Anda di halaman 1dari 6

Alda Humaira Razzak

1706028266 – Paralel
Tugas Mata Kuliah Pasar Modal dan Investasi

Ringkasan Kasus International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)

1. Churchill Mining plc and Planet Mining Pty Ltd Vs Republic of Indonesia
Sengketa ini melibatkan Churchill sebuah perusahaan Inggris dan Planet,
sebuah perusahaan pertambangan Australia. Churchill memiliki saham sebesar 95%
dan Planet memiliki 5% dalam sebuah perusahaan PMA PT Indonesian Coal
Development (PT. ICD) yang bekerjasama dengan 4 perusahaan nasional yaitu PT
RidlatamaTambang Mineral, PT Ridlatama Trade Powerindo, PT Investama
Resources, dan PT Investmine Nusa Persada (“Ridlatama") untuk sebuah proyek yang
bernama the East Kutai Coal Project (“EKCP”) dam berlokasi di Kutai Timur,
Kalimantan Timur. Pada tahun 2005, BKPM memberi izin kepada PT ICD untuk
melakukan usaha pertambangan. Dalam izin tahun 2005 ini memuat klausul arbitrase
ICSID. Pada tahun 2006, Churchill dan Planet memiliki semua saham PT. ICD dari
para pendirinya. Pada tahun yang sama, kepemilikan saham juga disetujui BKPM.
Persetujuan BKPM ini memuat pula klausul arbitrase ICSID.
Selanjutnya, pada periode tahun 2007 hingga 2009, mitra Churchill dan Planet
diberi izin untuk melakukan survei, eksplorasi, dan eksploitasi pertambangan batu
bara di Kutai Timur. Pada saat yang sama, Pemerintah Daerah setempat ternyata
memberi izin usaha pertambangan di areal wilayah usaha pertambangan di atas
wilayah pertambangan Churchill dan Planet kepada beberapa perusahaan nasional.
Pada bulan Mei 2010, berdasarkan surat dari Menteri Kehutanan mengenai status
hutan di area pertambangan, Pemerintah Daerah membatalkan dan mencabut izin
eksplorasi Churchill dan Planet melalui Surat Keputusan Bupati Kutai Timur
No:540.1/K.443/HK/V/2010 tanggal 04 Mei 2010 Tentang Pencabutan Keputusan
Bupati Kutai Timur Nomor:188.4.45/118/HK/III/2009 tentang Izin Usaha
Pertambangan (IUP) Eksploitasi kepada PT.Ridlatama Tambang Mineral seluas
10.000 Ha yang terletak di Kecamatan Busang dan Kecamatan Telen, Kabupaten
Kutai Timur. Alasan pencabutan izin tersebut antara lain didasari oleh:
A. Adanya temuan dari audit khusus yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) tahun 2006-2008 ada indikasi bahwa Kuasa Pertambangan (KP) atau saat
ini disebut IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dimiliki perusahaan Ridlatama
Group palsu;
B. Kuasa Pertambangan (KP) atau saat ini disebut IUP yang dipegang oleh
PT.Ridlatama Group tidak terdaftar di Dinas Pertambangan dan Planologi
Kabupaten Kutai Timur;
C. 4 (empat) perusahaan yang tergabung dalam kegiatan pertambangan di atas
Kawasan Hutan Produksi tanpa ada Izin Pinjam Pakai dari Kementerian
Kehutanan;
D. Perusahaan Ridlatama telah mengalihkan saham kepada investor asing tanpa Izin
Pemerintah Indonesia, dan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
pemerintah Indonesia terkait Penanaman Modal Asing.
Terhadap ndakan pencabutan izin ini Churchill dan Planet membawa sengketa
ini ke badan arbitrase ICSID. Sengketa yang diangkat oleh kedua pihak ini kemudian
disepaka untuk digabung menjadi satu sengketa. Namun, untuk putusannya dan hal-
hal lain apabila menurut Majelis Arbitrase perlu dipisah, misalnya mengenai putusan
arbitrase, atau putusan lainnya yang menurut Majelis Arbitrase perlu dipisahkan,
maka tetap dibuat dalam 2 putusan.
Berhubungan dengan sengketa tersebut, sebelum diajukan ke ICSID, Churchill
terlebih dahulu mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Kabupaten Kutai Timur
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda, tepatnya pada tanggal 27
Agustus 2010 dan pada tanggal 03 Maret 2011 PTUN Samarinda memberikan
Putusan Nomor: 32/G/2010/PTUN-SMD, yang pada intinya menolak gugatan
Penggugat, atau dengan kata lain menyatakan bahwa Bupati Kutai Timur tidak
bertindak menyalahi prosedur terkait pencabutan Izin yang telah dikeluarkan
