Anda di halaman 1dari 28

KEGIATAN BELAJAR 2: PPH PASAL 21

A. URAIAN MATERI
1. PENGERTIAN PPH PASAL 21
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah Pajak penghasilan yang dipungut sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib orang pribadi dalam negeri. Pembayaran
PPh ini dilakukan dalam tahun berjalan melalui pemotongan oleh pihak-pihak tertentu. Jumlah
pajak yang telah dipotong dan disetorkan dengan benar oleh wajib pajak untuk dijadikan kredit
pajak atas PPh yang terutang pada akhir tahun.

2. PEMOTONG PPH PASAL 21


Pemotong PPh Pasal 21 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau badan termasuk BUT yang
mempunyai kewajiban melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pemotong PPh Pasal 21 sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak
Nomor PER-16/PJ/2016 sebagai berikut:
1. Pemberi kerja
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah
3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
melakukan pembayaran sehubungan dengan penyerahan jasa
5. Penyelenggara kegiatan
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak adalah:
1. Kantor perwakilan negara asing
2. Organisasi internasional
3. Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

1
3. PENERIMA PENGHASILAN (WAJIB PAJAK PPH PASAL 21)
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status subjek pajak
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan, termasuk penerima pensiun. Wajib Pajak PPh Pasal 21 adalah:
1. Pegawai
Pegawai merupakan orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan kerja baik secara tertulis atau tidak tertulis untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan
periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yan ditetapkan pemberi kerja.
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah
tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas serta
pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima
atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur.
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan
apabila pegawai yang bersangkutan bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi
kerja.
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya
3. Bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap tenaga kerja
lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan
yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. Termasuk
bukan pegawai adalah:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
c. Olahragawan
d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator
e. Pengarang, peneliti, penerjemah

2
f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan
g. Agen iklan
h. Pengawas atau pengelola proyek
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara
j. Petugas penjaja barang dagangan
k. Petugas dinas luar asuransi
l. Distributor perusahaan multilevel marketin atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap
pada perusahaan yang sama
5. Mantan pegawai
6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antar alin meliputi:
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya
b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja
c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu
d. Peserta pendidikan dan pelatihan
e. Peserta kegatan lainnya
4. PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21 (OBJEK PAJAK PPH
PASAL 21)
Objek pajak berarti sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Objek PPh Pasal 21 meliputi:
1. Penghasilan yang diterima/diperoleh pegawai tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak
teratur
2. Penghasilan yang diterima/diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun
atau penghasilan sejenisnya
3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan,
upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan

3
4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan
sejenis dengan nama apa pun
6. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu dua tahun
sejak pegawai berhenti bekerja
7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak tertaur yang diterima atau
diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap pada perusahaan yang sama
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat
tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai
9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
10. Semua jenis penghasilan no 1-9 yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final
b. Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit)

5. PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 FINAL


PPh bersifat final, artinya seluruh pajak yang telah dipotong/dipungut oleh pihak
pemotong/pemungut dianggap final (telah selsai) tanpa harus menunggu perhitungan dari pihak
fiskus, atau dapat dikatakan bahwa pajak yang telah dipotong atau dibayar dianggap telah selesai
penghitungannya walaupun surat ketetapan pajak belum ada. Dalam pengertian yang lebih
spesifok, pemungutan PPh bersifat final berarti jumlah pajak yang telah dibayarkan dalam tahun
berjalan melalui pemotongan (oleh pemberi kerja atau pemotong yang lain) tidak dapat dikreditkan
dari total PPh yang terutang pada akhir suatu tahun saat mengisi Surat Pemberitahuan (SPT).
Beberapa penghasilan yang dipotong PPh Psal 21 yang bersifat final adalah:

4
1. Penghasilan berupa uang pesangon yang dibayar sekaligus oleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Penghasilan berupa uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, yang
dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggar Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
3. Penghasilan berupa honorarium, uang perangsang, uang sidang, uang hadir, uang lembur,
imbalan prestasi kerja, dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh pejabat
negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari keuangan negara atau
keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II/d ke bawah dan anggota
TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke
bawah.

6. PENGHASILAN YANG TIDAK DIPOTONG PPH PASAL 21 (BUKAN


OBJEK PAJAK PPH PASAL 21)
Pembayaran kepada orang pribadi Wajib Pajak Dalam Negeri yang tidak dipotong PPh PPh Pasal
21 adalah:
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh
wajib pajak atau pemerintah (termasuk PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja, maupun yang
ditanggung oleh pemerintah), kecuali penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima
pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua yang dibayar pemberi
kerja
4. Zakat yang diterima orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia
5. Beasiswa yang diperoleh atau diterima oleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa

5
7. MENGHITUNG PPH PASAL 21
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak secara umum dirumuskan sebagai berikut:

PPh Pasal 21 = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

8. TARIF PPH PASAL 21


Beberapa tarif berikut ini digunakan sebagai dasar menghitung PPh Pasal 21.
1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dengan ketentuan sebagai
berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
s.d Rp50.000.000 5%
Diatas Rp50.000.000 s.d Rp250.000.000 15%
Diatas Rp250.000.000 s.d Rp500.000.000 25%
Diatas Rp500.000.000 30%

