Anda di halaman 1dari 13

4.

Persiapan dan Perancangan Menu


a. Penanganan Susu Segar
Susu segar yang telah diperah ditampung segera disaring dengan kain
saring atau dengan menggunakan fine metal screening (Gambar 3.), dan susu
dimasukkan ke milk can yang berkapasitas 30 hingga 50 liter (Gambar 4.).

Susu segera didinginkan hingga suhu 4°C, sambil menunggu dikirim ke


stasiun penampung susu, atau ke Milk Treatment Plant atau ke industri
pengolahan. Susu yang baru diperah (baru keluar dari ambing) menunjukkan
suhu sekitar 37°C. Susu yang berasal dari sapi yang sehat secara praktis bebas
dari bakteria, namun demikian harus segera dihindari dari kontaminasi lebih
lanjut. Pendinginan susu dengan segera pada suhu sekitar 4°C (chilling)
merupakan suatu cara untuk menghambat aktivitas dan perkembangbiakan
mikroba yang terdapat dalam susu, tetapi jika ternyata terjadi peningkatan suhu
selama penyimpanan, maka perkembangan mikroba aktif kembali.
Susu segar dari peternak dari peternak atau suatu perusahaan peternakan
diransportasi ke penampung atau ke Industri Pengolahan Susu dengan
menggunakan bus-bus susu (milk cans) dengan kapasitas antara 40 hingga 50
liter atau dengan menggunakan mobil tangki dengan kapasitas angkut sekitar
5000 galon (18925 liter). Tangki pendingin susu harus terbuat dari bahan dasar
stainless steel yang terinsulasi dengan baik untuk mencegah peningkatan suhu
selama transportasi, karena umumnya mobil tangki tersebut tidak dilengkapi
dengan mesin pendingin.
Bila bus-bus susu dari peternak-peternak kecil di sekitar Milk Treatment
Plant akan dijemput oleh mobil khusus, maka pastikan bahwa bus-bus susu terisi
penuh, tertutup rapat dan dihindari terkena panas matahari. Jadwal kedatangan
mobil penjemput harus teratur setiap hari dan tepat waktu, demikian pula setiap
bus-bus susu telah dilengkapi kode khusus dari setiap peternak.
Pendinginan Susu
Pendinginan semprot atau perendaman (immersion coolers) merupakan
suatu cara yang baik bila susu dari peternak disimpan dalam milk can atau bus-
bus susu. Dengan cara pendinginan semprot, maka air dingin disemprotkan
secara merata di dinding bagian luar milk can, agar susu dapat dipertahankan
tetap rendah. Sedangkan immersion coolers merupakan suatu alat berbentu spiral
(coil) yang dicelupkan di dalam can susu, dan air dingin bersikulasi dalam coil
untuk mempertahankan suhu tetap rendah.
Penggunaan mesin pendingin dapat dilakukan bila susu ditempatkan dalam
tangki pendingin yang khusus (cooling unit) yang dilengkapi oleh pengaduk atau
sistem sanitasi yang spesifik untuk mencapai suatu standar higienis tertentu
(Gambar 6). Pada suatu peternakan sapi perah yang besar, maka susu segar yang
baru diperah dalam jumlah besar harus segera didinginkan dari suhu 37°C
menjadi 4°C, maka pendinginan dalam tangki besar (bulk tanks) sudah tidak
memadai lagi, dan dalam hal ini dilakukan dengan sistem heat exchangers. Pada
prinsipnya mempertahankan suhu susu selama penyimpanan tetap 4°C
harus dilakukan, hingga susu tersebut siap untuk diolah lebih lanjut
menjadi berbagai produk susu yang dikehendaki (Gambar 6.).

(Rachmawan, O. 2001. Modul Program Keahlian


Teknologi Hasil Pertanian. Depdiknas, Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan: Jakarta)

b. Mutu Susu
Standar mutu merupakan rincian persyaratan produk yang mencakup
kriteria 1) inderawi, antara lain: bau, rasa, kenampakan, warna; 2) fisikawi, yaitu
bentuk, ukuran, kotoran; 3) kimiawi, antara lain: pH, kadar nutrisi atau senyawa
kimia; dan 4) mikrobiawi, antara lain: jumlah kapang/jamur, yeast, bakteri yang
ditetapkan dengan tujuan sebagai acuan untuk menjaga keamanan dan
konsistensi mutu dari waktu ke waktu (Rahardjo, 1998).
