Anda di halaman 1dari 54

PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

PEDOMAN PERENCANAAN PANTAI PASIR BUATAN


Nur Yuwono 1) Nizam1) dan Oki Setyandito 2)
1)
Profesor Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM, Kepala Pusat PSIT UGM,
2)
Kandidat Doktor, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM dan Staf Pengajar Jurusan
Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Mataram NTB.

Abstract
Beberapa pantai pasir di Indonesia yang merupakan kawasan wisata berkurang (garis
pantainya mundur) akibat adanya proses erosi. Agar pantai tersebut masih dapat
dipertahankan sebagai kawasan wisata maka perlu dilakukan revitalisasi kawasan tersebut
dengan melakukan pemulihan kembali. Revitalisasi dapat dilakukan dengan melakukan
pengurugan pantai tersebut dengan pasir (beach filling). Untuk mendapatkanpedoman
dalam kegiatan pengurugan pantai maka dilakukan penelitian stabilitas pantai di
Laboratorium Hidraulik dan Hidrologi, Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, Yogyakarta. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemiringan pantai pasir seimbang (equilibrium)
merupakan fungsi dari variable tinggi gelombang (H), kecepatan jatuh material (ω) dan
periode gelombang (T).

1. PENDAHULUAN
Negara Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang (sekitar 80.000 km) dan
pulau yang sangat banyak (lebih 17.000 buah). Ada beberapa macam tipe pantai, diantaranya
adalah pantai berpasir (sand beach), pantai bertebing (cliff), dan pantai lumpur (muddy
beach). Pantai pasir biasanya dimanfaatkan untuk kawasan wisata karena kawasan tersebut
sangat menarik untuk berbagai kegiatan pantai seperti volley pantai, sun bathing, selancar,
bermain gelom-bang, dan sebagainya (lihat Gambar 1.1). Selain untuk berbagai kegiatan
wisata seperti tersebut di atas, pantai pasir juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat ritual
(seperti pantai Parang Kusumo dan pantai – pantai di Pulau Bali). Keunggulan pantai berpasir
dengan tipe pantai yang lain untuk keperluan wisata adalah: pantainya relative bersih (tidak
mengotori pakaian dan badan), aman (kususnya buat telapak kaki) untuk berbagai kegiatan
wisata terutama bagi anak-anak kecil, dan pantainya terlihat bersahabat.
Namun demikian banyak pula pantai pasir yang rusak akibat erosi (lihat Gambar 1.2), atau
kawasan wisata yang pantai pasirnya sangat terbatas. Pada kondisi yang seperti ini maka perlu
adanya teknologi yang tepat untuk memulihkan kembali pantai pasir yang telah rusak atau
hilang tersebut; dan apabila diperlukan dapat dibangun pantai pasir buatan pada suatu tempat
atau kawasan tertentu untuk mendukung suatu kegiatan pariwisata atau pengembangan
wilayah pantai. Untuk mendukung misi tersebut maka diperlukan suatu pedoman atau
petunjuk tentang bagaimana cara merencanakan pantai pasir buatan tersebut beserta
bangunan perlindungannya. Buku ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan tersebut.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Gambar 1.1 Pantai pasir dan pemanfaatannya

Gambar 1.2 Pantai pasir yang sudah terlalu tipis (Bali)


(Edy Sulistyono, 2009)

2. TUJUAN DAN MANFAAT


Pengisian pasir (sand nourishment, beach fill) biasanya dikerjakan untuk keperluan
perlebaran pantai pasir dan atau pembangunan pantai pasir buatan (artificial beach
nourishment). Kegiatan ini biasanya untuk mendukung program pengembangan kawasan
wisata, dan atau untuk perlin-dungan pantai. Pengisian pasir untuk pengembangan kawasan
wisata merupakan salah satu pilihan bilamana kawasan yang dibutuhkan adalah pantai pasir
(beach) dan lahan pasir yang sudah ada sulit atau tidak mungkin untuk diperlebar ke arah
daratan, contohnya seperti kawasan Sanur, Bali. Untuk menjaga agar lahan pasir yang telah
terbentuk tidak terbawa oleh arus dan aman terhadap gempuran gelombang, maka perlu
dilakukan pengamanan terhadap lahan pasir tersebut. Pengamanan terhadap lahan pasir hasil
kegiatan sand nourishment ini dilakukan dengan pembuatan groin/jetty atau krib sejajar
pantai. Bentuk krib atau jetty yang biasa dipergunakan adalah tipe I, T atau L.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Gambar 2.1 Contoh perbaikan kerusakan pantai dengan pengisian pasir


(Edy Sulistyono, 2009)

3. DASAR-DASAR PERENCANAAN PANTAI PASIR BUATAN


3.1 Umum
Bahan utama yang dipergunakan untuk kegiatan pengisian pasir adalah berupa pasir
urug dengan kualitas yang lebih baik dari kualitas pasir asli dan diusahakan ukuran butiran
pasir sama atau lebih besar dari pasir aslinya. Sedangkan bangunan pelindung biasanya
berupa groin/jetty dan atau krib sejajar pantai/pemecah gelombang lepas pantai.
Bagian-bagian konstruksi pengisian pasir untuk keperluan pembangunan pantai pasir
buatan (artificial beach) terdiri atas (lihat Gambar 3.1 dan 3.2):
a. Lahan reklamasi hasil pengisian pasir;
b. Bangunan pelindung lahan pasir yang terdiri dari bangunan jetty atau groin (krib)
tegak lurus pantai, dan atau
c. Bangunan pelindung lahan pasir yang terdiri dari bangunan krib sejajar pantai atau
pemecah gelobang lepas pantai (off shore breakwater)

Krib sejajar pantai


Perairan

Groin, Jetty, Krib

salient

Lahan pengisian pasir


(reklamasi)

Garis pantai asli

Gambar 3.1 Bagian-bagian lahan hasil pengisian pasir


PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
3.2 Bangunan Pelindung
Bangunan pelindung berguna untuk menjaga agar pantai pasir buatan yang sudah
dibangun dapat stabil dan tidak tererosi oleh arus dan gelombang. Bangunan pelindung
dapat berupa jeti (groin) dan atau pemecah gelombang lepas pantai (krib sejajar pantai)
(Gambar 3.2). Bangunan jeti berfungsi untuk menjaga agar hasil pembangunan pantai
pasir buatan tidak terbawa arus atau ter-erosi, sedangkan pemecah gelombang lepas
pantai berfungsi untuk mengurangi energi gelombang yang menghantam di pantai pasir
buatan dan membentuk salient (pantai pasir yang maju) pada bagian pantai yang
terlindung. Dengan adanya bangunan tersebut maka dapat diharapkan pantai pasir buatan
dapat stabil atau bertahan cukup lama.

3.3 Sumber material


Material yang dipergunakan untuk reklamasi atau perlebaran pantai biasanya
volumenya sangat besar. Pengambilan dari darat memang dimungkinkan, namun perlu
dipertimbang-kan masak-masak cara pengangkutan dan kerusakan lingkungan yang
mungkin terjadi di lokasi penambangan (borrow area). Mengingat volume dan cara
pengangkutan inilah maka sumber material yang paling ideal berasal dari dasar laut, yang
lokasinya tidak terlalu jauh dari lokasi reklamasi. Untuk keperluan pengambilan dan
penimbunan material ini diperlukan studi AMDAL baik di lokasi borrow area maupun di
lokasi pekerjaan.
Untuk keperluan bangunan pelindung biasanya diperlukan batu alam. Batu yang
diperlukan biasanya jumlahnya cukup banyak, sehingga diperlukan tempat penambangan
batu (quarry) yang memadai. Untuk keperluan ini maka perlu mendapatkan kepastian
jumlah dan kualitas batu yang dapat diambil dari quarry. Seperti halnya lokasi
penambangan material pasir, quarry juga harus di AMDAL sehingga kerusakan lingkungan
dapat dihindari.

