Abstract
Beberapa pantai pasir di Indonesia yang merupakan kawasan wisata berkurang (garis
pantainya mundur) akibat adanya proses erosi. Agar pantai tersebut masih dapat
dipertahankan sebagai kawasan wisata maka perlu dilakukan revitalisasi kawasan tersebut
dengan melakukan pemulihan kembali. Revitalisasi dapat dilakukan dengan melakukan
pengurugan pantai tersebut dengan pasir (beach filling). Untuk mendapatkanpedoman
dalam kegiatan pengurugan pantai maka dilakukan penelitian stabilitas pantai di
Laboratorium Hidraulik dan Hidrologi, Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemiringan pantai pasir seimbang (equilibrium)
merupakan fungsi dari variable tinggi gelombang (H), kecepatan jatuh material (ω) dan
periode gelombang (T).
1. PENDAHULUAN
Negara Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang (sekitar 80.000 km) dan
pulau yang sangat banyak (lebih 17.000 buah). Ada beberapa macam tipe pantai, diantaranya
adalah pantai berpasir (sand beach), pantai bertebing (cliff), dan pantai lumpur (muddy
beach). Pantai pasir biasanya dimanfaatkan untuk kawasan wisata karena kawasan tersebut
sangat menarik untuk berbagai kegiatan pantai seperti volley pantai, sun bathing, selancar,
bermain gelom-bang, dan sebagainya (lihat Gambar 1.1). Selain untuk berbagai kegiatan
wisata seperti tersebut di atas, pantai pasir juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat ritual
(seperti pantai Parang Kusumo dan pantai – pantai di Pulau Bali). Keunggulan pantai berpasir
dengan tipe pantai yang lain untuk keperluan wisata adalah: pantainya relative bersih (tidak
mengotori pakaian dan badan), aman (kususnya buat telapak kaki) untuk berbagai kegiatan
wisata terutama bagi anak-anak kecil, dan pantainya terlihat bersahabat.
Namun demikian banyak pula pantai pasir yang rusak akibat erosi (lihat Gambar 1.2), atau
kawasan wisata yang pantai pasirnya sangat terbatas. Pada kondisi yang seperti ini maka perlu
adanya teknologi yang tepat untuk memulihkan kembali pantai pasir yang telah rusak atau
hilang tersebut; dan apabila diperlukan dapat dibangun pantai pasir buatan pada suatu tempat
atau kawasan tertentu untuk mendukung suatu kegiatan pariwisata atau pengembangan
wilayah pantai. Untuk mendukung misi tersebut maka diperlukan suatu pedoman atau
petunjuk tentang bagaimana cara merencanakan pantai pasir buatan tersebut beserta
bangunan perlindungannya. Buku ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan tersebut.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
salient
Gambar 4.1. Prediksi kenaikan muka air laut akibat efek rumah kaca
(IPCC, 1990).
Salient Tombolo
(d)
Gambar 5.1 Tata letak pengisian pasir dan bangunan pendukungnya
EAB = DWL + Ru +
Ru
DWL
Lahan hasil pengisian
pasir (Artificial beach)
DWL 1:
1: n Pantai buatan
Gambar 5.7 Pedoman untuk menentukan landai seimbang (equilibrium) pantai pasir buatan
Pantai buatan
1:n
Dasar pantai asli
Gambar 6.2 Profil pantai akibat adanya krib sejajar pantai (CURV,1987)
7. PENUTUP
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Universitas Gadjah Mada cq LPPM UGM,
Departemen Pekerjaan Umum cq Direktorat Rawa Pantai, dan PT Tata Guna Patria, atas
bantuan yang berupa informasi, data sekunder dan dana sehingga “pedoman
perencanaan pantai pasir buatan” ini dapat terwujud. Semoga pedoman ini dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan pantai pasir buatan (artificial beach), dan
dapat pula dipergunakan sebagai referensi pada pendidikan di perguruan tinggi,
khususnya dibidang teknik (rekayasa) pantai.
