Sejarah
Negeri Tiongkok menjadi tempat lahirnya teh. Di sanalah pohon teh Tiongkok (Camellia
sinensis) ditemukan dan berasal, tepatnya di provinsi Yunnan, bagian barat
daya Tiongkok. Iklim Yunnan yang tropis dan subtropis, yaitu hangat dan lembap
menjadi tempat yang sangat cocok bagi tanaman teh. Yunnan memiliki banyak hutan
purba, bahkan ada tanaman teh liar yang berumur 2,700 tahun dan selebihnya tanaman
teh yang ditanam yang mencapai usia 800 tahun juga ditemukan di tempat ini.
Sebuah legenda, salah satu bentuk dokumentasi yang paling tua, menceritakan bahwa
Shennong yang menjadi cikal bakal pertanian dan ramuan obat-obatan, juga yang
menjadi penemu teh. Dikatakan dalam bukunya bahwa dia secara langsung mencoba
banyak ramuan herbal dan menggunakan teh sebagai obat pemunah bila ia terkena
racun dari ramuan yang dicoba. Hidupnya berakhir karena ia meminum ramuan yang
beracun dan tidak sempat meminum teh pemunah racun menyebabkan organ dalam
tubuhnya meradang.
Teh China pada awalnya memang digunakan untuk bahan obat-obatan (abad ke-8 SM).
Orang-orang Tiongkok pada waktu itu mengunyah teh (770 SM–476 SM) mereka
menikmati rasa yang menyenangkan dari sari daun teh. Teh juga sering kali dipadukan
dengan ragam jenis makanan dan racikan sup.
Pada zaman pemerintahan Dinasti Han (221 SM – 8 M), teh mulai diolah dengan
pemrosesan yang terbilang sederhana (dibentuk membulat, dikeringkan dan disimpan)
dan dijadikan sebagai minuman dengan cara diseduh dan dikombinasikan dengan
ramuan lain (misalnya jahe) dan kebiasaan ini melekat kuat dengan kebudayaan
masyarakat Tiongkok. Lebih jauh lagi, teh digunakan sebagai tradisi dalam menjamu
para tamu. Setelah zaman Dinasti Ming, banyak ragam jenis teh kemudian ditemukan
dan ditambahkan. Teh yang populer nantinya ini banyak dikembangkan di daerah
Canton (Guangdong) dan Fukien (Fujian).
Kebiasaan minum teh pun menyebar, bahkan melekat erat pada setiap lapisan
masyarakat. Pada tahun 800 M, Lu Yu menulis buku berjudul Ch'a Ching yang
mendefinisikan tentang teh. Lu Yu adalah seorang anak yatim yang dibesarkan oleh
cendekiawan Pendeta Buddha di salah satu biara terbaik di Tiongkok. Sebagai seorang
pemuda, dia acap kali melawan disiplin pendidikan kependetaan yang kemudian
membuatnya memiliki daya pengamatan yang baik, performasinya pun meningkat dari
tahun ke tahun. Meskipun demikian, dia merasa hidupnya hampa dan tidak bermakna.
Setelah setengah perjalan hidupnya, dia pensiun selama 5 tahun untuk mengasingkan
diri. Dengan riwayat hidup dan perjalanan yang pernah disinggahinya, dia merekam
beragam metode dalam bertanam dan mengelola teh ala Tiongkok Purba.
Teh hitam
Daun teh dibiarkan teroksidasi secara penuh sekitar 2 minggu hingga 1 bulan.
Teh hitam merupakan jenis teh yang paling umum di Asia Selatan (India, Sri
Lanka, Bangladesh) dan sebagian besar negara-negara di Afrika seperti Kenya,
Burundi, Rwanda, Malawi dan Zimbabwe. Terjemahan harafiah dari aksara
Hanzi untuk teh bahasa Tionghoa (红茶) atau (紅茶) dalam bahasa Jepang
adalah teh merah karena air teh sebenarnya berwarna merah. Barat
menyebutnya teh hitam karena daun teh berwarna hitam. Di Afrika Selatan, teh
merah adalah sebutan untuk teh rooibos yang termasuk golongan teh herbal.
Teh hitam masih dibagi menjadi dua jenis: ortodoks (teh diolah dengan metode
pengolahan tradisional) atau CTC (metode produksi teh crush, tear, curl yang
berkembang sejak tahun 1932). Teh hitam yang belum diramu (unblended)
dikelompokkan berdasarkan asal perkebunan, tahun produksi, dan periode
pemetikan (awal musim semi, pemetikan kedua, atau musim gugur). Teh jenis
ortodoks dan CTS masih dibagi-bagi lagi menurut kualitas daun pascaproduksi
sesuai standar Orange Pekoe.
Pu-erh (Póu léi dalam bahasa Kantonis)
Teh pu-erh terdiri dari dua jenis: mentah dan matang. Teh pu-erh mentah bisa
langsung digunakan untuk dibuat teh atau disimpan beberapa waktu hingga
matang. Selama penyimpanan, teh pu-erh mengalami oksidasi mikrobiologi
tahap kedua. Teh pu-erh matang dibuat dari daun teh yang mengalami oksidasi
secara artifisial supaya menyerupai rasa teh pu-erh mentah yang telah lama
disimpan dan mengalami proses penuaan alami. Teh pu-erh matang dibuat
dengan mengontrol kelembapan dan temperatur daun teh mirip dengan
proses pengomposan. Teh pu-erh biasanya dijual dalam bentuk padat setelah
dipres menjadi seperti batu bata, piring kecil, atau mangkuk. Teh pu-erh dipres
agar proses oksidasi tahap kedua bisa berjalan, karena teh pu-erh yang tidak
dipres tidak akan mengalami proses pematangan. Semakin lama disimpan,
aroma teh pu-erh menjadi semakin enak. Teh pu-erh mentah kadang-kadang
disimpan sampai 30 tahun bahkan 50 tahun supaya matang. Pakar bidang teh
dan penggemar teh belum menemui kesepakatan soal lama penyimpanan yang
dianggap optimal. Penyimpanan selama 10 hingga 15 tahun sering dianggap
cukup, walaupun teh pu-erh bisa saja diminum setelah disimpan kurang dari
setahun. Minuman teh pu-erh dibuat dengan merebus daun teh pu-erh di dalam
air mendidih sering kali hingga 5 menit. Orang Tibet mempunyai kebiasaan
minum teh pu-erh yang dicampur dengan mentega dari lemak yak, gula dan
garam.