Bahan yang digunakan dalam pengkajian standar mutu susu adalah SNI
susu, khususnya susu cair. Adapun SNI yang dikaji antara lain: SNI susu segar
(SNI 01-3141-1998) (Anonymous, 1998); SNI susu pasteurisasi (SNI 01-3951-
1995) (Anonymous, 1998); SNI susu UHT (SNI 01-3950-1998) (Anonymous,
1998); dan SNI susu evaporasi (SNI 01-2780-1992) (Anonymous, 1998).
Faktor yang mempengaruhi mutu susu sehingga tidak memenuhi standar,
disebabkan adanya beberapa penyimpangan, misalnya: 1) penambahan susu
dengan air, air beras; 2) kondisi susu misalnya susu kotor, berbau busuk atau
berbau obat-obatan.
Menurut Anonymous (1998), milk codex menetapkan kadar lemak dan
kadar protein susu masing-masing 2,8% dan 3,5%. Mengingat kondisi
peternakan terutama pakan ternak di Indonesia yang masih seadanya, sehingga
susu yang dihasilkan sangat sulit memenuhi standar SNI yang lebih tinggi
dibandingkan dengan standar CODEX susu segar. Dengan demikian standar
parameter fisikokimia yang ditetapkan pada SNI susu segar perlu ditinjau untuk
disesuaikan atau diharmonisasi.
Persyaratan minimal kandungan mikroba pada susu segar ditetapkan minimal
106 Pada SNI susu (UHT, pasteurisasi, dan evaporasi) perlu dilakukan
penyesuaian dan penetapan namun pada SNI susu pasteurisasi, UHT, dan
evaporasi belum mencantumkan standar cemaran Salmonella, Escherichia coli,
Streptococcus group B, dan Staphylococcus aureus.
c. Penyimpanan dan Pemasakan
Susu yang baru diperah (baru keluar dari ambing) menunjukkan suhu
sekitar 37°C. Susu yang berasal dari sapi yang sehat secara praktis bebas dari
bakteria, namun demikian harus segera dihindari dari kontaminasi lebih lanjut.
Pendinginan susu dengan segera pada suhu sekitar 4°C (chilling) merupakan
suatu cara untuk menghambat aktivitas dan perkembangbiakan mikroba yang
terdapat dalam susu, tetapi jika ternyata terjadi peningkatan suhu selama
penyimpanan, maka perkembangan mikroba aktif kembali.
d. Perencanaan Menu
Perencanaan menu yang akan dibuat yaitu pembuatan es krim. Hal
pertama yang harus dilakukan dalam pembuatan es krim yaitu mempersiapkan
bahan. Dalam pembuatan es krim dibutuhkan bahan utama yaitu susu cair.
Penggunaan susu dalam proses pembuatan es krim bertujuan untuk memberikan
bentuk atau body pada es krim, menambah citarasa, melembutkan tekstur es
krim, memperlambat pencairan, dan mempertahankan mutu selama proses
penyimpanan karena menahan pengkristalan adonan es krim (Chan, 2008). Gula
yang digunakan untuk membuat es krim berbentuk halus agar mudah larut saat
proses pencampuran. Gula berfungsi untuk menentukan tekstur es krim
sekaligus sebagai bahan pemanis (Chan, 2008). Stabilizer atau bahan penstabil
adalah koloid hidrofilik yang dapat menurunkan konsentrasi air bebas dengan
prinsip penyerapan sehingga mengurangi rekristalisasi es, memperkecil ukuran
es, dan meningkatkan kehalusan tekstur (Campbell, 1975). Selain itu dalam
pembuatan es krim juga dibutuhkan emulsifier. Fungsi penambahan emulsifier
dalam pembuatan es krim antara lain untuk memperbaiki pencampuran lemak
dan air, mengembangkan adonan dalam proses pengadukan, memperbaiki
tekstur es krim, dan memperlambat proses pencairan es krim (Chan, 2008).