DAFTAR PUSTAKA
CERC, 1984, Shore Protection Manual, Department of The Army, US Army Corps of Engineers,
Washington DC.
CUR, 1987, Manual on Artificial Beach Nourishment, Centre for Civil Engineering Research,
Codes and Spesification, Rijkswaterstaat, Delft Hydraulics.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
IPPC, 1990, Strategis for Adoption to Sea Level Rise, report of The Coastal Zone Management
Sub-group, Intergovernmental Panel on Climate Change.
Edy Sulistyono, 2009, Beach behavior on post-project of Bali Beach, Bali Beach Concervation
Project, Denpasar
Oki Setyandito, Panggua Pandin, dan Khusnul SW., 2009, Stabilitas Pantai Pasir Buatan,
Seminar hibah PSIT UGM, Yogyakarta
US Army Corps of Engineers, 1994, Coastal Groins and Nearshore Breakwaters, American
Society of Civil Engineers, New York.
Yuwono, N, 2009, Pedoman Perencanaan Pantai Pasir Buatan, Seminar hibah PSIT UGM,
Yogyakarta
Yuwono, N., 2004, Reklamasi Perairan Pantai, Laboratorium Hidraulik dan Hidrologi, Pusat
Studi Ilmu Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Yuwono,N., 1992, Dasar-dasar Perencanaan Bangunan Pantai, Vol 2, Laboratorium Hidraulik
dan Hidrologi, Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik, Universitas Gadjah Mada.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
1) Any Nurhasanah
Mahasiswa Program Doktor Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada,
Dosen Universitas Bandar Lampung
Email : any_nurhasanah@yahoo.com
2) Radianta Triatmadja
Profesor pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : radiantatoo@yahoo.com
3) Nizam
Profesor pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : nizam@ugm.ac.id
Intisari
Bencana tsunami dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur, seperti pada
tsunami Aceh 2004, tsunami Pangandaran 2006, dan tsunami Samoa 2009.
Banyak usaha dilakukan untuk melindungi struktur akibat gempuran gelombang
tsunami, salah satunya adalah dengan membuat penghalang di depan struktur.
Bentuk penghalang di depan struktur mempengaruhi gaya gelombang yang
diterima bangunan di belakangnya. Hal ini diakibatkan oleh kecepatan aliran yang
mengenai bangunan di belakang pelindung berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk
menghitung besarnya gaya gelombang tsunami pada bangunan di belakang
berbagai bentuk penghalang.
Penelitian ini adalah penelitian simulasi model fisik yang dilakukan di
Laboratorium Hidraulika dan Hidrologi Pusat Studi Ilmu Teknik UGM. Saluran
gelombang tsunami berukuran 25 x 1.25 x 1.5 meter dilengkapi dengan
pembangkit gelombang tsunami berbasis dam break. Model bangunan berbentuk
kotak dan solid tanpa lubang, sedangkan bentuk penghalang berupa penghalang
dengan penampang berbentuk bujursangkar (sudut 0o dan 45o), lingkaran, dan
elips, dan setengah elips. Model bangunan diletakkan di tengah saluran dan
penghalang dipasang pada jarak 20 cm dari model bangunan. Pengukuran gaya
gelombang tsunami menggunakan strain gauge yang dipasang pada model,
sedangkan pengukuran tinggi gelombang tsunami menggunakan wave probe.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh bentuk bangunan
penghalang terhadap gaya gelombang tsunami. Reduksi gaya gelombang besar
pada model penghalang berpenampang bujursangkar yaitu sebesar 55,25%-
62,40% dan reduksi gaya gelombang terkecilpada model berpenghalang dengan
penampang elips yaitu sebesar 12,72%-15,96%. Nilai Cf bangunan berpenghalang
yang mendekati Cf* (tanpa penghalang) adalah bangunan berpenghalang
berpenampang elips (1.1x Cf*) dan yang tertinggi adalah bangunan
berpenghalang berpenampang bujursangkar 45o(2.4x Cf*)
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
1. Pendahuluan
Setengah kedalaman dari aliran tsunami terjadi pada saat permulaan serangan
gelombang tsunami.