2. Tarif khusus
a. Tarif khusus berikut diterapkan atas penghasilan yang bersumber dari APBN yang diterima
oleh Pejabat PNS, anggota TNI/POLRI, dan pensiunannya.
1) Tarif 0% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS Golongan I dan II,
Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Tamtama dan Bintara, dan
pensiunannya.
2) Tarif 5% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS Golongan II, Anggota
TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya.
3) Tarif 15% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS Golongan IV, Anggota
TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Tinggi, dan pensiunannya.
b. Tarif khusus berikut diterapkan atas penghasilan berupa uang pensiun yang diterima
sekaligus.
1) Tarif 0% dari penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000.
2) Tarif 5% dari penghasilan bruto di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp100.000.000.
3) Tarif 15% dari penghasilan bruto di atas Rp100.000.000 sampai dengan Rp500.000.000.
4) Tarif 25% dari penghasilan bruto di atas Rp500.000.000.

6
c. Tarif khusus berikut diterapkan atas penghasilan berupa uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua.
1) Tarif 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000.
2) Tarif 5% atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000.
d. Tarif khusus 5% atas upah/uang saku harian, mingguan, borongan, satuan yang diterima
oleh tenaga kerja lepas yang mempunya total upah sebulan kurang dari Rp10.200.000
(dibayarkan tidak secara bulanan).

Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21


Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 ditentukan sebagai berikut.
1. Penghasilan Kena Pajak
2. Penghasilan bruto
3. Sebesar 50% dari penghasilan bruto
4. Sebesar 50% dari umlah kumulatif penghasilan bruto
Besarnya tarif dan dasar pengenaan pajak ditentukan oleh kelompok penerima penghasilan dan
jenis penghasilan. Misalnya penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa gaji yang bersifat
teratur yang diterima oleh pegawai tetap berbeda dengan penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan
atau honorarium yang bersifat tidak teratur yang diterima oleh pegawai tetap. Penghasilan yang
sama diterima oleh kelompok penerima yang berbeda, tarif dan dasar pengenaannya bisa berbeda.

Tarif dan Penerapan PPh Pasal 21


1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, bukan pegawai yang memiliki NPWP dan menerima penghasilan
secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh
dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung berdasarkan sebagai berikut:
a. Pegawai Tetap: Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto, maksimum Rp
6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan); dikurangi iuran pensiun, Iuran jaminan hari tua, dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
b. Penerima Pensiun Bulanan: Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari penghasilan bruto,
maksimum Rp 2.400.000 setahun atau Rp 200.000 sebulan) dikurangi PTKP.
c. Bukan Pegawai yang memiliki NPWP dan menerima penghasilan secara berkesinambungan: 50 % dari
Penghasilan bruto dikurangi PTKP perbulan.
2. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dikalikan
dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan yang tidak berkesinambungan;

7
3. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a dikalikan
dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah;
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak tetap lainnya yang
menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang besarnya
melebihi Rp450.000 sehari tetapi jumlah kumulatif sebulan tidak melebihi Rp4.500.000, maka PPh Pasal 21
yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari upah sehari setelah dikurangi Rp450.000.
Bila upah kumulatif sebulan jumlahnya melebihi Rp4.500.000 tetapi tidak melebihi Rp10.200.000, maka
besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari
penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi 360 dan perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang sehari adalah
dengan menerapkan tarif 5% dari upah sehari dikurangi PTKP yang sebenarnya sehari.
5. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegaai tetap
pada perusahaan yang sama yang menerima penghasilan berupa honorarium atau imbalan
yang tidak teratur dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari jumlah penghasilan
bruto kumulatif.
6. Mantan pegawai yang menerima penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus,
atau imbalan lain dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari jumlah penghasilan
bruto kumulatif.
7. Peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai yang menerima penghasilan dari
penarikan dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan dikenakan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh dari jumlah penghasilan bruto kumulatif.
8. Bukan pegawai dengan ketentuan:
a. Mempunyai NPWP
b. Memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPH Pasal 21
c. Tidak memperoleh penghasilan lainnya
Yang mempunyai penghasilan berupa imbalan jasa dalam bentuk honorarium, fee, dan lainnya
akan dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebesar 50% dari penghasilan bruto
dikurangi PTKP per bulan.
9. Bukan pegawai, tetapi tidak memenuhi ketentuan a, b, c pada nomor 8 yang menerima
penghasilan berupa imbalan jasa dalam bentuk honorarium, fee, atau lainnya dikenakan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebesar 50% dari penghasilan bruto setiap kali pembayaran
yang dikenakan tarif berdasarkan jumlah kumulatif.

8
10. Bukan pegawai yang menerima penghasilan dari imbalan yang berupa honorarium, fee, atau
imbalan lainnya yang tidak bersifat berkesinambungan dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a UU PPh sebesar 50% dari penghasilan bruto per pembayaran (tidak kumulatif).
11. Peserta kegiatan yang menerima penghasilan berupa imbalan dalam bentuk uang saku, uang
rapat, honorarium, hadiah/penghargaan dikenakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari
jumlah penghasilan bruto per pembayaran dan tidak dipecah-pecah.
12. Besar PTKP sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.101/PMK.010/2016 adalah:

Setahun Sebulan
Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000 Rp4.500.000
Tambahan untuk Wajib Pajak Rp4.500.000 Rp375.000
menikah
Tambahan setiap anggota *) Rp4.500.000 Rp375.000
keluarga paling banyak 3 orang

*) anggota keluarga adalah anggota keluarga sedarah dan semenda dalam satu garis keturunan lurus, serta
anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
13. Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Bagi karyawati menikah, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri. Jika karyawati yang
berstatus menikah dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah
setempat, serendah-rendahnya kecamatan, yang menyatakan bahwa suaminya tidak
menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya
sendiri ditambah PTKP untuk status menikah dan PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya
b. Bagi karyawati tidak menikah, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya
14. Bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif 20 % lebih tinggi dari tarif Pasal 17 ayat (1)

huruf a UU PPh.

