Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Ruptur Perineum

1. Pengertian

Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak


dibawah dasar panggul. Batas–batasnya adalah:

a. Superior: Dasar panggul yang terdiri dari Musculus Levator dan Musculus
Coccygeus.
b. Lateral: tulang dan ligament yang membentuk pintu bawah pinggul (exitus
pelvis):yakni dari depan kebelakang angulus subpubius, ramus ischiopubicus,
tuber ischiadicum, ligamentum Sacrotuberosum, os coccygis.
c. Inferior: kulitdan fascia (Oxorn, 2010).

Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus,


panjangnya rata- rata 4 cm (Winknjosatro,2007). Perineum merupakan daerah
tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Perineum meregang pada saat
persalinan kadang perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan
mencegah robekan (Sumara,dkk,2002). Ruptur perineum adalah robeknya
perineum pada saat jalan lahir. Berbeda dengan episiotomy, robekan ini
bersifatnya traumatik karena perineum tidak kuat menahan regangan pada saat
janin lewat(Siswosudarmo, Ova Emilia, 2008).
Ruptur adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya
jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada
saat persalinan. Bentuk ruptur biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang
robek sulit dilakukan penjahitan (Sukrisno, Adi 2010).
Menurut Oxorn (2010), robekan perineum adalah robekan obstetrik yang
terjadi pada daerah perineum akibat ketidakmampuan otot dan jaringan lunak
pelvik untuk mengakomodasi lahirnya fetus.
Persalinan sering kali menyebabkan perlukaan jalan lahir. Luka yang
terjadi biasanya ringan tetapi seringkali juga terjadi luka yang luas dan
berbahaya, untuk itu setelah persalinan harus dilakukan pemeriksaaan vulva dan
perineum (Sumarah, 2009).
Robekan perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan
tidak jarang pada persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin
dengan cepat (Soepardiman dalam Nurasiah, 2012).

2. Anatomi Perineum

Perineum merupakan bagian permukaan pintu atas panggulterletak


antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia superfisialis perinci
dan terdiiri dari otot- otot koksigis dan levator anus yang tediri dari 3 otot penting
yaitu muskulus puborekatalis, muskulus pubokoksigis, muskulus iliokoksigis.
Susunan otottersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis, diantaranya
lewat uratra, vagina dan rektum. Perineum berbatasan sebagai berikut: a)
Ligamentum arkuata dibagian depan tengah; b) Arkus iskiopublik dan tuber iskii
dibagian lateral lateral depan; c) Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral
belakang; d) Tugas koksigis dibagian belakang tengah.
Daerah perineum terdiri dari 2bagian:a) Regional disebelah belakang,
disini terdapat muskulus fingter ani eksterna yang melingkari anus; b) Regio
urogenetalis, disini terdapat muskulus bulboka verous, muskulus transversusu
perinealis superfisialis dan muskulus iskiokavernosus.

3. Klasifikasi Ruptur Perineum

a) Robekan derajat pertama


Robekan derajat pertama melitupi mukosa vagina, fourchetten dan kulit
perineum tepat dibawahnya (Oxorn,2010).
Robekan perineum yang melebihi derajat satu di jahit. Hal ini dapat
dilakukan sebelum plasaenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta
harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai
menunggu palasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara litotomi
dilakukan pembersihan luka dengan cairan anti septik dan luas robekan
ditentukan dengan seksama(Sumarah,2009).
b) Robekan derajat kedua
Laserasi derajat dua merupakan luka robekan yang paling dalam.Luka ini
terutama mengenai garis tengah dan melebar sampai corpus perineum.
Acapkali musculus perineus transverses turut terobek dan robekan dapat
turun tapi tidak mencapai spinter recti. Biasanya robekan meluas keatas
disepanjang mukosa vaginadan jaringan submukosa. Keadaan ini
menimbulkanluka laserasi yang berbentuk segitiga ganda dengan dasar
pada fourchette, salah satu apexpada vagina dan apex lainnya didekat
rectum (Oxorn,2010).
Pada robekan perineumderajat dua, setelah diberi anastesi local otot-otot
difragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah jahitan dan kemudian luka
pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikut sertakan jaringan-
jaringan dibawahnya (Sumarah,2009).
c) Robekan derajat ketiga
Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum, musculus
transverses perineus dan spinter recti. Pada robekan partialis derajat ketiga
yang robek hanyalah spinter recti; pada robekan yang total, spinter recti
terpotong dan laserasi meluas hingga dinding anterior rectum dengan jarak
yang bervariasi. Sebagaian penulis lebih senang menyebutkan keadaan ini
sebagai robekan derajat keempat (Oxorn,2010).
Menjahit robekan perineum derajat tiga harus dilakukan dengan teliti,
mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal
ditutup, dan muskulus sfingter ani eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya
dilakukan penutupan robekan seperti pada robekan perineum derajat kedua.
Untuk mendapatkan hasil yang baik pada robekan perineum total perlu
diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna (Sumarah,2009).
d) Robekan derajat keempat
Robekan yang terjadi dari mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna, dinding rectum anterior
(Sumarah, 2009).
Semua robekan derajat ketiga dan keempat harus diperbaiki diruang
bedah dengan anastesi regional atau umum secara adekuat untuk mencapai
relaksasi sfingter. Ada argument yang baik bahwa robekan derajat ketiga dan
keempat, khususnya jika rumit, hanya boleh diperbaiki oleh profesional
berpengalaman seperti ahli bedah kolorektum, dan harus ditindak-lanjuti
hingga 12 bulan setelah kelahiran. Beberapa unit maternitas memiliki akses
ke perawatan spesialis kolorektal yang memiliki bagian penting untuk
berperan (Boyle, 2009).