sebelumnya pada tanggal 04 Mei 2010. Atas putusan tersebut, Churcill mengajukan
kasasi kepada Mahkamah Agung, namun putusan Mahkamah Agung juga menolak
permohonan kasasi tersebut.
Dengan gagalnya upaya hukum yang dilakukan oleh Churchill melalui jalur
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda, hal tersebut membuat Churchill
memutuskan untuk melakukan upaya hukum melalui ICSID dengan nomor register
perkara ICSID Case No. ARB/12/14 dan ARB/12/40. Pada tanggal 22 Mei 2012,
Churchill mengajukan permohonan arbitrase dengan berdasarkan pada Article 6 of
ICSID Convention, dan Article 7 of UK-Indonesia BIT. Churchill dan Planet
mengklaim bahwa pelanggaran berupa pencabutan izin tersebut telah menimbulkan
kerugian terhadap investasinya di Indonesia dan mengajukan gugatan sebesar US$1.3
Milyar (lebih kurang Rp18 Triliun).
Majelis Arbitrase ICSID telah terbentuk dengan komposisi Ketua Majelis
Arbitrase: Professor Gabrielle Kaufman-Kohler dan anggota arbiter: Michael Hwang
(Singapura) dan Albert Jan van Den Berg (Belanda). Pemerintah sebagai tergugat
diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Bahwa proses penyelesaian sengketa Penanaman Modal Asing antara
Churchill melawan Pemerintah Indonesia telah dilakukan sebagaimana tata urutan
mekanisme di atas dengan uraian sebagai berikut: (1) File Request; (2) Screening of a
request and registration; (3) Number of arbitration and method of appointmen; (4)
Selection and appointment of Tribunal members; (5) Constition of the Tribunal (6)
First Session; (7) Other Procedures; (8) Written Procedure; (9) Evidence; (10) Oral
Procedure; (11) Deliberations; (12) Award (Putusan Arbitrase Luar Negeri).
Isu utama yang terangkat dalam masalah jurisdiksi ini adalah penafsiran
terhadap perjanjian BIT. Majelis berpendapat bahwa berdasarkan Konvensi ICSID,
kesepakatan untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase ICSID harus dinyatakan
secara tertulis. Selain syarat ini, tidak ada syarat lain misalnya ketentuan bahwa
persetujuan itu harus jelas dan dan tidak kabur (”clear and unambiguos”) atau
dibukukan melalui pembuktian afirmatif (”affirmave evidence”).
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 2017, ICSID telah menolak
seluruh klaim Churchill dan Planet terhadap Pemerintah Republik Indonesia dan
mengabulkan klaim Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya
berperkara (award on costs) sebesar US$9,4 juta. Selain itu, dalam persidangan
terungkap bahwa ICSID menerima argumen dan bukti-bukti, termasuk keterangan
ahli forensik yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dapat membuktikan adanya
pemalsuan, yang kemungkinan terbesar menggunakan mesin autopen. Terdapat 34
dokumen palsu yang diajukan oleh Churchill dan Planet dalam persidangan (termasuk
izin pertambangan untuk tahapan general survey dan eksplorasi) yang seolah-olah
merupakan dokumen resmi/asli yang dikeluarkan oleh pelbagai lembaga
pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah.
ICSID sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa “investasi
yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam
hukum internasional.” Sehingga berdasarkan fakta tersbeut, ICSID menolak klaim
Churchill dan Planet. Atas putusan tersebut, Churchill dan Planet mengajukan
permohonan untuk membatalkan putusan ICSID pada tahun 2017 berdasarkan Pasal
52 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals
of Other States (Konvensi ICSID), namun pada tahun 2019 ICSID menolak
permohonan terebut.
Pada tanggal 18 Maret 2019, Komite ICSID mengeluarkan sebuah putusan
yang pada intinya menolak semua klaim yang diajukan Churchill dan Mining serta
mengabulkan klaim Pemerintah untuk mendapatkan penggantian biaya berperkara
(award on costs) sebesar US$9,4 juta. Atas putusan ICSID tersebut, Churchill dan
Planet tidak memiliki upaya hukum lain karena putusan ICSID bersifat final dan
berkekuatan hukum tetap (Decision on Annulment).

