis

Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolism berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada

darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer

(Hudak & Gallo, 2010).

Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah difusi dan ultra filtrasi.

Difusi merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan

konsentrasi tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai

tercapai kondisi seimbang. Proses terjadinya difusi dipengaruhi oleh suhu,

visikositas dan ukuran dari molekul. Saat darah dipompa melalui dialyser

maka membran akan mengeluarkan tekanan positifnya, sehingga tekanan

diruangan yang berlawanan dengan membran menjadi rendah. Hal ini

mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran kecil bergerak dari

daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah

(tekanan hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik tersebut maka

cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel. Proses ini disebut

dengan ultrafiltrasi.
27

2. Persiapan Pasien Hemodialysis

Periode waktu dari mulai dialysis sampai memulai terapi pengganti

ginjal atau Renal Replacement Therapy (RRT), biasanya hanya dalam

waktu yang pendek, tetapi sering ada periode waktu dari beberapa bulan

sampai beberapa tahun ketika pasien harus diberikan waktu untuk

menyesuaikan gaya hidup mereka dan mempersiapkan apapun bentuk

dialysis yang sesuai. Keperluan penanganan predialysis meliputi bantuan

psikologis, termasuk monitor klinis tentang kondisi gangguan ginjal.

Semua pasien dengan kondisi CKD dengan creatinine plasma diatas

150 mmol L - 1 dan /atau signifikansi proteinuria (<1 g 24 h-1) sebaiknya

dirujuk kepada ahli nephrologis. Pasien dengan kreatinin di atas 300 mmol

L-1 sebaiknya dirujuk secepat mungkin. Struktur pendidikan dan

konseling bagi gangguan ginjal tahap akhir ini harus diberikan oleh tim

multi disiplin ilmu.

Untuk keperluan hemodialisis jangka panjang, ada sejumlah pilihan

yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan lokasi treatmen

haemodialysis.

a. Inserting Accses Hemodialysis

Keberhasilan suatu hemodialisis tergantung pada keadekuatan aliran

darah yang melalui dialyser. Bersihan yang optimal pada produk sisa

tergantung pada aliran dialisat, permeabilitas membran, area

permukaan membran, durasi dilaksanakannya dialysa, dan yang paling

penting yaitu kecepatan aliran darah


28

Terdapat 2 kategori tempat inserting hemodialysis yaitu :

1) Melalui perkutaneus, termasuk jugularis, subklavia dan

femoralis.

Akses perkutaneus menggunakan kanula atau kateter yang

dimasukkan ke vena mayor atau vena besar. Kateter digunakan

sementara apabila anastomosis fistula belum matang. Pembuluh

darah vena yang dapat digunakan yaitu subclavia, femoralis dan

vena jugularis internal.

Pemasangan kateter dapat berupa satu atau dua lumen yang

dimasukkan dengan menggunakan anastesi lokal atau general.

Ketepatan posisi kateter dapat dicek melalui sinar X-ray. Peran

perawat disini yaitu perawat dapat memberikan pendidikan

kesehatan, memelihara kepatenan letak kateter, mencegah infeksi

dan memberikan perawatan bila terjadi infeksi. Perawat harus

ketat terhadap pencegahan infeksi, untuk itu selalu dilakukan

observasi ada tidaknya bengkak, kemerahan atau eksudat pada

luka tempat penusukan. Luka tempat penusukan ditutup dengan

kasa yang tidak terlalu basah atau terlalu kering.

2) Arteriovenous fistulae (AVF) dan Arteriovenous graft

Arteriovenous fistulae (AVF) dikerjakan melalui prosedur operasi

anastomosis antara arteri brakialis dan vena sefalika pada tangan

kiri pasien.

Kecepatan aliran darah berkisar antara 800 – 1000 mL/menit.

AVF dapat dilakukan 3 – 4 bulan sebelum hemodialysis diberikan


29

dengan tujuan agar terjadi proses kematangan jaringan pada

daerah anastomosis saat hemodialysis dilakukan. Perawatan

preoperatif pada AVF yaitu perawat memberikan kesempatan

kepada pasien untuk berpartisipasi selama pelaksanaan dan

memberikan penjelasan kepada pasien selengkap lengkapnya

tentang prosedur pembedahan dan perawatan yang dilakukan

setelah dilakukan tindakan anastomosis. Perawat memfasilitasi

pasien untuk dapat bertemu dengan pasien lain yang telah

berpengalaman dengan pemasangan AVF.

Perawatan pasien post operasi AVF yang harus diberikan

perawat yaitu :

1) Tubuh dalam kondisi hangat agar dapat membantu sirkulasi

perifer.

2) Monitor tekanan darah dan pertahankan tekanan sistole

minimal 100 mmHg, jika tekanan darah kurang dari 100

mmHg maka akan beresiko terjadi trombosis fistula sehingga

dilarang untuk memberi obat antihipertensi.

3) Kaji daerah luka secara teratur, observasi adanya perdarahan

atau bengkak.

4) Observasi aliran darah yang melalui fistula dengan cara :

 Tempatkan stetoskop pada daerah insisi dan dengarkan

suara ”bruits” disebut dengan bruit.

 Letakkan tangan pada daerah insisi akan terasa seperti

ada aliran, hal ini disebut dengan thrill.


30

5) Observasi bruit dan thrill secara teratur misalnya 15 menit

sekali pada jam pertama dan ajarkan pada pasien untuk

merasakan sensasi ini segera mungkin.

6) Sebelum pasien dipindahkan, perawat dapat memberikan

penjelasan kepada pasien agar pasien tidak menggunakan

tangannya untuk mengangkat beban yang berat. Ajarkan

latihan tangan dengan menggunakan bola sehingga

mempercepat kematangan fistula.

Informasikan pada pasien agar memberitahu kepada perawat

atau dokter agar tidak menggunakan tangan dengan fistula

untuk melakukan plebotomi, pengukuran tekanan darah atau

kanulasi karena dapat menyebabkan kerusakan permanen

pada fistula.

7) Sarankan pada pasien jika terjadi perdarahan, bengkak dan

tidak adanya bruit atau thrill untuk segera datang ke rumah

sakit terdekat.

Komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan AVF ini

diantaranya

yaitu:

1) Trombosis

Trombosis dapat terjadi dengan cepat pada periode post

operasi atau setelahnya, kadang-kadang diikuti episode

hipotensi selama dialisis. Perkutaneus angiopati dengan

menggunakan balon kateter kadangkala lebih baik hasilnya.


31

Penggunaan agen trombolitik bertujuan untuk mencegah

kerusakan permanen.

2) Aneurisma

Dapat disebabkan oleh pengulangan pada area penusukan.

Kulit menjadi lebih tipis dan pada kondisi ini dilarang

menggunakan kanula.

3) Steal sindrom

Pada kondisi ini pasien mengeluh nyeri, edema dan rasa

dingin atau seperti ditusuk jarum. Diperlukan pembedahan

ulang untuk membetulkan fistula pada tangan.

Kanulasi pada AVF dilakukan oleh seseorang yang ahli, dapat

dilakukan jika fistula mencapai kematangannya yaitu antara 2 – 3

bulan pasca penusukan dengan tujuan yaitu untuk mempercepat

proses penyembuhan anastomosis dan memungkinkan untuk

perkembangan pembuluh darah yang lebih baik. Setelah

pemasangan kanulasi perlu kiranya dilakukan pengkajian fisik

untuk mengobservasi tidak adanya edema, infeksi atau bruising

dan observasi adanya bruit dan thrill. Perawatan pasien dengan

AVF harus memperhatikan kebersihan dan aseptik dari tangan

pasien yang terpasang AVF, misalnya dengan menerapkan

universal precaution seperti menggunakan sarung tangan dan

masker.

Arteriovenous (AV) graft merupakan cara lain yang dapat

dilakukan jika pembuluh darah perifer tidak cocok menggunakan


32

fistula. AV graft menggunakan material sintetik seperti

polyetrafluoroethylene (PTFE).

Perawat dapat menyampaikan kepada pasien bahwa perawatan

graft sama seperti fistula. Perawatan menggunakan sarung tangan

untuk mencegah terjadinya infeksi.

Akses lain dalam hemodialysis sampai tahun 1980 yaitu

Arteriovenous (AV) shunt merupakan metode yang dapat

dilakukan pada hemodialysis akut maupun kronik. Shunt dibuat

melalui proses pembedahan dengan memotong pembuluh darah

perifer.

b. Dosis, Adekuasi dan Durasi Hemodialysis

1) Dosis Hemodialisis

Dosis HD yang diresepkan yaitu :

 Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk

mengukur volume

 Tentukan volume yang mengacu pada normogram

 Tentukan klirens urea dari dializer yang dipakai sesuai

dengan laju aliran darah (Qb). Lihat petunjuk pada kemasan

dializer.

 Lama dialisis yang diinginkan dalam jam (T) : KT/V = 1,2

(untuk HD 3X seminggu).

 Dosis HD yang sebenarnya dapat ditentukan setelah

hemodialisis, dengan
33

Rumus :

KT ( BB pradialisis - BB pasca dialisis )


= -In ( R-0,008t ) + ( 4-3,5R ) ×
V BB pasca dialisis

Ket : ln = logaritma natural

R = Ureum pasca dialisis/ureum pra dialysis

t = Lama dialisis (jam)

2) Adekuasi Hemodialisis

Kecukupan dosis hemodialysis yang diberikan diukur dengan

istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara

adekuasi dialysis dengan angka morbiditas dan mortalitas.

Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung Urea reduction Ratio

(URR) dan KT/V. URR dihitung dengan rumus yaitu :

URR = 100 X (1 – Ct/Co)

Ket: Ct : ureum post dialisis, Co : ureum predialisis

Rumus lain dalam menghitung dosis dialisis yaitu : KT/V

Ket : K : bersihan ureum dialyser

T : waktu pemberian dialysis

V : jumlah ureum yang terdistribusi dalam cairan tubuh

Target KT/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%) untuk HD 3X

perminggu selama 4 jam perkali HD dan 1,8 untuk HD 2X

perminggu selama 4 – 5 jam perkali HD. Frekuensi pengukuran

adekuasi HD sebaiknya dilakukan secara berkala (idealnya 1 kali

tiap bulan) minimal tiap 6 bulan.


34

3) Durasi Hemodialisis

Berdasarkan pengalaman selama ini tentang durasi HD, frekuensi

2X perminggu telah menghasilkan nilai KT/V yang mencukupi (>

1,2) dan juga pasien merasa lebih nyaman. Selain itu, dana

asuransi kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat

menanggung HD dengan frekuensi rata-rata 2X perminggu. Oleh

karena itu di Indonesia biasa dilakukan HD 2X/minggu selama 4

– 5 jam dengan memperhatikan kebutuhan individual

c. Pendidikan Kesehatan dan Latihan

Sebelum dialysis, perawat harus menyiapkan latihan pre dialysis yang

lengkap.

Termasuk mendiskusikan hal yang menjadi perhatian pasien atau

tentang sesi terakhir dialysis, membaca semua catatan tentang sesi

dialysis terakhir dan menanyakan permasalahan intra dialysis.

Pengukuran tekanan darah, pemberian cairan dan latihan klinis,

semuanya memberikan kontribusi terhadap latihan dryweight yang

benar.

Perawat menjelaskan kepada pasien tentang tujuan, persiapan,

pelaksanaan dan evaluasi pasca hemodialysis. Perawat memberikan

dukungan psikologis agar pasien dapat bekerjasama dengan tim

hemodialysis selama pasien membutuhkan terapi dialysis ini.

3. Pre Hemodialysis

Pada saat pasien datang ke pelayanan hemodialysis, maka terdapat

beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh perawat diantaranya :


35

a. Informed consent

Perawat memastikan bahwa pasien telah menandatangani persetujuan

untuk dilakukan tindakan hemodialysis.

b. Penimbangan berat badan dan Pengukuran tinggi badan

Latihan reguler tentang dry weight sangat penting untuk

memungkinkan perawat dan pasien menentukan jumlah cairan yang

dibuang yang dibutuhkan selamadialysis. Satu Kg sama dengan 1 L

cairan, artinya berat pasien merupakan metode yang sederhana dan

akurat untuk menentukan penambahan dan pengurangan cairan selama

dialysis. Istilah ”dry weight” merujuk pada berat dimana tidak ada

bukti klinis oedema, nafas yang pendek, peningkatan tekanan nadi

leher atau hipertensi. Penentuan dry weight harus berdasarkan hasil

pemeriksaan perawat, dokter dan ahli diet. Bagaimanapun juga, dari

hari ke hari menjadi tanggung jawab perawat dan sudah banyak

perawat yang dilatih dalam hal skill klinis rutin tentang latihan cairan

Tujuan dari dialysis adalah untuk membuang kelebihan volume

cairan. Untuk menghitung ini, digunakan ilustrasi sebagai berikut :

Berat sebenarnya : 68,5 Kg

Dry weight : 66 Kg

Berat yang akan dicapai : 2,5 Kg

Penambahan cairan selama

Tindakan : washback salin (300mL)

Dua minuman (300mL)

Total cairan yang harus dibuang : 2,5 + 0,3 + 0,3 = 3,1 L


36

c. Pengukuran tanda-tanda vital

Tekanan darah harus dicatat sebagai dasar untuk mengukur perubahan

yang signifikan selama tindakan. Jika pasien terlalu berat sebelum

dialysis, tekanan darah mungkin naik sehubungan dengan peningkatan

volume sirkulasi. Pasien dengan hipertensi sebagai akibat dari

penyakit ginjal mungkin diresepkan obat anti hipertensi. Jika pasien

menjadi hipertensi pada saat dialysis, mungkin perlu mengurangi

dosis sebelum sesi dialysis berikutnya. Disarankan tekanan darah

sebaiknya <140/90 mmHg bagi pasien yang berumur kurang dari 60

tahun dan <160/90 mmHg bagi yang berumur diatas 60 tahun .

Temperatur pasien harus secara rutin dicatat. Pyrexia sebelum dialysis

harus diperiksa secepatnya. Denyut nadi harus dicatat pada semua

pasien.

d. Kontrol infeksi

Laporan Rosenheim (1972) dalam Rendy & Margareth, (2015)

membuat standar untuk mengontrol infeksi hepatitis B di unit ginjal.

Saat ini pasien dan staf di unit ginjal harus waspada terhadap resiko

tertular, tidak hanya dengan Hepatitis B tetapi juga dengan virus darah

lain (BBV) seperti Hepatitis C dan HIV. Ulasan laporan Rosenheim

menyatakan bahwa pasien pembawa hepatitis B harus di dialisis

terpisah pada mesin khusus dan pasien pembawa hepatitis C harus di

dialisis pada shift tersendiri pada mesin khusus tetapi tidak pada

ruangan yang terpisah. Isolasi dibutuhkan untuk pasien BBV,

sedangkan skrining pasien HIV masih kontroversi. Bagi hepatitis B


37

dianjurkan tes sekali 3 bulan (HbsAg), sekali 6 bulan untuk hepatitis C

dan setiap tahun bagi HIV.

Fasilitas MRSA pada unit ginjal harus tersedia dan harus dilengkapi

dengan tim kontrol infeksi lokal. Pasien dengan koloni MRSA harus

dipisah dari pasien yang lain. Pencegahan universal harus diterapkan

sebagai standar praktek pada unit hemodialisis untuk melindungi

pasien dan staf. Pencegahan universal diperlukan antara lain dengan

cuci tangan, pakaian pelindung, pelindung mata dan mesin yang tidak

terinfeksi harus dipastikan sebelum perawat kontak dengan pasien.

Jika prosedur ini dilakukan, tidak diperlukan isolasi pasien.

e. Pemasangan kanula

Pemasangan kanula sesuai dengan akses yang telah dibuat

sebelumnya. Perawat menentukan lokasi inlet dan outlet. Biasanya

kanula inlet dimasukkan melalui pembuluh darah arteri sehingga

darah masuk ke dialyser mesin. Setelah darah diproses di mesin

hemodialysis maka darah yang telah bersih mengalir melalui kanula

outlet yang dipasang di pembuluh darah vena, kemudian mengalir ke

dalam tubuh. Pemasangan kanula inlet atau outlet berjarak kurang

lebih 10 cm dengan tujuan yaitu mencegah terjadinya percampuran

darah.

4. Intra Hemodialysis

Pada periode ini perawat harus melakukan monitoring terhadap

kemungkinan terjadinya komplikasi pada saat hemodialysis dilaksanakan.

Komplikasi yang umum terjadi pada tahap intra hemodialysis yaitu :


38

a. Hipotensi

Hipotensi akan terjadi bila tingkat cairan yang dibuang melebihi

pengisian kembali plasma pada pasien. Beberapa ukuran dapat

membantu untuk mengurangi resiko hipotensi, termasuk menyarankan

pasien bahwa pencapaian berat interdialitik tidak terlalu berlebihan.

Cairan yang masuk menyulitkan pasien untuk mengontrol. Untuk

minuman, air yang ada dalam makanan harus ikut diperhitungkan.

Profil sodium bisa membantu mengurangi resiko hipotensi. Cara lain

untuk mengantisipasi hipotensi sehubungan dengan lambatnya

pengisian kembali plasma adalah dengan memonitor hematokrit dan

monitor volume darah.

Perubahan dalam volume darah diukur melalui hematokrit dan

penjenuhan oksigen darah. Monitor akan berbunyi bila pasien terkena

resiko hipotensi.

b. Mual muntah

Mual dan muntah bisa berhubungan dengan hipotensi. Ini bisa terjadi

sebelum hipontensi, misalnya pasien merasakan mual, muntah dan

kemudian menjadi hipotensi atau sebaliknya pasien hipotensi pada

awalnya, yang ditimbulkan dengan cairan intravena dan kemudian

muntah. Sehingga diminta kepada pasien untuk menahan diri untuk

tidak makan sampai dialisis selesai.

c. Kram

Kram adalah efek samping lain dari hemodialisis. Kram sebagaimana

hypotensi, disebabkan oleh ultrafiltrate terlalu tinggi karena kecepatan


39

pertukaran cairan. Pasien yang kram di kaki bisa berdiri dan

mendorongkan kaki ke lantai untuk mengurangi rasa sakit. Hal ini

harus dihindari bila ada kemungkinan hypotensi simultan karena

mengakibatkan pasien jatuh ke lantai. Pemberian tekanan dapat

dilakukan ke kaki dengan membiarkan pasien mendorong kaki ke

perawat. Penggunaan alat pemanas dan atau dengan menggosok area

yang sakit dengan penuh semangat juga bisa membantu.

d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Tingkat difusi harus sama untuk mempertahankan keseimbangan. Jika

difusi pasien tinggi akan menyebabkan ketidakseimbangan pada

komponen tubuh. Hal ini akan menyebabkan pergantian osmotic

cairan dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang

konsentrasinya tinggi terutama pada cairan serebrospinal dan sel otak.

Pada akhirnya, pergantian yang cepat pada pH cairan serebrospinal

yang akan mempengaruhi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Tanda ketidakseimbangan dapat ringan atau berat. Ketidakseimbangan

ringan diantaranya seperti sakit kepala, pusing, mual, dan muntah

Sedangkan ketidakseimbangan yang berat seperti penyakit saraf,

koma, dan potensi kematian. Pasien dengan penyakit akut, atau

dialisis untuk pertama kali dianggap beresiko untuk terjadi

ketidakseimbangan.

e. Reaksi pasien (sindrom membran/ syndrom pertama)


40

Respon allergi mungkin muncul ketika darah pasien terpapar terhadap

benda asing. Contoh membran pasien, kimia steril spt ETO dan

bakteri atau endotoxin.