4. Etiologi Ruptur Perineum

Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:


a)Kepalajaninterlalu cepat; b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya;
c) Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut; d)Pada
persalianan dengan distosia bahu (Prawiharjo, 2011); e) Presentasi defleksi
(dahi,muka); f) Primipara; g) Letak sungsang; h) Pada obstetri dan embriotomi:
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, dan embriotomi(Mochtar,2005).
Robekan perineum berkaitan dengan kelahiran primipara, kala dua
persalinan yang lama, arcus pubis yang sempit, posisi kepala yang kurang fleksi
dan oksipital posterior, presipitasi persalinan,bayi besar (lebih dari 4000 g),
distosia bahu, kelahiran pervaginam dengan bantuan misalnya forcep tetapi lebih
sedikit dengan ventiouse (David,2008).

5. Faktor Resiko Terjadinya Ruptur Perineum

Ruptur perineum disebabkan oleh faktor yang mencakup paritas, jarak


kelahiran, berat badan lahir, dan riwayat persalinan yang mencakup ekstraksi
cuman, ekstraksi vakum dan episiotomi.
a) Paritas
Persalinan adalah anak yang dilahirkan seorang ibu. Jumlah anak yang
dilahirkan berpengaruh terhadap kesehatan ibu. Menurut Notoadmojo,
dikatakan bahwa terdapat kecendrungan kesehatan ibu yang berparitas
rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi. Paritas dapat dibedakan
menjadi primipara, multipara dan grandemultipara (Prawirohardjo,2009).
a. Primipara adalah seorang wanitayang melahirkan bayi hidup untuk
pertama kalinya.
b. Multipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi viable beberapa
kali (sampai 5 kali).
c. Grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali
ataulebih, hidup ataupun mati (Mochtar, 2012).