Koji (2007), melakukan penelitian gaya gelombang pada sekelompok
bangunan dengan variasi jarak bangunan dari garis pantai. Posisi bangunan ada
yang diletakkan tegak lurus pantai dan ada yang membentuk sudut terhadap garis
pantai.
Fujima (2006) melakukan penelitian yang cukup komprehensif tentang gaya
gelombang pda bangunan. Gelombang tsunami dimodelkan dengan flume yang
panjangnya sekitar 11m. Walaupun panjang gelombang tsunami yang dihasilkan
jauh dari kenyataan, gaya gelombang yang pertama mengenai bangunan cukup
relevan dengan kondisi yang sebenarnya.
Penelitian di atas menunjukkan peneliti hanya meneliti gaya gelombang
tsunami pada struktur yang langsung diterjang gelombang tsunami, baik yang
berupa model bangunan maupun model bangunan pelindung seperti seawall.
Sebagian dari peneliti di atas menggunakan gelombang tsunami dalam bentuk
gelombang bor dan sebagian lagi menggunakan gelombang tsunami dalam bentuk
gelombang solitair.
Pada penelitian ini, gelombang tsunami yang digunakan adalah gelombang
tsunami berbentuk bor karena dibangkitkan melalui pembangkit gelombang
berbasis dam break. Gelombang tsunami yang dimodelkan merupakan gelombang
tsunami yang banyak dijumpai pada beberapa daerah di Indonesia. Gelombang
tsunami ini juga merupakan pendekatan gelombang tsunami yang terjadi pada
tunami Aceh 2004 dan pada tsunami pangandaran 2006. Gelombang tsunami yang
sudah mencapai daratan kebanyakan berupa bor, sehingga pendekatan dengan
menggunakan gelombang bor cocok dengan kenyataan.
Penelitian kali ini bertujuan untuk memperoleh besarnya gaya gelombang
tsunami pada struktur di belakang penghalang akibat bentuk penghalang yang
berbeda. Bentuk penghalang akan mempengaruhi besarnya gaya gelombang
tsunami yang diterima bangunan di belakanya. Besarnya gaya gelombang tsunami
yang diterima bangunan dapat digunakan untuk merencanakan bangunan
pelindung tsunami.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
Kecepatan gelombang adalah jarak yang ditempuh puncak gelombang tiap satuan
waktu.
Sifat gelombang tsunami sebagai gelombang panjang maka kecepatan jalar
energi sama dengan kecepatan jalar gelombang. Akibat adanya proses shoaling,
tinggi gelombang cenderung tidak menurun bahkan mungkin bertambah. Hal
inilah yang menyebabkan gelombang tsunami tetap berbahaya ketika sampai di
pantai meskipun gelombangnya terjadi jauh di tengah laut. Semakin besar
kedalaman semakin besar kecepatan rambatnya. Efek shoaling mengakibatkan
gelombang tsunami yang menjalar dari laut dalam menuju laut dangkal
teramplifikasi. Fluk energi tsunami yang masuk ke suatu titik seimbang dengan
fluk energi yang keluar dari titik tersebut tanpa adanya kehilangan energi atau
adanya tambahan energi. Kecepatan transportasi energi di laut yang lebih dalam
lebih cepat daripada di laut yang dangkal. Oleh karena itu energi tsunami di laut
yang lebih dangkal lebih besar dari pada energi yang tsunami di laut yang lebih
dalam. Konsekuensinya, tinggi tsunami di laut yang lebih dangkal menjadi besar.