Daftar Referensi :

Churchill Mining Plc. and Planet Mining Pty Ltd, formerly ARB/12/40 v. Republic of
Indonesia (ICSID Case No. ARB/12/40 and 12/14).

https://icsid.worldbank.org/en/Pages/cases/casedetail.aspx?CaseNo=ARB/12/40%20and
%2012/14

https://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/italaw7893.pdf

Huala Adolf, Sengketa Penanaman Modal antara Investor Melawan Pemerintah


Indonesia di Arbitrase ICSID, Bandung: Jurnal Ilmu Hukum UNPAD Vol.1.,
No.3:425 file:///C:/Users/ALDA/Downloads/7085-11277-1-PB.pdf

Syahmin AK, Analisis Putusan (Award) Arbitrase Internasional ICSID dalam


Churchill Mining Cases versus Pemerintah Indonesia, Jurnal Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, file:///C:/Users/ALDA/Downloads/328-1069-1-SM.pdf

https://setkab.go.id/pemerintah-indonesia-raih-kemenangan-mutlak-di-forum-
arbitrase-icsid/

https://bahar.co.id/index.php/whats-new/whats-new/indonesia-versus-churchill-
mining-plc-and-planet-mining-pty-ltd-international
2. IMFA v Republic of Indonesia (UNCITRAL)
Indian Metals & Ferro Alloys merupakan perusahaan asal India yang didirikan
tahun 1961 di Odisha yang terletak di bagian pesisir timur India, perusahaan ini
bergerak di bidang tambang, paduan chrome dan listrik. PT. IMFA memiliki delapan
anak perusahaan, antara lain: Indian Metals & Carbide Ltd, Utkal Power Ltd, Utkal
Coal Ltd, IMFA Alloys Finlease Ltd, Utkal Green Energy Ltd, Indmet (Mauritius)
Ltd, Indmet Mining (Pte) Ltd, Singapore, dan PT. Sumber Rahayu Indah, Indonesia.
Salah satu penyebab adanya kasus gugatan PT. IMFA ini adalah kebijakan
Pemerintah untuk melakukan penataan IUP melalui mekanisme CnC. Dilatarbelangi
minimnya validitas data dan banyaknya permasalahan turunan akibat lonjakan
perizinan di era desentralisasi, membuat Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba
berinisiatif mengadakan rekonsiliasi nasional data IUP pada 3-6 Mei 2011.
Rekonsiliasi itu yang bertujuan untuk mendapatkan data pasti dalam proses penataan
IUP yang diterbitkan Pemda seluruh Indonesia.Untuk menyaring keberadaan tambang
tersebut, maka dilakukan identifikasi melalui penetapan status CnC dan non-CnC
yang diharapkan untuk mendapatkan data IUP nasional, sekaligus untuk mempercepat
proses penyesuaian KP menjadi IUP sebagaimana diamanatkan oleh PP Nomor
23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Penataan IUP melalui mekanisme CnC didasarkan pada kondisi obyektif
dimana kewajiban pelaporan penyelenggaraan usaha pertambangan di daerah oleh
Pemda kepada Pusat tidak berjalan. Tumpang Tindih IUP yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Ketidakpatuhan di dalam Pembayaran PNBP
oleh Pelaku Usaha Pertambangan (Pemegang IUP). Serta adanya PETI dan/atau IUP
tidak patuh sebagai faktor penyebab penurunan kualitas lingkungan hidup (ESDM,
2017). Pasca terbitnya UU Nomor 23/2014 (UU Pemda), sekaligus menindaklanjuti
temuan Korsup Minerba KPK, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen)