9
9. TATA CARA PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPH PASAL 21
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap yang bersifat teratur
Penghitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap atas penghasilan yang bersifat tetap secara
umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

Penghasilan bruto:
1. Gaji sebulan Rpxxx
2. Tunjangan PPh Rpxxx
3. Tunjangan dan honorarium lainnya Rpxxx
4. Premi JKK, JK, JHT, JPK dibayar pemberi kerja Rpxxx
5. Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja Rpxxx
6. Penerimaan dalam bentuk natura yang dikenakan pemotongan Rpxxx
PPh Pasal 21*)
7. Jumlah penghasilan broto (jumlah 1 s.d. 6) Rpxxx
Pengurangan:
8. Biaya jabatan (5% x penghasilan bruto, maksimal Rp500.000 Rpxxx
sebulan)
9. Iuran pensiun atau iuran THT/JHT (yang dibayar oleh Rpxxx
penerima penghasilan)
10. Jumlah pengurangan (jumlah 8 dan 9) (Rpxxx)
Penghitungan PPh Pasal 21:
11. Penghasilan neto sebulan (7 – 10) Rpxxx
12. Penghasilan neto setahun/disetahunkan (11 x 12 bulan) Rpxxx
13. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rpxxx
14. Penghasilan Kena Pajak setahun (12 – 13) Rpxxx
15. PPh Pasal 21 yang terutang (14 x tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Rpxxx
PPh pasal 21 yang dipotong sebulan (15 ÷ 12 bulan) Rpxxx

*) Natura dan/atau kenikmatan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diberikan
oleh bukan Wajib Pajak; Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final; atau Wajib Pajak
yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

10
a. Pegawai tetap dengan gaji bulanan
Contoh:
Irwinsyah bekerja pada PT. Anugrah dengan gaji sebulan Rp5.000.000 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp100.000. Irwinsyah berstatus menikah dengan 1 orang anak.
Perhitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji sebulan Rp6.000.000
Pengurang:
1. Biaya jabatan Rp300.000
2. Iuran pensiun Rp100.000 +
Rp400.000 –
Penghasilan neto sebulan Rp5.600.000

Penghasilan neto setahun: 12 x Rp5.600.000 Rp67.200.000


PTKP (K/1):
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000
 Tambahan WP menikah Rp4.500.000
 Tambahan tanggungan 1 Rp4.500.000 +
Rp63.000.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp4.200.000

PPh Pasal 21 setahun : 5% x Rp4.200.000 Rp210.000


PPh Pasal 21 sebulan : Rp210.000 ÷ 12 Rp14.000

b. Pegawai tetap dengan gaji bulanan (wanita, suami berpenghasilan)


Contoh:
Ayu karyawati dengan status menikah dan mempunyai 3 orang anak bekerja pada PT Jaya.
Suami Ayu bekerja sebagai PNS di Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman. Ayu menerima
gaji Rp3.000.000 sebulan. PT. Jaya mengikuti program pensiun. Perusahaan membayar
iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sebesar Rp40.000 sebulan. Ayu juga membayar iuran pensiun sebesar Rp30.000
sebulan. Di samping itu, perusahaan membayar iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap

11
bulannya sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Ayu membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap
bulan sebesar 2% dari gaji. PT. Jaya mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan. Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing sebesar 1% dan 0,30% dari gaji. Pada bulan Juli 2017, disamping menerima
pembayaran gaji, Ayu juga menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp2.000.000.
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2017 adalah:
Gaji sebulan Rp3.000.000
Lembur (overtime) Rp2.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja: 1% x Rp 3.000.000 Rp30.000
Premi Jaminan Kematian: 0,3% x Rp 3.000.000 Rp9.000 +
Penghasilan bruto sebulan Rp5.039.000
Pengurang:
1. Biaya jabatan: 5% x Rp 5.039.000 Rp251.950
2. Iuran pensiun Rp30.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua: 2% x Rp3.000.000 Rp60.000 +
Rp341.950 –
Penghasilan neto sebulan Rp4.697.050
Penghasilan neto setahun: 12 x Rp4.697.050 Rp56.364.600
PTKP (TK/0)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000 -
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp2.364.600

PPh Pasal 21 setahun: 5% x Rp2.364.600 Rp118.230


PPh Pasal 21 sebulan: Rp118.230 ÷ 12 Rp9.852

2. Penghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur


Penghasilan tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan hari raya, bonus,
premi, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan pada umumnya diberikan
sekali dalam setahun.
a) Hitungan 1. Menghitung PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan teratur (sebelum ditambah
bonus/jasa produksi/tunjangan hari raya).