Reaksi alergi bisa tipe A atau tipe B. Tipe A adalah reaksi anaphylatic

berat yang muncul pada 5 menit pertama, tandanya bisa mulai dengan

gatal dan menjadi gatal yang hebat termasuk dyspnea dan perasaan

panas pada seluruh tubuh. Tindakan yang dilakukan adalah segera

hentikan dialysis. Darah sebaiknya tidak masuk lagi ke tubuh pasien.

Pasien tipe ini harus didialysis terhadap membran yang sudah di

steam sterilkan. Pembilasan ekstra sirkuit dialysis juga disarankan.

Reaksi Tipe B kurang berat, termasuk nyeri dada. Terjadi 1 jam

setelah dialysis dimulai.

Penyebab tidak diketahui tetapi disarankan untuk menggunakan

membran sintetik.

f. Hemolisis

Hemolisis adalah gangguan pada sel darah merah. Hemolisis besar-

besaran dapat cepat menimbulkan hyperkalemia dan penahanan

kardiak. Hemolisis bias disebabkan oleh dialisis terhadap dialisat yang

terlalu panas atau dialising terhadap air atau hypotonic dialysate.

Pompa darah yang modern memiliki tekanan yang rendah dan tidak

menimbulkan hemolisis, tetapi bila salah menyesuaikan, roler pompa

darah dapat menyebabkan kerusakan pada sel. Tekanan vena yang

tinggi dihasilkan dari hambatan akses venous atau aliran darah yang

menyebabkan kerusakan sel darah merah. Pasien akan mengeluh dada


41

nyeri, dyspnea dan mungkin perasaaan mau pingsan. Jika ada indikasi

hemolisis, dialisis harus dihentikan dan darah harus tidak dialirkan ke

pasien, sementara mesin yang lain harus di standby kan.

g. Emboli udara

Peralatan ultrasonik detektor udara memberikan kepastian kepada

pasien dan perawat untuk pencegahan emboli udara. Detektor udara

harus diaktifkan selama prosedur priming. Jika pasien mengalami

emboli udara, perawat harus menghentikan dialysis. Baringkan pasien

pada sisi kiri dengan posisi kepala lebih rendah dari badan.

h. Pembekuan aliran darah

Pembekuan terjadi jika anti koagulasi tidak cukup, jika aliran darah

tidak cukup atau berhenti atau jika ada udara dalam sirkuit. Pertukaran

tekanan pada sirkuit akan terjadi sebagai akibat dari pembekuan. Jika

terjadi pembekuan tindakan harus dihentikan, dengan tidak

mengalirkan lagi darah ke pasien.

5. Post Hemodialysis

Pada post hemodialisis, perawat harus melakukan observasi terhadap

tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan dalam

rentang nilai normal.

Observasi lokasi penusukan, perawat dapat mengobservasi ada tidaknya

hematom, edema atau perdarahan, untuk mencegah hal ini perawat dapat

menyarankan untuk menekan daerah tusukan. Perawat juga melakukan

monitoring hasil laboratorium kimia darah seperti ureum- kreatinin yang

hasilnya dapat digunakan untuk menetukan frekuensi hemodialysis.


42

Perawat juga melakukan penimbangan berat badan untuk memantau

perubahan berat badan pasca hemodialisis.

a. Dampak Prosedur hemodialisis kepada pasien antara lain sebagai

berikut :

1) Gangguan Hemodinamik

Gangguan Hemodinamik pada pasien HD paling sering adalah

Hypotensi.

Bila kadar Na lebih rendah maka risiko gangguan hemodinamik

selama hemodialisis akan bertambah. Tetapi bila kadar Na

lebih tinggi gangguan hemodinamik memang berkurang hanya

saja kadar Na pascadialisis akan meningkat sehingga keadaan ini

akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung minum

lebih banyak.

2) Anemia

Penurunan kadar Hb pada pasien CKD sebenarnya telah terjadi

akibat proses penyakitnya sendiri dengan menurunnya produksi

Eritropoetin (EPO) oleh ginjal, tubuh tidak mampu menyerap zat

besi, dan kehilangan darah karena sebab lain misalnya perdarahan

gastrointestinal.

3) Mual dan lelah (Letargy)

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pasien merasa mual

(nausea) atau merasa sangat lelah (lethargy) setelah terapi

hemodialysis (HD).
43

4) Alergi Dispossable Set

Pada kasus tertentu, timbulnya rasa lemas dan mual dapat

disebabkan alergi

pada dialyzer. Apabila hal ini terjadi solusi yang paling baik

adalah dengan

mengganti jenis dialyzer dengan jenis lain.

5) Infeksi

Respon tubuh terhadap infeksi selain dapat menyebabkan tekanan

darah rendah, juga dapat menyebabkan nausea dan rasa lelah yang

berlebihan.

6) Dialysis Disequilibrium Syndrome

Masalah dapat timbul apabila terlalu banyak racun ureum dan

kreatinin yang menumpuk dalam tubuh yang kemudian di buang

terlalu cepat saat terapi berlangsung. Hal ini dapat terjadi apabila

jumlah racun yang menumpuk sangat banyak merupakan

akumulasi penumpukan lebih dari 4-5 hari dan kemudian dipaksa

dibuang seluruhnya dalam satu kali terapi sehingga muncul

masalah nausea, pusing, dan lemas.

7) Gangguan Kulit

Sebagian besar pasien dialisis mengalami perubahan atau

gangguan pada kulit yaitu :

 Gatal – gatal (pruritus)

 Kulit Kering (xerosis)

 Kulit Belang (skin discoloration)


44

b. Komplikasi long term hemodialisis :

1) Komplikasi akibat masalah teknis, seperti kerusakan darah, suhu

dialisat terlalu tinggi, kekurangan cairan, konsentrasi garam

dalam dialisat, dan clotting.

2) Hypotensi atau Hypertensi

3) Cardiac Dysritmia akibat ketidakseimbangan kalium

4) Emboli udara

5) Perdarahan (subdural, retroperitoneal, perikardial, dan

intraocular) akibat heparinisasi

6) Restless Legs Syndrome

7) Reaksi Pyrogenik

8) Kram otot akibat hyponatremia atau hypoosmalar dan penarikan

cairan yang terlalu cepat.

9) Infeksi seperti Hepatitis B, infeksi lokal di akses pembuluh darah,

bacterimia, dan endokarditis infeksius.

10) Dialisis Equiblirium Syndrome yang ditandai dg mental

confusion, perubahan tingkat kesadaran, sakit kepala dan kejang

hingga edema serebral dan peningkatan TIK.

c. Penggunaan Dialyser Reuse

Kebanyakan dialyser dikemas untuk dapat digunakan kembali sampai

lebih dari 20 kali jika tidak ada komplikasi yang dirasakan pasien.

Dialyser ini dapat digunakan kembali hanya untuk pasien

bersangkutan saja tidak untuk digunakan bersama dengan pasien lain.

Reprosesing dialyser ini memerlukan tenaga khusus yang diberikan


45

pelatihan terkait dengan aspek kesehatan dan keamanan dalam

melakukan prosedur tersebut. Setiap dialisis proses ulang harus

mempunyai volume kompartemen darah lebih dari 80%.

C. Konsep Kepatuhan

1. Kepatuhan Pasien CKD dengan Hemodialisis

Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan

perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan

atau melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi

pelayanan kesehatan (WHO, 2003).

Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan dari pemberi

pelayanan kesehatan adalah penting untuk kesuksesan suatu intervensi.

Sayangnya, ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada

pasien yang menjalani hemodialisis. Dan dapat berdampak pada berbagai

aspek perawatan pasien, termasuk konsistensi kunjungan, regimen

pengobatan serta pembatasan makanan dan cairan. Secara keseluruhan,

telah diperkirakan bahwa sekitar 50 % pasien HD tidak mematuhi

setidaknya sebagian dari regimen hemodialisis mereka

Pasien yang menjalani hemodialisis kronis beresiko memiliki banyak

masalah, termasuk dalam retensi garam dan air, retensi fosfat,

hiperparatiroidisme sekunder, hipertensi, anemia kronik, hiperlipidemia

dan penyakit jantung. Hampir setengah dari pasien dialysis memiliki

diabetes, dan lebih jauh mengarah pada komplikasi tambahan. Untuk

mengatasi semua masalah ini, pasien mungkin memerlukan pembatasan


46

cairan, pengikat fosfat, vitamin D, agen calcimimetik, obat antihipertensi,

agen hipoglikemik, eritropoetin, suplemen zat besi, dan berbagai obat-obat

lain. Belum lagi pengaturan diet serta rutinitas mendatangi unit

hemodialisis. Hal ini menimbulkan kejenuhan yang luar biasa dari pasien

karena harus banyak merubah pola hidupnya.

Banyak penelitian yang dikhususkan untuk memahami

ketidakpatuhan pasien hemodialisis, walaupun pada umumnya gagal untuk

menunjukkan bahwa karakteristik demografi atau psikologis pasien

menjadi prediktor yang konsisten dari kepatuhan.

Terdapat 2 (dua) karakteristik yang berbeda mengenai kepatuhan

pada pasien dengan model perawatan akut dan model perawatan kronik.

Pada model perawatan akut, intervensi cenderung berfokus pada gejala

dengan tujuan, menyembuhkan/ mengobati‟. Dalam model ini

pengetahuan terutama dikuasai dari pemberi pelayanan kesehatan.