Robekan perineum terjadi hampir semua persalinan pertama dan tidak


jarangjuga pada persalinan berikutnya (Soepardiman,2009). Pada ibu
dengan paritas satu atau ibu primipara memiliki resiko lebih besar untuk
mengalamirobekan perineum daripada ibu dengan paritas lebih dari satu. Hal
ini dikarenakan karena jalan lahir yang pernah dilalui oleh kepala bayi
sehingga otot – otat perineum belum meregang.
b) Jarak Kalahiran
Jarak kelahiran adalah rentang waktu antara kelahiran anak sekarang
dengan kelahiran anak sebelumnya. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun
tergolong resiko tinggi karena dapat menimbulkan komplikasi pada
persalinan. Jarak kelahiran 2-3 tahun merupakan jarak kelahiran yang lebih
aman bagi ibu dan janin. Begitu juga dengan keadaan jalan lahir yang
mungkin pada persalinan terdahulu mengalami robekan perineumderajat tiga
dan empat, sehingga proses pemulihanbelum sempurna dan robekan
perineum dapat terjadi (Depkes dalam Rosdiana, 2013).
Menurut pendapat ambarwati jarak kehamilan sebaiknya lebih dari
2tahun. Jarak kahamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu punya kembali
kondisi sebelumnya (Ambarawati dalam Rifida, 2012).
c) Partus Presipitatus
Partus presipitatus adalah persalinan yang terlalu cepat yakni kurang dari
3 jam. Sehingga sering petugas belum siap untuk menolong persalinan dan
ibu mengejan kuat dan tidak terkotrol, kepala janin terjadi defleksi terlalu
cepat. Keadaan ini memperbesar kemungkinan terjadinya ruptur perineum
(Mochtar,1998).
Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala
dan bahu dilahirkan.Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan
terlalu cepat dan tidak terkendali. Partus presipitatus dapat menyebabkan
terjadinya ruptur perineum bahkan robekan serviks yang dapat
mengakibatkan perdarahan pascapersalinan (Saifuddin,2008).
d) Partus Lama
Partus lama adalah bila persalinan berlangsung lebih dari 24 jam pada
primigravida dan 18 jam bagi multigravida (Oxorm,2010). Parus lama dapat
menimbulkan bahaya baik bagi ibu maupun janin, beratnya cidera makin
meningkat dengan semakin lamanya proses persalinan seperti meningkatnya
insiden atonia uteri, laserasi, dan perdarahan lainnya yang merupakan
penyebab utama kematian ibu (Oxorm,1996).
e) Berat Badan Bayi
Menurut Winkjosastro berat badan lahir pada janin yang berat badannya
melebihi 4000 gram akan menimbulkan kesukaran persalinan, apabila
dijumpapada kepala yang besar atau kepala yang lebih keras dapat
menyebabkan ruptur perineum (Kutipan Gea, 2013).
Menurut Sylviati(2008), barat badan lahir dapat diklasifikasikan menjadi:
 Bayi besar adalah bayi dengan berat lebih dari 4000 gram
 Bayi berat lahir cukup yaitu bayi dengan lahir lebih dari 2500 – 4000
gram.
 Bayi berat lahir dengan adalah bayi dengan berat lahir dibawah2500
gram.Berat badan janin dapat mengakibatkan terjadinya ruptur perineum
yang pada berat badan janin diatas 3500 gram, karena resiko trauma
partus melalui vagina seperti distosia bahu dan kerusakan jaringan lunak
pada ibu. Perkiraan berat janin tergantung pada pemeriksaan klinik atau
ultrasonografi dokter atau bidan. Pada masa kehamilan, hendaknya
terlebih dahulu mengukur tafsiran berat badan janin (Chalik,2009).

6. Tanda Gejala Robekan Jalan lahir

Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak
didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta, kemungkinan
telah terjadi perlukaan jalan lahir (Taufan Nungroho,2012).
Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah perdarahan,
darah segar yang mengalir setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik,
dan plasenta normal. Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien
dalam keadaan menggigil (Mochtar, 2005).

7. Ciri Khas Robekan Jalan Lahir

a) Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.


b) Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus menerus
setelah massase atau pemberian uterotonika langsung mengeras tapi
perdarahan tidak berkurang. Dalam hal apapun, robekan jalan lahir
harus
c) dapat diminimalkan karena tak jarang perdarahan terjadi karena robekan dan
ini menimbulkan akibat ynag fatal seperti terjadinya syok (Rukiyah,2012).
d) Bila perdarahan berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak
didapatkan adanya retensi plasenta maupun sisa plasenta, kemungkinan
telah terjadi perlukaan jalan lahir (Taufan 2012).

8. Pencegahan Terjadinya ruptur Perineum

Laserasi spontan pada vagina atauperineum dapat terjadi saatbayi


dilahirkan, terutama saat kelahiran kepala dan bahu. Kejadian laserasi akan
meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Janin
bekerjasama dengan ibu selama persalinan dan gunakan manufer tangan yang
tepat untuk mengendalikan kelahiran bayi serta membantu mencegah terjadinya
laserasi. Kerjasama ini dibutuhkan terutama saat kepala bayi dengan diameter 5-
6 cm telah membuka vulva (crowning). Kelahiran kepala yang terkendali dan
perlahan memberikan waktu pada jaringan vagina dan perineum untuk
melakukan penyesuaian dan akan mengurangi kemungkinan terjadinya robekan.
Saat kepala mendorong vulva dengan diameter 5-6 cm bimbing ibu untuk
meneran dan berhenti untuk beristirahat atau bernapas dengan cepat.

