Anda di halaman 1dari 58

Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota


Menggunaan Data SPOT-6

Monitoring of Urban Open Green Space Application Using SPOT-6 Data

Mukhoriyah1*), Dipo Yudhatama1, dan Rizki Putri Aprili2


1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan jauh - LAPAN
2
Fakultas Pertanian – Universitas Jenderal Soedirman
*)
Email: rya05_lapan@yahoo.co.id

ABSTRAK – Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan vegetasi guna mendukung manfaat ekologis dan sosial budaya masyarakat.
Kecenderungan saat ini luasan RTH perkotaan cenderung berkurang akibat dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan.
Sebagai unsur utama pembentuk kota, RTH dirancang dengan baik dan benar sesuai dengan rencana tata ruang kotanya.
Namun seringkali RTH yang telah ditetapkan pada rencana kota tidak sesuai dengan peruntukannya saat ini.
Permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya dalam pemantauan kondisi pemanfaatan RTH yang ada, yaitu pada area
perkotaan yang memiliki tingkat kepadatan dan heterogenitas tinggi. Data SPOT-6 memiliki resolusi spasial sangat
tinggi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah perkotaan yaitu memantau pemanfaatan RTH perkotaan di
Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yang memiliki tingkat vegetasi yang beragam. Ekstraksi informasi digital
digunakan untuk memisahkan piksel pada objek RTH dengan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan SPOT-6
mempunyai akurasi yang baik dalam memantau RTH perkotaansampai wilayah kelurahan. Penggunaannya dalam
pemantauan dapat membantu untuk mendeteksi dini perubahan pemanfaatan RTH yang ada secara efektif dan efisien.

Kata kunci: Ruang Terbuka Hijau (RTH), perkotaan, SPOT-6

ABSTRACT - Urban Open green space is part of open spaces in urban region that filled by plant and vegetation to
support ecological and social culture in society. In this time trend of urban open green space area is decreasing
because of convertion to urban infrastructure. As the first element of city formation, the design of open green space is
good and correct according to spatial city plan. But, open green space that had been set on the city plan are often not
applied properly. The problems is the difficulties on monitoring the condition of open green space application,
especially in the urban area with high population and high heterogenity. SPOT-6 data has high spatial resolution that
can be used for urban region identification to monitor urban open green space in Duren Sawit Subdistrict east Jakarta,
which has various vegetation. Extraction of digital information is used for piksel disrupt on the open green space object
from the other. The result of research show that SPOT-6 has good accuracy in monitoring the urban open green space
up to urban communities. It helps to make early detection on the open green space application effectively and
efficiently.

Keywords: Open Green Space, urban, SPOT-6

1. PENDAHULUAN
Kebutuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang semakin meningkat di suatu kota mendorong tingginya
kebutuhan penduduk terhadap lahan. Hal ini menyebabkan aktivitas pembangunan fisik perkotaan terus
dilakukan seperti perumahan, sekolah, pabrik, gedung perkantoran dan perbelanjaan. Proses pembangunan
berdampak pada perubahan penggunaan lahan dan luasan ruang terbuka hijau (RTH), contohnya yang terjadi
di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area yang memanjang
berbentuk jalur atau area mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, merupakan tempat
tumbuh tanaman, yang tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007
tentang penataan ruang, bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20% untuk publik dan
10% untuk privat (KemenPU No. 12, 2009). Kemajuan pembangunan fisik di perkotaan berdampak positif
pada peningkatan kegiatan perekonomian, tetapi dampak negatif yang ditimbulkan adalah terhadap
terjadinya penurunan kualitas lingkungan akibat perubahan penggunaan lahan.
Keberadaan RTH di wilayah perkotaan dapat meningkatkan kualitas yaitu mempunyai fungsi secara
ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan estetika. Secara ekologis, RTH berfungsi sebagai paru-paru kota,
pengatur iklim mikro, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa,
penyerap polutan dalam udara, air, dan tanah, serta sebagai penahan angin. Secara sosial budaya berfungsi

-528-
Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi, dan tempat rekreasi warga. Secara ekonomi RTH
berfungsi sebagai sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, buah, daun, dan sayur mayur.
Beberapa fungsi sebagai bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain: secara estetika
berfungsi sebagai meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik skala mikro (halaman
rumah/lingkungan permukiman), maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan), dan menciptakan
suasana serasi dan seimbang. Dalam suatu wilayah perkotaan, RTH berdasarkan fungsi ekologis, sosial
budaya, ekonomi, dan estetika dapat dikombinasikan sesuai kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota
seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologis, dan konservasi hayati.
Pemantauan pemanfaatan RTH di wilayah kota dilakukan dengan menggunakan data penginderaan jauh
yaitu citra satelit SPOT-6 yang memiliki resolusi temporal yang baik dan cakupan wilayah yang luas.
Kerapatan vegetasi di wilayah administrasi Jakarta Timur, khususnya Kecamatan Duren Sawit akan sangat
mempengaruhi suhu permukaan daerah tersebut. Kerapatan vegetasi inilah yang akan menciptakan
kenyamanan dan kesejukan di suatu penggunaan lahan. Tinggi rendahnya suatu kerapatan vegetasi dapat
diketahui dengan menggunakan teknik NDVI (Normalize Difference Vegetation Index) yang merupakan
transformasi citra penajaman spektral untuk menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan vegetasi.

2. METODE
Lokasi penelitian berada di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta yang secara
geografis terletak di koordinat 106 ͦ 49’ 35’’ BT dan 6 ͦ 10’37’’ LS dan memiliki tujuh kelurahan yaitu
Kelurahan Klender, Pondok Bambu, Duren Sawit, Malaka Sari, Malaka Jaya, Pondok Kopi, dan Kelurahan
Pondok Kelapa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit multitemporal SPOT-6 tahun
2013 dan 2015 dengan resolusi spasial 1,5 m dan Peta Rupa Bumi Indonesia. Pada data citra SPOT-6
dilakukan tahap georeference agar citra satelit memiliki koordinat sebenarnya di permukaan bumi
(Danoedoro, 1996). Kemudian dilakukan koreksi geometrik, mosaik dan cropping.
Selanjutnya data SPOT digunakan untuk mengindentifikasi tingkat kerapatan dan kehijauan vegetasi
pada RTH pada tahun 2013 dan 2015 dengan menggunakan metode algoritma Normalize Difference
Vegetation Index (NDVI) merupakan perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan
daun, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI adalah indeks vegetasi yang
paling populer digunakan dan dapat menggambarkan kodisi tingkat kehijauan, kesehatan dan kerapatan
vegetasi (Trisaktidkk., 2014). NDVI pada dasarnya merupakan indeks vegetasi dalam menghitung seberapa
besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun (Rushayati dkk., 2011). Parameter
indek vegetasi sebaiknya memenuhi syarat (Jensen, 2000) :
1. Memaksimalkan sensitifitas dari parameter biofisik tanaman.
2. Menormalkan pengaruh dari luar seperti sudut matahari, sudut pandang sensor, atmosfer dan waktu
perekaman.
3. Menormalkan pengaruh dari dalam seperti variasi dari jenis kanopi dan tanah, kondisi topografi dan
jenis tanaman.
4. Dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur seperti biomassa atau leaf area index
(LAI) yang dapat dijadikan alat validasi dan kontrol kualitas informasi.

Tabel 1.Pembagian Daerah Berdasarkan Nilai NDVI


Daerah Pembagian Nilai NDVI
Awan es, awan air, salju < 0,002
Batuan dan lahan kering 0,002 – 0,025
Padang rumput dan semak belukar 0,025 – 0,090
Hutan dan tanaman jarang 0,090 – 0,140
Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis 0,140 – 0,800
Sumber: Bosedkk.,(2012)

NDVI bernilai antara -1,0 hingga +1,0. Nilai -1 menunjukkan bahwa indeks vegetasinya rendah dan +1
menunjukkan indeks vegetasinya tinggi. Nilai yang lebih besar dari 0,1 menandakan peningkatan derajat
kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Nilai di antara 0 dan 0,2 umumnya merupakan karakterikstik dari
bebatuan dan lahan kosong dan nilai kurangdari 0 mengindikasikan awan es, awan uap air dan salju.
Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0,025 untuk lahan savanna (padang rumput) hingga 0,8
untuk daerah hutan hujan tropis (Bose dkk., 2012).

-529-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Nilai NDVI dapat diperoleh dengan membandingkan pengurangan data dari band NIR (Near Infrared)
dan band red (Infrared) dengan penjumlahan dari kedua band tersebut. Rumus NDVI adalah sebagai berikut
(Lau dkk., 2006).

ࡺࡵࡾି࢘ࢋࢊ
NDVI = ࡺࡵࡾା࢘ࢋࢊ...............................................................................................................................................(1)

Keterangan :
NDVI = NilaiNormalize Difference Vegetation Index
NIR = Nilai Digital pada band Near Infrared
red = Nilai Digital pada band Infrared

Setelah diketahui tingkat kehijaun dan nilai kerapatannya, kemudian dilakukan uji akurasi dengan
menggunakan Confusion Matrix untuk mengetahui tingkat ketepatan atau keakuratan klasifikasi yang dibuat.
Keakuratan tersebut meliputi jumlah training sample yang diklasifikasikan dengan benar atau salah dan
persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Uji akurasi yang
digunakan yaitu matriks kontingensi yang sering disebut confusion matrix. Dalam matriks kontingensi ini,
analisis dihitung besarnya akurasi pembuat dan akurasi pengguna dari setiap kelas tutupan lahan (Riswanto,
2009). Setelah dilakukan uji akurasi, kemudan dianalisis perubahan RTH tahun 2013 dan 2015 sehingga
diketahui tingkat perubahannya

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Transformasi Algoritma NDVI untuk Mengidentifikasi RTH Tahun 2013 dan 2015
Menggunakan Data Citra SPOT-6
Berdasarkan hasil analisis dan identifikasi tingkat kehijauan dan kerapatan vegetasi pada RTH dengan
melakukan perhitungan dengan algoritma NDVI dirumuskan sistematis antara Band Near Infrared dengan
Band Visible Red. Band Red dijadikan B1, Band Green menjadi B2, Band Blue menjadi B3, dan Band NIR
dijadikan B4. Pengurangan nilai piksel B4 terhadap B1 dibagi penjumlahan nilai piksel B4 terhadap B1
menghasilkan nilai NDVI yang berkisar antara -1 sampai dengan +1. Nilai -1 menunjukkan bahwa indeks
vegetasinya rendah dan +1 menunjukkan indeks vegetasinya tinggi (Bose dkk., 2012). Pada Gambar 2 dan 3,
dapat diketahui citra hasil transformasi NDVI ditunjukkan dengan rona yang cerah, semakin cerah maka

-530-
Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

semakin rapat vegetasinya. Pada citra 2013 memiliki nilai NDVI -0,655 sampai 0,812 sedangkan citra 2015
memiliki nilai NDVI -0,106 sampai 0,829. Hal ini menunjukkan citra 2015 memiliki indeks vegetasi yang
sedikit lebih tinggi dibanding citra 2013.

Gambar 2.Nilai NDVI pada citra SPOT-6 Tahun 2013 Gambar 3. Nilai NDVI pada citra SPOT-6 Tahun 2015

Analisis klasifikasi yang digunakan untuk interpretasi citra adalah klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised). Proses pengkelasan ini didasarkan pada informasi gugus-gugus spektral yang tidak
bertumpang susun pada ambang jarak tertentu pada saluran-saluran yang digunakan. Hasil dari klasifikasi
belum diketahui identitasnya karena didasarkan hanya pengelompokan secara natural. Proses klasifikasi
diawali dengan penentuan jumlah kelas (cluster) yang akan dibuat. Selanjutnya analisis penetapan kelas-
kelas vegetasi terhadap kelas-kelas spektral yang telah dikelompokkan oleh komputer. Dari kelas-kelas
(cluster) yang dihasilkan, analisis dapat digabungkan beberapa kelas yang dianggap memiliki informasi yang
sama menjadi satu kelas.
Pada citra 2013 dibuat 30 kelas spektral yang dikelompokkan menjadi 3 kelas vegetasi yaitu vegetasi,
vegetasi 2 (rumput), vegetasi 3 (bertanah). Kelas 1 sampai 21 dan kelas 23 memiliki cluster yang sama maka
dikelompokkan cluster tersebut menjadi satu kelas, yaitu vegetasi. Vegetasi yang dimaksud memiliki tingkat
kerapatan tinggi hingga sedang. Kelas 24 sampai 28 dan kelas 22 memiliki cluster yang sama dan
dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu vegetasi 2 (rumput). Vegetasi 2 yang dimaksud memiliki tingkat
kerapatan sedang hingga rendah. Kelas 29 sampai 30 memiliki cluster yang sama dan dikelompokkan
menjadi satu kelas, yaitu vegetasi 3 (bertanah). Vegetasi 3 yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan rendah
hingga sangat rendah.

Vegetasi (Rapat)
Rumput (Sedang)
Bertanah (Rendah)

Gambar 4. Hasil Klasifikasi Citra SPOT-6 Tahun 2013

Pada citra 2015 dibuat 50 kelas spektral yang dikelompokkan menjadi 3 kelas vegetasi yaitu vegetasi
(rapat), rumput (sedang), bertanah (rendah/jarang). Kelas 1 – 6, 8, 10, 11, 15, 28, 29, 31 – 36, dan 43
memiliki cluster yang sama maka dikelompokkan cluster tersebut menjadi satu kelas, yaitu vegetasi (rapat).
Vegetasi yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan tinggi hingga sedang. Kelas 7, 8, 12 – 14, 16 – 27, 30,
dan 37 - 42 memiliki cluster yang sama dan dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu rumput (sedang).
Rumput yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan sedang hingga rendah. Kelas 44 sampai 50 memiliki
cluster yang sama dan dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu bertanah (rendah/jarang). Bertanah yang
dimaksud memiliki tingkat kerapatan rendah hingga sangat rendah.

-531-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 5. Hasil Klasifikasi Citra SPOT-6 Tahun 2015

Citra SPOT-6 Tahun 2013


Vegetasi (Rapat)
Rumput (Sedang)
Bertanah (Rendah)

Citra SPOT-6 Tahun 2015

Gambar6. Overlay Citra SPOT-6 2013 terklasifikasi Tahun 2013 dan 2015 terklasifikasi

Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan atau keakuratan klasifikasi yang dibuat.
Keakuratan tersebut meliputi jumlah training sample yang diklasifikasikan dengan benar atau salah dan
persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Uji akurasi yang
digunakan yaitu matriks kontingensi yang sering disebut confusion matrix. Dalam matriks kontingensi ini,
analisis dihitung besarnya akurasi pembuat dan akurasi pengguna dari setiap kelas tutupan lahan (Riswanto,
2009). Nilai overall accuracy antara klasifikasi tidak terbimbing dengan kelas poligon training sampel
manual diperoleh sebesar 73,4 % dan nilai statistik kappa 0,598 .

Tabel 1. Uji Akurasi Confusion Matriks untuk Menentukan Nilai Kerapatan RTH
di Kecamatan Duren Sawit
Kelas Vegetasi Rumput Bertanah
Vegetasi 3254 281 0
Rumput 34 408 64
Bertanah 0 21 97

Analisis Perubahan Tingkat Kerapatan RTH Tahun 2013 dan 2015


Hasil overlay dari data SPOT-6 tahun 2013 dan 2015 diperoleh perubahan RTH yang dibagi dalam 3
kelas kerapatan yaitu: rapat, sedang dan jarang (rendah). Vegetasi rapat pada tahun 2013 masih terlihat
dominan pada bagian kanan bawah sedangkan pada tahun 2015 vegetasi rapat sudah mulai berkurang. Hal
ini disebabkan karena kondisi citra pada waktu perekaman tertutup oleh awan. Pada Gambar 7(a), vegetasi
rapat masih terlihat dominan pada tahun 2013 sedangkan pada tahun 2015 terjadi pengurangan dari vegetasi
rapat menjadi sedang danhilangnya area vegetasi menjadi non vegetasi. Hal ini disebabkan karena kondisi
citra pada waktu perekaman tertutup oleh awan dan adanya alih fungsi lahan menjadi permukiman. Gambar
7(c). tahun 2013 dan 2015, vegetasi sedang masih terlihat dominan namun sebagian terjadi penurunan
kerapatan dari sedang menjadi rendah. Dan pada Gambar 7(d) tahun 2013 didominasi oleh vegetasi rapat
sedangkan kerapatan vegetasi pada tahun 2015 berubah menjadi sedang dan rendah.

-532-
Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

Citra SPOT-6 Tahun 2013 Citra SPOT-6 Tahun 2015

(a) (a)

(b) (b)

(c) (c)

(d) (d)
Gambar7.Perubahan Tingkat Kerapatan RTH Tahun 2013 dan 2015

Pada Gambar 8, 9 dan 10 tampilan warna merah pada citra menunjukkan terjadinya perubahan yang
disebabkan oleh kondisi citra 2015 saat perekaman tertutup oleh awan, penentuan threshold (ambang batas)
dan adanya perubahan vegetasi menjadi non vegetasi seperti perumahan dan industri. Tampilan warna hijau
pada citra menunjukkan terjadinya perubahan peningkatan kerapatan vegetasi. Hal ini disebabkan penentuan
threshold (ambang batas) indeks vegetasi dan perubahan vegetasi rendah menjadi vegetasi sedang. Tampilan
warna oranye pada citra menunjukkan keadaan yang konsisten (tetap) pada tahun 2013 hingga 2015. Tidak
mengalami penurunan atau peningkatan kerapatan.

-533-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 8. Citra SPOT-6 Band 1 Tahun 2013 Gambar 9. Citra SPOT-6 Band 2 Tahun 2015

Gambar 10.Perubahan Tingkat Kerapatan RTH citra SPOT-6 Tahun 2013 dengan Tahun 2015

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa metode vegetasi NDVI dapat diterapkan pada citra SPOT-6
yang digunakan untuk mendapatkan informasi tingkat kerapatan RTH di Kecamatan Duren Sawit yang
terbagi menjadi 3 kelas yaitu vegetasi (rapat), rumput (sedang), bertanah (rendah/jarang). Berdasarkan hasil
klasifikasi didapatkan perubahan yang terjadi disebabkan adanya alih fungsi lahan dari RTH menjadi area
terbangun seperti untuk industri, permukiman, dan bangunan lainnya.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak DR. Bambang Trisakti dan teman-teman yang telah
membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P., (1996). Pengolahan Citra Digital. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Jensen., (2000). Remote Sensing of Environment An Earth Resources Perpektif. Prentice-Hall, Inc. USA.544p
Peraturan Menteri PU No. 12 Tahun (2009). Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan.
Riswanto, E., (2009). Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutup Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi
RendahStudi Kasus di Pulau Kalimantan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
Rushayati, S.B., Alikodra, H.S., Dahlan, E.N., dan Purnomo, H., (2011). Pengembangan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Distribusi Permukaan di Kabupaten Bandung.Forum Greografi, 25(1). Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Trisakti, B., Suwargana, N., dan Cahyono, J.S., (2014). Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Memantau
Parameter Status Ekosistem Perairan Danau (Studi Kasus: Danau Rawa Pening. Seminar Nasional Penginderaan
Jauh. Pusfatja. LAPAN.
Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
-534-
Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. M. Rokhis Khomarudin


JudulMakalah : Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6
Pemakalah : Mukhoriyah (LAPAN)

Diskusi :

Pertanyaan: Agus Hidayat (LAPAN)


Banyak konsep city farming di mana di atap-atap gedung bertingkat banyak ditanami sayur, jika itu terjadi di Jakarta,
bagaimana metodologi ini bisa diterapkan, di mana RTH akan tampak bertambah terus, padahal yang benar RTH itu
adalah open space yang benar diperuntukkan untuk resapan bukan tanaman hijau? Terlihat dari satelit adalah kanopi, itu
akan lebih besar atau luas dari akarnya, bagaimana perhitungan NDVI benar yang dihitung RTH-nya bukan proyeksi
dari kanopi, bisa jadi akan melebihi 30 % luas RTH yang ditentukan Undang-Undang ?

Jawaban:
Dalam perhitungan NDVI masih melihat dari kanopi, belum bisa melihat yang di bawah kanopi, perlu survey lapangan.

Jawaban: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN)


Dinas tata kota, juga menghitung RTH di atas atap. Terkait dengan keterbatasan penginderaan jauh, di bawah kanopi
ada bangunan dan lainnya ini merupakan kesalahan, jadi perlu kerjasama dengan orang lapangan, sehingga bisa
dihitung besarnya kesalahan ruang hijau yang dikeluarkan.