Flavour atau bahan pemberi citarasa untuk es krim biasanya menggunakan sari
buah atau jus buah segar, perasa yang dibuat dari buah asli, dan selai yang
mengandung bahan alami. Bahan ini berfungsi untuk menambah citarasa suatu
bahan makanan (Chan, 2008).
Setelah menyiapkan bahan, langkah selanjutnya yaitu penimbangan bahan
agar produk es krim yang dihasilkan sesuai dengan kriteria kualitas es krim yang
diharapkan.
Setelah ditimbang bahan baku dicampur menjadi satu di dalam satu tangki
pencampuran/mixing tank. Seluruh bahan baku ini dipanaskan dan dicampur
dalam tangki pencampuran menjadi suatu campuran yang homogen,yang
kemudian di pasteurisasi dan dihomogenesasi. Jadi proses pencampuran ini juga
berfungsi untuk melakukan pre-heating sebelum mix dipasteurisasi.
Mix yang sudah mencapai suhu 600,selama 15 menit dipasteurisasikan
pada suhu 80-850 selama 15 detik ( holding ). Proses pasteurisasi dilakukan
dengan menggunakan PHE. Pasteurisasi ditujukan untuk membunuh bakteri
patogen (bakteri yang merugikan ) yang mungkin terdapat pada mix. Setelah
pasteurisasi dilanjutkan pada proses homogenisasi.
Homogenisasi adalah proses pemecahan globula lemak menjadi bentuk
yang lebih kecil sehingga dihasilkan produk yang homogen. Homogenisasi
dilakukan dengan mengalirkan mix melalui celah yang sangat kecil dengan
tekanan (pressure) yang sangat besar. Setelah melewati celah tersebut partikel-
partikel lemak dan air dari mix akan tampak homogen. Semakin tinggi kadar
lemak, semakin rendah tekanan yang diperlukan.Untuk produk water ice, proses
homogenisasi dialakuakan tanpa pemberian tekanan (hanya dilewatkan) karena
kandungan lemaknya tidak ada.
Proses pendinginan dilakukan pada temperature 4-60°C dengan tujuan
“heat shock” untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme.Proses
pendinginan dilakukan dengan mengalirkan mix dalam PHE yang dilalui air
pendingin (chiler) bersuhu 3-40°C sebagai media pendingin.suhu mix setelah
pendinginan (sebelum masuk tahap aging) diharapkan sekitar 4-60C tapi suhu
pendinginan actual yang terjadi bisa 9-100°C dan tidak pernah menyebabkan
masalah.Prose pasteurisasi,homogenisasi,dan pendinginan dilakukan selam 1jam
10 menit. Mix yang sudah mengalami PHC dimasukan kedalam tangki aging
untuk mengalami proses aging.
Di dalam tangki aging dipertahankan suhu 4-60°C.Proses aging dilakukan
dengan cara mendiamkan mix aging selama 4-12 jam dengan tujuan
mengoptimalkan kerja penstabil (ada waktu yang cukup bagi penstabil untuk
mengikat air bebas) dan mempermudah pembekuan.
Setelah proses aging, mix dialirkan ke continuous freezer (CF) untuk
dibekukan. Pada saat yang sama dialirkan udara kedalam mix yang terdapat
dalam silinder continuous freezer terjadi proses pembekuan sebagian air dalam
mix (40-45%)sehingga didapatkan soft ice cream dengan temperature -4 sampai
-60°C.Jumlah udara yang ditambahkan pada saat pembekuan disebut overrun.
Soft ice yang dihasilkan pada saat pembekuan tidak tahan terhadap kelumeran/
melting selama pengemasan bila tidak dikeraskan terlebih dahulu. Proses
hardening bertujuan untuk membekukan es krim pada suhu -35°C sampai -40°C
selama 30-45 menit.