4. Metodologi Penelitian
Simulasi Model
dam break
system
Wave probe
Model penghalang
bangunan
dam break
system
Model Wave probe
bangunan penghalang
Arah gelombang
Dam break
system
Kalibrasi
Kalibrasi pada penelitian ini terdiri dari 2, yaitu kalibrasi strain gauge dan
kalibrasi wave probe. Kalibrasi strain gauge dilakukan dengan cara memberi
beban secara bertahap dan pencatatan dilakukan secara digital dengan
menggunakan sensor yang telah dihubungkan dengan data loger. Kalibrasi
terhadap wave probe dilakukan dengan menaikkan dan menurunkan probe pada
kedalaman tertentu. Wave probe dihubungkan dengan data loger dan pencatatan
dilakukan secara digital.
Strain gauge
Wave
probe
a) b)
Arah
gelombang
Hasil pengukuran gaya gelombang dan reduksi gaya gelombang akibat adanya
penghalang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Reduksi Gaya gelombang tsunami akibat penghalang.
Gaya gelombang Rata- Reduksi Gaya
MODEL PENGHALANG
60 70 80 rata (%)
Tanpa penghalang 99.85 127.42 166.81 131.36
o
Bujursangkar sudut 0 62.01 51.90 62.44 58.78 55.25
Bujursangkar sudut 45o 47.23 51.70 49.23 49.39 62.40
Lingkaran 20 59.45 58.05 59.76 59.09 55.02
Lingkaran 40 64.49 82.89 112.98 86.78 33.94
elips 1:2 95.88 116.68 131.39 114.65 12.72
elips 2:3 93.03 102.10 136.05 110.40 15.96
setengah elips 1-2 61.90 83.75 87.78 77.81 40.77
setengah elips 2-3 71.96 84.02 83.86 79.95 39.14
Gaya seret dihitung dengan menggunakan persamaan (1) pada saat terjadinya
gaya maksimum. Gaya ini terjadi pada saat front gelombang tsunami pertama kali
mengenai bangunan di belakang penghalang. Penghalang yang disimulasi adalah
penghalang berpenampang bujursangkar, lingkaran, elips dan setengah elips
(Gambar 8). Hasil perhitungan nilai Cf disajikan pada Tabel 2.
(a)
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
(b)
(c)
(d)
6. Kesimpulan
a. Koefisien gaya seret gelombang tsunami pada bangunan di belakang
penghalang sangat dipengaruhi oleh bentuk penghalang.
b. Reduksi gaya gelombang besar pada model penghalang berpenampang
bujursangkar yaitu sebesar 55,25%-62,40% dan reduksi gaya gelombang
terkecilpada model berpenghalang dengan penampang elips yaitu sebesar
12,72%-15,96%.
c. Nilai Cf bangunan berpenghalang yang mendekati Cf* (tanpa penghalang)
adalah bangunan berpenghalang berpenampang elips (1.1x Cf*) dan yang
tertinggi adalah bangunan berpenghalang berpenampang bujursangkar
45o(2.4x Cf*)
7. Pustaka
Dean.R.G., Dalrymple. R.A., (1984), Water Wave Mechanics for Engineers and
Scientists, Prentice-Hall Inc, New Jersey
Fujima K., 2006, Measurement of Wave Force Acting on Buildings, National Defense
Academy of Japan, Japan
Triatmadja R., Nizam, Nurhasanah A., 2009, Pengaruh Porositas Bangunan terhadap
Gaya Gelombang Tsunami, Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XXVI,
Banjarmasin, 23-25 Oktober.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
1) Oki Setyandito
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Mataram NTB.
