Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

KIMIA FARMASI MEDISINAL

GRUP SORE

Nama Kelompok 4 :
1. Ummu Umayah 1843050051
2. Efa Bonita 1843050081
3. Elsa Dera S. 1843050046
4. Nindi Arnanda 1843050082

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAKARTA
2020
HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS SERTA STUDU KASUS

ANTIPARASIT

Hubungan Kuantitatif Struktur dan Aktivitas (HKSA)

Hubungan Kuantitatif Struktur dan Aktivitas (HKSA) dan Hubungan Kuantitatif Struktur dan
Sifat (HKSS) mencoba menggambarkan hubungan aktivitas atau sifat-sifat dengan deskriptor
struktur suatu senyawa. Kemampuan dalam menghubungkan sifat fisik prediksi, aktivitas atau
sifat kimia dan biologi dari struktur molekul menjadi sangat penting dalam memecahkan
berbagai masalah terkait dengan ilmu kimia teori dan komputasi, kimia lingkungan, kimia
medisinal, dan ilmu pengetahuan alam pada umumnya. HKSA umumnya dilakukan untuk
menghubungkan struktur molekul dengan aktivitas atau sifat biologis menggunakan metode
statistik. Secara matematis Devillers et al., (1999) menuliskan persamaan tersebut seperti pada
persamaan

A/S = f(struktur molekul)


= f(deskriptor molekul)

Pada persamaan tersebut, A/S merupakan aktivitas atau sifat dan f merupakan fungsi yang
tergantung pada struktur molekul atau deskriptor molekul.

Menurut Tomasz et al, (2010) persamaan model HKSA mampu menentukan hubungan antara
struktur molekul, sifat kimia dan biologi yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai aktivitas
biologis yang berupa IC50. Data yang digunakan untuk pemodelan HKSA berupa data aktivitas
biologi yang dapat dinyatakan dalam log 1/C, Ki, IC50, ED50, EC50, log K, dan Km (Thakur et
al., 2004). Penggunaan HKSA kini memiliki beberapa tujuan diantaranya :

(1) Untuk memprediksi aktivitas dan sifat fisika-kimia dengan cara rasional.

(2) Untuk memahami dan merasionalisasikan mekanisme kerja suatu senyawa sehingga dapat digunakan
untuk mengembangkan model.

(3) Penghematan biaya dalam pengembangan produk.

(4) Prediksi HKSA dapat mengurangi biaya uji menggunakan hewan.


(5) Mendukung program green chemistry sekaligus untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi limbah
yang diproduksi dari sintesis yang tidak berhasil. (Puzyn et al., 2014)

Model HKSA bergantung pada adanya data hasil eksperimen, teknik untuk mengembangkan model dan
kualitas keseluruhan dari informasi termasuk jenis yang akan dibuat model. Pada pemodelan untuk
prediksi sifat dan efek dari molekul tidak ada perbedan. Hampir semua kasus membutuhkan dua jenis
informasi yang diperlukan untuk model (efek yang akan dimodelkan dan deskriptor kimia) dan teknik
merumuskan hubungan. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.3 dalam spreadsheet untuk mengatur data.
Data yang akan dimodelkan dilambangkan sebagai X sebagai aktivitas biologis, dan deskriptor sebagai Y.
Hubungan data tersebut dapat diperoleh dengan statistika.

Hubungan struktur-aktivitas akan terbentuk untuk kategori misalnya aktif atau nonaktif dan beracun atau
tidak beracun. Pada HKSA fragmen molekul atau substruktur dikorelasikan dengan efek aktivitas
biologis. HKSA didasarkan pada potensi aktivitas (X) adalah fungsi dari satu atau lebih deskriptor (Y)
(Puzyn et al. 2010).