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP yang
memperkuat mekanisme evaluasi dan penertiban izin, dan khususnya melalui
mekanisme audit CnC. Mekanisme CnC yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 43
Tahun 2015 adalah pemenuhan kewajiban IUP dalam aspek administrasi,
kewilayahan, teknis, lingkungan dan finansial.
Bagi IUP yang berstatus Non CnC berdasarkan hasil evaluasi Permen ESDM
43/2015, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharuskan untuk melakukan
penciutan wilayah (yang tumpang tindih) dan/atau pencabutan IUP tersebut.
Meskipun dalam prakteknya, belum semua IUP yang berstatus Non CnC diciutkan
dan/atau dicabut. Salah satu keengganan Pemerintah Daerah untuk melakukan
penertiban IUP dikarenakan adanya upaya hukum melalui gugatan di PTUN maupun
gugatan arbitrase sebagaimana yang dilakukan oleh IMFA.
Pada tahun 2009, PT. Sumber Rahayu Indah mendapatkan IUP Operasi
Produksi (OP) Surat Keputusan (SK) Bupati Barito Timur No. 569 Tahun 2009 seluas
3.674 hektar, berlokasi di Kecamatan Raren Batuah dan Dusun Tengah, Kabupaten
Barito Timur, Kalimantan Tengah. Pada tahun 2010, PT. IMFA melalui 2 (dua) anak
perusahaannya, yaitu: Indmet (Mauritius) Ltd, dan Indmet Mining Pte Ltd membeli
kepemilikan PT. Sumber Rahayu Indah senilai US$ 8,7 Juta.
Perkara ini berawal dari akuisisi 70 persen saham perusahaan tambang
Indonesia PT SRI oleh anak perusahaan IMFA. Akuisisi yang terjadi pada 7 Juni 2010
ini memberikan janji pada IMFA atas Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
(IUP OP) milik PT SRI yang telah diperoleh dari Bupati Barito Timur, Kalimantan
Tengah. Tercatat izin tersebut diterbitkan 31 Desember 2009.
Namun, IUP yang dimiliki oleh PT. Sumber Rahayu Indah dikemudian hari
dinyatakan berstatus Non CnC sehingga tidak dapat melakukan kegiatan operasi
produksi. Status Non CnC tersebut diakibatkan adanya tumpang tindih (overlapping
licences) dengan 7 (tujuh) perusahaan lain, yaitu PT. Puspita Alam Kurnia dan PT.
Tanjung Bartim Kurnia di Kabupaten Barito Timur, PT. Bintang Awai Bersinar dan
PT. GEO Explo di Kabupaten Barito Selatan, serta PT. Putra Bara Utama, PT.
Marangkayu Bara Makarti dan PT. Kodio Multicom di Kabupaten Tabalong, Provinsi
Kalimantan Selatan.
Berdasarkan informasi yang baru diketahuinya pada April 2011 tersebut, PT
SRI mengajukan gugatan arbitrase internasional atas nama IMFA ke PCA. Forum
PCA dipilih dengan dalih perjanjian Bilateral Investment Treaty yang pernah dibuat
antara Indonesia dengan India di tahun 1999. Masalah tumpang tindih wilayah dalam
IUP OP yang diterbitkan pemerintah dianggap IMFA melanggar Bilateral Investment
Treaty.
Di saat yang bersamaan, pada tahun 2014, keluar Undang-Undang Nomor 23
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mencabut kewenangan penerbitan
IUP oleh Kabupaten dan mengalihkan kewenangan tersebut kepada Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Pusat, yang berkonsekuensi pula pada upaya penyelesaian