Jeti atau groin


PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Krib sejajar pantai

Gambar 3.2 Contoh lahan hasil pengisian pasir di Sanur dan


bangunan pelindungnya.

3.4 Data yang diperlukan


Untuk keperluan perencanaan pantai pasir buatan, maka diperlukan data pendukung
diantaranya adalah:
a. Tata guna lahan dan peruntukan kawasan lokasi pekerjaan
b. Peta topografi dan batimetri lokasi pekerjaan
c. Data hidro-oseanografi (angin, gelombang, arus, dan pasang surut)
d. Data pasir yang terdapat di lokasi pekerjaan
e. Data kualitas dan kuantitas pasir urug di borrow area
f. Data kualitas dan kuantitas batu (untuk bangunan pelindung) di quarry
g. Dan data-data pendukung lain yang diperlukan

4. PENENTUAN MUKA AIR LAUT RENCANA


Muka air laut rencana (design sea water level - DWL) adalah muka air laut pada kondisi
tinggi, dimana elevasi ini dipergunakan sebagai referensi untuk menentukan elevasi
penimbunan pasir dan elevasi mercu bangunan pelindungnya. Disamping itu muka air laut
rencana ini juga dipergunakan untuk menentukan tinggi gelombang pecah, terutama di lokasi
bangunan. Muka air laut rencana diperhitungkan terhadap pasang surut: highest astronomical
tide (HWS), wind set up (WS), storm surge (SS) dan sea level rise (SLR) akibat efek rumah kaca
(green house effect). Muka air laut rencana dapat ditentukan dengan formula (Yuwono, 1992):
DWL = HAT + (SS atau WS) + SLR
Keterangan: DWL = Design sea water level (m)
HAT = Highest Astronomical Tide (m)
SS = Storm Surge (m)
WS = Wind Set-up (m)
SLR = Sea Level Rise (m)
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
Berdasarkan IPCC (1990), kenaikan muka air laut akibat efek rumah kaca (SLR)
diperkirakan sebesar 60 cm tiap seratus tahunnya (lihat Gambar 4.1). Sedangkan besar
Wind Set-up dan Storm Surge dapat dihitung dengan formula berikut.
SS = 0,01 (P o – P a )
Keterangan: SS = tinggi storm surge (m)
P a = tinggi tekanan atmosfeer pada muka air laut (mbar)
P o = tinggi tekanan pada MSL = 1013 mbar
ρ udara U 2
WS = I w F/2 ; I w = Cw( )( )
ρ airlaut gh
Keterangan: WS = tinggi wind set up (m)
I w = gradien muka air laut
F = panjang fetch (m)
U = kecepatan angin (m/det)
G = percepatan gravitasi bumi (m/det2)
Cw = koef. gesek udara-air = 0,8 10-3 sd 3,0 10-3
H = kedalaman air laut rerata (m)
ρ airlaut,udara = rapat masa air laut dan udara = 1030 kg/m3; 1,21 kg/m3

Gambar 4.1. Prediksi kenaikan muka air laut akibat efek rumah kaca
(IPCC, 1990).

5. PERENCANAAN PENGISIAN PASIR


5.1 Tata letak pengisisan pasir
Tata letak pegisian pasir untuk pengisian pasir dengan tujuan untuk membentuk
pantai pasir (beach nourishment) dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan 5.2. Pada penentuan
tata letak, pertimbangan yang pertama adalah bentuk pantai yang diinginkan, lalu
pertimbangan berikutnya adalah bangunan pendukung yang diperlukan untuk membentuk
pantai tersebut agar tujuan dapat tercapai. Seperti terlihat pada Gambar 5.1 bangunan
pendukung untuk melindungi pantai pasir buatan (artificial beach) dapat berupa
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
groin/jetty bentuk I, L dan T atau krib sejajar pantai. Apabila krib sejajar pantai relatip
pendek maka akan terjadi salient (lahan pasir yang maju mendekati bangunan krib), dan
apabila bangunan krib cukup panjang maka dapat terjadi tombolo (pantai pasir akan
tersambung dengan bangunan krib). Agar tidak terjadi kerusakan lingkungan di bagian
down drift maka disarankan pasir yang berada diantara bangunan tersebut merupakan
pasir isian yang didatangkan dari borrow area, dan bukan karena mengambil (trapping)
dari angkutan sedimen menyusur pantai.

(a) (b) (c)

Salient Tombolo

(d)
Gambar 5.1 Tata letak pengisian pasir dan bangunan pendukungnya

Gambar 5.2. Contoh reklamasi pantai Kuta Selatan, Bali


(Edy Sulistyono, 2009)

5.2 Penentuan elevasi timbunan pasir


Elevasi timbunan pasir harus didasarkan pada kondisi alami yang akan terjadi di
masa yang akan datang. Elevasi pasir ditentukan dari DWL atau HAT ditambah tinggi
rayapan gelombang, atau dapat dihitung dengan formula (lihat Gambar 5.3) :
EAB = DWL + Ru + F
Keterangan :
EAB = elevasi pantai pasir buatan (Artificial beach elevation) (m)
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
DWL = elevasi muka air rencana (Design sea water level) (m)
Ru = rayapan gelombang di pantai pasir buatan (m)
F = tinggi tambahan (0,5 sd 1,0 m)

EAB = DWL + Ru +

Ru
DWL
Lahan hasil pengisian
pasir (Artificial beach)

Gambar 5.3 Skema penentuan elevasi puncak pantai pasir buatan

5.3 Material pasir urug


Material pasir untuk membangun pantai buatan (artificial beach nourishment) harus
dipilih dengan memperhatikan syarat-syarat berikut ini:
a. Diameter pasir urug (d 50 ) diusahakan sama atau lebih besar dari pasir asli.
b. Agar supaya pasir tidak mengotori pakaian dan badan, diusahakan ukuran
pasir relatif seragam dan tidak terlalu banyak butiran yang berukuran kecil.
c. Dipilih warna pasir yang disukai oleh wisatawan yang akan berkunjung,
misalnya warna putih keabu-abuan, atau warna coklat sangat muda.

5.4 Penentuan landai pantai pasir buatan


Untuk menentukan volume pengisian pasir maka diperlukan landai pasir dan elevasi
puncak timbunan pasir rencana. Cara penentuan elevasi puncak timbunan telah
diuraikan di Bab 5.2 , dan dapat dilihat pula pada Gambar 5.4 dan 5.7 (Yuwono,
2004). Landai pasir rencana harus direncanakan sesuai dengan landai pada kondisi
alami pantai dan hal ini dapat diperkirakan dengan menggunakan grafik yang
disajikan pada Gambar 5.5 (Wiegel, 1964), atau tabel yang disajikan pada Gambar
5.4. Berdasarkan hasil penelitian terbaru (Yuwono, 2009, Oki dkk, 2009) landai
pantai pasir buatan dapat ditentukan berdasarkan diameter pasir (d) dan rapat
massa pasir (ρ), atau kecepatan jatuh butiran pasir (w) sebagai representasi kedua
parameter tersebut. Penentuan landai pasir tersebut secara ringkas dijelaskan lewat
Gambar 5.6 dan 5.7. .
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Dia. Pantai terlindung Pantai terbuka


pasir
mm n m n m
0,2 25 - 40 40 - 100
0,3 12 - 20 6 -10 20 - 40 10 -
DWL + Ru +
0,4 7 – 12 12 – 20 15
05 6 10 10 15
Puncak rayapan

DWL 1:

1: n Pantai buatan

Gambar 5.4 Hubungan antara landai pantai dan diameter pasir

Gambar 5.5 Hubungan antara landai pantai, diameter pasir dan


beban gelombang (Wiegel, 1964 dalam CUR, 1987))