STRUKTUR, SIFAT DAN CARA KERJA ANTIPARASIT

Ivermectin pada awalnya diperkenalkan sebagai obat anti parasit, baik endoparasit maupun
ektoparasit pada ternak dan hewan kesayangan Ivermectin adalah menembus otak dan cairan
tulang belakang sehingga tingkat toksisitasnya rendah. Metabolisme Ivermectin terjadi di dalam
hati dan kebanyakan peletkskresikan melalui feses serta dalam jumlah lebih kecil peletkskresikan
melalui urin. Menurut Prasad and Koley ( 2006), ivermectin memiliki batas keamanan paling
rendah 10 kali lipat dari dosis minimal (0,2 mg/kg BB) untuk sapi dewasa. Lebih lanjut, menurut
Patel et al. (2018), pedet jauh lebih sensitif terhadap pengobatan dengan ivermectin dan jika
terjadi overdosis prognosanya lebih jelek dibandingkan dengan sapi dewasa

STUDY KASUS

Gejala Keracunan Ivermectin merupakan antiparasit yang memiliki spektrum cukup luas tetapi
juga menyebabkan efek samping yang dapat membahayakan terutama jika pemberiannya
melebihi dosis atau diberikan pada spesies non target. Kasus keracunan ivermectin telah banyak
dilaporkan pada hewan hewan seperti babi, sapi, kuda, kucing, anjing dan kura kura. Keracunan
Ivermectin telah banyak diteliti dalam bidang kedokteran hewan dan pada umumnya hal tersebut
akibat dari pemberian dengan dosis yang berlebihan dengan gejala klinis yang muncul
tergantung pada derajad paparan dan umur hewan. Tingkat keparahan keracunan hewan ternak
terhadap ivermectin tergantung pada rute pemberian dan sifat farmakokinetiknya. Ivermectin
sangat larut dalam lemak, volume distribusi yang besar dan akan terkonsentrasi dalam jaringan
lemak sehingga waktu paruh eliminasi menjadi panjang. Absorbsi pada pemberian sub cutan
(SC) akan lebih lambat jika dibandingkan dengan pemberian oral, namun ketersediaan dalam
plasma menjadi lebih tinggi, durasi waktu bekerja lebih lama sehingga lebih efektif dalam
kemampuan pengobatan. Gejala klinis dari berbagai hewan yang muncul akibat keracunan
ivermectin dapat dilihat pada tabel 2. Kejadian keracunan Ivermectin di lapangan ternyata lebih
banyak menimpa pada hewan-hewan seperti singa, kuda maupun bagal. Kejadian tersebut
tampaknya disebabkan oleh penggunaan dosis ivermectin yang sebenarnya direkomendasikan
untuk pengobatan parasit pada ternak ruminansia. Dosis Ivermectin untuk hewan hewan tersebut
diatas masih belum ditentukan sehingga rujukan yang digunakan belum terbukti tingkat
keamanannya.
Saqib et al. (2015) menambahkan bahwa sampai saat ini belum ada penelitian yang dilakukan
untuk mengukur seberapa dosis ivermectin yang dapat mengakibatkan keracunan pada singa.
Dengan demikian data dosis terapi yang jelas dan dapat direkomendasikan untuk pengobatan
parasit pada singa masih belum dapat ditentukan secara pasti. Kejadian keracunan ivermectin
jarang terjadi pada hewan ternak produksi seperti sapi potong, sapi perah, kambing maupun
domba. menurut Patel et al. (2018), gejala keracunan Ivermectin pada pedet akan muncul jika
diberikan ivermectin dengan dosis 3 kali lipat dari dosis terapi yang dianjurkan. Hewan muda
pada umumnya lebih sensitif bereaksi terhadap pemberian overdosis dengan prognosa yang jelek
jika dibandingkan dengan yang dewasa. Pada tabel 2 terlihat bahwa gejala keracunan ivermectin
yang paling menciri adalah kelemahan umum, kejang, ataksia dan mydriasis. Menurut Merola
and Eubig (2012) ivermectin pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan depresi dan ataksia.
Efek toksik Ivermectin sangat terkait interaksinya dengan glikoprotein-P yang menghambat
aksesnya ke SSP. Lebih lanjut, pada hewan hewan yang baru lahir atau kuda umur dibawah 4
bulan masih belum mampu mengekspresikan glikoprotein-P sehingga terjadi kegagalan
penghambatan penetrasi ivermectin ke SSP. Patel et al. (2018) melaporkan kasus keracunan
akibat overdosis ivermectin pada pedet. Dalam kasus tersebut pedet dengan berat badan 30 kg
diberi pengobatan ivermectin (100mg/bolus) yang dikombinasikan dengan fenbendazole
(3000mg/ bolus). Gejala klinis yang teramati adalah anoreksi, salivasi, rambut kusam, ataksia,
selaput lendir pucat, midriasis, tidak adanya refleks pupil, suhu tubuh normal, takikardia,
tachypnoea, depresi, cara berjalan abnormal dan kemudian ambruk diikuti dengan tremor.
Penelitian oleh Abdou and Sharkawy (2004) pada kambing yang diberi Ivermectin dengan dosis
diatas level terapaeutik menunjukkan gejala klinis yang mirip dengan sapi. Gejala klinis yang
muncul pada kambing tersebut antara lain ataksia, tremor, depresi, diarrhea, mydriasis dan
kadang-kadang dapat berakibat fatal. Hasil pemeriksaan klinis pedet akibat keracunan ivermectin
yang diamati oleh Bhikane et al. (2017) juga menunjukkan kemiripan yaitu kelemahan umum,
inkoordinasi saat berjalan, termor, adanya leleran hidung, saliva lengket, selaput lendir sianotik,
suhu tubuh normal, peningkatan pulsus dan frekwensi nafas. Abdou and Sharkawy (2004) telah
mempelajri efek toksik ivermectin terhadap kambing Balady. Dalam penelitiannya, Tiga puluh
ekor kambing betina berumur tiga tahun, dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok I dengan dosis
teraupetik, kelompok II diberi dosis 10 kali lipat dosis terupetik dan kelompok kontrol tanpa
pemberian ivermectin. Gejala klinis yang muncul pada kelompok II menunjukkan bahwa 2
kambing mengalami ataksia selama 4 hari, 12 jam setelah injeksi ivermectin, 2 ekor mengalami
diare dan seekor menunjukkan gejala tremor ringan. Kambing lain pada kelompok II
menunjukkan gejala depresi. Semua kambing dengan pemberian dosis teraupetik (kelompok I)
tidak menunjukkan gejala keracunan. Hasil penelitian maupun kasus kasus lapangan
menunjukkan bahwa gejala klinis keracunan ivermectin pada umumnya terkait dengan sistem
saraf pusat (Yas-Natan et al., 2003). Depresi neurologis, ataksia, midriasis, kebutaan, tremor,
hipersalivasi dan jika melanjut hewan akan mengalami koma. Kebutaan biasanya bersifat
sementara dan kemungkinan terkait dengan edema retina serta kelainan electroretinogram. Kasus
kasus keracunan ivermectin mengarah pada gejala klinis yang hampir sama dengan keracunan
lain sehingga penelusuran sejarah pengobatan, anamnesa yang cermat serta pemeriksaan klinis
harus dilakukan dengan seksama. Dari kasus keracunan dalam penelitian maupun kasus lapangan
yang terdokumentasi, keracunan tersebut lebih banyak disebabkan oleh overdosis pengggunaan
ivermectin yang tampaknya disebabkan karena praktek manajemen pengobatan yang tidak tepat.
HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS SERTA STUDU KASUS
ANTIDEPRESAN