Rata-rata ukuran kristal es agak meningkat selama hardening pada -30°C
dan agak meningkat kembali selama 7 minggu awal penyimpanan pada -20°C,
tapi kemudin ternyata menjadi stabil. Setelah pengerasan,, eskrim normalnya
disimpan pada temperatur -17°C dan kemudian stabil tanpa perubahan-
perubahan lebih lanjut dalam struktur untuk beberapa bulan. Untuk beberapa
produk dilakukan pengerasan langsung dengan menggunakan cold brine pada
temperatur -35°C selama ± 5 menit sehingga es tidak lumer saat pengemasan
dan ditransportasikan ke cold storage.
Es krim yang sudah keras siap dikemas. Sebagian besar produk es krim di
industri dikemas sampai dengan kemasan sekunder . Kemasan primer adlh
etiket/ bungkus plastik, cup, atau cone sedangkan kemasan sekunder adalah
kotak kertas karton/ kardus namun pada beberapa produk kemasan sekunder
berupa heat-shrink plastic/ plastik string.
Es krim yang sudah dikeraskan dan dikemas segera disimpan ruang
pembeku (freezing room) yang bersuhu -25°C kemudian siap dipasarkan setelah
disimpan selama kurang lebih 24 jam.

5. Kandungan Gizi
Susu merupakan makanan alami yang hampir sempurna. Sebagian zat gizi
esensial ada dalam susu, misalnya protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan tiamin
(vitamin B1). Susu merupakan sumber kalsium paling baik, karena disamping kadar
kalsium yang tinggi, laktosa di dalam susu membantu absorbsi susu di dalam
saluran cerna (Almatsier, 2002).
Kandungan air di dalam susu tinggi sekali yaitu sekitar 87,5%. Meskipun
kandungan gulanyajuga cukup tiggi yaitu 5%, tetapi rasanya tidak manis. Daya
kemanisannya hanya seperlima kemanisa gula pasir (sukrosa). Kandungan laktosa
bersama dengan garam bertanggung jawab terhadap rasa susu yang spesifik
(Winarno, 1993).
Menrut Winarno (1993), susu merupakan sumber protein dengan mutu sangat
tinggi. Kadar protein susu sapi sekitar 3,5%. Protein dalam susu umumnya dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu kasein dan protein whey. Kasein merupakan
komponen protein terbesar dalam susu dan sisanya berupa protein whey. Kadar
kasein pada protein susu mencapai 80%, sedangkan protein whey sebesar 20%.
Kasein penting dikonsumsi karena mengandung komposisi asam amino yang
dibutuhkan tubuh. Susu merupakan bahan makanan penting karena mengandung
kasein yang merupakan protein berkualitas dan mudah dicerna oleh saluran
pencernaan.
Karbohidrat utama yang terdapat dalam susu adalah laktosa. Laktosa adalah
disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Enzim laktase bertugas
memecah laktosa menjadi gula-gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Pada
usia bayi tubuh kita menghasilkan laktase dalam jumlah cukup sehingga susu dapat
dicerna dengan baik. Namun seiring bertambahnya usia, keberadaan enzim laktase
semakin menurun sehingga sebagian dari kita akan menderita diare bila
mengonsumsi susu (Khomsan, 2004).

6. Teknologi Pengolahan
a. UHT
Pada proses pengolahan susu UHT dikenal dua tipe pemanasan, yaitu:
(1)tipe pemanasan langsung (direct heating) dan (2) tipe pemanasan tidak
langsung. Pada tipe pemanasan langsung terjadi pencampuran antara susudan
uap panas, baik dalam bentuk injeksi uap panas pada susu ataupun injeksi susu
ke dalam uap panas. Pada tipe pemanasan tidak langsung tidak terjadi kontak
antara uap panas dengan susu, biasanya banyak digunakan pada berbagai jenis
“Plate Heat Exchange” (PHE) (Legowo, 2005). Menurut Hadiwiyoto (1983),
alat yang digunakan untuk proses UHT misalnya otoklaf (apabila kapasitasnya
kecil) dan retort (apabila kapasitasnya besar).
Proses pemanasan UHT biasanya dilakukan dengan pemanasan
temperatur 270°F (132°C) selama tidak kurang dari satu detik (Soeparno, 1992).