Mahasiswa Program Doktor, Program Studi Teknik Sipil,Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada
Email : okisetyandito@yahoo.com
2) Nur Yuwono
Profesor, pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : nuryuwono@yahoo.com
3)Radianta Triatmaja
Profesor, pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : radiantatoo@yahoo.com
4)Nizam
Profesor, pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : nizam@ugm.ac.id
INTISARI
Masalah utama di daerah pantai adalah erosi pantai yang terjadi akibat gempuran gelombang dan
kegiatan manusia seperti penambangan pasir, dan pembangunan konstruksi yang tidak akrab
lingkungan. Salah satu usaha pengembangan daerah pantai yang sedang dan telah dilaksanakan
adalah pembangunan pantai buatan (artificial beach nourishment). Desain dan perhitungan yang
benar dan teliti sangat diperlukan dalam perencanaan, sehingga akan diperoleh profil pantai pasir
buatan stabil. Pada tulisan ini disajikan kajian teoritis dan eksperimental pengaruh gelombang
regular (H, T) terhadap profil kemiringan pada pantai pasir buatan pada area diantara run up
gelombang (Ru) dan gelombang pecah (Hb). Beberapa parameter yang harus dipertimbangkan
adalah, karakteristik gelombang (H, T, d) dan percepatan gravitasi (g), karakteristik zat cair (ρ, υ,
ω), dan geometri struktur pada area diantara Ru dan Hb (kemiringan (n f )). Tulisan ini disusun
dalam 2 macam kajian yaitu pendekatan teoritis yang dibandingkan dengan hasil eksperimen di
laboratorium (2-D). Pembentukan profil kemiringan stabil tersebut didekati dengan menggunakan
hukum kontinuitas dan keseimbangan gaya. Grafik hasil kajian teoritis dan data hasil penelitian
(d 50 < 0.25 dan 0.25 <d 50 < 0.5 mm.) menunjukkan kemiripan, berada pada area yang sama yaitu
kemiringan halus dan impermiabel.
Pada profil kemiringan n f1 , semakin besar tinggi gelombang, sedimen yang berpindah akan
semakin banyak. Pada kondisi H semakin tinggi, kecepatan (𝑣𝑣𝑠𝑠 ) dan (𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 ) akan semakin besar,
tekanan atau gaya yang terjadi akan semakin banyak mengangkut pasir kearah onshore - offshore.
Hal ini akan menyebabkan semakin banyak berpindahnya sedimen, yang menyebabkan profil stabil
berubah lebih dinamis.
1. Pendahuluan
Masalah utama di daerah pantai adalah erosi pantai yang terjadi akibat gempuran gelombang
dan kegiatan manusia seperti penambangan pasir, penebangan hutan bakau, dan pembangunan
konstruksi yang tidak akrab lingkungan. Beberapa negara di dunia termasuk Indonesia pada saat ini
sedang giat dalam mengembangkan kawasan pesisir (daerah pantai), terutama untuk tujuan
mengamankan daerah pantai dari permasalahan erosi dan untuk kepentingan pariwisata. Salah satu
usaha pengembangan daerah pantai yang sedang dan telah dilaksanakan adalah pembangunan
pantai buatan (artificial beach nourishment). Desain dan perhitungan yang benar dan teliti sangat
diperlukan dalam perencanaan, sehingga akan diperoleh profil pantai pasir buatan stabil. Dean
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
dkk.(2002), Dong (2008) mengemukakan bahwa bentuk profil pantai pasir tersebut dipengaruhi
oleh gaya-gaya alami yang bekerja pada pasir pantai tersebut.
Swart (1974) telah meneliti perubahan profil kelandaian pada pantai pasir, dengan
kisaran diameter butiran 0,11 mm. sampai 0.227 mm. Dalam penelitiannya, Swart
membagi pembentukan profil kelandaian akibat gelombang menjadi 3 zona, dimana pada
setiap zona tersebut masing – masing memiliki mekanisme transport sedimen yang
berbeda. Pembagian zona profil kelandaian berdasarkan Swart (1974) dan Bakker (1968)
adalah, zona 1 (backshore) berada diatas run up gelombang, zona 2 (profil-D), dimana
terjadi transpor sedimen yang disebabkan oleh gelombang, dan zona 3 adalah area transisi
yang terbentuk karena gerakan dasar. Hasil penelitian Swart menunjukkan pada zona 1,
semakin besar diameter partikel, semakin cepat kestabilan slope terjadi. Pada zone 3,
semakin besar diameter partikel, kestabilan slope yang terjadi akan semakin lama.