Gambar 5.6 Kemiringan pantai versus (Ho/ωT),


PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Gambar 5.7 Pedoman untuk menentukan landai seimbang (equilibrium) pantai pasir buatan

6. BANGUNAN PELINDUNG PANTAI PASIR BUATAN


6.1. Jenis bangunan pelindung pantai pasir buatan
Bangunan pelindung adalah bangunan yang dipergunakan untuk:
- mempertahankan agar pantai buatan (artificial beach) dapat bertahan dalam
waktu yang cukup lama
- menekan biaya perawatan agar supaya tidak terlalu mahal; dengan adanya
bangunan pelindung material pasir yang hilang dapat ditekan.
Ukuran bangunan pelindung disesuaikan dengan rencana luasan lahan pantai yang
akan dibuat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan ukuran bangunan
pelindung adalah sebagai berikut ini.
1). Panjang groin, jetty (lihat Gambar 6.1)
• Panjang minimum groin/jetty (L min ) diusahakan paling tidak dapat melindungi
lahan pasir hasil reklamasi (pengisian pasir).
• Panjang groin/jetty didasarkan pada kemiringan lahan pasir yang diinginkan, dan
kemiringan lahan ini tergantung kepada diameter material pasir urug yang
dipergunakan.
2). Panjang krib sejajar pantai (lihat Gambar 6.2)
• Panjang krib sejajar pantai didasarkan pada tujuan pembentukan garis pantai
atau bentuk salient atau bentuk tombolo.
• Ukuran ukuran pokok untuk mencapai salient atau tombolo dapat dihitung
menggunakan formula (US Army Corps of Engineers, 1994):
L/y > 1,5 : Tombolo
L/y = 0,5 – 1,5 : Well developed salient
L/y = 0,2 – 0,5 : Salient
L/y < 0,2 : Tidak berpengaruh pada pantai
Keterangan:
L = panjang krib sejajar pantai
y = jarak krib ke garis pantai
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Panjang minimum groin/ jetty (Lmin)

Pantai buatan

1:n
Dasar pantai asli

Gambar 6.1 Panjang minimum groin/jetty (L min )

Gambar 6.2 Profil pantai akibat adanya krib sejajar pantai (CURV,1987)

7. PENUTUP
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Universitas Gadjah Mada cq LPPM UGM,
Departemen Pekerjaan Umum cq Direktorat Rawa Pantai, dan PT Tata Guna Patria, atas
bantuan yang berupa informasi, data sekunder dan dana sehingga “pedoman
perencanaan pantai pasir buatan” ini dapat terwujud. Semoga pedoman ini dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan pantai pasir buatan (artificial beach), dan
dapat pula dipergunakan sebagai referensi pada pendidikan di perguruan tinggi,
khususnya dibidang teknik (rekayasa) pantai.

DAFTAR PUSTAKA
CERC, 1984, Shore Protection Manual, Department of The Army, US Army Corps of Engineers,
Washington DC.
CUR, 1987, Manual on Artificial Beach Nourishment, Centre for Civil Engineering Research,
Codes and Spesification, Rijkswaterstaat, Delft Hydraulics.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
IPPC, 1990, Strategis for Adoption to Sea Level Rise, report of The Coastal Zone Management
Sub-group, Intergovernmental Panel on Climate Change.
Edy Sulistyono, 2009, Beach behavior on post-project of Bali Beach, Bali Beach Concervation
Project, Denpasar
Oki Setyandito, Panggua Pandin, dan Khusnul SW., 2009, Stabilitas Pantai Pasir Buatan,
Seminar hibah PSIT UGM, Yogyakarta
US Army Corps of Engineers, 1994, Coastal Groins and Nearshore Breakwaters, American
Society of Civil Engineers, New York.
Yuwono, N, 2009, Pedoman Perencanaan Pantai Pasir Buatan, Seminar hibah PSIT UGM,
Yogyakarta
Yuwono, N., 2004, Reklamasi Perairan Pantai, Laboratorium Hidraulik dan Hidrologi, Pusat
Studi Ilmu Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Yuwono,N., 1992, Dasar-dasar Perencanaan Bangunan Pantai, Vol 2, Laboratorium Hidraulik
dan Hidrologi, Pusat Antar Universitas Ilmu Teknik, Universitas Gadjah Mada.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

GAYA GELOMBANG TSUNAMI


PADA BANGUNAN BERPENGHALANG

1) Any Nurhasanah
Mahasiswa Program Doktor Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada,
Dosen Universitas Bandar Lampung
Email : any_nurhasanah@yahoo.com

2) Radianta Triatmadja
Profesor pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : radiantatoo@yahoo.com

3) Nizam
Profesor pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : nizam@ugm.ac.id

Intisari
Bencana tsunami dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur, seperti pada
tsunami Aceh 2004, tsunami Pangandaran 2006, dan tsunami Samoa 2009.
Banyak usaha dilakukan untuk melindungi struktur akibat gempuran gelombang
tsunami, salah satunya adalah dengan membuat penghalang di depan struktur.
Bentuk penghalang di depan struktur mempengaruhi gaya gelombang yang
diterima bangunan di belakangnya. Hal ini diakibatkan oleh kecepatan aliran yang
mengenai bangunan di belakang pelindung berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk
menghitung besarnya gaya gelombang tsunami pada bangunan di belakang
berbagai bentuk penghalang.
Penelitian ini adalah penelitian simulasi model fisik yang dilakukan di
Laboratorium Hidraulika dan Hidrologi Pusat Studi Ilmu Teknik UGM. Saluran
gelombang tsunami berukuran 25 x 1.25 x 1.5 meter dilengkapi dengan
pembangkit gelombang tsunami berbasis dam break. Model bangunan berbentuk
kotak dan solid tanpa lubang, sedangkan bentuk penghalang berupa penghalang
dengan penampang berbentuk bujursangkar (sudut 0o dan 45o), lingkaran, dan
elips, dan setengah elips. Model bangunan diletakkan di tengah saluran dan
penghalang dipasang pada jarak 20 cm dari model bangunan. Pengukuran gaya
gelombang tsunami menggunakan strain gauge yang dipasang pada model,
sedangkan pengukuran tinggi gelombang tsunami menggunakan wave probe.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh bentuk bangunan
penghalang terhadap gaya gelombang tsunami. Reduksi gaya gelombang besar
pada model penghalang berpenampang bujursangkar yaitu sebesar 55,25%-
62,40% dan reduksi gaya gelombang terkecilpada model berpenghalang dengan
penampang elips yaitu sebesar 12,72%-15,96%. Nilai Cf bangunan berpenghalang
yang mendekati Cf* (tanpa penghalang) adalah bangunan berpenghalang
berpenampang elips (1.1x Cf*) dan yang tertinggi adalah bangunan
berpenghalang berpenampang bujursangkar 45o(2.4x Cf*)
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Kata kunci: tsunami, gaya gelombang, penghalang, Cf