permasalahan tumpeng tindih kawasan IUP tersebut.
Pada akhirnya IMFA pada tahun 2015 melakukan gugatan ke Pengadilan
Arbitase Internasional di Belanda, yang didasarkan pada Pasal 3 dan Pasal 9 Bilateral
Investment Treaty (BIT) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah India tahun
1999.
Di tahun 2015, India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA) menggugat
Pemerintah Indonesia melalui arbitrase internasional yaitu UNCITRAL dan menuntut
ganti rugi sebesar US$ 581 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun. Gugatan tersebut dilakukan
karna IUP yang dimiliki PT. Sumber Rahayu Indah, yang sahamnya dimiliki oleh
IMFA melalui anak perusahaannya, Indmet (Mauritius) Ltd, dan Indmet Mining Pte
Ltd, dinyatakan berstatus Non CnC, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan operasi
pertambangan.
Majelis Arbitrase telah terbentuk dengan komposisi Ketua Majelis Arbitrase:
Kaplan N, dan anggota arbiter: Spigelman, J dan Sonarjah, M.
Pada tanggal 29 Maret 2019, Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den
Haag, Belanda, menjatuhkan putusan arbitrase yang memenangkan Indonesia atas
gugatan Indian Metal Ferro & Alloys Limited (IMFA). Pihak kuasa hukum berhasil
membuktikan kerugian akibat tumpang tindih wilayah tersebut bukan kesalahan
pemerintah Indonesia. Tribunal PCA berpendapat bahwa seharusnya IMFA
melakukan due diligence sebelum melakukan investasi melalui PT SRI. Pemerintah
Indonesia lepas dari tanggung jawab atas kelalaian IMFA dalam berinvestasi.
Kerugian yang diajukan dalam gugatan IMFA dinilai sebagai tanggung jawab IMFA
karena tidak berhati-hati dalam berinvestasi.
Pergantian rezim hukum pertambangan dari UU No. 11 tahun 1967 menjadi
UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menambah data
kejanggalan bahwa ada sejumlah kelalaian oleh PT SRI terkait izin yang dimilikinya.
Persoalan tumpang tindih wilayah tidak pernah diselesaikan sebagai syarat
kepemilikan IUP Produksi. PT SRI dinilai tidak hanya mengetahui segala persoalan
tumpang tindih wilayah dalam IUP Produksi miliknya namun juga terlibat langsung
untuk meloloskan terbitnya IUP Produksi tersebut.
Kemenangan ini membuat tuntutan ganti rugi AS$469 juta atau setara Rp6,68
triliun gugur. IMFA dihukum untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan
Indonesia selama proses arbitrase sebesar AS$2,975,017 dan GBP361,247.23.

Daftar Referensi:
Indonesia for Global Justice (IGJ), Gugatan ISDS: Ketika Korporasi Mengabaikan
Kedaulatan Negara (Kompilasi Cerita Kasus ISDS di Indonesia), http://igj.or.id/wp-
content/uploads/2019/10/Majalah-IGJ-ISDS-Lawsuit-compressed.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cb428c719f3e/pelajaran-dari-kemenangan-
indonesia-atas-gugatan-arbitrase-imfa/

Investment Dispute Settlement Navigator, https://investmentpolicy.unctad.org/investment-


dispute-settlement/cases/682/imfa-v-indonesia

Anda mungkin juga menyukai