Saran: Dr. Dony Kushardono (LAPAN)


Dengan resolusi spasial yang sangat tinggi diharapkan bukan sekedar luasan, tapi jenis tanaman, setidaknya tegakan
tahunan, dll. Ruang terbuka hijau kaitannya dengan kualitas dia meresap, polusi udara,dll., tujuaannya untuk itu, misal
tanaman merambat bisa luas dilihat dari satelit, apa itu yang dimaksud, tapi kan yang diharapkan itu yang luas berupa
tanaman tegakan misalnya beringin dan sebagainya (Saran)

Saran: Dr. M. Rokhis Khomarudin (LAPAN)


Ada beberapa hal yang dikemukan oleh Pak Agus menjadi tantangan kita bagaimana kita memanfaatkan data resolusi
sangat tinggi tadi bisa menghitung real pohon

-535-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Pemetaan Sumberdaya


Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat
Application of Remote Sensing in Agricultural Land Resource Mapping.
Case Mapping in the district of Padang Pariaman, West Sumatra
Widia Siska1*) dan Via Yulianti1

1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat

*)
Email : widiasiska82@gmail.com

ABSTRAK-Pemetaan sumberdaya lahan merupakan langkah strategis dalam mendukung pengembangan kawasan
pertanian. Makalah bertujuan untuk memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan sumberdaya lahan
menuju pengembangan kawasan pertanian. Kegiatan dilakukan di wilayah Kabupaten Padang Pariaman Sumatera
Barat, pada tahun 2015. Metode yang digunakan yaitu memanfaatkan data citra satelit dan data Digital Elevation Model
(DEM), didukung peta RBI semi detil dan peta tanah tinjau. Tahapan diawali dengan melakukan tumpang tindih
(overlay) peta tanah tinjau dengan Peta RBI digital. Selanjutnya dibuat peta lereng, peta elevasi dan peta kontur dari
DEM. Kegiatan ini menghasilkan peta satuan lahan skala 1:50.000. Peta tersebut menjadi landasan untuk menseleksi
lokasi yang potensial untuk pengembangan kawasan pertanian, dan dasar penentuan titik pengamatan untuk verifikasi
lapangan. Dari kegiatan diperoleh gambaran, Kabupaten Padang Pariaman yang luasnya sekitar 140.000 ha terdiri dari
65 satuan lahan. Sebahagian besar (92,17%) merupakan potensi pengembangan kawasan pertanian untuk komoditas
tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, sisanya (7,83%) merupakan lahan konservasi. Peta satuan lahan yang
dihasilkan dari pengolahan data penginderaan jauh ini memiliki keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana
untuk survei lapang. Penerapan penginderaan jauh terbukti dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pemetaan
sumberdaya lahan. Dengan demikian, penginderaan jauh selayaknya dijadikan instrumen utama didalam pemetaan
lahan untuk pengembangan kawasan pertanian.

Kata kunci : Penginderaan Jauh, DEM, Pemetaan Sumberdaya Lahan, Sumatera Barat

ABSTRACT- Mapping of land resources is a strategic step in supporting the development of agricultural areas. The
paper aims to take advantage of remote sensing technology for land resources mapping towards the development of
agricultural areas. The activities carried out in the district of Padang Pariaman West Sumatra, in 2015th. The method
used satellite imagery data and Digital Elevation Model data, Supported by RBI maps semi-detailed and soil maps
review. Stages begins by overlap soil maps review by RBI map. Then create a slope map, elevation maps and contour
maps from DEM. The result of these activities is land units map scale of 1 : 50,000. The map is the basis for selecting
potential sites for the development of agricultural areas, and the basis for determining the observation point for field
verification. Obtained a description of activities, Padang Pariaman district that covers about 140,000 hectares,
comprising 65 of land units. Largely (92,17%) is the potential for the development of agricultural areas for food crop,
horticulture and plantation, the rest (7,83%) is a conservation area. Land units Map resulting from the processing of
remote sensing data has advantages in accuracy, saving time and money for field survey. The application of remote
sensing can be used as an approach proven in the development of agricultural areas. Thus, remote sensing should be
used as the main instrument in the development of agricultural areas.

Keywords: Remote Sensing, DEM, Mapping of Land Resources, West Sumatra

1. PENDAHULUAN
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena
alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.
Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera
(sensor) yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lillesand dan Keifer, 1994).
Di bidang pertanian, aplikasi penginderaan jauh mampu memberikan data/informasi tentang sumberdaya
lahan dengan tingkat ketelitian analisis yang tinggi. Metode ini telah mempertimbangkan masukan
keterpisahan nilai spektral dan data informasi lapangan (hibrid classification). Informasi baku tentang tingkat
-536-
Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

ketelitian/kebenaran hasil analisis data digital ini sangat penting dan berguna bagi pemanfaatan data dan
aplikasi bagi pengguna (Wahyunto, dkk., 2004). Teknologi ini meningkatkan peranan data spasial dalam
memenuhi permintaan informasi sumberdaya lahan yang efisien, aktual dan akurat (Hikmatullah, dkk., 2014)
Data dan informasi ini merupakan masukan dasar bagi perencanaan, penelitian, dan pemantauan
pemanfaatan sumberdaya lahan di tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten dan kota. Berbagai upaya
dilakukan Badan Litbang Pertanian untuk mengidentifikasi potensi dan sebaran sumberdaya lahan strategis
untuk mendukung perencanaan pembangunan pertanian. Salah satunya dengan menyusun peta sumberdaya
lahan skala 1:250.000 pada level provinsi di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan pada metode dan data
terbaru (Badan Litbang Pertanian 2013). Namun, agar bisa digunakan untuk tingkat operasional lapangan,
dibutuhkan data dan informasi sumberdaya lahan pada skala yang lebih besar, yaitu skala 1:50.000 (Ismon,
dkk., 2015).
Penyusunan peta sumberdaya lahan dilakukan melalui pendekatan analisis terrain, dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, yaitu landform, relief/lereng, litologi/bahan induk (Van Zuidam,
1986). Unsur-unsur terrain seperti lereng mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesesuaian lahan, sehingga
delineasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai satuan dasar dalam evaluasi lahan. Dalam survei
sumberdaya lahan tingkat tinjau Proyek LREP I Sumatera (1987-1990) telah diterapkan pendekatan analisis
terrain. Pemetaan sumberdaya lahan tingkat semi detil membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi, namun
pendekatan analisis terrain dapat diperoleh informasi sumberdaya lahan suatu wilayah secara cepat dan
akurat. Analisis terrain memadukan teknik interpretasi citra satelit, peta kontur (DEM), dan verifikasi
lapangan (Puslittanak, 1999).
Secara progresif pemetaan sumberdaya lahan merupakan suatu pendekatan yang efektif untuk mencari
dan mengetahui lahan potensial, berikut luas penyebarannya secara spasial. Tahapan kegiatan pemetaan
lahan ialah: (1) analisis landform untuk delineasi satuan lahan melalui interpretasi foto udara atau citra
landsat; (2) identifikasi dan karakterisasi sifat fisik dan morfologi tanah di lapang; dan (3) analisis sifat fisik,
kimia, dan mineral contoh tanah dan air yang representatif di laboratorium (Djaenudin, 2009). Pemetaan
sumberdaya lahan berguna untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan dan menghindarkan
tumpang tindih serta konflik kepentingan penggunaan lahan.
Makalah bertujuan untuk memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan sumberdaya lahan
menuju pengembangan kawasan pertanian, kasus pemetaan lahan di Kabupaten Padang Pariaman.

2. METODE
2.1 Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Kegiatan ini dilakukan pada
tahun 2015.

Gambar 1. Lokasi penelitian

-537-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.2 Rancangan kegiatan


2.2.1 Peralatan dan Data
Peralatan yang menunjang proses pembuatan peta satuan lahan analisis adalah sebagai berikut : 1) 1 Unit
PC Pentium Intel, RAM 64 MB, HD 2 GB; 2) Software ArcView 3.2. 3) Software Arc GIS 10.1. 4) Software
SAGA-GIS. 5) Software Global Mapper 9.
Data merupakan objek utama dalam proses kegiatan ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1)
Peta dasar digital Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG); 2) Peta Rupa Bumi Indonesia tercetak skala 1: 50.000 yang diterbitkan oleh BIG; 3) Peta
model elevasi digital (digital elevation model/DEM) resolusi 30 m yang sudah mempunyai proyeksi yang
sama dengan peta RBI; 4) Citra Satelit; 5) Peta geologi; 6) Citra radar/SRTM (Shuttle Radar Topographic
Mission) resolusi 30 m; 7) Peta tanah tinjau digital skala 1:250.000 dari BBSDLP (Tafakresnanto et al.
2014).

2.2.2 Tahapan analisis


Pemetaan sumberdaya lahan diawali dengan pembuatan peta satuan lahan. Satuan lahan (land unit)
merupakan hamparan lahan yang mempunyai karakteristik yang seragam dalam hal landform, litologi/bahan
induk dan relief/lereng. Komponen satuan lahan dideliniasi dan digambarkan pada peta berdasarkan satuan
landform, satuan batuan induk, dan satuan relief/lereng. Analisis satuan lahan dilakukan dari data DEM dan
citra inderaja (Hikmatullah et al. 2014). Peta ini menjadi dasar utama dalam perencanaan pengamatan
lapangan.
Penyiapan data
Kegiatan diawali dengan cropping atau pemotongan data layer (DEM, citra inderaja, peta tanah tinjau)
wilayah Kabupaten Padang Pariaman, dengan sistem UTM. Selanjutnya penyusunan peta satuan lahan
diawali dengan pengolahan citra satelit dan interpretasi landform dari citra satelit, DEM, dan peta geologi.
Citra satelit perlu dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik. Koreksi geometrik dimaksudkan untuk
mengoreksi distorsi spasial obyek pada citra satelit, sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan
koordinat di lapangan. Koreksi geometrik yaitu koreksi geometri citra ke peta (image to map). Peta referensi
yang digunakan untuk koreksi geometri citra ke peta adalah Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1:50.000
bergeoreferensi DGN 95.
Koreksi geometrik membutuhkan titik ikat/Ground Control Point (GCP). Titik kontrol atau rujukan yang
digunakan diambil dari peta peta RBI skala 1:50.000 dan pengamatan di lapangan. Titik-titik kontrol tersebut
adalah titik-titik yang mudah dikenali secara visual, seperti persimpangan jalan dan percabangan sungai.
Koreksi radiometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi nilai spectral citra satelit agar kontras obyek
pada citra nampak lebih tajam, sehingga mudah diinterpretasi, yaitu dengan menggunakan metoda linear
contrast enhancement. Disamping itu, koreksi radiometrik ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi
efek atmosfer yang menyebabkan nilai reflektansi yang dipantulkan obyek di permukaan bumi yang diterima
sensor satelit mengalami gangguan. Citra satelit yang sudah dikoreksi digunakan untuk membuat peta satuan
lahan analisis.
Analisis data
Peta landform skala 1:250.000 didetilkan dengan peta kontur, DEM, citra landsat, dan peta geologi.
Klasifikasi pendetilan landform mengacu pada Laporan Teknis LREPP II No.5 (Marsoedi, dkk., 1997)
sampai level 2. Hasilnya berupa delineasi satuan-satuan landform baru.
Informasi dan delineasi jenis litologi atau batuan induk diperoleh dari peta geologi dengan teknik
tumpang tepat (overlay) dengan data DEM dan citra satelit/landsat serta peta RBI. Setiap jenis litologi/batuan
induk diberi simbol huruf kecil yang mengindikasikan sifat dari bahan induk tersebut. Jika dalam satuan
formasi geologi memiliki lebih dari satu jenis litologi maka dipilih 2 jenis yang pertama (Hikmatullah, dkk.,
2014).
Analisis landform dilakukan melalui interpretasi citra landsat ETM 7 dan ditunjang dengan peta kontur
dari Digital Elevation Model (DEM) resolusi 30 m dan peta RBI skala 1:50.000. Pengelompokan landform
mengacu pada Klasifikasi Landform LREP II (Marsoedi, dkk., 1997). Analisis atau delineasi satuan
landform dilakukan dari data DEM yang di-overlay-kan dengan data citra landsat, kontur, peta geologi, peta
rupabumi, dan peta tanah tingkat tinjau sebagai referensi. Secara makro Grup Landform terdiri atas Grup
Aluvial (A), Marin (M), Fluvio-Marin (B), Gambut (G), Karst (K), Tektonik/Struktural (T), dan Volkanik
(V). Selanjutnya grup landform tersebut dibedakan lagi menjadi sub-landform yang lebih detail. Grup
-538-
Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

landform diberi simbol berupa huruf besar, sedangkan sub-landform diberi simbol berupa angka arab
dibelakang huruf besar. Sebagai acuan penamaan Grup Landform digunakan buku pedoman klasifikasi
Landform (Marsoedi, dkk., 1997).
Analisis relief/kelas lereng dan elevasi secara lebih detail dapat dilakukan dari data DEM. Proses analisis
dilakukan secara otomatis dengan software (ArcGIS, SAGA GIS). Hasil analisis dilakukan filtering atau
penggabungan poligon. Luasan poligon <10 ha digabungkan ke poligon yang luas di sebelahnya. Relief
dirinci menjadi relief datar (lereng <1%), agak datar (lereng 1-3%), berombak (lereng 3-8%), bergelombang
(lereng 8-15%), berbukit kecil (lereng 15-25%), berbukit (lereng 25-40%), dan bergunung (lereng >40%).
Elevasi dikelompokan menjadi 0-400 m dpl, 400-700 m dpl, 700-1200 m dpl dan >1200 m dpl.
Peta satuan lahan hasil analisis/interpretasi perlu dilengkapi dengan keterangan legenda peta. Legenda
peta disusun berdasarkan urutan berikut: Nomor urut, simbol satuan lahan, uraian satuan landform, satuan
litologi, satuan relief/kelas lereng, dan luas masing-masing satuan lahan dalam hektar dan persentasenya
(Hikmatullah, dkk., 2014).

Gambar 2. Diagram Alir

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Penggunaan lahan di Kabupaten Padang Pariaman
Kabupaten padang pariaman memiliki luas 132.879 ha. Luas tanah menurut jenis penggunaannya yakni
pemukiman 7.501 ha, Sawah 27.089,5 ha, Tegalan 632,5 ha, Kebun Campuran 16.582 ha, Perkebunan
36.444 ha, Hutan Belukar 11.232 ha Hutan 28.644 ha, Hutan sejenis 75 ha, Semak/Alang-alang 2.488 ha,
Kolam 56 ha, Lain-lain 2.135 ha (Anonim, 2014). Ketersediaan informasi sumberdaya lahan Kabupaten
Padang Pariaman relatif terbatas.
Dilihat dari topografi wilayah, Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari wilayah daratan pada daratan
Pulau Sumatera dan 6 pulau-pulau kecil, dengan 40 % daratan rendah yaitu pada bagian barat yang mengarah
ke pantai. Daerah dataran rendah terdapat disebelah barat yang terhampar sepanjang pantai dengan
ketinggian antara 0 – 10 meter di atas permukaan laut, serta 60% daerah bagian timur yang merupakan
daerah bergelombang sampai ke Bukit Barisan. Daerah bukit bergelombang terdapat disebelah timur dengan
ketinggian 10 – 1000 meter di atas permukaan laut (Ismon, dkk., 2015).

3.2 Hasil Analisis Penginderaan Jauh


3.2.1 Landform
Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi, khususnya di dataran, yang terjadi karena proses
geomorfik tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu, dan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari
sub-kontinental (misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng tunggal (Marsoedi, dkk., 1997).

-539-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Berdasarkan hasil interpretasi, Kabupaten Padang Pariaman dikelompokan kedalam 5 Grup landform,
yaitu : Aluvial, Karst, Marin, Tektonik dan Volkanik (Tabel 1). Penyebaran landform di Kabupaten Padang
Pariaman disajikan pada Gambar 3.
Landform aluvial (A) merupakan landform yang terbentuk akibat proses fluvial (aktivitas sungai),
koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Penyebaran landform ini umumnya di
sekitar jalur aliran sungai, pelembahan, dan dataran aluvial dengan penyebaran seluas 42.410 ha atau
30,22%. Grup ini menurunkan subgrup: dataran bajir sungai bermeander (A.112), dataran alluvial (A.13),
dasar lembah (A.14), kipas aluvial (A.21). Subgrup dataran bajir sungai bermeander mempunyai penyebaran
terluas, yaitu 26.710 ha atau 19,03 %.
Landform grup Marin (M) penyebarannya seluas 18.848 ha atau 13,43%. Pada tingkat lebih rendah
menurunkan satuan landfrom punggung dan cekungan pesisir (M.11) dan Rawa belakang Pasang Surut
(M.23).
Landform Karst (K) terbentuk dari bahan batugamping keras dan masif (terumbu karang) dengan
bentukan topografi tidak teratur, terbentuk karena pengangkatan batugamping, yang dilanjutkan dengan
pelarutan batugamping. Di Kabupaten Padang Pariaman landform ini berupa pegunungan karst (K.4).
Penyebarannya hanya 881 ha atau 0,63% dari seluruh luas Kabupaten Padang Pariaman.
Daerah karst dicirikan oleh morfologi permukaan berupa bukit-bukit kerucut (conical hills), depresi
tertutup (dolin), lembah kering (dry valley) dan banyak dijumpai sungai-sungai bawah tanah. Daerah ini
sangat dipengaruhi oleh struktur geologi berupa pengekaran (joint) karena umumnya kars terbentuk pada
daerah berbatuan karbonat (gamping, dolomit, atau gypsum) (Palloan dan Zylshal 2009).
Landform Volkan (V) tersebut terbentuk akibat dari aktivitas volkan/gunung berapi tua. Landform ini
terutama dicirikan oleh bahan pembentuk tanah yang berasal dari bahan volkanik. Berdasarkan bentukan dan
topografi landform volkanik dibedakan menjadi Lereng Volkan Atas (V.113), Lereng Volkan Tengah
(V.114), Lereng Volkan Bawah (V.115), Dataran Volkanik (V.15), Perbukitan Volkanik (V.151),
Pegunungan Volkanik (V.152) dan Intrusi Volkanik (V.4). Penyebaran grup ini sangat luas mencapai 74.274
ha atau 52,92%.
Landform Tektonik dan Struktural (T) terbentuk akibat dari proses tektonik (orogenesis dan
epirogenesis), berupa proses angkatan, lipatan dan/atau patahan. Bentukan landform tersebut ditentukan oleh
proses-proses di atas dan sifat litologinya (struktural). Akibat proses-proses yang terjadi dan sifat litologinya,
tektonik di Kabupaten Padang Pariaman dibedakan menjadi Perbukitan Tektonik (T.121) dan Pegunungan
Tektonik (T.122). Penyebarannya hanya 2.700 ha atau 1,92%.
Akurasi pemetaan landform secara tradisional sangat rendah (sekitar 55%). Pemetaan landform
menggunakan peta Digital elevation model (DEM) dan citra Advanced Spaceborne Thermal Emisi dan
Reflection Radiometer (ASTER), dengan menginterpretasi bentuk lahan, kemiringan dan elevasi memiliki
tingkat akurasi sekitar 91,8-99,6%, atau rata-rata 96,7% berdasarkan pengecekan lapang. Keuntungan utama
dari pendekatan ini adalah tingkat akurasi, hemat waktu dan hemat dana untuk survey lapang (Saadat et al.
2008).

Gambar 3. Sebaran Landform Kabupaten Padang Pariaman

-540-
Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

Tabel 1. Rincian Landform di Kabupaten Padang Pariaman


Luas
Simbol Landform
Ha %
A.1.1.2 Dataran Banjir Pada Sungai Meander 26.710 19,03
A.1.3 Dataran Alluvial 8.699 6,20
A.1.4 Dasar Lembah 2.175 1,55
A.2.1 Kipas Alluvial 4.826 3,44
K.4 Pegunungan Karst 881 0,63
M.1.1 Punggung dan Cekungan Pesisir 11.150 7,94
M.2.3 Rawa belakang Pasang Surut 7.698 5,48
T.12.1 Perbukitan Tektonik 887 0,63
T.12.2 Pegunungan Tektonik 1.813 1,29
V.1.1.3 Lereng Volkan Atas 1.409 1,00
V.1.1.4 Lereng Volkan Tengah 6.673 4,75
V.1.1.5 Lereng Volkan Bawah 1.827 1,30
V.1.5 Dataran Volkanik 39.949 28,46
V.1.5.1 Perbukitan Volkanik 15.329 10,92
V.1.5.2 Pegunungan Volkanik 4.915 3,50
V.4 Intrusi Volkanik 4.172 2,97
X.1 Sungai 1.239 0,88
140.350 100,00

3.2.2 Litologi
Litologi adalah karakteristik fisik dari batuan. Batuan merupakan segala macam material padat yang
menyusun kulit bumi, baik yang telah padu maupun masih lepas. Setiap batuan memiliki sifat dan ciri
khusus. Sifat batuan tersebut meliputi bentuk, warna, kekerasan, kasar atau halus, dan mengilap atau
tidaknya permukaan batuan. Hal ini disebabkan bahan-bahan yang terkandung dalam batuan berbeda-beda.
Ada batuan yang mengandung zat besi, nikel, tembaga, emas, belerang, platina, atau bahan-bahan lain.
Bahan-bahan seperti itu disebut mineral. Tiap jenis batuan mempunyai kandungan mineral yang berbeda.
Berdasarkan proses terbentuknya, terdapat tiga jenis batuan yang menyusun lapisan kerak bumi. Tiga jenis
batuan tersebut yaitu batuan beku (batuan magma atau vulkanik), batuan endapan (batuan sedimen), dan
batuan malihan (batuan metamorf).
Berdasarkan interpretasi Peta geologi bersistem Indonesia lembar Sumatera (0715) skala 1:250.000
Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 11 formasi. Kesebelas formasi tersebut, disajikan pada Tabel 2.
Aluvium (Qal) berupa Lanau, pasir dan kerikil, kadang-kadang terdapat sisa-sisa batu apung tufa (Qhpt atau
Qpt). Lanau, pasir dan kerikil, umumnya terdapat di dataran pantai; termasuk endapan rawa di sebelah utara
Tiku. Formasi ini terbentuk pada masa Kala Holosen. Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau (Qamj)
merupakan masa erupsi yg lama pada saat terjadi pergeseran lateral-kanan pada jalur sesar besar Sumatra;
juga tuf batu apung tampaknya menutupi semua bat gunung api Maninjau. Formasi ini terbentuk pada Zaman
Kuarter. Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat (Qast) merupakan Hasil-hasil dari
Singgalang dan Tandikat, formasi ini terbentuk pada masa Zaman Kuarter. Batuan Gunungapi Asam Yang
Tak Terpisahkan (Qou) merupakan lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf, ignimbrit dan obsidian yang
asam sampai menengah. Formasi ini terbentuk pada masa Kala Plistosen.
Batu gamping Hablur (pTls) berupa batu gamping yang umumnya pejal dan berongga putih - keabuan
bila segar dan kelabu gelap/kotor bila lapuk; besar butir berkisar 0,5 - 5,0 mm. Terbentuk pada zaman Pra
Tersier. Tuf Batuapung (Qpt) berupa Serabut gelas dan frag batuapung putih 1 - 20 cm; agak kompak,
setempat lapisan pasir kaya akan kuarsa, lapisan kerikil. Bongkah obsidian dan "pitchstone" , kelabu
kemerahan. Formasi ini terbentuk pada Kala Plistosen.