Sedangkan pada model perawatan kronis berfokus pada upaya

pengendalian perkembangan kondisi, meningkatkan kelangsungan hidup

serta meningkatkan kualitas hidup. Pada model perawatan kronis

mengharuskan para professional perawatan kesehatan, pasien dan keluarga

berbagi pengetahuan untuk mengatasi berbagai masalah kronis secara

efektif.

Bagi banyak orang dengan penyakit kronis, kepatuhan memainkan

peranan penting dalam kelangsungan hidup pasien. Untuk mengelola

keberhasilan penyakit kronis, individu harus bertanggung jawab dalam

banyak aspek pengobatan mereka sendiri secara teratur dan jangka


47

panjang. Sehingga untuk mewujudkan kepatuhan, pasien perlu

menggabungkan perubahan gaya hidup dan perubahan perilaku lainnya

menjadi rutinitas mereka sehari-hari. Pada pasien CKD dengan

hemodialisis, banyak riset menyimpulkan secara umum ketidakpatuhan

meliputi 4 (empat) aspek yaitu ketidakpatuhan mengikuti program

hemodialisis (0 % - 32,3 %), ketidakpatuhan dalam program pengobatan

(1,2 % - 81 %), ketidakpatuhan terhadap restriksi cairan (3,4 % - 74%) dan

ketidakpatuhan mengikuti program diet (1,2 – 82,4 %) (Kim et al., 2011).

2. Perilaku kepatuhan menurut Teori Green

Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau reaksi

terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Dalam

memberikan respon sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-

faktor lain. Green (1980) menjabarkan bahwa perilaku seseorang

dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin

dan faktor penguat. Ketiga faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

a. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap perilaku

yang menjadi dasar atau motivasi perilaku. Faktor predisposisi dalam

arti umum juga dapat dimaksud sebagai preferensi pribadi yang

dibawa seseorang atau kelompok kedalam suatu pengalaman belajar.

Preferensi ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat.

Faktor predisposisi melingkupi sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan

persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok

untuk melakukan tindakan. Selain itu status social-ekonomi, umur,


48

dan jenis kelamin juga merupakan faktor predisposisi. Demikian juga

tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan, termasuk ke dalam faktor

ini.

b. Faktor-faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor ini merupakan faktor antedesenden terhadap perilaku yang

memungkinkan motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk

didalamnya adalah kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan

untuk melakukan suatu perilaku. Faktor-faktor pemungkin ini

melingkupi pelayanan kesehatan, kemudahan mencapai pelayanan

kesehatan (termasuk didalamnya biaya, jarak, ketersediaan

transportasi, waktu pelayanan dan keterampilan petugas).

c. Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors)

Faktor penguat merupakan faktor yang datang sesudah perilaku dalam

memberikan ganjaran atau hukuman atas perilaku dan berperan dalam

menetapkan atau lenyapnya perilaku tersebut. Termasuk dalam faktor

ini adalah manfaat social dan manfaat fisik serta ganjaran nyata atau

tidak nyata yang pernah diterima oleh pihak lain. Sumber dari faktor

penguat dapat berasal dari tenaga kesehatan, kawan, keluarga, atau

pimpinan. Faktor penguat bisa positif dan negative tergantung pada

sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan Pasien Hemodialisis

a. Faktor Pasien (Predisposing factors)

Faktor pasien meliputi :karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, ras,

status perkawinan, pendidikan), lamanya sakit, tingkat pengetahuan,


49

status bekerja, sikap, keyakinan, nilai-nilai, persepsi, motivasi,

harapan pasien, kebiasaan merokok.

b. Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan (Enabling factors)

Faktor pelayanan kesehatan meliputi : fasilitas unit hemodialisis,

kemudahan mencapai pelayanan kesehatan (termasuk didalamnya

biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan dan

keterampilan petugas).

c. Faktor Provider/ petugas (Reinforcing factors)

Faktor provider meliputi : keberadaan tenaga perawat terlatih, ahli

diet, kualitas komunikasi, dukungan keluarga

Beberapa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien CKD dengan

hemodialisis seperti dikemukakan diatas akan diuraikan sebagiannya yaitu:

a. Usia

Dari hasil penelitian DOPPS, usia muda menjadi prediktor peluang

untuk ketidakpatuhan yang lebih tinggi dibandingkan usia yang lebih

lua terutama untuk melewatkankan sesi hemodialisis, memperpendek

waktu dialysis, IDWG berlebihan dan hiperphospatemia

b. Perbedaan Gender

Riset menunjukkan jenis kelamin perempuan memiliki prediktor yang

kuat untuk ketidakpatuhan terutama untuk IDWG berlebihan.

c. Pendidikan

Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien

berperan dalam kepatuhan, tetapi memahami instruksi pengobatan dan


50

pentingnya perawatan mungkin lebih penting daripada tingkat

pendidikan pasien

d. Lamanya HD

Periode sakit dapat mempengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit

yang tergolong penyakit kronik, banyak mengalami masalah

kepatuhan. Pengaruh sakit yang lama, belum lagi perubahan pola

hidup yang kompleks serta komplikasi-komplikasi yang sering

muncul sebagai dampak sakit yang lama mempengaruhi bukan hanya

pada fisik pasien, namun lebih jauh emosional, psikologis dan social

pasien.

e. Pengetahuan tentang Hemodialisa

Penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan tidak

berarti meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang

diresepkan , yang paling penting, seseorang harus memiliki sumber

daya dan motivasi untuk mematuhi protocol pengobatan.

f. Motivasi

Motivasi adalah merupakan sejumlah proses psikologikal, yang

menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi

kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan

tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang

individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan

persistensi.

Penelitian membuktikan bahwa motivasi yang kuat memiliki

hubungan yang kuat dengan kepatuhan.


51

g. Akses Pelayanan Kesehatan

Faktor akses pelayanan kesehatan meliputi : fasilitas unit

hemodialisis, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan (termasuk

didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan

dan keterampilan petugas).

h. Persepsi pasien terhadap pelayanan keperawatan

Perawat merupakan salah satu petugas kesehatan yang berinteraksi

paling lama dengan pasien hemodialisis, mulai dari persiapan, Pre

Hemodialisis, Intra Hemodialisis sampai post dialysis. Riset

membuktikan bahwa keberadaan tenaga-tenaga perawat yang terlatih

dan professional dan kualitas interaksi perawat dengan pasien

memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat kepatuhan pasien

hemodialisis.

i. Dukungan keluarga

Keluarga merupakan faktor eksternal yang memiliki hubungan paling

kuat dengan pasien. Keberadaan keluarga mampu memberikan

motivasi yang sangat bermakna pada pasien disaat pasien memiliki

berbagai permasalahan perubahan pola kehidupan yang demikian

rumit, menjenuhkan dengan segala macam program kesehatan. Riset

membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan

keluarga dengan meningkatnya angka kepatuhan pasien hemodialisis

dengan r = 0,584 and p = 0,003.


52

D. Konsep Dasar Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu

seseorangterhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata,

hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu

pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra

pendengaran yaitu telinga dan indra penglihatan yaitu mata.

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan merupakan hasil dari

tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu

objek tertentu. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2011), pengetahuan

adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran.

Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam, seperti

motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia, serta

keadaan sosial budaya.Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang

diketahui atau disadari oleh seseorang (Ismail, 2012).

2. Proses terjadinya Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2011) pengetahuan mengungkapkan bahwa

sebelumorang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi

proses sebagai berikut (Ismail, 2012) :

a. Kesadaran(Awareness),dimanaorangtersebutmenyadaridalamartimeng

etahui terlebih dahulu terhadap stimulasi (obyek).


53

b. Merasa(Interest), tertarik terhadap stimulasiatau obyektersebut

disinisikap obyek mulai timbul.

c. Menimbang-nimbang(Evaluation),terhadap baik dan tidaknya

stimulasitersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah

lebih baik lagi.

d. Mencoba (Trial), dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu

sesuaidengan apa yang dikehendaki.

e. Adaption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan,kesadaran dan sikap terhadap stimulasi.

3. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan yang dicakup dalam

domainkognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu (Ismail, 2012):

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajarisebelumnya, pada tingkatan ini reccal (mengingat kembali)

terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsang yang diterima. Oleh sebab itu tingkatan ini adalah yang

paling rendah.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secarabenar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterprestasikan materitersebut secara benar tentang objek

yang dilakukan dengan menjelaskan,menyebutkan contoh dan

lain-lain.
54

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan

materiyang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.

Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam kontak

atau situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau

objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu

struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain,

kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat

menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan

sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk

meletakkan ataumenghubungkan bagian-bagian di dalam suatu

bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis ini

suatu kemampuan untuk menyusun, dapat merencanakan,

meringkas, menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang

telah ada.

f. Evaluasi(Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakuksan

penilaianterhadap suatu materi atau objek penilaian-penilaian itu


55

berdasarkan suatu kriteriayang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

Dari teori tingkat pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa

pengetahauan memiliki 6 tingkatan pengetahuan dimana tingkat

pengetahuan tersebut diantaranya tingkat pertama tahu setelah

mendapatkan pengetahuan, tingkat kedua memahami pengetahuan yang

didapatkan, tingkat ketiga dapat mengaplikasikan pengetahuan dalam

kehidupan sehari-hari, tingkat keempat mampu menjabarkan suatu materi

atau menganalisis, tingkat kelima dapat mensintesis atau menunjukan

kemampuan untuk meringkas suatu materi, dan tingkat pengetahuan yang

keenam seseorang mempunyai kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi.

4. Jenis Pengetahuan

Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks

kesehatan sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian

perilaku kesehatan. Jenis pengetahuan diantaranya sebagai berikut:

a. Pengetahuan implisit

Pengetahuan implisit adalan pengetahuan yang masih tertanam

dalam bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor - faktor yang

tidak bersifat nyata, seperti keyakinan pribadi, persfektif, dan

prinsip. Biasanya pengalaman seseorang sulit untuk ditransfer ke

orang lain baik secara tertulis ataupun lisan.


