Anda di halaman 1dari 25

EFISIENSI PERTUMBUHAN TANAMAN

Pertumbuhan tanaman pada kondisi alami pada akhirnya akan dibatasi oleh radiasi
matahari sebagai sumber energi yang tidak dapat diubah. Karena itu, efisiensi penggunaan
energi radiasi matahari dalam proses pertumbuhan tanaman perlu dipelajari dalam upaya
pengembangan strategi yang dapat dilakukan untuk peningkatannya. Ini membawa istilah
efisiensi pertumbuhan tanaman dalam batas “penggunaan energi radiasi matahari”. Radiasi
matahari yang sampai pada permukaan bumi (R 0) atau permukaan atas tajuk tanaman merupakan
produk dari tingkat radiasi yang sampai pada permukaan luar atmosfir, yang tergantung pada
lintang dan konstanta solar (solar constant, 1367 J m-2 s-1), dan transmisivitas atmosfir. Tingkat
radiasi pada permukaan luar atmosfir (Ra, extraterrestrial radiation) berubah dengan waktu, dan
perubahan tersebut meningkat dengan peningkatan derajat lintang (Gambar 9.1). Di equator,
tingkat radiasi rata-rata Ra adalah 37,2 MJ m-2 per hari dengan kisaran 35,6 MJ m-2 per hari,
yang terjadi pada akhir bulan Juni dan Desember, hingga 38,8 MJ m-2 per hari yang terjadi
sekitar pertengahan bulan Maret dan September. Perubahan Ra dengan waktu adalah akibat
perubahan jarak bumi-matahari sebagai konsekuensi dari lintasan orbit bumi mengelilingi
matahari yang berbentuk lonjong.
Transmisivitas atmosfir berhubungan 400U
dengan kandungan atmosfir yang 45
Ra (MJ m-2 hari-1)

mempengaruhi transmisi radiasi matahari


seperti awan termasuk gas rumah kaca 00
(mis.CO2) dan partikel. Ini dapat diperoleh 30
dari perbandingan antara R0 dengan Ra 200S 200U
(R0/Ra) yang menunjukkan fluktuasi harian
yang tinggi berdasarkan pengamatan R0 pada 15
tahun 1999 di Malang (Gambar 9.2). Suatu 400S
kecenderungan dengan waktu ditunjukkan
oleh transmisivitas atmosfir tersebut, yang 0
secara rata-rata 0,480,12 (simpangan baku), 0 100 200 300
yang tinggi pada akhir bulan Juni hingga
Hari dari mulai 1 Januari
awal Agustus dan rendah pada bulan
Gambar 9.1 Perubahan dengan waktu dari radiasi
Desember dan Januari yang bersamaan
matahari pada permukaan luas atmosfir
dengan puncak musim penghujan. Tingkat
(Ra, exraterrestrial radiation) untuk 00
radiasi yang sampai pada permukaan tajuk
(equator), 200U, 400U, 200S dan 400S
tanaman tidak semuanya dapat digunakan
(U = lintang utara & S = lintang selatan)
untuk proses fotosintesis. Hanya radiasi
dengan panjang gelombang 400-700 nm
bermanfaat untuk proses fotosintesis. Ini adalah bagian radiasi matahari yang dapat dilihat
(visible radiation) yang kemudian disebut cahaya nampak atau”cahaya”, dan juga dikenal
dengan istilah PAR (Photosinthetically Active Radiation) (McCree, 1981). Pada permukaan luar
atmosfir bumi, PAR hanya sekitar 39% dari radiasi matahari total (Gueymard, 2004). Fraksi
PAR pada permukaan bumi kemudian meningkat hingga 48% karena radiasi dengan panjang
gelombang di luar PAR diabsorbsi lebih banyak oleh atmosfir bumi (Amthor, 2010). Fraksi
PAR tersebut (48%), yang biasanya disederhanakan 50% dari total radiasi (Driessen & Konijn,
1992), didasarkan atas data dari suatu studi yang cukup rinci di Texas, Amerika Serikat (36,6 0
LU) (Britton & Dodd, 1976; Amthor, 2010).
2
0.9
40
Ra
9.1 PHOTON

Ra (MJ.m-2.hari-1)
30
0.6

ta (R0/Ra)
Cahaya, di samping bersifat sebagai
gelombang, adalah pancaran partikel yang
dikenal dengan istilah photon (visible light 20
particle) dengan kecepatan sangat tinggi 0.3
(3.108 m s-1). Ini sama dengan bagian lain ta
10
dari spektrum elektromagnetik dengan
panjang gelombang yang berkisar antara
10-9 nm (sinar gamma) hingga 109 nm 0 0
(gelombang radio). Dengan sifat demikian, 0 100 200 300
cahaya mengandung energi yang disebut Hari mulai 1 Januari
quantum (kuanta, jamak) untuk sejumlah
Gambar 9.2 Perubahan tingkat radiasi total pada
energi yang dihasilkan oleh setiap partikel permukaan luar atmosfir (Ra) dan
(photon) tersebut. Pertumbuhan tanaman
transmisivitas atmosfir ( ta = R0/Ra) di
tergantung langsung pada energi cahaya
Malang (70LS) pada tahun 1999.
yang berasal dari radiasi matahari pada
Grafik yang memotong garis ta adalah
kondisi alami. Ini berhubungan dengan
ketergantungan proses fotosintesis pada hasil dari regressi kuadratik
energi cahaya untuk membentuk energi
kimia NADPH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate) dan ATP (Adenosine
Triphosphate). Ini diawali dengan eksitasi elektron (e-) khlorofil dengan absorbsi cahaya yang
diikuti kemudian dengan transfer elektron dari khlorofil ke molekul lain hingga ke NADPH.
Khlorofil, yang kehilangan elektron, memperoleh elektron dari hasil fotolisis air yang terjadi
dengan absorbsi cahaya. Fotolisis air yang juga menghasilkan proton (H+), disamping O2, dan
transfer proton dari stroma ke lumen saat transfer elektron melalui rantai transfer elektron
mengakibatkan akumulasi proton dalam ruang thylakoid (lumen) yang kemudian digunakan
sebagai sumber energi untuk sintesis ATP. Proses pembentukan NADPH dan ATP hanya
tergantung pada cahaya sehingga sering disebut reaksi cahaya.
Energi kimia tersebut kemudian digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi karbohidrat
(fotosintat atau gula) yang dapat terjadi baik pada keadaan terang maupun gelap dan sering
dikenal dengan istilah reaksi gelap. Karbohidrat adalah komponen utama dari biomassa tanaman
yang terdiri sebagian besar dari hemicellulose dan sellulose (Johnson et al., 2007; Amthor,
2010). Karena itu, pertumbuhan tanaman atau produksi biomassa dapat dinyatakan sebagai
akumulasi dari radiasi matahari selama periode yang dipertimbangkan seperti yang ditunjukkan
persamaan berikut.
m
BM =  fR 0 t (9.1)
p

dimana BM adalah produksi biomassa tanaman, p dan m secara berurutan adalah waktu
perkecambahan dan masak fisiologi, R0 radiasi yang sampai pada permukaan tajuk tanaman, f
fraksi radiasi yang digunaan untuk fotosintesis,  efisiensi kuanta dalam reduksi CO2 menjadi
karbohidrat (glukosa atau sukrosa), dan  efisiensi konversi karbohidrat (sukrosa) menjadi
biomassa tanaman. Fraksi radiasi yang tersedia untuk fotosintesis tergantung pada intersepsi dan
absorbsi radiasi oleh pigmen yang terlibat dalam proses fotosintesis. Efisiensi kuanta sering juga
3

dinyatakan sebagai jumlah photon yang dibutuhkan untuk reduksi suatu molekul CO 2
(photon/CO2) yang tergantung pada kebutuhan ATP dan NADPH untuk asimilasi CO2 menjadi
karbohidrat (sukrosa), dan jumlah photon yang dibutuhkan untuk pembentukan ATP dan
NADPH.

9.2 INTERSEPSI DAN ABSORBSI RADIASI


9.2.1 Hukum Beer-Lambert
Intersepsi radiasi matahari, radiasi yang jatuh pada suatu permukaan daun, tergantung pada
luas daun, sudut daun dan sudut elevasi (elevation angle) atau sudut zenith (zenith angle)
matahari. Apabila suatu garis ditarik dari pusat matahari ke suatu titik pada permukaan bumi,
garis tersebut akan membentuk sudut dengan garis horizontal dan garis vertikal yang masing-
masing disebut sudut elevasi dan sudut zenith matahari. Untuk radiasi yang jatuh tegak lurus
pada permukaan daun, tingkat intersepsi cahaya adalah produk dari luas daun dengan kepadatan
pancaran energi cahaya (PPFD, photosynthetically photon flux density). Untuk pertanaman
(komunitas tanaman), tingkat intersepsi cahaya juga ditentukan oleh sebaran daun dalam tajuk.
Radiasi matahari yang diintersepsi dalam tajuk tanaman dapat ditaksir dari selisih antara radiasi
yang sampai pada permukaan atas tajuk tanaman dengan radiasi yang berpenetrasi hingga di
bawah tajuk atau pada permukaan tanah.
Apabila suatu tajuk tanaman dibagi menjadi beberapa lapisan secara vertikal dengan suatu
lapisan daun sama dengan satu index luas daun (LAI, leaf area index), tingkat radiasi yang
sampai pada suatu lapisan akan berkurang dengan pertambahan lapisan dari atas ke bawah.
Dengan perkataan lain, tingkat radiasi yang berpenetrasi melalui suatu tajuk pertanaman ke
permukaan tanah akan semakin sedikit dengan LAI yang semakin tinggi. Tingkat penurunan
radiasi per satuan pertambahan lapisan daun sebanding dengan tingkat radiasi yang datang pada
lapisan tersebut seperti ditunjukkan persamaan berikut.
− R
= kR
L
dimana -R/L adalah tingkat penurunan radiasi (R) per satuan petambahan lapisan daun (L),
dan k adalah konstanta yang mewakili sifat daun (tajuk) dalam intersepsi cahaya dan dikenal
juga dengan istilah koefisien pemadaman. Integrasi persamaan di atas akan menghasilkan
persamaan berikut.
R = R 0e − kL (9.2)
dimana R0 adalah tingkat radiasi pada lapisan atas tajuk, R tingkat radiasi yang sampai pada
suatu lapisan tertentu dalam tajuk hingga permukaan tanah (RZ) setelah melewati lapisan daun L.
Persamaan di atas sama dengan hukum Beer-Lambert yang digunakan untuk pertama kali dalam
analisis intersepsi cahaya pada tanaman oleh Monsi & Saeki (1953). Hubungan R dengan L
yang dihasilkan persamaan (9.2) menunjukkan bahwa tingkat radiasi yang sampai pada suatu
permukaan daun (R) berkurang secara tajam dengan peningkatan lapisan daun (L = LAI)
(Gambar 9.3). Penurunan ini terjadi lebih besar pada daun dengan harga k besar (k≥0.8) dari
yang kecil (k0,6) yang sering dinyatakan secara berturut-turut dengan kedudukan daun yang
mendekati horizontal dan vertikal. Sesungguhnya koefisien k, dengan harga yang berkisar
diantara 0,2-1,8 (Atwell et al., 1999), tergantung sifat tajuk yang berhubungan dengan intersepsi
dan absorbsi cahaya. Ini meliputi ukuran, posisi (sudut dan sebaran) dan sifat optis (ketebalan
dan kandungan pigmen) daun serta kepadatan (populasi) tanaman untuk suatu pertanaman.
4