-541-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Tuf Batuapung Hornblende Hipersten (Qhpt) hampir seluruhnya terdiri dari lapili batuapung, ukuran
garis tengah 2 - 10 cm, hornblende, hipersten dan atau biotit; agak kompak. Formasi ini terbentuk pada masa
Zaman Kuarter. Tuf Kristal Yang Telah Mengeras (QTt) adalah Pejal dan tersemen baik, masa dasar
mengandung serabut gelas dengan frag kuarsa, plags dan frag batu gunungapi yang berkomposisi menengah
hingga asam dengan garis tengah < 10 cm. Formasi ini terbentuk pada masa Kala Plio-Plistosen.
Filit, Batupasir Meta (Kuarsit), Batu lanau Meta (pTps) berupa Sekisan, laminasi dan lineasi. Batuan
lanauan bergradasi ke bps meta lunak butir kuarsa dalam masadasar lempungan; kuarsit kompak dan
konglomerat kuarsa. Terbentuk pada zaman Pra Tersier. Batuan Granitik (Tgr) adalah Stok, berkomposisi
antara granit dan diorit kuarsa. Terbentuk pada zaman Tersier Tua. Kuarsit (pTqt) Kompak, rijangan,
kelabu, urat kuarsa, pirit, sisipan batulanau kelabu tua, berlapis baik, grauwak terubah dan batuan gunungapi
terubah, fasies sekis hijau rendah. Terbentuk pada zaman Pra Tersier.
Keadaan geologi suatu daerah menggunakan penginderaan jauh memberikan gambaran mengenai kondisi
geologi pada lokasi tersebut. Walaupun tidak sama persis dengan hasil analisis citra dan peta regional,
namun interpretasi visual melalui penginderaan jauh dapat menjadi bahan atau acuan untuk melakukan
kegiatan pemetaan agar proses pemetaan jauh lebih optimal. Hasil analisis citra sangat membantu proses
pemetaan. Penentuan titik-titik pengamatan lapangan yang akan dilakukan observasi (Praba, dkk., 2015).

Gambar 3. Sebaran Litologi Kabupaten Padang Pariaman

Tabel 2. Rincian Litologi Kabupaten Padang Pariaman

Luas
No. Simbol Litologi
Ha %
1 Qamj Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 20.652 14,71
2 Qast Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat 6.197 4,42
3 Qou Batuan Gunungapi Asam Yang Tak Terpisahkan 16.114 11,48
4 pTls Batugamping Hablur 1.085 0,77
5 Qpt Tuf Batuapung 38.377 27,34
6 Qhpt Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 9.583 6,83
7 QTt Tuf Kristal Yang Telah Mengeras 2.817 2,01
8 Qal Aluvium 34.444 24,54
9 pTps Filit, Batupasir Meta (Kuarsit), Batulanau Meta 112 0,08
10 Tgr Batuan Granitik 4.619 3,29
11 pTqt Kuarsit 5.110 3,64
X.1 Sungai 1.239 0,88
Jumlah 140.350 100,00

-542-
Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

3.2.3 Relief/Lereng
Dari segi topografi dan relief Kabupaten Padang Pariaman didominasi wilayah dataran rendah. Sebagian
besar 114.185 (81,35%) mempunyai relief datar sampai berbukit kecil. Sisanya berbukit sampai bergunung
dengan lereng >25% sebesar 26.166 ha atau 18,65%. Rincian relief Kabupaten Padang Pariaman disajikan
pada Tabel 3 dan penyebarannya dapat dilihat pada Gambar 4.
Relief merupakan salah satu penentu klas kemampuan lahan. Penetapan tingkat kemampuan penggunaan
lahan (KPL) di DAS Nawagaon Maskara, Saharanpur-India menggunakan peta DEM, data citra satelit IRS
LISS IV dan SRTM tiga dimensi Digital Elevation Model (DEM), memperlihatkan bahwa semakin curam
lereng maka KPL akan mendekati ke kelas VIII, dan sebaliknya semakin datar lereng maka akan memiliki
kelas KPL mendekati I (Hardjadi, 2007). Tanah kelas I-IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha
pertanian sedangkan kelas V-VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat
tinggi untuk pengelolaannya. Tanah kelas VIII dalah tanah-tanah yang berlereng sangat curam (lebih dari
65%) (Hardjowigeno, 2003).

Gambar 4. Sebaran Relief Kabupaten Padang Pariaman


Tabel 3. Rincian Relief di Kabupaten Padang Pariaman

Lereng Luas
Simbol Relief
(%) Ha %
f Datar <1 13.410 9,55
n Agak datar 1-3 26.397 18,81
u Berombak 3-8 39.452 28,11
r Bergelombang 8-15 17.948 12,79
c Berbukit kecil 15-25 16.978 12,10
h Berbukit 25-40 14.035 10,00
m Bergunung >40 10.892 7,76
X1 Sungai 1.239 0,88
Jumlah 140.350 100,00

Dari segi elevasi, Kabupaten Padang Pariaman merupakan wilayah dataran rendah yakni 108.290
ha atau 77,16% dari total luasnya. Sisanya merupakan dataran medium, dataran tinggi dan kawasan
pegunungan. Rincian elevasi Kabupaten Padang Pariaman disajikan pada Tabel 4 dan penyebarannya
dapat dilihat pada Gambar 5.
Elevasi juga menjadi penentu wilayah pengembangan kawasan pertanian. Elevasi mempengaruhi
pertumbuhan tanaman terhadap suhu udara, sinar matahari, kelembaban udara dan angin. Semakin
tinggi suatu tempat, semakin rendah suhu udaranya atau udaranya semakin dingin. Begitu pula
-543-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

sebaliknya, semakin rendah daerahnya semakin tinggi suhu udaranya atau udaranya semakin panas.
Pengkajian pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pembungaan, Produksi, dan Mutu Benih Botani
Bawang Merah, menunjukkan bahwa tingkat pembungaan dan produksi biji di dataran tinggi lebih
besar daripada di dataran rendah, sebaliknya mutu benih yang dihasilkan di dataran rendah lebih baik
daripada di dataran tinggi. Implikasi penelitian ini adalah dataran tinggi sangat potensial untuk
pengembangan produksi biji bawang merah, di mana biji bawang merah dapat menghasilkan umbi
bibit yang jauh lebih baik daripada umbi bibit yang beredar di pasar (Hilman, dkk., 2014).

Gambar 5 Sebaran Elevasi Kabupaten Padang Pariaman

Tabel 4. Rincian Elevasi di Kabupaten Padang Pariaman

Tinggi Luas
Simbol Elevasi
m dpl Ha %
1 0-400 Dataran rendah 108.290 77,16
2 400-700 Dataran medium 15.160 10,80
3 700-1200 Dataran tinggi 14.305 10,19
4 >1200 Kawasan pegunungan 2.596 1,85
Jumlah 140.350 100,00

Hasil interpretasi secara lengkap ditampilkan pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5. Hasil interpretasi landform, relief dan litologi Kabupaten Padang Pariaman
No. Elevasi Luas
Simbol Landform Bahan Induk Relief (% lereng) Karakteristik dan Klasifikasi Tanah
SL (m dpl) Ha %
GRUP ALUVIAL (A)
Dataran Banjir Pada
1 1Afq.1.1.2.f Sungai Meander Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 1.941,51 1,38
Dataran Banjir Pada
2 1Afq.1.1.2.n Sungai Meander Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Dystrandepts Dystropepts 4.815,63 3,43

3 1Afq.1.3.f Dataran Aluvial Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Dystropepts Humitropepts Tropaquepts 1.655,02 1,18

4 1Afq.1.3.n Dataran Aluvial Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Dystropepts Humitropepts Tropaquepts 6.414,36 4,57

5 1Afq.1.3.r Dataran Aluvial Lanau, pasir dan kerikil 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts Paleudults Tropaquepts 632,11 0,45

6 1Afq.1.4.f Dasar Lembah Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 360,80 0,26

7 1Afq.1.4.n Dasar Lembah Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 370,14 0,26

8 1Afq.2.1.f Kipas Alluvial Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Dystropepts Paleudults Tropaquepts 50,35 0,04

GRUP MARIN (M)


Punggung dan
9 1Mfq.1.1.f Cekungan Pesisir Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 3.105,12 2,21
Punggung dan
10 1Mfq.1.1.n Cekungan Pesisir Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 4.882,92 3,48

-544-
Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)
Rawa belakang Pasang
11 1Mfq.2.3.f Surut Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Tropaquepts Tropohemists 5.146,95 3,67
Rawa belakang Pasang
12 1Mfq.2.3.n Surut Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Tropaquepts Tropohemists 5.069,38 3,61

GRUP KARST (K)

13 4Kc.4.m Pegunungan Karst Batugamping >40 Bergunung >1200 Troporthents Eutropepts Hapludalfs 327,50 0,23

14 3Kc.4.m Pegunungan Karst Batugamping >40 Bergunung 700-1200 Troporthents Eutropepts Hapludalfs 757,32 0,54

GRUP VOLKANIK (V)


Andesit Dari Gunung Singgalang dan
15 4Va1.1.1.3.m Lereng Volkan Atas Gunung Tandikat >40 Bergunung >1200 Dystrandepts Hydrandepts Humitropepts 699,65 0,50
Andesit Dari Gunung Singgalang dan
16 2Va1.1.1.4.r Lereng Volkan Tengah Gunung Tandikat 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystrandepts Humitropepts 929,68 0,66
Andesit Dari Gunung Singgalang dan
17 3Va1.1.1.4.c Lereng Volkan Tengah Gunung Tandikat 15-25 Berbukit kecil 700-1200 Dystrandepts Humitropepts 800,07 0,57
Andesit Dari Gunung Singgalang dan
18 1Va1.1.1.5.u Lereng Volkan Bawah Gunung Tandikat 3-8 Berombak 0- 400 Dystropepts Humitropepts Dystrandepts 2.495,12 1,78
Andesit Dari Gunung Singgalang dan
19 2Va1.1.1.5.r Lereng Volkan Bawah Gunung Tandikat 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystropepts Humitropepts Dystrandepts 1.132,93 0,81
Andesit Dari Gunung Singgalang dan
20 1Va1.1.1.5.c Lereng Volkan Bawah Gunung Tandikat 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Humitropepts Dystrandepts 139,33 0,10

21 1Vd.1.5.f Dataran Volkanik Tuf Batuapung 0-1 Datar 0- 400 Dystrandepts Humitropepts 1.150,25 0,82

22 1Va.1.5.n Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 1-3 Agak datar 0- 400 Dystrandepts Tropaquepts 190,57 0,14

23 1Vd.1.5.n Dataran Volkanik Tuf Batuapung 1-3 Agak datar 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 1.329,13 0,95

24 1Vd1.1.5.n Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 1-3 Agak datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 3.324,74 2,37

25 1Va.1.5.u Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 3-8 Berombak 0- 400 Dystropepts Dystrandepts 10.248,57 7,30

26 1Vb.1.5.u Dataran Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 3-8 Berombak 0- 400 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 89,61 0,06

27 1Vd.1.5.u Dataran Volkanik Tuf Batuapung 3-8 Berombak 0- 400 Dystropepts Troporthents 24.977,61 17,80

28 1Vd1.1.5.u Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 3-8 Berombak 0- 400 Dystrandepts Humitropepts 1.640,79 1,17

29 1Va.1.5.r Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts Dystrandepts 906,57 0,65

30 2Va.1.5.r Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystrandepts Humitropepts 944,11 0,67

32 1Vb.1.5.r Dataran Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts KanhapludultsTroporthents 624,84 0,45

33 3Vb.1.5.r Dataran Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 8-15 Bergelombang 700-1200 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 574,58 0,41

34 1Vd.1.5.r Dataran Volkanik Tuf Batuapung 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystrandepts Humitropepts 7.992,66 5,69

35 1Vd1.1.5.r Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts Dystrandepts Haplohumults 2.881,12 2,05

36 2Vd1.1.5.r Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystropepts Dystrandepts 216,17 0,15

38 2Va.1.5.1.r Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystrandepts Dystropepts 1.113,10 0,79

39 2Va.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 15-25 Berbukit kecil 400 - 700 Dystrandepts Dystropepts 2.820,04 2,01

40 3Va.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 15-25 Berbukit kecil 700-1200 Dystrandepts Dystropepts 2.166,92 1,54

41 1Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 465,10 0,33

42 3Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil 700-1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 470,87 0,34

43 2Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil 400 - 700 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 177,23 0,13

44 4Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil >1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 553,13 0,39

45 1Vd.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Tuf Batuapung 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Troporthents 2.144,37 1,53

46 1Vd1.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Dystrandepts 1.520,31 1,08

47 1Vd2.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Tuf Kristal Yang Telah Mengeras 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Hapludults Eutropepts 2.816,89 2,01

48 4Va.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 25-40 Berbukit >1200 Dystrandepts Dystropepts 197,40 0,14

49 2Vb.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 25-40 Berbukit 400 - 700 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 4.576,64 3,26

50 1Vb.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 25-40 Berbukit 0- 400 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 1.997,81 1,42

51 3Vb.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 25-40 Berbukit 700-1200 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 4.826,47 3,44

52 1Vd.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Tuf Batuapung 25-40 Berbukit 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 782,99 0,56

53 3Va.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau >40 Bergunung 700-1200 Dystrandepts Dystropepts 2.065,04 1,47

54 4Vb.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf >40 Bergunung >1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 818,20 0,58

55 3Vb.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf >40 Bergunung 700-1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 735,53 0,52

-545-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

56 2Vb.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf >40 Bergunung 400 - 700 Dystropepts Hapludults Humitropepts 203,95 0,15

57 1Vg.4.c Intrusi Volkanik Batuan Granitik 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 2.903,97 2,07

58 1Vg.4.h Intrusi Volkanik Batuan Granitik 25-40 Berbukit 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 591,82 0,42

59 2Vg.4.m Intrusi Volkanik Batuan Granitik >40 Bergunung 400 - 700 Dystropepts Hapludults Humitropepts 1.123,56 0,80
GRUP TEKTONIK DAN STRUKTURAL (T)
Filit, Batupasir Meta (Kuarsit),
60 1Tfq1.12.1.h Perbukitan Tektonik Batulanau Meta 25-40 Berbukit 0- 400 Dystrandepts Humitropepts 112,27 0,08

61 2Tq.12.1.h Perbukitan Tektonik Kuarsit 25-40 Berbukit 400 - 700 Dystropepts Hapludults Humitropepts 608,11 0,43

62 1Tq.12.1.h Perbukitan Tektonik Kuarsit 25-40 Berbukit 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 341,29 0,24

63 1Tq.12.2.m Pegunungan Tektonik Kuarsit >40 Bergunung 0- 400 Dystropepts Hapludults 938,51 0,67

64 3Tq.12.2.m Pegunungan Tektonik Kuarsit >40 Bergunung 700-1200 Dystropepts Hapludults 1.908,24 1,36

65 2Tq.12.2.m Pegunungan Tektonik Kuarsit >40 Bergunung 400 - 700 Dystropepts Hapludults 1.314,18 0,94
GRUP ANEKA (X)

66 X.1 Sungai 0- 400 1.239,23 0,88


Jumlah
140.350,38 100,00

Gambar 6. Peta Satuan Lahan Analisis Kabupaten Padang Pariaman

Gambar 7. Peta Interpretasi Operasional Lapangan Kabupaten Padang Pariaman

-546-
Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

Peta satuan lahan analisis digunakan sebagai dasar penetapan lokasi survei dan pengamatan lapangan.
Metode ini sangat menghemat biaya dan waktu. Peta satuan lahan analisis selanjutnya di overlay dengan peta
RBI menjadi peta operasional lapangan. Pada satuan-satuan lahan potensial untuk pengembangan kawasan
pertanian, pengamatan perlu lebih banyak untuk mengetahui lebih rinci mengenai sebaran dan kemungkinan
adanya variasi sifat-sifat tanah, yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.
Pendekatan analisis terrain untuk pemetaan sumberdaya lahan pertanian telah banyak diaplikasikan.
Beberapa diantaranya Penentuan Lahan Kritis Mangrove Di Kecamatan Tugu, Kota Semarang (Ardiansyah
dan Buchori 2014), dan Inventarisasi lahan kritis di lahan bekas penambangan timah di Pulau Belitung. Hasil
kegiatan dapat menggambarkan status lahan kritis beserta luasannya secara terperinci (Suwarno 2013).
Kajian tingkat perubahan penggunaan lahan terhadap arahan fungsi lahan dan tingkat akurasi hasil
interpretasi visual penggunaan lahan citra Landsat ETM+ pada pemanfaatan lahan telah dilakukan di DAS
Garang Jawa Tengah antara tahun 2001 dan 2006. Kajian bertujuan untuk mengevaluasi interpretasi citra
penginderaan jauh dan SIG untuk pemetaan perubahan penggunaan lahan. Hasil penelitian menunjukan
bahwa melalui citra landsat ETM+ pada perekaman yang berbeda antara tahun 2001 dan 2006 dapat
diperoleh data perubahan penggunaan lahan, dengan tingkat ketelitian interpretasi 85,71%. (Ahya, 2008).

4. KESIMPULAN
Dari kegiatan diperoleh gambaran, Kabupaten Padang Pariaman yang luasnya sekitar 140.000 ha terdiri
dari 65 satuan lahan. Sebahagian besar (92,17%) merupakan potensi pengembangan kawasan pertanian
untuk komoditas tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, sisanya (7,83%) merupakan lahan
konservasi. Peta satuan lahan yang dihasilkan dari pengolahan data penginderaan jauh ini memiliki
keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk survei lapang. Penerapan penginderaan jauh terbukti
dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pemetaan sumberdaya lahan. Dengan demikian, penginderaan
jauh selayaknya dijadikan instrumen utama didalam pemetaan lahan untuk pengembangan kawasan
pertanian.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera
Barat yang telah memberikan dukungan pendanaan bagi terlaksananya penelitian ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian sebagai Penyedia data dan Bapak
Ir. Rachmad Hendayana, MS atas bimbingan, saran, dan koreksinya selama penulisan makalah.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2014). Kabupaten Padang Pariaman. BPS Kabupaten Padang Pariaman.
https://padangpariamankab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/21 [di akses tanggal 13 2016].
Ardiansyah, D.M., dan Buchori, I. (2014). Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Penentuan Lahan Kritis Mangrove Di
Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Geoplanning, 1(1):1–12.
Badan Litbang Pertanian (2013). Peta Zona Agroekologi Provinsi Sumatera Barat, Badan Litbang Pertanian.
Kementerian Pertanian.
Djaenudin, U.D. (2009). Prospek penelitian potensi sumber daya lahan di wilayah indonesia. Pengembangan Inovasi
Pertanian, 2(4):243–257.
Hardjowigeno, S., (2003). Ilmu Tanah, Jakarta: Akademika Pressindo.
Hikmatullah, dkk., (2014). Petunjuk Teknis Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail Skala 1:50.000, Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Hilman, Y., Rosliani, R. dan Palupi, E. (2014). Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pembungaan , Produksi , dan
Mutu Benih Botani Bawang Merah. Jurnal Hortikultura, 24(2):154–161.
Ismon, dkk., 2015. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2015 Penyusunan Peta Pewilahan Komoditas,
Palloan, P., dan Zylshal (2009). Identifikasi Morfologi dan Struktur Geologi Kawasan Karst di Kabupaten Maros
dengan Menggunakan Citra Landsat 7 ETM+. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika, 9(5):69–77.
Saadat, H., dkk., (2008). Landform classification from a digital elevation model and satellite imagery. Geomorphology,
100(3-4):453–464.
Suwarno, Y., (2013). Pemetaan Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur Menggunakan Sistem Informasi Geografis.
Globe, 15(1):30–38.
Tafakresnanto, C., dkk., (2014). Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Satuan Lahan untuk Pewilayahan Komoditas
Pertanian Skala 1:50.000, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.
Wahyunto, Retno, M.S., dan Ritung, S. (2004). Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Dan Uji Validasinya Untuk

-547-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Deteksi Penyebaran Lahan Sawah Dan Penggunaan/Penutupan Lahan. Informatika Pertanian, pp.745–769.
Wiweka, P.Y., dkk. (2015). Pemanfaatan Data Citra dan Data DEM Dalam Mengoptimalkan Kegiatan Pemetaan
Geologi. Seminar Nasional Penginderaan Jauh. pp. 317–327.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Kasus Pemetaan Lahan Di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
Pemakalah : Widia Siska (BPTP Sumatera Barat)
Diskusi :

Pertanyaan: Suwarsono (LAPAN):


Terkait pernyataan pada Kesimpulan bahwa “Peta satuan lahan yang dihasilkan dari pengolahan data
penginderaan jauh ini memiliki keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk survey lapang.
Penerapan penginderaan jauh terbukti dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pemetaan sumberdaya
lahan. Dengan demikian, penginderaan jauh selayaknya dijadikan instrument utama di dalam pemetaan lahan
untuk pengembangan kawasan pertanian.
Terkait penginderaan jauh, dalam studi Saudara tampaknya Saudara hanya memanfaatkan data dengan
menerapkan metode untuk analisis land form dan perubahan liputan lahan namun tidak membuktikan dan
melakukan studi komparasi terkait “keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk “survey
lapang”, jadi menurut kami pendapat Saudara dalam kesimpulan tersebut kurang tepat, statement terlalu
bombastis tidak didasari hasil analisis tapi disimpulkan. Lebih baik secara objektif dan jujur dengan
statement dalam pemetaan sumberdaya lahan pertanian, data penginderaan jauh telah berperan dan
digunakan untuk membantu dalam analisis land form dan perubahan liputan lahan.
Apakah Saudara akan memperbaiki statement kesimpulan tersebut atau bertahan pada kesimpulan
sebelumnya dengan menambah analisis pembuktian ilmiah dan studi komparasi akurasi, hemat waktu dan
dana disbanding survey lapangan.