1. Pendahuluan

Bencana tsunami tidak mungkin dicegah dan dihindari karena merupakan


bencana alam yang sulit diperkirakan kapan terjadinya serta terlalu besar untuk
dihentikan. Dalam 10 tahun terakhir ini saja telah terjadi beberapa kali bencana
tsunami, yaitu tsunami Chile 2010, tsunami Samoa 2009, tsunami pangandaran
2006, dan tsunami Aceh 2004. Sepanjang tahun 2010 (sampai Juni 2010),
beberapa kejadian gempa berpotensi terjadi tsunami, misalnya gempa Biak (16
Juni 2010), beberapa gempa di Aceh (7 April, 9 Mei, dan 13 Juni 2010), dan
gempa Papua Barat (14 Januari 2010).
Bencana tsunami dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur. Banyak usaha
dilakukan untuk melindungi struktur akibat gempuran gelombang tsunami seperti
membangun tembok laut (sea wall) atau pemecah gelombang (break water),
selain itu bangunan yang berada di kawasan pesisir juga dapat berfungsi sebagai
penahan gelombang tsunami. Pada tsunami Pangandaran 2006, kerusakan
infrastruktur yang terjadi lebih ringan dibandingkan kerusakan pada tsunami Aceh
2004. Hal ini disebabkan kerena banyak bangunan bertingkat dengan struktur
yang relatif kuat sehingga mampu meredam gelombang tsunami dan melindungi
struktur yang ada di belakangnya.
Penelitian yang banyak dilakukan saat ini merupakan penelitian tentang gaya
gelombang tsunami pada struktur pelindungnya bukan penelitian gaya gelombang
pada bangunan yang berada di belakang struktur pelindung. Penghalang yang
berada di depan bangunan akan mempengaruhi besarnya gaya gelombang yang
diterima bangunan di belakangnya. Penghalang akan menahan laju gelombang
tsunami sehingga terdapat perubahan pola aliran dan juga perubahan kecepatan
aliran. Bentuk penghalang yang berbeda akan berpengaruh terhadap pola aliran
yang dibentuk, kecepatannya juga berubah, sehingga gaya gelombang yang
diterima pada bangunan di belakang penghalang akan berbeda. Pada penelitian ini
bentuk penghalang dibuat beberapa macam, yaitu penampang lingkaran,
bujursangkar dengan sudut 0o dan 45o, elips, dan setengah elips.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Gelombang yang menabrak penghalang akan tertahan di depan penghalang


sedangkan pada bagian yang tidak tertahan akan terus mengalir di samping kiri
kanan penghalang. Sebagian air terus melaju dan sebagian lagi mengalir ke arah
bangungan yang terletak dibelakang penghalang. Air mengisi bagian belakang
penghalang dan akhirnya menabrak bangunan, saat itulah gaya gelombang diukur.
Penelitian ini membahas pengaruh bentuk penghalang terhadap gaya gelombang
tsunami pada bangunan di belakang struktur.

2. Tujuan dan Arah Penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gaya gelombang tsunami telah


dilakukan oleh beberapa peneliti, berikut beberapa contoh penelitian terkait.
Triatmadja, dkk (2009) meneliti pengaruh porositas terhadap gaya gelombang
tsunami. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh porositas bangunan (0%,
20%, 40%, dan 60%) terhadap gaya gelombang tsunami. Makin besar porositas,
maka penurunan besarnya gaya gelombang tsunami makin kecil.
Lukkunaprasit, dkk (2009) juga meneliti gaya gelombang pada bangunan
berlubang 25% dan 50%. Pada penelitian ini reduksi gaya akibat adanya lubang
pada bangunan sebesar 15%-30%.
Arnason, dkk (2009) meneliti pengaruh gelombang bore pada struktur.
Penelitian ini mengukur gaya yang terjadi pada kolom berpenampang
bujursangkar, lingkaran, dan bujursangkar dengan sudut 45o. Hasil yang
diperoleh, nilai koefisien hambatan (CR) pada kolom silinder antara 1-2, CR pada
kolom berpenampang bujursangkar dengan sudut 45o berkisar 2 dan CR pada
kolom berpenampang bujursangkar 2-3.
Osnack, dkk (2009) meneliti efektifitas sea wall kecil dalam mereduksi gaya
gelombang tsunami. Pada penelitan ini reduksi gaya gelombang tsunami berkisar
23%-84% untuk tinggi gelombang yang meningkat sampai 4 kali dari tinggi sea
wall.
Pradono (2008), meneliti tentang keamanan struktur dalam menahan
gelombang tsunami. Pada penelitian ini menunjukkan gaya maksimum yang
terjadi ketika kedalaman aliran tsunami sekitar setengah kedalaman maksimum.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Setengah kedalaman dari aliran tsunami terjadi pada saat permulaan serangan
gelombang tsunami.
Koji (2007), melakukan penelitian gaya gelombang pada sekelompok
bangunan dengan variasi jarak bangunan dari garis pantai. Posisi bangunan ada
yang diletakkan tegak lurus pantai dan ada yang membentuk sudut terhadap garis
pantai.
Fujima (2006) melakukan penelitian yang cukup komprehensif tentang gaya
gelombang pda bangunan. Gelombang tsunami dimodelkan dengan flume yang
panjangnya sekitar 11m. Walaupun panjang gelombang tsunami yang dihasilkan
jauh dari kenyataan, gaya gelombang yang pertama mengenai bangunan cukup
relevan dengan kondisi yang sebenarnya.
Penelitian di atas menunjukkan peneliti hanya meneliti gaya gelombang
tsunami pada struktur yang langsung diterjang gelombang tsunami, baik yang
berupa model bangunan maupun model bangunan pelindung seperti seawall.
Sebagian dari peneliti di atas menggunakan gelombang tsunami dalam bentuk
gelombang bor dan sebagian lagi menggunakan gelombang tsunami dalam bentuk
gelombang solitair.
Pada penelitian ini, gelombang tsunami yang digunakan adalah gelombang
tsunami berbentuk bor karena dibangkitkan melalui pembangkit gelombang
berbasis dam break. Gelombang tsunami yang dimodelkan merupakan gelombang
tsunami yang banyak dijumpai pada beberapa daerah di Indonesia. Gelombang
tsunami ini juga merupakan pendekatan gelombang tsunami yang terjadi pada
tunami Aceh 2004 dan pada tsunami pangandaran 2006. Gelombang tsunami yang
sudah mencapai daratan kebanyakan berupa bor, sehingga pendekatan dengan
menggunakan gelombang bor cocok dengan kenyataan.
Penelitian kali ini bertujuan untuk memperoleh besarnya gaya gelombang
tsunami pada struktur di belakang penghalang akibat bentuk penghalang yang
berbeda. Bentuk penghalang akan mempengaruhi besarnya gaya gelombang
tsunami yang diterima bangunan di belakanya. Besarnya gaya gelombang tsunami
yang diterima bangunan dapat digunakan untuk merencanakan bangunan
pelindung tsunami.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

3. Karakteristik Gelombang Tsunami

Gelombang tsunami merupakan gelombang panjang. Gelombang panjang


adalah gelombang air yang panjang gelombangnya melebihi 20 kali kedalaman
yang dilewatinya. Gelombang panjang juga seringkali disebut sebagai gelombang
air dangkal, kh < /10. Gelombang panjang menjalar dengan kecepatan C  gh

Kecepatan gelombang adalah jarak yang ditempuh puncak gelombang tiap satuan
waktu.
Sifat gelombang tsunami sebagai gelombang panjang maka kecepatan jalar
energi sama dengan kecepatan jalar gelombang. Akibat adanya proses shoaling,
tinggi gelombang cenderung tidak menurun bahkan mungkin bertambah. Hal
inilah yang menyebabkan gelombang tsunami tetap berbahaya ketika sampai di
pantai meskipun gelombangnya terjadi jauh di tengah laut. Semakin besar
kedalaman semakin besar kecepatan rambatnya. Efek shoaling mengakibatkan
gelombang tsunami yang menjalar dari laut dalam menuju laut dangkal
teramplifikasi. Fluk energi tsunami yang masuk ke suatu titik seimbang dengan
fluk energi yang keluar dari titik tersebut tanpa adanya kehilangan energi atau
adanya tambahan energi. Kecepatan transportasi energi di laut yang lebih dalam
lebih cepat daripada di laut yang dangkal. Oleh karena itu energi tsunami di laut
yang lebih dangkal lebih besar dari pada energi yang tsunami di laut yang lebih
dalam. Konsekuensinya, tinggi tsunami di laut yang lebih dangkal menjadi besar.