Hubungan Struktur dan Aktivitas Imipramin

Modifikasi pada sejumlah sistem cincin trisiklik dari golongan antidepresan trisiklin ini seperti
pada cincin dibenzazepin, dibenzasiklohepten danfenotiazin dapat menimbulkan efek antidepresi
yang berbeda.

a. Modifikasi pada rantai samping

Senyawa menunjukkan aktivitas yang tinggi bila jumlah atom C pada rantai samping adalah 2
atau 3 (etilamin atau propilamin). Bila jumlah atom C = 1 atau lebih besar dari 3 dan adanya
percabangan pada rantai samping akan menyebabkan senyawa menjadi tidak aktif.

Gugus amin pada rantai samping biasanya amin sekunder, tidak amin tertier seperti pada
psikotik. Senyawa akan aktif bila atom N tidak tersubstitusi atau tersubstitusi dengan gugus
metil. Substitusi dengan gugus etil atau gugus alkil yang lebih tinggi akan menurunkan
aktivitas secara drastis dan menimbulkan toksisitas. Jumlah atom C makin besar maka
toksisitasnya semakin besar pula.

b. Modifikasi pada cincin trisiklik

Adanya substituen 3-Cl, 10-metil dan 10,11-dimetil dapat meningkatkan aktivitas.