Jawaban:
Makalah ini memanfaatkan data penginderaan jauh dengan menerapkan metode untuk analisis landform dan
perubahan liputan lahan, namun memang belum melakukan studi komparasi terkait “keunggulan dalam
akurasi, hemat waktu dan dana untuk “survey lapang”. Oleh karena itu, bersama ini saya kirimkan perbaikan
statement kesimpulan seperti yang telah Ibu sarankan.

-548-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra


MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu
(Studi Kasus Pulau Lombok)

Verification Phase Growth of Rice Model Based MODIS Images Using


Multitemporal Landsat Images Analysis (Case Study Lombok)
Johannes Manalu1*), dan I Made Parsa1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
*)
Email: jo_manalu@yahoo.com

ABSTRAK -Model fase pertumbuhan yang berbasis citra MODIS yang ada saat ini walaupun belum diverifikasi secara
ideal, tetapi telah digunakan untuk operasional pemantauan luas tanam dan panen padi secara nasional.Verifikasi yang
dilakukan selama ini dengan membandingkan secara langsung fase pertumbuhan (MODIS) dengan fase tanaman di
lapangan berpotensi memberikan hasil verifikasi yang salah karena adanya perbedaan waktu antara data MODISyang
diproses dengan pengambilan data lapangan.Oleh karena itu penelitian ini didesain sedemikian rupa dengan
mempertimbangkan perbedaan waktu (keterlambatan ketersediaan data MODIS).Penelitian ini bertujuan untuk
verifikasi model fase pertumbuhan tanaman padi berbasis MODIS di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
menggunakan citra Landsat multitemporal dan data lapangan.Secara umum penelitian ini dilakukan dengan metode
analisis dan evaluasi secara bertahap, pertama dengan analisis citra Landsat8 multiwaktu untuk memperoleh fase
pertumbuhan padi yang akan dijadikan pembanding terhadap hasil analisis fase pertumbuhan berbasis MODIS,
sedangkan tahap kedua menggunakan data referensi hasil pengamatan lapangan (survei).Akurasi model fase
pertumbuhan dihitung menggunakan matrik kesalahan. Hasil analisis dan evaluasi menunjukkan bahwa secara
keseluruhan ketelitian model fase mencapai 67%. Hal ini mengindikasikan bahwa model fase pertumbuhan untuk
Provinsi NTB perlu dilakukan review secara lebih mendalam.

Kata kunci: fase pertumbuhan, citra MODIS, citra Landsat multiwaktu, matrik kesalahan

ABSTRACT – Growth phase models based on MODIS image that exists today, although have not been verified
perfectly, but it has been used for operational monitoring of extensive and harvesting rice nationwide. Verification that
was carried out by comparing directly between the growth phase (MODIS) with the phase of the plant in the field may
lead to the wrong verification result because of the time difference between the data MODIS processed with field data
collection. Therefore, this study was designed to take into account the time difference (delay in MODIS data
availability). This study aimed to verify the model phase of growth of rice plants in the province of West Nusa Tenggara
(NTB) using multitemporal Landsat imagery and field data. Generally, this study was conducted using analysis and
evaluation in several stages, first with Landsat 8 multitemporal image analysis to obtain rice growth phase that will be
the comparison of the results of the analysis of MODIS-based growth phase, while the second stage uses field
observation data (survey) as a reference. The accuracy of the growth phase model is calculated using the confusion
matrix. The results of the analysis and evaluation showed that the overall accuracy of the model phase reached 67%.
This indicates that the growth phase model for NTB needs to be reviewed in greater depth.

Key words: growing phase, MODIS images, multitemporal Landsat8 images, confusion matrix

1. PENDAHULUAN
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) telah mengembangkan model untuk pemantauan fase
pertumbuhan tanaman padi berbasis data MODISdelapan harian resolusi 250 meter dimana
outputnyamengklasifikasi informasi menjadi enam kelas yaitu fase air (pengolahan tanah), fase vegetative 1
(1-40 hst), fase vegetative 2 (41-64 hst), fase generative 1 (65-96 hst), generative 2 (97-panen) dan fase
bera/panen (Dirgahayu, dkk., 2005; Dirgahayu, dkk., 2014). Dalam implementasi model tersebut juga
menggunakan basis data luas baku sawah dari Kementerian Pertanian skala 1:5000 tahun 2010 (untuk pulau
Jawa) dan skala 1:10.000 tahun 2012 (untuk luar pulau Jawa) (Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian, 2016)sebagai acuan. Sebelum digunakan dalam pemodelan, data spasial luas baku sawah tersebut
terlebih dulu di-downscaling ke skala 1:250.000. Model pemantauan fase pertumbuhan belum dilakukan
verifikasi dan validasi secara memadaidimana hasilnya harus disampaikan secara rinci dan lengkap kepada
-549-
Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi
Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

Pusfatja untuk dapat dijadikan bahan masukan guna memperbaiki akurasinya.Namun demikian, karena
kebutuhan yang mendesak, maka model tersebut telah dioperasionalkan oleh Kementerian Pertanian untuk
menghasilkan informasi perkiraan/perkembangan luas tanam/panen dari waktu ke waktu.Selain itu informasi
luas tanam/panen ini juga mendukung prediksi angka ramalan produksi (ARAM) yang dilakukan oleh BPS.
Beberapa hasil verifikasi/validasi yang telah dilakukan menunjukan katelitian sangat bervariasi, hasil
verifikasi Balai Penelitian Agroklimat dan Klimatologi untuk ketelitian fase 8-70% sedangkan BBSDLP 75-
91% sedangkan untuk ketelitian luas 7-70% (Syahbuddin, H, 2015; Badan Litbang Pertanian, 2015). Namun
demikian secara rinci hasil verifikasi tersebut baik menyangkut teknik verifikasi, sebaran titik sampel tiap
lokasi, maupun teknik pengambilan sampel belum pernah diterima oleh Pusfatja.Berkaitan dengan teknik
verifikasinya, yang dilakukan selama ini kelas fase pertumbuhan tanaman padi hasil MODIS yang terdiri
atas enam kelas informasi yaitu: fase air (pengolahan tanah, fase vegetative 1 (umur 1-40 hst), fase
vegetative 2 (umur 41-64 hst), fase negeratif1 (umur 65-96 hst), fase generative 2 (umur 97-panen), dan fase
bera yang langsung dibandingkan dengan informasi lapangan padahal ada perbedaan waktu diantara
keduanya. Penggunaan klasifikasi informasi fase tanaman padi seperti ini tidak dapat mengakomodasi beda
waktu antara data MODIS yang diolah dengan waktu pelaksanaan verifikasi/survei lapangan.Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan komparasi antara informasi fase tanaman padi (MODIS) dengan umur tanaman padi
di lapangan sehingga berpotensi menyebabkan kesalahan.Sebagaimana diketahui bahwa timelag atau delay
antara aqusisi dengan ketersediaan data di website USGS rata-rata mencapai tujuh hari (untuk data 8harian)
dan dua hari (untuk data harian), oleh karena itu untuk aplikasinya akan selalu terjadi keterlambatan data
selama 7 hari tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, informasi yang akan diverifikasi/dicek di lapangan
tidak lagi menggunakan kelas fase sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, tetapi harus dimodifikasi
sedemikian rupa (umur tanaman padi ditambahkan beda waktu/delaynya data) dan kisaran umur untuk tiap
kelas dibuat selang 8 hari sesuai dengan periode data input MODIS yang digunakan. Sehingga umur tanaman
padi mulai dari umur 7-14 hst, 15-22 hst, 23-30 hst, 31-38 hst, 39-46 hst, 47-54 hst, 55-62 hst, dan
seterusnya. Umur tanaman ini langsung dapat dibandingkan dengan umur tanaman di lapangan.
Walaupun demikian, Kementerian Pertanian dalam hal ini Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian
(BBSDLP) telah menggunakan untuk monitoring luas tanam dan panen yang lebih dikenal dengan istilah
Standing Crop (SC). Dalam perkembangan lebih lanjut BBSDLP telah melakukan terobosan dengan
melakukan otomatisasi mulai dari download data MODIS hingga pengolahan data untuk menghasilkan
informasi fase pertumbuhan tanaman. Langkah otomatisasi ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap
kebutuhan waktu proses data menjadi sangat singkat. (Parsa, 2014).
Berkaitan dengan hal tersebut, akan dilakukan analisis secara bertahap terhadap fase pertumbuhan
tanaman padi berbasis data resolusi rendah MODISmenggunakan data penginderaan jauh multispektral
resolusi menengah Landsat8 dan data hasil pengamatan lapangan. Tujuan analisis adalah untuk verifikasi
informasi spasial fase pertumbuhan padi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menggunakan data resolusi
menengah Landsat8 dan data lapangan.Makalah ini merupakan laporan kemajuan hasil analisis tahap satu
yang telah dilakukan hingga saat ini dan akan dilanjutkan ke verifikasi tahap kedua dengan menggunakan
informasi lapangan.

2. METODE
Data yang digunakan dalam analisis ini meliputi data Landsat P/R 116065, 115065 multitemporal yang
direkam bulan Februari sampai Juni 2016 (Bank Data Penginderaan Jauh Nasional, 2016; USGS, 2013),
sedangkan yang diuji adalah informasi fase pertumbuhan tanaman padi yang diolah dari data MODISdelapan
harian 250m periode periode Januari-Juni 2016 (http://MODIS.gsfc.nasa.gov/data/).Lokasi penelitian adalah
beberapa kecamatan/kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Secara teknis verifikasi informasi fase tanaman padi ini akan dilakukan secara bertahap dengan
menggunakan citra yang mempunyai resolusi lebih baik. Pada tahap awal ini menggunakan citra resolusi
menengah 30 m yaitu Landsat8 multiwaktu.Pada tahap berikutnya verifikasi akandilakukan dengan data
lapangan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisiscitra Landsat-8 multiwaktu untuk
memperoleh fase pertumbuhan padi yang akan dikomparasi dengan hasil analisis fase pertumbuhan berbasis
MODIS.Satuan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah area sesuai dengan kondisi citra
Landsatyang sudah tersedia.Berdasarkan hasil analisis tersebut akan dilakukan penghitungan akurasi model
fase pertumbuhan menggunakan matrik kesalahan (Parsa, I. M., 2013; Parsa, I.M., 2013;)Secara diagram,
grand desain penelitian ini akan dilaksanakan sesuai Gambar 1.

-550-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

CITRA
INFORMASI SPASIAL FASE
TANAMAN PADI BERBASIS MODIS LANDSAT8
1. FASE AIR (pengolahan tanah) MULTIWAKTU
2. FASE VEGETATIF1 (1-40 hst)
3. FASE VEGETATIF2 (41-64 hst) CITRA KOMPOSIT KANAL 6,5,4
4. FASE GENERATIF1 (65-96 hst)
5. FASE GENERATIF2 (97-panen)
6. FASE BERA (selesai panen) ANALISIS FASE PERTUMBUHAN PADI

FASE TANAMAN PADI:


REPROYEKSI KE CITRA LANDSAT 1. FASE AIR
2. FASE VEGETATIF1
3. FASE VEGETATIF2
PERIODE DATA 4. FASE BERA

DATA
KESESUAIAN DATA LAPANGAN

FASE TANAMAN PADI FASE TANAMAN PADI


(MODIS) (CITRA LANDSAT)

KOMPARASI DAN UJI


KETELITIAN

INFORMASI KETELITIAN (I)

INFORMASI KETELITIAN (II)

REVIEW INPUT TIDAK


DAN METODE FASE KEPUTUSAN
TANAMAN PADI
YA

OPERASIONALISASI
MODEL (OTOMATISASI)

Gambar 1.Diagram alir penelitian pemanfaatan citra resolusi menengah Landsat untuk validasi informasi spasial fase
pertumbuhan padi berbasis citra MODIS

Mengingat periode informasi fase pertumbuhan (delapan harian) tidak sama dengan periode perekaman
citra Landsat (hanya enam belas hari) maka terlebih dulu dilakukan pemilihan periode fase pertumbuhan
tanaman padi yang bersesuaian dengan tanggal perekaman Landsat (Gambar 2).Beberapa pasangan yang
bersesuaian antara citra Landsat dengan fase tanaman padi untukProvinsi NTB (Tabel 1).

-551-
Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi
Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

Tabel 1. Daftar pasangan citra Landsat dan informasi fase tanaman padi Provinsi NTB
Tanggal Perekaman Citra Informasi Fase Tanaman Padi
No. Path/Row
Landsat Periode Tanggal
1. 27 Desember 2015 116066
2. 12 Januari 2016 116066 9 Januari 9-16 Januari
3. 29 Februari 2016 116066 26 Februari 26 Februari-3Maret
4. 16 Maret 2016 116066 13 Maret 13-20 Maret
5. 1 April 2016 116066 29 Maret 29 Maret-5April
6. 17 April 116066 14 April 14-21 April

Keterangan:

(a) (b)
Gambar 2.Citra komposit kanal 6,5,4 Landsat-8 12 Januari 2016 (a), Fase pertumbuhan padi periode 09-16 Januari
2016 (b) Pulau Lombok

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis citra Landsat dilakukan untuk identifikasi kondisi lahan sawah pun fase tanaman padi, apabila
dilakukan dengan menggunakan satu citra saja hanya akan dapat identifikasi fase air dan bera saja, tetapi
dengan menggunakan citra multiwaktu, (16 harian) maka fase tanaman akan dapat diketahui. Metode ini
diterapkan dengan menggunakan asumsi bahwa varietas padi yang ditanam petani adalah sama yaitu
Ciherang dengan umur panen 120 hari. Hal ini sesuai dengan referensi yang diperoleh bahwa lebih dari 90%
areal persawahan di Indonesia telah ditanami varietas unggul baru (VUB) yang dihasilkan oleh Badan
Litbang Pertanian. Beberapa VUB yang tidak asing bagi masyarakat seperti : IR64, Ciherang, Cibogo,
Cigeulis, dan Ciliwung, merupakan yang paling banyak ditanam di Indonesia. Secara umum, varietas
Ciherang masih menjadi primadona bagi petani di Indonesia bahkan mencapai 47% dari seluruh varietas
yang telah dilepas oleh Badan Litbang Pertanian (http://pengetahuanumumindonesiadandunia.
blogspot.co.id/2013/). Umur panen untuk varietas Ciherang adalah 116-125 hss (hari setelah sebar) (Badan
Litbang Pertanian, 2012).Jika pembibitan berlangsung selama 21 hari, maka panen varietas Ciherang 95-104
hari setelah tanam (hst) atau rata-rata 99 hari.
Secara umum identifikasi tanaman padi di lahan sawah pada citra Landsat multiwaktu hanya bersifat
global, dimana dapat hanya dapat mengidentifikasi air, vegetasi dan bera dan perubahannya dari waktu ke
waktu.Berdasarkan pengalaman, untuk identifikasi fase airpun tidak semudah yang dipikirkan selama ini,
karena ternyata tanaman padi yang baru tanam hingga umur satu minggu sulit dibedakan dengan lahan
sawah yang sedang masa persiapan tanam (fase air) (Parsa, I.M., 2015).Selain sulit dibedakan dengan fase
vegetatif1 (awal) terutama sampai umur tanaman 1 minggu, ternyata fase air juga seringkali sulit dipisahkan
dengan fase bera jika bera tersebut dalam kondisi lembab.Oleh karena itu dalam identifikasi ini fase air
termasuk didalamnya padi umur 1 minggu, sedangkan fase bera termasuk di dalamnya bera yang
lembab.Walaupun ada kesulitan sebagaimana disebutkan diatas, namun dengan analisis citra multiwaktu
yang dihubungkan dengan umur tanaman padi diharapkan kesulitan tersebut dapat diminimalisir.
Jika dilihat secara umum antara kenampakan pada citra Landsat dengan fase tanaman hasil analisis
MODIS terlihat bahwa kenampakan air pada citra Landsat cenderung menjadi fase generatif 2 dan bera pada
fase MODIS (Gambar 3), sedangkan vagetatif awal (hijau kebiruan) pada citra Landsat telah terklasifikasi
menjadi vegetatif1 pada klasifikasi MODIS (Gambar 4), sedangkan bera pada Landsat cendrung menjadi
generatif 2 dan vegetatif1 (Gambar 5). Hal ini merupakan indikasi bahwa model fase pertumbuhan untuk
Provinsi NTB ini perlu dilakukan review lebih mendalam.
-552-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

(a) (b)
Gambar 3. Kenampakan air pada citra Landsat (a) dan kelas generatif 2 pada fase MODIS (b)

(a) (b)
Gambar 4. Kenampakan hijau kebiruan (vegetatif) pada citra Landsat (a) dan kelas vegetatif1 pada fase
MODIS (b)

(a) (b)
Gambar 5. Kenampakan bera pada citra Landsat (a) dan kelas generatif 2 pada fase MODIS (b)

-553-
Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi
Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

Identifikasi awal fase padi didasarkan pada kenampakan air pada citra Landsat untuk kemudian
dilanjutkan dengan citra yang direkam berikutnya sampai ketemu fase bera. Berdasarkan hasil analisis yang
dilakukan menunjukan bahwa dalam selang waktu 5-6 periode Landsat (90-106) sudah akan ketemu fase
bera. Dengan memperhitungkan umur tanaman padi (97 hst) maka fase tanaman padi pada setiap periode
Landsat dapat diketahui, hanya saja fase yang dimaksud disini bukan fase tanaman sebagaimana klasifikasi
dari MODIS, tetapi hanya fase tanaman secara umum yaitu fase air, vegetatif, generatif, dan bera. Jika pada
suatu area lokasi pada citra Landsat (1) diidentifikasi sebagai air, tetapi pada lima periode data berikutnya
(80 hari) ternyata sudah menjadi fase bera maka ini berarti umurnya lebih dari 97 hari sehingga dengan
demikian fase air yang diidentifikasi pada citra awal sesungguhnya sudah ada tanaman berumur 17 hari dan
fase tanaman pada setiap periode citra Landsat dapat perkirakan dengan menghitung mundur umurnya. Jika
pada citra ke enam masih terpantau hijau vegetasi maka dengan mempertimbangkan umur panen 97 hari
maka umur maksimal pada saat itu kurang dari 97 hari, hal ini berarti bahwa fase air yang teridentifikasi
pada citra awal memang benar fase air (belum dilakukan penanaman padi). Hasil analisis fase tanaman padi
dan citra Landsat multiwaktu selengkapnya disajikan pada Lampiran.
Berdasarkan perkiraan fase tanaman yang dianalisis dari citra Landsat multiteporal maka dilakukan
analisis lebih lanjut kesesuaian/akurasi fase yang diperoleh dari data MODIS. Secara umum dari 100 lokasi
area (multitemporal) yang dianalisis, hanya 84 lokasi yang dapatdiverifikasi, hal ini disebabkan karena 16
lokasi lainnya tertutup awan pada salahsatu (MODIS/Landsat) datanya.Analisis lebih lanjut terhadap 84 data
hasil verifikasi dengan menggunakan matrik kesalahan ternyataakurasi secara keseluruhan hanya 67%
dengan akurasi tertinggi pada fase vegetatif1 dan generatif1 (80% dan 79%), sedangkan fase vegetatif2 dan
generatif2 masing-masing 75% dan 73%. Hasil komparasi antara citra Landsat dengan fase pertumbuhan
MODIS untuk Pulau Lombok disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitlasi hasil verifikasi fase pertumbuhan padi berbasis citra Landsat dengan fase pertumbuhan tanaman
padi berbasis citra MODIS
FASE CITRA LANDSAT
MODIS Air Hijau1 Hijau2 Hijau3 Hijau4 Bera
Air 0 0 0 0 0 0
Vegetatif1 0 16 1 1 0 2
Vegetatif2 0 0 3 1 0 0
Generatif1 0 0 3 15 1 0
Generatif2 1 2 3 2 22 0
Bera 7 4 0 0 0 0
Sumber data: Hasil analisis
Keterangan: blokberwarna hijau adalah hasil analisis yang benar

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis kualitatif dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disampaikan
kesimpulan sementara bahwa:
1. Terdapat beberapa kesalahan hasil fase tanaman padi yang berbasis MODIS Provinsi NTB dibandingkan
dengan hasil analisis citra Landsat multiwaktu yang bersesuaian
2. Akurasi fase tanaman padi untuk Provinsi NTB adalah 67%
3. Perlu dilakukan review dan perbaikan terhadap model fase pertumbuhan untuk meningkatkan akurasi
model.
4. Perlu dilakukan analisis lanjutan yang bersifat kuantitaif terhadap data Landsat agar dapat dihitung
akurasi model

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada teman-teman peneliti/perekayasa
yang telah memberikan bantuan, masukan dan saran pada pelaksanaan penelitian maupun penulisan makalah
ini.