12
b) Hitungan 2. Menghitung PPh pasal 21 setahun atas penghasilan teratur ditambah penghasilan
tidak teratur.
c) Menghitung PPh atas penghasilan tidak teratur (bonus/jasa produksi/tunjangan hari raya, dan
lain sebagainya), sama dengan hitungan 2 dikurangi hitungan 1.
Contoh:
Faisal (status lajang) bekerja pada PT. Sejahtera dengan gaji Rp5.000.000 sebulan. Pada bulan
Juli 2017 menerima bonus sebesar Rp8.000.000. Setiap bulannya, Faisal membayar iuran
pensiun ke Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar
Rp50.000.

Penghitungan PPh Pasal 21 atas Bonus:


1. PPh Pasal 21 atas Gaji setahun
Gaji setahun (12 x Rp5.000.000) Rp60.000.000
Pengurang:
1. Biaya jabatan: 5% x Rp60.000.000 Rp3.000.000
2. Iuran pensiun: 12 x Rp50.000 Rp600.000 +
Rp3.600.000 –
Penghasilan neto setahun Rp56.400.000
PTKP (TK/0)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp2.400.000

PPh Pasal 21 atas gaji: 5% x Rp2.400.000 Rp120.000

2. PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun)


Gaji setahun (12 x Rp5.000.000) Rp60.000.000
Bonus Rp8.000.000 +
Penghasilan bruto setahun Rp68.000.000

Pengurang:
1. Biaya jabatan: 5% x Rp68.000.000 Rp3.400.000

13
2. Iuran pensiun: 12 x Rp50.000 Rp600.000 +
Rp4.000.000 –
Penghasilan neto setahun Rp64.000.000
PTKP (TK/0)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp10.000.000

PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus: 5% x Rp10.000.000 Rp500.000

3. PPh Pasal 21 atas Bonus


PPh Pasal 21 atas bonus adalah: Rp500.000 – Rp120.000 Rp380.000

3. Pegawai pensiun atas uang pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan)
a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima pada tahun
pertama pensiun, yaitu:
1) Terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurani
penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan dengan banyaknya bulan
sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember
(biaya pensiun sama dengan 5% dari uang pesniun dengan jumlah maksimal Rp200.000
sebulan.
2) Penghasilan neto pensiun pada poin 1 ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun
yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai
yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh
Pasal 21 sebelum pensiun.
3) Untuk menghitung penghasilan kena pajak, jumlah penghasilan pada poin 2 tersebut
dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan kena
pajak tersebut.
4) PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara
mengurangi PPh Pasal 21 poin 3 dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja
sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun.

14
5) PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanannya sebesar PPh Pasal 21 seperti dalam poin 4
dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud pada poin 1.
Contoh:
Suryaman berstatus menikah dengan 2 anak yang masih menjadi tanggungan. Ia bekerja
sebagai pegawai tetap pada PT. Mulya Jaya dengan gaji sebulan Rp12.000.000. Suryaman
setiap bulan membaya iuran pensiun sebesar Rp150.000 ke Dana Pensiun Askrindo yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku
di PT. Mulya Jaya terhitung sejak 1 Juli 2016, Suryaman akan memasuki masa pensiun.

Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan:


Gaji sebulan Rp12.000.000
Pengurang:
1. Biaya jabatan: 5% x Rp12.000.000
Maksimum dapat dikurangkan Rp500.000
2. Iuran pensiun Rp150.000 +
Rp650.000 –
Penghasilan neto sebulan Rp11.350.000
Penghasilan neto 6 bulan (masa kerja Jan-Juni 2016) Rp68.100.000
PTKP (K/2)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000
 Tambahan WP menikah Rp4.500.000
 Tambahan tanggungan 2 Rp9.000.000+
Rp67.500.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp600.000
PPh Pasal 21 terutang: 5% x Rp600.000 Rp30.000
PPh Pasal 21 terutang sebulan: Rp30.000 ÷ 6 Rp5.000

Saat Suryaman berhenti bekerja dan memasuki masa pensiun maka pemberi kerja
memberikan bukti pemotongan PPh pasal 21 (Form 1721-A1) dengan data sebagai berikut:
Gaji selama 6 bulan: 6 x Rp12.000.000 Rp72.000.000
Peengurang:

15
1. Biaya jabatan: 5% x Rp72.000.000 Rp3.600.000
2. Iuran pensiun: 6 x Rp150.000 Rp900.000 +
Rp4.500.000 –
Penghasilan neto selama 6 bulan Rp67.500.000
PTKP (K/2):
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000
 Tambahan WP menikah Rp4.500.000
 Tambahan tanggungan 2 Rp9.000.000 +
Rp67.500.000 –
Penghasilan Kena Pajak NIHIL
PPh pasal 21 terutang: NIHIL
PPh Pasal 21 telah dipotong (6 x Rp5.000) Rp30.000
PPh Pasal 21 (lebih) dipotong Rp30.000

Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang membayarkan uang pensiun bulanan
Untuk kemudahan dan kesederhanaan bagi pegawai pensiun jika yang bersangkutan tidak
mempunyai penghasilan selain dari satu pemberi kerja dan uang pensiun, Dana Pensiun
menghitung pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun pertama pegawai
menerima uang pensiun dengan berdasarkan pada gunggung penghasilan nero dari pemberi
kerjasampai dengan pensiun dan perkiraan uang pensiun yang akan diterima dalam tahun
kalender yang bersangkutan. Agar dana pensiundapat melakukan pemotongan seperti itu
maka penerima pensiun harus segera menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (formulir
1721 A-1/1721 A-2) dari pemberi kerja sebelumnya.
Contoh:
Melanjutkan soal contoh 3.a. Pada bulan Juli 2016, Suryaman memperoleh uang pensiun
dari Askrindo sebesar Rp4.000.000.

Perhitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun adalah:


Pensiun sebulan Rp 4.000.000
Pengurang:
Biaya pensiun: 5% x Rp4.000.000 Rp200.000 –

16
Penghasilan neto sebulan Rp 3.800.000
Penghasilan neto Juli-Desember 2016: 6 x Rp3.800.000 Rp22.800.000
Penghasilan neto dari PT. Mulya Jaya sesuai dengan
Bukti pemotongan PPh Pasal 21 Rp67.500.000 +
Jumlah penghasilan neto tahunm 2016 Rp90.300.000
PTKP (K/2)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000
 Tambahan WP menikah Rp4.500.000
 Tambahan tanggungan 2 anak Rp9.000.000 +
Rp67.500.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp22.800.000
PPh Pasal 21 terutang: 5% x Rp22.800.000 Rp1.140.000
PPh Pasal 21 terutang di PT. Mulya Jaya sesuai
Dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 A-1) Rp30.000 –
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun Askrindo
selama 6 bulan Rp1.110.000
PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang harus dipotong setiap bulan:
Rp1.110.000 ÷ 6 Rp185.000

Perhitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Askrindo untuk dicantumkan dalam Form 1721 A-
1:
Pensiun selama 6 bulan: 6 x Rp4.000.000 Rp24.000.000
Pengurang:
Biaya pensiun: 5% x Rp24.000.000 Rp1.200.000 –
Penghasilan neto 6 bulan Rp22.800.000
Penghasilan neto dari PT. Mulya Jaya sesuai dengan
Bukti pemotongan PPh Pasal 21 Rp67.500.000 +
Jumlah penghasilan neto tahun 2016 Rp90.300.000
PTKP (K/2)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000
 Tambahan WP menikah Rp4.500.000

17
 Tambahan tanggungan 2 anak Rp9.000.000 +
Rp67.500.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp22.800.000
PPh Pasal 21 terutang: 5% x Rp22.800.000 Rp1.140.000
PPh Pasal 21 terutang di PT Mulya Jaya sesuai dengan
Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 A-1) Rp 30.000 –
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun Askrindo
Selama 6 bulan Rp1.110.000
PPh Pasal 21 telah dipotong: 6 x Rp185.000 Rp1.110.000 –
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL

b. Perhitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pensiun secara bulanan pada tahun
kedua dan seterusnya, sebagai berikut:
1) Terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara
mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun.
2) Selanjutnya, PPh Pasal 21 dihitung dengan cara penghitungan untuk pegawai tetap atas
penghasilan teratur yang dipotong bulanan.
Contoh: sama dengan contoh sebelumnya
Pensiun sebulan Rp 4.000.000
Pengurang:
Biaya pensiun: 5% x Rp4.000.000 Rp 200.000 –
Penghasilan neto sebulan Rp 3.800.000
Penghasilan neto disetahunkan: 12 x Rp3.800.000 Rp45.000.000
PTKP (K/2)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000
 Tambahan WP menikah Rp 4.500.000
 Tambahan tanggungan 2 anak Rp 9.000.000 +
Rp67.500.000 –
Penghasilan Kena Pajak NIHIL
Keterangan: Tidak dikenakan PPh Pasal 21

18
4. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, pemagang, dan calon pegawai menerima
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian
a. Jika upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian tidak melebihi Rp450.000
dan jumlah kumulatif yang diterima/diperoleh dalam satu bulan kalender yang bersangkutan
tidak melebihi Rp4.500.000 maka tidak ada PPh Pasal 21 yang terutang.
Contoh:
Mulyawan berstatus lajang, pada bulan Agustus 2017 bekerja sebagai buruh pada PT.
Sentosa. Dia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp340.000.

Mulyawan menerima upah sehari tidak lebih dari Rp450.000, dan upah dalam Agustus 2017
sebesar 10 x Rp340.000 = Rp3.400.000 (tidak melebihi Rp4.500.000). Jadi, Mulyawan
tidak dikenakan PPh Pasal 21.

b. Jika upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp450.000
damn jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender yang
bersangkutan tidak melebihi Rp4.500.000, PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah:

PPh Pasal 21 sehari = Tarif 5% x Upah kena pajak sehari


Upah kena pajak sehari = Upah sehari – Rp450.000

Contoh:
Fahmi berstatus menikah tetapi belum memiliki anak, tercatat sebagaikaryawan yang
bekerja sebagai perakit televisi di sebuah perusahaan elektronik, PT. Elektro Jaya. Upah
yang dibayar untuknya dihitung berdasarkan jumlah unit/satuan yang diselesaikannya
sebesar Rp180.000 per unit. Upah tersebut dibayarkan setiap minggu. Dalam waktu satu
minggu (6 hari kerja), Fahmi mampu merakit 20 unit komputer sehingga total upah yang
diterimanya sebesar Rp3.600.000.