56

Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan

bisa tidak disadari. Contoh seseorang mengetahui tentang bahaya

merokok bagi kesehatan, namun ternyata ia merokok.

b. Pengetahuan eksplisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah

didokumentasikan atau tersimpan dalam wujud nyata, bisa dalam

wujud perilaku kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam

tindakan - tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Contoh

seseorang yang telah mengetahui bahaya merokok bagi kesehatan dan

ia tidak merokok (Ismail, 2012).

5. Cara Memperoleh Pengetahuan

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang

berasaldari berbagai macam sumber, misalnya: media massa, media

elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat

dan sebagainya.

Menurut Notoatmodjo (2012) dari berbagai macam cara yang telah

digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah,

dapat dikelompokkan menjadi dua yakni (Ismail, 2012):

a. Cara tradisional atau non ilmiah

Cara tradisional terdiri dari empat cara yaitu :

1) Trial and Error

Cara ini dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan

mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu bila


57

seseorang menghadapi persoalan atau masalah, upaya yang

dilakukan hanya dengan mencoba - coba saja. Cara coba - coba

ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam

memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut

tidak berhasil maka di coba kemungkinan yang lain sampai

berhasil. Oleh karena itu cara ini disebut dengan metode Trial

(coba) dan Error (gagal atau salah atau metode coba salah adalah

coba-coba).

2) Kekuasaaan atau otoritas

Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan

dan tradisiyang dilakukan oleh orang, penalaran, dan tradisi-

tradisi yang dilakukan itu baikatau tidak. Kebiasaan ini tidak

hanya terjadi pada masyarakat tradisional saja, melainkan juga

terjadi pada masyarakat modern. Kebiasaan-kebiasaan ini seolah-

olah diterima dari sumbernya berbagai kebenaran yang

mutlak. Sumber pengetahuan ini dapat berupa pemimpin-

pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli

agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

Adapun pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru terbaik“.

Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu

merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan

suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.


58

4) Jalan pikiran

Sejalan perkembangan kebudayaan umat kebudayaan umat

manusia cara berpikir umat manusia pun ikut berkembang. Dari

sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam

memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, dalam memperoleh

kebenaran pengetahuan manusia telah menjalankan jalan

pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi. Induksi

dan deduksi pada dasarnya adalah cara melahirkan

pemikiran secara tidak langsung melalui pertanyaan-

pertanyaan yang dikemukakan.

b. Cara modern atau cara ilmiah

1) Cara baru memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih

sistematis, logisdan ilmiah yang disebut metode ilmiah.

Kemudian metode berfikir induktif bahwa dalam memperoleh

kesimpulan dilakukan dengan mengadakan observasi

langsung, membuat catatan terhadap semua fakta sehubungan

dengan objek yang diamati .

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, sebagai berikut:

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian

dan kemampuan didalam dan diluar sekolah (baik formal maupun

nonformal), berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah sebuah

proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan
59

juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin

tinggi pendidian seseorang semakin mudah orang tersebut

menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan

semakin cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain

maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk

semakin banyak pula pengetahuan yang didapat mengenai

kesehatan. Peningkatan pengetahuan tidak mutlakdiperoleh di

pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan

nonformal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek juga

mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua

aspek inilah akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap

objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang

diketahui, maka akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap

objek tersebut.

b. Informasi/media massa

Informasi adalah adalah suatu yang dapat diketahui, namun ada pula

yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu,

informasi juga dapat didefinisikan sebagai suatu teknik untuk

mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi,

mengumumkan, menganalisis dan menyebarkan informasi

dengan tujuan tertentu (Undang-Undang Teknologi Informasi).

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun

nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate


60

impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan

pengetahuan. Berkembangnya teknologi akan menyediakan

bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi

pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sehingga sarana

komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat

kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap

pembentukan opini dan kepercayaan orang. Penyampaian informasi

sebagai tugas pokoknya, media massa juga membawa pesan-

pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini

seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan

landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal

tersebut.

c. Pekerjaan

Seseorang yang bekerja di sektor formal memiliki akses yang lebih

baik,terhadap berbagai informasi, termasuk kesehatan (Notoatmodjo,

2012).

d. Sosial, budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan orang-orang tidak

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan

demikian, seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun

tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan

tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu

sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi

pengetahuan seseorang.
61

e. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar

individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial.

Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan

kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini

terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan

direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

f. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara

untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara

mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan

masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja

yang dikembangkan akan memberikan pengetahuan dan keterampilan

profesional, serta dapat mengembangkan kemampuan mengambil

keputusan yang merupakan manisfestasi dari keterpaduan menalar

secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang

kerja.

g. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap

dan pola pikirnyasehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin

membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam

masyarakat dan kehidupan sosial, serta lebih banyak melakukan

persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan dirimenuju usia


62

tua. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan

verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap

tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup adalah

sebagai berikut:

1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang

dijumpai semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga

menambah pengetahuan.

2) Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang

sudah tua karena telah mengalami kemunduran baik fisik

maupun mental. Dapat diperkirakan IQ akan menurun

sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada beberapa

kemampuan yang lain, seperti kosa kata dan pengetahuan

umum. Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan

menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya usia (Ismail,

2012).

7. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek

penelitian atau responden.Dalam mengukur pengetahuan harus

diperhatikan rumusan kalimat pertanyaan menurut tahapan pengetahuan

(Ismail, 2012).
63

E. Dukungan Keluarga dan Sosial

1. Pengertian

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Fungsi keluarga

salah satunya adalah melindungi kesehatan fisik anggota keluarganya

dengan memberikan nutrisi dan layanan kesehatan yang adekuat. Pada saat

salah satu anggota keluarga mengalami masalah kesehatan, dukungan

keluarga sangat dibutuhkan oleh anggota keluarga yang sakit. Dukungan

keluarga dapat memberikan dampak positif pada proses penyembuhan

penyakit (Elegia et al, 2015).

Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penguat atau

pendorong terjadinya perilaku (Green 1980 dalam Elegia et al, 2015).

Keluarga merupakan faktor eksternal yang memiliki hubungan paling kuat

dengan pasien.

Dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada

individu khususnya sewaktu dibutuhkan oleh orang – orang yang memiliki

hubungan emosional yang dekat dengan orang tersebut (Windarti, 2017).

Dukungan sosial adalah perasaan positif, menyukai, kepercayaan dan

perhatian dari orang lain yaitu yang berarti dalam kehidupan individu yang

bersangkutan, pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan langsung

dalam bentuk tertentu.

Menurut Niven N, (2002) dalam Elegia et al., (2015) bahwa faktor

dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai serta dapat juga menentukan program

pengobatan yang dapat diterima mereka. Keluarga juga memberi


64

dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan keluarga yang

sakit.

2. Fungsi Dukungan Sosial

Menurut House dikutip dari Elegia et al., (2015) mengemukakan bahwa

dukungan sosial memilki empat fungsi, diantaranya adalah sebagai

berikut:

a. Emotional support, yang meliputi pemberian curahan kasih saying,

perhatian, dan kepedulian.

b. Aprasial support, yang meliputi bantuan orang lain untuk menilai dan

mengembangkan kesadaran akan masalah yang dihadapi, termasuk

usaha – usaha untuk mengklarifikasi hakikat masalah tersebut, dan

memberikan umpan balik tentang hikmah dibalik masalah tersebut.

c. Informational support, yang meliputi nasihat dan diskusi tentang

bagaimana mengatasi atau memecahkan masalah.

d. Instrumental support, yang meliputi bantuan material, seperti

memberi tempat tinggal, meminjamkan uang, dan menyertai

berkunjung ke biro layanan kesehatan.

3. Jenis Dukungan Sosial

a. Dukungan emosional, mencangkup ungkapan dan perilaku empati,

afeksi, kepedulian sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai

dan diperhatikan.

b. Dukungan penghargaan, mencangkup ungkapan hormat positif,

dorongan, dan persetujuan atas gagasan individu.


65

c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan secara langsung sesuai

yang dibuthkan individu, seperti bantuan finansial atau pekerjaan pada

saat mengalami stress.

d. Dukungan informative, mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran

atau umpan balik yang diperoleh dari orang lain, sehingga individu

dapat mencari jalan keluar untuk memecahkan masalah.

Keluarga dapat berperan sebagai motivator yang dapat mendorong pasien

untuk berprilaku positif dan menerima edukasi tentang pembatasan cairan yang

dianjurkan oleh tenaga kesehatan. Dukungan keluarga dapat mempengaruhi

kesehatan fisik dan mental seseorang, melalui pegaruhnya terhadap

pembentukan emosioal, peningkatan kognitif dan pembentukan prilaku. Hal ini

didukung pendapat Zaitun (2007) dalam Afriani (2009) bahwa seseorang yang

sedang menjalani suatu program terapi sangat membutuhkan perhatian dari

seluruh anggota keluarga (Jamiatun et al., 2015).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Astuti dkk (2017) pada pasien

gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa yang baik tentang adanya

dukungan keluarga terutama dalam membatasi cairan, pasien gagal ginjal

kronik juga siap untuk membatasi cairan dikarenakan adanya dukungan

keluarga yang kuat dan ketersediaan keluarga untuk mengontrol atau mengatasi

pasien terutama dalam mengkonsumi cairan atau minuman (Astuti et al, 2017).
66

F. Peran Perawat dan Pelayanan Keperawatan

1. Peran Perawat

a. Pengertian

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu

sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun

dari luar dan bersifat stabil (Budiono et al, 2015). Jadi peran perawat

adalah suatu cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik,

yang telah menyelesaikan pendidikan formalnya, diakui dan diberikan

kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung

jawab keperawatan secara profesional sesuai dengan kode etik

profesinya. Peran yang dimiliki oleh seorang perawat antara lain peran

sebagai pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai pengelola,

dan peran sebagai penelit. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan,

perawat mempunyai peran dan fungsi sebagai perawat diantaranya

pemberi perawatan, sebagai advokat keluarga, pencegahan penyakit,

pendidikan, konseling, kolaborasi, pengambil keputusan etik dan

peneliti.

b. Macam-Macam Peran Perawat

Dalam melaksanakan keperawatan, perawat mempunyai peran dan

fungsi sebagai perawat sebagai berikut (Budiono et al, 2015):

1) Pemberian perawatan (Care Giver)

Peran utama perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan,

sebagai perawat, pemberian pelayanan keperawatan dapat


67

dilakukan dengan memenuhi kebutuhan asah, asih dan asuh.