Harga k semakin besar dengan semakin besar dan tebal daun dengan kandungan pigmen yang
tinggi dan kedudukan yang mendekati horizontal, dan demikian sebaliknya.
Koefisien pemadaman k dapat diperoleh dari rasio antara proyeksi luas daun pada bidang
horizontal (bayangan daun, AH) dengan luas daun (AL). Karena itu, haga k tidak hanya
ditentukan oleh sudut daun, tapi juga sudut elevasi matahari. Apabila radiasi jatuh secara tegak
lurus pada bidang horizontal, harga k = AH/AL = 1 untuk daun dengan kedudukan horizontal, dan
k1 untuk daun yang tegak (Gambar 9.4). Untuk sudut daun (00) dan sudut elevasi matahari
() tertentu, rasio AH/AL dapat mudah dihitung, dengan bantuan Gambar 9.4, seperti berikut.
AB A A
Cos = ; Sin  = B ; Cos = B
AH AH AL
Cos Cos A B A L A H
k= = = = (9.3a)
Cos Sin  A B A H A L
dan Cos  sering juga dinyatakan dengan,
sehingga 2000
G
k=
PAR (mmol m-2 s-1)
(9.3b)
Sin  1500
Sinclair & Horie (1989) menetapkan
harga G sebesar 0,5 yang didasarkan atas k=0.3
hasil penelitian (Duncan et al., 1967; 1000
Montheith & Unsworth, 1990). Harga G
tersebut berlaku untuk sebaran sudut daun 0,6
500
acak atau bulat (spherical leaf angle
0,9
distribution) yang berarti bahwa
permukaan luas daun tersebar pada suatu 0
0 2 4 6
permukaan dengan bentuk setengah bola
(Montheith & Unsworth, 1990; Goudriaan Index luas daun (LAI)
& Van Laar, 1994). Luas permukaan
Gambar 9.3 Pengaruh peningkatan luas daun (LAI)
setengah bola (2r2) dua kali dari luas terhadap tingkat radiasi (PAR) yang
proyeksinya pada bidang horizontal dengan sampai pada suatu permukaan daun
bentuk lingkaran (r2). Karena itu,
perbandingan antara luas proyeksi dari
permukaan setengah bola tersebut pada bidang horizontal dengan luas permukaan setengah bola,
yang kadang-kadang disebut proyeksi bayangan G (shadow projection), adalah 0,5 (r2/2(r2).
Perubahan proyeksi bayangan daun pada bidang horizontal dengan perubahan sudut elevasi
matahari () dapat diakomodasi dengan pembagian G = 0,5 dengan sin. Konsekuensinya
adalah bahwa koefisien pemadaman k untuk daun dengan sebaran sudut daun bentuk bola
menjadi 0,5/sin. Untuk sebaran sudut daun horizontal, vertikal, kerucut, dan heliotropik secara
berturut-turut adalah cos , 2/ sin , cos  cos L, dan 1 (Montheith & Unsworth, 1990).
Perubahan harga G untuk masing-masing sebaran sudut daun ini ditunjukkan pada Gambar 9.5.
Dengan persamaan (9.2) di atas, estimasi intersepsi radiasi dapat dilakukan dengan
persamaan berikut.
( )
R I = R 0 1 − e − kL (9.4)
dimana RI adalah tingkat radiasi yang diintersepsi. Persamaan di atas berlaku untuk daun yang
homogen secara horizontal dan tersebar dalam ruang tajuk secara acak (Monsi & Saeki, 2005).
5

Radiasi yang diintersepsi tanaman tersebut dapat kemudian diabsorbsi, dipantulkan dan
ditransmisi tergantung pada karakter fisiologi (sifat optis) daun yang berhubungan dengan
pigmen dalam daun. Khlorofil ‘a’ dan ‘b’ adalah pigment yang mengabsorbsi sebagian besar
radiasi aktif fotosintesis (PAR) yang digunakan dalam proses fotosintesis. Untuk L1, radiasi RI
terdiri dari radiasi langsung, yang lolos diantara celah-celah daun, dan yang ditransmisi melewati
daun. Salah satu kelemahan dari persamaan di atas adalah bahwa tingkat absorbsi dari radiasi
langsung dan yang ditransmisi tidak dibedakan, sedang kedua jenis radiasi tersebut berbeda
dalam efisiensi fotosintesis. Efisiensi intersepsi (RI/R0) dapat diestimasi untuk L tertentu apabila
harga k diketahui sebagaimana ditunjukkan berikut ini.
RI
FIR = = 1 − e − kL (9.5)
R0
dimana FIR (fraksi intersepsi radiasi)adalah efsiensi intersepsi radiasi.
L

AL
AL
AL

k=1 k1
AB


AH AH  
AH
Gambar 9.4 Harga k yang diperoleh dari perbandingan antara bayangan daun (A H) dengan
luas daun (AL) untuk daun horizontal dan tegak dengan radiasi yang dating
secara tegak lurus dengan bidang horizontal (kiri), dan untuk daun dan radiasi
dengan sudut tertentu (kanan)

Daun yang sudah berkembang penuh mengabsorbsi sekitar 90% cahaya yang sampai pada
permukaan daun, dan fraksi PAR yang direfleksikan dan ditransmisi secara berturut-turut sekitar
7% dan 3% (Earl and Tollenaar, 1997). Dengan demikian, tingkat absorbsi radiasi dapat
dinyatakan dengan persamaan berikut.
( )
R A = (1 −  )R 0 1 − e − kL (9.6)
dimana RA adalah tingkat radiasi yang diabsobsi, dan  (rho) tingkat refleksi radiasi. Dengan
demikian efisiensi absorbsi radiasi yang jatuh pada permukaan daun adalah
FAR =
RA
R0
(
= (1 − ) 1 − e − kL ) (9.7)

dimana FAR (Fraksi Absorbsi Radiasi) adalah efisiensi absorbsi radiasi. Tingkat refleksi
oleh tajuk lebih rendah dari daun tunggal karena radiasi yang direfleksikan oleh suatu daun dapat
diintersepsi oleh daun yang lain. Ini mengakibatkan tingkat radiasi yang diabsorbsi oleh tajuk
tanaman dapat lebih besar dan dilaporkan berkisar diantara 90-95% (Hipps et al., 1983).
Absorbsi ini dapat dilakukan oleh pigmen yang tidak terlibat dalam proses fotosintesis
yang diestimasi sekitar 4-10% dari intersepsi radiasi (Long et al., 2006; Amthor, 2010). Estimasi
6

1
lain menunjukkan bahwa tajuk yang berkembang Heliotropik
penuh diertimbangkan mengabsorbsi 93% PAR 0.8 Kerucut Horizontal
dengan 92% diantaranya digunakan untuk
fotosintesis (absorbsi pigment fotosintesis) 0.6 Bulat
(Amthor, 2010). Untuk harga  = 0,05, efisiensi

G
absorbsi radiasi (FAR) lebih tinggi pada daun 0.4
dengan kedudukan daun yang mendekati
0.2
horizontal dari yang daun tegak (Gambar 9.6). Vertikal
Ditinjau dari efisiensi absorbsi, tanaman atau 0
varietas dengan daun horizontal lebih baik dari 0 30 60 90
yang sebaliknya. Tetapi fraksi radiasi yang sudut zenith ()
melewati daun (transmisi) meningkat dengan Gambar 9.5 Perubahan harga G dengan perubahan
kedudukan daun yang semakin mendekati sudut zenith () untuk sebaran sudut
horizontal (k yang semakin besar). daun bulat (spherical), horizontal,
Konsekuensinya adalah penurunan dalam laju vertikal, kerucut, dan heliotropik
fotosintesis karena hanya daun lapisan atas yang
aktif dalam fotosintesis (laju fotosintesis tinggi),
sedang laju fotosintesis dari daun lapisan bawah akan sangat rendah sehubungan dengan radiasi
yang diterima telah mengalami pengurasan PAR. Jadi tidak hanya tingkat absorbsi radiasi yang
penting, tapi juga kualitas radiasi yang diterima daun untuk fotosintesis.

9.2.2 Model Monteith


Suatu analisis yang cukup rinci dari
1
tingkat radiasi yang diabsorbsi oleh suatu tajuk
Fraksi absorpsi radiasi

k=0,9
tanaman dilakukan oleh Monteith (1965).
Persamaan yang dikembangkan melibatkan
0,6
perubahan dari kuantitas dan kualitas cahaya
setelah melewati lapisan tajuk. Dalam analisis 0.5
tersebut, tajuk dibagi menjadi lapisan-lapisan 0,3
daun dengan luas suatu lapisan (L) sama
dengan satu LAI. Radiasi yang menimpa
suatu lapisan daun dapat sebagian dipantulkan,
diabsorbsi dan ditransmisi, dan kuantitas 0
cahaya yang dipantulkan dan ditransmisi 0 2 4 6
tergantung pada sifat daun yang dinyatakan
dengan koefisien t (tau) untuk transmisi. Index luas daun (LAI)
Sedang cahaya yang jatuh diantara celah daun Gambar 9.6 Fraksi absorbsi radiasi yang menggambarkan
dari suatu lapisan daun akan lolos ke lapisan efisiensi absorbsi radiasi untuk daun dengan
bawah, dan kuantitas cahaya ini yang kedudukan yang berbeda
dinyatakan dengan koefisien s tergantung pada
tatanan daun dalam tajuk (Gambar 9.7). Cahaya yang lolos ini kemudian akan mengalami hal
yang sama seperti sebelumnya (dipantulkan, diabsorbsi, ditransmisi, dan lolos diantara celah
daun).
7

No. Lapisan daun


1

S (1-S)t

S(1-S)t S(1-S)t
S2 2S(1-S)t (1-S)2t2

S2(1-S)t 2S2(1-S)t 2S(1-S)2t2 S(1-S)2t2


S3 3S2(1-S)t 3S(1-S)2t2 (1-S)3t3

Gambar 9.7 Fraksi radiasi yang lolos diantara celah-celah daun (s) dan yang ditransmisi
melalui lapisan daun. Sumber: diadaptasi dari Monteith (1965)

Cahaya yang lolos dari suatu lapisan dapat menimpa permukaan daun pada lapisan di
bawahnya yang sebagian kemudian ditransmisi, dan yang jatuh diantara celah daun akan terus
lolos ke lapisan lebih bawah. Jika cahaya yang datang diumpamakan sebesar 1, kuantitas cahaya
yang lolos dan ditransmisi dari lapisan 0, 1, 2 dan 3 dapat mudah dihitung dengan bantuan
Gambar 9.7 sebagaimana ditunjukkan berikut ini.