-554-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian (2012).Varietas-Padi-Unggulan Majalah Agroinovasi.Sinartani.No. 3441 Tahun XLII. 7 h.
Badan Litbang Pertanian(2015). Inovasi Pertanian untuk Kemandirian Pangan dan Energi.Laporan Tahunan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Bank Data Penginderaan Jauh Nasional – BDPJN LAPAN, diunduh bulan Februari-Juni 2016 dari http://bdpjn-
catalog.lapan.go.id/catalog/index.php
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, (2016).Pengelolaan Data Lahan Sawah, Alat dan Mesin Pertanian,
dan Jaringan Irigasi. Bahan Presentasi pada Pertemuan Tahunan Forum Komunikasi Statistik dan Sistem
Informasi Pertanian. Solo.
Dirgahayu, D., Adhyani, N.L., dan Nugraheni, S., (2005).Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data
MODIS untuk Pendugaan Umur Padi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV, Surabaya.
Dirgahayu, D., Noviar, H., dan Anwar, S., (2014). Model Pertumbuhan Tanaman Padi di Pulau Sumatera
Menggunakan Data EVI MODIS Multitemporal. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh.
MODISModerate Imaging Spectroradiometer.diunduh bulan Februari-Juni 2016 dari http://MODIS.gsfc.nasa.gov/data/
Parsa, I.M., (2013a). Optimalisasi Parameter Segmentasi untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Citra Satelit
Landsat (Studi kasus Padang Pariaman-Sumatera Barat dan Tanggamus-Lampung).Jurnal Penginderaan Jauh dan
Pengolahan Citra Digital, 10(1):27-38.
Parsa, I.M., (2013b). Kajian Pendekatan Teori Probabilitas untuk Pemetaan Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup
Lahan Citra Landsat Multiwaktu (Studi Kasus Daerah Tanggamus, Lampung).Jurnal Penginderaan Jauh dan
Pengolahan Citra Digital, 10(2):113-121.
Parsa, I.M., (2014). Ujicoba Model Pemetaan lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Landsat Mosaik
Tahunan di Jawa Barat).Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 11(1):15-28.
Parsa, I.M., (2015). Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Resolusi Menengah Landsat untuk Uji Ketelitian Informasi
Spasial Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Citra MODIS.Proseding Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Bogor.
ISBN: 978-979-1458-95-5.
Syahbuddin, H., (2015). Sistem Informasi Katam Terpadu versi 2.1 dan Standing Crop.Verifikasi Standing Crop di
Empat Kabupaten Jawa Barat.Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Kementerian Pertanian.
USGSLandsat Mission, diunduh 22 Januari 2013 dari http://landsat.usgs.gov/documents/LDCM_Brochure/

-555-
Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

Lampiran. Hasil analisis fase tanaman padi dan citra Landsat multiwaktu di Pulau Lombok

MODIS Landsat MODIS Landsat MODIS Landsat MODIS Landsat


SAMPEL Ket Ket Ket Ket
9 Januari 12 Januari 26 Februari 29 Februari 13 Maret 16 Maret 29 Maret 01 April
TS1 bera Air s bera hijau s awan hijau,awan ? g2 hijau b
TS2 veg1 air, hijau b gen2 hijau s awan hijau,awan ? g2 hijau b
TS3 bera air, hijau s veg2 hijau b awan hijau ? g1 hijau s
TS4 bera air s awan hijau ? gen1,aw hijau b g2 hijau b
TS5 veg1 air, hijau b gen2 hijau s gen1 hijau b g2 hijau b
TS6 veg1 air, hijau b awan hijau ? gen1 awan ? g2 hijau b
TS7 bera air, hijau s awan hijau s gen2 hijau s g2 hijau b
TS8 gen2 air, hijau s awan hijau b gen1 hijau b g2 hijau b
TS9 gen2 air, hijau s gen2 hijau s veg2 hijau s g2 hijau b
TS10 veg1 air, hijau b awan hijau,aw ? gen1 hijau b g2 hijau,br b
TS11 veg1 air, hijau b gen1 awan ? veg1 hijau s g2 g2,bera b
TS12 veg1 air, hijau b ge21 awan ? gen2 hijau s g2 g2,bera b
TS13 bera air, hijau s gen1 hijau b gen1 hijau b g2 g2,bera b
TS14 veg1 air, bera b gen1 awan b gen1,2 hijau b g2 hj,bera b
TS15 veg1 bera, s bera air s veg1 bera, air b v1 hj,bra b
TS16 veg1 hijau,bera s veg1 air b veg1 a,h,b b v1 hj,bra b
TS17 bera Air s gen1 hijau s veg2 hijau b g2 hjau,bra b
TS18 bera Air s awan hijau ? gen1 hijau b g2 hijau b
TS19 veg1 Air b gen1 awan s awan hijau ? g2 bera, hj b
TS20 veg1 Air b awan hijau ? awan hijau ? g2 hju, bra b
TS21 veg1 Air b awan hijau ? gen1 hijau b g2 hju, bra b
TS22 bera Air s awan hijau ? gen1 hijau b g2 bera, hjau b
TS23 bera Air s awan hijau ? veg1 hijau s g2 hjau,air b
TS24 veg1 Air b awan hijau ? gen12 hijau b g2 bera,air b
TS25 gen2 Air s gen1 hijau s veg2,aw hijau b g2 hijau b

Keterangan:
Sumber data: Hasil analisis
TS1: training sampel1

-556-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dr. M. Rokhis Khomarudin


Judul Makalah : Analisa Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dengan Menggunakan Citra Landsat dan
Data Lapangan (Studi Kasus Pulau Lombok)
Pemakalah : Johanes Manalu (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: Mahdi Kartasasmita, Ph.D


Kesimpulan agak membingungkan, mau mendeteksi ketelitian dari produk data MODIS, tentunya ada
kesalahan, maka dari itu perlu pengetesan. Dalam penelitian ini bagaimana menjamin ketelitian data MODIS
sesuai dengan sampel Landsat?

Jawaban :
Satu piksel data MODIS 250, makanya kami ambil piksel 3x3 ada 9 sehingga menjadi 270, ini untuk
menghindari atau meminimalisir kesalahan, karena untuk mencapai titik tengah masih kesulitan sehingga di
ambil pengamatan hamparan.

Pertanyaan: Agus Hidayat (LAPAN)


Di kesimpulan, akurasi model fase tanaman padi di NTB 67 %, apa maknanya, apakah akurasi data MODIS
dengan Landsat atau data modis dengan lapangan?

Jawaban :
Ambil titik pengamatan, misal pada vegetatif satu ada 16 sample terus pengamatan sama di 16 titik.

Pertanyaan: Dr. Bidawi Hasyim


Kesimpulan harus benar. Kesimpulan adalah inti dari penelitian. Kita bicara fase tanaman, yang sangat
menentukan adalah repetitive time data, ketika geometriknya bagus, sehingga menentukan hasil repetitive time
sangat menentukan, dalam tiap bulan Landsat dan MODIS setiap hari, hal ini sangat menentukan grafik fase
tanaman jadi perlu memutuskan yang mana yang benar.

-557-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Identifikasi Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8


Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index

Identification of Rice Plant Growth Phase from Landsat-8 Image Data Using
Normalize Difference Vegetation Index Parameter

R. Johannes Manalu1*), dan Nana Suwargana1


1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
*)
E-mail: jo_manalu@yahoo.com

ABSTRAK - Fase pertumbuhan dan umur tanaman padi merupakan paramater biofisik tanaman yang dapat dideteksi
oleh teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja). Penelitian bertujuan untuk membangun model pertumbuhan tanaman padi
sawah yang dapat diterapkan di PT Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat. Fase pertumbuhan dan umur tanaman padi
dapat diduga berdasarkan model tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan data satelit
Landsat-8 multi temporal dan analisis data setiap nilai piksel dari training sample (poligon). Pengolahan awal yang
dilakukan adalah melakukan koreksi geometrik dari data citra Landsat 8 dua tanggal yaitu tanggal 11 Juli 2014 dan
tanggal 12 Agustus 2014. Selanjutnya dengan perangkat lunak yang dipergunakan dilakukan ekstraksi informasi
menjadi nilai Normalize Difference Vegetation Index (NDVI), sehingga diperoleh hubungan umur tanaman padi dengan
NDVI. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan antara pertumbuhan tanaman padi dengan nilai NDVI, yang
berbentuk parabola. Pola pertumbuhan tanaman padi dimulai dengan fase awal tanam (nilai NDVI dari minus menuju
0), dilanjutkan dengan fase vegetatif sehingga mencapai puncak parabola (nilai NDVI bertambah menuju 1). Setelah
mencapai puncak tanaman padi memasuki fase generatif, dilanjutkan dengan fase panen dan diakhiri dengan fase bera
(nilai NDVI dari mendekati 1 menuju nilai minus).

Kata kunci: LANDSAT-8 , NDVI, Fase Pertumbuhan, Fase Vegetatif, Fase Generatif

ABSTRACT- Growth phase and age of the rice plant is a crop biophysical parameters that can be detected by remote
sensing technology. The research aims to develop rice crop growth model that can be applied in PT Sang Hyang Seri,
Subang, West Java. Growth phase and age of the rice plant can be predicted by the model. The methods used in this
research are data processing of multi-temporal Landsat-8 data and analysis of each pixel value of the training sample
(polygons). Data pre-processing includes geometric correction of Landsat 8 image data, namely the date of July 11,
2014 and on August 12, 2014. Furthermore, the extraction of Normalize Difference Vegetation Index (NDVI) was
carried out to estimate the relationship between rice plant age and NDVI. The analysis showed a relationship between
the growth of the rice plant to NDVI values as parabolic form. The pattern of growth of the rice plant begins with the
initial phase of planting (NDVI value of minus toward 0), followed by the vegetative phase, to reach the peak of the
parabola (NDVI values increase towards 1). After reaching the peak of the rice crop enters the generative phase,
followed by the harvest phase and ends with fallow phase (NDVI value of close to 1 to a minus value).

Keywords: LANDSAT-8, NDVI, phase of growth, vegetative phase, generative phase

1. PENDAHULUAN
Penelitian menggunakan citra satelit untuk memantau pertumbuhan tanaman padi telah banyak dilakukan
(Shao dkk., 1997; Kuroso dkk., 1997; Le Toan, 1997; Panigrahy dan Sharma, 1997; Oette dkk., 2000; Shao
dkk., 2001; David dkk., 2003). Beberapa penelitian sebelumnya telah menggunakan resolusi global dan
moderat seperti NOAA AVHRR dan MODIS untuk memantau sawah (Fang dkk., 1998; Wataru dkk., 2006;
Xiao dkk., 2005). Selanjutnya beberapa peneliti lainnya (Yoshinari dkk., 2001) melakukan pemantauan
sawah menggunakan data time series dari data Landsat-7 ETM dan Landsat-5 yang diteliti mulai dari
penanaman padi hingga panen, yang dilakukan pada tahun 2000 di bawah kendali Pusat Penelitian Pertanian
Hirosima di Higashi Hiroshima Jepang, hubungan antara NDVI yang dihitung dari data satelit dan
parameter-parameter fisik dari pertumbuhan tanaman padi. Penggunaan citra satelit resolusi spasial moderat
dan global dibatasi terutama di lahan sawah yang kecil/sempit, karena ada banyak jenis tutupan lahan dalam
satu pixel. Hal ini akan mengurangi nilai akurasi (Strahler dkk., 2006). Di sisi lain, pemanfaatan citra satelit
resolusi spasial yang tinggi atau menengah dibatasi, terutama selama periode awal tanam, karena citra yang
tersedia selama 120 hari periode pertumbuhan padi sedikit (Currey dkk, 1987). Landsat ETM+ memiliki

-558-
Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index
(Manalu, R.J.,dkk.)

resolusi temporal, spasial dan spektral yang baik untuk memantau tanaman padi. Waktu pengamatan
kembali ke wilayah yang sama dari Landsat ETM+ adalah 16 hari dengan resolusi spasial 30 m. Landsat
ETM+ memiliki enam band dengan ukuran piksel yang sama yang bermanfaat dalam pengembangan
algoritma untuk pemodelan padi.
Pembuatan model prediksi waktu panen padi secara spasial menggunakan data Landsat TM 5 yang
dilakukan oleh Dirgahayu (1999) didasarkan atas pendugaan umur tanaman padi menggunakan parameter
NDVI. Citra NDVI yang mempresentasikan kondisi tajuk tanaman padi dalam berbagai fase dan kondisi
tersebut diperoleh dari rasio selisih dengan jumlah pada kanal Infra Merah Dekat (kanal 4 Landsat atau kanal
2 NOAA-AVHRR) dan kanal Merah (kanal 3 Landsat atau kanal spektrum tampak pada kanal 1 NOAA-
AVHRR). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dirgahayu (2005) dengan menggunakan NDVI dapat
menduga umur tanaman padi. Keterbatasan model terjadi pada kisaran nilai NDVI yang sama dapat dimiliki
oleh tanaman yang umurnya berbeda, jika hanya menggunakan 1 tanggal data. Selanjutnya model
dikembangkan menjadi 2 bentuk model pendugaan untuk umur padi pada fase vegetatif (hingga umur 8
minggu setelah tanam) dengan bentuk model Sigmoid dan model pendugaan untuk umur padi pada fase
generatif (umur 8 minggu hingga 14 minggu/panen) yang berbentuk kuadratik. Pemecahan model tersebut
meningkatkan koefisien determinasi persamaan regresi. Selanjutnya dari citra dapat diprediksikan umur padi,
waktu dan luas panen padi baik dalam bentuk tabular maupun spasial per Kabupaten di seluruh pulau Jawa.
Sebagian besar penelitian aplikasi inderaja berdasarkan pendugaan umur terhadap tanaman padi adalah
tentang estimasi produktivitasnya, jarang yang memprediksi luas panennya. Ekstraksi nilai reflektansi dari 7
kanal Landsat 7 ETM dilakukan pada blok-blok tanam lahan sawah PT. Sang Hyang Seri, Subang, Jawa
Barat. Setiap blok memiliki jadwal tanam dan varietas padi yang berbeda, sehingga rata-rata nilai reflektan
tanaman padi pada umur yang berbeda dapat diketahui hanya dengan menggunakan satu tanggal data
Landsat 7 ETM. Penelitian menghasilkan 2 model pertumbuhan tanaman padi dalam bentuk spline kubik,
baik pada fase vegetatif dan generative. Sejak bulan Mei 2003, data Landsat 7 ETM mengalami SLC-Off
(kerusakan), sehingga penelitian untuk tujuan pemantauan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman
padi perlu dilakukan menggunakan data yang lebih banyak. LAPAN dapat melakukan penelitian kembali
untuk pendugaan umur tanaman dengan menggunakan data multi temporal di tahun 2013 dan 2014 setelah
Landsat-8 beroperasi.
Pertumbuhan tanaman padi dari musim tanam sampai panen dan kondisi/fase bera dapat dideteksi oleh
data inderaja satelit dengan kombinasi kanal RGB dari citra Landsat-8 dan menentukan NDVI. Hal tersebut
dapat dilakukan karena perubahan kondisi tanaman/parameter pertumbuhan tanaman seperti pertambahan
tinggi, luas daun dan kerapatan tajuk menyebabkan fluktuasi perubahan NDVI. Takeuchi dan Yasuoka
(2004), Sakamoto dkk. (2006), dan Xiao dkk.,(2006) menyatakan bahwa pola tanam padi bisa dipantau
dengan menganalisis gambar fonologi yang diperoleh dari data satelit multi temporal resolusi tinggi. MODIS
digunakan sebagai sumber data untuk ciri pola tanam padi di wilayah Asia. Kemudian Gitelson dkk. (2002)
menggunakan saluran hijau yang menghasilkan presisi yang memuaskan untuk memperkirakan tutupan
vegetasi. Meskipun saluran biru juga berisi informasi vegetasi, tetapi jarang diterapkan dalam penginderaan
jauh vegetasi. Major dkk. (1990) dan Handine dkk. (1999) menyatakan bahwa NDVI adalah fungsi
pemantulan kanal merah dan kanal infra merah dekat, yang merupakan kanal yang paling banyak digunakan.
Karena reflektansi penyerapan klorofil yang tinggi dari jaringan tanaman hidup di kanal merah dan di kanal
infra merah dekat, sehingga kedua kanal tersebut mengandung banyak informasi vegetasi.

2. METODE
2.1 Deskripsi Wilayah Survei
Penelitian ini dilakukan di PT Sang Hyang Seri yang terletak di wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat,
berpusat pada 06° 19' 01" Lintang Selatan dan 107° 38' 07" Bujur Timur (Gambar 1.). Pemilihan lokasi
penelitian ini dengan pertimbangan untuk mempermudah perolehan data sekunder seperti jadwal tanam,
umur tanaman pada tiap blok yang dibutuhkan dalam pembangunan model. Area PT Sang Hyang Seri ini
meliputi areal persawahan dengan luas sekitar 300 ha.

-559-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian dengan citra Landsat-8 di Wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat.

2.2 Data
Data yang digunakan adalah data citra Landsat-8 lintasan 122/64 tanggal 11 Juli 2014 dan tanggal 12
Agustus 2014.

2.3 Metode
Untuk menentukan umur pertumbuhan padi dari fase awal tanam sampai fase panen dan kondisi fase
bera dilakukan dengan menurunkan nilai NDVI. Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengekstrak citra
Landsat-8 untuk menurunkan nilai NDVI adalah dengan membuat training area yang homogen sebanyak 3
training sampel (poligon) dari tiap blok area tanaman padi yang terdapat pada citra Landsat-8 multi
temporal. Poligon untuk satu umur tanaman pada citra yang sama dapat dicatat lebih dari satu poligon sesuai
dengan kenampakan pada tiap blok tanaman.
Pengambilan poligon pada setiap blok pada citra Landsat-8 diperlihatkan pada Gambar 2. Selanjutnya
kumpulan data hasil training sampel dengan data umur tanaman berdasarkan Hari Setelah Tanam (HST)
dicatat mulai dari fase awal tanam, fase vegetatif, fase generatif dan panen/bera pada suatu tabel. Kemudian
dari hasil pencatatan nilai digital citra Landsat-8 tanggal 11-07-2014 dan citra Landsat-8 tanggal 12-08-
2014 diturunkan nilai indeks vegetasi dengan model NDVI = (NIR-RED)/(NIR+RED) dan kemudian
ditampilkan dalam bentuk grafik dari fase awal tanam hingga panen.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Kombinasi Kanal
Pengolahan data Landsat-8 dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi kanal RGB
653 (warna yang sebenarnya). Gambar 2 menunjukkan Lokasi Survei pada citra Landsat-8 yang diakusisi
pada tanggal 11-07-2104 (Gambar 2.a) dan tanggal 12-08-2104 (Gambar 2.b) serta foto di lokasi survei yang
diambil pada tanggal 12-08-2104. Gambar 2.a menampilkan sawah dengan mayoritas padi dalam fase
panen dan masa awal tanam (fase bera). Kenampakan citra warna biru tua menunjukkan sawah mayoritas
digenangi air, sedangkan kenampakan citra warna hijau menunjukkan padi dalam keadaan fase generatif.
Kenampakan citra warna merah menunjukkan sawah dalam keadaan kering karena padi habis dipanen dan
sebagian sawah dalam fase bera mulai dibajak yang ditunjukkan dengan kenampakan objek tersebut dengan
warna biru tua karena banyak genangan air.
Gambar 2.b menampilkan sawah dengan mayoritas padi dalam fase generatif, kenampakan citra
warna hijau muda sampai hijau tua. Gambar 2.c menunjukkan foto tanaman padi kering dan tanah
kering yang pada citra menampilkan warna merah (dalam fase bera). Gambar 2.d menunjukkan foto
sawah dengan tanaman padi sedang dalam masa pertumbuhan yang pada pada citra menampilkan
warna hijau muda sampai hijau tua (fase generatif). Gambar 2.e menunjukkan foto tanaman padi

-560-
Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index
(Manalu, R.J.,dkk.)

pada masa awal tanam (fase vegetatif), yang pada citra menampilkan warna biru hingga warna
hijau muda karena obyeknya dominan air.

Gambar 2. Lokasi Survei (•) Pada Citra Landsat-8 Kombinasi Kanal RGB 653.

3.2 Indeks Vegetasi


Pengolahan citra Landsat-8 dengan tanggal akusisi 11-07-2014 dilakukan menggunakan perangkat lunak
ER Mapper 7.0 dengan menggunakan fasilitas formula NDVI dihasilkan Gambar 3 yang menunjukkan
gambar citra NDVI dan citra RGB di mana nilai indeks vegetasi dengan model NDVI menghasilkan rentang
nilai indeks vegetasi -0,119289 - 0,788376. Nilai indeks vegetasi yang terbanyak berada di antara 0,0
hingga 0,4 yang menunjukkan lahan sawah dan tanaman padi dalam kondisi fase bera dan awal tanam
(generatif), terlihat dengan mayoritas warna biru pada citra NDVI. Nilai indeks vegetasi yang cukup banyak
berada di antara 0,4 hingga 0,6 yang menunjukkan tanaman padi dalam kondisi fase vegetatif terlihat dengan
warna kuning dan oranye pada citra NDVI. Nilai indeks vegetasi yang paling sedikit berada di antara 0,6
hingga 0,8 yang menunjukkan lahan sawah dan tanaman padi dalam kondisi kering sehabis panen, terlihat
dengan mayoritas warna merah pada citra NDVI (Gambar 3.a). Hal ini dapat juga dilihat dari bentuk
histogramnya yang merupakan fasilitas dari perangkat lunak yang dipergunakan (Gambar 3.b). Pengolahan
citra Landsat-8 dengan tanggal akusisi 12-08-2014 dilakukan menggunakan perangkat lunak ER Mapper 7.0
dengan menggunakan fasilitas formula NDVI dihasilkan Gambar 4 yang menunjukkan gambar citra NDVI
dan citra RGB di mana nilai indeks vegetasi dengan model NDVI menghasilkan rentang nilai indeks vegetasi
0,114618 - 0,780684. Nilai indeks vegetasi yang terbanyak berada di antara 0,4 hingga 0,8 yang
menunjukkan lahan sawah dan tanaman padi dalam kondisi fase generatif dan panen, terlihat dengan
mayoritas warna kuning, oranye dan merah. pada citra NDVI. Hal ini dapat juga dilihat dari bentuk
histogramnya yang merupakan fasilitas dari perangkat lunak yang dipergunakan (Gambar 4.b).