9. Penanganan Ruptur Perineum

Menurut Nugroho (2012) ada beberapa langka untuk menangani ruptur


perineum.
a) Sebelum merepair luka episiotomy laserasi, jalan lahir harus
diekpose/ditampilkan dengan jelas, bila diperlukan dapat menggunakan
bantuan speculum sims.
b) Identifikasi apakah terdapat laserasi serviks, jika harus direpair terlebih
dahulu.
c) Masukkan tampon atau kassa kepuncak vagina untuk menahan perdarahan
dari dalam uterus untuk sementara sehingga luka episiotomi tampak jelas.
d) Masukkan jari ke II dan III dalam vagina dan regangkan untuk dinding vagina
untuk mengekpose batas atas (ujung) luka.
e) Jahitan dimulai 1 cm prosimal puncak luka, luka dinding vagina dijahit kearah
distal hingga batas commissura posterior.
f) Rekontruksi diapgrama urogenital (otot perineum) dengan cromic catgut 2-0.
g) Jahitan diteruskan dengan penjahitan perineum.

Menurut oxorn (2010) adabeberapa langkah menangani ruptur perineum

1. Robekan derajat pertama


Robekan ini kecil dan diperbaiki sesederhana mungkin. Tujuannya adalah
merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan hemostatis.
Pada rata-rata kasus beberapa jahitan terputus lewat mukosa vagina,
fourchette dan kulit perineum sudah memadai. Jika perdarahannya banyak
dapat digunakan jahitan angka-8, jahitan karena jahitan ini kurang
menimbulkan tegangan dan lebih menyenagkan bagi pasiennya.
2. Robekan derajat kedua lapis demi lapis: a) Jahitan terputus, menerus
ataupun jahitan simpul digunakan untuk merapatkan tepi mukosa vagina dan
submukosanya; b) Otot-otot yang dalam corpus perineum dijahit menjadi
satu dengan terputus; c) Jahitan subcutis bersambung atau jahitan terputus,
yang disimpulkan secara longgar menyatukan kedua tepi kulit.
3. Robekan derajat ketiga yang total diperbaiki lapis demi lapis:
a. Dinding anterior rectum diperbaiki dengan jahitan memakai chromic
catgut halus 000 atau 0000 yang menyatu dengan jarum. Mulai pada
apex, jahitan terputus dilakukan pada submukosa sehingga tunica
serosa,musculusdan submukosa rectum tertutup rapat.
b. Garis perbaiki ulang dengan merapatkanfascia perirectal dan fascia
septum rectovaginalis. Digunakan jahitan menurus atau jahitan terputus.
c. Pinggir robekan spincter recti (yang telah mengerut) diidentifikasi dijepit
dengan forceps allis dan dirapatkan dengan jahitan terputus atau jahitan
berbentuk angka- 8 sebanyak dua buah.
d. Mukosa vagina kemudian diperbaiki seperti pada episotomi garis tengah,
dengan jahitan menerus atauterputus.
e. Musculusperineus dijahit menjadi satu dengan jahitan terputus.

f. Kedua tepi kulit dijahit menjadi satu dengan jahitan subculus menerus
atau jahitan terputus yang disimpulkan secara longgar.

Perbaikan pada robekan partial. Perbaikanpada robekan partial derajat


ketiga serupa denganperbaikan pada robekan total, kecuali dinding rectum
masih utuh dan perbaikan dimulai dengan menerapkan kembali kedua ujung
spchinter recti terobek (Oxorn,2010).

10. Mempersiapkan Penjahitan

a) Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di tepi


tempat tidur meja.
b) Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu.
c) Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehinnga perineum padat
dilihat jelas.
d) Gunakan teknik aseptik pada saatmemeriksa robekan atau episiotomi,
memberikan anastesi lokal dan menjahit luka.
e) Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir. f.Pakai
sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau yang steril.
f) Dengan menggunakan aseptik, persiapkan peralatan dan bahan – bahan
disinfeksi tingkat tinggi untuk penjahitan.
g) Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah
dilihat dan panjahitan tanpa kesulitan.
h) Gunakan kain/kasa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka vulva,
vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau bekuan darah
yang ada sambil menilai dalam luasnya luka.
i) Periksa vagina, servik dan perineum secara lengkap, pastikan bahwa
laserasi/ sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau lebih jauh
untuk memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat.
Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan hati –hati dan
angkat jari tersebut perlahan –lahan untuk mengidentifikasi sfinter ani. Raba
tonus atau ketegangan sfinger.Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi
derajat tiga atau empat dan harus segera dirujuk. Ibu juga dirujuk jika
mengalami laserasi serviks.
j) Ganti sarung tangan sengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril
yang baru setelah melakukan pemeriksaaan rektum.
k) Berikan anastesi lokal.
l) Siapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat, tidak pipih) dan
benang.
m) Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat lentur, kuat,
tahan lama dan paling sedikit menimbulkan reaksi jaringan.Tempatkan jarum
pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit dan jepit jarum tersebut
(APN, 2012).