Index luas daun (LAI)


Jenis cahaya
0 1 2 3
2
Lolos (A) 1 s s s3
Transmisi (B) 0 (1-s)t 2s(1-s)t 3s2(1-s)+3s(1-s)2t2
(A+B) 1 s+(1-s)t = s2+2s(1-s)t = s3+3s2(1-s)t+3s(1-s)2t2+3s(1-s)3t3
[s+(1-s)t]1 (1-s)2t2 = [s+(1-s)t]2 = [s+(1-s)t]3

Dari uraian di atas, kuantitas cahaya yang sampai pada suatu lapisan daun di bawah suatu
lapisan daun (LAI = L) tertentu dapat dirumuskan sebagai berikut.
R = R 0 s + (1 − s )t
L
(9.8)
dimana R0 = tingkat radiasi yang sampai pada lapisan atas tajuk tanaman, R tingkat radiasi yang
sampai pada suatu lapisan tertentu, dan L adalah lapisan daun yang sama dengan index luas daun
(LAI). Hubungan antara R dengan L atau LAI yang dihasilkan persamaan (9.8) menunjukkan
pola yang hampir sama dengan yang dihasilkan persamaan (9.1) (Gambar 9.8A). Hubungan ini
dapat digambarkan secara tepat dengan persamaan (9.1) sehingga kedua persamaan adalah sama
dimana e-k = [s+(1-s)] atau k = -ln[s+(1-s)].
Pendekatan lain untuk menegaskan bahwa persamaan (9.1) sama dengan pers. (9.8)
dilakukan dengan pembagian tajuk tanaman menjadi beberapa lapisan luas daun 1/n yang
menghasilkan lapisan sebanyak nL dengan sebaran daun yang diasumsikan merata (Lieth, 1982).
Fraksi luas daun yang menerima cahaya langsung akan berubah dari (1-s) menjadi (1-s)/n, dan
8

fraksi radiasi yang berpenetrasi menjadi (1-(1-s)/n), sehingga persamaan (9.8) berubah menjadi
bentuk berikut:
nL
 1 − s  1 − s 
R = R 0 1 − + t
 n  n 
Untuk limit n mendekati tidakterhingga, suatu model yang bersifat kontinu berikut ini akan
diperoleh (Monteith, 1973).
nL
 1 − s  1 − s 
R = R 0 n lim  1 − + t
 n  n 
 − (1 − s )(1 − t)
nL
R = R 0 n lim  1 + 
 n 
R = R 0e − (1−s )(1−t )L
Karena s dan t adalah konstanta, maka persamaan di atas dapat disederhanakan dengan bentuk
berikut.
R = R 0e − kL
dimana k = (1-s)(1-t). Harga k, yang dapat juga menggambarkan tingkat cahaya yang lolos
diantara celah-celah daun, menunjukkan penurunan dengan peningkatan harga s (Gambar 9.8B).
Jadi daun yang semakin tegak (k0,) berarti juga semakin banyak cahaya yang lolos ke lapisan
bawah dari tajuk yang sama dengan harga s yang semakin tinggi. Jadi koefisien pemadaman k
tidak hanya sekedar rasio antara luas proyeksi (bayangan) daun dengan luas daun (sudut daun),
sebagaimana diuraikan sebelumnya, dan kerapatan helai daun dalam tajuk yang digambarkan
oleh parameter s. Harga koefisien k merefleksikan semua karakter fisiologi tanaman yang
mempengaruhi penetrasi cahaya dalam tajuk termasuk sifat optis daun yang mencakup
kandungan pigmen, kekasaran permukaan daun, dan kutikula (cuticule). Carter & Knapp (2001)
mendapatkan penurunan pemantulan dan transmisi radiasi (709-718 nm) dengan peningkatan
konsentrasi khlorofil dari sekitar 100 hingga 800 mmol m-2 pada lima spesies tanaman.
Pendekatan yang digunakan untuk menurunkan persamaan (9.8) di atas memungkinkan
penaksiran luas daun yang menerima radiasi langsung, yang diistilahkan dengan luas daun terang
(LT), dan luas daun menerima radiasi yang ditransmisi dan kemudian disebut luas daun gelap
(LG). Radiasi yang ditransmisi lebih dari satu kali tidak efektif untuk proses fotosintesis karena
bagian PAR radiasi tersebut sudah terkuras. Persamaan untuk menasir LT dan LG adalah
sebagai berikut:
LT = 1 + s + s2 + ... + s(L −1)
( )
LT = 1 − sL (1 − s ) (9.9)
dan

LG = (1 − 2) 1 + 2s + 3s 2 + ... + (L − 1)s(L − 2 ) 
 
LG = 1 − sL − (1 − s )Ls (L −1) (1 − s ) (9.10)
Dengan persamaan di atas, luas daun yang efektif untuk fotosintesis yaitu LE = LT + LG,
dan yang tidak efektif (LAI –LE) dapat diketahui untuk harga s tertentu. Luas daun yang tidak
efektif untuk fotosintesis (L0 = LAI – LE) meningkat lebih besar pada tanaman dengan s = 0,5
dari yang dengan s = 0,8 (Gambar 9.9). Sebagai contoh, luas daun yang tidak efektif untuk
9

fotosintesis (L0) pada LAI = 5 adalah sekitar 1,4 untuk s = 0,5, dan 0,3 untuk s = 0,8. Untuk
contoh ini, luas daun yang efektif untuk fotosintesis (LE) secara berturut-turut adalah sekitar 3,6
dan 4,7.
2000 1
s=0,1
PAR (mmol m-2 s-1)

1500 0.8

Harga k
0.6 t=0,3
1000 0,6
0.4
500
0,9 t=0,6
0.2
t=0,4
0 0
0 2 4 6 0 0.5 1
A LAI B Harga s
Gambar 9.8 Tingkat radiasi yang lolos dari tajuk tanaman dengan LAI tertentu (A), dan
hubungan k dari pers. (9.1) dengan s dari pers. (9.6) (B)

4 6
s=0,5 s=0,8
LT, LG, LE atau L0
LT, LG, LE atau L0

LE 4
LE
2 LT
LT
2
LG LG
L0 L0
0 0
0 2 4 6 0 2 4 6
LAI LAI
A B
Gambar 9.9 Luas daun terang (LT) dan gelap (LG), serta yang efektif (LE) dan tidak efektif
(L0) untuk fotosintesis sebagai fungsi dari LAI s = 0,5 (A), dan yang dengan s =
0,8 (B). LE = LT + LG, dan L0 = LAI-LE. Grafik diturunkan dari pers. (9.9)
untuk LT, dan (9.10) untuk LG

Sinclair (1991) menggunakan cara yang lebih sederhana dalam perhitungan LT dan LG
dari yang sebelumnya. Luas daun yang menerima cahaya langsung dibuat sebagai produk dari
fraksi radiasi yang diabsorbsi tajuk dan rasio bayangan daun dengan luas daun. Luas daun yang
menerima cahaya yang ditransmisi (LG) dibuat sebagai selisih antara luas daun total (LAI)
dengan yang mendapat cahaya langsung (LT) sebagaimana ditunjukkan berikut ini.
 G 
F = 1 − EXP − L 
 sin  
F =1 − EXP(− kL)
10

sin 
LT = F * = F(1 k ) (9.11)
G
LG = LAI − LT (9.12)
dimana LT adalah luas daun terang dan LG luas daun gelap atau yang menerima cahaya tidak
langsung (yang ditransmisi). Berdasarkan persamaan (9.11) dan (9.12), suatu pola peningkatan
yang mendekati asimptotis ditunjukkan LT, dan yang mendekati exponensial ditunjukkan oleh
LG dengan peningkatan LAI (Gambar 9.10). Peningkatan LT dengan peningkatan LAI menurun
dengan peningkatan harga k, dan mencapai LT = 2,4 untuk k = 0,3, dan LT = 1,2 untuk k = 0,8
dengan LAI = 5. Ini menegaskan kembali bahwa tanaman dengan daun tegak menghasikan lebih
tinggi luas daun yang mendapat cahaya langsung.

k =0,3 k =0,8
4 4
LT atau LG

LT atau LG
LG
LG
2 2

LT LT

0 0
0 2 4 6 0 2 4 6
A LAI B LAI
Gambar 9.10 Luas daun terang (LG) dan gelap (LG) sebagai fungsi dari LAI untuk tanaman
dengan k = 0,3 dan 0,8. Grafik diturunkan dari persamaan (9.11) untuk LT, dan
(9.12) untuk LG

Suatu kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa tanaman dengan
daun yang tegak dan tersebar dalam tajuk sedemikian rupa dengan fraksi cahaya yang lolos
diantara celah daun yang setinggi mungkin adalah tanaman yang ideal untuk fotosintesis.
Keadaan demikian dapat didekati dengan daun yang sekecil mungkin (mis. daun jarum seperti
pada jenis pinus). Tanaman yang mendekati ideal ditinjau dari ukuran dan posisi daun adalah
tanaman padi dengan harga k = 0,4-0,5.
Dengan daun yang lebar, tingkat naungan untuk daun yang terletak pada lapisan bawah
yang meningkat tajam tidak biasa dielakkan dengan peningkatan luas daun (LAI). Jadi
pengembangan varietas dengan daun kecil dan tegak perlu dilakukan melalui pemuliaan tanaman
konvensional atau rekayasa genetik dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman. Salah satu
contoh tanaman yang mendekati ideal dari segi dan ukuran dan posisi daun adalah tanaman padi.
Harga koefisien pemadaman pada tanaman ini bervariasi diantara 0,43-0,64 tergantung pada
varietas dan umur tanaman dengan harga rata-rata 0,53 (Boschetti, 2009).