Gaya Gelombang Tsunami pada Bangunan di Belakang Penghalang

Gaya gelombang tsunami pada bangunan dibelakang penghalang dihitung


misalnya dengan menggunakan Persamaan (1).
1 (1)
F  C f  A u2
2
Dimana F adalah gaya gelombang dibelakang penghalang, A merupakan luasan
bidang terkena gelombang,  adalah masa jenis air, u adalah kecepatan aliran, dan
Cf adalah koefisien gaya gelombang.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Pada bangunan berpenghalang arah aliran tidak tegak lurus terhadap


bangunan. Aliran membentuk sudut tertentu akibat adanya pengaruh penghalang
di depan bangunan. Hal ini mengakibatkan kecepatan gelombang yang menabrak
bangunan berubah sehingga gaya gelombang pada bangunan berpenghalang
berbeda dengan gaya gelombang pada bangunan tanpa penghalang.
Gaya gelombang yang diterima oleh bangunan di belakang penghalang juga
akan tereduksi. Demikian juga dengan kecepatan awal gelombang akan tereduksi
sebelum menghantam penghalang. Jarak antara penghalang dengan bangunan juga
akan mempengaruhi gaya yang diterima bangunan di belakang penghalang. Jika
penghalang letaknya jauh terhadap bangunan, maka pengaruh penghalang hampir
tidak ada.

4. Metodologi Penelitian

Simulasi Model

Penelitian ini adalah penelitian simulasi model fisik yang dilakukan di


Laboratorium Hidraulika dan Hidrologi Pusat Studi Ilmu Teknik UGM. Saluran
gelombang tsunami berukuran 25 x 1.25 x 1.5 meter dilengkapi dengan
pembangkit gelombang tsunami berbasis dam break. Model bangunan berbentuk
kotak dan solid tanpa lubang, sedangkan bentuk penghalang berupa penghalang
berpenampang bujur sangkar (dengan variasi sudut 0o, dan 45o), lingkaran, elips,
dan setengah elips dengan tinggi tiga kali model bangunan. Model bangunan
diletakkan di tengah saluran dan penghalang dipasang pada jarak tertentu dari
model bangunan. Pengukuran gaya gelombang tsunami menggunakan strain
gauge yang dipasang pada model yang dihubungkan dengan komputer melalui
data logger dan amplifier. Pengukuran tinggi gelombang tsunami menggunakan
wave probe yang diletakkan di depan penghalang dan di depan model bangunan.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

dam break
system
Wave probe
Model penghalang
bangunan

dam break
system
Model Wave probe
bangunan penghalang

Arah gelombang

Gambar 1. Mekanisme pembangkitan gelombang tsunami

Dam break
system

Quick relies mecanism

Gambar 2. Saluran pembangkitan gelombang tsunami

Model dibuat dengan kesebangunan geometrik dengan skala 1:20. Model


bangunan berupa bangunan solid berbentuk kubus dengan ukuran 20x20x20 cm.
Model penghalang terdiri dari penghalang dengan penampang bujursangkar
20x20cm, lingkaran (diameter 20 dan 40 cm), elips (20:30 dan 20:40), dan
setengah elips (20:30 dan 20:40) yang memiliki tinggi 3 kali tinggi model
bangunan (60cm). Simulasi tinggi gelombang ada 3 variasi, dan jarak bangunan
ke penghalang 20 cm.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Kalibrasi
Kalibrasi pada penelitian ini terdiri dari 2, yaitu kalibrasi strain gauge dan
kalibrasi wave probe. Kalibrasi strain gauge dilakukan dengan cara memberi
beban secara bertahap dan pencatatan dilakukan secara digital dengan
menggunakan sensor yang telah dihubungkan dengan data loger. Kalibrasi
terhadap wave probe dilakukan dengan menaikkan dan menurunkan probe pada
kedalaman tertentu. Wave probe dihubungkan dengan data loger dan pencatatan
dilakukan secara digital.

Strain gauge

Wave
probe

Gambar 3. Strain gauge dan wave probe

5. Hasil dan Pembahasan

Bentuk Gelombang Tsunami


Bentuk gelombang tsunami yang dihasilkan dengan metoda pembangkit
gelombang sistem dam break menghasilkan gelombang bor yang mirip dengan
gelombang tsunami (Gambar 4).

Gambar 4. Gelombang tsunami di dalam saluran


PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Bentuk gelombang berpengaruh terhadap gaya yang bekerja pada bangunan.


Gambar 5 menunjukkan tipikal bentuk gelombang tsunami yang dihasilkan oleh
metoda yang digunakan. Bagian paling depan gelombang yang digunakan untuk
menghitung besarnya gaya yang besar pada bangunan.

Gambar 5. Tipikal front gelombang tsunami pada h = 80 cm

Gaya Gelombang Tsunami pada Bangunan berpenghalang


Bangunan penghalang akan mereduksi gaya gelombang tsunami yang diterima
bangunan di belakangnya. Hal ini disebabkan karena ada proses difraksi dan
refleksi di depan penghalang, sehingga ada sebagian gaya gelombang teredam.
Saat gelombang menabrak penghalang, aliran akan dibelokkan ke kiri dan ke
kanan (Gambar 6a), kemudian gelombang tertahan di depan penghalang dan
terjadi refeleksi, sebagian air tetap mengalir di sebelah kiri dan kanan penghalang.
Aliran mengisi kekosongan ruang di antara penghalang dan bangunan, dan
menggempur bangunan yang berada di belakang penghalang Gambar 6b).

a) b)
Arah
gelombang

Gambar 6. Pola aliran saat gelombang menabrak penghalang a) aliran didepan


penghalang dibelokkan b) aliran mengenai bangunan dibelakangnya
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Hasil pengukuran gaya gelombang dan reduksi gaya gelombang akibat adanya
penghalang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Reduksi Gaya gelombang tsunami akibat penghalang.
Gaya gelombang Rata- Reduksi Gaya
MODEL PENGHALANG
60 70 80 rata (%)
Tanpa penghalang 99.85 127.42 166.81 131.36
o
Bujursangkar sudut 0 62.01 51.90 62.44 58.78 55.25
Bujursangkar sudut 45o 47.23 51.70 49.23 49.39 62.40
Lingkaran 20 59.45 58.05 59.76 59.09 55.02
Lingkaran 40 64.49 82.89 112.98 86.78 33.94
elips 1:2 95.88 116.68 131.39 114.65 12.72
elips 2:3 93.03 102.10 136.05 110.40 15.96
setengah elips 1-2 61.90 83.75 87.78 77.81 40.77
setengah elips 2-3 71.96 84.02 83.86 79.95 39.14

Reduksi gaya gelombang tsunami akibat adanya penghalang cukup


bervariasi. Pada penghalang berpenampang bujursangkar reduksi gaya gelombang
tsunami berkisar 55,25%-62,40%. Pada penghalang berpenampang lingkaran,
reduksi gaya gelombang tsunami 33,94%-55,02%. Pada penghalang elips reduksi
gaya gelombang tsunami 12,72%-15,96%,dan pada penghalang setengah elips
reduksi gaya gelombang tsunami berkisar 29,14% -40.77%.

Koefisien Gaya Gelombang Tsunami (Cf) pada Bangunan Berpenghalang

Gaya seret dihitung dengan menggunakan persamaan (1) pada saat terjadinya
gaya maksimum. Gaya ini terjadi pada saat front gelombang tsunami pertama kali
mengenai bangunan di belakang penghalang. Penghalang yang disimulasi adalah
penghalang berpenampang bujursangkar, lingkaran, elips dan setengah elips
(Gambar 8). Hasil perhitungan nilai Cf disajikan pada Tabel 2.