Setyandito (2009) meneliti perubahan profil kelandaian pada pantai pasir, dengan kisaran
diameter butiran 0,23 mm. sampai 1.4 mm. Pembagian profil kelandaian akibat gelombang
menjadi 3 zona, dimana pada setiap zona tersebut masing – masing memiliki mekanisme
transport sedimen yang berbeda. Pembagian zona profil kelandaian disajikan pada Gambar
1.
Area Penelitian
Area yang
ditinjau pada
tulisan ini
Ru n1
HB
H, T m1
nf
n2
m2
Gambar 1. Pembagian zona profil kelandaian pada pantai pasir buatan, dan area yang di
studi pada tulisan ini. (Setyandito dkk. 2009)
Pada tulisan ini disajikan kajian teoritis dan eksperimental pengaruh gelombang regular (H, T)
terhadap profil kemiringan pada pantai pasir buatan pada area diantara run up gelombang (Ru) dan
gelombang pecah (Hb). Beberapa parameter yang harus dipertimbangkan adalah, karakteristik
gelombang (H, T, d) dan percepatan gravitasi (g), karakteristik zat cair (ρ, υ, ω), dan geometri
struktur pada area diantara Ru dan Hb (kemiringan (n f )).
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
2. Profil Kemiringan Stabil Dinamis
Fenomena pembentukan profil kemiringan stabil dinamis yang terjadi akan dirumuskan secara
teoritis, dari criteria pergerakan awal partikel material timbunan non kohesif akibat arus minimum
sheetflow (v sh ), pergerakan material akibat run up (Ru), hingga terbentuknya profil kemiringan
pantai pasir buatan stabil (nf). Pembentukan profil kemiringan stabil tersebut didekati dengan
menggunakan hukum kontinuitas dan keseimbangan gaya. Persamaan gerak dan kontinuitas adalah
sebagai berikut:
dengan: u = kecepatan pada sumbu x, v = kecepatan pada sumbu y, t = waktu, ρ = berat jenis
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑡𝑡
air, p = tekanan , v T = viskositas eddy, dan menurut Jensen (2001), f x =𝜌𝜌 , U=U max sin(2П )
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑇𝑇
Dalam teori gelombang amplitudo kecil (Dean dkk. 1984), energi total dalam gelombang adalah
E = Ek + Ep,
𝐿𝐿 0 1 ℎ+η ℎ
E=∫0 ∫−𝑑𝑑 2 𝜌𝜌𝑑𝑑𝑥𝑥 𝑑𝑑𝑦𝑦 (𝑢𝑢2 + 𝑣𝑣 2 ) +∫ 𝜌𝜌𝜌𝜌(ℎ +η)� 2
�dx – ρg HL � �
2
(4)
dengan
πH cosh k (d + y ) πH sinh k (d + y )
u= cos(kx − σt ) , v = sin( kx − σt ) dan
T sinh kd T sinh kd
η = H/2 cos (kx - σt), dimana u = kecepatan partikel air arah horisontal, v = kecepatan
partikel air arah vertikal, dan η = fluktuasi muka air.
Ketika gelombang menjalar dan mengenai struktur, maka akan terjadi momentum yang
didefinisikan, F=mU. Dari penyelesaian persamaan diatas, serta teori gelombang
amplitudo kecil, maka didapat E = ρgH2/8. (Horikawa 1988).