11. Pengobatan Robekan Jalan Lahir

Pengobatan yang dapat dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah


dengan memberikan uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak boleh
diberikan sebelum bayi lahir. Manfaat dari pemberian obat ini adalah untuk
mengurangi terjadinya perdarahan pada kala III dan mempercepat lahirnya
plasenta.
Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan berguna untuk
mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi dan
mempercepat penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya bersamaan
dengan perawatan vulva. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a)Mencegah
kontaminasi dengan rectum; b) Menangani dengan lembut jaringan luka; c)
Menbersihkan darah yang menjadi sumber infeksi dan bau (Saifuddin,2001).

12. Komplikasi
Resiko komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum tidak segera
diatasi, yaitu:
a) Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam
waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penataksanaan yang
cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai
kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi
asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan
menilai tonus otot (Depkes,2006).
b) Fistula
Fistula dapat terjadi tanda diketahui penyebabnya karena perlukaan pada
vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka,
maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan
kandung kencing atau rektum yang lama antara janin dan panggul,sehingga
terjadi iskemia (Depkes,2006)
c) Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena
adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai
dengan rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa
iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan
varikositasvulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri.
Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan
banyak darah yang hilang. Dalamwaktu yang singkat, adanya
pembengkakan biru yang tegang pada salah satu sisi introitus di daerah
ruptur perineum (Martius, 1997).
d) Infeksi
Infeksi pada masanifas adalahperadangan di sekitar alat genitalia pada kala
nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke
dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkat
suhu tubuh melebihi 38℃, tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap wanita
yang mengalami pireksia nifas harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan
inspeksi pada traktus genetalis untuk mencari laserasi, robekan atau luka
episiotomi (Liwellyin,2001).

Robekan jalan lahir selalu meyebabkan perdarahan yang berasal dari


perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptur uteri). Penanganan yang
dapat dilakukan dalamhal ini adalah dengan melakukan evaluasi terhadap
sumber dan jumlah perdarahan. Jenis robekan perineum adalah mulai dari
tingkatan ringan sampai dengan robekan yang terjadi pada seluruh perineum
yaitu mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat. Ruptur perineum
dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta penyebab terjadinya.
Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum, maka
tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan.

A. Persalinan

1. Pengertian

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin + yang


dapat hidup ke dunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain
(Mochtar,2012).

Tanda – tanda inpartu: a) Rasa nyeri oleh adanya his yang datang lebih
kuat, sering dan teratur; b) Keluar lendir bercampur darah (show) yanglebih
banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks; c) Kadang – kadang,
ketuban pecah dengan sendirinya; d) Pada pemeriksaaan dalam,serviks
mendatar dan telah ada pembukaan
Faktor – faktor yang berperan dalam persalinan adalah:
a) Kekuatan mendorong janin keluar (power)
b) Faktor janin (passenger).
c) Faktor jalan lahir (passage)
d) Psikologi ibu
e) Penolong persalinan

Pada waktu partus akan terjadi perubahan-perubahan pada uterus, serviks,


vagina dan dasar panggul (Mochtar, 2012).
Tahap pertama persalinan adalah ketika serviks terbuka penuh untuk
membiarkan kepala bayi lewat, sebelum terbuka serviks tebal, agak keras
menjadi tipis dan lembut dengan perlahan ditarik oleh kontraksi otot-otot uterus.
Jika kemajuan persalinan berjalan lambat perubahan posisi dan pergerakan
seringkali membantu mempercepat proses persalinan dan mengurangi rasa nyeri
(Manuaba, 1998).
Kala satu persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan
pembukaan serviks hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm). kala dua
persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi. Kala tiga dan kala empat persalinan disebut juga
kala uri atau kala pengeluaran plasenta. Kala tiga dan kala empat persalinan
merupakan kelanjutan dari kala satu (kala pembukaan) serta kala dua (kala
pengeluaran bayi).