Menurut Legowo (2005), beberapa tahap proses pengolahan susu UHT yang
sering diterapkan di industri pengolahan susu antara lain meliputi: pencampuran
(mixing), termisasi, pasteurisasi, homogenisasi, sterilisasi, regenerasi, dan
pengisian (filling).
1. Penerimaan Bahan Baku
Penerimaan bahan baku merupakan titik kendali kritis (CCP),
karena akan mempengaruhi keamanan produk akhir. Pada penerimaan
bahan baku untuk susu segar terdapat tiga titik kendali kritis. Bahaya
yang mungkin terjadi adalah penyimpangan terhadap spesifikasi bahan
baku. Dalam hal ini bahaya fisik dapat diabaikan karena disamping masih
ada proses selanjutnya untuk mengurangi atau menghilangkan bahaya,
dilakukan juga pengawasan terhadap mutu bahan baku yang datang oleh
Departemen Logistik dan Departemen QC. Penyimpangan yang terjadi yang
dapat membahayakan kesehatan manusia adalah adanya bahaya kimia yaitu
residu pestisida dan residu antibiotic serta bahaya mikrobiologi yaitu adanya
cemaran mikroba. Untuk mencegah bahaya tersebut maka dilakukan
pengawasan terhadap bahan baku. Pengawasan bahan baku yang dilakukan
adalah pengujianterhadap bahan baku. Pengawasan bahan baku yang
dilakukan adalah pengujian visual, mikrobiologi, kimia dan penetapan
spesifikasi bahan baku dengan benar yaitu dilakukan pengontrolan terhadap
pemasok (supplier).
2. Tahap “mixing”
Tahap “mixing” merupakan tahap awal dari proses pembuatan susu
UHT. Pada tahap ini dilakukan pencampuran susu dengan bahan penunjang
seperti gula, bahan penstabil (stabilizer), bahan pemberi cita rasa (flavor) dan
pewarna (Legowo, 2005).
3. Termisasi
Setelah tahap “mixing”, proses pembuatan susu UHT dilanjutkan dengan
tahap termisasi atau pemanasan awal. Tahap termisasi merupakan tahap
dimana susu dipanaskan pada suhu rendah sebelum di pasteurisasi. Pada
tahap ini susu mulai dipanaskan hingga suhu sekitar 65°C dalam waktu
beberapa detik (Legowo, 2005).
4. Pasteurisasi
Tahap pasteurisasi pada proses pembuatan susu UHT adalah dengan
jalan memanaskan susu pada suhu sekitar 80 – 90°C selama beberapa detik
(Legowo, 2005). Tujuan dari pasteurisasi adalah untuk membebaskan susu
dari mikrobia patogen sehingga susu aman untuk dikonsumsi. Pasteurisasi
juga dimaksudkan untuk menurunkan jumlah total mikrobia khususnya yang
merugikan sehingga dapat memperpanjang daya simpan produk susu
tersebut (Widodo, 2003).
5. Homogenisasi
Setelah pasteurisasi susu selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah
homogenisasi. Proses homogenisasi susu dilakukan pada tekanan sekitar
2900 psi (Legowo, 2005). Proses homogenisasi bertujuan untuk
menyeragamkan besarnya globula – globula lemak susu (Hadiwiyoto, 1983).
6. Sterilisasi
Tujuan utama sterilisasi adalah membunuh seluruh bakteri baik pathogen
maupun non pathogen dan menurunkan jumlah spora bakteri agar susu dapat
disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa pendinginan (Widodo, 2003).
Pada tahap ini susu homogen yang dihasilkan setelah homogenisasi
kemudian diteruskan ke PHE (“Plate Heat Exchange”) dan dipanaskan pada
suhu 135 – 140°C selama 3 – 5 detik. Proses sterilisasi merupakan
pemanasan utama (main heating) pada pembuatan susu UHT (Legowo,
2005). Sterilisasi UHT menyebabkan kehilangan sejumlah vitamin C, asam
folat, vitamin B12 dan kira – kira 20% tiamin serta menyebabkan
denaturasi protein – protein serum sampai 70%, terutama hemoglobin.