-561-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 3. Citra dan Bentuk Histogram Citra tanggal 11-07-2014.

Gambar 4. Citra dan Bentuk Histogram Citra tanggal 12-08-2014.

-562-
Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index
(Manalu, R.J.,dkk.)

Tabel 1. Umur Tanaman Padi dengan Indeks Vegetasi NDVI pada Piksel 3x3 yang Diperoleh dari Dua Citra
Tanggal 11-07-2014 dan 12-08-2014.

Umur piks-1 piks-2 piks-3 piks-4 piks-5 piks-6 piks-7 piks-8 piks-9
U6 -0,9699 -0,8079 -0,7772 -0,9699 -0,7378 -0,821 -0,9699 -0,8473 -0,821
U7_1 -0,05276 -0,567 -0,5407 -0,3962 -0,4969 -0,4969 -0,3874 -0,3349 -0,5801
U7_2 -0,9393 -0,8604 -0,8298 -0,9393 -0,8604 -0,7816 -0,8473 -0,821 -0,8298
U12 -0,7991 -0,7597 -0,8079 -0,7991 -0,8079 -0,8079 -0,7772 -0,8079 -0,7991
U20_1 -0,1684 -0,3611 -0,2341 -0,3349 -0,3699 -0,44 -0,3392 -0,3699 -0,3568
U20_2 -0,4969 -0,44 -0,1378 -0,5757 -0,44 -0,1684 -0,3261 -0,2867 -0,2692
U20_3 0,3571 0,2432 0,0067 0,2563 0,0768 0,0724 0,3571 0,0768 0,0943
U22 0,2738 0,0373 0,2651 0,3483 0,0373 0,2651 0,4359 0,2257 0,1643
U32 -0,3086 -0,2735 0,0724 0,3392 -0,7816 -0,4487 -0,5582 -0,7772 -0,4487
U38 -0,6863 -0,7863 -0,9876 -0,6863 -0,7863 -0,9515 -0,6863 -0,8254 -0,9515
U40 -0,0633 -0,2341 -0,0283 -0,2473 -0,3173 -0,1772 -0,1378 -0,3173 -0,1772
U44 0,4345 0,3854 0,2515 0,4166 0,2917 0,5549 0,0151 0,4211 0,5951
U47 -0,2166 -0,1465 -0,1246 -0,1246 -0,0983 -0,1334 -0,1991 -0,2166 -0,0067
U52_1 0,7815 0,7008 0,8127 0,8095 0,7573 0,879 0,7095 0,8182 0,779
U52_2 0,7703 0,6877 0,8008 0,8399 0,8921 0,879 0,3571 0,0887 0,1044
U54_1 0,9293 0,9057 0,76 0,9571 0,8507 0,9136 0,6779 0,945 0,9921
U54_2 0,7616 0,8921 0,8704 0,7616 0,9312 0,8921 0,379 0,8486 0,8312
U54_3 0,8182 0,3398 0,7312 0,8182 0,3094 0,4877 0,9269 0,5529 0,4138
U58 0,9396 0,9177 0,9177 0,8695 0,9177 0,9177 0,8476 0,8695 0,8783
U59_1 0,944 0,9965 0,9396 0,9834 0,9615 0,9878 0,944 0,9615 0,979
U59_2 0,3877 0,3485 0,4355 0,2877 0,4051 0,4833 0,1572 0,4051 0,5312
U59_3 0,3877 0,3485 0,4355 0,2877 0,4051 0,4833 0,1572 0,4051 0,5312
U69_1 0,668 0,6899 0,7556 0,7381 0,76 0,7907 0,8607 0,7162 0,668
U69_2 0,8914 0,9002 0,76 0,8695 0,9045 0,5717 0,8388 0,8038 0,5717
U69_3 0,5399 0,4007 0,5703 0,579 0,4877 0,5877 0,2529 0,1529 0,1485
U72 0,2877 0,2833 0,1876 0,3572 0,3138 0,3224 0,3138 0,3442 0,4051
U74 0,8607 0,7907 0,5761 0,8388 0,8607 0,7556 0,8564 0,6505 0,7907
U79 0,8921 0,9399 0,5703 0,9225 0,9356 0,853 0,5051 0,9486 0,953
U85 0,2432 0,1162 0,2476 0,1862 0,1162 0,1731 0,1862 0,1643 0,1731
U86 0,1572 0,1963 0,2572 0,3659 0,579 0,5964 0,5921 0,6616 0,3529
U90 0,0181 -0,0558 0,0441 0,0355 -0,0123 -0,0166 -0,1558 -0,0166 0,0268
U91 0,4138 0,4442 0,4138 0,4312 0,3964 0,3224 0,4268 0,3964 0,3181
U101_1 0,0398 0,0615 0,0398 0,005 0,0615 0,0268 0,0137 0,0441 0,0311
U101_2 -0,0079 -0,0558 -0,0862 -0,0079 -0,0601 -0,0384 -0,0384 -0,0688 -0,1253
U106 -0,1645 -0,1427 -0,2732 -0,1645 -0,1427 -0,1949 -0,1906 -0,208 -0,1862

Hasil dari pengolahan data citra Landsat-8 multi temporal dengan menggunakan formula NDVI didapat
tahap pertumbuhan tanaman padi yaitu fase awal tanam, fase vegetatif dan fase generatif (termasuk masa
panen dan bera) ditampilkan pada Tabel 1. Hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan mulai dari umur 6
hari (U6) hingga umur 106 hari (U106) menunjukkan nilai NDVI yang besarnya -1 hingga 1. Nilai -1
menunjukkan bahwa objek lahan sawah dalam keadaan tanpa vegetasi, di objek lahan sawah tersebut yang
terdeteksi adalah air dan tanah. Hasil pengukuran indeks vegetasi mulai umur 6 hari hingga 106 hari nilai
NDVI nya bervariasi dan bentuk profil pertumbuhan tanaman padi mulai dari awal tanam hingga panen
ditunjukkan pada Gambar 5 yang berfluktuasi membentuk lengkungan.

-563-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 5. GrafikUmur Tanaman Padi Dengan Nilai NDVI.

Untuk mendapatkan nilai NDVI yang lebih halus dibuat nilai rata-rata dari seluruh pengamatan dan
semua nilai negatif dijadikan nol, hasilnya ditampilkan pada Tabel 2. Data pengamatan yang didapat dimulai
dari umur tanaman padi 6 hari (U6) hingga umur tanaman padi 106 hari (U106), dari data dapat dilihat 4 fase
yang dialami tanaman padi.
Umur 6 hari hingga umur 20 hari menunjukkan fase pengolahan awal, di mana sawah mulai dibajak dan
mulai ditanami. Umur 20 hari hingga umur 54 hari menunjukkan fase vegetatif dengan nilai NDVI mulai
nilai 0,171188889 meningkat hingga umur 58 hari dengan nilai NDVI 0,897255556. Dari umur 58 hari
hingga umur 59 hari merupakan puncak nilai NDVI 0,966366667 dan dari umur 59 hari NDVI kembali
turun menjadi 0,382366667 yang menunjukkan fase generatif. Nilai rata-rata NDVI pada pertumbuhan
tanaman padi mulai umur 6 hari hingga umur 106 hari, dapat dilihat pada Gambar 6.

-564-
Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index
(Manalu, R.J.,dkk.)

Tabel 2. Rata-rata NDVI.

UMUR RATA-NDVI
U6 0
U7_1 0
U7_2 0
U12 0
U20_1 0
U20_2 0
U20_3 0,171188889
U22 0,228088889
U32 0,082744444
U38 0,082744444
U40 0,351766667
U44 0,373988889
U47 0,373988889
U52_1 0,783055556
U52_2 0,602222222
U54_1 0,881266667
U54_2 0,796422222
U54_3 0,599788889
U58 0,897255556
U59_1 0,966366667
U59_2 0,382366667
U59_3 0,382366667
U69_1 0,738577778
U69_2 0,790177778
U69_3 0,413288889
U72 0,312788889
U74 0,775577778
U79 0,835566667
U85 0,178455556
U86 0,417622222
U90 0,032588889
U91 0,3959
U101_1 0,035922222
U101_2 0
U106 0

Gambar 6. menunjukkan hubungan umur tanaman padi dengan nilai NDVI yang menghasilkan bentuk
parabola. Pertumbuhan vegetatif tampak diikuti dengan kenaikan nilai NDVI hingga mencapai nilai
maksimum antara umur 58 – 59 HST. Fase pertumbuhan vegetatif tampak terbagi tiga, yaitu vegetatif awal
antara umur 0-20 HST yang masih didominasi oleh penggenangan air dengan nilai NDVI sekitar 0,17118
dan fase pertumbuhan vegetatif antara umur 20 – 52 HST dengan nilai NDVI sekitar 0,7830 dengan slop
tajam, fase vegetatif antara umur 52 – 59 HST dengan nilai NDVI sekitar 0,9663, di umur ini mulai
pembentukan malai. Sedangkan fase pertumbuhan generatif tampak terbagi 2, yaitu masa pembentukan biji
antara 59 – 85 HST dengan nilai NDVI sekitar 0,1784, masa pematangan antara umur 85 – 91 HST dengan
penurunan nilai NDVI menjadi 0,3959. Selanjutnya tanaman padi akan dipanen dan kondisi lahan menjadi
bera dengan nilai NDVI sekitar 0,0359.

-565-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 6. Hubungan Umur Padi Dengan NDVI.

4. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Model indeks vegetasi
Normalize Difference Vegetation Index (NDVI) dengan menggunakan data citra Landsat-8 dapat
menunjukkan fase pertumbuhan tanaman padi. Pola pertumbuhan tanaman padi dengan menggunakan
indeks vegetasi NDVI menghasilkan kurva parabola, di mana pada awal tanam nilai NDVI
menunjukkan nilai minus dan akan bergerak naik mendekati nilai 1 (puncak parabola) pada fase
vegetatif. Setelah mencapai nilai mendekati 1, nilai NDVI bergerak turun menuju 0 pada fase
generatif, panen dan bera.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada manajemen PT Sang Hyang Seri yang telah memberikan
kesempatan untuk melakukan penelitian di areal persawahan milik PT Sang Hyang Seri. Juga mengucapkan
terima kasih kepada bapak Bambang Trisakti sebagai Kepala Bidang Sumber Daya Wilayah Darat Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, atas saran dan masukan yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
Currey, B.,dkk..(1987). How useful is Landsat monitoring Nature. 328:587-590.
David, D.,dkk.. (2003). Trends in Rice-Wheat Area in China. Field Crops Research.
Dirgahayu,D., (1999). Applications prediction modelfor forecasting general rice harvestedrice in Java period from
January to April 1998 (in Indonesian). Majalah LAPAN, 1(2).
Dirgahayu, D. (2005).Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data Modis untuk Pendugaan Umur Padi
Sawah. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV.
Gitelson, A. A., dkk..(2002). Vegetation and soil lines in visible spectral space: A concept and technique for remote
estimation of vegetationfraction. Int J Remote Sens, 23(13): 2537-2562.
Handine, G.,dkk.. (1999). The MERIS Global Vegetation Index (MGVI), Description and preliminary application. Int
J Remote Sens, 20(9):1917-1927.
Kuroso, T.,dkk..(1997). Monitoring of Rice Fields Using Multi-Temporal ERS-1 C-band SAR Data. International
Journal of Remote Sensing, 14:2953- 2965.
LeToan, T.,dkk..(1997). Rice Crop Mapping and Monitoring Using ERS-1 Data Base on Experiment and Modeling
Results. IEEE Transactions on Geosciences and Remote Sensing, 35:41- 56.
Major D. J., dan Huete A. R. (1990). A ratio vegetation index adjusted for soil brightness. Int J Remote Sens,11(5):727-
740.
Panigrahy, S., dan Sharma, S.A. (1997). Mapping of Crop Rotation Using Multidate Indian Remote Sensing Satellite
Digital Data. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 52:85-91.
Shao, Y.,dkk..(2001). Rice Monitoring and Production Estimation Using Multitemporal RADARSAT. Journal of
Remote Sensing for Environment, 76:310–325.

-566-
Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index
(Manalu, R.J.,dkk.)

Shao, Y.,dkk..(1997). Evaluation of SAR image for Rice Monitoring and Land Cover Mapping. In Presented at
Geomatics in Era of RADARSAT, Ottawa, Canada.
Sakamoto, T.,dkk..(2006). Spatio-temporal distribution of rice phenology and cropping systems in the Mekong Delta
with special reference to the seasonal water flow of the Mekong and Bassac rivers, Remote Sensing of Environment,
100:1-16.
Yoshinari, O.,dkk.. (2000). Monitoring of Rice Field by Landsat-7 ETM+ and Landsat-5 TM Data. Paper presented at
the 22nd Asian Conference on remote Sensing.
Othman, A., dan Gloaguen, R.(2013). River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment:
A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq–W Iran. Remote Sensing, 5(3):1024-1044.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Identifikasi Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8
Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index
(NDVI)
Nama Pemakalah : R. Johannes Manalu (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: Suwarsono (Pusfatja, LAPAN):


Bagaimana bentuk dan persamaan kurva periode fase pertumbuhan menggunakan NDVI?

Jawaban:
Bentuk kurva dari pertumbuhan padi dapat digambarkan seperti di bawah ini dengan pertumbuhan selang 5
hari. Mulai dari tanam fase vegetatif hingga fase generatif (panen).

Model Profil Pertumbuhan Padi Selang 5


Hari
Indeks Vegetasi

0,8
0,6
0,4
0,2 Obs NDVI

0 Obs EVI
0 50 100 150

HST=Hari Setelah Tanam

Analisis selama pertumbuhan tanaman padi fase vegetatif atau generatif bentuk persamaan yang diperoleh
adalah polinom orde 3 atau Spline Qubic dengan persamaan umumnya berbentuk:
y = b3*t3 + b2*t2 + b1*t + b0
y = merupakan parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, lebar atau luas daun, berat kering
tanaman, EVI atau NDVI, b adalah konstanta, sedangkan t adalah hari setelah tanam.

Pertanyaan: Samsul Arifin (Pusfatja LAPAN):


Adakah metide lain sebelumnya (NDVI) jika ada bagaimana perbandingan akurasinya?

Jawaban:
Parameter NDVI= (NIR-RED)/(NIR+RED), merupakan Indeks vegetasi yang umum dipakai.

-567-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Sebelum NDVI ada parameter lain di antaranya GNDVI, EVI dan OSAVI. Untuk keakurasiannya tidak
dapat kami bandingkan karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung dari
kebutuhan.

Berikut kami sampaikan karakteristik dari parameter tersebut.


GNDVI= lebih sensitif terhadap konsentrasi klorofil dari pada NDVI
EVI=menggunakan kanal biru untuk mengkorelasi sinyal latar belakang tanah dan untuk
mengurangi pengaruh atmosfir termasuk aerosol hamburan.
OSAVI = Indeks ini paling baik digunakan didaerah dengan vegetasi yang relatif jarang di mana tanah
terlihat melalui kanopi.

-568-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades


untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya

Utilization of Very High Spatial Resolution Pleiades Data


to Identify Vegetation and Its Density

Bambang Trisakti1*)
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
*)
E-mail: btris01@yahoo.com

ABSTRAK – Pada umumnya perkembangan di suatu wilayah perkotaan mengakibatkan semakin bertambahnya
wilayah permukiman dan semakin berkurangnya wilayah ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau adalah area
memanjang atau mengelompok yang penggunaaannya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh
alami atau sengaja ditanam. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan kota mensyaratkan ruang terbuka hijau pada
wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota tersebut. Oleh karena itu informasi mengenai kondisi
eksisting ruang terbuka hijau (area bervegetasi) menjadi sangat penting untuk mendukung program pengendalian
pemanfaatan ruang pada wilayah perkotaan. Pada kegiatan ini data resolusi sangat tinggi Pleiades digunakan untuk
mengindentifikasi area bervegetasi (sebagai ruang terbuka hijau) dan mengestimasi tingkat kerapatan vegetasi pada area
tersebut. Alur kerja adalah mengambil sampel pada berbagai penutup lahan dan pada bangunan dengan warna atap
berbeda untuk mengidentifikasi profil spektral dari setiap objek. Selanjutnya melakukan identifikasi parameter untuk
memisahkan vegetasi dari penutup lahan lainnya dan melakukan pemetaan area bervegetasi pada wilayah tersebut.
Kerapatan vegetasi adalah ukuran kuantitatif dari vegetasi yang terdiri dari beberapa lapisan dari atas permukaan tanah,
yang mewakili jumlah total biomassa vegetasi tersebut, kerapatan vegetasi diestimasi menggunakan beberapa indek dan
dibandingkan. Hasil memperlihatkan bahwa kombinasi antara indek NDVI dan band biru dapat memisahkan area
bervegetasi secara akurat walaupun masih sulit untuk memisahkan antara area bervegetasi dengan atap bangunan yang
berwarna hijau. Estimasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan menggunakan indek klorofil (rasio green/red), di
mana indek ini mempunyai korelasi yang paling baik dengan penampakan visual kerapatan vegetasi pada citra pleaides
dibandingkan indek lainnya.

Kata kunci: Pleaides, ruang terbuka hijau, vegetasi, indek klorofil

ABSTRACT-The development of urban areas resulted in the increasing of residential areas and the decreasing of the
open green space area. Open green space is elongated or clustered area whose use is open, where the plants grow well
naturally or planted. Law No. 26 Year 2007 regarding to the city arrangement, requires that open green space must be
at least 30 percent of the city area. Therefore, information about the existing condition of open green space (vegetated
area) becomes very important to support the spatial planning control programs in urban areas. Very high spatial
resolution Pleiades data were used to identify vegetated areas (open green space) and to estimate the vegetation density
in the area. In the first step, training samples were taken at the various land cover and at different colors of building
roof, then the spectral profile of each object were identified. Furthermore, some parameters were used to separate
vegetation from other objects, and the vegetated area in the region was mapped. Vegetation density is a quantitative
measure of vegetation which consisting of several layers above the ground, and it represents the total amount of
biomass vegetation. Vegetation density was estimated using some index and compared. Results showed that the
combination of NDVI and blue bands can separate a vegetated area more accurate, although there were still difficult
to separate vegetated area with green roof of the building. Vegetation density estimation could be well performed using
chlorophyll index (ratio green / red), the index had the best correlation with the visual appearance of vegetation density
in the image than other index.

Keywords: Pleiades, Open green space, vegetation, chlorophyll index

1. PENDAHULUAN
Pada umumnya perkembangan di suatu wilayah perkotaan mengakibatkan semakin bertambahnya
wilayah permukiman dan semakin berkurangnya wilayah ruang terbuka hijau. Dalam Permen PU No.05
tahun 2008 dijelaskan bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang atau mengelompok yang
penggunaaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh alami atau sengaja
ditanam (Kemen PU, 2008). Selanjutnya dalam pedoman itu diuraikan mengenai tujuan pemanfaatan ruang
terbuka hijau di kawasan perkotaan adalah untuk menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air,
-569-
Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan
binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, dan meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan
sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
Ruang terbuka hijau memiliki beragam fungsi meliputi fungsi ekologis, sosial budaya, estetika dan
ekonomi. Salah satu fungsi dari ruang terbuka hijau perkotaan pada aspek ekologis yang saat ini banyak
dibahas oleh berbagai kalangan adalah hutan kota yang terkait dengan perannya dalam penurunan emisi gas
rumah kaca, dan juga penetralisir polusi udara perkotaan khususnya gas karbon dioksida. Berdasarkan UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, dijelaskan bahwa 30% wilayah kota harus berupa ruang
terbuka hijau yang terdiri dari 20% publik dan 10% privat. ruang terbuka hijau publik adalah ruang terbuka
hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum (Rahmy dkk., 2012).
Saat ini Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus mengejar target untuk menyediakan ruang
terbuka hijau hingga 30%, dengan pembagian 16% ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta dan 14% oleh
pihak swasta. Untuk mencapai target tersebut maka Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan dana 5 triliun setiap
tahunnya untuk melakukan penambahan ruang terbuka hijau sebesar 6% di wilayahnya hingga tahun 2030,
hal ini tertuang dalam Perda nomor 1 tahun 2012 (http://www.newsmimbarrevolusi.com/). Dalam kaitannya
dengan pelaksanaan program ini Dinas Penataan Kota Jakarta Timur telah melakukan koordinasi dengan
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) LAPAN untuk dapat memanfaatkan data satelit
penginderaan jauh untuk memantau ruang terbuka hijau di wilayah Jakarta Timur. Pemantauan ini akan
sangat bermanfaat untuk mengetahui kondisi eksisting zona hijau yang telah dibuat dalam RDTR, untuk
perhitungan luasan eksisting ruang terbuka hijau dan untuk mengetahui apakah zona hijau masih merupakan
ruang terbuka hijau (masih ditutupi oleh vegetasi) atau sudah berubah fungsi menjadi area terbangun.
Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan dan pemantauan perubahan ruang terbuka hijau di
kawasan perkotaan telah banyak dilakukan dengan menggunakan data resolusi spasial menengah (seperti
MODIS dan Landsat) untuk skala global (Mahmooddzadeh, 2007; Rao dkk., 2015; Hu dkk., 2016), dan
menggunakan data resolusi spasial tinggi atau sangat tinggi (IKONOS, Quicbird, Pleiades dll) untuk skala
detail (Simarmata 2012; Andriyani 2012; Zylzhal dkk., 2016). Untuk mendapatkan informasi yang lebih
detail lagi digunakan citra foto udara, dan bahkan kombinasi antara data LIDAR dan citra foto udara untuk
ekstraksi otomatis distribusi ruang terbuka hijau dan bangunan di perkotaan (Li dkk., 2014; Caccetta dkk.,
2011). Identifikasi ruang terbuka hijau dengan menggunakan data penginderaan jauh lebih diarahkan kepada
identifikasi area bervegetasi dengan menggunakan berbagai indek seperti indek vegetasi seperti NDVI atau
MSAVI dengan memanfaatkan band pada panjang gelombang merah dan inframerah dekat (Rao dkk., 2015;
Zylzhal dkk., 2016). Berbeda dengan penampakan objek pada data resolusi spasial menengah atau tinggi,
penampakan objek pada data resolusi spasial sangat tinggi hingga satuan submeter (kurang dari 1 meter)
menjadi sangat detail, sehingga penampakan objek-objek yang terdapat di sekitar vegetasi, seperti objek
bangunan dan lahan terbuka, menjadi semakin detail dan pemisahan objek vegetasi dari objek-objek
sekitarnya menjadi lebih sulit. Oleh karena itu beberapa pertanyaan riset yang muncul dalam pemanfaatan
data satelit resolusi sangat tinggi untuk mendukung program pemantauan kondisi eksisting ruang terbuka
hijau adalah: 1) Bagaimana memetakan area bervegetasi (ruang terbuka hijau) secara akurat, 2) Bagaimana
menilai tingkat kerapatan vegetasi pada ruang terbuka hijau, 3) Bagaimana membedakan tipe vegetasi pada
ruang terbuka hijau, 4) Bagaimana menentukan persentase penutupan vegetasi pada zona hijau, dan 5)
Bagaimana memantau dan menentukan lokasi yang mengalami konversi lahan dari vegetasi menjadi
bangunan.
Pada kegiatan ini data resolusi sangat tinggi Pleiades digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama
dan kedua, yaitu memetakan area bervegetasi (sebagai ruang terbuka hijau) dan menilai tingkat kerapatan
vegetasi pada area tersebut. Data Pleiades mempunyai resolusi spasial 0,5 meter yang mampu untuk
mengindentifikasi keberadaan kanopi pohon dan persil bangunan secara akurat, sehingga sesuai digunakan
untuk pemantauan perkotaan secara detail dan akurat. Pada tahap pengerjaan pola spektral objek penutup
lahan dianalisis untuk menentukan parameter-parameter yang paling sesuai untuk memetakan area
bervegetasi, dan memetakan tingkat kerapatan vegetasi di lokasi kajian.