2. Fase-fase Dalam Kala Satu Persalinan


Kala satu persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang
teratus dan meningkat (frekuansi dan kekuatannya) hingga serviks
membuklengkap (10 cm). Kala satu persalinan terdiri atas dua fase yaitu fase
laten dan fase aktif.
Fase laten pada kalasatu persalinan:a)Dimulai sejak awal kontraksi yang
menyebabkan penipisan danpembukaan serviks secara bertahap; b)
Berlangsung hingga serviks membuka kurang dari 4 cm; c) Pada umumnya, fase
laten berlangsung hampir atau hingga 8 jam.
Fase aktif pada kala satu persalinan: a)Frekuensi dan lama kontraksi
uterus akan meningkat secara bertahap (kontraksi dianggap adekuat/ memadai
jika terjadi tiga kali atau lebih dalam waktu 10 menit,dan berlangsung selama 40
detik atau lebih); b) Dari pembukaan 4 cm hingga pembukaan lengkap atau 10
cm, akan terjadi dengan kecepatan rata-rata 1 cm per jam(nulipara atau
primigravida) atau lebih dari 1 cm hingga 2 cm (multipara); c) Terjadinya
penurunan bagian terbawah janin (APN,2011).

3. Kala Dua Persalinan

Kala dua persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10
cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kala dua juga disebutsebagai kala
pengeluaran bayi.
Gejala dan tanda kala dua persalinan: a) Ibu merasa ingin meneran
bersamaan dengan terjadinya kontraksi; b) Ibu merasakan adanya peningkatan
tekanan pada rectumdan/ atau vaginanya; c) Perineum menonjol; d) Vulva-
vagina dan sfingter ani membuka; e) Meningkatnya pengeluaran lendir
bercampur darah (APN,2012).
Pada saat hisdatang kepala janin mulai kelihatan, vulva membuka dan perineum
meregang. Dengan his dan mengedan yang terpimpin, akan lahir kepala, diikuti
oleh seluruh badan janin (Mochtar,2012).
DAFTAR PUSTAKA

Boyle, Maurin. (2009). Pemulihan Luka. Jakarta : EGC.

Departemen Kesehatan. 2006. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Depkes


RI.

Enggar P, Y. (2010). Hubungan berat badan lahir dengan kejadian ruptur


perineum pada persalinan normal di RB Harapan Bunda di Surakarta
2011.

Ilu, David. (2008). Manual Persalinan. Jakarta : EGC.

JNP-KR. (2007). Asuhan Persalinan Normal. Jakarta

JNR-KR. (2011). Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusui Dini. Jakarta.

Mochtar, Rustam. (2005). Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta : EGC

Mochtar, Rustam. (2012). Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta : EGC

Nugroho, Taufan. (2012). Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Oxorn, Harry. (2010). Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi


Persalinan. Yogyakarta : Yayasan Essensial Medica.

Prawiharjo, Sarwono. (2009.) Ilmu Bedah Kebidanan, Jakarta : PTBina


Pustaka.

Rosdiana. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ruptur perineum


pada ibu bersalin normal di puskesmas pelayanan obstetri neonatal
emergency dasar (Poned)darul imarah aceh besar.
Sumber http://simtakp.stmikubudiyah.ac.id/docti/ROSDIANA-skripsi.
pdf.diakses : 20 Oktober 2016.

Rukiyah, yeyen & Lia Yulianti. (2010). Asuhan Kebidanan IV : CV. Trans Info
Media.

Saifuddin. 2008. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta. : Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Sumarah. (2009). Perawatan Ibu Bersalin Asuhan Kebidanan Pada Ibu


Bersalin. Yogyakarta fitramaya.

Suprida. (2012). Hubungan berat badan janin dan paritas dengan kejadian ruptur
perineum pada persalinan normal di BPS husniyati ZR
Palembang. Sumber http://poltekkespalembang.ac.id/userfiles/hubungan
berat badan janin dan paritas dengan kejadian rutur perineum pada
persalinan normal.pdf. Diakses 20 Oktober 2016.

Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarowono Prawirohardjo

Anda mungkin juga menyukai