(a)
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

(b)

(c)

(d)

Gambar 7. Model bangunan dengan berbagai berpenghalang saat terhantam


gelombang tsunami. a) penampang lingkaran, b) penampang elips, c) penampang
setengah elips, d) penampang bujur sangkar sudut 45o

Tabel 2. Nilai Cf pada bangunan bepenghalang


Cf Rata-
MODEL PENGHALANG Cf*/Cf
60 70 80 rata
Tanpa penghalang 0.631 0.666 0.715 0.671
sudut 0 0.416 0.288 0.293 0.333 2.0
sudut 45 0.274 0.320 0.233 0.276 2.4
Lingkaran 20 0.386 0.312 0.271 0.323 2.1
Lingkaran 40 0.465 0.494 0.569 0.510 1.3
elips 1:2 0.615 0.620 0.590 0.608 1.1
elips 2:3 0.600 0.545 0.614 0.586 1.1
setengah elips 1-2 0.394 0.441 0.391 0.409 1.6
setengah elips 2-3 0.459 0.444 0.374 0.426 1.6
Cf* adalan nilai Cf tanpa penghalang

Dari hasil perhitungan, rata-rata nilai Cf pada bangunan solid tanpa


penghalang adalah 0.671. Nilai Cf pada bangunan berpenghalang yang mendekati
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

nilai Cf pada bangunan tanpa penghalang adalah pada penghalang berpenampang


elips (1.1x Cf tanpa penghalang). Hal ini disebabkan penghalang berbentuk elips
mengarahkan aliran langsung tanpa ada yang menyebar. Sedangkan nilai Cf yang
paling jauh adalah nilai Cf pada penghalang berpenampang bujursangkar 45o
(2.4x Cf tanpa peghalang). Hal ini disebabkan karena aliran mengarah ke kiri dan
kanan akibat penampang sudut 45o, dan air yang mengalir ke bangunan lebih
sedikit. Hal ini juga yang mengakibatkan gaya yang di reduksi paling besar
(62.4%)

6. Kesimpulan
a. Koefisien gaya seret gelombang tsunami pada bangunan di belakang
penghalang sangat dipengaruhi oleh bentuk penghalang.
b. Reduksi gaya gelombang besar pada model penghalang berpenampang
bujursangkar yaitu sebesar 55,25%-62,40% dan reduksi gaya gelombang
terkecilpada model berpenghalang dengan penampang elips yaitu sebesar
12,72%-15,96%.
c. Nilai Cf bangunan berpenghalang yang mendekati Cf* (tanpa penghalang)
adalah bangunan berpenghalang berpenampang elips (1.1x Cf*) dan yang
tertinggi adalah bangunan berpenghalang berpenampang bujursangkar
45o(2.4x Cf*)

7. Pustaka

Dean.R.G., Dalrymple. R.A., (1984), Water Wave Mechanics for Engineers and
Scientists, Prentice-Hall Inc, New Jersey

Fujima. K, Achmad.F, Shigihara. Y, and Mizutani.N., (2009), Estimation of Tsunami


Force Acting on Rectangular Structures, Journal of Disaster Research Vol.4, No.6

Fujima K., 2006, Measurement of Wave Force Acting on Buildings, National Defense
Academy of Japan, Japan

Triatmadja R., Nizam, Nurhasanah A., 2009, Pengaruh Porositas Bangunan terhadap
Gaya Gelombang Tsunami, Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XXVI,
Banjarmasin, 23-25 Oktober.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010

Pendekatan Teoritis Profil Kemiringan Pantai Pasir Buatan

1) Oki Setyandito
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Mataram NTB.
Mahasiswa Program Doktor, Program Studi Teknik Sipil,Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada
Email : okisetyandito@yahoo.com
2) Nur Yuwono
Profesor, pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : nuryuwono@yahoo.com
3)Radianta Triatmaja
Profesor, pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : radiantatoo@yahoo.com
4)Nizam
Profesor, pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,Universitas Gadjah Mada
Email : nizam@ugm.ac.id

INTISARI

Masalah utama di daerah pantai adalah erosi pantai yang terjadi akibat gempuran gelombang dan
kegiatan manusia seperti penambangan pasir, dan pembangunan konstruksi yang tidak akrab
lingkungan. Salah satu usaha pengembangan daerah pantai yang sedang dan telah dilaksanakan
adalah pembangunan pantai buatan (artificial beach nourishment). Desain dan perhitungan yang
benar dan teliti sangat diperlukan dalam perencanaan, sehingga akan diperoleh profil pantai pasir
buatan stabil. Pada tulisan ini disajikan kajian teoritis dan eksperimental pengaruh gelombang
regular (H, T) terhadap profil kemiringan pada pantai pasir buatan pada area diantara run up
gelombang (Ru) dan gelombang pecah (Hb). Beberapa parameter yang harus dipertimbangkan
adalah, karakteristik gelombang (H, T, d) dan percepatan gravitasi (g), karakteristik zat cair (ρ, υ,
ω), dan geometri struktur pada area diantara Ru dan Hb (kemiringan (n f )). Tulisan ini disusun
dalam 2 macam kajian yaitu pendekatan teoritis yang dibandingkan dengan hasil eksperimen di
laboratorium (2-D). Pembentukan profil kemiringan stabil tersebut didekati dengan menggunakan
hukum kontinuitas dan keseimbangan gaya. Grafik hasil kajian teoritis dan data hasil penelitian
(d 50 < 0.25 dan 0.25 <d 50 < 0.5 mm.) menunjukkan kemiripan, berada pada area yang sama yaitu
kemiringan halus dan impermiabel.
Pada profil kemiringan n f1 , semakin besar tinggi gelombang, sedimen yang berpindah akan
semakin banyak. Pada kondisi H semakin tinggi, kecepatan (𝑣𝑣𝑠𝑠 ) dan (𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 ) akan semakin besar,
tekanan atau gaya yang terjadi akan semakin banyak mengangkut pasir kearah onshore - offshore.
Hal ini akan menyebabkan semakin banyak berpindahnya sedimen, yang menyebabkan profil stabil
berubah lebih dinamis.

1. Pendahuluan
Masalah utama di daerah pantai adalah erosi pantai yang terjadi akibat gempuran gelombang
dan kegiatan manusia seperti penambangan pasir, penebangan hutan bakau, dan pembangunan
konstruksi yang tidak akrab lingkungan. Beberapa negara di dunia termasuk Indonesia pada saat ini
sedang giat dalam mengembangkan kawasan pesisir (daerah pantai), terutama untuk tujuan
mengamankan daerah pantai dari permasalahan erosi dan untuk kepentingan pariwisata. Salah satu
usaha pengembangan daerah pantai yang sedang dan telah dilaksanakan adalah pembangunan
pantai buatan (artificial beach nourishment). Desain dan perhitungan yang benar dan teliti sangat
diperlukan dalam perencanaan, sehingga akan diperoleh profil pantai pasir buatan stabil. Dean
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
dkk.(2002), Dong (2008) mengemukakan bahwa bentuk profil pantai pasir tersebut dipengaruhi
oleh gaya-gaya alami yang bekerja pada pasir pantai tersebut.
Swart (1974) telah meneliti perubahan profil kelandaian pada pantai pasir, dengan
kisaran diameter butiran 0,11 mm. sampai 0.227 mm. Dalam penelitiannya, Swart
membagi pembentukan profil kelandaian akibat gelombang menjadi 3 zona, dimana pada
setiap zona tersebut masing – masing memiliki mekanisme transport sedimen yang
berbeda. Pembagian zona profil kelandaian berdasarkan Swart (1974) dan Bakker (1968)
adalah, zona 1 (backshore) berada diatas run up gelombang, zona 2 (profil-D), dimana
terjadi transpor sedimen yang disebabkan oleh gelombang, dan zona 3 adalah area transisi
yang terbentuk karena gerakan dasar. Hasil penelitian Swart menunjukkan pada zona 1,
semakin besar diameter partikel, semakin cepat kestabilan slope terjadi. Pada zone 3,
semakin besar diameter partikel, kestabilan slope yang terjadi akan semakin lama.
Setyandito (2009) meneliti perubahan profil kelandaian pada pantai pasir, dengan kisaran
diameter butiran 0,23 mm. sampai 1.4 mm. Pembagian profil kelandaian akibat gelombang
menjadi 3 zona, dimana pada setiap zona tersebut masing – masing memiliki mekanisme
transport sedimen yang berbeda. Pembagian zona profil kelandaian disajikan pada Gambar
1.