Untuk penjalaran gelombang amplitudo kecil pada arah utama x, radiation stress (S xx )
dapat ditulis,
2𝑘𝑘ℎ 1 2𝑘𝑘ℎ
𝑆𝑆𝑥𝑥𝑥𝑥 = 𝐸𝐸 � + � , ditempat yang dangkal, nilai = 1, sehingga
𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ2𝑘𝑘ℎ 2 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ2𝑘𝑘ℎ
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
3
𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 = 𝐸𝐸 � � (5)
2
Berdasarkan eksperimen Ru yang dilakukan pada pantai pasir dengan kemiringan α, Hunt
𝑔𝑔𝑇𝑇 2
(1959), merumuskan Ru=�𝐻𝐻𝐿𝐿0 tan ∝ , dengan L 0 = , sehingga,
2𝜋𝜋
vRu Ru
vRu vs
SWL
vs Rd
d
α
Pada lereng miring, halus dan impermiabel, saat terjadi Ru, gerakan air akan menuju
keatas, sampai dengan tinggi maksimum. Gaya – gaya yang bekerja pada saat itu adalah
gaya seret (FD ), gaya inersia, gaya angkat (FD ). Adapun kecepatan pada saat run up (vRu)
terjadi apabila energi keatas lebih besar dari pada energy ke bawah. Dalam Abbas (2006),
fenomena run up gelombang pada struktur bertangga, meneliti bahwa pada saat tinggi run
up maksimum, Ek akan minimum dan Ep maksimum.
Kondisi profil kemiringan stabil dinamis akan terjadi apabila terdapat keseimbangan
3
kecepatan keatas dan kebawah 𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 = 𝑣𝑣𝑠𝑠 , sehingga dapat diperoleh persamaan � � 𝐸𝐸𝐸𝐸
2
= Ep (8)
Dengan mensubstitusikan persamaan (6) diatas dan d b = 0.78 H maka persamaan profil
kemiringan stabil adalah
𝐻𝐻
tan 𝛼𝛼 = 1.4625 (9)
𝑔𝑔𝑇𝑇 2
Grafik hasil kajian teoritis dan data hasil penelitian disajikan pada Gambar 3. Pada grafik tersebut
menunjukkan bahwa semakin kecil periode gelombang, kemiringan profil (n f1 ) pada area antara Ru
𝐻𝐻
dan Hb semakin curam. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa nilai adalah berkisar 0 –
𝑔𝑔𝑇𝑇 2
0.1. Data hasil penelitian dengan diameter butiran d 50 = 1 – 1.4 menunjukkan bahwa range
data berada di luar hasil teoritis hal ini kemungkinan akibat dari faktor diameter (d 50 )
butiran yang besar. Pada profil kemiringan n f1 , semakin besar tinggi gelombang, sedimen yang
berpindah akan semakin banyak. Gambar contoh hasil profil stabil dinamis disajikan pada Gambar
5 dan 6. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi H semakin tinggi,
kecepatan (𝑣𝑣𝑠𝑠 ) dan (𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 ) akan semakin besar, tekanan atau gaya yang terjadi akan
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
semakin banyak mengangkut pasir kearah onshore - offshore. Hal ini akan menyebabkan
semakin banyak berpindahnya sedimen, yang menyebabkan profil stabil berubah lebih
dinamis. Grafik pada Gambar 4., menunjukkan perbandingan antara hasil penelitian
dengan teori Hunt (1959)
1.0000
0.0100
0.0000 0.0001 0.0010 0.0100 0.1000 1.0000
Ho/gT2
1 𝐻𝐻
Gambar 3. Grafik Hubungan antara Profil Kemiringan (tan ∝ = ) dan
𝑛𝑛 𝑓𝑓 𝑔𝑔𝑔𝑔 2
1.0000
0.1000
Coba
0.0010
0.0001
0.0000 0.0001 0.0010 0.0100 0.1000 1.0000
Ho/gT2
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
100
Persamaan Hunt
(Ru/Hi)cotα 10
d50 < 0.25 mm
d50 0.30 - 0.425 mm
d50 0.425 - 0.50 mm
1
0.00001 0.00010 0.00100 0.01000 0.10000
Hi/(gT2 )
𝐻𝐻
Gambar 4. Grafik Hubungan antara Profil Kemiringan (cot ∝ = 𝑛𝑛𝑓𝑓 ) dan
𝑔𝑔𝑔𝑔 2
30
25
20
Kondisi awal
15 MSL
Y(cm) Breaking Wave
10
0
60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360
X (cm)
Gambar 5. Profil Stabil Dinamis Periode Gelombang (T) =1.5 dt., H = 2.95 – 3.2 cm.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
30
25
20 Kondisi awal
MSL
Breaking Wave
15
Y
(cm)
10
0
60 80 100 120 140 160 180 200 220 2
X (cm)
Gambar 6. Profil Stabil Dinamis Periode Gelombang (T) =3.5 dt., H = 0.7 – 1.7 cm.