2. METODE
Lokasi penelitian terdapat di sekitar lapangan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Lokasi ini dipilih
dengan pertimbangan kondisi objek penutup lahan, kondisi kerapatan vegetasi yang bervariasi dan warna
atap bangunan yang bervariasi. Variasi tersebut dapat diamati pada data Pleaides yang digunakan pada
Gambar 1. Data Pleiades yang digunakan diperoleh dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh,

-570-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

LAPAN. Kondisi data terkoreksi ortho sistematik, dengan resolusi spasial 0,5 m dan waktu perekaman pada
tanggal 12 Mei 2015.

Gambar 1. Data Pleiades pada lokasi penelitian

Alur penelitian dimulai dari pengambilan sampel pada berbagai objek penutup lahan: vegetasi, tubuh air,
jalan, lahan terbuka kongrit, lahan terbuka tanah, berbagai warna atap bangunan (Gambar 2). Selanjutnya
melakukan analisis pola spektral dari berbagai sampel tersebut untuk menentukan parameter apa yang akan
digunakan untuk pemetaan area bervegetasi. Berdasarkan hasil analisis pola spektral maka, pemetaan area
terbuka dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara indek vegetasi Normalized Different Vegetation
Index (NDVI) dan band biru atau selisih band biru dan band hijau. Prosedur pemetaan area terbuka dilakukan
dua tahap, tahap pertama penerapan algoritma menggunakan kombinasi NDVI dan band biru dan mengatur
histogram untuk membuat band baru dengan nilai objek non vegetasi menjadi nol, selanjutnya tahap kedua
melakukan penentuan nilai treshold untuk memisahkan vegetasi dengan objek yang mirip vegetasi. Dengan
melakukan prosedur ini maka penentuan nilai treshold menjadi lebih mudah dan akurat.
Vegetasi tinggi Semak belukar Lapangan rumput Tubuh air dan jalan Lahan terbuka

Atap(biru, putih dan abu) Atap (merah gelap dan merah terang) Atap (hijau)

Gambar 2. Sampel objek penutup lahan

Setelah area bervegetasi berhasil dipetakan selanjutnya melakukan kerapatan vegetasi dengan
menggunakan indek vegetasi NDVI dan menggunakan indek klorofil yang merupakan rasio antara band
hijau dan band merah. Nichol dan Lee (2005) memaparkan bahwa kerapatan vegetasi adalah ukuran
kuantitatif dari vegetasi yang terdiri dari beberapa lapisan dari atas permukaan tanah yang mewakili jumlah
-571-
Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

total biomassa vegetasi tersebut, di mana kerapatan vegetasi dapat diekstrak dengan menggunakan rasio band
hijau dan band merah. Selanjutnya dilakukan perbandingan untuk menentukan indek yang dapat mewakili
kerapatan vegetasi, dan kemudian melakukan verifikasi terhadap hasil tingkat kerapatan vegetasi dengancara
melakukan pengamatan visual terhadap data komposit RGB pleaides.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Profil spektral dari objek penutup lahan dari data Pleaides yang diambil pada Gambar 2 mempunyai
bentuk yang bervariasi bergantung kepada tingkat sensitifitas dari panjang gelombang yang diterima sensor
satelit dengan masing-masing objek. Gambar 3 memperlihatkan pola spektral dari: a) Profile spektral dari
vegetasi dari berbagai tingkat kerapatan dan jenis, b) Profile spektal objek penutup lahan selain vegetasi dan
bangunan, c) Profile spektral objek penutup lahan bangunan yang mempunyai berbagai warna atap.

Profil spektral vegetasi


1.800

1.600

1.400

1.200

1.000

800

600

400

200

0
Blue Green Red NIR

Dense vegetation Medium vegetation(brush) Low vegetation

a) Profile spektral dari vegetasi dari berbagai tingkat kerapatan dan jenis

Profil Spektral Obejek Non Vegetasi


1.800
1.600
1.400
1.200
1.000
800
600
400
200
0
Blue Green Red NIR
Bareland (white) Road Water Bareland (red)
b) Profile spektal objek penutup lahan selain vegetasi dan bangunan

Profil Spektral Atap Bangunan


1.400

1.200

1.000

800

600

400

200

0
Blue Green Red NIR

white roof Green roof Red roof dark red roof Cyan roof Blue roof

c) Profile spektral objek penutup lahan bangunan yang mempunyai berbagai warna atap

Gambar 3. Sampel objek penutup lahan dari data Pleaides

Data Pleaides terdiri dari 4 band (biru, hijau, merah dan inframerah dekat). Objek vegetasi mempunyai
nilai spektral merah rendah dan nilai spektral inframerah dekat yang tinggi, ini adalah karakteristik dari

-572-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

vegetasi yang menyerap energi pada panjang gelombang merah dan memantulkan maksimal pada panjang
gelombang inframerah dekat. Pada objek spektral selain vegetasi dan bangunan, nilai spektral seluruh band
relatif tidak berubah, dengan sedikit perbedaan untuk objek lahan terbuka mempunyai nilai infra merah
sedikit lebih tinggi sedangkan pada objek jalan beraspal dan tubuh air mempunyai nilai inframerah dekat
yang lebih rendah. Variasi spektral terlihat pada objek bangunan dengan berbagai warna atap, di mana pada
atap dengan warna biru, hijau dan cyan mempunyai pola seperti objek vegetasi di mana nilai spektral
terendah pada merah dan tertinggi pada inframerah dekat.
Kesamaan antara pola spektral vegetasi dan pola spektral beberapa warna atap bangunan mengakibatkan
penggunaan indek vegetasi NDVI yang menggunakan selisih band inframerah dan merah tidak dapat
memecahkan seluruh masalah, sehingga perlu dipertimbangkan adanya parameter lainya yang dapat
digunakan untuk mempertinggi akurasi dari pemisahan vegetasi. Gambar 4 memperlihatkan hasil pemisahan
tahap pertama menggunakan parameter NDVI (kiri), penggunaan band biru pada area yang sama (tengah)
dan tampilan citra RGB (kanan). Dengan menggunakan NDVI maka atap bangunan dengan atap biru dan
hijau terpetakan menjadi area bervegetasi, tetapi dengan menggunakan band biru maka bangunan dengan
atap biru mempunyai nilai spektral paling tinggi dibandingkan dengan vegetasi disekelilingnya sehingga
kombinasi NDVI dengan band biru dapat meningkatkan hasil pemisahan vegetasi, walaupun untuk bangunan
dengan atap berwarna hijau tetap sulit untuk dipisahkan karena nilai spektral dan warnanya sama dengan
nilai dan warna vegetasi.

NDVI Band Biru Citra RGB

Gambar 4. Hasil pemisahan tahap 1 dengan NDVI (kiri), dengan band biru (tengah) dan citra RGB (kanan)

Selanjutnya hasil pemisahan tahap kedua dengan menggunakan kombinasi antara parameter NDVI dan
band biru untuk mendapatkan area bervegetasi dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil memperlihatkan bahwa
bangunan dengan atap biru dapat dipisahkan dengan baik, sedangkan untuk bangunan dengan atap hijau sulit
dilakukan sehingga dilakukan editing manual. Jumlah bangunan beratap hijau tidak banyak dijumpai dan
umumnya bangunan cukup besar seperti perkantoran sehingga proses editing tidak terlalu sulit.
Gambar 6 memperlihatkan hasil akhir pemetaan area bervegetasi dengan menggunakan treshold untuk
lokasi kajian, dan membandingkan hasil dengan citra komposit RGB 321 (true color composite) dari data
Pleiades. Berdasarkan pengamatan visual antara keduanya, maka area bervegetasi yang dihasilkan
mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dan mampu memetakan vegetasi dengan berbagai kondisi.
Kondisi vegetasi yang masuk ke dalam area bervegetasi terdiri dari vegetasi tinggi dan rapat, vegetasi
menengah (semak), vegetasi rendah (lapangan rumput) dan vegetasi jarang (percampuran penampakan
vegetasi dan tanah).

-573-
Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

Gambar 5. Hasil pemisahan dengan kombinasi antara NDVI dan band biru

Gambar 6. Citra komposit RGB 321 dan hasil akhir pemetaan area bervegetasi dengan treshold

Kerapatan vegetasi dilakukan dengan menggunakan indek kehijauan NDVI dan indek klorofil terhadap
data Pleaides pada area bervegetasi yang dihasilkan sebelumnya. Hasil pengamatan kepada kedua parameter
memperlihatkan bahwa NDVI lebih dapat menampilkan tingkat kehijauan vegetasi yang berhubungan
dengan jenis vegetasi atau aktifitas fotosintesis dibandingkan kondisi kerapatan dari tumbuhan tersebut. Hal
ini dibuktikan dengan tingginya nilai NDVI pada lapangan rumput yang mempunyai biomass sedikit dan
tingkat kerapatan rendah. Sedangkan indek klorofil lebih dapat mewakili kondisi biomassa dan tingkat
kerapatan dari vegetasi. Gambar 7(a) memperlihatkan hasil tingkat kerapatan vegetasi pada area bevegetasi
di lokasi penelitian, sedangkan Gambar 7(b) memperlihatkan perbandingan antara kenampakan visual
kerapatan vegetasi pada citra komposit RGB dengan kerapatan vegetasi dengan menggunakan indek klorofil.
Semakin tinggi tingkat kerapatan vegetasi maka warna menjadi semakin merah, sebaliknya semakin rendah
tingkat kerapatan vegetasi maka warna menjadi biru dan pink. Pada Gambar 7(b) warna merah teridentifikasi
pada area vegetasi tinggi yang mempunyai biomassa yang besar dan tingkat kerapatan yang tinggi,
sedangkan warna hijau dan biru teramati pada area vegetasi jarang yang biomassa dan tingkat kerapatannya
rendah. Walaupun begitu indek klorofil juga dipengaruhi oleh jenis vegetasinya, hal ini teramati pada
-574-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

vegetasi dengan tingkat kerapatan yang sama pada citra RGB 321 tapi mempunyai nilai indek klorofil yang
berbeda. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa kedua vegetasi diperkirakan berlainan jenis karena
mempunyai tekstur dan warna yang sedikit berbeda.

Tinggi

Rendah

a) Tingkat kerapatan vegetasi dengan indek klorofil

b) Pengujian hasil dengan membandingkan antara citra RGB 321 (kiri) dan tingkat kerapatan (kanan)

Gambar 7. Tingkat kerapatan vegetasi dengan indek klorofil (a), dan pengujian tingkat kerapatan vegetasi (b)

4. KESIMPULAN
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna untuk pemetaan ruang terbukka hijau, maka pada
kegiatan ini data resolusi sangat tinggi Pleiades digunakan untuk memetakan area bervegetasi (sebagai ruang
terbuka hijau) dan menilai tingkat kerapatan vegetasi pada area tersebut. Hasil memperlihatkan pola spektral
bangunan dengan warna atap tertentu (biru dan hijau) mempunyai kesamaan dengan pola spektral dari
vegetasi, sehingga pemisahan vegetasi dari non vegetasi perlu dilakukan dengan menggunakan kombinasi
beberapa parameter. Metode pemisahan vegetasi dengan 2 tahapan dan menggunakan kombinasi NDVI dan
band biru dapat mempercepat proses dan meningkatkan akurasi hasil pemetaan area bervegetasi. Walaupun
masih sulit untuk memisahkan antara area bervegetasi dengan atap bangunan yang berwarna hijau. Estimasi
kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan menggunakan indek klorofil (rasio green/red), di mana indek ini
mempunyai korelasi yang paling baik dengan penampakan visual kerapatan vegetasi pada citra pleaides
dibandingkan indek kehijauanNDVI.

-575-
Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pejabat struktural Pusfatja yang telah memfasilitasi
pelaksanaan penelitian ini, dan juga mengucapkan terimakasih kepada Pustekdata yang telah memenuhi
permintaan dari penulis untuk menyediakan data Pleaides pada lokasi kajian.

DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, E.P., (2012). Pemetaan Greenways Menggunakan Citra Quickbird di Kota Surakarta. Jurnal Bumi
Indonesia.
Caccetta ,P., Collings, S., Hingee, K., McFarlane, D., dan Wu, X., (2011).Fine-Scale Monitoring of Complex
Environments using Remotely Sensed Aerial, Satellite, and Other Spatial Data, Image and Data
Fusion.International symposium.
http://www.newsmimbarrevolusi.com/
Hu, T., Yang, J., Li, X., dan Gong, P., (2016). Mapping Urban Land Use by Using Landsat Images and Open Social
Data.Remote Sens.
Kemen PU (2008). Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Dirjen
Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.
Li, X., Meng, Q., Li, W., Zhang, C., Jancso, T., dan Mavromatis, S., (2014). An Explorative Study on The Proximity of
Buildings to Green Spaces in Urban Areas using Remotely Sensed Imagery.Annals of GIS,20(3):193–203.
Mahmoodzadeh, H., (2007). Digital Change Detection Using Remotely Sensed Data for Monitoring Green Space
Destruction in Tabriz.Int J Environ Res, 1(1):35-41.
Nichol, J. dan Lee, C.M., (2005). Urban vegetation monitoring in Hong Kong using high resolution multispectral
images. International Journal of Remote Sensing.
Rahmy, W.A, Faisal, B., dan Soeriaatmadja, A.R., (2012). Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat,
Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia.
Rao, Y., Zhu, X., Chen, J., dan Wang, J., (2015). An Improved Method for Producing High Spatial-Resolution NDVI
Time Series Datasets with Multi-Temporal MODIS NDVI Data and Landsat TM/ETM+ Images.Remote Sens,
7:7865-7891
Simarmata, M., (2012). Kajian Ketercukupan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Jumlah Penduduk Kota
Pematangsiantar.Jurnal Akar, 1(2):91-103
Zylshal, Sulma, S., Yulianto, F., Nugroho, J.T.,dan Sofan, P. (2016). A support vector machine object based image
analysis approach on urban green space extraction using Pleiades-1A imagery. Model Earth Syst Environ, 2:54

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dr. M. Rokhis Khomarudin


Judul Makalah : Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi
Vegetasi dan Kerapatannya
Pemakalah : Bambang Trisakti (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: Nanin Anggraini (LAPAN)


Dalam kegiatan penelitian tahun ini kami sedang melakukan kajian kerapatan untuk Mangrove, apakah
metode yang digunakan pada penelitian yang dilakukan pak Bambang bisa digunakan untuk mengkaji
kerapatan di lokasi Mangrove?

Jawaban:
Metode ini pada dasarnya bisa digunakan untuk semua vegetasi, hanya seperti disampaikan kita belum
menentukan batas thresholdnya, sampai mana disebut vegetasi rapat, menengah, kurang rapat untuk
menggunakan indeks klorofil. Harus ada penelitian lebih lanjut indeks klorofil bisa diterapkan untuk melihat
kondisi kerapatan vegetasi mulai dari rapat sampai kurang rapat. Setelah itu uji lapangan untuk
mendefinisikan itu jarang, menengah, rapat. Nanti kita tentukan batasan mana threshold dari indeks klorofil
ini. Peneliti berfikir bahwa indeks klorofil lebih baik dari indeks NDVI dikarenakan penelitian indeks
klorofil ini menggunakan data resolusi lebih tinggi (Ikonos, QB, dan Pleiades) di mana korelasi lebih baik
dari NDVI. Data resolusi sangat tinggi yang menggunakan indeks klorofil, layer mesofil dari daun
mempegaruhi nilai dari band NIR (di mana NIR tidak konsisten), jadi lebih baik menggunakan band hijau,

-576-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

karena band hijau ada pantulan dari vegetasi. Terkait klasifikasi, saya definisikan dulu mana vegetasi rendah,
menengah dan tinggi.

Pertanyaan: Dr. Muchlisin Arif (LAPAN)


Dalam klasifikasi tidak bermain dengan threshold, mau apa yang dithreshold tapi kalau NDVI atau lainnya
baru pakai. Threshold berapa yang peneliti lakukan untuk mendeteksi mana yang jarang atau yang rapat?

Jawaban:
Ada 2 kerapatan yang coba dipetakan :
a. Berbasis Indeks klorofil sifatnya kualitatif, kita bagi (dari rendah – tinggi). Kita belum bagi menggunakan
threshold
b. Berbasis klasifikasi, ini ada supervised, maximum likelihood di sini tidak menggunakan threshold, di sini
menggunakan mean, varian, covarian, dll.

-577-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan


Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes)
(Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang)

Application of Landsat 8 OLI for Water Hyacinth (Eichhornia Crassipes)


Density and Biomass Mapping
(Case Study: Rawa Pening, Ambarawa, Semarang)

Agil Rizki Tidar1*), Prima Dinta Rahma Syam2, dan Pramaditya Wicaksono3
1
Sekolah Vokasi Penginderaan Jauh dan SIG, Universitas Gadjah Mada
2
Kartografi dan Penginderaan Jauh, FakultasGeografi, Universitas Gadjah Mada
*
Email : agiltidar@gmail.com

ABSTRAK-Pertumbuhan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) yang sangat cepat mengakibatkan tertahannya
pancaran sinar matahari yang akan masuk ke dalam air dan mengganggu ekosistem mengakibatkan pendangkalan pada
perairan. Jika tidak dilakukan pengendalian, pertumbuhan gulma ini dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi
lingkungan dan masyarakat sekitar. Tersedianya data Landsat 8 OLI dengan perekaman setiap 16 hari mampu
memantau perkembangan cepat dari Enceng Gondok. Data Landsat 8 OLI diunduh dari USGS pada dua tanggal
perekaman, yaitu sebelum dan sesudah dilakukan survei lapangan sebagai kontrol terhadap perubahan posisi dan
kerapatan enceng gondok yang berkembang dengan cepat karena pengaruh lingkungan, angin dan manusia. Tujuan
penelitian ini adalah memetakan kerapatan Eceng Gondok melalui pemodelan Citra Landsat 8 OLI, yang akan
digunakan sebagai acuan pembuatan peta biomassa Enceng Gondok Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten
Semarang. Estimasi biomassa didapatkan dari hasil analisis regresi antara nilai biomassa lapangan dengan nilai
kerapatan hasil pemodelan nilai indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Inde, EVI (Enhanced
Vegetation Index) dan VARI (Visible-Atmospherically Resistent Index) Citra Landsat 8 OLI yang telah terkoreksi
geometrik dan radiometrik. Density slice digunakan untuk mengelaskan nilai NDVI menjadi kelas kerapatan tentatif.
Survei lapangan dilakukan pada masing masing kelas. Nilai biomassa di lapangan di dapatkan dengan menimbang berat
kering enceng gondok pada plot sampel yang telah ditentukan untuk masing-masing kelas kerapatan. Nilai biomasa dari
hasil survei lapangan kemudian diregresikan dengan nilai kerapatan sehingga didapatkan peta estimasi biomassa.