Contoh pemberian asuhan keperawatan meliputi tindakan yang

membantu klien secara fisik maupun psikologis sambil tetap

memelihara martabat klien. Tindakan keperawatan yang

dibutuhkan dapat berupa asuhan total, asuhan parsial bagi pasien

dengan tingkat ketergantungan sebagian dan perawatan suportif-

edukatif untuk membantu klien mencapai kemungkinan tingkat

kesehatan dan kesejahteraan tertinggi. Perencanaan keperawatan

yang efektif pada pasien yang dirawat haruslah berdasarkan pada

identifikasi kebutuhan pasien dan keluarga.

2) Sebagai advocat keluarga

Selain melakukan tugas utama dalam merawat, perawat juga

mampu sebagai advocat keluarga sebagai pembela keluarga dalam

beberapa hal seperti dalam menentukan haknya sebagai klien.

Dalam peran ini, perawat dapat mewakili kebutuhan dan harapan

klien kepada profesional kesehatan lain, seperti menyampaikan

keinginan klien mengenai informasi tentang penyakitnya.

3) Pencegahan penyakit

Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan

keperawatan sehingga setiap dalam melakukan asuhan

keperawatan harus selalu mengutamakan tindakan pencegahan

terhadap timbulnya masalah baru sebagai dampak dari penyakit

atau masalah yang diderita. Salah satu contoh yang paling

signifikan yaitu keamanan, karena setiap kelompok usia beresiko


68

mengalami tipe cedera tertentu, penyuluhan preventif dapat

membantu pencegahan banyak cedera, sehingga secara bermakna

menurunkan tingkat kecacatan permanen dan mortalitas akibat

cidera pada pasien.

4) Pendidik

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat

harus mampu berperan sebagai pendidik, sebab beberapa pesan

dan cara mengubah perilaku pada pasien atau keluarga harus

selalu dilakukan dengan pendidikan kesehatan khususnya dalam

keperawatan. Melalui pendidikan ini diupayakan pasien tidak lagi

mengalami gangguan yang sama dan dapat mengubah perilaku

yang tidak sehat. Contoh dari peran perawat sebagai pendidik

yaitu keseluruhan tujuan penyuluhan pasien dan keluaraga adalah

untuk meminimalkan stres pasien dan keluarga, mengajarkan

mereka tentang terapi dan asuhan keperawatan di rumah sakit,

dan memastikan keluarga dapat memberikan asuhan yang sesuai

di rumah saat pulang.

5) Konseling

Konseling merupakan upaya perawat dalam melaksanakan

peranya dengan memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap

masalah yang dialami oleh pasien maupun keluarga, berbagai

masalah tersebut diharapkan mampu diatasi dengan cepat dan

diharapkan pula tidak terjadi kesenjangan antara perawat,

keluarga maupun pasien itu sendiri. Konseling melibatkan


69

pemberian dukungan emosi, intelektual dan psikologis. Dalam hal

ini perawat memberikan konsultasi terutama kepada individu

sehat dengan kesulitan penyesuaian diri yang normal dan fokus

dalam membuat individu tersebut untuk mengembangkan sikap,

perasaan dan perilaku baru dengan cara mendorong klien untuk

mencari perilaku alternatif, mengenai pilihan-pilihan yang

tersedia dan mengembangkan rasa pengendalian diri.

6) Kolaborasi

Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan

tindakan yang akan dilaksanakan oleh perawat dengan tim

kesehatan lain. Pelayanan keperawatan pasien tidak dilaksanakan

secara mandiri oleh tim perawat tetapi harus melibatkan tim

kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog dan lain-lain,

mengingat pasien merupakan individu yang kompleks/ yang

membutuhkan perhatian dalam perkembangan.

7) Pengambilan keputusan etik

Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang

sangat penting sebab perawat selalu berhubungan dengan pasien

kurang lebih 24 jam selalu disamping pasien, maka peran

perawatan sebagai pengambil keputusan etik dapat dilakukan oleh

perawat, seperti akan melakukan tindakan pelayanan

keperawatan.

8) Peneliti
70

Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh semua

perawat pasien. Sebagai peneliti perawat harus melakukan kajian-

kajian keperawatan pasien, yang dapat dikembangkan untuk

perkembangan teknologi keperawatan. Peran perawat sebagai

peneliti dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu pelayanan

keperawatan pasien.

Menurut Puspita (2014) dalam (Widyana, 2016) peran perawat

dalam memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif sebagai

upaya memberikan kenyamanan dan kepuasan pada pasien, meliputi:

1) Caring, merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat, menghargai

orang lain, artinya memberi perhatian dan mempelajari

kesukaankesukaan seseorang dan bagaimana seseorang berpikir

dan bertindak.

2) Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan ilmu

atau berdiskusi dengan pasiennya.

3) Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang

perawat untuk meningkatkan rasa nyaman pasien.

4) Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional baik

dari pasien maupun perawat lain sebagai suatu hal yang biasa

disaat senang ataupun duka.

5) Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun psikologis

merupakan komunikasi simpatis yang memiliki makna.

6) Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan

keperawatannya.
71

7) Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain

memiliki hasrat dan kemampuan untuk selalu meningkatkan

derajat kesehatannya.

8) Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan diri

dan keterampilannya.

9) Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan

terhadap orang lain dengan menjaga kerahasiaan pasien kepada

yang tidak berhak mengetahuinya.

10) Listening artinya mau mendengar keluhan pasiennya.

11) Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan

memahami perasaan duka , senang, frustasi dan rasa puas pasien.

2. Kualitas Pelayanan Perawat

a. Pengertian Kualitas

Definisi kualitas berdasarkan sudut pandang para pakar kualitas

tingkat internasional, mengacu pada pendapat Deming, Crosby, Juran

dan Davis, dalam Widyana (2016) yaitu:

1) Deming mendefinisikan kualitas adalah apapun yang menjadi

kebutuhan dan keinginan konsumen.

2) Crosby mempersepsikan kualitas sebagai nihil cacat,

kesempurnaan dan kesesuaian terhadap persyaratan.

3) Juran mendefinisikan kualitas merupakan perwujudan atau

gambaran hasil yang memenuhi kebutuhan dari pelanggan

sehingga dapat memberikan kepuasan.


72

4) Davis mendefinisikan kualitas merupakan suatu kondisi dinamis

yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan

lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.

Pendekatan yang digunakan Davis ini menegaskan bahwa kualitas

bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu produk dan

jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas proses.

Sangatlah mustahil perusahaan apapun akan menghasilkan produk dan

jasa yang berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang

berkualitas, jika manusianya tidak berkualitas maka proses dan

hasilnyapun tidak mungkin berkualitas.

Gaspersz (2012) Widyana (2016) mendefinisikan kualitas adalah

totalitas dari karakteristik suatu produk (barang atau jasa) yang

menunjang kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang

dispesifikasikan. Kualitas seringkali diartikan sebagai segala sesuatu

yang memuaskan pelanggan atau kesesuaian terhadap persyaratan atau

kebutuhan. Perusahaan jasa dan pelayanan lebih menekankan pada

kualitas proses, karena konsumen biasanya terlibat langsung dalam

proses tersebut. Sedangkan perusahaan yang menghasilkan produk

lebih menekankan pada hasil, karena konsumen umumnya tidak

terlibat secara langsung dalam prosesnya. Untuk itu diperlukan sistem

manajemen kualitas yang dapat memberikan jaminan kepada pihak

konsumen bahwa produk tersebut dihasilkan oleh proses yang

berkualitas.
73

Kualitas adalah sebagai hasil dari penilaian pelanggan terhadap

pelayanan yang diharapkan dengan persepsi kinerja nyata dari

layanan. Dalam istilah lain dapat dikemukakan bahwa kualitas adalah

perpaduan sifat-sifat dan karakteristik produk atau jasa yang dapat

memenuhi kebutuhan pemakai atau pelanggan.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut bahwa kualitas merupakan

suatu keadaan sesuatu yang dihasilkan dan jasa atau layanan, baik

terhadap barang atau manusia melalui proses yang berkualitas dan

dilakukan oleh manusia yang berkualitas. Perusahaan yang bergerak

dibidang jasa atau produk sam-sama bertujuan untuk menghasilkan

sesuatu yang berkualitas untuk memenuhi keinginan dan harapan

konsumen atau pelanggan.

b. Pelayanan

Menurut Kotler (2007) dalam Widyana (2016) definisi pelayanan

adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu

pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak nyata dan tidak

mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau

tidak dikaitkan pada satu produk fisik.

Kotler (2007) juga mengatakan bahwa pelayanan merupakan

perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan

konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri,

perilaku tersebut dapat terjadi pada saat, sebelum dan sesudah

terjadinya transaksi. Pada umumnya pelayanan yang bertaraf tinggi


74

akan menghasilkan kepuasan yang tinggi serta pembelian ulang yang

lebih sering.

c. Pelayanan Keperawatan

Keperawatan sebagai pelayanan kepada individu, keluarga dan

masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang

membentuk sikap dan kemampuan intelektual serta keterampilan

teknik dari individu untuk menolong manusia, baik sakit maupun

sehat agar mampu mengatasi kebutuhan kesehatan (Widyana, 2016).