9.3 EFISIENSI PENGGUNAAN RADIASI


Efisiensi dapat secara sederhana dibatasi dengan pengertian perbandingan antara jumlah
produk (output) dengan jumlah masukan (substrat) yang digunakan untuk menghasilkan produk
tersebut. Produk yang dipertimbangkan dalam uraian ini adalah pertumbuhan tanaman atau
produksi biomassa tanaman, dan masukan adalah energi radiasi matahari. Dengan pengetahuan
11

kuantitas energi radiasi yang tersedia untuk pertumbuhan, sebagaimana yang diuraikan di atas,
efisiensi pertumbuhan dalam penggunaan sumberdaya ini dapat dihitung. Efisiensi ini dapat
dinyatakan dalam satuan fraksi (persentase) atau satuan lain seperti biomassa per energi radiasi.
Ini didasarkan atas kenyataan bahwa istilah efisiensi digunakan untuk mempelajari kinerja sistem
yang dipertimbangkan dalam penggunaan atau minimalisasi pemborosan masukan (bahan,
energi, upaya, uang dan waktu). Jadi satuan di luar fraksi energi dalam evaluasi suatu kinerja
sistem termasuk sistem tanaman dapat digunakan tergantung pada tujuannya.
Dalam penggunaan energi radiasi matahari untuk pertumbuhan tanaman, Amthor (2010)
berpandangan bahwa rasio antara akumulasi energi biomassa tanaman (mis. panas pembakaran,
HC) dengan akumulasi masukan radiasi matahari selama masa yang dipertimbangkan adalah
efisiensi sesungguhnya (true efficiency). Salah satu alasan yang digunakan adalah bahwa
kesulitan dalam membandingkan tanaman dengan kandungan energi yang berbeda (HC) dapat
dihindari dengan penggunaan satuan rasio energi tersebut. Suatu contoh yang diberikan adalah
penggunaan energi radiasi yang lebih tinggi pada tanaman kedelai (Glycine max L.; HC = 19.1
MJ kg-1) dari pada tanaman sorghum (Sorghum bicolor L.; HC = 17.2 MJ kg-1) (Amthor et al.,
1994). Dalam analisis pertumbuhan tanaman, kedua satuan di atas dapat digunakan karena rasio
biomassa dengan energi yang digunakan (radiasi matahari) memberikan informasi tidak dapat
diberikan oleh satuan rasio energi biomassa dengan energi radiasi matahari. Sebagai gambaran,
kuantitas biomassa ekonomis yang dihasilkan oleh suatu jenis tanaman atau varietas per satuan
energi radiasi yang digunakan adalah informasi yang penting.
Analisis awal efisiensi penggunaan energi radiasi matahari dalam pertumbuhan tanaman
dilakukan sebelum pengetahuan yang memadai diperoleh tentang fotorespirasi dan perbedaan
metabolisme antara tanaman C3 dengan C4. Hasil analisis efisiensi maximum (potensial) secara
teoritis menunjukkan bahwa hanya 5,94% radiasi matahari total yang menjadi biomassa tanaman
(Loomis & Williams, 1963) (Gambar 9.11). Analisis ini didasarkan atas 4,65 mol photon/MJ
PAR yang sekarang dipertimbangkan sebesar 4,57 mol photon MJ-1 PAR (Amthor, 2010), dan 10
mol photon yang dibutuhkan untuk reduksi satu mol CO2. Ini lebih tinggi dari efisiensi aktual
yang didasarkan atas hasil pengamatan sebesar 2,2% (Warren Wilson, 1967). Efisiensi aktual
didasarkan atas efisiensi pertumbuhan (true growth yield) sebesar 0,67 yang sekarang
dipertimbangkan sebsar 0,73 (Amthor, 2010).

9.3.1 Efisiensi Relatif Penggunaan Energi


Efisiensi relatif penggunaan energi (ERPE, R) adalah efisiensi penggunaan energi radiasi
matahari dalam pertumbuhan tanaman (produksi biomassa) yang dinyatakan dalam satuan fraksi
atau persentase dari energi radiasi matahari menjadi energi biomassa tanaman. Ini tentu
dihadapkan pada suatu tambahan pekerjaan yang berhubungan dengan pengukuran energi
biomassa tanaman yang dapat menjadi suatu kesulitan karena fasilitas yang tidak tersedia.
Energi biomassa tanaman biasanya diperoleh dari panas pembakaran (heat of combustion)
dengan bomb calorimeter. Sebagai contoh, energi hexose (mis. fruktosa) berdasarkan panas
pembakaran adalah 15,564 MJ kg-1 (2,804 MJ mol-1). Dalam proses fotosintesis, fruktosa
dihasilkan dari reduksi 6 mol CO2 yang membutuhkan energi radiasi (PAR) sebesar 8-10 mol
kuanta photon per mol CO2. Energi 1 mol photon cahaya merah ( = 680 nm = 680.10-9 m)
adalah
N Ahc 6,023.1023 * 6,62606957.10−34 * 2,99792458.108
E= = = 175946,5 J
 680.10− 9
12

dimana NA (angka Avogadro) = 6,023.1023 photon/mol, h (konstanta Planck) =6,62606957.10-34Js, dan


c (kecepatan cahaya) = 2,99792458.108 m s-1. Total energi cahaya yang diperlukan adalah 8 mol
photon/mol CO2 x 6 mol CO2/mol fruktosa x 0,175947 MJ/mol photon = 8,445 MJ mol-1 (fruktosa).
Efisiensi relatif penggunaan energi (ERPE) cahaya merah yang diabsorbsi adalah 2,804 MJ mol-1/8,445
MJ mol-1*100 = 33% yang menrefleksikan tingkat efisiensi yang masih sangat rendah.

(A) Efisiensi potensil (maximal) (B) Efisiensi aktual (diamati)


100 100 Total radiasi pada permukaan bumi
Total radiasi pada permukaan bumi
55 Radiasi tidak aktif fotosintesis
55,6 Radiasi tidak aktif fotosintesis
44,4 Radiasi aktif fotosintesis (PAR) 45 Radiasi aktif fotosintesis (PAR)
3,7 Albedo tajuk 7 Albedo tajuk
40,7 Absorpsi tanaman 38 Absorpsi tanaman
4,44 Absorpsi tidak aktif 3 Absorpsi tidak aktif
35 Absorpsi pigment fotosintesis
36,26 Absorpsi pigment fotosintesis
28,34 Hilang sebagai panas (fluorescence) 31 Hilang sebagai panas (fluorescence)
7,92 Assimilasi fotosintesis 4,0 Assimilasi fotosintesis
1,98 Respirasi 1,0 Respirasi pemeliharaan
5,94 Energi biomassa tanaman 3,0 Radiasi untuk pertumbuhan
0,8 Respirasi pertumbuhan
2,2 Energi biomassa tanaman
Gambar 9.11 Analisis klasik efisiensi penggunaan radiasi matahari dalam produksi biomassa.
(A) Efisiensi potensial (maximum secara teori) dari Loomis & Williams (1963),
dan (B) Efisiensi aktual umum dari Warren Wilson (1967). Semua radiasi pada
permukaan tajuk yang sebagian terdiri dari PAR (400–700 nm) diintersepsi oleh
tanaman, dan angka dalam gambar menunjukkan fraksi (%). Sumber: diadaptasi
dari Amthor (2010)

Dengan pendekatan di atas, efisiensi pertumbuhan ditinjau dari penggunaan energi dapat
dianalisis sebagaimana yang dilakukan Yoshida (1983) dengan persamaan berikut.
W 1 R
= R
t H t
W
 R = H (9.13)
R
atau
R
W =  R (9.14)
H
dimana W = produksi biomassa selama selang waktu tertentu (g m-2), R = efisiensi relatif
energi (ERPE), H = panas pembakaran biomassa (kJ/g, MJ/kg), R = jumlah radiasi matahari
yang diterima tanaman dalam pembentukan biomassa W (J). Suatu taksiran harga H pada
tanaman padi untuk biomasa vegetatif dan biji secara berturut-turut adalah 3.750 cal/g (15,69
kJ/g atau 0,01569 MJ/kg) dan 4.000 cal/g (16,74 kJ/g) (Yoshida, 1983). Harga ERPE dari hasil
beberapa percobaan pada penelitian di JIBP (Japanese International Biological Program) berkisar
diantara 2,83% - 3,32 % dengan rata-rata 3,00 % (R = 0,03). Harga ERPE sebesar 3,7 % sudah
pernah dicapai tetapi tidak dapat diperoleh pada hasil-hasil penelitian berikutnya di JIBP.
Apabila harga R diketahui (mis. 564.104 cal m-2 hari-1atau 23,598 MJ m-2 hari-1), maka laju
pertumbuhan atau tingkat produksi biomassa per hari (W/t) dapat ditaksir dengan
menggunakan harga konstanta yang telah diketahui seperti ditunjukkan berikut ini
13

R 23,598 MJ m −2hari −1
W =  R = 0,03 −1
= 45,12 g m − 2 hari −1
H 0,01569 MJ g
Apabila harga H pada persamaan (9.13) dihilangkan, maka ERPE (R) akan mempunyai
satuan g biomassa/J yang menggambarkan jumlah biomassa yang terbentuk per satu energi (cal
atau joule) radiasi matahari. Sehingga contoh perhitungan di atas akan mempunyai harga ERPE
= 45,12/23,598 MJ m-2 hari-1 = 1,91 g/MJ. Karena radiasi yang berfungsi untuk proses
fotosintesis terbatas pada panjang gelombang antara 400-700 nm yang sering disimbolkan
dengan PAR, maka harga ERPE biasanya ditetapkan berdasarkan radiasi aktif fotosintesis
tersebut. Harga ERPE maximum adalah 0,05 mol CO2/mol photon yang sering juga disebut
sebagai hasil kuanta (quantum yield, , phi) atau efisiensi kuanta (QE), dan diperoleh dari
hubungan laju fotosintesis dengan tingkat radiasi (R) sebagaimana ditunjukkan persamaan
berikut.