Jembatan pada posisi 10, 11-dimetil dapat terbentuk dari –CH2-CH2- (dihidrodibenzazepin,
misalnya desipramin), -CH=CH- (dibenzazepin) atau -S- (fenotiazin, misalnya
desmetilpromazin) dan ketiganya aktif sebagai antidepresi.

Hilangnya jembatan 10, 11 (difenilamin) juga tidak menghilangkan aktivitas antidepresi.


Diduga bahwa jembatan pada posisi 10,11 tidak penting untuk aktivitas antidepresi.

Atom N cincin pada desiparamin dapat diganti dengan atom C (nortriptilin) dan tetap aktif
sebagai antidepresi. Penghilangan salah satu cincin benzene akan menghilangkan aktivitas
antidepresi. Dari 20 turunan fenotiazin, setelah dilakukan uji hanya desmetilpromazin dan
desmetiltriflupromazin yang aktif sebagai antidepresi.

HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS SERTA STUDU KASUS


ANTIINFLAMASI

Hubungan struktur-aktivitas senyawa obat


Menurut Corwin Hansch dkk (1963), HKSA adalah menghubungkan struktur kimia dan
aktivitas biologis obat melalui sifat-sifat kimia fisika , seperti kelarutan dalam lemak (lipofilik),
derajat ionisasi (elektronik), dan ukuran molekul (sterik).
Konsep bahwa aktivitas biologis suatu senyawa berhubungan dengan struktur kimia,
pertama kali di kemukakan oleh Crum, Brown dan Fraser (1869). Mereka menunjukkan bahwa
aktivitas biologis beberapa alkaloida alam seperti striknin, brusin, tebain, kodein, morfin dan
nikotin yang mengandung gugus ammonium tersier akan menurun atau hilang bila di reaksikan
dengan metyl iodide, melalui reaksi metilasi membentuk ammonium kuartener.
Hubungan struktur – aktivitas senyawa anti inflamasi
 Struktur kimia adrenokortikosteroid
Cincin A : Ikatan rangkap C4,5 Dan gugus keton pada atom C3 diperlukan untuk aktivitas
adrenokortikosteroid yang spesifik. Adanya ikatan rangkap pada C1-2 9( misalnya pada
prednisone atau prednisolone ) memperbesar rasio potensi regulasi karbohidrat terhadap
potensi retensi Na+ karehna secara selektif memperbesar potensi yang pertama. Prednisolon
dimetabolisme lebih lambat dari kortisol.

Cincin A
Cincin B : metilasi 6-a pd kortisol memperbesar efek anti-inflamasi, pengeluaran nitrogen
(nitrogen wasting) dan retensi Na.
Cincin C: Adanya atom O pd C11 diperlukan utk efek anti-inflamasi dan regulasi
karbohidrat, dan ini terlihat bila kortisol dibandingkan dg 11-desoksikortisol.
Cincin D: Metilasi atau hidroksilasi pd atom C16 menyebabkan penurunan retensi Na+ yg
nyata, tetapi hanya sedikit mempengaruhi efek metabolisme dan anti-inflamasi.
Hubungan Struktur-Aktivitas Senyawa Anti Inflamasi

(ibufenak, ibuprofen, ketoprofen, fenoprofen, diklofenak, flurbiprofen, laksoprofen)


Hubungan struktur aktivitas :
pemisahan dengan lebih dari satu atom C akan menurunkan aktivitasadanya gugus a-metil pada
rantai samping asetat dapat meningkatkan aktivitas antiradangadanya a-subtitusi menyebabkan
senyawa bersifat optis aktif dan terkadang isomer satu (isomer S) lebih aktiv dari isomer
lainnya.turunan ester dan amida memiliki aktivitas antiradang karena secara invivo dihidrolisis
menjadi bentuk asamnya.
Gugus yang menunjukan bahwa senyawa tersebut memiliki aktivitas antiinflamasi adalah
gugus asam karboksilat. Seperti yang ditunjukan pada beberapa contoh obat antiinflamasi
turunan asam karboksilat, diantaranya : Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS)
berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 menjadi terganggu. Enzim
siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut KOKS-1 dan KOKS-2.
Sedangkan untuk senyawa turunan biphenyl-4-carboxylic acid 5-(arylidene)-2-(aryl)-4-
oxo-thiazolidin-3-yl amides adalah:

Senyawa turunan thiazolidin disubstitusi 3-Br-C6H4– seperti gambar dibawah ini

Seperti kita ketahui, atom Br merupakan electron withdrawing group (EWG). Br akan menerima
elektron dari cincin fenil sehingga cincin fenil menjadi lebih positif melalui efek induksi.
Kemungkinan, karena adanya efek induksi menyebabkan senyawa ini memiliki muatan. Muatan
ini lah yang dapat meningkatkan ikatan antara senyawa dengan sisi aktif dari enzim.
Faktor faktor yang kurang mendukung Hubungan Struktur Aktivitas
- perbedaan keadaan pengukuran parameter kimia fisika dan aktivitas biologis. contoh :
konformasi molekul obat mungkin tergantung pada pH dan komposisi ion dari medium
dimana obat tersebut di teliti.
- senyawa yang digunakan ternyata bentuk pra-obat yang terlebih dahulu harus mengalami
bioaktivasi menjadi metabolit aktif.
- aktivitas obat dipengaruhi oleh banyak keadaan in vivo seperti distribusi obat yang
melibatkan proses transpor, pengikatan oleh protein, proses metabolisme yaitu bioaktivasi
dan biodegradasi, serta proses ekskresi.
- senyawa mempunyai pusat atom asimetris, sehingga kemungkinan merupakan campuran
rasematr dan masing masnig mempunyai derajat aktivitas yang berbeda.
- senyawa mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan senyawa lain tetapi berbeda
mekanisme aksinya.
Faktor yang mendukung Hubungan Struktur Aktivitas Hubungan struktur aktivitas empiris
yang sifatnya incidental untuk tipe obat tertentu hukum empiris yang diperlukan untuk terjdinya
aktivitas biologis dapat digunakan untuk membuat turunan obat berdasarkan data percoaan yang
tersedia. contoh : turunan morfin mempunyai karakteristik struktur yang diperlukan untuk
aktivitas analgesik sbb:pusat atom C yang tersubstitusi dan tidak mengandung atom H atau atom
C kuartenergugus fenil atau gugus artomatik lain yang berhubungan yang mengikat atom C
kuartenergugus amino tersier yang mengikat gugus alkil kecil seperti metalrantai dari dua atom
C yang terletak antara pusat atom C kuartener dengan gugus amino tersierstruktur obat
simetrikBeberapa tipe obat tertentu seperti senyawa pengalkilasi antikanker, obat kurariform dan
obat pemblok ganglionik. Ada yang mengandung dua gugus fungsi simetrik yang berhubungan
dan mungkin diperlukan untuk aktivitas atau mempunyai keuntungan tertentu, contoh struktur
obat simetrik : salisil salisilat (dua molekul asam salisilat). dan metazid (dua molekul isoniazid
digabungkan melalui jembatan metilen).
STUDI KASUS
Sebagaimana diketahui bahwa obat-obat golongan anti-inflamasi nonsteroid (AINS)
memiliki efek analgetik, antipiretik dan anti-inflamasi. Obat dari golongan ini sangat ampuh
untuk mengurangi nyeri secara simtomatis, paling luas peresepannya dan menjadi pilihan
pertama dalam pengobatan nyeri inflamasi. Terdapat beragam jenis AINS yang dikenal, seperti
aspirin, parasetamol, ibufrofen, asam mefenamat, indometasin, diklofenak, piroksikam dan
nimesulide. Dari berbagai macam obat AINS, masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan yang terlihat pada efek terapi dan efek samping yang ditimbulkan. Efek terapi dan
efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan ini. Penggunaan AINS pada
anak sangat perlu menjadi perhatian. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi rekan
sejawat dalam hal pemilihan obat-obat AINS pada anak.

Anda mungkin juga menyukai