Kata kunci: Biomassa, Enceng Gondok, Landsat 8 OLI, Pemetaan, Rawa Pening

ABSTRACT – The accelerated growth of water hyacinth (Eichhornia crassipes) prevent the sunlight to effectively
penetrate the water body. This accelerated growth may disrupt the ecosystem functions as well as causing siltation in
water body. If not well managed, water hyacinth growth may adversely impact the life of the surrounding ecosystems
and society. The availability of Landsat 8 OLI data may be used to monitor water hyacinth growth. In this research, two
Landsat 8 OLI scene acquired before and after field survey activities were utilized, as a control for the change in
spatial distribution and density of water hyacinth caused by environmental changes, winds, and human activities. The
aim of this research is to map water hyacinth density as the basis to perform water hyacinth biomass mapping in Rawa
Pening Lake, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Biomass estimation was obtained from the regression
analysis between field biomass data and density values modeled from NDVI (Normalized Difference Vegetation Index),
EVI (Enhanced Vegetation Index) and VARI (Visible-Atmospherically Resistent Index) of radiometrically and
geometrically corrected Landsat 8 OLI. Density slice was used to classify NDVI into tentative density classes. Field
survey was conducted on each of these tentative classes. Map of Eceng Gondok biomass was obtained from the
resultant regression function between field biomass and estimated Eceng Gondok density

Keywords: Biomass, Water Hyacinth, Landsat 8 OLI, Mapping, Rawa Pening

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Eceng gondok yang dikenal sebagai gulma dapat merusak lingkungan perairan. Pertumbuhan eceng
gondok yang sangat cepat dikarenakan air danau memiliki kandungan nutrien yang tinggi terutama
nitrogen, fosfat dan potasium. Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat mengakibatkan

-578-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus:
Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

tertahannya pancaran sinar matahari yang akan masuk kedalam air dan mengganggu ekosistem yang
ada di dalam air. Selain menahan sinar matahari, tumbuhan ini juga mengakibatkan pendangkalan pada
area danau. Kandungan garam yansg tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan eceng gondok melambat,
sama halnya seperti di Afrika Barat di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim hujan dan
berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau. (Kaleka dan Hartono, 2013)
Pertumbuhan enceng gondok di Rawa pening, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang sangat
pesat. Data dari Dinas Pariwisata Ambarawa menyebutkan bahwa 65 % dari permukaan danau
ditumbuhi oleh tanaman air yang didominasi oleh eceng gondok. Tumbuhan dengan nama latin
Eichhornia crassipes ini banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk pembuatan barang kerajinan maupun
pakan ternak. Bahkan daerah sekitar Rawa Pening telah menjadi pusat komoditas kerajinan enceng
gondok yang mampu menembus pasar internasional. Keberadaann enceng gondok selain dapat
memberikan keuntungan secara ekonomi pada masyarakat sekitar, memiliki dampak negatif bagi
ekosistem danau jika pertumbuhannya tidak dikendalikan. Hal ini dikarenakan tumbuh suburnya
tanaman ini di Rawa Pening tidak sebanding dengan jumlah yang diambil oleh masyarakat. Untuk itu
perlu adanya pengelolaan enceng gondok di Rawa Pening sehingga dapat dimanfaatkan secara
maksimal, sehingga tidak mengganggu ekosistem. Tidak adanya informasi spasial di Rawa Pening
menjadi faktor penghambat proses monitoring dan evaluasi pengelolaan enceng gondok. Padahal data
spasial dapat menjadi alat yang cukup efektif untuk menyusun strategi pengelolaan enceng gondok.
Citra penginderaan jauh merupakan salah satu sumber data utama dalam informasi geospasial.
Kualitas sumber data tentu menjadi parameter utama, karena berbagai informasi dapat diturunkan dari
citra. Kualitas yang tidak memenuhi standart dapat mengaburkan bahkan menyajikan informasi yang
salah. Namun sebenarnya semua citra yang diperoleh melalui perekaman sensor tak lepas dari wujud
geometri dan konfigurasi permukaan bumi, serta kondisi atmosfer saat perekaman. Kesalahan yang
terjadi dalam proses pembentukan citra ini perlu dikoreksi supaya aspek geometri dan radiometri yang
dikandung oleh citra tersebut benar-benar dapat mendukung pemanfaatan untuk aplikasi yang berkaitan
dengan pemetaan sumberdaya dan kajian lingkungan atau kewilayahan lainnya (Danoedoro, 2012)
Teknologi penginderaan jauh di era modern sekarang ini telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sudah banyak digunakan di berbagai bidang
kajian penelitian mengingat keunggulan penggunaan teknik penginderaan jauh yang sangat bermanfaat
dan mudahnya akses untuk memperoleh data penginderaan jauh juga menjadikan peneliti untuk
mengembangkan suatu penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Metode pemanfaatan teknik
penginderaan jauh citra satelit dapat dijadikan solusi yang tepat untuk melakukan suatu penelitian
berskala luas seperti kajian mengenai danau karena lebih efisien, efektif dan dapat dilakukan secara
temporal, salah satunya ialah kajian mengenai kerapatan eceng gondok sebagai parameter perhitungan
biomassa.
Landsat 8 merupakan citra multitemporal yang dapat digunakan sebagai data awal untuk pembuatan
data spasial yang berkaitan dengan informasi-informasi yang ada di danau rawa pening, kualitas yang
cukup baik dari citra ini dan jangka perekaman dari citra ini juga tidak terlalu jauh sangat
memungkinkan digunakan untuk updating data. Landsat 8 menjadi sumber data utama untuk kajian
kerapatan dan biomassa enceng gondok di Rawa Pening, sehingga didapatkan estimasi kerapatan serta
biomassa enceng gondok untuk mengetahui jumlah berat kering enceng gondok di Rawa Pening.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Tidak adanya informasi di danau rawa pening terkait data distribusi spasial dan temporal
tentang persebaran/kerapatan dan biomassa di Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang
1.2.2 Kajian mengenai distribusi spasial kerapatan dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa
Pening dengan pemanfaatan teknik penginderaan jauh multi temporal dan perhitungan
statistik.

1.3 Pertanyaan Penelitian


1.3.1. Bagaimana distribusi spasial kerapatan dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa Pening
Kabupaten Semarang dengan pemanfaatan citra penginderaan jauh multi temporal Landsat 8
OLI (operational Land Imager) tahun perekaman 2016
1.3.2. Bagaimana pemetaan kerapatan eceng gondok dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa
Pening Kabupaten Semarang

-579-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

1.4 Tujuan
1.4.1. Pemetaan kerapatan eceng gondok di Danau Rawa Pening dengan pemanfaatan Citra
Landsat 8 OLI (operational Land Imager) multi temporal tahun perekaman 2016
1.4.2. Pemetaan Biomassa eceng gondok di Danau Rawa Pening dengan Pemanfaatan Citra
Landsat 8 OLI (operational Land Imager) multi temporal tahun perekaman 2016

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1. Memberikan informasi spasial terkait persebaran eceng gondok dan kerapatan eceng gondok
di Danau Rawa Pening bagi pihak-pihak pengelola Danau Rawa Pening serta kelayakan
umum khususnya masyarakat yang tinggal atau bermata pencaharian disekitar danau.
1.5.2. Memperkaya aplikasi citra Landsat 8 OLI multi temporal dan pengembangan ilmu
penginderaan jauh untuk pemetaan kerapatan dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa
Pening Kabupaten Semarang pada tahun 2016

1.6 Batasan Penelitian


1.6.1. Indikator berat kering / biomassa yang dihitung dalam penelitian ini adalah estimasi statistik
biomassa yang di gunakan sebagai objek utama penelitian ini.
1.6.2. Perhitungan statistik untuk ekstraksi informasi distribusi data spasial konsentrasi nilai
biomassa di Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang.
1.6.3. Citra satelit yang digunakan ialah Landsat 8 OLI (operational Land Imager) multi Temporal
path 120 row 65 perekaman 13 April 2016

2. METODE
2.1. Deskripsi Wilayah Penelitian
Rawa pening merupakan sebuah danau dengan luas area ± 2077,84 Ha yang terletak di Kabupaten
Semarang. Danau rawa pening menempati 4 kecamatan, yaitu: Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru
yang berada di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung
Ungaran.(Sumber : www.semarangkab.go.id). Danau ini memiliki ekosistem yang didominasi oleh
tumbuhan eceng gondok karena pertumbuhannya yang sangat cepat dan subur maka permukaan danau ini
tertutup oleh eceng gondok. (Kaleka dan Hartono, 2013)

2.2. Alat dan Bahan Penelitian


2.2.1. Alat
1. Seperangkat komputer
2. Software pengolahan citra digital ENVI 4.5
3. Software pemetaan untuk desain kartografis peta ArcGIS ArcMap 10.2
4. Software perhitungan statistik Microsoft Office Excel 2007
5. Software penulisan laporan Microsoft Office Word 2007
6. Software DNR-GPS digunakan untuk export dan import data titik survei dari laptop ke GPS
maupun sebaliknya
7. GPS Garmin 60csx
8. Plot sampel (terbuat dari bambu ukuran 50 x 50 cm)
9. Perahu mesin
10. Trash bag untuk penyimpanan sampel eceng gondok
2.2.2. Bahan
1. Citra Satelit Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) tahun perekaman 13 April 2016
2. Basemap Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 sumber BIG (Badan Informasi Geospasial) berupa
batas administrasi.
3. Tabel checklist survei lapangan pengambilan sampel eceng gondok

2.3. Tahapan Penelitian


2.3.1. Perolehan Data
1. Data Primer
Data primer meliputi data nilai biomassa didapat dari hasil survei lapangan yang dilakukan pada
tanggal 28 – 29 Mei 2016, di mana terdapat 15 titik uji dan 15 titik sampel. Penentuan titik-titik
tersebut secara random (acak) mengacu pada data pra-lapangan dari hasil pengolahan data citra

-580-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus:
Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

dengan teknik pemilahan tingkat kerapatan (Density slice) transformasi NDVI dengan slicing
sejumlah 6 kelas.

2.Data Sekunder
Data sekunder meliputi data citra Landsat 8 OLI dan basemap daerah kajian. Data citra Landsat
8 OLI didapatkan dari hasil download pada website resmi USGS (U.S. Geological Survey) yaitu
glovis.usgs.gov dimana citra diperoleh secara gratis. Data basemap merupakan data vektor berupa
shapefile Provinsi Jawa Tengah yang diperoleh dari BAKOSURTANAL (sekarang Badan Informasi
Geospasial) tahun 2006. Citra yang diunduh direkam pada tanggal 13 April 2016 (sebelum survey
lapangan) dan pada tanggal 16 Juni 2016 (setelah survey lapangan).

2.3.2. Pra-Pengolahan Data


Koreksi radiometrik dilakukan sebagai tahapan awal pra-pengolahan data untuk mendapatkan
nilai piksel yang bebas dari gangguan atmosfer. Penelitian ini menggunakan saluran tampak dan
saluran inframerah serta daerah kajian merupakan daerah perairan yang ditutupi vegetasi yang lebat
sehingga koreksi radiometrik yang digunakan ialah TOA Reflectance dan sudut matahari (Sun
Elevation) pada saluran 1 sampai 7. Adapun algoritma TOA Reflectance adalah sebagai berikut
(USGS, 2013):

ρλ = MρQcal + Aρ / Sin SE (Sun Elevation)

Keterangan:
ρλ = Hasil pengolahan TOA dengan menggunakan sudut pengambilan matahari.
Qcal = Nilai piksel (DN), diisikan band yang digunakan
MP = Konstanta rescalling (REFLECTANCE_MULT_BAND_x, di mana x adalah band yang
digunakan)
AP = Konstanta penambah (REFLECTANCE_ADD_BAND_x, di mana x adalah band yang
digunakan)
SE = Sudut Elevasi

Tahapan pra-pengolahan yang kedua adalah Masking. Area. Proses dilakukan untuk
memotong area kajian sesuai dengan batas wilayah yang dikaji. Proses Masking area dilakukan
dengan subset via ROI yang ada pada software ENVI. Data ROI didapatkan dari proses digitasi on
screen pada daerah kajian di rawa pening kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang.

2.3.3. Pengolahan Data


Pengelolahan Transformasi Index Vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index
merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Formulasinya
adalah sebagai berikut :
( − ℎ)
NDVI =
( + ℎ)

Pemrosesan density slice dilakukan pada hasil akhir Transformasi NDVI . Penentuan density
slice dapat dilihat dari histogram interactive stretching pada hasil akhir Transformasi NDVI dengan
memilih enhance pada display tersebut. Pembuatan kelas slicing menggunakan interval tidak teratur
karena pantulan spektral material objek tubuh air dan vegetasi pada histogram yang dihasilkan
memiliki julat dan kenampakan yang berbeda-beda sehingga berdasarkan julat tersebut pembuatan
didapatkan 6 kelas kerapatan tentatif yang dijadikan dasar dalam pengambilan sampel di lapangan

-581-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1. Tampilan hasil density slice dalam bentuk vector

2.3.4. Survei Lapangan


1. Pra-Lapangan
Penentuan Titik Survei Sampel Eceng Gondok diambil berdasarkan hasil density slice
pemrosesan NDVI. Setiap kelas kerapatan tentatif yang didapatkan, diwakilkan dengan 2 titik uji di
lapangan. Selain titik uji, direncanakan pula titik sampel sejumlah 15 titik secara random untuk
membandingkan obyek di citra dan di lapangan. Keseluruhan titik yang diambil di lapangan adalah
30 titik.

Gambar 2. Tampilan hasil density slice beserta titik survei

a b

Gambar 3. Proses titik uji (a) dan titik sampel (a) di lapangan

2. Lapangan
Lokasi titik survei mengacu pada GPS dan peta titik survei pengambilan sampel eceng
gondok. Setiap titik uji diambil enceng gondok dalam 50 cm x 50 cm plot sampel pada lokasi yang
homogen dan posisi enceng gondok yang relatif stabil. Setiap titik uji dan titik sampel yang diambil
di lapangan dilakukan marking dengan menggunakan GPS hand-held.
3. Pasca Lapangan
Proses pasca lapangan dilakukan untuk penentuan berat kering (biomassa) eceng gondok
dengan proses pengeringan alami (sinar matahari) proses ini berlangsung 7 hari.
-582-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus:
Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

2.3.4. Analisis Data


1. Korelasi dan Regresi
Data biomasa hasil survey lapangan dikonversikan menjadi nilai biosamassa per piksel
kemudian dikorelasikan dengan hasil pemrosesan NDVI citra yang digunakan untuk survey, dan
didapatkan persamaan. Kontekstual editing digunakan untuk menghilangkan titik uji yang memiliki
korelasi kecil dengan nilai NDVI, yaitu sebanyak 3 titik. Sehingga secara keseluruhan didapatkan 12
titik uji yang dikorelasikan dengan NDVI. Persamaan dari hasil korelasi biomassa dan NDVI
kemudian digunakan untuk menghitung nilai biomassa pada citra perekaman baru (citra setelah
survey lapangan) sehingga didapatkan data estimasi biomassa enceng gondok Danau Rawa Pening
Kabupaten Semarang.
2.Visualisasi peta
Hasil pemrosesan diubah dalam format raster, kemudian dilakukan representasi data mejadi
sebuah peta kerapatan dan Estimasi Biomassa Enceng Gondok.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai biomassa enceng gondok di lapangan diambil dalam plot sampel 50 x 50 cm dikonversikan
dalam satuan biomassa per piksel untuk kemudian dikorelasikan dengan citra perekaman 13 April 2016
(citra sebelum survey lapangan), karena kondisi titik uji lebih mendekati citra ini dibandingkan citra
perekaman 16 Juni 2016 (citra setelah perekaman). Ukuran plot sample yang digunakan lebih kecil
daripada ukuran piksel, namun pendekatan yang dilakukan tetap berbasis piksel. Oleh karena itu
diasumsikan bahwa satu plot sample merupakan perwakilan dari sub piksel dari masing – masing piksel,
sehingga perlu dilakukan penyetaraan unit analisis dari sub piksel menjadi piksel dengan mengkalikan
hasil pengukura biomassa dengan angka 3600 ( jumlah sub piksel pada tiap satu piksel). Resiko dari
ukuran plot sample yang lebih kecil adalah terjadinya overestimated, namun metode ini dirasa paling
realistis dalam pengambilan sample biomassa enceng gondok di lapangan, karena pengambilan sample
dalam jumlah banyak akan mengubah komposisi kerapatan enceng gondok dan akan mempegarunho
kerapatan disekitarnya. Selain itu jika mengambil sampel yang sama atau lebih besar dari ukuran piksel,
proses pengangkutan dan pengeringan akan sangat tidak efektif.

Tabel 1. Hasil Korelasi Biomassa Enceng Gondok di Lapangan dan Nilai NDVI
Citra Landsat Perelaman 23 April 2016
Koordinat Nilai
No Biomassa Nilai NDVI
X Y Titik Uji Biomassa(Total/pixel)
1 437017,8 9192764 0,76 2736 0,7668
2 437083,2 9192950 0,68 2448 0,6801
3 437054,6 9193054 0,47 1692 0,7298
4 437100,2 9193101 0,595 2142 0,7993
6 437137 9193697 0,43 1548 0,6987
7 437127,2 9193690 0,395 1422 0,6987
9 437200,6 9194073 0,23 828 0,8252
10 437180 9194281 0,175 630 0,6534
11 437109,4 9193603 0,125 450 0,4689
13 437100,8 9193469 0,06 216 0,638
14 435888,1 9195892 0,32 1152 0,3139
15 435860,2 9195916 0,486 1749,6 0,3119

Titik uji yang berjumlah 15 dilakukan kontekstual editing dengan menghilangkan 3 titik uji yang
memiliki error cukup besar. Error tersebut dibuktikan dengan posisi titik yang tidak berada di obyek
vegetasi saat ditampalkan dengan citra perekaman 13 April 2016 (citra sebelum survey). Pergerakan
enceng gondok yang cukup dinamis karena dipengaruhi angin, air, serta aktivitas manusia menyebabkan

-583-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

kondisi yang diambil saat di lapangan berbeda dengan posisi citra setelah survey, maka dari itu
persamaan regresi diambil dari citra yang lebih mendekati kondisi saat survey di lapangan, yaitu citra
perekaman 13 April 2016. Namun konsistensi hasil koreksi radiomaterik menjadi salah satu kunci yang
besar dalam mempengaruhi akurasi hasil estimasi citra, karena nilai piksel hasil koreksi radiometri yang
dipakai sebagai dasar dalam pemrosesan. Jumlah titik sample dan titik uji yang lebih banyak akan dapat
menambah kestabilan model. Tabel 1 menunjukkan korelasi antara nilai biomassa dengan NDVI pada
12 titik uji di lapangan.

biomassa (kg/piksel)
3000
B
2500 y = 1651,9x + 301,65
R² = 0,1966
2000
1500
1000
500
0
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
NDVI
Gambar 4. Grafik Korelasi biomassa dan NDVI

Gambar 4 menunjukkan korelasi antara biomassa dan NDVI menghasilkan hubungan yang
berbanding lurus, artinya semakin besar nilai NDVI maka biomassa enceng gondok pun semakin besar
pula. Dari grafik ini didapatkan persamaan

y = 1651,9x + 301,65......................................................................................................................................(1)
dimana y adalah nilai biomassa yang dicari, dan x adalah nilai NDVI. Dengan persamaan tersebut di
atas dilakukan regresi untuk mendapatkan nilai biomassa dari keseluruhan Danau Rawa Pening di
Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.

Gambar 5. Kerapatan Vegetasi Enceng Gondok

Gambar 5. Estimasi Biomassa Enceng Gondok


-584-
Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus:
Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

Didapatkan 8 kelas kerapatan Enceng Gondok dengan nilai minimal estimasi biomasa adalah nol dan
maksimal 1714.313965 kg/piksel dengan estimasi keseluruhan biomassa 20.433.642.071.417 kg atau
20.433.642.071,417 ton. Perhitungan estimasi didapatkan dengan mengkalikan nilai piksel hasil regresi
dengan jumlah piksel kemudian menjumlah total keselurahnnya. Jika dibandingakn dengan kerapatan
enceng gondok, maka dapat dilihat bahwa semakin tinggi kelas kerapatannya, maka akan semakin
besar nilai estimasi enceng gomdok yang dihasilkan.

3. KESIMPULAN
Nilai NDVI dan Kelas Kerapatan, berbanding lurus dengan Estimasi Biomassa Enceng Gondok.
Data Landsat 8 OLI dapat digunakan untuk estimasi biomassa enceng gondok. Didapatkan 8 kelas
kerapatan Enceng Gondok dengan nilai minimal estimasi biomasa adalah nol dan maksimal 1714.313965
kg/piksel dengan estimasi keseluruhan biomassa 20.433.642.071.417 kg atau 20.433.642.071,417 ton.

4. SARAN
Perlu adanya studi lebih lanjut terkait konsistensi koreksi radiometri untuk pengaplikasian model di
dua citra yang berbeda perekamannya. Penambahan titik sampel dapat dilakukan untuk membuat model
yang lebih stabil.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Keluarga besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dan Prodi Penginderaan Jauh dan SIG
Universitas Gadjah Mada

DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P., (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta : Andi Offset.
Lillesand, T.M, Ralph, W.K., Jhonatan, W.C., (2008). Remote Sensing and Image Interpretation-sixth edition. USA:
jhon Willey & Sons, Inc
Kaleka dan Hartono., (2013). Kerajinan Eceng Gondok. Solo : Arcit
Ginting, P ., dan Fatur, R.M., (2004). Geografi. Jakarta : Erlangga. pp.147-148.
Khorram, S., Frank, H.K., Stacy, A.C.N., dan Cynthia, F., (2012). Remote Sensing. Boston. MA Springer US.
USGS, (2013). Using the USGS Landsat 8 Product. [Online] Available at: http://landsat.usgs.gov/ landsat8_using
_product.php, diupload 17 mei 2013 diakses 15 April 2016

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan Dan Biomassa
Eceng Gondok (Eichhorniacrassipes) (Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang)
Pemakalah : Agil Rizki Tidar (Sekolah Vokasi UGM)
Diskusi :

Pertanyaan: Suwarsono (LAPAN)


1. Penggunakan plot tidak 1 X 1m2?
2. Grafik persamaan dengan r2< 0,2 apakah bisa diterima?

Pertanyaan: Dede Dirgahayu (LAPAN)


Saran: Data Landsatnya harus ditambah sehingga sample >30 agar dihasilkan model yang stabil yang
mewakili kondisi cuaca dan lokasi yang berbeda

Jawaban:
Tidak ada jawaban dari penulis.

-585-

Anda mungkin juga menyukai