P = Pmax 1 − e(−QE .R Pmax )
 (9.15)
dimana P = laju fotosintesis (mmol CO2 m-2 s-1), Pmax = laju fotosintesis maximum, R = radiasi
atau cahaya (mmol kuanta photon m-2 s-1), dan QE = efisiensi kuanta [mmol CO2 (mmol kuanta
photon)-1]. Tinjauan hasil penelitian belakangan ini menunjukkan harga koefisien  (mol CO2
mol-1 photon) secara rata-rata adalah 0,0520,003 untuk tanaman C3, 0,0570,006 untuk
tanaman C4, dan 0,0330,017 untuk tanaman CAM (crassulacean acid metabolism) (Skillman,
2008). Ini secara berturut-turut, dalam satuan mol photon/mol CO2, adalah 19,21,1, 17,51,8,
dan 30,315,6 yang menggambarkan jumlah mol photon yang dibutuhkan untuk reduksi satu
mol CO2 menjadi karbohidrat (glukosa) yang kadang-kadang lebih informatif dari satuan di atas.
Harga koefisien  tersebut tidak berbeda dengan yang diamati pada tanaman F2 kedelai
(tanaman C3) di Malang yang berkisar diantara 14,0-27,1 photon/CO2 dengan rata-rata 20,13,2
(Sitompul et al., 2015).
Amthor (2010) membuat suatu tinjauan yang cukup rinci tentang proses utama konversi
energi radiasi matahari menjadi biomassa untuk evaluasi efisiensi penggunaan energi radiasi
matahari dalam pertumbuhan tanaman. Dalam tinjauan ini, evaluasi secara khusus dilakukan
pada hubungan kuantitatif/stoikiometri (stoichiometry) masukan/luaran fotosintesis dan
fotorespirasi tanaman C3 dan C4, mobilisasi dan translokasi fotosintat, dan biosintesis komponen
biokimia utama dari biomassa tanaman. Hasil tinjauan ini, yang juga mempertimbangkan
kebutuhan energi pemeliharaan yang menjadi salah satu aspek ketidakpastian, menarik untuk
disimak sebagaimana disajikan secara ringkas berikut ini. Analisis yang dilakukan dapat dibagi
dua bagian yaitu (i) efisiensi penggunaan energi radiasi matahari dalam pembentukan sukrosa,
dan (ii) efisiensi penggunaan energi substrat pertumbuhan (sukrosa) menjadi komponen biokimia
tanaman utama melalui lintasan reaksi yang paling efisien. Produk dari kedua analisis ini dengan
fraksi PAR dari total radiasi yang sampai pada permukaan bumi (0,48) dan tingkat absorbsi PAR
oleh pigmen yang terlibat dalam fotosintesis (0,93) akan menghasilkan ERPE.
Ini perlu ditegaskan bahwa analisis efisiensi penggunaan radiasi matahari pada tingkat
tanaman didasarkan atas tanaman C3 dan C4 generik (hipotetis) dengan komposisi biokimia
biomassa yang diformulasikan berdasarkan hasil penelitian. Ragam senyawa dari komponen
penyusun biomassa tanaman juga dipertimbangkan dalam analisis panas pembakaran (Tabel 9.1).
Ini mencakup hemisellulosa (arabinose, xylose, fucose, galactose, glucuronate, methylated
glucuronate, mannose & residu rhamnose dalam hemicellulose), lignin (p-coumaryl alcohol,
coniferyl alcohol & residu sinapyl alcohol dalam lignin), asama amino (20 residu asama amino
14

dalam protein), lipid (asam capric, caprylic, lauric, linoleic, linolenic, myristic, oleic, palmitic &
stearic; dan glyceryl trioleate & glyceryl tripalmitate), dan asam organik (asam aconitic, citric,
malic, oxalic & oxaloacetic). Karena itu, hasil analisis bukan efisiensi tanaman aktual, tetapi
disebut efisiensi potensial (maximal). Langkah ini dilakukan sehubungan dengan keragaman
komposisi biokimia biomassa tanaman antara spesies, umur tanaman dan lingkungan. Ini tentu
mengakibatkan perbedaan dalam kebutuhan substrat (sukrosa, NH3 & SO4) dalam sintesis
komponen biomassa tanaman yang akhirnya berpengaruh pada efisiensi penggunaan energi.

Tabel 9.1 Fraksi C, dan panas pembakaran (HC) dari senyawa utama biomassa tanaman
HC
Komponen Fraksi (kg C kg-1) -1
MJ kg MJ mol C-1
Fruktosa 0,4000 15,60 0,4684
Glukosa 0,4000 15,57 0,4675
Sukrosa 0,4211 16,49 0,4703
Pati/Starch 0,4444 17,48 0,4725
Cellulosa 0,4444 17,35 0,4687
Hemicellulosa 0,409–0,493 13,39–20,95 0,393–0,510
Lignin 0,631–0,725 26,24–30,50 0,500–0,507
Asam amino 0,297–0,654 13,91–31,62 0,400–0,750
Lipid 0,666–0,776 33,28–39,69 0,600–0,627
Asam organik 0,267–0,414 2,70–11,41 0,122–0,332
Sumber: Amthor (2010)

Analisis ERPE radiasi matahari dalam pembentukan sukrosa didasarkan atas kebutuhan
kuanta untuk proses pembentukan sukrosa dari reduksi CO2 menjadi fruktosa 6-P melalui siklus
Calvin-Benson dalam proses fotosintesis yang dapat diringkaskan dengan reaksi berikut.
6 CO2 + 12 NADPH + 18 ATP → fructose 6-P + 12 NADP + 18 ADP + 17 Pi (9.16)
Reaksi ini menunjukkan bahwa reduksi satu satuan CO2 membutuhkan 2 NADPH + 3 ATP
yang mana, pada sisi lain, memerlukan 4 elektron (e -)/2 NADPH, dan 12 atau 14 proton (H+)/3
ATP dengan stoikiometri H+/ATP = 4 atau 14/3. Stoikiometeri yang dipertimbangkan mendekati
kenyataan untuk sementara ini adalah H+/ATP = 14/3 (Amthor, 2010; Taiz & Zeiger, 2010).
Tambahan 1/12 ATP (atau 4 H+/12 ATP dan 4,67 H+/12 ATP) per CO2 diperlukan untuk reduksi
fruktosa 6-P ke sukrosa. Transfer 4 e- dari hasil fotolisis air (2 H2O → 4 e- + 4 H+ + O2) ke
NADP melalui rangkaian ETC (electron transfer chain) memerlukan 8 photon untuk exitasi
elektron pada dua pusat reaksi fotosistem (4 photon/ PS-II & 4 photon/PS-I; 1 photon/e-/PS).
Transfer H+ dari stroma ke lumen (ruang) thylakoid terjadi saat transfer elektron dari PS-II ke
PS-I dengan bantuan komplex Cytochrome b6f dengan rasio 2H+/e-atau lebih yang menghasilkan
akumulasi 4 e- x 2 H+/e- + 4 H+ = 12 H+ dalam lumen (dengan 4 H+ berasal dari fotolisis air)
sehingga rasio photon/H+ = 8/12. Jadi 8 photon tidak cukup untuk reduksi CO2 menjadi sukrosa
yang membutuhkan 8/12*(3+1/12) ATP*4H+/ATP = 8,22 photon/CO2 (untuk H+/ATP = 4) atau
8/12*(3+1/12) ATP*14/3 H+/ATP = 9,59 photon/CO2 (untuk H+/ATP = 14/3). Ini berarti bahwa
12 mol CO2/mol sukrosa membutuhkan 12*(8,22-9,59) = 98,67-115,11 mol photon/mol sukrosa
atau 288,25-336,29 photon/kg sukrosa. Dengan asumsi 4,57 mol photon/MJ PAR dan 16.49
MJ/kg sukrosa, ERPE radiasi matahari (PAR) = 16,49/((1/4,57)*288,25 atau 336,29 = 0,26 atau
0,22 dalam pembentukan sukrosa.
15

Kebutuhan kuanta untuk reduksi bersih CO2 menjadi sukrosa tanpa respirasi dalam analisis
Amthor (2010) dirumuskan sebagai berikut.
Q R = Q R ,S + (Q R ,C + Q R ,O v O v C ) (1− 0,5v O v C ) (9.17)

dimana QR (photon/CO2) adalah kebutuhan kuanta radiasi untuk konversi fruktosa 6-P menjadi
produk akhir fotosintesis (mis. sukrosa atau pati/starch), QR,S kebutuhan kuanta untuk reduksi
fruktosa 6-P menjadi sukrosa (photon/fruktosa 6-P), QR,C kebutuhan kuanta untuk fotosintesis
fruktosa 6-P (photon/CO2), QR,O kebutuhan kuanta untuk fotorespirasi (photon/oxygenation),
vO/vC rasio oxigenasi/karboxilasi ribulose-1,5-P2 (O2/CO2), dan 0,5 adalah CO2 yang dibebaskan
per oxigenasi ribulose-1,5-P2 (CO2/O2). Rasio O/C RUBP (oxigenasi/karboxilasi ribulose-1,5-
P2) dipengaruhi oleh konsentrasi fotokompensasi CO2 dan konsentrasi CO2 dalam daun
sebagaimana ditunjukkan persamaan berikut.
v O v C = 2* Ci (9.18)
* = exp19,02 − 37,38 0,0083145(T + 273,15) (9.19)
dimana vO/vC adalah rasio O/C RUBP, * konsentrasi fotokompensasi CO2, Ci konsentrasi CO2
dalam daun , dan T adalah temperatur ( 0C). Harga Ci dipertimbangkan 0,72 dari konsentrasi
CO2 udara (sekarang 350 ppm), dan persamaan (9.19) diperoleh dari Bernacchi et al. (2001).
Sebagai contoh QR,S = (1/12) ATP*14/3 H+/ATP*(8 photon/12 H+) = 1/12*14/3*8/12 = 14/54
photon, dan QR,C = 3 ATP*14/3 H+/ATP*(8 photon/12 H+) = 3*14/3*8/12 = 28/3 photon. Untuk
fotorespirasi tanaman C3 yang membutuhkan (2 ATP +2,5 NADPH)/CO 2, kebutuhan kuanta
didasarkan atas NADPH dengan QR,0 = 2.5 NADPH*2 e-/NADPH *2 photon/e- = 10 photon. Ini
menghasilkan akumulasi 15 H+ dalam lumen (5 H+ dari fotolisis air + 10 H+ dari stroma) yang
lebih dari cukup untuk pembentukan 2 ATP. Kebutuhan kuanta, berdasarkan uraian di atas dan
persamaan (9.19), untuk vO/vC = 0.35 adalah
QR = 14/54+(28/3+10*0,35)/(1-0,5*0,35) = 15,81 photon/CO2
Dengan pendekatan di atas dalam perhitungan kebutuhan kuanta untuk sukrosa sebagai
produk fotosintesis dengan vO/vC = 0,35, Amthor (2010) menunjukkan QR = 13,60 photon/CO2
(untuk H+/ATP = 4), dan QR = 15,32 photon/CO2 (untuk H+/ATP = 14/3 4,67) pada tanaman
C3 (Table 9.2). Pada tanaman C4, dengan perhitungan yang sama dengan yang diterapkan pada
tanaman C3, tambahan kebutuhan ATP untuk siklus C4 (overcyling) yang meningkatkan QR,C
dipertimbangkan. Untuk vO/vC = 0,03 dan siklus C4 (overcycling) = 0,10, QR = 13 photon/CO2
(untuk H+/ATP = 4), dan 14.8 photon/CO2 (untuk H+/ATP = 14/3) (Table 9.2). Tanaman C4
yang dipertimbangkan adalah tipe yang melibatkan enzim NADP-malate (mis. tebu, sorghum).
Analisis mempertimbangkan siklus C4 (overcycling) yang berperanan dalam penggantian CO2
yang disalurkan ke sel BS (bundle sheath) dan akhirnya keluar dari sel tersebut. Harga vO/vC = 0
dan C4 overcyling = 0 yang ditunjukkan pada Tabel 9.2 adalah keadaan minimum yang tidak
mungkin terjadi pada kondisi alami ditunjukkan dengan. Dengan asumsi 4,57 photon/MJ (atau
1/4,57 MJ/photon) dan untuk H+/ATP = 14/3, maka 15,81 atau 15,32 photon/CO2 (tanaman C3)
dan 14.8 photon/CO2 (tanaman C4) sama secara berturut-turut dengan 3,460 MJ atau 3,352 MJ
dan 3,239 MJ/CO2. Jadi penggunaan energi radiasi matahari (PAR) per satuan sukrosa (12 x
kebutuhan CO2) adalah 41,514 MJ atau 40,228 MJ, dan 38,862 MJ per mol sukrosa. Kandungan
energi dari sukrosa adalah 16,47 MJ/kg (Tabel 9.1) atau 5,638 MJ/mol sukrosa. Jadi, ERPE
radiasi matahari (PAR) dalam pembentukan sukrosa melalui proses fotosintesis adalah
5,638/41,514 = 0,136 atau 0,140 untuk tanaman C3, dan 0,145 untuk tanaman C4.
16

Tabel 9.2 Kebutuhan kuanta minimal secara teoritis (QR), photon/CO2) untuk reduksi CO2
menjadi sukrosa dengan pertimbangan fotorespirasi, tapi tanpa respirasi
QR (photon/CO2)
Sistem vO/vC C4 (OC*) +
H /ATP = 4 H+/ATP = 14/3
C3 0,00 – 8,17 9,19
0,10 – 9,51 10,71
0,20 – 11,01 12,40
0,35 – 13,60 15,32
0,50 – 16,70 18,82
0,70 – 21,95 24,74
C4 0,00 0,00 12,17 13,86
0,03 0,00 12,62 14,37
0,03 0,05 12,82 14,61
0,03 0,10 13,02 14,85
0,03 0,20 13,43 15,32
Catatan : vO/vC = oxigenasi/kaboxilasi RUBP, dan OC = overcycling. Sumber: Amthor (2010)

Efisiensi konversi sukrosa menjadi komponen biomassa tanaman adalah perbandingan


panas pembakaran (HC) komponen biomassa dengan HC substrat (sukrosa & NH3) sesuai
dengan jumlah yang dibutuhkan untuk setiap komponen (Tabel 9.3). Sebagai contoh, efisiensi
konversi sukrosa ke sellulosa (cellulose) adalah 0,993 baik pada tanaman C3 maupun C4, sedang
HC sellulosa adalah 17,345 MJ kg-1 dan sukrosa 16,487 MJ kg-1. Ini berarti 17,345/0,993 =
17,467 MJ dari subsrat yang dibutuhkan untuk pembentukan 1 kg selluosa yang setara dengan
1,059 kg sukrosa (jika hanya sukrosa substrat yang dipertimbangkan). Tingkat efisiensi
penggunaan substrat dalam sintesis biomassa cukup tinggi dan mencapai 0,869 untuk tanaman
C3, dan 0,879 untuk tanaman C4 (Tabel 9.3). Jadi ERPE radiasi matahari (PAR) dalam
pembentukan biomassa tanaman menjadi 0,136*0,869 = 0,118 atau 0,14 * 0,869 = 0,122, dan
0,145*0,879 = 0,128 yang sama dengan 0,0566 atau 0,0585, dan 0,0612 untuk radiasi total yang
sampai pada permukaan bumi (R0). Amthor (2010) menunjukkan estimasi teoritis ERPE atas
dasar R0 dengan konsentrasi CO2 350 ppm untuk tanaman biji-bijian sebesar 0,053 (J J-1) pada
200C dan 0,041 pada 300C untuk tanaman C3 secara umum, serta 0,051 untuk tanaman C4 yang
diasumsikan tidak tergantung pada temperatur (Tabel 9.4). Dengan perkataan lain, hanya sekitar
5% dari radiasi yang diterima tanaman yang menjadi biomassa tanaman. Pada tabel tersebut,
efisiensi penggunaan energi sebagaimana ditunjukkan dengan indentitas nomor urut pada kolom
pertama adalah hasil analisis efisiensi (1) sebelum pemahaman yang cukup tentang fotorespirasi
dan perbedaan metabolisme tanaman C3 dengan C4, (2) modifikasi dengan pertimbangan
perbedaan HC fotosintat dan biomassa bebas abu, (3) atas dasar kebutuhan kuanta (QR) 8
photon/ CO2 untuk fotosintesis C3 dan C4, vO/vC = 0,5 pada tanaman C3 (0 pada tanaman C4,
vO/vC = oxigenasi/kaboxilasi RUBP), 25% fotosintat (fotosintesis kurang fotorespirasi) untuk
respirasi pertumbuhan, dan 25% untk respirasi pemeliharaan, (4) praktis ERPE maximum dari
radiasi matahari dengan pertimbangan fotorespirasi, kejenuhan cahaya dari fotosintesis pada
[CO2] = 350 ppm di atmosfir (QR = 20 photon/CO2) dan HC = 17 MJ kg-1, (5) untuk QR = 15,4
photon/CO2 (rasio empiris termasuk absorbsi tidak aktif, fotorespirasi dan C4 overcycling),
dengan hasil proses = 0,74 dan HC = 17,6 MJ kg-1, (6) pada 250C, dan estimasi untuk C4 pada
vO/vC = 0 tanpa C4 overcycling, dan (7) tanaman C4 pada 300C, dan vO/vC = 0 tanpa C4
overcycling.
17

Tabel 9.3 Fraksi komponen, panas pembakaran (HC), dan estimasi ERPE biomassa tanaman
dari sukrosa dan tanaman biji-bijian C3 dan C4 generik
Komponen Fraksi (kg kg-1) HC (MJ kg-1) ERPE (J J-1)
tanaman C3 C4 C3 C4 C3 C4
Cellulose 0,250 0,260 17,345 17,345 0,993 0,993
Hemicellulose 0,240 0,250 17,403 17,403 0,870 0,870
Lignin 0,035 0,035 27,88 27,88 0,731 0,731
Protein 0,133 0,104 24,5 24,5 0,73 0,73
Lipid 0,020 0,020 39,3 39,3 0,87 0,87
Asam organik 0,060 0,055 10,32 10,32 0,902 0,902
Pati 0,160 0,175 17,484 17,484 0,972 0,972
Sukrosa 0,022 0,023 16,487 16,487 1,0 1,0
Hexosa 0,020 0,023 15,585 15,585 0,995 0,995
Mineral 0,060 0,055 – – – –
Tanaman 1,000 1,000 17,64 17,55 0,869 0,879
Catatan : Fraksi adalah rasio komponen/biomassa total. ERPE tanaman adalah HC biomassa
total/HC total sukrosa (+NH3) yang dibutuhkan. Sumber: Amthor (2010)

Dengan 48% PAR dari total radiasi yang sampai pada permukaan bumi, dan 93% dari PAR
diabsorbsi oleh tajuk tanaman, efisiensi potensial menjadi 0,041/(0,48*0,93) = 0,092 (300C) dan
0,119 (200C) pada tanaman C3, dan 0,114 pada tanaman C4 (Tabel 9.4). Hasil pengamatan pada
tingkat lapangan menunjukkan ERPE radiasi total sebesar 0,032 untuk padi, 0,044 untuk kedelai,
dan 0,045 untuk gula bit (Beta vulgaris L.) (Loomis & Gerakis, 1975). Perbedaan ini mungkin
berhubungan sebagian dengan keadaan lingkungan dari tanaman yang tumbuh di lapangan
dengan konsentrasi CO2 yang sedikit lebih rendah. Pada konsentrasi CO2 yang tidak optimum,
reaksi O2 dengan Rubisco (ribulose 1,5-bisphosphate) dapat terjadi atau meningkat yang
mengakibatkan pengeluaran CO2 ke atmosfir melalui fotorespirasi yang diikuti dengan
peningkatan kebutuhan kuanta per molekul CO2 yang direduksi. Kemungkinan yang lain adalah
bahwa tingkat cahaya yang sangat tinggi pada sekitar tengah hari yang tidak dapat dimanfaatkan
sepenuhnya dalam proses fotosintesis. Untuk tanaman C4, efisiensi aktual di lapangan
dilaporkan sebesar 0,042 (Pennisetum typhoides L.) dan 0,046 (jagung) (Loomis & Gerakis,
1975).
18

Tabel 9.4 Estimasi teoritis ERPE radiasi matahari (J J-1)


ERPE
No. Atas dasar R0 Atas dasar absorbsi PAR
C3 C4 C3 C4
(1) 0,053 0,12
(2) 0,059 0,14
(3) 0,037–0,044 0,050–0,058 0,093–0,098 0,125–0,129
(4) 0,032 0,068
(5) 0,043 0,091
(6) 0,051 0,060 0,118 0,139
(7) 0,046 0,060 0,105 0,137
0
20 C 0,053 0,118
300C 0,041 0,051 0,092 0,114
Catatan: R0 = radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi. Intersepsi R0 secara penuh
untuk semua kasus dengan beberapa asumsi untuk fraksi PAR dari R0, absorbsi PAR
(bagian tidak aktif), respirasi/fotosintesis atau kebutuhan pertumbuhan dan
pemeliharaan. Dua baris terakhir (dengan identitas 200C & 300C) adalah hasil analisis
Amthor (2010), sedang yang lain dijelaskan dalam teks. Sumber: Amthor (2010)

9.3.1 Konsep RUE


Konsep RUE (Radiation Use Efficiency) tidak berbeda dengan konsep ERPE kecuali dalam
satuan dan kemudahan analisis. Istilah RUE, yang dipertahankan dalam tulisan ini karena sudah
dikenal secara luas disamping kesulitan mendapatkan padanannya yang tepat dan informatif,
dinyatakan dalam satuan biomassa (g)/energi (MJ) sebagaimana ditunjukan persamaan berikut.
BM = RUE * RAD (9.20a)
RUE = BM RAD (9.20b)
dimana BM adalah biomassa tanaman (g) yang dihasilkan dari suatu masa pertumbuhan tertentu,
dan RAD adalah cahaya atau radiasi matahari pada kondisi alami (MJ, mega joule). RAD dapat
dalam bentuk radiasi total atau PAR (Photosynthetically Active Radiation, dengan panjang
gelombang 400-700 nm). Persamaan di atas sering juga dinyatakan dalam bentuk laju
pertumbuhan dari suatu pertanaman (CGR, crop growth rate) seperti berikut.
(
CGR = R 0 1 − e − kL) (9.21)
dimana CGR sama dengan W/t, dan  (g MJ-1) adalah RUE.
Konsep RUE memberi tekanan pada jumlah biomassa yang dapat dihasilkan tanaman per
suatu satuan energi radiasi matahari yang tersedia. Ini, yang tidak memerlukan pembakaran
biomassa, mudah diterapkan karena data biomassa, data radiasi matahari, dan intersepsi radiasi
dapat diperoleh dengan cara yang sudah biasa dilakukan pada penelitian pertumbuhan tanaman.
Konsep RUE sudah lama digunakan dalam analisis pertumbuhan tanaman (Sinclair & Muchow,
1999) dan kadang-kadang disebut LUE (light use efficiency) (Atwell et al., 1999). Hubungan
biomassa tanaman dengan kuantitas cahaya yang tersedia untuk tanaman telah dipelajari sejak
penghujung tahun 1950-an dan awal 1960-an (De Wit, 1959; Loomis & Williams, 1963).
Monteith (1977) mendapatkan hubungan linier antara akumulasi biomassa tanaman dari
beberapa jenis tanaman (appel, barley, kentang, dan gulabit) dengan akumulasi radiasi matahari
yang diintersepsi (Gambar 9.12). Hubungan ini yang cukup luas dikenal dalam studi
pertumbuhan tanaman dapat dikatan sebagai awal dari RUE (Sinclair & Muchow, 1999).
19

Dalam analisis pertumbuhan tanaman, konsep RUE memberikan nuansa yang berbeda dari
sebelumnya dengan penekanan pada pertumbuhan sebagai fungsi dari waktu yang menghasilkan
laju pertumbuhan (W/t). Analisis lebih lanjut membuat pertumbuhan sebagai fungsi dari
waktu dan biomassa tanaman yang menghasilkan RGR (W/t*1/W), dan kemudian sebagai
fungsi dari waktu dan luas daun (L) yang membawa pada harga satuan daun (E, NAR =
(W/t*1/L). Sekarang, pertumbuhan tanaman
25
dibuat sebagai fungsi dari cahaya atau radiasi

Biomassa total (Mg ha-1)


matahari yang menghasilkan RUE seperti Gulabit
20
berikut.
W R
= RUE (9.22) 15
t t Kentang
Persamaan di atas menunjukkan produksi 10
biomassa tanaman dalam kurun waktu tertentu Barley
Appel
(W/t) ditentukan oleh kuantitas radiasi 5
matahari yang tersedia untuk pertumbuhan
dalam kurun waktu yang dipertimbangkan 0
0 0.5 1 1.5
(R/t) dan efisiensi penggunaan radiasi
Intersepsi Radiasi (GJ m-2)
matahari tersebut (RUE). Apabila RUE
dianggap konstan, hubungan linier akan Gambar 9.12 Hubungan kumulatif biomassa
terdapat antara produksi biomassa dengan dengan kumulatif intersepsi
kuantitas radiasi matahari yang digunakan radiasi matahari. Sumber:
tanaman untuk produksi biomassa tersebut Monteith (1977)
seperti yang ditunjukkan persamaan berikut.
W = RUE.R
atau
W R

W W = RUER R → W − W0 = RUE.R
0 0

W = W0 + RUE.R
dan
W = RUE.R → RUE = W R untuk W0 = 0
Persamaan di atas sama dengan persamaan (9.20) di atas (W = BM & R = RAD). Jadi
RUE adalah sudut yang terbentuk dalam hubungan W dengan R (Gambar 9.12) atau rasio
biomassa (W, g)/radiasi matari (R, MJ) baik total maupun PAR yang diintersepsi atau diabsorbsi.
Untuk mendapatkan harga RUE yang realistis, syarat pertama yang harus dipenuhi adalah
pengamatan secara cermat intersepsi cahaya (RI) atau radiasi matahari pada kondisi alami dan
biomassa tanaman (umumnya bagian di atas tanah). Kesulitan utama adalah keterbatasan waktu
untuk pengamatan cahaya di lapangan yang harus dilakukan pada posisi matahari yang tidak
banyak berbeda (mis. jam 10.00 – 14.00) untuk semua pengamatan (perlakuan dan ulangan).
Kesulitan bertambah apabila alat pengukur (light meter) sederhana dan terbatas yang dihadapkan
pada kenyataan radiasi matahari yang dapat berubah dalam jangka pendek di lapangan. Syarat
kedua adalah jumlah pengamatan RI, yang sering didekati dengan RI = R0 – RZ (R0 = radiasi
matahari pada permukaan tajuk, dan RZ = radiasi pada permukaan tanah), hendaknya cukup (mis.
20

n ≥ 4) untuk membuat hubungan RI dengan waktu yang representatif. Jumlah pengamatan yang
terbatas dapat berakhir pada simpangan estimasi RI yang tinggi sehingga estimasi RUE tidak
dapat dipercaya. Syarat ketiga adalah penetapan model yang tepat untuk hubungan R I/R0 dengan
waktu yang tergantung dari sebaran data sebagai fungsi dari waktu, dan pertimbangan sifat
biologi tanaman. Koefisien determinasi (R2) atau korelasi (r) yang tinggi tidak menjamin
estimasi RI/R0 yang baik.
Sebagai gambaran, suatu penelitian thesis mahasiswa pada tanaman kacang tanah
menunjukkan variasi antara varietas dan jarak tanam dalam pola hubungan RI relatif (RI/R0)
dengan waktu (Gambar 9.13). Analisis dengan regressi linier menghasikan koefisien determinasi
yang tinggi untuk hubungan ini. Apabila hubungan ini diteliti secara rinci, regresi linier
bukanlah pilihan yang tepat dan tidak logis secara biologi dengan pertambahan luas daun yang
perlahan pada saat awal pertumbuhan, dan luas daun yang relatif konstan pada bagian akhir
pertumbuhan tanaman pada umumnya untuk tanaman setahun. Hubungan ini kemudian
dianalisis dengan model logistik yang memberikan hasil yang cukup memuaskan baik dari segi
statistik maupun dari segi biologi (Gambar 14 & 15). Sebagai contoh, hubungan antara R I/R0
yang diamati dengan diestimasi dengan model logistik untuk V1J1 menghasilkan koefisien
determinasi yang tinggi (R2 = 0,988). Model logistik yang digunakan untuk hubungan RI/R0
dengan waktu tersebut adalah
RI/R0 = 1/(1+2000*EXP(-0.2*t))
dimana t adalah waktu (hari). Model ini kemudian dapat digunakan untuk estimasi untuk setiap
hari selama pengamatan yang dipertimbangkan. Dengan ketersediaan data R0 dari stasiun
pengamatan pada/yang dekat dengan lokasi penelitian (Gambar 9.16A), tingkat RI (dalam satuan
MJ) dapat diperoleh dari hasil perkalian R I relatif dengan R0 harian (Gambar 9.16B). Estimasi
RI harian ini, yang dijumlahkan untuk periode produksi biomassa yang dipertimbangkan,
dihubungkan dengan produksi biomassa untuk mendapatkan RUE.

y = 0.0163x - 0.3384
R² = 0.7959
0.9 0.9
y = 0.0158x - 0.2954
R² = 0.7592
RI/R0

RI/R0

0.6 0.6

J1 J1
J2 J2
0.3 0.3
J3 J3
J4 J4
J5 J5
0 0
0 20 40 60 80 0 20 40 60 80
V1 Umur tanaman (hari) V2 Umur tanaman (hari)
Gambar 9.13 Hubungan antara intersepsi relatif dari radiasi matahari total (R I/R0) dengan waktu
pada tanaman kacang tanah var. Keinci (V1) dan var. Kancil (V2). Jarak tanam
(cm): 15 x15 (J1), 20 x 20 (J2), 25 x 25 (J3), 30 x 30 (J4) & 35 x 35 (J5):
Sumber: diolah dari data thesis Agus Suryanto (unpublished)
21

1 V1J1 1 V1J2 1 V1J3


0.8 0.8 0.8

RI/R0
0.6 0.6 0.6
RI/R0

RI/R0
0.4 0.4 0.4
0.2 0.2 0.2
0 0 0
0 50 100 0 50 100 0 50 100
Umur tanaman (hari) Umur tanaman (hari) Umur tanaman (hari)
Gambar 9.14A Tingkat intersepsi relatif dari radiasi matahari total (RI/R0) sebagai fungsi dari
waktu pada tanaman kacang tanah (V1J1, V1J2 & V1J3). Keterangan lain
(lihat Gambar 9.13) Sumber: diolah dari data thesis Agus Suryanto
(unpublished)

1 1 Gambar 9.14B Tingkat RI/R0 sebagai


V1J4 V1J5
fungsi dari waktu
0.8 0.8
pada tanaman k.
RI/R0

RI/R0

0.6 0.6 tanah (V1J4 & V1J5)


0.4 0.4
0.2 0.2
0 0
0 50 100 0 50 100
Umur tanaman (hari) Umur tanaman (hari)

1 V2J1 1 V2J2 1 V2J3


0.8 0.8 0.8
RI/R0

0.6 0.6 0.6


RI/R0
RI/R0

0.4 0.4 0.4


0.2 0.2 0.2
0 0 0
0 50 100 0 50 100 0 50 100
Umur tanaman (hari) Umur tanaman (hari) Umur tanaman (hari)
Gambar 9.15A Tingkat RI/R0 sebagai fungsi dari waktu pada tanaman kacang tanah. Informasi
lain (lihat Gambar 9.13 & 9.14)

Hasil penelitian menunjukkan harga RUE yang cukup bervariasi antara jenis tanaman dan
keadaan lingkungan (Sincair & Muchow, 1999). Pada tanaman C4, RUE berkisar diantara 1,6-
1,7 g MJ-1 saat pertumbuhan vegetatif yang menurun menjadi 1,3 - 1,7 g MJ-1 saat pertumbuhan
reproduktif (Jagung), 1,2 – 1,4 g MJ-1 yang menurun dengan umur tanaman (Sorghum), dan
mendekati 2 g MJ-1 (tebu). Kisaran RUE pada tanaman C3 adalah 1,45 – 1,7 g MJ-1 (Kentang),
1,46 g MJ-1 (Gandum) dari hasil pengamatan secara terus-menerus, 1,30 g MJ-1 (Barley), 1,39 g
MJ-1 (Padi), 1,27 – 1,56 g MJ-1 (Bunga matahari), 1,02 g MJ-1 (Kedelai), dan 0,98 – 1,12 g MJ-1
(Kacang tanah). Hasil dari suatu penelitian belakangan menunjukkan RUE yang lebih tinggi
22

untuk tanaman kacang tanah yaitu secara rata-rata 2,0 g MJ-1 intersepsi PAR (Kinirya et al.,
2005). Pada tanaman jagung, tingkat RUE dengan kisaran 1,218 – 1,575 g MJ-1 intersepsi PAR
(Liu, 2012) tidak berbeda dengan yang dilaporkan sebelumnya. Hasil penelitian thesis
mahasiswa yang disebut di atas berkisar diantara 1,88-3,88 g MJ-1 (Gambar 9.17 & 9.18) yang
secara rata-rata adalah 2,77 g MJ-1. Ini jauh di atas hasil penelitian terdahulu, tetapi cukup dekat
dengan hasil penelitian belakangan ini. Harga RUE yang tinggi terakhir ini mungkin disebabkan
pengamatan intersepsi radiasi matahari sebagai konsekuensi dari keterbatasan fasilitas alat
pengamatan dan waktu pengamatan.

1 1 Gambar 9.15B Tingkat RI/R0 sebagai


V2J4 V2J5
fungsi dari waktu
0.8 0.8
pada tanaman k.
RI/R0

0.6 RI/R0 0.6 tanah. Informasi lain


0.4 0.4 (lihat Gambar 9.13 &
9.14)
0.2 0.2
0 0
0 50 100 0 50 100
Umur tanaman (hari) Umur tanaman (hari)

12 12
RI (MJ m-2 hari-1)
hari-1)

10 9
m-2

8
R0 (MJ

6 3

4
0
0 20 40 60 80 100
0 20 40 60 80 100
A Hari dari mulai 1 Juli B Hari dari mulai 1 Juli
Gambar 9.16 Tingkat radiasi pada permukaan bumi (R 0) yang diamati di stasiun Karangkates,
Malang 2011 (A), dan tingkat intersepsi harian (R I) pada suatu ulangan dari V1J1
(lihat Gambar 9.14A) selama 100 hari dari mulai 1 Juli.

Efisiensi penggunaan energi radiasi matahari dipengaruhi oleh faktor yang berpengaruh
terhadap penggunaan energi dalam reduksi CO2 menjadi karbohidrat, dan dalam sintesis
komponen biomassa tanaman. Karena itu, perbedaan RUE antara spesies tanaman dan
lingkungan sangat mungkin. Perbedaan antara spesies dapat dilihat cukup jelas antara tanaman
C3 dan C4 yang berhubungan dengan sistem fotosintesis dan komposisi kimia biomassa. RUE
meningkat dengan peningkatan laju fotosintesis mengikuti pola kurvilinier dengan tingkat
maximum RUE yang dicapai pada laju fotosintesis yang tinggi (Sinclair & Muchow, 1999).
Tingkat reduksi CO2 menjadi karbohidrat lebih tinggi per satuan energi radiasi matahari lebih
tinggi pada tanaman C4 dari pada tanaman C3 sebagai konsekuensi dari fotorespirasi disamping
23

perbedaan dalam lintasan reduksi CO2. Tetapi hubungan yang erat antara RUE dengan
fotosintesis sulit diperoleh dari hasil penelitian akibat, antara lain, satuan pengukuran yang
berbeda antara fotosintesis dengan RUE. Fotosintesis biasanya diperoleh dari hasil pengukuran
individu daun (CO2 m-2 s-1), sementara RUE diperoleh dari satuan per tanaman atau satuan luas
tanah dalam jangka waktu tertentu [mis. g tan. -1 xhari-1/(MJ tan.-1 xhari-1)]. Kandungan protein
yang berbeda antara jenis tanaman adalah salah satu faktor yang mengakibakan perbedaan dalam
RUE. Tanaman leguminosa seperti kedelai dan kacang tanah dengan kandungan protein yang
tinggi mempunyai RUE yang lebih rendah dari tanaman lain dengan kandungan protein yang
lebih rendah sebagai konsekuensi dari kebutuhan energi yang tinggi dalam sintesis protein.
800 800 800
V1J1 V1J2 V1J3

Biomassa (g/tan.)
Biomassa (g/tan.)
Biomassa (g/tan.)

600 600 600

400 400 400

200 200 200


y = 3.655x + 4.495 y = 3.878x + 74.581 y = 3.483x + 57.225
R² = 0.852 R² = 0.964 R² = 0.955
0 0 0
0 200 400 0 200 400 0 200 400
RI kumulatif (MJ) RI kumulatif (MJ) RI kumulatif (MJ)
Gambar 9.17A. Biomassa tanaman sebagai fungsi dari intersepsi radiasi (R I) kumulatif pada
tanaman kacang tanah var. Kelinci (V1) dengan jarak tanam (cm) 15 x 15
(J1), 20 x 20 (J2), dan 25 x 25 (J3)

800
V1J4
800 Gambar 9.17B. Biomassa tanaman
y = 2.093x + 0.336
sebagai fungsi RI
Biomassa (g/tan.)

Biomassa (g/tan.)

R² = 0.904
600 600
kumulatif pada
tanaman k. tanah
400 400
var. Kelinci (V1)
200 200 dengan jarak tanam
y = 2.371x + 10.478 (cm) 30 x 30 (J4),
R² = 0.958 V1J5
0 0 dan 35 x 35 (J5)
0 200 400 0 200 400
RI kumulatif (MJ) RI kumulatif (MJ)

Pengaruh faktor lingkungan pada RUE seperti cahaya, CO 2, unsur hara (mis. nitrogen) dan
air dapat terjadi melalui proses fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat hingga tingkat tertentu
dengan peningkatan konsentrasi CO2 tergantung pada tingkat irradiasi, kemudian relatif konstan
dengan peningkatan konsentrasi CO2 lebih lanjut (Johkan et al., 2010). Hubungan linier yang
erat antara laju fotosintesis pada kejenuhan cahaya dengan kandungan nitrogen (N) daun telah
luas dikenal dan berbeda antara spesies termasuk jenis tanaman yang tumbuh pada cahaya
rendah seperti Alocasia macrorrhiza (Seemann et al., 1987; Evans, 1989; Sinclair and Horie,
1989). Peningkatan fotosintesis dengan peningkatan penyediaan nitrogen juga terjadi dengan
keberadaan cadmium hingga 2 mM (Pankovicâ et al., 2000). Ini kemudian membawa konsep
efisiensi penggunaan nitrogen fotosintesis (PNUE, photosynthetic nitrogen use efficiency), yang
merupakan rasio CO2 fotosintesis/N daun atau sudut yang dibentuk antara hubungan CO 2
fotosintesis dengan kandungan N daun, yang menunjukkan perbedaan antara spesies tanaman
(Taub & Lerdau, 2000).
24

800 800 800


V2J1 V2J2 V2J3
600

Biomassa (g/tan.)
600 600

Biomassa (g/tan.)
Biomassa (g/tan.)

400 400 400

200 200 200


y = 2.2598x + 109.45 y = 3.241x + 77.795 y = 2.1335x + 63.971
R² = 0.876 R² = 0.94 R² = 0.9542
0 0 0
0 200 400 0 200 400 0 200 400
RI kumulatif (MJ) RI kumulatif (MJ) RI kumulatif (MJ)
Gambar 9.18A. Biomassa tanaman sebagai fungsi dari kumulatif RI pada tanaman k. tanah var.
Kancil (V2) dengan jarak tanam yang ditunjukkan pada Gambar 9.13A.

800 800 Gambar 9.18B. Biomassa tanaman


V2J4 y = 1.8765x + 33.922
R² = 0.8726 sebagai fungsi dari
600 600
Biomassa (g/tan.)
Biomassa (g/tan.)

kumulatif RI pada
tanaman k. tanah
400 400
var. Kancil (V2)
200 200 dengan jarak tanam
y = 2.7181x + 30.715 yang ditunjukkan
R² = 0.9329 V2J5
0 0 pada Gambar
0 200 400 0 200 400 9.13B.
RI kumulatif (MJ) RI kumulatif (MJ)

Perbedaan antara jenis tanaman dalam hubungan linier antara laju fotosintesis dengan
kandungan nitrogen daun, yang dinyatakan per satuan berat atau luas daun, juga terdapat antara
tanaman C4 tipe NAD-ME dan NADP-ME (Taub & Lerdau, 2000). Hubungan yang erat juga
dijumpai antara laju fotosintesis dengan kandungan enzim RuBP carboxylase per satuan luas
daun, dan antara RuBPase (Ribulosa 1,5-bisphosphate carboxylase) dengan kandungan nitrogen
daun pada tanaman kacang polong (Phaseolus vulgaris L.) dan Alocasia macrorrhiza (shade
plant) (Seemann et al., 1987). Keeratan hubungan antara RuBPase dengn kandungan nitrogen
daun (Gambar 9.19) dikaitkan dengan kelimpahan protein RuBPase sebagai konsekuesi dari
afinitasnya yang rendah terhadap CO2. Taub & Lerdau (2000) menunjukkan peningkatan
kandungan nitrogen daun yang proporsional dengan peningkatan konsentrasi nitrogen (NH 4NO3)
dalam larutan media tumbuh. Efisiensi penggunaan nitrogen dalam fotosintesis, rasio
fotosintesis/N daun, menunjukkan perbedaan antara spesies tanaman yang dapat dilihat dari
sudut hubungan fotosintesis dengan kandungan nitrogen daun. Evans (1989) menjelaskan bahwa
hubungan yang erat antara laju fotosintesis dengan kandungan nitrogen daun berhubungan
dengan kandungn protein dari senyawa dalam siklus Calvin-Benson dan membran thylakoid
yang merupakan sebagian besar nitrogen daun.
25

Nitrogen dalam thylakoid dipertimbangkan proporsional dengan kandungan khlorofil (50


mol N thylakoid mol-1 khlorofil). Proporsi total nitrogen daun dalam thylakoid tidak berubah
dengan peningkatan nitrogen per satuan luas daun yang, pada sisi lain, mengakibatkan
peningkatan dalam proporsi nitrogen dalam bentuk protein dapat larut. Partisi nitrogen ke
khlotofil dan thylakoid meningkat pada tanaman dari banyak spesies yang tumbuh di bawah
cahaya rendah, sedang kapasitas transport
elektron per satuan khorofil menurun. Apabila 50

RuBPase (mmol N m-2)


Triticum
fotosintesis dan kandungan nitrogen daun 40
dinyatakan per satuan luas daun, fotosintesis per Oryza
satuan kandungan nitrogen daun menunjukkan 30
variasi yang tinggi antara spesies. Ini Spinacia
diinterprestasi sebagai indikasi dari perbedaan 20
Chenopodium
dalam strategi partisi nitrogen, transpot elektron
10 Alocasia
per satuan khlorofil, dan aktivitas spesifik
RuBPase. Phaseolus
0
0 50 100 150 200
Total N daun (mmol m-2)

Gambar 9.19 Kandungan nitrogen RuBPase


(RuBP carboxylase) sebagai
fungsi dari nitrogen daun.
Triticum (Evans 1983, 1986),
Oryza (Makino et al. 1984),
Spinacia (Terashima & Evans
1988) pada garis yang sama
dengan Chenopodium album
(Sage et al. 1987), Phaseolus
dan Alocasia (Seemann et al.
1987). Sumber: diadaptasi
dari Evans (1989).

Anda mungkin juga menyukai