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang

merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada

ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-

sosialspiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu,

keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup

seluruh proses kehidupan (Lokakarya Nasional PPNI, 1983 dalam

Widyana, 2016) .

Pelayanan keperawatan (nursing service) adalah upaya untuk

membantu individu baik sakit maupun sehat, dari lahir sampai

meninggal dalam bentuk peningkatan pengetahuan dan kemampuan

yang dimiliki (pasien) sehingga individu tersebut secara optimal

melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.

Pelayanan keperawatan adalah bantuan pelayanan kesehatan yang

diberikan kepada individu, keluarga dan masyarakat dalam bentuk

pelayanan bio, psiko, sosial dan spiritual dengan menggunakan ilmu


75

dan kiat keperawatan baik sakit maupun sehat agar menjadi mandiri

dan tidak tergantung pada orang lain dalam merawat dirinya sendiri.

d. Kualitas Pelayanan Keperawatan

Kualitas pelayanan keperawatan adalah kualitas yang berkaitan

dengan pemberian perawatan yang harus tersedia, dapat diterima,

menyeluruh, berkelanjutan dan didokumentasikan (Widyana, 2016).

Kualitas perawatan adalah aplikasi pengetahuan medis yang tepat

bagi perawatan pasien sambil menyeimbangkan resiko-resiko yang

melekat pada intervensi keperawatan dan keuntungan yang diharapkan

dari intervensi keperawatan.

Pelayanan keperawatan dikatakan berkualitas apabila pelayanan

keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar yang ditetapkan,

untuk mengukur seberapa baik mutu pelayanan keperawatan yang

diberikan diperlukan suatu indicator klinik mutu pelayanan

keperawatan (Widyana, 2016).

Kualitas pelayanan keperawatan adalah pelayanan keperawatan

yang dilakukan perawat sesuai dengan standar profesi yang ditetapkan

berdasarkan indikator pelayanan keperawatan yang menunjukkan

tingkat kemampuan pelayanan keperawatan dalam menimbulkan rasa

puas pada diri setiap pasien. Kualitas pelayanan keperawatan yang

baik berarti pasien mendapat layanan yang cepat, diagnosis dan terapi

yang tepat, keramah tamahan yang cukup, pelayanan administrasi

yang cepat dan biaya yang terjangkau. Dengan demikian pelayanan

yang diberikan adalah untuk memenuhi keinginan pelanggan.


76

e. Syarat Pokok Pelayanan

Kesehatan Syarat-syarat pokok pelayanan kesehatan menurut Azwar

(2009) dalam Widyana (2016) adalah:

1) Tersedia dan berkesinambungan

Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah

pelayanan tersebut harus tersedia di masyarakat (available) serta

bersifat berkesinambungan (continuous). Artinya semua jenis

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan

mudah dicapai oleh masyarakat.

2) Dapat diterima dan wajar

Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah apa

yang dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat serta bersifat

wajar (appropriate). Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak

bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan,

kepercayaan masyarakat dan bersifat wajar.

3) Mudah dicapai

Syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang

mudah dicapai (accessible) oleh masyarakat. Pengertian

ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi.

Dengan demikian untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang

baik, maka pengaturan sarana kesehatan menjadi sangat penting.

4) Mudah dijangkau

Syarat pokok pelayanan kesehatan yang keempat adalah mudah

dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian


77

keterjangkauan di sini terutama dari sudut biaya. Pengertian

keterjangkauan terutama dari sudut jarak dan biaya. Untuk

mewujudkan keadaan seperti ini harus dapat diupayakan

pendekatan sarana pelayanan kesehatan dan biaya kesehatan

diharapkan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

5) Berkualitas

Syarat pokok pelayanan kesehatan yang kelima adalah yang

berkualitas (quality). Pengertian kualitas yang dimaksud adalah

yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan

yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para

pemakai jasa pelayanan, dan pihak lain tata cara

penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang

telah ditetapkan

f. Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan dan Kesehatan

Depkes RI (2008) menetapkan indikator penilaian mutu

pelayanan kesehatan sebagai berikut (Widyana, 2016) :

1) Indikator yang mengacu pada aspek medis.

2) Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS.

3) Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien.

4) Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasaan pasien.

Depkes RI (2008) menetapkan indikator mutu pelayanan

keperawatan meliputi:

1) Keselamatan pasien
78

Pasien aman dari kejatuhan, dekubitus, kesalahan pemberian obat

dan cidera akibat restrain.

2) Perawatan diri

Kebersihan dan perawatan diri merupakan kebutuhan dasar

manusia yang harus terpenuhi agar tidak menimbulkan masalah

lain, misalnya penyakit kulit, rasa tidak nyaman, infeksi saluran

kemih, dan lain-lain.

3) Kepuasan pasien

Tingginya tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan ke

perawatan tercapai, jika terpenuhinya kebutuhan pasien atau

keluarga terhadap pelayanan keperawatan yang diharapkan.

4) Kecemasan

Cemas adalah perasaan was-was, kuatir atau tidak nyaman

seakanakan terjadi suatu yang dirasakan sebagai ancaman. 5)

Kenyamanan Rasa nyaman (comfort) adalah bebas dari rasa nyeri

atau nyeri terkontrol.

5) Pengetahuan

Kemampuan pasien mengetahui informasi tentang penyakitnya,

kondisi dan perawatan yang diterimanya. Indikator pengetahuan

terdiri dari pengetahuan tentang penyakitnya dan discharge

planning.
79

G. Kerangka Teori

Dari berbagai konsep diatas, maka kerangka teori dapat dilihat pada skema

dibawah ini (Skema. 2.1)

Skema. 2.1. Skema Kerangka Teori

CKD (Chronic Kidney Disease)


 Kerusakan ginjal >3 bulan
 GFR <60 ml/mnt/1,73 m2

Terapi Ginjal Pengganti : HEMODIALISIS

Pengkajian Intervensi Kepeatuhan tentang:


Keperawatan: Keperawatan:  Managemen cairan
 Melewatkan 1/>  Care provider  Managemen diet
sesi dialysis  Educator  Proses penyakit
dengan 1/> sesi  Meningkatkan  Pentingnya HD
dg > dari 10 Kepatuhan Pasien  Resiko komplikasi
mnt/bln GGK yang  Obat,efek
 K > 6 mEq/L Menjalani terapi,efek samping
 IDWG > 5,7 % Hemodialisa  Managemen
BB
elektrolit
 Tidak patuh
dalam restriksi
cairan, diet,
&minum obat
A. Faktor Predisposing/Faktor Pasien
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Lama HD
5. Pengetahuan
6. Status ekonomi
7. Motivasi
8. Perilaku kesehatan
B. Faktor Enabling/Akses Pelayanan
Kesehatan
1. Biaya
2. Jarak
3. Alat HD
C. Faktor Reinforcing/Provider
1. Peran perawat
2. Peran dokter
3. Ahli gizi
4. Dukungan keluarga
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan

atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara

variable yang satu dengan variable yang lainnya, atau antara variable yang satu

dengan variable yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo,

2010). Rancangan penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti adalah

deskriptif analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional) yaitu

penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan

dalam suatu komunitas dan selanjutnya menjelaskan suatu keadaan tersebut

melalui pengumpulan atau pengukuran variable korelasi yang terjadi pada

obyek penelitian secara simultan dan dalam waktu yang bersamaan

(Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor –

faktor yang berhubungan dengan kepatuhan asupan cairan pada pasien gagal

ginjal kronik dengan hemodialisa di Rsud Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

tahun 2019.

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variable Independent Variable Dependent

Pengetahuan tentang HD
Kepatuhan Asupan
Cairan Pasien CKD
Dukungan Keluarga yang Menjalani
Hemodialisa
Presepsi Pasien tentang
Pelayanan Perawat

80
81

B. Definisi Operasional

Defenisi operasional adalah mendefenisikan variabel secara operasioanal

berdasarkan karakteristtik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti

untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu

objek dan fenomena (Nursalam, 2011).

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimilki atau didapat oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Nursalam, 2011).

Tabel 3. 1 Definisi Operasional Variable Penelitian

Definisi Alat/cara Skala


No Variabel Hasil Ukur
Operasional ukur Ukur
Variabel Independent
1 Pengetahua Pemahaman Menggunaka 1 = Rendah, Ordinal
n tentang responden tentang n kuesioner jika skore
HD program harian yang
pasien diperoleh <
hemodialisa mean,
yang meliputi median,
kehadiran modus
hemodialisa, 2 = Tinggi,
pengobatan, jika skore
restriksi cairan yang
dan diet diperoleh ≥
mean,
median,
modus
2 Dukungan Segala hal yang Menggunaka 1 = kurang, Ordinal
keluarga berasal dari luar n kuesioner jika skore
individu yang
(keluarga) yang diperoleh <
mempengaruhi mean,
kepatuhan pasien median,
CKD dengan modus
hemodialisa. 2 = baik,
jika skore
yang
diperoleh ≥
mean,
median,
82

modus
3 Persepsi Persepsi yang Menggunaka 1 = kurang, Ordinal
pasien dirasakan oleh n kuesioner jika skore
terhadap pasien terhadap yang
pelayanan kualitas diperoleh <
perawat pelayanan mean,
keperawatan median,
modus
2 = baik,
jika skore
yang
diperoleh ≥
mean,media
n, modus
Variabel Dependent
1 Kepatuhan Kepatuhan Menggunaka 1 = Tidak Ordinal
responden dalam n modifikasi patuh, jika
mengikuti kuesioner skore yang
program dialisis ESRD-AQ diperoleh <
baik restriksi 6 item 800
cairan, nutrisi, 2 = Patuh,
konsumsi obat- jika skore
obatan dan yang
kunjungan setiap diperoleh ≥
sesi hemodialisa 800
sesuai dengan
yang disarankan
oleh dokter,
perawat atau
tenaga kesehatan
lainnya
(Sumber : Kim et al., 2011)

C. Hipotesa
83

Berdasarkan kerangkapemikiran diatas, maka hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan asupan cairan pasien

hemodialisa.

2. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan asupan cairan

pasien hemodialisa.

3. Ada hubungan antara peran perawatdengan kepatuhan asupan cairan pasien

hemodialisa.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan potong lintang (cross

sectional) yaitu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menguraikan

suatu keadaan dalam suatu komunitas dan selanjutnya menjelaskan suatu

keadaan tersebut melalui pengumpulan atau pengukuran variable korelasi yang

terjadi pada obyek penelitian secara simultan dan dalam waktu yang bersamaan

(Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor –

faktor yang berhubungan dengan kepatuhan asupan cairan pada pasien gagal

ginjal kronik dengan hemodialisa di Rsud Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi

tahun 2019. Varibel independen adalah pengetahuan tentang hd, persepsi

pasien tentang pelayanan perawat, dan dukungan keluarga, sedangkan variable

dependen adalah kepatuhan asupan cairan pasien GGK yang menjalani

hemodialisa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan diruangan Instalasi Hemodialisa di RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi, pada bulan April 2019.

84
85

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau subjek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh

pasien gagal ginjal kronik di ruangan Instalasi Hemodialisa RSUD Dr.

Achmad Mochtar Bukittinggi pada Februari 2018. Jumlah populasi

sebanyak 119 orang.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, 2010). Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini dilakukan dengan cara accidental sampling. Accidental

sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan menggambil kasus

atau responden yang kebetulan ada atau bersedia di suatu tempat dan

sesuai dengan kriteria penelitian (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria

inklusi dan eksklusi penelitian ini sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi :

1) Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dengan

lama hemodialisa 3 bulan – 5 tahun.

2) Pasien dengan kesadaran komposmentis.

3) Mampu berkomunikasi.

4) Pasien yang didampingi oleh keluarga.

5) Pasien yang bersedia menjadi responden.


86

b. Kriteria eksklusi :

1) Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, tetapi

tidak didampingi oleh keluarga.

D. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau yang dikumpulkan

langsung pada sumbernya yaitu di ruangan Instalasi Hemodialisa RSUD

Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dengan menggunakan kuisioner. Data

yang diperoleh dengan mengisi kuisioner. Kuesioner berupa daftar

pernyataan dan atau pertanyaan yang disusun sedemikian rupa sehingga

responden diberi kemudahan dalam mengisinya dengan memberikan tanda

ceklis (√) pada pilihan jawaban yang tersedia, dan menuliskan jawaban

singkat.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari laporan tahunan rumah sakit mengenai

jumlah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di ruangan

Instalasi Hemodialisa RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.

3. Alat Pengumpul Data

Data dikumpulkan dengan cara menggunakan kuisioner dengan

teknik wawancara dan observasi. Setiap responden diminta agar mau

mengisi kuisioner yang diberikan.


87

E. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan bantuan

konputer dengan langkah – langkah (Notoatmodjo, 2010) :

1. Pengeditan Data (editing)

a. Secara umum editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan

perbaikan isian formulir atau kuisioner yang telah diisi oleh

responden. Adapun yang dilakukan pada tahap editing adalah :

b. Apakah lengkap, dalam arti semua pertanyaan sudah terisi.

c. Apakah jawaban atau tulisan masing – masing pertanyaan cukup jelas

atau terbaca.

d. Apakah jawabannya relevan dengan pertanyaan.

e. Apakah jawaban – jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban

pertanyaan yang lainnya.

2. Pengkodean Data (coding)

Coding adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan. Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan

pemberian tanda, symbol, kode bagi tiap – tiap data. Kegunaan dari

coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga

mempercepat pada saat mengentri data.

3. Pemasukan Data (entry) atau Processing

Setelah proses pengkodean selesai kemudian peneliti memasukan data

kedalam tabel dan diolah secara komputerisasi.


88

4. Pembersihan Data (cleaning)

Melakukan pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada

kesalahan atau tidak. Peneliti akan memeriksa data yang benar – benar

dibutuhkan oleh peneliti dan mengahpus data – data yang tidak dibutuhkan

pada setiap variabel. Data – data yang didapatkan oleh peneliti merupakan

data yang akan digunakan dan diolah untuk dianalisa.

F. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapatkan rekomendasi dari

institusi tempat penelitian yang dalam penelitian ini adalah RSUD Dr. Achmad

Mochtar Bukittinggi. Kemudian setelah mendapat persetujuan barulah

melakukan penelitian dengan memperhatikan etika penelitian sebagai berikut :

1. Informed Concent (lembar persetujuan menjadi responden)

Lembar persetujuan ini diberikan pada responden yang akan diteliti

memenuhi kriteria sebagai responden, bila responden menolak maka

peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak – hak responden.

2. Anonymity (tanpa nama)

Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur,

tetapi hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data berupa

angka sesuai dengan jumlah responden.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti menjamin kerahasiaan dan hasil peneliti baik informasi

maupun masalah – masalah lainnya, semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompom data

tersebut yang akan dilaporkan pada hasil riset.


89

G. Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan menggunakan

komputerisasi dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Analisa data

dilakukan dengan analisis univariat dan analisis bivariat :

1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan pada setiap variabel

– variabel yang diteliti baik variabel independen factor – factor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan maupun variabel dependen yaitu kepatuhan

asupan cairan pada pasien GGK dengan hemodialisa. Analisis univariat ini

dapat menggambarkan distribusi frekuensi dari variabel – variabel yang

diteliti baik variabel independen maupun variabel dependent

(Notoatmodjo, 2010).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yaitu untuk menilai hubungan antara variabel

independen dengan dependen dengan menggunakan uji statistic Chi-

Square dengan bantuan program komputerisasi. Dalam pengolahan data

dari hasil peneliti ini penelitian menggunakan perangkat lunak computer

yang sesuai. Hasil analisis diambil berdasarkan p value, bila p value ≤ 0,05

maka hasil statistik dinilai bermakna artinya ada hubungan antara dua

variabel. Jika p value > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak

bermakna artinya tidak ada hubungan antara dua variabel.


DAFTAR PUSTAKA

Ahrari, S., Moshki, M., & Bahrami, M. (2014). The Relationship Between Social
Support and Adherence of Dietary and Fluids Restrictions among
Hemodialysis Patients in Iran. Journal of Caring Sciences, 3(1), 11–19.
https://doi.org/10.5681/jcs.2014.002

Astuti, P., Ghofar, A., & Suwandi, E. W. (2017). Dukungan Keluarga dengan
Kepatuhan Pembatasan Cairan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
Hemodialisa. Jurnal EDUNursing, 1(2), 89–99. https://doi.org/ISSN : 2549-
8207

Azam, M. (2018). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Ginjal


Kronik pada Penderita Hipertensi di Indonesia. Jurnal MKMI, 13
No.4(December 2017).

Budiono, & Pertami, S. B. (2015). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Bumi


Medika.

Chironda, G., & Bhengu, B. (2016). Contributing Factors to Non-Adherence


among Chronic Kidney Disease (CKD) Patients: A Systematic Review of
Literature. Medical & Clinical Reviews, 2(29), 1–9.
https://doi.org/10.21767/2471-299X.1000038

Efe, D., & Kocaöz, S. (2015). Adherence to diet and fluid restriction of
individuals on hemodialysis treatment and affecting factors in Turkey. Japan
Journal of Nursing Science, 12, 113–123. https://doi.org/10.1111/jjns.12055

Guyton, & Hall. (2005). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2010). Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik.


Jakarta: EGC.

Ismail. (2012). Hubungan Pendidikan, Pengetahuan dan Motivasi dengan


Kepatuhan Diet pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pusat Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makasar. STIKES Makasar.

Jamiatun, Elegia, K., & Syarif, M. N. O. (2015). ANALISIS FAKTOR YANG


BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PEMBATASAN CAIRAN
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI
HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA.
Jurnal Bidang Ilmu Kesehatan, 5(1), 330–344. https://doi.org/ISSN : 1693-
6868

Kim, Y., L.S., E., Phillips, L. R., Pavlish, C., & Kopple, J. D. (2011). The End-
Stage Renal Disease Adherence Questionnaire (ESRD- AQ): Testing The
Psychometric Properties in Patients Receiving In-Center Hemodialysis.
Nephrol Nursing Journal, 37(4), 377–393.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Perry, & Potter. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses,
dan Praktik Edisi 4. Jakarta: EGC.
Rendy, M. C., & Margareth, T. (2015). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah :
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rikesdas. (2018). Hasil Utama RISKESDAS 2018.

Smeltzer, & Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC.

Widiany, F. L. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet pasien


hemodialisis. Journal Gizi Klinik Indonesia, 14(2), 72–79.
https://doi.org/1693-900

Widyana, A. P. (2016). Hubungan Kualitas Pelayanan Perawat dengan Tingkat


Kepuasan Pasien Rawat Inap di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga Tahun 2016. Universitas Muhamadiyah Purwokerto.

Windarti, M. (2017). Hubungan Dukungan Sosial dengan Kepatuhan Pasien


Gagal Ginjal Kronik dalam Menjalani Terapi Hemodialisa. Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.

Zahroh, R., & Giyartini. (2018). Identifikasi Faktor Yang Mempengaruhi


Kepatuhan Pasien Hemodialisis Dalam Pembatasan Cairan. Journal of Ners
Community, 09, 76–84.

Anda mungkin juga menyukai