4.b. Kesimpulan
• Grafik hasil kajian teoritis dan data hasil penelitian (d 50 < 0.25 dan 0.25 <d 50 < 0.5 mm.)
menunjukkan kemiripan, berada pada area yang sama yaitu kemiringan halus dan
impermiabel.
• Grafik menunjukkan bahwa semakin kecil periode gelombang, kemiringan profil (n f1 )
pada area antara Ru dan Hb semakin curam. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa
𝐻𝐻
nilai adalah berkisar 0 – 0.1.
𝑔𝑔𝑇𝑇 2
Pada profil kemiringan n f1 , semakin besar tinggi gelombang, sedimen yang berpindah
akan semakin banyak. Pada kondisi H semakin tinggi, kecepatan (𝑣𝑣𝑠𝑠 ) dan (𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 ) akan
semakin besar, tekanan atau gaya yang terjadi akan semakin banyak mengangkut pasir
kearah onshore - offshore. Hal ini akan menyebabkan semakin banyak berpindahnya
sedimen, yang menyebabkan profil stabil berubah lebih dinamis.
• Data hasil penelitian dengan diameter butiran d 50 = 1 – 1.4 menunjukkan bahwa range
data berada di luar hasil teoritis hal ini kemungkinan akibat dari faktor diameter (d 50 )
butiran yang besar.
Daftar Pustaka
Abbas, 2006, Unjuk Kerja Run up dan Run down pada Lereng Bertangga, Thesis, Program Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
CEM, 2001, The Coastal Engineering Manual, Department of The Army, US Army Corps of
Engineers, Washington DC.
Dean, R.G., and R.A. Dalrymple, 2002, Coastal Processes with Engineering Applications,
Cambridge University
Dong, P. 2008. Long – Term Equilibrium Beach Profile Based on Maximum Information Entropy
Concept, Journal of Waterway, Port, Coastal, and Ocean Engineering (ASCE) Mey / June.
Horikawa, K., 1978, Coastal Engineering, an Introduction to Ocean Engineering, University of
Tokyo.
Jensen J.H., Fredsoe J., 2001, Sediment Transport and Backfilling of Trenches in Oscillatory Flow,
Jurnal of Waterway, Poprt, Coastal and Ocean Engineering ASCE, September-October.
Ping W, Ebersole B.A., Smith E.R., 2003, Beach-Profile Evolution under Spilling and Plunging
Breakers, Journal of Waterway, Port, Coastal and Ocean Engineering, January, February.
Battjes J.A., Roos A., Characteristic of flow in Ru of Periodic Waves, Report no. 75-3, TU Delft,
The Netherlands.
Setyandito, 2009, Stabilitas Pantai Pasir Buatan, Proposal Usulan Penelitian untuk Disertasi,
Program Pasca Sarjana S3 Teknik Sipil, FT. UGM Yogyakarta
Swart D.H., 1974, Offshore Sediment Transport and EBP, publication no. 131, TU Delft, The
Netherlands.