Penghitungan PPh Pasal 21


Upah sehari (Rp3.600.000 ÷ 6) Rp600.000
Upah kena pajak sehari: Rp600.000 – Rp450.000 Rp150.000

19
PPh Pasal 21 sehari: 5% x Rp150.000 Rp 7.500
PPh Pasal 21 atas seluruh upah (seminggu atau 6 hari) Rp 45.000
Jika Fahmi tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 yang dipotong baginya menjadi
120% x Rp45.000 = Rp54.000

c. Jika jumlah upah yang diterima atau diperoleh dalam bulan yang bersangkutan telah
melebihi Rp4.500.000 tetapi tidak melebihi Rp10.200.000 maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong dihitung sebagai berikut:

PPh Pasal 21 sehari = Tarif 5% x Upah kena pajak sehari


Upah kena pajak sehari = Upah sehari –PTKP yang sebenarnya sehari
PTKP yang sebenarnya sehari = PTKP setahun ÷ 12

Contoh:
Priyono berstatus menikah dengan 1 anak, pada bulan Spetember 2016 mengerjakan
pembuatan taman sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp8.400.000. Upah
borongan tersebut tidak termasuk material dan tanaman. Pekerjaan borongan tersebut
diselesaikan dalam waktu 20 hari.

Perhitungan PPh Pasal 21:


Upah borongan sehari: Rp8.400.000 ÷ 20 Rp420.000
PTKP sehari: Rp63.000.000 ÷ 360 Rp175.000 –
Upah kena pajak sehari Rp245.000

PPh Pasal 21 sehari: 5% x Rp245.000 Rp 12.250


PPh Pasal 21 atas upah borongan: 20 x Rp12.250 Rp245.000
d. Jika jumlah upah yang diterima atau diperoleh dalam bulan yang bersangkutan telah
melebihi Rp10.200.000, PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagai berikut.
PPh Pasal 21 sebulan = (Tarif Pasal 17* x PKP setahun) ÷ 12
PKP setahun = (Upah kumulatif sebulan x 12) – PTKP setahun
*) Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a

20
Contoh:
Rohmad berstatus menikah dan tanpa tanggungan. Ia bekerja di perusahaan elektronik
dengan upah satuan. Pada September 2016, Rohmad bekerja selama 25 hari dan
mengerjakan 70 unit dengan upah per unit Rp180.000.

Penghitungan PPh Pasal 21:


Upah bulan September 2016: 70 x Rp1805.000 Rp 12.600.000
Upah/penghasilan neto disetahunkan:12 x Rp12.600.000 Rp151.200.000
PTKP (K/0)
 Untuk diri Wajib Pajak Rp54.000.000
 Tambahan WP menikah Rp 4.500.000 +
Rp 58.500.000 –
Penghasilan Kena Pajak Rp 92.700.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp50.000.000 Rp2.500.000
15% x Rp42.700.000 Rp6.405.000 +
Rp8.905.000
PPh Pasal 21 dipotong bulan September 2016:
Rp8.905.000 ÷ 12 Rp742.083

5. Mantan pegawai yang menerima jasa produksi, gratifikasi, dan bonus atau imbalan lain
yang tidak teratur.
PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 x Penghasilan bruto kumulatif

Contoh:
Endah bekerja pada PT. Mekar Sejahtera. Pada 1 Januari 2016 ia berhenti bekerja pada
perusahaan tersebut karena pensiun. Pada Maret 2016, Endah menerima bonus tahun 2015 dari
PT. Mekar Sejahtera sebesar Rp25.000.000.

Penghitungan PPh Paal 21 yang dipotong:


5% x Rp25.000.000 Rp1.250.000

21
6. Bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan
a. Bukan pegawai yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari
sehubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilan
lainnya.
PPh Pasal 21 sebulan = Tarif Pasal 17 x PKP
PKP = (50% x jumlah penghasilan bruto) - PTKP

Contoh:
Kharisma adalah petugas dinas luar asuransi dari PT. Manulife (bukan sebagai pegawai
perusahaan asuransi). Pada bulan Agustus 2016 penghasilan yang diterima Kharisma adalah
sebesar Rp58.000.000. Suami Kharisma telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan
mempunyai NPWP dan yang bersangkutan bekerja pada PT. Kresna. Kharisma telah
menyampaikan fotokopi NPWP suami, fotokopi surat nikah, dan fotokopi kartu keluarga
kepada pemotong pajak. Kharisma hanya menerima penghasilan dari kegiatannya sebagai
petugas dinas luar asuransi dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan
hal tersebut kepada PT. Manulife. Pada 2016, penghasilan yang diterima oleh Kharisma
sebagai petugas dinas luar asuransi dari PT. Manulife sebagai berikut:
Bulan Komisi Agen (Rupiah)
Januari 45.000.000
Februari 48.000.000
Maret 50.000.000
April 52.000.000
Mei 56.000.000
Juni 42.000.000
Juli 38.000.000
Agustus 42.000.000
September 50.000.000
Oktober 54.000.000
Nopember 46.000.000
Desember 58.000.000
Total 581.000.000

22
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari s.d Desember 2016 (dalam rupiah) sebagai
berikut:

Bulan Penghasilan 50% x PTKP PKP PKP PPh Pasal 21 Terutang


Bruto Penghasilan Kumulatif Tarif PKP PPh
Bruto Pasal
17
Januari 45.000.000 22.500.000 4.500.000 18.000.000 18.000.000 5% x 18.000.000 = 900.000
Februari 48.000.000 24.000.000 4.500.000 19.500.000 37.500.000 5% x 19.500.000 = 975.000
Maret 50.000.000 25.000.000 4.500.000 20.500.000 58.000.000 5% x 12.500.000 = 625.000
15% x 8.000.000 = 1.200.000
April 52.000.000 26.000.000 4.500.000 21.500.000 79.500.000 15% x 21.500.000 = 3.225.000
Mei 56.000.000 28.000.000 4.500.000 23.500.000 103.000.000 15% x 23.500.000 = 3.525.000
Juni 42.000.000 21.000.000 4.500.000 16.500.000 119.500.000 15% x 16.500.000 = 2.475.000
Juli 38.000.000 19.000.000 4.500.000 14.500.000 134.000.000 15% x 14.500.000 = 2.175.000
Agustus 42.000.000 21.000.000 4.500.000 16.500.000 150.500.000 15% x 16.500.000 = 2.475.000
September 50.000.000 25.000.000 4.500.000 20.500.000 171.000.000 15% x 20.500.000 = 3.075.000
Oktober 54.000.000 27.000.000 4.500.000 22.500.000 193.500.000 15% x 22.500.000 = 3.375.000
Nopember 46.000.000 23.000.000 4.500.000 18.500.000 212.000.000 15% x 18.500.000 = 2.775.000
Desember 58.000.000 29.000.000 4.500.000 24.500.000 236.500.000 15% x 24.500.000 = 3.675.000
581.000.000 30.475.000

7. Bukan pegawai yang menerima imbalan tidak bersifat berkesinambungan


PPh Pasal 21 sebulan = Tarif Pasal 17 x PKP
PKP = 50% x Penghasilan bruto

Contoh:
Dendy (status menikah tanpa tanggungan) melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT.
Cahaya Abadi dengan fee Rp6.000.000.
Besarnya PPh Pasal 21 adalah:
5% x 50% x Rp6.000.000 Rp150.000

Jika Dendy tidak mempunyai NPWP, besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
120% x 5% x 50% x Rp6.000.000 Rp180.000

23
8. Peserta kegiatan yang menerima imbalan
PPh pasal 21 = Tarif Pasal 17 x Penghasilan bruto

Contoh:
Kevin adalah seorang atlet bulutangkis profesional Indonesia yang bertempat tinggal di Jakarta.
Ia menjuarai turnamen Indonesi Grand Prix Gold dan memperoleh hadiah sebesar
Rp200.000.000. PPh Pasal 21 atas hadiah tersebut adalah:
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000
15%x Rp150.000.000 Rp22.500.000 +
Rp25.0000.000
9. Pejabat PNS, anggota TNI/Polri, dan pensiunannya yang memperoleh honorarium atau
imbalan yang bersumber dari APBN/APBD yang bersifat final.
Penerima PPh Pasal 21
PNS Golongan I dan II, anggota TNI/Polri golongan pangkat 0% x penghasilan bruto
Perwira Tamtama dan Bintara dan pensiunannya
PNS Golongan III, anggota TNI/Polri Pangkat Perwira Pertama 5% x penghasilan bruto
dan pensiunannnya
PNS Golongan IV, anggota TNI/Polri Pangkat Perwira 15% x penghasilan bruto
Menengah dan Tinggi dan Pensiunannya

Contoh:
Bendaharawan Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman membayarkan honorarium kepada Bayu
(Ber-NPWP, Gol II) sebagai peserta Workshop sebesar Rp500.000.

PPh Pasal 21 adalah:


5% x Rp300.000 Rp 0 (tidak dikenakan pajak)

24
10. Penerima uang pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua
sekaligus yang bersifat final
Jenis Penghasilan Jumlah Penghasilan PPh pasal 21
Uang pesangon diterima Uang pesangon kurang dari 0% x Penghasilan bruto
sekaligus Rp50.000.000
Uang pesangon di atas 5% x Penghasilan bruto
Rp50.000.000 s.d. Rp100.000.000
Uang pesangon di atas 15% x Penghasilan bruto
Rp100.000.000 s.d. Rp500.000.000
Uang pesangon di atas 25% x Penghasilan bruto
Rp500.000.000
Uang manfaat pensiun, Uang manfaat pensiun, tunjangan 0% x Penghasilan bruto
tunjangan hari tua atau hari tua atau jaminan hari tua s.d.
jaminan hari tua diterima Rp50.000.000
sekaligus Uang manfaat pensiun, tunjangan 5% x Penghasilan bruto
hari tua atau jaminan hari tua di atas
Rp50.000.000

Contoh:
Pada Mei 2016, PT. Artha Sejahtera membayar uang pesangon kepada pegawai yang telah
purna tugas Bapak Aziz (menikah dengan 2 tanggungan) sebesar Rp176.000.000
PPh Pasal 21 atas uang pesangon Bapak Aziz:
0% x Rp50.000.000 Rp 0
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000
15%x Rp76.000.000 Rp11.400.000 +
Rp13.900.000

25
10. TEKNIK PENGHITUNGAN DAN PENGISIAN SPT MASA PPh PASAL 21/26
Beberapa formulir yang digunakan dalam administrasi PPh Pasal 21 terdiri atas Bukti Pmeotongan
PPh Pasal 21/26, Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21/26, SPT Masa PPh Pasal 21/26, Surat
Setoran Pajak (SSP), dan lain-lain.

Bentuk dan Isi SPT Tahunan PPh Pasal 21


Bentuk SPT Masa PPh Pasal 21 sesuai Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 dapat
dilihat pada halaman selanjutnya. Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 wajib menggunakan
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT dalam hal:
1. Melakukan pemotongan PPh pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau
tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap PNS, anggota TNI/POLRI,
pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 orang dalam satu masa pajak;
dan/atau
2. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 24 selain pemotongan PPh
Pasal 21 pada angka 1 dengan jumlah bukti pemotongan lebih dari 20 dokumen dalam satu
masa pajak; dan/atau
3. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih
dari 20 dokumen dalam satu masa pajak;
4. Melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih dari 20
dokumen dalam satu masa pajak.
Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau
Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas atau e-SPT dalam hal:
1. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun arau
tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap PNS, anggota TNI/POLRI,
pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20 orang dalam satu masa
pajak; dan/atau
2. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 24 selain pemotongan PPh
Pasal 21 pada angka 1 dengan jumlah bukti pemotongan tidak lebih dari 20 dokumen dalam
satu masa pajak; dan/atau
3. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak
lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak;

26
4. Melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari
20 dokumen dalam satu masa pajak.

Mekanisme Pemungutan PPh Pasal 21/26


Sebagaiman telah diuraikan dalam bagian sebelumnya bahwa PPh Pasal 21 dibayarkan oleh Wajib
Pajak melalui pemotongan oleh pihak lain, yaitu pemberi kerja, yang selanjutnya disebut sebagai
Pemotong Pajak. Kewajiban Pemotong Pajak dalam menghitung, memotong, menyetor, dan
melaporkan PPh Pasal 21 adalah:
1. Pemotong Pajak, setelah memotong pajak, wajib menyetorkan pajak tersebut je Bank Persepsi
atau Kas Negara atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) selambat-
lambatnya pada tanggal 10 bulan takwin berikutnya.
Contoh: untuk masa Januari 2016, PPh Pasal 21 yang dipotong harus disetorkan ke Kas Negara
paling lambat tanggal 10 Februari 2016.
2. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa selambat-
lambatnya pada tanggal 20 bulan takwin berikutnya.
Contoh: untuk masa Maret 2016, SPT Masa harus disampaikan paling lambat pada 20 April
2016. SPT Masa dibuat rangkap dua, yaitu lembar pertama untuk KPP dan lembar kedua untuk
arsip Wajib Pajak.
3. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21, baik diminta maupun
tidak, pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai
tetap atau penerima pensiun atau penerima tunjangan hari tua/jaminan hari tua secara berkala
dan PNS, anggota TNI/POLRI, pejabat negara dan pensiunannya. Bukti pemotongan PPh Pasal
21 ada dua, yaitu Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (tidak final) atau PPh Pasal 26 dan Bukti
Pemotongan PPh Pasal 21 (final). Formulir Bukti Pemotongan tersbeut dibuat rangkap dua,
yaitu lembar pertama untuk penerima penghasilan dan lembar kedua pemotong.
4. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai
tetap atau penerima pensiun atau penerima tunjangan hari tua/jaminan hari tua secara berkala
dan PNS, anggota TNI/POLRI, pejabat negara, dan pensiunannya dalam waktu dua bulan
setelah tahun takwin berakhir. Formulir Bukti Pemotongan tersebut dibuat rangkap dua, yaitu
lembar pertama untuk penerima penghasilan dan lembar kedua pemotong. Formulir bukti

27
pemotongan ini berupa Formulir 1721-A1 untuk pegawai tetap atau penerima pensiun atau
tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan Formulir 1721-A2 untuk PNS, anggota
TNI/POLRI, pejabat negara dan pensiunannya.
5. Pada masa pajak terakhir dalam suatu tahun pajak, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung
kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pegawai tetap atau penerima
pensiun atau penerima tunjangan hari tua/jaminan hari tua secara berkala, dan PNS, anggota
TNI/POLRI, pejabat negara, dan pensiunannya. Di samping melaporkan atau menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 21 untuk satu masa pajak, pada masa pajak terakhir (Desember), pemotong
pajak juga menyampaikan daftar bukti pemotongan PPh Pasal 21 (formulir 1721-I) bagi
pegawai tetap atau penerima pensiun atau penerima tunjangan hari tua/jaminan hari tua secara
berkala dan PNS, anggota TNI/POLRI, pejabat negara, dan pensiunanya dalam satu tahun
pajak.

B. RANGKUMAN
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah Pajak penghasilan yang dipungut sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib orang pribadi dalam negeri.
PPh pasal 21 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh Pemotong Pajak, yaitu pemberi kerja,
bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggaraan kegiatan.
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat
perwakilan diplomatik dikecualikan dari subjek PPh Pasal 21. Demikian juga, organisasi -
organisasi internasional beserta pejabat - pejabatnya yang memenuhi persyaratan tertentu. Yang
menjadi objek PPh Pasal 21 adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, Undang-Undang Pajak
Penghasilan menganut pengertian penghasilan dalam arti luas.
Sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan, penghasilan dibedakan menjadi objek
pajak dan bukan objek pajak. Selanjutnya, penghasilan yang merupakan objek pajak,
dikelompokkan menjadi penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final (rampung) dan
penghasilan yang merupakan dikenakan pajak bersifat tidak final (dikenakan tarif umum).

28

Anda mungkin juga menyukai