Denaturasi protein – protein yang mudah larut menyebabkan susu berwarna
lebih putih (Soeparno, 1992).
7. Regenerasi
Setelah susu dipanaskan melalui proses sterilisasi, kemudian susu segera
didinginkan melalui tahap regenerasi. Pada tahap ini suhu susu diturunkan
hingga suhu 28°C ( Legowo, 2005).
8. Pengisian (aseptic filling )
Tahap terakhir dari proses pembuatan susu UHT adalah susu steril yang
dihasilkan segera dikemas melalui tahap “filling” kedalam wadah yang
disediakan dan telah disterilkan (Legowo, 2005). Wadah utama yang
digunakan harus melindungi produk dari kontaminasi, memantapkan
kandungan air dan lemaknya, mencegah bau dan benturan, memudahkan
transportasi atau pengangkutan dan lain – lain (Winarno, 1980).
b. Susu Bubuk
Menurut Judkins (1996), tahap-tahap proses pembuatan susu bubuk adalah
perlakuan pendahuluan, pemanasan pendahuluan dan pengeringan. Perlakuan
pendahuluan antara lain penyaringan atau klarifikasi, separasi dan standardisasi.
Pemanasan pendahuluan adalah menguapkan sebagian air yang terkandung oleh
susu, sampai mencapai kadar kurang lebih 45-50% menggunakan evaporator.
Menurut Suharto (1991), pengeringan pada dasarnya adalah suatu proses
pemindahan atau pengeluaran kandungan air bahan pangan hingga mencapai
kandungan tertentu agar kecepatan kerusakan bahan pangan dapat diperlambat.
Menurut Suyitno et al. (1989), pengeringan merupakan usaha yang dilakukan
untuk mengurangi air yang ada dalam bahan pangan sampai kadar air seimbang
dengan kelembaban relatif sekitarnya. Proses pengurangan air atau pengeringan
pada susu dapat dilakukan dengan berbagai alat baik dengan spray dryer dan
drum atau roller dryer (suhu tinggi) maupun freeze dryer (suhu rendah).
c. Susu Fermentasi
Yoghurt merupakan salah satu produk susu fermentasi dengan rasa
asam dan manis. Di beberapa negara yoghurt dikenal dengan nama yang
berbeda-beda, misalnya Jugurt (Turki), Zabady (Mesir, Sudan), Dahee (India),
Cieddu (Italia), dan Filmjolk (Skandinavia). Negara dengan konsumsi yoghurt
tinggi antara lain Belanda, Swiss, Perancis, Finlandia, Denmark, Jerman,
Austria, dan Jepang. Di Indonesia, yoghurt mulai banyak dipasarkan di
supermarket dalam bentuk minuman encer hingga kental yang dikemas di
dalam botol plastik. Pada umumnya untuk menambah daya tarik dan
kesehatan, ke dalam yoghurt ditambahkan flavor buah-buahan.
Yoghurt kini makin populer di kalangan masyarakat. Bukan saja karena
cita rasanya yang spesifik, tetapi yoghurt dikenal memiliki peranan penting bagi
kesehatan tubuh. Yoghurt cukup aman dikonsumsi bagi orang yang diare bila
minum susu karena tidak mampu mencerna laktosa atau yang disebut
penderita lactose intolerance. Yoghurt juga mampu menurunkan kolesterol
darah, menjaga kesehatan lambung dan mencegah kanker saluran
pencernaan. Berbagai peranan tersebut terutama karena adanya bakteri yang
digunakan dalam proses fermentasi yoghurt.
Yoghurt mengandung bakteri hidup sebagai probiotik, yaitu mikroba dari
makanan yang menguntungkan bagi mikroflora di dalam saluran
pencernaan. Sejauh ini jenis probiotik yang paling umum adalah bakteri asam
laktat dari golongan Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus themophilus, dan
Lactobacillus casei. Di dalam yoghurt biiasanya mengandung jutaan hingga
milyaran sel bakteri-bakteri ini setiap mililiternya.