Area Penelitian
Area yang
ditinjau pada
tulisan ini
Ru n1
HB
H, T m1
nf

n2

m2

Gambar 1. Pembagian zona profil kelandaian pada pantai pasir buatan, dan area yang di
studi pada tulisan ini. (Setyandito dkk. 2009)

Pada tulisan ini disajikan kajian teoritis dan eksperimental pengaruh gelombang regular (H, T)
terhadap profil kemiringan pada pantai pasir buatan pada area diantara run up gelombang (Ru) dan
gelombang pecah (Hb). Beberapa parameter yang harus dipertimbangkan adalah, karakteristik
gelombang (H, T, d) dan percepatan gravitasi (g), karakteristik zat cair (ρ, υ, ω), dan geometri
struktur pada area diantara Ru dan Hb (kemiringan (n f )).
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
2. Profil Kemiringan Stabil Dinamis
Fenomena pembentukan profil kemiringan stabil dinamis yang terjadi akan dirumuskan secara
teoritis, dari criteria pergerakan awal partikel material timbunan non kohesif akibat arus minimum
sheetflow (v sh ), pergerakan material akibat run up (Ru), hingga terbentuknya profil kemiringan
pantai pasir buatan stabil (nf). Pembentukan profil kemiringan stabil tersebut didekati dengan
menggunakan hukum kontinuitas dan keseimbangan gaya. Persamaan gerak dan kontinuitas adalah
sebagai berikut:

𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑓𝑓𝑥𝑥


𝑑𝑑𝑑𝑑
+ 𝑢𝑢 + 𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑣𝑣 𝑑𝑑𝑑𝑑 = − 𝜌𝜌 𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑑𝑑𝑑𝑑 (𝑣𝑣𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑑𝑑) + 𝑑𝑑𝑑𝑑 (𝑣𝑣𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑑𝑑) + 𝜌𝜌
(1)
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑
+ 𝑢𝑢 + 𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑣𝑣 𝑑𝑑𝑑𝑑 = − 𝜌𝜌 𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑑𝑑𝑑𝑑 (𝑣𝑣𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑑𝑑) + 𝑑𝑑𝑑𝑑 (𝑣𝑣𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑑𝑑) (2)
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
+ =0 (3)
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑

dengan: u = kecepatan pada sumbu x, v = kecepatan pada sumbu y, t = waktu, ρ = berat jenis
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑡𝑡
air, p = tekanan , v T = viskositas eddy, dan menurut Jensen (2001), f x =𝜌𝜌 , U=U max sin(2П )
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑇𝑇

2a. Gelombang dan Run up Gelombang


Pada laut dangkal, kecepatan rambat gelombang adalah C = �𝑔𝑔𝑔𝑔, dimana d = kedalaman air,
1
dengan d/L ≤
20

Dalam teori gelombang amplitudo kecil (Dean dkk. 1984), energi total dalam gelombang adalah
E = Ek + Ep,
𝐿𝐿 0 1 ℎ+η ℎ
E=∫0 ∫−𝑑𝑑 2 𝜌𝜌𝑑𝑑𝑥𝑥 𝑑𝑑𝑦𝑦 (𝑢𝑢2 + 𝑣𝑣 2 ) +∫ 𝜌𝜌𝜌𝜌(ℎ +η)� 2
�dx – ρg HL � �
2
(4)

dengan
πH cosh k (d + y ) πH sinh k (d + y )
u= cos(kx − σt ) , v = sin( kx − σt ) dan
T sinh kd T sinh kd
η = H/2 cos (kx - σt), dimana u = kecepatan partikel air arah horisontal, v = kecepatan
partikel air arah vertikal, dan η = fluktuasi muka air.
Ketika gelombang menjalar dan mengenai struktur, maka akan terjadi momentum yang
didefinisikan, F=mU. Dari penyelesaian persamaan diatas, serta teori gelombang
amplitudo kecil, maka didapat E = ρgH2/8. (Horikawa 1988).
Untuk penjalaran gelombang amplitudo kecil pada arah utama x, radiation stress (S xx )
dapat ditulis,
2𝑘𝑘ℎ 1 2𝑘𝑘ℎ
𝑆𝑆𝑥𝑥𝑥𝑥 = 𝐸𝐸 � + � , ditempat yang dangkal, nilai = 1, sehingga
𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ2𝑘𝑘ℎ 2 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 ℎ2𝑘𝑘ℎ
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
3
𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 = 𝐸𝐸 � � (5)
2

Berdasarkan eksperimen Ru yang dilakukan pada pantai pasir dengan kemiringan α, Hunt
𝑔𝑔𝑇𝑇 2
(1959), merumuskan Ru=�𝐻𝐻𝐿𝐿0 tan ∝ , dengan L 0 = , sehingga,
2𝜋𝜋

Ru=0.4𝑇𝑇�𝑔𝑔𝑔𝑔 tan ∝ (6)

2b. Profil Kemiringan Stabil (n f )


Profil kemiringan stabil dinamis akan diperoleh apabila terjadi keseimbangan pada
kondisi kecepatan keatas (v Ru ) sama dengan kecepatan kebawah (v s ), skema profil
kemiringan stabil pada lereng kemiringan halus dan permiabel disajikan pada Gambar 2.

vRu Ru
vRu vs
SWL
vs Rd

d
α

Gambar 2. Skema Kecepatan R u (v Ru ) dan Sheet flow (v s )

Pada lereng miring, halus dan impermiabel, saat terjadi Ru, gerakan air akan menuju
keatas, sampai dengan tinggi maksimum. Gaya – gaya yang bekerja pada saat itu adalah
gaya seret (FD ), gaya inersia, gaya angkat (FD ). Adapun kecepatan pada saat run up (vRu)
terjadi apabila energi keatas lebih besar dari pada energy ke bawah. Dalam Abbas (2006),
fenomena run up gelombang pada struktur bertangga, meneliti bahwa pada saat tinggi run
up maksimum, Ek akan minimum dan Ep maksimum.

3. Metodologi dan Pendekatan Teoritis


Sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, tulisan ini disusun dalam 2 macam kajian
yaitu pendekatan teoritis yang dibandingkan dengan hasil eksperimen di laboratorium (2-
D). Seperti disebutkan diatas, pembentukan profil kemiringan stabil tersebut didekati dengan
menggunakan hukum kontinuitas dan keseimbangan gaya.
Dalam mekanisme terbentuknya profil kelandaian stabil pantai pasir buatan, terdapat
banyak parameter yang terlibat yang berasal dari 3 (tiga) komponen yang terkait yaitu
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
sedimen atau material timbunan, gelombang, dan arus dasar. Untuk menetapkan parameter
yang secara signifikan berpengaruh serta untuk menyusun pernyataan hipotesis, maka
perlu dilakukan kajian terhadap parameter-parameter tersebut. Parameter penelitian akan
diuraikan dalam 3 kelompok yaitu parameter disain, parameter yang mempengaruhinya
serta parameter pendukung analisis. Pada kajian ini, apabila variabel yang berpengaruh
pada kondisi fisik tidak dapat diindetifikasikan, maka analisis dimensi digunakan untuk
membentuk hubungan antara variabel tersebut. Bentuk parameter tak berdimensi (NDP)
ditentukan dengan analisis dimensi dengan menggunakan metoda Stepwise yang dilakukan
dengan menggunakan tiga kali variabel berulang yang berbeda.