Keberadaan bakteri yang banyak di dalam yoghurt memang berkaitan
dengan proses pembuatannya. Pada prinsipnya, pembuatan yoghurt adalah
upaya menumbuhkembangkan bakteri pada susu. Mula-mula susu segar di
pasteurisasi atau dipanaskan pada suhu 72-80 derajat Celsius selama
beberapa menit, kemudian didinginkan hingga suhu 43 derajat Celsius.
Selanjutnya, ditambahkan starter sebanyak 2-5 persen dan di inkubasi pada
suhu yang sama selama 6-12 jam. Yang dimaksud starter adalah kultur salah
satu atau campuran bakteri tersebut di atas yang ditumbuhkan ke dalam susu.
Setelah inkubasi, jadilah yoghurt yang ditandai dengan susu menjadi kental dan
beraroma asam.
d. Keju
Pembuatan keju menggunakan kedua macam enzim penggumpalan susu,
yaitu renin sapi dan renin M. pusillus. Proses pembuatan keju sebagai berikiu:
susu dipasteurisasi pada suhu 72-73°C selama 15 menit, didinginkan sampai
37°C dan diberi starter L. bulgaricus dan S. lactis (2:1) sebanyak 5% (v/v),
dibiarkan selama 5 jam kemudian ditambahkan larutan CaCl2 25% sebanyak
0,1% (v/v) dan renin sapi maupun renin mikroba ditambahkan sebanyak 2,5%
(v/v) dengan aktivitas koagulasi 100 U/ml, diaduk perlahan-lahan pada
pemanasan 40 C beberapa menit kemudian dibiarkan sehingga susu membentuk
koagulum (curd). Koagulum yang terbentuk dipotong kecil-kecil dan ditiriskan
guna memisahkan whey dari koagulum selanjutnya dipres pada tekanan yang
bertahap mulai dari 2 kg cm-2 sampai 8 kg cm-2 selama 20 menit. Koagulum
dipanaskan pada suhu 40°C selam 2 jam , ditiriskan selama 2 jam, selanjutnya
dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan dalam almari pendingin serta
siap digunakan lebih lanjut.
Keju olahan dibuat dengan komposisi campuran: 50% keju muda, 30%
keju gouda umur 3 bulan dan 10% keju gouda yang berumur 7 bulan dan
dicampur dengan bahan pengemulsi trinatrium sitrat sebanyak 3% (b/b) atau
dinatrium hidro fosfat sebanyak 3% (b/b), garam dapur 2.5% (b/b), air sebanyak
5% (v/b) untuk penggunaan bahan pengemulsi trinatrium sitrat 3% (v/b) untuk
bahan pengemulsi dinatrium hidro fosfat, bahan pemberi citarasa sebanyak
0.50% (b/b) dan pewarna -karoten sebanyak 0.001% (b/b). Campuran
dihomogenisasi pada kecepatan 10.000-15.000 rpm selama 10-15 menit. Keju
yang dihasilkan dicetak dan dikemas dengan alumunium foil.

Daftar pustaka
Rachmawan, O. 2001. Modul Program Keahlian
Teknologi Hasil Pertanian. Depdiknas, Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan: Jakarta
Miskiyah. 2011. Kajian Standar Nasional Indonesia Susu Cair di Indonesia.
Bogor
Saputro, E. Proses Pembuatan Susu Bubuk di
http://bbppbatu.bppsdmp.pertanian.go.id/proses-pembuatan-susu-bubuk/
(diakses 19 Februari 2019)
Utami, I. 2009. Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu Mengenai Susu Dan
Faktor Lainnya Dengan Riwayat Konsumsi Susu Selama Masa Usia Sekolah
Dasar Pada Siswa Kelas 1 SMP Negeri 102 Dan SMPI PB Sudirman Jakarta
Timur Tahun 2009. Skripsi. Program Studi Gizi Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Jakarta
Novita Dewi. 2007. Kajian Pembuatan Keju Olahan. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak Vol. 2 (1): 10-14
Fasokhani, N. 2017. Sifat fisikokimia, aktivitas antioksidan dan sifat
organoleptik es krim dengan penambahan ekstrak kulit buah naga super merah
(Hylocereus costaricensis). Thesis. Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro. Semarang

Anda mungkin juga menyukai