4. Hasil dan Pembahasan


4.a. Profil Kemiringan Stabil Dinamis, pada Area antara Ru dan Hb
Pada area ini, kecepatan run up akan menyebabkan sedimen bergerak keatas. Kecepatan keatas
akan berubah, karena gaya seret (FD ) dan gaya inersia. Kecepatan air keatas dapat didekati dengan
persamaan energi kinetik, dimana energi tersebut pada area kedalaman air dangkal, sehingga bisa
diasumsikan bahwa energy flux yang terjadi adalah
3 3
𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 = 𝐸𝐸 � � = � � 𝐸𝐸𝐸𝐸 (7)
2 2

Kondisi profil kemiringan stabil dinamis akan terjadi apabila terdapat keseimbangan
3
kecepatan keatas dan kebawah 𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 = 𝑣𝑣𝑠𝑠 , sehingga dapat diperoleh persamaan � � 𝐸𝐸𝐸𝐸
2

= Ep (8)
Dengan mensubstitusikan persamaan (6) diatas dan d b = 0.78 H maka persamaan profil
kemiringan stabil adalah
𝐻𝐻
tan 𝛼𝛼 = 1.4625 (9)
𝑔𝑔𝑇𝑇 2

Grafik hasil kajian teoritis dan data hasil penelitian disajikan pada Gambar 3. Pada grafik tersebut
menunjukkan bahwa semakin kecil periode gelombang, kemiringan profil (n f1 ) pada area antara Ru
𝐻𝐻
dan Hb semakin curam. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa nilai adalah berkisar 0 –
𝑔𝑔𝑇𝑇 2

0.1. Data hasil penelitian dengan diameter butiran d 50 = 1 – 1.4 menunjukkan bahwa range
data berada di luar hasil teoritis hal ini kemungkinan akibat dari faktor diameter (d 50 )
butiran yang besar. Pada profil kemiringan n f1 , semakin besar tinggi gelombang, sedimen yang
berpindah akan semakin banyak. Gambar contoh hasil profil stabil dinamis disajikan pada Gambar
5 dan 6. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi H semakin tinggi,
kecepatan (𝑣𝑣𝑠𝑠 ) dan (𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 ) akan semakin besar, tekanan atau gaya yang terjadi akan
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
semakin banyak mengangkut pasir kearah onshore - offshore. Hal ini akan menyebabkan
semakin banyak berpindahnya sedimen, yang menyebabkan profil stabil berubah lebih
dinamis. Grafik pada Gambar 4., menunjukkan perbandingan antara hasil penelitian
dengan teori Hunt (1959)
1.0000

Patehan Lolos 0.25 mm


0.1000
tan α Patehan 0.3 mm - 0.425 mm
Patehan 0.425 mm - 0.5 mm
Persamaan 9
Tanjung Ann d50 1.0 - 1.4 mm
Log. (Persamaan 9)

0.0100
0.0000 0.0001 0.0010 0.0100 0.1000 1.0000

Ho/gT2

1 𝐻𝐻
Gambar 3. Grafik Hubungan antara Profil Kemiringan (tan ∝ = ) dan
𝑛𝑛 𝑓𝑓 𝑔𝑔𝑔𝑔 2

1.0000

0.1000

Patehan Lolos 0.25 mm

Patehan 0.3 mm - 0.425 mm


tan α
0.0100 Patehan 0.425 mm - 0.5 mm

Tanjung Ann Lolos 0.71

Tanjung Ann 1.0 - 1.4 mm

Coba

0.0010

0.0001
0.0000 0.0001 0.0010 0.0100 0.1000 1.0000

Ho/gT2
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
100

Persamaan Hunt
(Ru/Hi)cotα 10
d50 < 0.25 mm
d50 0.30 - 0.425 mm
d50 0.425 - 0.50 mm

1
0.00001 0.00010 0.00100 0.01000 0.10000

Hi/(gT2 )

𝐻𝐻
Gambar 4. Grafik Hubungan antara Profil Kemiringan (cot ∝ = 𝑛𝑛𝑓𝑓 ) dan
𝑔𝑔𝑔𝑔 2

30

25

20

Kondisi awal
15 MSL
Y(cm) Breaking Wave

10

0
60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360
X (cm)

Gambar 5. Profil Stabil Dinamis Periode Gelombang (T) =1.5 dt., H = 2.95 – 3.2 cm.
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
30

25

20 Kondisi awal
MSL
Breaking Wave

15
Y
(cm)
10

0
60 80 100 120 140 160 180 200 220 2
X (cm)

Gambar 6. Profil Stabil Dinamis Periode Gelombang (T) =3.5 dt., H = 0.7 – 1.7 cm.

4.b. Kesimpulan
• Grafik hasil kajian teoritis dan data hasil penelitian (d 50 < 0.25 dan 0.25 <d 50 < 0.5 mm.)
menunjukkan kemiripan, berada pada area yang sama yaitu kemiringan halus dan
impermiabel.
• Grafik menunjukkan bahwa semakin kecil periode gelombang, kemiringan profil (n f1 )
pada area antara Ru dan Hb semakin curam. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa
𝐻𝐻
nilai adalah berkisar 0 – 0.1.
𝑔𝑔𝑇𝑇 2

Pada profil kemiringan n f1 , semakin besar tinggi gelombang, sedimen yang berpindah
akan semakin banyak. Pada kondisi H semakin tinggi, kecepatan (𝑣𝑣𝑠𝑠 ) dan (𝑣𝑣𝑅𝑅𝑅𝑅 ) akan
semakin besar, tekanan atau gaya yang terjadi akan semakin banyak mengangkut pasir
kearah onshore - offshore. Hal ini akan menyebabkan semakin banyak berpindahnya
sedimen, yang menyebabkan profil stabil berubah lebih dinamis.
• Data hasil penelitian dengan diameter butiran d 50 = 1 – 1.4 menunjukkan bahwa range
data berada di luar hasil teoritis hal ini kemungkinan akibat dari faktor diameter (d 50 )
butiran yang besar.

5. Ucapan Terima Kasih


Ucapan terimakasih penulis sampaikan pada DP2M Dikti atas beaya penelitian dengan
topik Stabilitas Pantai Pasir Buatan, melalui program Hibah Kompetensi. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Pengelola Laboratorium Hidraulika – Hidrologi, Pusat
PIT HATHI XXVII, Surabaya, 29 -1 Agustus 2010
Studi Ilmu Teknik, UGM, sehingga penelitian pada tulisan ini dapat terlaksana dengan
baik.

Daftar Pustaka
Abbas, 2006, Unjuk Kerja Run up dan Run down pada Lereng Bertangga, Thesis, Program Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
CEM, 2001, The Coastal Engineering Manual, Department of The Army, US Army Corps of
Engineers, Washington DC.
Dean, R.G., and R.A. Dalrymple, 2002, Coastal Processes with Engineering Applications,
Cambridge University
Dong, P. 2008. Long – Term Equilibrium Beach Profile Based on Maximum Information Entropy
Concept, Journal of Waterway, Port, Coastal, and Ocean Engineering (ASCE) Mey / June.
Horikawa, K., 1978, Coastal Engineering, an Introduction to Ocean Engineering, University of
Tokyo.
Jensen J.H., Fredsoe J., 2001, Sediment Transport and Backfilling of Trenches in Oscillatory Flow,
Jurnal of Waterway, Poprt, Coastal and Ocean Engineering ASCE, September-October.
Ping W, Ebersole B.A., Smith E.R., 2003, Beach-Profile Evolution under Spilling and Plunging
Breakers, Journal of Waterway, Port, Coastal and Ocean Engineering, January, February.
Battjes J.A., Roos A., Characteristic of flow in Ru of Periodic Waves, Report no. 75-3, TU Delft,
The Netherlands.
Setyandito, 2009, Stabilitas Pantai Pasir Buatan, Proposal Usulan Penelitian untuk Disertasi,
Program Pasca Sarjana S3 Teknik Sipil, FT. UGM Yogyakarta
Swart D.H., 1974, Offshore Sediment Transport and EBP, publication no. 131, TU Delft, The
Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai