Anda di halaman 1dari 44

NOVEMBER - DESEMBER 2011

tataruang
buletin

BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Optimalisasi
Penyelenggaraan
Penataan Ruang
untuk

Percepatan dan Perluasan


Pembangunan Ekonomi
yang Berkelanjutan

Nilai-Nilai Strategis Maros

dalam Pengembangan Ekonomi


Metropolitan Mammisata

Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi


Penataan Ruang Nasional 2011
Mencari Bentuk Kemitraan

Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang

Kebijakan Percepatan
Persetujuan Substansi Teknis

Rencana Tata Ruang Wilayah

Percepatan Penataan Kawasan Hutan


dalam Perencanaan Tata Ruang

Menuju Ketahanan Pangan


dengan Kebijakan Pertanahan

Dialog Hijau tentang Masa Depan


Lain Jembatan Oresund,
Lain Jembatan Selat Sunda

Kaleidoskop Buletin Tata Ruang 2011


Agenda Kerja BKPRN

Edisi khusus
Rakernas BKPRN 2011
P RO F I L

BARCODE

BKPRN

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Ir. M. Hatta Rajasa

buletin tata ruang


PELINDUNG

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.


Dr. Eko Luky Wuryanto
Dr. Ir. Max Pohan
Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.

PENANGGUNG JAWAB

Ir. Iman Soedradjat, MPM.


Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc.
Ir. Heru Waluyo, M.Com
Drs. Sofjan Bakar, M.Sc.
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM
Ir. Basuki Karyaatmadja

Penasehat Redaksi

DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng


Ir. Iwan Taruna Isa
M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)

pemimpin redaksi

Aria Indra Purnama, ST, MUM.

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI

Agus Sutanto, ST, M.Sc

redaktur pelaksana

Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.

Sekretaris Redaksi

Indira P. Warpani, ST., MT., MSc

staf redaksi

Ir. Dwi Hariawan, MA


Ir. Gunawan, MA
Ir. Nana Apriyana, MT
Wahyu Suharto, SE, MPA
Ir. Dodi S Riyadi, MT
Ir. Indra Sukaryono
Endra Saleh ATM, ST, MSc
Hetty Debbie R, ST.
Tessie Krisnaningtyas, SP
Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc
Ayu A. Asih, S.Si
M. Refqi, ST
Marissa Putri Barrynanda, ST
Heri Khadarusno, ST

Koordinasi Produksi

Angger Hassanah, SH

Staf Produksi
Alwirdan BE

Koordinasi Sirkulasi

Supriyono S.Sos

sekapur
sirih

Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh,


Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu
diberikan kepada kita untuk terus berkarya, sehingga Buletin Tata Ruang masih diberi
kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi terakhir di tahun 2011.
Berdasarkan hasil dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKPRN 2011 yang memiliki tema
Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan, dapat disimpulkan bahwa semakin
dirasakan perlunya dibangun dan dikembangkan keterkaitan yang seimbang dan sejajar
serta kerja sama yang saling menguntungkan antara pelaku-pelaku yang terlibat didalam
penyelenggaraan penataan ruang serta pembangunan sektoral dan kewilayahan untuk
mencapai manfaat bersama.
Pelaksanaan pembangunan nasional tentunya tidak akan hanya berjalan dengan
implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) beserta rencana rincinya
pada tataran spasial yang makro. Masih diperlukan elemen yang lain untuk mewujudkan
tujuan pembangunan nasional dan mendorong investasi di segala bidang, yaitu
diperlukan adanya rencana tata ruang pada tataran yang lebih operasional pada tingkat
dibawahnya. Untuk itu, penetapan RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/Kota beserta
rencana rincinya perlu menjadi perhatian kita bersama.
Dengan kondisi kemajuan penyelesaian RTRW saat ini, kiranya perlu dilakukan upayaupaya percepatan yang tepat agar hal tersebut dapat terlaksana. Upaya percepatan
tersebut juga didorong dengan adanya kebijakan baru, yaitu penetapan Peraturan
Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI), yang memuat rencana investasi pembangunan
ekonomi Indonesia. Dengan adanya rencana tata ruang yang operasional sebagai salah
satu instrumen perizinan, maka MP3EI ini menjadi akan lebih cepat terwujud.
Lebih lanjut, perubahan pola pikir yang dilandasi oleh semangat not business as usual
yang mengedepankan sasaran yang ingin dicapai dan bukan hanya berkutat pada
permasalahan yang dihadapi, dan penguatan kolaborasi dan kemitraan merupakan upaya
yang dibutuhkan dalam mendukung langkah-langkah percepatan penyelesaian Rencana
Tata Ruang (RTR) dan RTRW, serta perluasan pembangunan Indonesia.
Akhir kata,
seluruh pemangku kepentingan, baik Pemerintah, pemerintah daerah,
maupun pemangku kepentingan bidang penataan ruang lainnya diharapkan untuk
membentuk komitmen bersama dalam melakukan percepatan penyelesaian perda
tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota agar pelaksanaan pembangunan di
Indonesia menjadi lebih terarah dan konsisten serta selaras dengan rencana tata ruang.

Staf Sirkulasi

Dhyan Purwaty, S.Kom

Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN


Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,
Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577
Website BKPRN:http://www.bkprn.org
Email:timpelaksanabkprn@yahoo.com
dan redaksi _butaru@pu.go.id

Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum


Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

buletin tata ruang | November - Desember 2011

dari
redaksi

daftar isi

PROFIL TOKOH

04

Ir. M. Hatta Rajasa

PROFIL WILAYAH

Nilai-Nilai Strategi Maros

08

dalam Pengembangan Ekonomi


Metropolitan Mammisata

Salam hangat bagi pembaca setia

Oleh: Redaksi Butaru

Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi terakhir tahun ini. Pada edisi kali ini Butaru
mengangkat tema Rakernas BKPRN 2011 yaitu Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan
Ruang untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan.
Persoalan penataan ruang semakin rumit dan mempunyai dampak luas pada berbagai
segi kehidupan masyarakat, berbagai kepentingan dan tuntutan dalam penataan ruang
dengan mudah dapat menyulut konflik-konflik yang lebih luas. Yang paling dituntut
dalam penataan ruang adalah bagaimana cara yang efektif mempertemukan berbagai
kepentingan tersebut sehingga tercapai tujuan bersama secara optimal. Mempertautkan
penataan ruang dan kemitraan dapat dipandang sebagai upaya untuk mempertemukan
berbagai kepentingan dan sekaligus mencegah potensi konflik antar kepentingan yang
dapat mengarah menjadi masalah yang lebih kompleks.
Pelaksanaan Rakernas Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang diselenggarakan
di Kota Manado pada tanggal 30 November 2011 sampai dengan 1 Desember mewarnai
artikel edisi terakhir tahun ini antara lain ; Hasil Kesepakatan 4 Sidang Komisi Rakernas,
Kebijakan Percepatan Persetujuan Subtansi RTRW, Penyelesaian Penataan Kawasan
Hutan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Penataan Ruang, Kebijakan Pertanahan
dan lain-lain.
Pada Profil Wilayah ditampilkan Nilai-nilai strategis Kabupaten Maros dalam mendukung
pengembangan ekonomi Metropolitan Maminasata, dimana Kabupaten ini selaku
penyangga dan pintu gerbang bagian utara kawasan Mamminasata memegang peranan
penting terhadap pembangunan Kota Makassar yang sedang terus berkembang. Profil
Tokoh kali ini menampilkan Ir. M Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian yang
juga adalah Ketua BKPRN yang mengungkapkan berbagai pemahaman dan gagasan
beliau dalam peningkatan penyelenggaraan penataan ruang untuk terwujudnya
percepatanperluasan pembangunan ekonomi, dengan meningkatkan kemitraan antar
pelaku pembangunan dan perbaikan berbagai regulasi yang selama ini masih menjadi
hambatan dan sumber konflik antar sektor.

TOPIK UTAMA

Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi


Penataan Ruang Nasional 2011

TOPIK UTAMA

Mencari Bentuk Kemitraan

Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang

12

16

Oleh: Ir. Rido Matari Ichwan, MCP

TOPIK UTAMA

Kebijakan Percepatan
Persetujuan Substansi Teknis

20

Rencana Tata Ruang Wilayah

TOPIK UTAMA

Percepatan Penataan
Kawasan Hutan

25

Dalam Perencanaan Tata Ruang


Oleh: Bambang Soepijanto

TOPIK UTAMA

Kajian Likungan Hidup Strategis

29

Untuk Penataan Ruang

Oleh: Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA

TOPIK LAIN

Menuju Ketahanan Pangan

31

dengan Kebijakan Pertanahan


Oleh: Redaksi Butaru

Butaru edisi akhir tahun ini juga memuat Kaleidoskop 2011 yang memberikan informasi
perihal edisi-edisi Butaru yang telah diterbitkan sepanjang tahun 2011, diharapkan
dengan adanya kaleidoskop ini para pembaca setia Butaru dapat terbantu untuk
mengetahui topik-topik utama yang dimuat didalam Butaru sepanjang tahun 2011.
Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang
panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca
dapat memperkaya wawasan.

TOPIK LAIN

Dialog Hijau tentang Masa Depan

Hari Tata Ruang-World Town Planing Day 2011


Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAIN

Lain Jembatan Oresund,


Selamat membaca

37

Lain Jembatan Selat Sunda


Oleh: Melva E. Marpaung

KALEIDOSKOP
Redaksi

35

41

Buletin Tata Ruang 2011


Oleh: Redaksi Butaru

AGENDA

Agenda Kerja BKPRN


November - Desember 2011

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

43

profil tokoh

Ir. M. Hatta
Rajasa

Menteri Koordinator Perekonomian


& Ketua BKPRN

Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan


Ruang untuk Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan

Ir. M. Hatta Rajasa adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian


Indonesia sejak 22 Oktober 2009. Pria kelahiran Palembang 18 Desember 1953 ini
sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Perhubungan di kabinet yang sama,
dan Menteri Riset dan Teknologi di dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004).

Menteri Koordinator
Perekonomian
menyatakan perluasan
pembangunan ekonomi
sangat bergantung
pada rencana tata
ruang di tingkat daerah
(provinsi/kabupaten/
kota). Karena itulah
kolaborasi dan
kerjasama menjadi
kunci suksesnya.

Sebelum menjabat posisi Menteri, ia aktif di lembaga legislatif sebagai Ketua Fraksi
Partai Reformasi DPR-RI pada tahun 1999 sampai 2000, dan aktif berpolitik menjadi
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN) pada tahun 2000 sampai
2005. Sementara kariernya sebagai professional ia buktikan dengan menjabat
Presiden Direktur Arthindo tahun 1982 sampai 2000.
Hatta Rajasa menamatkan sarjananya sebagai Insinyur Teknik Perminyakan dari
Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1973. Pengalamannya aktif sebagai
Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan Senator Mahasiswa ITB
membuatnya terlatih bekerja keras, jujur, mandiri dan luwes bekerjasama sejak
muda. Kini, saat berkonsentrasi menjadi politisi, ia menganut pluralisme dalam
politik, dan berobsesi menjadi negarawan yang mendahulukan kepentingan
bangsa.
Pandangan dan pendapat beliau terkait kemitraan dan kerjasama dalam
penyelenggaraan penataan ruang serta percepatan dan perluasan ekonomi
nasional diuraikan di bawah ini.
Pandangan Anda terhadap penyelenggaraan penataan ruang ?
Efektivitas penyelenggaraan penataan ruang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
perangkat regulasi rencana tata ruang (RTR) serta konsistensi dalam pelaksanaan
regulasi tata ruang tersebut. Kita ketahui bersama, bahwa dalam rangka
pembenahan regulasi rencana tata ruang (RTR), sejak diterbitkannya UU No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/
Kota) diminta untuk melakukan penyesuaian atau revisi terhadap substansi Rencana
tata Ruang Wilayah (RTRW), baik RTRW Provinsi ataupun RTRW Kabupaten/Kota.
Dalam proses tersebut sebagian besar daerah merencanakan perubahan
peruntukan kawasan. Rencana perubahan peruntukan yang memberi dampak
cukup besar adalah permohonan terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan.
Dari total 131,7 juta hektar kawasan hutan yang kita miliki, sebanyak 22 Provinsi

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Menko Perekonomian dan Menteri Dalam Negeri mendengar sambutan


Gubernur Sulut selaku tuan rumah penyelenggara Rakernas BKPRN 2011

telah mengusulkan untuk merubah


peruntukan kawasan hutannya, dengan
total luas hutan mencapai 15,2 juta
hektar.
Penyelesaiannya
memerlukan
waktu yang cukup panjang karena
peran kawasan hutan cukup tinggi
dalam menjaga pembangunan yang
berkelanjutan, sehingga perubahannya
memerlukan
persetujuan
semua
pemangku kepentingan. Hal ini
memberi
dampak
pada
upaya
percepatan penyelesaian regulasiregulasi
terkait
RTR,
terutama
penyelesaian Perda RTRW Provinsi dan
Kabupaten/Kota.

Berarti masih banyak tugas yang


harus diselesaikan?
Dari data dan informasi hingga saat
ini (November 2011), hanya sembilan
provinsi, 51 kabupaten dan 13 kota
yang telah ditetapkan Perda RTRWnya. Sementara itu ada enam provinsi,
109 kabupaten dan 18 kota yang
Perda RTRW-nya sudah habis masa
berlakunya.
Dapat
dibayangkan
bagaimana kabupaten/kota tersebut
dapat dengan nyaman dan aman
memberikan izin-izin pemanfaatan
ruang
yang
diperlukan
bagi
peningkatan investasi di daerahnya.
Langkah-langkah
percepatan
penyelesaian
peraturan
daerah

tersebut ini sangat perlu mendapat


perhatian kita semua, termasuk juga
yang menyangkut regulasi terkait
peruntukan ruang di tingkat pusat
(Perpres Perpres Rencana Tata Ruang).
Terkait berbagai isu dan kebijakan
pemerintah akhir-akhir ini, saya
menyambut baik pembahasan empat
isu strategis di Rakernas BKPRN tahun
2011 di Manado, yaitu : (1) Pelaksanaan
Penataan Ruang; (2) Kelembagaan
penyelenggaraan penataan ruang; (3)
Sinergi kebijakan, rencana, dan program
pembangunan nasional dan daerah;
dan (4) Pengelolaan permasalahan
penataan ruang. Semoga hasil sidang
komisi nanti dapat menjadi hasil
kesepatan untuk ditindaklanjuti dalam
upaya peningkatan kinerja percepatan
persetujuan substansi RTRW dan RTR.
Apa pentingnya Rencana Tata Ruang
dalam percepatan pembangunan
ekonomi nasional?
Saat ini pembangunan perekonomian
Indonesia sedang menunjukkan tren
peningkatan seiring dengan bertumbuhnya
kawasan Asia Pasifik sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi dunia dimana
Indonesia merupakan salah satu epicentrum
utama di kawasan Asia Tenggara.
Momentum ini memerlukan konsep
pembangunan yang terarah dan terencana
dengan baik. Di sinilah pentingnya
penataan ruang agar pembangunan

kawasan-kawasan
pengembangan
ekonomi, pertanian, konservasi hutan
dan kawasan permukiman dan lain-lain
terancana dengan baik.

Patut saya kemukakan di sini, prospek


perekonomian dunia dalam waktu dekat
tidaklah terlalu cerah. Pertumbuhan
ekonomi dunia pada tahun 2012
mungkin tidak akan sekuat yang
kita perkirakan semula. Saya ingin
menegaskan bahwa kondisi fundamental
perekonomian Indonesia saat ini dalam
keadaan yang sangat baik, dengan
pertumbuhan ekonomi yang cenderung
semakin cepat. Pada triwulan ke-II tahun
2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,5%.
Dengan demikian pada tahun 2011
ekonomi Indonesia diperkirakan akan
tumbuh 6,5%, lebih tinggi dari perkiraan
semula, yaitu sebesar 6,4%. Diperkirakan
pertumbuhan PDB tahun 2011 akan
menjadi yang tertinggi sejak krisis tahun
1997/1998.
Langkah-langkah percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi
Indonesia
menuntut
hadirnya
perubahan pola pikir (mindset) yang
dilandasi oleh semangat Not Business
As Usual. Kita harus mengembangkan
pola pikir thinking out of the box,
dengan lebih mengedepankan sasaran
yang ingin kita capai, bukan hanya
berkutat pada permasalahan yang kita
hadapi. Perubahan pola pikir paling
mendasar adalah pemerintah dan

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

profil tokoh

kabupaten/kota),
memiliki
peran
yang sangat strategis dalam menjaga
dan meningkatkan iklim investasi
tersebut. Hal ini tidak terlepas dari
peran pemerintah daerah, terutama
pemerintah
kabupaten/kota dalam
proses perijinan pemanfaatan ruang
sebagai lokasi target investasi dari
kegiatan-kegiatan ekonomi.

Percepatan
dan perluasan
pembangunan
ekonomi Indonesia
memerlukan evaluasi
terhadap seluruh
kerangka regulasi
yang ada dan
merubah regulasi.
Ir. Hatta Radjasa, Menko Perekonomian
memberi arahan pada
Rakernas BKPRN 2011

pemerintah daerah berfungsi sebagai


regulator, fasilitator, dan katalisator.
Pemahaman
tersebut
harus
direfleksikan
dalam
kebijakan
pemerintah. Regulasi yang ada
seharusnya
dapat
mendorong
partisipasi
dunia
usaha
secara
maksimal untuk membangun berbagai
macam industri dan infrastruktur yang
diperlukan.
Karena itu percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia
memerlukan
evaluasi
terhadap
seluruh kerangka regulasi yang ada,
dan
kemudian
langkah-langkah
strategis diambil untuk mempercepat
penyelesaian regulasi yang diperlukan,
termasuk merevisi dan merubah
regulasi
sehingga
mendorong
partisipasi maksimal yang sehat dari
masyarakat dan dunia usaha.
Dalam hal menjalankan fungsi
sebagai regulator, pemerintah daerah
(pemerintah provinsi dan pemerintah

Apa
harapan
Anda
untuk
mewujudkan percepatan ekonomi?
Laju
pertumbuhan
ekonomi
yang kita nikmati saat ini belum
cukup
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat kita secara
berkesinambungan.
Indonesia
harus dapat tumbuh lebih cepat
lagi. Karena itu, pada 27 Mei 2011
lalu, presiden telah meluncurkan
Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025 dengan visi
mewujudkan masyarakat Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur.
Perlu saya tekankan di sini bahwa
dokumen MP3EI ini tidak menggantikan
dokumen-dokumen perencanaan yang
ada, melainkan menjadi dokumen kerja
yang komplementer terhadap RPJPN
20052025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan
RPJMN 2010 2014 (Peraturan Presiden
No. 5 Tahun 2010) serta RTRWN 2008
2028 (Peraturan Pemerintah No. 26
tahun 2008).
Sebagaimana kita ketahui, seluruh
wilayah negara RI terbagi ke dalam

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Menko Hatta Rajasa


mengunjungi stand
Kementerian PU

wilayah-wilayah provinsi dan/atau


daerah otonom kabupaten/kota. Hal
ini menunjukkan betapa pentingnya
peran Bapak/Ibu Kepala Daerah
(gubernur, bupati dan walikota),
mengingat sebagian besar perizinan
untuk melakukan kegiatan ekonomi
menjadi kewenangan mereka.
Dalam penyusunan dokumen MP3EI,
kita telah mengidentifikasi beberapa
regulasi
yang
perlu
mendapat
perhatian, baik oleh pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan
atau pemerintah kabupaten/kota.
Ketersediaan rencana tata ruang
wilayah merupakan salah satu kunci
keberhasilan pelaksanaan investasi
yang tertuang pada dokumen MP3EI.
Efisiensi dan magnitude (ataupun
skala) kegiatan ekonomi yang tercipta
dari seluruh wilayah nasional kita akan
sangat tergantung dari penguatan
koordinasi di daerah yang mendukung
pengembangan aktivitas ekonomi. Hal ini
dimaksudkan agar para Gubernur dapat
berkoordinasi dengan para bupati dan

Rakernas ini
merupakan agenda
nasional yang
merupakan sinergi
penataan ruang
antar wilayah dan
antar sektor dalam
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
wilayah dan nasional.
walikota di wilayahnya untuk bersamasama mambantu percepatan penyelesaian
dan perbaikan berbagai regulasi yang
diperlukan,
terutama
percepatan
penyelesaian rencana tata ruang, baik
dalam bentuk Perda maupun Perpres.

Pandangan dan Harapan


Penyelenggaraan
Rapat
Nasional BKPRN 2011 ini?

dalam
Kerja

Saya menyambut baik Rapat Kerja


Nasional BKPRN yang diselenggarakan
dalam dua hari ini. Kegiatan ini saya
pandang penting, karena merupakan
forum pertemuan ke dua sejak

pemberlakuan Undang-Undang No. 26


Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dengan melibatkan pimpinan instansi
daerah yang memiliki peran penting
dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
Rakernas ini merupakan agenda
nasional yang merupakan sinergi
penataan ruang antar wilayah dan
antar sektor dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi wilayah dan
nasional. Saya mengharapkan dari
hasil Raker ini dapat dirumuskan
langkah konkrit yang mempercepat
penyelesaian
penyusunan
Perda
rencana tata ruang provinsi maupun
kabupaten/kota.

Di samping itu, kita juga perlu


memberi
perhatian
terhadap
berbagai permasalahan yang harus
ditangani dalam penataan ruang,
seperti: (1) masih kurang sinkronnya
perencanaan
pembangunan
nasional dan daerah; (2) belum
lengkap dan serasinya regulasi
penataan ruang yang diamanatkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang;
(3)
masih
terjadinya
konflik
pemanfaatan ruang di beberapa
daerah; dan (4) belum optimalnya
fungsi dan peran kelembagaan
bidang penataan ruang.

Rapat Kerja Nasional (Rakernas BKPRN)


menjadi agenda prioritas BKPRN
dan kegiatan ini merupakan forum
konsultasi untuk merumuskan berbagai
kesepakatan strategis di bidang
penataan ruang antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.
Maka pada akhir penyelenggaraan
Rekernas BKPRN, saya mengharapkan
agar diperoleh kesepakatan terhadap
beberapa hal berikut: (1) Agenda
Kerja BKPRN tahun 2011-2012 yang
akan dijabarkan lebih lanjut dalam
rencana aksi BKPRN untuk percepatan
penyelesaian berbagai isu strategis
bidang penataan ruang; (2) Agenda
tindak lanjut Rakernas BKPRN 2011
oleh para gubernur seluruh Indonesia
melalui penyelenggaraan Raker BKPRD
di provinsi masing-masing. (mem)

Kegiatan ini
merupakan forum
konsultasi untuk
merumuskan berbagai
kesepakatan strategis
di bidang penataan
ruang antara
pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.

Mempertimbangkan
berbagai
tantangan utama tersebut, maka
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

profil wilayah

Nilai-Nilai
Strategi
Maros

dalam
Pengembangan
Ekonomi
Metropolitan
Mamminasata

Dari suatu kerajaan, kini menjadi kota metropolitan. Maros dengan segala
potensinya, merupakan kekayaan strategis Indonesia di wilayah timur.
Bujur Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Pangkep
sebelah utara, Kota Makassar dan Kabupaten Gowa sebelah
selatan, Kabupaten Bone di sebelah barat. Luas wilayah
Kabupaten Maros 1.619,12 km2. Berdasarkan pencatatan
kelurahan Badan Stasiun Meteorologi suhu udara minimum
berkisar pada suhu 22,80C (terjadi pada bulan Juli dan
Agustus) dan suhu maksimum berkisar 33,70C (terjadi pada
Bulan Oktober). Kabupaten Maros memiliki daerah dengan
kemiringan lereng dan ketinggian wilayah yang cukup
variatif yang mempengaruhi suhu, curah hujan dan sebaran
komoditasnya.

Peta Administrasi Kabupaten Maros

Kabupaten Maros merupakan salah satu kabupaten


dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas
wilayah sekitar 1.619,11 km2 dan terdiri dari 14 kecamatan
(Turikale, Maros Baru, Lau, Bontoa, Mandai, Marusu, Tanralili,
Moncongloe, Tompobulu, Bantimurung, Simbang, Cenrana,
Camba, dan Mallawa) yang membawahi 80 Desa dan 23
Kelurahan. Kabupaten Maros adalah kabupaten dengan
wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar,
ibukota propinsi Sulawesi Selatan, dengan jarak berkisar 30
km. Kabupaten Maros dikembangkan secara terintegrasi di
dalam Kawasan Metropolitan Mamminasata.
Kabupaten Maros terletak di bagian barat Sulawesi Selatan
antara 4045 - 5007 Lintang Selatan dan 109205 - 12912

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Kabupaten Maros memegang peranan penting terhadap


pembangunan Kota Makassar karena berfungsi sebagai
daerah penyangga dan perlintasan utama, juga pintu
gerbang Kawasan Mamminasata bagian utara yang dengan
sendirinya memberikan peluang yang sangat besar terhadap
pembangunan di Maros.
Gerbang utama Sulawesi Selatan dan
penerbangan menuju wilayah timur Indonesia.

Penduduk Lokal

SEJARAH KABUPATEN MAROS

Pada masa lampau, Kabupaten Maros adalah suatu wilayah


kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Marusu yang
kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Maros sampai
sekarang. Selain nama Maros, masih terdapat nama lain
daerah ini, yakni Marusu dan/atau Buttasalewangan. Ketiga
nama tersebut sangat melekat dan menjadi kebanggaan
tersendiri oleh masyarakat setempat.
Kabupaten Maros pada awalnya adalah sebuah wilayah
kerajaan yang dipengaruhi oleh dua kerajaan besar di
Sulawesi Selatan, yakni Kerajaan Bone dan Kerjaan Gowa. Hal
ini dikarenakan Maros memiliki nilai strategis yang sangat
potensial. Kabupaten Maros dari dulu hingga saat ini dihuni
oleh dua suku, yakni Suku Bugis dan Suku Makassar.
Tujuh tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dikeluarkan
peraturan No. 34 1952 juncto PP. No. 2/1952 tentang
pembentukan Afdelling Makassar yang di dalamnya
tercakup Maros sebagai sebuah Onderafdelling dengan 16
buah distrik. Keenambelas distrik tersebut adalah pusatpusat pemerintahan pada masa lampau yang berkembang

baik secara lokal dan regional. Seiring berjalannya waktu,


distrik-distrik tersebut mulai terintegrasi dengan wilayah di
sekitarnya. Distrik di Kabupaten Maros yang terintegrasi di
wilayah administrasi Kota Makassar adalah Distrik Bira, Suding
dan Biringkanaya yang kemudian dilepaskan dari Kabupaten
Maros pada tahun 70-an.

Pada tahun 1963, Kabupaten Maros terbagi atas empat
kecamatan, yakni Kecamatan Maros Baru, Bantimurung, Mandai,
dan Camba. Pada awal tahun 1989, diadakan pemekaran wilayah
kecamatan dengan dibentuknya tiga kecamatan perwakilan,
yakni Kecamatan Perwakilan Tanralili, Maros Utara, dan Mallawa.
Hingga saat ini terdapat 14 wilayah kecamatan dimana setiap
wilayah kecamatan tersebut memiliki potensi masing-masing
dalam menunjang pembangunan wilayah.
Kabupaten Maros memiliki peranan yang sangat berarti dalam
pembangunan Kota Makassar sebagai ibukota provinsi dan
sekaligus sebagai pusat pengembangan wilayah Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Peluang ini membawa pengaruh
signifikan terhadap perkembangan wilayah Kabupaten
Maros, terutama wilayah-wilayah yang berbatasan dengan
Kota Makassar. Sedangkan dalam rencana pembangunan
wilayah secara eksternal, sebagian wilayah Kabupaten Maros
masuk dalam pengembangan Kawasan Mamminasata
sebagai kawasan kota metropolitan.
Ibukota kabupaten, yaitu Kota Maros yang terletak di
Kecamatan Turikale, berperan sebagai pusat pemerintahan
dengan segala aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Jika dilihat secara geografis wilayah yang lebih mikro, Kota
Maros terbagi atas tiga segmen kawasan yang merupakan
bagian dari pusat-pusat pemerintahan Kabupaten Maros
dan dihubungkan oleh jaringan jalan arteri. Sedangkan
ditinjau dari perkembangan wilayah, terdapat jaringan jalan
arteri sekunder yang menghubungkannya dengan wilayah
Kabupaten Bone (khususnya Kecamatan Bantimurung,
Simbang, Cenrana, Camba dan Mallawa).

WILAYAH, NILAI STRATEGIS KABUPATEN MAROS


Visi Kawasan POTENSI
Berbukit gamping terjal dengan cekungan yang dalam, banyaknya gua pada
Metropolitan lerengnya, sementara di bawah tanah mengalir sungai yang memancarkan air yang
Mamminasata: Menjadi bening di beberapa tempat. Topografi seperti itu adalah gambaran dari topografi
Kawasan Metropolitan yang mengangkat nama Maros (Sulawesi Selatan) sampai ke mancanegara.
Terkemuka Dan Terdepan
karst merupakan keajaiban alam yang harus dilindingi dari eksploitasi dan
Di Kawasan Timur Bukit
dilestarikan oleh pemerintah, masyarakat lokal, maupun masyarakat internasional.
Indonesia Berwawasan Potensi ini harus dikelola dengan baik agar tetap lestari walaupun dijadikan salah
Internasional Dan Global satu alat untuk memajukan pendapatan daerah di Kabupaten Maros tersebut.
Bersendikan Kearifan
Lokal (gambar: booklet Perekonomian di Maros bergantung pada sektor pertanian, mengingat hampir
Kawasan Metropolitan separuh luas Maros merupakan dataran rendah yang sangat cocok untuk dijadikan
perkebunan, peternakan dan perikanan. Padi sebagai produk unggulan
Mamminasata, Ditjen pertanian,
memiliki peran yang cukup penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok bahan
Penataan Ruang) makanan dengan jumlah di atas rata-rata Provinsi Sulawesi Selatan.
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

profil wilayah
Sumber Daya Alam Kabupaten Maros yang
harus dijaga Kelestariannya

Letak Kabupaten Maros dinilai sangat strategis karena merupakan jalur lintas
utama ke wilayah Sulawesi Selatan bagian utara lewat darat, dan juga bersebelahan
dengan Kota Makassar. Bandara Internasional Sultan Hasanuddin menjadi pintu
gerbang tidak hanya untuk Kota Makassar, tapi juga Maros. Di sini produk unggulan
daerah seperti mangga, jeruk, serta kacang mete laris dibeli pelancong.
Selain kekayaan alam, Maros juga kaya akan keindahan alam. Potensi alam seperti karst
dan daerah konservasi perlu dipromosikan. Dimulai dari objek wisata andalan Kota Maros
yang berlokasi di Kelurahan Kalabbirang, yaitu Kawasan Objek Wisata Bantimurung.

Objek wisata alam ini terletak di lembah bukit kapur atau karst yang curam dengan
vegetasi tropis yang subur sehingga selain memilki air terjun juga menjadi habitat
yang ideal bagi berbagai spesies kupu-kupu, burung dan serangga langka. Tak jauh
dari Bantimurung, ada beberapa goa yang di dalamnya terdapat lukisan prasejarah
pada dinding-dinding dalamnya berupa gambar binatang, puluhan gambar telapak
tangan juga terdapat benda laut berupa kerang yang menandai bahwa goa tersebut
pernah terendam dan dikelilingi laut. Goa itu disebut masyarakat setempat Goa
Pettae dan merupakan bagian dari Taman Prasejarah Leang-Leang.
Di kawasan karst dan konservasi ini bisa ditemukan jenis flora dan fauna yang langka.
Di sana terdapat sekitar 280 spesies tanaman, lebih dari 100 spesies kupu-kupu serta
ratusan goa yang dihiasai stalaktit dan stalakmit yang indah. Cocok untuk wisata alam
dan wisata minat khusus yang banyak digandrungi wisatawan asing. Hingga kini baru
Bantimurung dan Taman Prasejarah Leang-Leang yang sering dikunjungi wisatawan.
Di samping potensi alamnya yang melimpah, Kabupaten Maros juga kaya akan unsurunsur budaya yang berupa perpaduan antara nilai-nilai luhur agama dan keasrian
lingkungannya. Beragam kegiatan budaya, seperti Upacara Adat Appali, Katto Bokko,
Mappa Dendang, Bias Muharram, lomba perahu hias, dan tari-tarian dalam upacara
adat dan acara lainnya menjadi objek wisata seni selain sebagai warisan budaya yang
tetap dipertahankan dan dijunjung tinggi masyarakat Maros. Kekayaan ekspresi budaya
masyarakat yang dituangkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan unik ini menjadi bagian
dari kegiatan pariwisata yang hanya dapat dijumpai di Kabupaten Maros.

PERAN MAROS DALAM BERBAGAI ASPEK PEMBANGUNAN


Sebagian wilayah Kabupaten Maros masuk dalam rencana
pengembangan Kawasan Mamminasata sebagai kawasan
kota metropolitan. Mamminasata yang mencakup
Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar menjadi
proyek percontohan pengembangan tata ruang terpadu di
Indonesia. Oleh karena itu, Kabupaten Maros memiliki peran
yang sangat signifikan dalam pembangunan Kota Makassar
sebagai ibukota provinsi dan sebagai pusat pengembangan
wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Wilayah Kabupaten Maros yang menjadi bagian kawasan


pengembangan tersebut adalah 1.039 km2 atau 42,2% dari luas
wilayah pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata
sebesar 2.462 km2. Hal ini tentu saja memberikan manfaat yang
sangat berarti bagi penyediaan dan pembangunan infrastruktur,
jaringan irigasi, air bersih dan listrik, penyediaan lapangan kerja,
hingga akhirnya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan lain sebagainya.
Peran Maros dalam berbagai aspek pembangunan regional
dan nasional, antara lain:

10

buletin tata ruang | November - Desember 2011

a. Pusat pelayanan transportasi udara


b. Pusat penelitian pertanian
Balai Penelitian Tanaman Serealia yang berlokasi di
Jl. Dr. Ratulangi No. 274 Kecamatan Turikale ini melakukan
serangkaian penelitian terhadap tanaman jagung, sorgum,
gandum dan serealia potensial lain untuk menghasilkan
inovasi teknologi pertanian sekaligus mendiseminasikan
secara terarah guna mendukung upaya peningkatan
produksi pertanian sesuai dengan potensi yang dimiliki
oleh Provinsi Sulawesi Selatan.
c. Pusat penelitian kelautan dan perikanan
Maros sebagai daerah pesisir dengan kontribusi sektor
perikanan yang cukup besar mengembangkan perikanan
budidaya air payau yang mencapai luas tambak 9.461,53 Ha.
d. Pusat pelatihan dan pendidikan militer
Sambueja dan Kariango yang masing-masing berada di
Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Tanralili dijadikan
sebagai pusat pelatihan dan pendidikan Kostrad TNI AD.
Di samping itu, Kecamatan Mandai juga dijadikan sebagai
pangkalan udara TNI AU yang berlokasi di Bandara Sultan
Hasanuddin.

Diperlukan kerjasama yang baik di antara Pemda terkait untuk menjadikan


Mamminasata ini sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi bagi wilayah di
sekitarnya, memberikan kesejahteraan serta pengelolaan wilayah yang berkelanjutan
dengan upaya pemanfaatan ruang yang terkendali, pemanfaatan sumber daya alam
dan daya dukung lingkungan secara efisien dan berdaya guna melalui keseimbangan
antar wilayah dan antar sektor serta pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan
lingkungan hidup. Keterkaitan Kawasan Metropolitan Mamminasata harus diciptakan
menjadi ikatan yang kuat dan saling menguntungkan.

Diperlukan kerjasama yang baik


diantara Pemda terkait untuk
menjadikan Mamminasata sebagai
pendorong pertumbuhan ekonomi
bagi wilayah di sekitarnya.
menimbulkan dampak yang cukup besar. Di Maros telah
dilakukan eksploitasi terhadap tambang marmer, batu bara
dan lain-lain.
Di sisi lain, daerah tersebut memiliki keunggulan pertanian.
Maros merupakan lumbung padi Sulawesi Selatan bahkan
nasional. Perkembangan ekonomi Maros pun seiring dengan
meningkatnya perekonomian di Kota Makassar sebagai
ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.

KESIAPAN MAROS DALAM INTEGRASINYA DENGAN


METROPOLITAN MAMMINASATA
Arahan kebijakan tata ruang Mamminasata dibangun,
disusun, dan disetujui bersama antara Pemerintah
Kabupaten/Kota. Masing-masing Pemkab punya prioritas
pembangunan. Kabupaten Maros memiliki kontribusi
yang cukup besar dalam integrasinya dengan Kawasan
Metropolitan Mamminasata melalui potensi sumber daya
ataupun kemampuan daerahnya.
Dalam implementasi tata ruang, Pemerintah Sulawesi Selatan
terus mendorong Kabupaten Maros untuk memperkuat
kelembagaannya sebagaimana yang ada di tingkat provinsi.
Di tingkat kabupaten, Maros sudah dibentuk Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang bertugas
melakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan
ruang sesuai arahan kebijakan rencana tata ruang wilayah
yang telah ada.

Kapasitas daya tampung Kota Makassar yang semakin


berkurang namun angka pertumbuhan penduduk terus
bertambah, secara otomatis mendorong masyarakat untuk
tinggal di daerah suburban. Selain itu, Makassar selama ini
mendapat pasokan air dari Maros dan Gowa. Merupakan
kesempatan Maros untuk mendapatkan manfaat dari
pembangunan pesat Kota Makassar. Oleh karena itu,
dibutuhkan kerjasama yang baik dan komunikasi personal
maupun komunal secara aktif antara Kota Makassar dengan
wilayah hinterland-nya. Maros memiliki kontribusi yang
cukup besar besar dalam integrasinya dengan Kawasan
Metropolitan Mamminasata melalui potensi sumber daya
ataupun kemampuan daerahnya. Kepala Dinas Tata Ruang
dan Permukiman Provinsi Sulawesi Selatan. (eq/har)
Pertanian menjadi salah satu sektor andalan
Kabupaten Maros

Maros dikenal sebagai daerah multi dimensi, di sana ada ciri


perkotaan dan pedesaan, terdapat pegunungan dan juga
pesisir, serta kekayaan alam yang berlimpah, antara lain
pertambangan yang jika salah dalam pengelolaannya akan
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

11

topik utama

RAPAT KERJA NASIONAL

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL 2011


Seluruh pemangku kepentingan dari tingkat nasional dan daerah berkumpul
membicarakan masalah penataan ruang. Di dalamnya dibicarakan kinerja pelaksanaan
penataan ruang, kelembagaan, sinergitas kebijakan, rencana, dan program
pembangunan, serta pengelolaan permasalahan pemanfaatan ruang.

Kemudian Menko Perekonomian Hatta Radjasa menjelaskan


pentingnya tata ruang baik nasional, provinsi dan kabupaten/
kota dalam kaitannya dengan percepatan pembangunan
ekonomi nasional. Dengan konsep pembangunan
yang terarah dan terencana dengan baik, diharapkan
pengembangan kawasan-kawasan pengembangan ekonomi,
pertanian, konservasi hutan dan kawasan permukiman dapat
terencana dengan baik.
Ir. Hatta Radjasa membuka secara resmi
Rakernas BKPRN 2011

Rakernas BKPRN 2011 yang dilaksanakan di Manado


pada tanggal 30 November hingga 1 Desember 2011 memilih
tema Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi yang
Berkelanjutan. Rakernas BKPRN yang diselenggarakan di
Grand Kawanua Convention Center, Hotel Novotel Kairagi
Manado ini dibuka oleh Menko Perekonomian, Ir. Hatta
Radjasa yang juga Ketua BKPRN.
Pada awal Rakernas, Diah Anggraini (Sekjen Kementerian
Dalam Negeri) selaku Ketua Panitia Pelaksana dalam
kapasitasnya sebagai Plh. Dirjen Bina Pembangunan Daerah
Kemendagri menjelaskan, Rapat Kerja yang berlangsung
selama dua hari ini diikuti oleh para Gubernur seluruh
Indonesia, Ketua DPRD, Kepala Bappeda, Kepala Dinas PU/Tata
Ruang, Kimpraswil, Dinas Kehutanan, Kepala BPLHD dan Kepala
Biro Hukum Provinsi seluruh Indonesia. Hadir pula Kepala
Dinas Kehutanan dan Perikanan dari tujuh Provinsi Kepulauan
dan para bupati/walikota di wilayah Provinsi Sulawesi.
Mengingat provinsi adalah salah satu pusat pengembangan
ekonomi dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia, Gubernur Sulawesi Utara,
Dr. Sinyo Harry Sarundajang, selaku tuan rumah menjelaskan
bahwa Sulawesi Utara dalam upaya mendukung percepatan
perluasan ekonomi, sedang melakukan pembahasan Raperda
RTRW Provinsi. Hal ini akan menjadikan Provinsi Sulawesi
Utara sebagai provinsi pertama yang mememiliki Perda
RTRW untuk mendukung implementasi MP3EI tersebut.

12

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Rakernas ini juga diisi dengan paparan materi-materi


dari Menteri dan Kementerian terkait, antara lain Menteri
PU memaparkan Kebijakan Percepatan Persetujuan
Substansi, Menteri Dalam Negeri memaparkan Optimalisasi
Penyelenggaran Penataan Ruang di Daerah, Kementerian
Kehutanan
memaparkan Percepatan Penyelesaian
Penataann Kawasan Hutan dalam Perencanaan Tata Ruang,
Kementerian Lingkungan Hidup memaparkan Kajian
Lingkungan Hidup untuk Penataan Ruang, dan Ir. Max Pohan,
Deputi Bappenas, memaparkan materi Sinkronisasi Rencana
Tata Ruang dengan Rencana Pembangunan. Tak hanya itu,
pada raker ini diselenggarakan pula pameran yang diikuti
oleh kementerian dan lembaga terkait penataan ruang.
Selain panel paparan menteri, agenda Rakernas ini juga
membahas empat isu pokok, yaitu: (1) Perumusan tatakelola
penyelenggaraan penataan ruang; (2) Pengembangan
kelembagaan dan perangkat peraturan pendukung, (3)
Sinergisme kebijakan, rencana dan program pembangunan
nasional dan daerah, dan (4) Pengelolaan permasalahan
penataan ruang. Isu-isu pokok tersebut dibahas ke dalam empat
komisi, dimana masing-masing sidang komisi yang dipimipin
Dirjen/Deputi Kementerian terkait. Hasil sidang masing-masing
komisi dan kesepakatan tercantum di bawah ini.
Gubernur Sulawesi
Utara, Dr. Sinyo Harry
Sarundajang, memberi
sambutan selaku tuan
rumah Rakernas

Hasil Sidang Komisi 1


Tema
Pimpinan Sidang
Sekretaris
Hari/Tanggal
Waktu
Tempat
No.
1

:
:
:
:
:
:

PELAKSANAAN PENATAAN RUANG


Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo
Rabu, 30 November 2011
14.30 WITA
Ruang Rapat Paris Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado

Isu Strategis
Proses penyusunan/revisi rencana
umum dan rencana rinci tata ruang
prov/kab/kota yang perlu diperbaiki
dalam rangka peningkatan kualitas
rencana tata ruang.

Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut


a.
b.

c.

d.
e.

Konsistensi implementasi rencana tata


ruang yang sudah diperdakan

a.
b.
c.
d.
e.

Penyederhanaan mekanisme pembahasan Timdu Kehutanan dan penggabungan


pembahasan dengan Tim Teknis BKPRN.
Penerapan status enclave/holding zone: bagi provinsi yang sudah mendapatkan
persetujuan substansi teknis dari Kemen PU, maka bagian wilayah provinsi
yang status kawasan hutannya belum dapat dipastikan waktu penyelesaiannya
ditetapkan sebagai holding zone. Dengan demikian, wilayah di luar holding zone
dapat segera diperdakan.
Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk memberikan
persetujuan substansi Raperda Rencana Detail Kab/Kota dapat dilakukan dengan
syarat antara lain:
Provinsi yang bersangkutan telah memiliki perda RTRW
Lebih dari limapuluh persen kab/kota dalam provinsi yang bersangkutan telah
diperdakan
Memiliki SDM dan tata laksana yang memadai
BKPRD sudah berfungsi secara efektif
Penyelesaian perda RTRW provinsi dan kab/kota disepakati diselesaikan tahun 2012.
Kualitas RTRW tetap menjadi prioritas meskipun percepatan dilakukan. Mekanisme/
SOP persetujuan substansi diberlakukan penuh sesuai pedoman. Kehadiran Tim
Teknis BKPRN sekurang-kurangnya lebih dari limapuluh persen.
Mendorong perwujudan SPM
Program perwujudan tata ruang dan RTH yang inklusif (diketahui publik)
Menyusun RPI2JM sebagai penjabaran RTRW dalam bidang infrastruktur
Menyiapkan langkah-langkah pengendalian dan mekanisme pengawasan serta
meningkatkan kuantitas dan kualitas PPNS di daerah sesuai kebutuhan
Sinkronisasi RPJPD dan RTRW daerah dalam acuan pelaksanaan program

Belum selesainya seluruh peraturan


perundangan bidang penataan ruang

a.

Kualitas SDM dalam penyusunan


rencana tata ruang

a.
b.

Pengembangan kapasitas ahli penataan ruang


Dibentuk Tim dari BKPRD untuk mengawal pasca penetapan perda RTRW

Penyediaan data peta dasar dalam


penyusunan rencana tata ruang

a.

Peningkatan kapasitas dan Pembinaan SDM terkait dengan kemampuan di bidang


peta dan GIS
Penyediaan fasilitas Geoportal dalam rangka sosialisasi perda RTRW
Pengoptimalan pengadaan citra satelit dalam konteks berbagi pakai
Fasilitasi validasi peta di daerah terkait RTRW antara PU, Bakosurtanal dan BKPRD
Provinsi, Kabupaten, dan Kota

b.
c.
d.

b.
c.
d.

Ketua Sidang,

Penyelesaian peraturan pemerintah tentang tata ruang kawasan pertahanan


keamanan dan peraturan pemerintah tentang tingkat ketelitian peta
Penyusunan pedoman Rencana Detail Tata Ruang selesai tahun 2011
Penyelesaian pedoman RPI2JM
Penyelesaian pedoman rencana rinci kawasan strategis nasional, provinsi, dan kab/
kota

Manado, 1 Desember 2011


Sekretaris,

Imam S. Ernawi

Winarni Monoarfa

Direktur Jenderal Penataan Ruang,


Kementerian Pekerjaan Umum

Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

13

Hasil Sidang Komisi 2


Tema
Pimpinan Sidang
Sekretaris
Hari/Tanggal
Waktu
Tempat
No.

:
:
:
:
:
:

KELEMBAGAAN PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG


Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan , BNPP
Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PU, Provinsi Sulawesi Utara
Rabu, 30 November 2011
14.30 WITA
Ruang Rapat Sidney Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado

Isu Strategis
Isu strategis yang dibahas:

Masih perlu penguatan peran dan
posisi BKPRN;

Perlunya penguatan hubungan
kerja BKPRN dan BKPRD;

Belum adanya pedoman
pelaksanaan peran masyarakat
dalam penataan ruang; dan

Kualitas SDM bidang penataan
ruang yang masih butuh
ditingkatkan.

Pada perkembangan diskusi, isu yang


menjadi fokus utama pembahasan
adalah perlunya penguatan
kelembagaan BKPRN.

Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut


a.
b.
c.

d.
e.

BKPRN tetap menjadi badan yang bersifat ad-hoc;


Perlu dilakukan penguatan terhadap Sekretariat BKPRN untuk membantu proses
perumusan pengambilan kebijakan;
Perlu penegasan Sekretariat BKPRN sesuai dengan Keppres Nomor 4 Tahun
2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional dan Sekretariat Teknis
Pelaksana yang menampung dan mengkoordinasikan masukan dari daerah/sektor
dan menjelaskan tugas harian yang melekat pada Kementerian yang mengurusi
penataan ruang;
Perlu dilakukan review Keppres Nomor 4 Tahun 2009 tentang BKPRN, terkait dengan
diusulkannya penambahan keanggotaan BKPRN dengan lembaga yang dipandang
perlu dalam hal penataan ruang; dan
Sekretariat baru BKPRN dapat merekrut tenaga ahli (bersifat temporer) dalam
rangka mendukung kinerja kelembagaan.

Manado, 1 Desember 2011


Sekretaris,

a/n Ketua Sidang,

Herman Koessoy

Made Suwandi

Kepala Bidang Tata Ruang


Dinas Pekerjaan Umum Prov. Sulut

Direktur Jenderal Pemerintahan Umum,


Kemendagri

Hasil Sidang Komisi 3


Tema :
Pimpinan Sidang :
Sekretaris :
Hari/Tanggal :
Waktu
:
Tempat :
No.
1

SINERGITAS KEBIJAKAN, RENCANA, DAN PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH


Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas
Bappeda Provinsi Sulawesi Utara
Rabu, 30 November 2011
14.30 WITA
Ruang Rapat Bangkok Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado

Isu Strategis
Kurang serasinya kebijakan,
rencana dan program, baik secara
vertikal maupun horizontal di
bidang penataan ruang serta antara
kebijakan, rencana dan program
nasional dan daerah.

Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut


a.

b.

c.

Penyerasian Kebijakan - Rencana - Program secara vertikal


Identifikasi permasalahan antar KRP secara vertikal
Pengujian konsistensi kebijakan, rencana dan program
Penyampaian hasil pengujian di forum Pokja BKPRN
Penyerasian Kebijakan Rencana - Program secara horizontal
Identifikasi potensi konflik KRP antar sektor
Koordinasi penyerasian KRP antar sektor
Pemantauan pelaksanaan hasil koordinasi penyerasian KRP antar sektor
Penyerasian Kebijakan Rencana Program antara nasional dan daerah
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan penataan ruang di daerah
Konsultasi lintas sektor untuk mendapatkan masukan yang komprehensif
Pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil Rakernas/ Rakerda/Rakor lainnya

Banyaknya peraturan perundangan


sektoral yang mengamanatkan
penyusunan Perda terkait penataan
ruang

Sinkronisasi peraturan daerah yang terkait tata ruang


Identifikasi substansi terkait tata ruang yang sama dan menjadi amanat dari
beberapa peraturan perundangan.
Fasilitasi penyiapan pedoman sinkronisasi peraturan dalam bentuk Surat Edaran
kepada Pemerintah Daerah

Masih banyaknya rencana


pembangunan daerah yang belum
terintegrasi dengan rencana tata
ruang

a.
b.

Percepatan penyusunan RTRW


Pendampingan
Klinik tata ruang (konsultasi)
Integrasi RTR dengan Rencana Pembangunan
Penyusunan mekanisme integrasi RTR dengan Rencana Pembangunan

Ketua Sidang,

Max H. Pohan

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan


Otonomi Daerah, Kementerian PPN/BAPPENAS

Manado, 1 Desember 2011


Sekretaris,

Conny

Bappeda Provinsi Sulawesi Utara

Hasil Sidang Komisi 4


Tema
Pimpinan Sidang
Sekretaris
Hari/Tanggal
Waktu
Tempat
No.
1

:
:
:
:
:
:

PENGELOLAAN PERMASALAHAN PEMANFAATAN RUANG


Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, BPN
Bappeda Provinsi Sumatera Selatan
Rabu, 30 November 2011
14.30 WITA
Ruang Rapat Singapore Grand Kawanua Convention Centre, Hotel Novotel Manado

Isu Strategis
Mekanisme penyelesaian
permasalahan pemanfaatan ruang di
tingkat nasional (Kawasan Strategis
Nasional) dan tingkat daerah
(Kawasan Strategis Provinsi/Kab/Kota)
a. Konflik pemanfaatan ruang antar
sektor

Hasil Kesepakatan dan tindak lanjut

a.1

a.2
b.

Konflik pemanfaatan ruang antar


pemerintahan (pusat-provinsikab/kota)

b.1

b.2

c.

Konflik pemanfaatan ruang antar


batas wilayah

Sinergitas penataan ruang


a. Belum sinerginya
pemanfaatan ruang antar
wilayah hulu dan hilir.
b. Belum efektifnya
pengendalian alih fungsi
lahan.

Kekosongan hukum untuk RTRW yang


sudah berakhir masa berlakunya

c.1
c.2

Pemetaan konflik pemanfaatan ruang antar sektor, berupa;


Identifikasi konflik pemanfaatan ruang antar sektor
Pembuatan peta jenis konflik pemanfaatan ruang antar sektor
Perlunya penguatan peran gubernur dalam rangka penyelesaian konflik
pemanfaatan ruang antar batas wilayah
Identifikasi dokumen-dokumen perencanaan (RAN/D-GRK, moratorium perubhan
kawasan hutan, RKP, RKPD, MDGs) yang ada (konflik), dengan melakukan
Penyusunan daftar dokumen perencanaan terkait
Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antar Pemerintahan, berupa;
Penyusunan pedoman penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antar
pemerintahan
Penyusunan RDTR dan peraturan zonasi.
Dekonsentrasi pengawasan terhadap ijin-ijin pertambangan yang dikeluarkan Kab/
Kota kepada Pemerintah Provinsi, dengan kegiatan;
penyusunan pedoman pelimpahan kewenangan kepada pemprov
penyusunan legalitas penetapan kewenangan Provinsi terhadap ijin-ijin
pertambangan
Peningkatan koordinasi dan mediasi antar wilayah, melalui Penyusunan pedoman
penyelesaian konflik pemanfaatan ruang antar pemerintah daerah
Percepatan penyelesaian batas wilayah

a. Peningkatan sinergitas pemanfaatan ruang yang mutualistik, dengan melakukan


Penyusunan pola dan mekanisme insentif/disinsentif.
b. Peningkatan efektivitas pengendalian alih fungsi lahan, dengan berupa;
Peningkatan efektifitas pengendalian alih fungsi LP2B
Pendataan LP2B

Pengaturan pemanfaatan ruang dalam rangka masa transisi, dengan kegiatan :


a. Identifikasi daerah yang sudah dan akan berakhir masa berlaku RTRW
b. Sosialisasi peraturan dan perundangan terkait RTRW

a/n Ketua Sidang,

Manado, 1 Desember 2011


Sekretaris,

Soetrisno

Regina Ariyanti

Staff Ahli Menteri Kehutanan


Bidang Revitalisasi Industri

Plt. Kepala UPTB Penataan Ruang Bappeda


Provinsi Sumatera Selatan

Dirjen Penataan Ruang memimpin sidang komisi 1 Rakernas

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

15

topik utama

Mencari Bentuk
Kemitraan
Oleh: Ir. Rido Matari Ichwan, MCP
Direktur Bina Program dan Kemitraan,
Ditjen Penataan Ruang , Kementerian PU

Dalam Penyelenggaraan
Penataan Ruang

Sesungguhnya apakah yang dimaksud dengan kemitraan,


peran kemitraan dalam penataan ruang, dan bentuk kemitraan
dalam penyelenggaraan penataan ruang melalui Jakstra kemitraan?
Kemitraan bukanlah hal baru dalam praktek
perencanaan tata ruang. Konsep kemitraan sudah sering
digunakan dalam pengadaan/pengelolaan infrastruktur
perkotaan melalui istilah kemitraan pemerintah swasta
(public private partnership). Dalam implementasinya,
kemitraan sudah dilakukan antara pemerintah-masyarakat,
maupun antara pemerintah-dunia usaha, misalnya dalam
kegiatan pengadaan ruang publik pada lahan terlantar di
kawasan perkotaan dan kegiatan kelompok kerja prakarsa
masyarakat untuk kota lestari (DJPR Kementerian PU, 2010).
Akan tetapi, apakah kegiatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai kemitraan atau hanya bentuk pelibatan/partisipasi
masyarakat saja?
Secara umum, pengertian kemitraan merupakan hubungan
atau jalinan kerjasama antar mitra (pihak-pihak yang
bekerjasama). Kemitraan dalam pembangunan bukan sekedar

16

buletin tata ruang | November - Desember 2011

aturan main yang tertulis dan formal atau suatu kontrak kerja,
melainkan lebih menunjukkan perilaku hubungan yang akan
saling membantu untuk mencapai tujuan bersama.
Kemitraan merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari
partisipasi. Melalui kemitraan, para pemangku kepentingan
tidak sekadar dilibatkan dalam suatu kegiatan, namun juga
menempatkan pihak-pihak tersebut dalam kesetaraan.
Sehingga, masing-masing pihak akan mendapat manfaat
yang seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Kemitraan dapat didefinisikan sebagai keterkaitan
yang seimbang dan sejajar serta kerjasama yang saling
menguntungkan antara pelaku-pelaku yang terlibat untuk
mencapai manfaat bersama. Dalam konsep kemitraan
tidak dikenal adanya yang dikalahkan atau yang dirugikan,
karena semua pihak akan mendapat manfaat sesuai dengan
kepentingan masing-masing.

Mengapa diperlukan kemitraan?

Kemitraan dalam penataan ruang merupakan upaya bersama


yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat serta
dunia usaha untuk secara bersama-sama mengembangkan
upaya yang saling terkait dan saling menguntungkan.
Kemitraan dalam penataan ruang menjadi semakin penting
karena aktivitas pemanfaatan ruang masih didominasi oleh
masyarakat dan dunia usaha, namun sebagian besar masih
belum sejalan dengan ketentuan-ketentuan dan kaidahkaidah penataan ruang.
Secara umum, tingkat pemahaman masyarakat mengenai
tata ruang relatif belum memadai, namun beberapa di
antara mereka sadar dan peduli terhadap tata ruang
di sekitarnya. Berbagai upaya komunikasi pun telah
dilakukan untuk menjaring aspirasi dan bekerja sama untuk
mengimplementasikan rencana tata ruang di lapangan,
namun hasilnya belum optimal.
Salah satu kendalanya adalah belum adanya peraturan atau
kebijakan yang mengatur mekanisme peran masyarakat, bila
ada pun ketentuan-ketentuan tersebut masih belum sampai

pada tataran operasional di daerah. Disisi lain, terbatasnya


dana pembangunan pemerintah menyebabkan pentingnya
peran dunia usaha karena kebutuhan sarana dan prasarana
yang terus meningkat dan kebutuhan dana investasi yang
sangat besar.
Sehingga, pemerintah perlu untuk melaksanakan
kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha dalam
hal penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan asas
yag telah ditetapkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang
penataan ruang. Kemitraan dalam penyelenggaraan
penataan ruang merupakan suatu solusi untuk meningkatkan
sinergi antar pelaku penyelenggaraan penataan ruang dan
mencegah atau mengurangi potensi konflik yang mungkin
terjadi pada saat implementasi suatu kebijakan. Dalam
artian, dengan memitrakan masyarakat dan dunia usaha
maka diharapkan akan memperluas akses terhadap informasi
tata ruang, meningkatkan kepedulian dan kesadaran
tentang pentingnya berperan serta dalam menata ruang,
serta meningkatkan kepekaan dan pemahaman terhadap
fenomena perkotaan.

Hukum Kemitraan dalam Penataan Ruang


Kontribusi pemerintah Landasan
Salah satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana tercantum pada
dalam kemitraan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah tercapainya
dunia usaha berupa kebersamaan dan kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang dengan
penyediaan lahan dan/atau melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dimana salah satunya adalah masyarakat.
memberikan konsesi .
Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan
peran masyarakat. Hal ini juga didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 68 tahun
2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang,
dimana masyarakat diberikan tempat sebagai pelaku utama penataan ruang yang
memungkinkan mereka untuk ikut serta mewujudkan ruang yang berkualitas.

Berdasarkan penjelasan di atas, peluang masyarakat lebih mengarah kepada peran


aktif pada setiap tahapan penyelenggaraan penataan ruang, yaitu dimulai dari
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Makna masyarakat
dalam hal ini bisa orang perseorangan, atau kelompok orang, dengan berbagai
latar belakang dan kepentingan, bisa dari sisi ekonomi, perlindungan alam atau
sosial budaya, dan lain sebagainya.
Selain dengan unsur masyarakat, kemitraan juga dilakukan antara pemerintah dan
dunia usaha. Pada umumnya, kontribusi pemerintah dalam kemitraan dengan dunia
usaha berupa penyediaan lahan dan/atau memberikan konsesi yang dimilikinya.
Sementara kontribusi dunia usaha berupa pendanaan. Kemitraan pemerintah
dan dunia usaha, umumnya, merupakan alternatif usaha yang ditempuh karena
keterbatasan instansi pemerintah terkait.
Untuk meningkatkan keterlibatan seluruh unsur pembangunan tersebut,
beberapa peraturan sudah menggariskan contoh kemitraan yang dapat dilakukan
oleh masyarakat dan dunia usaha, diantaranya yaitu: Pengembangan kerjasama
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

17

topik utama
kemitraan dengan masyarakat dalam meningkatkan penyediaan ruang terbuka
hijau publik (PP no. 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang);
meningkatkan keterlibatan seluruh masyarakat dalam penyelenggaraan penataan
ruang, meningkatkan pemanfaatan rencana tata ruang secara optimal dalam
mitigasi dan penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah dan
pengembangan kawasan, (renstra kementerian PU 2010-2014).

Kebijakan dan Strategi Kemitraan


Mengacu pada prinsip pelaksanaan kemitraan menurut
Kumorotomo (1999), disusunlah Jakstra (kebijakan dan
strategi) Kemitraan yang berfungsi sebagai pedoman dalam
penyusunan kebijakan teknis, perencanaan, pemrograman
kegiatan yang berada dan atau terkait di dalam Kemitraan
Penyelenggaraan Penataan Ruang dengan masyarakat
dan dunia usaha, baik oleh pemerintah nasional maupun
pemerintah daerah (Pemda). Tujuannya adalah untuk
mendukung perwujudan tujuan penyelenggaraan penataan
ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
Jakstra Kemitraan ini disusun dengan visi mewujudkan
kemitraan yang sehat, kokoh dan harmonis antara
pemerintah, masyarakat dan dan dunia usaha dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Untuk mencapai kondisi
tersebut maka dibuatlah misi: (1) Melakukan kemitraan
dengan masyarakat dan dunia usaha dalam pengembangan
kawasan yang bersifat strategis nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota; (2) Melakukan Kemitraan dengan
masyarakat dan dunia usaha untuk mempertahankan fungsi
lindung dan mendorong perwujudan ruang yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan di kawasan perkotaan
dan pedesaan; (3) Melakukan kemitraan dengan masyarakat
dan dunia usaha dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan
pengawasan penataan ruang; dan (4) Melakukan kemitraan
dengan dunia internasional dalam hal mengatasi isu-isu
global dan kerjasama penataan ruang.
Bila dijabarkan, kebijakan kemitraan ada tiga. Kebijakan
yang pertama, adalah mengembangkan pelembagaan
penyelenggaraan penataan ruang yang berbasis kemitraan
dengan masyarakat dan dunia usaha. Kebijakan ini
didukung dengan strategi-strategi, antara lain membangun
kesepahaman & kesepakatan semua pihak tentang
pentingnya penataan ruang, meningkatkan pelibatan
seluruh stakeholder dalam perumusan dan pelaksanaan
program kemitraan dalam penyelenggaraan penataan
ruang, meningkatkan kualitas SDM yang mampu

Jakstra Kemitraan ini disusun


dengan visi mewujudkan
kemitraan yang sehat, kokoh
dan harmonis antara pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha
dalam penyelenggaraan tata ruang.
menumbuhkembangkan kapasitas kelembagaan kemitraan
dalam penyelenggaraan penataan ruang, dan membangun
komunikasi dengan lembaga-lembaga internasional yang
berkiprah dalam isu-isu lingkungan dan penataan ruang.
Kebijakan yang ke dua adalah mendorong perwujudan
kawasan-kawasan strategis yang produktif di perkotaan dan
pedesaan berbasis kemitraan dengan masyarakat dan dunia
usaha. Seperti halnya kebijakan yang pertama, kebijakan
yang ke dua ini juga didukung oleh strategi-strategi,
yaitu menunjang pertumbuhan ekonomi pada kawasan
perkotaan yang didorong pengembangannya (kawasan
strategis), mendorong perluasan kawasan hijau perkotaan
dan mengurangi degradasi lingkungan, mempertahankan
kawasan-kawasan yang mempunyai nilai budaya tinggi,
mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan berbasis
agrobisnis (agropolitan), dan membantu mempertahankan
fungsi pertanian di perdesaan.
Sementara itu, kebijakan yang ke tiga atau yang terakhir adalah
mewujudkan kemitraan internasional guna peningkatan
kualitas penataan ruang nasional dan ikut serta menjawab isuisu global serta kerjasama penataan ruang dengan negara yang
berbatasan. Sedangkan strategi yang mendukungkebijakan
ini adalah berperan aktif dalam agenda-agenda global terkait
penataan ruang, menjalin kerjasama internasional untuk
meningkatkan alih pengetahuan dan teknologi di bidang
penataan ruang, dan melakukan kerjasama dengan negaranegara tetangga yang berbatasan langsung dalam rangka
mengoptimalkan fungsi-fungsi ruang di kawasan perbatasan.

Isu Strategis dan Tantangan Kemitraan


Seperti yang sudah disebutkan di atas, kemitraan dalam penataan ruang bukannya
belum pernah dilakukan sama sekali oleh pemerintah dengan masyarakat atau dunia
usaha. Namun kenyataannya, konsep ini belum terlaksana dengan benar dan efektif. Hal
tersebut bisa diatasi jika kita mengerti benar apa saja isu-isu strategis yang membuat
lemahnya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, juga dengan dunia usaha.
18

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Sering kali kemitraan dalam hal penataan ruang yang dilakukan pemerintah kurang
optimal karena kurangnya komunikasi dan lemahnya jejaring antara pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha. Hal ini menyebabkan pemanfaatan ruang yang tidak
efektif dan efisien serta menurunkan kualitas lingkungan.
Isu strategis yang ke dua dan perlu dipahami benar oleh pemerintah khususnya adalah
masyarakat dan dunia usaha mendominasi pemanfaatan ruang, yaitu sekitar lebih dari
70%. Sementara itu isu yang ke tiga adalah dan merupakan isu yang sering menjadi
masalah di berbagai bidang kurangnya koordinasi yang mengakibatkan tidak
terbentuknya sinergitas sehingga pemanfaatan ruang menjadi tidak terpadu.
Selanjutnya isu strategis yang ke empat yang juga penting adalah kurangnya
pemanfataan teknologi dan pengalaman negara maju dalam penyelenggaraan
penataan ruang di Indonesia. Sementara isu strategis yang terakhir adalah
terjadinya ketimpangan perkembangan kawasan di daerah perbatasan antar negara
mengakibatkan ketidakharmonisan pembangunan di kawasan perbatasan.

Kemitraan dalam hal tata


ruang sering kurang optimal
karena lemahnya komunikasi
dan jejaring antara
pemerintah, masyarakat
dan dunia usaha.

Mengerti akan adanya isu-isu strategis yang harus dibenahi untuk menjali kemitraan
yang kuat dan harmonis dalam penataan ruang, maka pemerintah ditantang untuk
melakukan terobosan-terobosan untuk mencapai visi kemitraan yang tertera di atas.
Beberapa tantangan kemitraan adalah: (1) Membangun komunikasi dan
jejaring yang kuat dan luas antara Pemerintah, masyarakat dan dunia usaha; (2)
Mengoptimalkan peran dunia usaha dan masyarakat dalam proyek proyek
pembangunan dan pengembangan wilayah/kawasan; (3) Menguatkan fungsi
kelembagaan kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan (4) Menjalin
kerjasama internasional dalam meningkatkan kualitas penataan ruang dan
mensinergikan penataan ruang dengan negara tetangga.

Bagaimana mewujudkan kemitraan?


Mengupayakan dan meningkatkan kemitraan dalam
penyelenggaraan penataan ruang bukanlah hal yang sulit
dilakukan. Asalkan masing-masing pihak dapat berkontribusi
secara seimbang dan menanggung risiko bersama. Kerjasama
tersebut harus dalam konteks saling menguntungkan,
dimana kesepakatan antara pihak-pihak terkait diwujudkan
dalam suatu kontrak. Kontrak tersebut merupakan ikatan
persetujuan yang mengatur perihal legalitas kerangka
kerja, dan kesetaraan hubungan sehingga terhindar dari
kesalahpengertian antara pihak-pihak yang terlibat dalam
kemitraan.
Selanjutnya, kemitraan diharapkan tidak saja merupakan
suatu jalan keluar bagi pemerintah dalam keterbatasan
pendanaan dan sumber daya lainnya, tetapi juga
mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha untuk
meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab
menjaga ruang.
Untuk menambah pengetahuan dan menampung
pengalaman dalam kemitraan, berikut ini upaya yang
dilakukan: (1) Melaksanakan penjaringan aspirasi
dalam rangka penyamaan persepsi tentang kemitraan
penyelenggaraan penataan ruang dengan para stakeholders;
(2) Menginventarisasi bentuk-bentuk kegiatan kemitraan

yang ada dan menyusun bentuk-bentuk kemitraan yang


disepakati; (3) Menyusun program kemitraan di bidang
penataan ruang sesuai kesepakatan bersama para
stakeholders.
Tulisan ini merupakan usulan yang disesuaikan dengan
dinamika yang terjadi dalam praktek perencanaan. Oleh
karena itu, masukan dan saran sangat diharapkan untuk
mewujudkan kemitraan dalam penataan ruang. Sehingga
kemitraan tidak sekedar menjadi jargon untuk melegitimasi
keterlibatan dan kerjasama semua pihak, namun mewujud
dalam ruang yang aman dan nyaman untuk ditempati
bersama.
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

19

topik utama

Kebijakan Percepatan
Persetujuan Substansi Teknis
Rencana Tata Ruang Wilayah

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) perlu dipahami sebagai acuan spasial dalam pelaksanaan
pembangunan nasional serta pentingnya implementasi RTRW tersebut secara konsisten
Dalam rangka menghadapi kondisi keterbatasan
ruang wilayah Nusantara, sementara di sisi lain kebutuhan
terhadap ruang semakin meningkat, maka diperlukan
pendekatan pengelolaan ruang wilayah nasional secara
bijaksanauntuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
dalam lingkungan yang berkelanjutan, yang kemudian kita
kenal dengan pendekatan penataan ruang.
Lahirnya UUPR pada tahun 2007 beserta peraturan
pelaksanaannya merupakan era baru dalam penyelenggaraan
penataan ruang di Indonesia. Rencana tata ruang sebagai
produk utama penataan ruang merupakan matra spasial
dalam pengembangan wilayah dan kota yang dibentuk
atas dasar kesepakatan semua pihak, baik sektor maupun
daerah. Atas dasar kesepakatan tersebut, maka rencana tata
ruang seyogyanya secara konsisten menjadi acuan dalam
pelaksanaan pembangunan di Indonesia.
Pelaksanaan pembangunan nasional tentunya tidak
akan hanya berjalan dengan implementasi Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)beserta rencana rincinya
pada tataran spasial yang makro. Oleh karena itu, untuk

20

buletin tata ruang | November - Desember 2011

mewujudkan tujuan pembangunan nasional danmendorong


investasi di segala bidang, diperlukan rencana tata ruang
pada tataran yang lebih operasional. Untuk itu, penetapan
RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/Kota beserta
rencana rincinya perlu menjadi perhatian kita bersama.
Selain perlu upaya untuk menetapkan RTRW Provinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota menjadi sebuah dokumen peraturan daerah
(perda), hal yang tak kalah pentingnya adalah implementasi
secara konsisten dari RTRW tersebut. Saat ini, kita diharapkan
tidak lagi hanya berada dalam tahap perencanaan, namun
secara simultan seyogyanya sudah masuk ke dalam tahap
implementasipengembangan wilayah yang sesuai dengan
rencana tata ruang. Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan
tertib tata ruang, diperlukan pengendalian pemanfaatan
ruang secara efektif dan berkeadilan.

Persetujuan Substansi Teknis RTRW


UUPR mengamanatkan adanya persetujuan substansi teknis
oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan dalam bidang
penataan ruang sebelum rancangan peraturan daerah
(raperda) tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota
ditetapkan. Khusus untuk RTRW Kabupaten/Kota, persetujuan
substansi diberikan oleh Menteri, apabila sebelumnya telah
mendapat rekomendasi dari Gubernur.
Untuk menyamakan pemahaman bersama, persetujuan
substansi teknis dilakukan oleh Menteri memiliki 4 (empat)
prinsip. Pertama, persetujuan substansi teknis RTRW Provinsi
dan RTRW Kabupaten/Kota dilakukan untuk menjamin
kesesuaian/konsistensi RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/
Kota dengan RTRWN dan kebijakan nasional bidang penataan
ruang. Persetujuan ini juga dimaksudkan agar RTRWN, RTRW
Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota saling terintegrasi satu
sama lain. Kedua, pendekatan self assessment yang harus
dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap RTRW Provinsi
maupun RTRW Kabupaten/Kota sangat diperlukan dalam
proses persetujuan substansi. Hal ini dimaksudkan agar
pemerintah daerah betul-betul bertanggung jawab atas
kualitas RTRW yang dihasilkan, serta sudah melalui proses
yang inklusif di daerah. Selanjutnya yang ketiga, perlu upaya
untuk terus mendorong peran Pemerintah sebagai pembina
dan pengawas teknis agar seluruh daerah mampu melakukan
self assessment secara efektif, dan yang keempat, persetujuan
substansi dilakukan apabila sudah melalui pembahasan dan
konsensus dalam forum BKPRN.
Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka persetujuan
substansi teknis RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten/
Kota merupakan fokus kita bersama sebagai anggota BKPRN,
dan juga tentunya pemerintah daerah sebagai penyelenggara
penataan ruang di daerah.

Persetujuan substansi teknis dilakukan


oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan dalam bidang penataan
ruang sebelum raperda tentang
RTRW Provinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota (sebelumnya telah
mendapat rekomendasi dari
Gubernur) ditetapkan.
Sebagaimana yang diamanatkan UUPR bahwa semua perda
tentang RTRW Provinsi disusun atau disesuaikan paling
lambat 2 (dua) tahun, dan perda tentang RTRW Kabupaten/
Kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun
sejak UUPR diberlakukan,serta mengingat pelaksanaan
amanat tersebut sudah terlewati, maka upaya yang perlu
dilakukan saat ini adalahupaya percepatan penetapan RTRW
tersebut. Di samping itu, seiring dengan kebutuhan daerah
akan RTRW yang lebih operasional sebagai dasar perizinan
pelaksanaan pembangunan, maka percepatan penetapannya
menjadi perda merupakan suatu keniscayaan yang harus
diperjuangkan oleh setiap daerah, sehingga paling lambat
pada tahun 2012 semua RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota
sudah di-perda-kan.
Walaupun tidak sesuai sepenuhnya dengan target waktu
penyelesaian RTRW seperti yang diamanatkan UUPR,
Gubernur, Bupati/Walikota yang pada Tahun 2010-2011
ini telah bekerja keras di dalam percepatan penyelesaian
RTRW. Sebagai gambaran, dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi,
hanya tinggal Provinsi Aceh yang masih dalam proses revisi
RTRW Provinsinya, dan Provinsi Riau sedang dalam proses
untuk persetujuan substansi. Sedangkan 31 (tiga puluh satu)
provinsi lainnya telah mendapatkan persetujuan substansi
teknis dari Menteri Pekerjaan Umum, namun diantaranya
terdapat 16 (enam belas) provinsi yang secara paralel
menjalani proses kehutanan, 4 (empat) provinsi yaitu Provinsi
Bengkulu, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Selatan,
dan Provinsi Gorontalo sedang dalam proses penetapan
perda di DPRD Provinsi, dan 11 (sebelas) provinsi sudah
menetapkan perda RTRW Provinsinya, yaitu Provinsi Sulawesi
Selatan, Provinsi Bali, Provinsi D. I. Yogyakarta, Provinsi Jawa
Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Banten, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Sumatera Barat.
Khusus untuk 2 (dua) provinsi terakhir ini yaitu Provinsi DKI
Jakarta dan Provinsi Sumatera Barat, sudah ada penetapan
perda oleh DPRD, dan saat ini sedang dalam proses evaluasi
Kementerian Dalam Negeri.

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

21

topik utama
Status Keseluruhan

Status Keseluruhan

96

1 1
Proses Untuk Persetujuan
substansi : Riau
Proses Revisi : Aceh
Telah Mendapat
persetujuan Substansi

395

Sudah Pembahasan
BKPRN : 80%
Proses Revisi : 20%

31

Status Pembahasan BKPRN


(395 Kab/Kota; 80%)

Status Persetujuan Substansi

16

Proses Kehutanan

Proses di DPRD Provinsi

Perda

129

266

11

Telah mendapatkan
persetujuan substansi:
54%
Perbaikan pasca sidang
BKPRN : 26%

Grafik Status Progres Penyelesaian


RTRW Provinsi

Lebih lanjut dari 491 kabupaten/kota, terdapat 96 (20%)


kabupaten/kota yang masih dalam tahap proses revisi di
daerahnya masing-masing, sedangkan 395 (80%) kabupaten/
kota sudah melakukan pembahasan BKPRN, diantaranya
terdapat 129 (26%) kabupaten/kota sedang melakukan
perbaikan pasca-sidang BKPRN, dan 266 (54%) kabupaten/
kota telah mendapatkan persetujuan substansi teknis dari
Menteri Pekerjaan Umum. Dari 54% kabupaten/kota tersebut,
terdapat 67 (14%) kabupaten/kota yang telah menetapkan
Perda RTRW Kabupaten/Kota-nya, sedangkan sisanya
sejumlah 40% Kabupaten/Kota masih harus kita dorong
untuk dapat segera mempercepat proses perda RTRW-nya.

Telah Mendapat Persetujuan


Substansi (266 Kab/Kota; 54%)

68

Perlu didorong
mempercepat proses
perda : 40%

198

Grafik Status Progres Penyelesaian RTRW


Kabupaten/Kota
22

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Perda : 14%

Percepatan Penyelesaian RTRW dalam mendukung Kebijakan


MP3EI 2011-2025
Dengan kondisi progres penyelesaian RTRW saat ini, kiranya upaya percepatan
merupakan langkah yang tepat untuk dilakukan dan hal tersebut dapat terlaksana
bersama-sama.
Berbagai kebijakan terkait percepatan penetapan perda tentang RTRW Provinsi
maupun RTRW Kabupaten/Kota tengah dilakukan. Upaya percepatan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat antara lain adalah percepatan persetujuan
substansi teknis RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota, dengan tetap mengawal
hingga RTRW tersebut dapat segera ditetapkan menjadi perda.
Percepatan persetujuan substansi teknis dalam rangka penetapan RTRW telah
dilaksanakanmelalui 4 (empat) upaya yang secara inklusif melibatkan berbagai
pihak. Pertama, melakukan pembinaan teknis kepada pemerintah provinsi,
kabupaten/kota, termasuk mendorong Gubernur untuk segera menetapkan perda
tentang RTRW Provinsi, baik melalui surat-menyurat maupun melakukan kegiatan
koordinasi secara langsung, serta dengan menguatkan peran Gubernur di dalam
mengkoordinasikan upaya percepatan proses perda RTRW Kabupaten/Kota,
khususnya bagi daerah yang telah mendapatkan persetujuan substansi teknis dari
Menteri Pekerjaan Umum sehingga dapat segera di-perda-kan.

Menteri PU dalam Rakernas BKPRN 201


menjelaskan Kebijakan Percepatan
Persetujuan Substansi RTRW

Upaya percepatan
yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat antara
lain adalah percepatan
persetujuan substansi teknis
RTRW Provinsi dan RTRW
Kabupate/Kota, dengan
tetap mengawal hingga
RTRW tersebut dapat segera
ditetapkan menjadi perda.

Kedua, melakukan fasilitasi pertemuan antara Sekretariat Daerah Provinsi dan


seluruh Sekretariat DaerahKabupaten/Kota serta SKPD Kabupaten/Kota,dalam
rangka mendorong percepatan penyelesaian RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/
Kota, terutama untuk mempercepat finalisasi raperda RTRW Kabupaten/Kota dan
proses Rekomendasi Gubernur. Selanjutnya, ketiga, menyelenggarakan harmonisasi
raperda tentang RTRW Provinsi dengan raperda tentang RTRW Kabupaten/Kota,
antara lain untuk mempercepat proses perbaikan RTRW pasca-sidang BKPRN
di daerahnya masing-masing, seperti terkait batasan wilayah dan sinkronisasi
kebijakan sektoral dan kewilayahan, dan yang terakhir, keempat, melakukan
pendampingan teknis percepatan penyelesaian seluruh RTRW Kabupaten/Kota
yang masih belum pada tahapan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan
Umum.

Lebih lanjut, dalam rangka implementasi UUPR dan proses


pengembangan wilayah yang berkelanjutan di tiap daerah,
disadari akan pentingnya upaya percepatan persetujuan
substansi teknis RTRW, sehingga dengan mekanisme dan
efektifitas proses internal di Kementerian Pekerjaan Umum
dan forum teknis BKPRN, yang selama ini telah berjalan dan
terus diupayakan perbaikannya, maka proses di tingkat Pusat
dijamin akan sangat efektif.
Saat ini telah ditetapkan 4 (empat) rencana tata ruang
kawasan strategis nasional (RTR KSN) sebagai rencana rinci
dan operasionalisasi dari RTRWN, yaitu Peraturan Presiden
(Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak,
Cianjur (Jabodetabekpunjur); Perpres No. 45 Tahun 2011
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

23

topik utama
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita); Perpres No. 55
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar (Mamminasata);
serta Perpres No. 62 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo
(Mebidangro). RTR KSN tersebut berfungsi sebagai penjabaran
RTRWN dan sebagai alat koordinasi pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, termasuk
acuan dalam rangka koordinasi investasi pembangunan
infrastruktur melalui Rencana Terpadu dan Program Investasi
Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM), serta dapat
dijadikan acuan perizinan, terutama apabila RTRW Provinsi
dan RTRW Kabupaten/Kota masih belum ditetapkan.

No

Sudut Kepentingan RTR KSN

RTR KSN merupakan dokumen yang


harus diperhatikan oleh pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota yang sedang melakukan
penyusunan RTRW Provinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota.

Jumlah Kawasan

No

RTR

Status

Ekonomi

24

Pulau Sulawesi

Penyampaian Ke Presiden

Lingkungan Hidup

22

Pulau Jawa-Bali

Finalisasi di Setkab

Sosial Budaya

Pulau Kalimantan

Finalisasi di Setkab

Pendayagunaan Sumber Daya Alam

16

Pulau Sumatera

Finalisasi di Setkab

dan Teknologi Tinggi


5

Kepulauan Maluku

Kesepakatan Gubernur

Pertahanan dan Keamanan

10

Kepulauan Nusa Tenggara

Kesepakatan Gubernur

Jumlah

76

Pulau papua

Kesepakatan Gubernur
Tabel Status RT Pulau/Kepulauan

Tabel Status RTR KSN

Selain RTR KSN, saat ini juga sedang diupayakan penetapan 4 (empat) Perpres
tentang rencana tata ruang (RTR) pulau/kepulauan sebagai perangkat operasional
dari RTRWN dan sebagai alat koordinasi pelaksanaan penataan ruang wilayah
provinsi di wilayah pulau tersebut. Keempat RTR Pulau tersebut meliputi RTR Pulau
Sumatera, RTR Pulau Jawa-Bali, RTR Pulau Kalimantan, dan RTR Pulau Sulawesi.
Dalam waktu dekat, RTR Pulau Sulawesi diharapkan sudah akan segera ditetapkan
menjadi Perpres.
Terkait dengan percepatan penyelesaian RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota,
RTR KSN tersebut merupakan dokumen yang harus diperhatikan oleh pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang sedang melakukan
penyusunan RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota, khususnya untuk daerah
yang berada pada cakupan wilayah RTR KSN tersebut.
Diharapkan seluruh pemangku kepentingan, baik Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah, maupun pemangku kepentingan bidang penataan ruang lainnya, untuk
membentuk komitmen bersama dalam melakukan percepatan penyelesaian perda
tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota agar pelaksanaan pembangunan
di Indonesia menjadi lebih terarah dan konsisten mengikuti rencana tata ruang.

Referensi:
- Bahan Paparan Menteri PU pada Panel Paparan Menteri di Rakernas Badan BKPRN, Manado, 30 November 2011

24

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Percepatan Penataan
Kawasan Hutan
Dalam Perencanaan Tata Ruang
Oleh: Bambang Soepijanto
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,
Kementerian Kehutanan

Tumpang tindih pola ruang hutan dengan pembangunan hanya salah satu masalah
dalam perencanaan tata ruang. Masalah-masalah tersebut bisa diselesaikan jika
penataan kawasan hutan dalam perencanaan tata ruang dipercepat.
Visi Pembangunan Kehutanan adalah memantapkan
kepastian status kawasan hutan serta kualitas data dan
informasi kehutanan, meningkatkan Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (PHPL) untuk memperkuat kesejahteraan
rakyat sekitar hutan dan keadilan berusaha, memantapkan
penyelenggaraan perlindungan dan konservasi sumberdaya
alam, memelihara dan meningkatkan fungsi dan daya dukung
daerah aliran sungai (DAS) sehingga dapat meningkatkan
optimalisasi fungsi ekologi, ekonomi dan sosial DAS,
serta meningkatkan ketersediaan produk teknologi dasar
dan terapan serta kompetensi SDM dalam mendukung
penyelenggaraan pengurusan hutan secara optimal.
Untuk menunjang hal tersebut, ada beberapa program
yang diprioritaskan oleh Kementerian Kehutanan,
antara lain: pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi
hutan dan peningkatan daya dukung DAS, pengamanan
dan pengendalian kebakaran hutan, konservasi
keanekaragaman hayati, revitalisasi pemanfaatan hutan
dan industri kehutanan, pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan, mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim sektor kehutanan, dan penguatan kelembagaan
kehutanan.

Periode Kebijakan dan Perubahan Luas Hutan


Sejarah kawasan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu telah
mengalami perubahan, sejalan dengan perubahan kebijakan
yang mempengaruhi status dan fungsi kawasan hutan.
Ada beberapa periode kebijakan kawasan yang berpengaruh
terhadap kondisi kawasan hutan Indonesia. Yang pertama
adalah periode berlakunya UU No. 5 tahun 1967 dimana
hutan register dan penunjukan parsial kawasan hutan
menjadi rujukan serta kawasan hutan yang dirujuk sesuai
dengan peta TGHK. Kemudian periode selanjutnya adalah
periode berlakunya UU No. 24/1992 dimana keberadaan
kawasan hutan sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, sehingga kawasan hutan sesuai TGHK
perlu dipadukan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi. Periode ke tiga adalah periode berlakunya UU No.
41 tahun 1999, dimana hasil paduserasi antara TGHK dan
RTRWP ditetapkan sebagai peta penunjukan kawasan hutan.
Sementara periode terakhir adalah periode diberlakukannya
UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 26 Tahun 2007, dimana
status dan fungsi kawasan hutan harus dikaji kembali
eksistensinya sesuai usulan perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRW Provinsi.
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

25

topik utama
Data sampai dengan bulan Juni tahun 2011 menunjukkan
bahwa luas kawasan hutan Indonesia adalah 130,68 juta ha,
terdiri dari hutan konservasi (26,8 juta ha), hutan lindung (28,8
juta ha), hutan produksi (32,6 juta ha), hutan produksi terbatas
(24,4 juta ha), dan hutan produksi konversi (17,9 juta ha).
Sedangkan dari data penutupan hutan, terdapat hutan
primer seluas 41,3 juta ha, hutan sekunder seluas 45,5 juta ha,
hutan tanaman seluas 2,8 juta ha, dan bukan berupa hutan
seluas 41,0 juta ha.

Luas kawasan hutan ini cenderung terus berkurang seiring


dengan penyelesaian kajian perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan hutan dalam rangka review RTRWP oleh Tim
Terpadu (Timdu). Dalam dinamika pembangunan saat ini,
kondisi eksisting kawasan hutan di lapangan sudah banyak
yang berubah menjadi permukiman permanen, fasum
dan fasos yang tidak mungkin lagi dipertahankan sebagai
kawasan hutan.

Hutan di dalam RTRWP

Posisi kawasan hutan dalam RTRWP akan mengisi pola ruang kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Pada posisi kawasan lindung, kawasan hutan akan memberikan
fungsi perlindungan dan konservasi. Dalam konteks kehutanan, maka pola ruang
yang seperti itu dijadikan kawasan hutan Lindung, kawasan hutan gambut, dan
kawasan suaka alam/kawasan pelestarian alam (KSA/KPA).
Sedangkan pada kawasan budidaya, kawasan hutan dikelola untuk mendukung
produksi hasil hutan (kayu, non-kayu dan jasa lingkungan) seperti yang dilakukan
pada setiap kawasan hutan produksi (HPT, HP, dan HPK) dengan tujuan produksi
komoditas kehutanan.
Dalam hal pemanfaatan, pola ruang kehutanan sering tumpang tindih dengan
pola ruang untuk pembangunan di luar kepentingan kehutanan pada kawasan
hutan (misalnya pertambangan, pertanian, perikanan, permukiman, dan atau
wilayah industri). Maka, peraturan di bidang kehutanan memungkinkan untuk
mengakomodir sebagian kawasan hutan untuk pembangunan non-kehutanan
tersebut melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.

Grafik Status Progres Penyelesaian


RTRW Kabupaten/Kota

Peraturan di bidang
kehutanan memungkinkan
untuk mengakomodir
sebagian kawasan hutan
untuk pembangunan nonkehutanan tersebut melalui
pemberian izin pinjam
pakai kawasan hutan.

Sedangkan untuk pembangunan non-kehutanan yang permanen dan mengubah


land use kawasan hutan (misalnya untuk transmigrasi atau pemukiman,
perkebunan, dan pertanian), pemanfaatan hutan dapat ditempuh melalui
mekanisme pelepasan kawasan hutan, atau tukar menukar kawasan hutan. Jika
terjadi tumpang tindih ruang untuk kepentingan pembangunan non-kehutanan
pada kawasan konservasi, maka pemanfaatan hutan secara selektif dapat ditempuh
melalui kolaborasi pengelolaan dengan pemangku kawasan konservasi.
UU No. 26 Tahun 2007 antara lain mengamanatkan agar Pemerintah Daerah
melakukan review RTRW-nya. Namun sejak diundangkan tahun 2007 hingga 2011,
baru 18 provinsi yang telah mendapat persetujuan substansi kehutanan, yaitu
pada tahun 2009 sebanyak lima provinsi, pada tahun 2010 sebanyak lima provinsi,
dan di tahun 2011 sebanyak delapan provinsi.
Sampai saat ini, persetujuan substansi kehutanan atas usulan perubahan kawasan
hutan terus mengalami kemajuan, yaitu delapan belas provinsi telah mendapat
persetujuan substansi kehutanan, enam provinsi diharapkan selesai pada tahun
2011 (Kalbar, Kaltim, Sulbar, Jambi, Babel, dan Riau), sedangkan sembilan provinsi
dalam proses Tim Terpadu dan diharapkan selesai pada tahun 2012.
Terkait dengan proses kajian Tim Terpadu atas usulan perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan hutan dalam review RTRWP, maka percepatan perlu dilakukan
dengan tetap mengedepankan sasaran kajian. Maksudnya adalah agar dapat
menjamin kepastian hukum dan usaha, serta mendorong pembangunan wilayah.

26

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Mekanisme persetujuan substansi kehutanan dapat dipercepat penyelesaiannya


dengan pelaksanaan kegiatan Timdu secara efektif dan efisien. Waktu kajian Timdu
sebenarnya dapat dipangkas atau dipercepat apabila seluruh kegiatan Timdu yang
terdiri dari kunjungan lapangan, pleno Timdu serta uji konsistensi dilakukan secara
kontinu dan intensif.
Tim Terpadu yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan sesungguhnya merupakan
alat yang di BKO-kan kepada Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu, kecepatan
penyelesaian usulan perubahan kawasan hutan tersebut tak lepas dari upaya
pemerintah provinsi dalam mendayagunakan Tim Terpadu.
Untuk mendukung percepatan penyelesaian substansi kehutanan dalam
kajian terpadu, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut:
a) perencanaan tahapan kegiatan yang mantap; b) penjadwalan yang ketat; c)
penyediaan sarana dan SDM serta kelengkapan data yang valid; dan d) dukungan
pendanaan yang memadai. Untuk itu diperlukan sinergi antara Kementerian
Kehutanan dengan pemerintah provinsi untuk implementasinya.
Di samping itu, perlu dilakukan standarisasi metodologi analisis Tim Terpadu
dengan memilah tipologi usulan perubahan kawasan hutan ke dalam dua tipologi,
yaitu: perubahan peruntukan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan
untuk mengakomodir permukiman, lahan garapan masyarakat, fasum/fasos,
fasilitas pemerintahan serta pengembangan wilayah dan perubahan fungsi antar
kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi biofisik (reskoring kawasan hutan).

Proses Persetujuan Substansi Kehutanan


Hasil Kajian Terpadu yang menjadi Kewenangan Menteri Kehutanan
dan yang Membutuhkan Persetujuan DPR RI
USULAN
GUBERNUR

SK TIM
TERPADU
Perubahan
Fungsi
KAJIAN

Non
DPCLS
Perubahan
Peruntukan
DPCLS

Penetapan
Perubahan KH
oleh Menhut

Penetapan
Perubahan KH setelah persetujuan
DPR RI

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

27

topik utama

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa proses persetujuan


substansi kehutanan bermula dari usulan gubernur yang
merupakan kompilasi dari usulan-usulan kabupaten/kota.
Jika terdapat usulan perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan, maka sesuai UU dibentuk Tim Terpadu oleh
Menhut untuk mengkaji usulan perubahan tersebut.
Selanjutnya, rekomendasi kajian Tim Terpadu dilaporkan
kepada Menhut. Rekomendasi perubahan kawasan hutan
yang tidak bernilai strategis sesuai dengan kewenangan
yang ada langsung ditetapkan oleh Menhut. Sedangkan
yang bernilai strategis ditetapkan setelah mendapat
persetujuan DPR. Setelah persetujuan DPR diberikan, Menhut
menerbitkan keputusan peta kawasan hutan provinsi yang
baru.
Dalam proses kajian terpadu, apabila dijumpai perubahan
peruntukan yang berdampak penting, cakupan luas, serta
bernilai strategis, maka perlu dilakukan kajian lingkungan
hidup strategis (KLHS).
Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi SDH, antara
lain: pertumbuhan penduduk yang berdampak pada
pertambahan permukiman, pemekaran wilayah yang
memerlukan lahan hutan untuk pembangunan infrastruktur,
fasum atau fasos. Di samping itu terdapat pula kebutuhan
lahan untuk investasi seperti untuk perkebunan, real estate,
dan adanya faktor kondisi riil kawasan hutan yang sudah
berubah fungsi.
Faktor-faktor tersebut mau tidak mau akan menentukan
sampai sejauh mana kebutuhan pembangunan tersebut
bisa dipenuhi dari kawasan hutan, yang pada akhirnya
memunculkan pertanyaan: berapa luas sesungguhnya
kawasan hutan yang harus dipertahankan?
Namun jika kita sepakat untuk memaknai fungsi dan peran
hutan sebagai penyangga kehidupan, maka semua pihak
akan sepakat pula tentang perlunya batas luas kawasan hutan
yang rasional untuk mendukung pembangunan sektor non
kehutanan, seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, dsb.

Semua pihak akan sepakat


tentang perlunya batas
luas kawasan hutan yang
rasional untuk mendukung
pembangunan sektor non
kehutanan.

28

buletin tata ruang | November - Desember 2011

HPK
Untuk mengakomodir pembangunan sektor non-kehutanan,
Kementrian Kehutanan telah mengalokasikan hutan produksi
yang dapat dikonversi (HPK). Seiring dengan penyelesaian
kajian perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dalam rangka review RTRWP oleh Tim Terpadu, HPK telah
banyak mengalami perubahan.
Terkait dengan hal itu, terdapat tiga skenario penyediaan
areal HPK di seluruh Indonesia: areal HPK pada Provinsi yang
tidak mengalami perubahan kawasan hutan (seluas 133.842
ha), areal HPK pada provinsi yang mengusulkan perubahan
kawasan hutan dan telah direkomendasi Timdu (seluas
7.576.500 ha), dan areal HPK yang diusulkan pemerintah
provinsi dan masih dalam kajian Timdu (seluas 6.859.241
ha). Maka total areal HPK sampai saat ini yang dapat
dialokasikan untuk pembangunan non-kehutanan adalah
seluas 14.569.583 ha.
Mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, maka
luas kawasan hutan minimal adalah 30% dari luas DAS, dan
atau pulau dengan penyebaran yang proporsional. Data
empiris dalam review RTRWP, menunjukkan kecenderungan
pengurangan kawasan hutan diprediksi sekitar 18-20% dari
luas kawasan saat ini. Dengan demikian, diskenariokan
luas kawasan hutan tetap sekitar 80% dari luas kawasan
hutan saat ini. Perkiraan pengurangan tersebut dialokasikan
untuk mendukung kebutuhan pembangunan di luar sektor
kehutanan, dan sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik.
Namun, pengurangan kawasan hutan tidak dilakukan
sekaligus tetapi secara bertahap sejalan dengan program
pembangunan yang direncanakan. Prosentase pengurangan
kawasan hutan tidak sama untuk setiap wilayah, tapi
disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, dan
dilakukan dalam kerangka mempertahankan daya dukung
dan daya tampung lingkungan.

KAJIAN
LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

UNTUK PENATAAN RUANG


Oleh: Drs Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
Deputi Tata Lingkungan,
Kementerian Lingkungan Hidup

RTRW dan kebijakan penataan ruang terkadang malah


berdampak negatif pada lingkungan hidup.
Untuk itu dibutuhkan kajian khusus
yang berasas pada lingkungan.

Lingkungan hidup harus dilindungi dan dikelola


dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara,
keberlanjutan, dan keadilan. Selanjutnya pengelolaan
lingkungan hidup harus dapat memberikan manfaat secara
ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan
prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi,
serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa
suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas
dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

Amanat KLHS dalam Peraturan Perundangan


Dalam UU 32/2009, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/program.

Dalam PP no. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan


Ruang (pasal 25, 27, 33, 35), disebutkan jika prosedur
penetapan RTRW nasional, propinsi, kabupaten, kota,
dilakukan melalui KLHS.
Selain itu ada pula peraturan lain terkait pembangunan
hutan yang diatur dalam PP, antara lain PP Nomor 40 Tahun
2006 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional, PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan PP Nomor
10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan.

Peran Tata Ruang bagi Lingkungan Hidup

Penataan ruang harus mengatur ruang sesuai fungsinya


(kawasan yang rentan/rawan lingkungan, memiliki fungsi
lingkungan yang tinggi, kaya keanekaragaman hayati,
diperuntukan menjadi fungsi lindung). Daya dukung dan daya
tampung harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan
pemanfaatan ruang. Perlu ada keterpaduan antar sektor dan
daerah yang meminimalisasi risiko atau dampak lingkungan
dan mempertimbangkan dampak perubahan iklim.
Ketentuan KLHS untuk Tata Ruang diatur di dalam UU 32/2009
Pasal 19 pasal 1, yaitu menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan keselamatan masyarakat. Sementara setiap
perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS dan
pasal 2 tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah, sebagaimana
yang dimaksud pada ayat 1 dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Urgensi KLHS

Degradasi lingkungan hidup bersifat kausalitas, lintas


wilayah dan antar sektor. Ini artinya diperlukan instrumen
pengelolaan lingkungan hidup lintas wilayah, antar sektor,
dan antar lembaga. Sumber masalah degradasi lingkungan
hidup berawal dari proses pengambilan keputusan. Oleh
karena itu, upaya penanggulangan degradasi lingkungan
hidup harus dimulai dari proses pengambilan keputusan
pula. KLHS adalah instrumen pengelolaan lingkungan
hidup yang diimplementasikan pada proses pengambilan
keputusan perencanaan pembangunan.
KLHS merupakan upaya integrasi aspek lingkungan hidup
yang telah berjalan selama ini adalah berada pada tataran
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

29

topik utama
Muatan UU 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH
Perencanaan
Rencana PPLH

Penetapan
Ekoregion
Inventarisasi
LH

Pemanfaatan

Pengandalian

Keberlanjutan
Proses
Keberlanjutan
Produktifitas
Keselamatan dan
Kesejahteraan
Masyarakat

Pencegahan
Penanggulangan
Pemulihan

RPPLH
Daya Dukung
Daya Tampung

KLHS
Tata Ruang
AMDAL
UKL - UPL
Instrumen Ekonomi

Baku Mutu LH
Kriteria Kerusakan LH
Perizinan
Anggaran Berbasis LH
Analisa Resiko LH
Audit LH

Pemeliharaan
Konservasi SDA
Pencadangan SDA
Pelestarian Fungsi
Atmosfer (mitigasi, adaptasi, lapisan
ozon dan hujan asam

Perubahan iklim
Rekayasa genetika
Sumber daya genetik

Pengawasan
&
Penegakan hukum

Pembinaan
Sanksi Administrasi
Sanksi Perdata
Sanksi Pidanav

PUU Berbasis LH
Ijin Lingkungan

KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP MENINGKAT


Peningkatan Kapasitas

Tersedianya Sarana dan Prasarana

Data dan Informasi

KLHS adalah instrumen pengelolaan


lingkungan hidup yang diimplementasikan Prinsip Dasar yang Dibangun KLHS
pada proses pengambilan keputusan Terdapat tiga prinsip dasar dalam penyusunan KLHS.
perencanaan pembangunan. Prinsip yang pertama adalah keterikatan, yaitu keterikatan
kegiatan proyek (melalui AMDAL). Akan tetapi amdal memiliki
keterbatasan untuk menjangkau masalah lingkungan yang
berada di luar skala proyek. Berbagai pengalaman yang ada
menunjukan bahwa banyak kebijakan justru berpotensi
menimbulkan implikasi tehadap lingkungan hidup.
Di beberapa negara, instrumen KLHS atau Strategic
Environmental Assessment sudah banyak digunakan untuk
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Dampak
negatif lingkungan pada tingkat proyek diharapkan dapat
lebih efektif diatasi atau dicegah, karena hasil KLHS akan
memberikan arahan implementasi.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya
pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/
kota, dan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) berpotensi
menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan.
Lebih lanjut, KRP berpotensi menimbulkan dampak kumulatif
berupa: (1) Meningkatkan risiko perubahan iklim, (2)
Mempercepat kerusakan Kehati, (3) Meningkatkan intensitas
banjir dan/atau longsor, (4) Menurunkan kualitas air dan
udara, (5) Mendorong konversi lahan, dan (6) Meningkatkan
jumlah orang miskin.

30

buletin tata ruang | November - Desember 2011

antar lembaga. Misalnya antar


lembaga pemerintah,
antara pemerintah dengan masyarakat, dan antar lembaga
masyarakat. Sektor Kegiatan dari prinsip keterikatan ini
dilakukan antara hulu dengan hilir, antara skala besar dengan
kecil atau menengah, antara sektor formal dengan informal.
Sementara prinsip yang ke dua adalah keseimbangan, yang
terjadi di antara produksi dengan kelestarian, antara fungsi
ekonomi dengan sosial, dan antara Kepentingan Individu
dengan bersama. Lalu prinsip yang terakhir adalah keadilan.
Yang dimaksud dengan keadilan di sini adalah distribusi
akses mengusahakan atau memanfaatkan dan distribusi hasil
yang diperoleh.

Beberapa tolok ukur bahwa sebuah kebijakan yang berkaitan


dengan tata ruang berdampak positif terhadap lingkungan
hidup antara lain: (1) Telah mengarusutamakan Linngkungan
Hidup dan keberlanjutan pembangunan dalam kebijakan,
rencana, dan program [KRP]; (2) Terdapat peningkatan kualitas
secara proses dan muatan KRP, sehingga dapat menurunkan
laju kerusakan dan pencemaran lingkungan serta menjamin
pembangunan berkelanjutan; (3) Ada keterlibatan seluas
mungkin para stakeholders mengingat luasnya rentang
KRP, pengambil keputusan, dan para pihak berkepentingan;
dan (4) Menjadi acuan bagi berbagai kegiatan yang ada di
bawahnya, karena ada arahan kebijakan yang jelas. Melalui
KLHS diharapkan akan dapat menghasilkan produk kebijakan
yang lebih baik dan benar.

topik lain

Menuju
Ketahanan dengan Kebijakan
Pangan Pertanahan
Oleh: Redaksi Butaru

Alih fungsi Lahan pertanian dan lahan


terlantar menjadi isu strategis yang perlu
dibenahi menuju terwujudnya ketahanan
pangan di Indonesia
Ketahanan pangan adalah masalah yang sangat
serius bagi sebuah negara. Dengan jumlah penduduk yang
terus bertambah, pemerintah menargetkan surplus beras
sebanyak 10 juta ton pada tahun 2014. Akan tetapi, meski
Indonesia selalu dikenal sebagai negara agraris, ternyata
untuk mencapai target ini bukanlah hal mudah. Lahan
pertanian yang semakin sempit akibat alih fungsi lahan
hanya salah satu kendalanya.
Di sisi lain, di banyak daerah di Indonesia, bahkan di daerah
permukiman pun sering ditemukan lahan-lahan terlantar
yang tak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Maka, demi
terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia, pemerintah
harus melakukan terobosan-terobosan untuk kembali
memaksimalkan sektor pertanian. Salah satunya adalah
dengan mengoptimalisasi lahan terlantar.

Selain itu faktor penyebab alih fungsi tanah pertanian


adalah peningkatan jumlah penduduk dan taraf kehidupan,
lokasi tanah pertanian banyak diminati untuk kegiatan nonpertanian, menurunnya nilai ekonomi sektor pertanian,
fragmentasi tanah pertanian, kepentingan pembangunan
wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian, dan
lemahnya peraturan dan penegakan hukum.
Lebih lanjut lagi, masalah pengelolaan pertanahan dalam
pengendalian alih fungsi tanah pertanian adalah belum
adanya peraturan perundangan yang secara khusus
mencegah alih fungsi tanah pertanian. Untuk itu diperlukan
penetapan tanah pertanian yang dilindungi. Saat ini, proses
administrasi pertanahan untuk tanah pertanian mengacu
pada arahan peruntukan dalam RTRW, dengan memberikan
persyaratan penggunaan dan pemanfaatan tanah (PP No.
16/2004 tentang Penatagunaan Tanah)
Luas Penggunaan Tanah Sawah Tahun 2009 (HA)

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN

Beberapa hal yang menjadi permasalahan sektor pertanian


terkait dengan pertanahan adalah terbatasnya sumber daya
tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian, sempitnya tanah
pertanian per kapita (900 m2/kapita), makin banyaknya
petani gurem (lebih dari 0,5 Ha per keluarga), tidak amannya
status penguasaan tanah (land tenure), dan cepatnya
konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

31

topik lain
Strategi Pengendalian dan Perlindungan Tanah Pertanian

Dalam upaya pengendalian dan perlindungan tanah pertanian, terdapat beberapa


strategi yaitu: Pertama, memperkecil peluang terjadinya konversi, dengan (1)
mengembangkan pajak tanah progresif, (2) meningkatkan efisiensi kebutuhan
tanah non-pertanian sehingga mengurangi tanah terlantar, (3) mengembangkan
prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan (misalnya rusun).
Ke dua, mengendalikan kegiatan konversi dengan: (1)membatasi konversi tanah
pertanian yang produktif, menyerap tenaga kerja dan memiliki fungsi lingkungan,
(2) mengarahkan konversi pada tanah kurang produktif , (3) membatasi luas
konversi dengan mengacu pada penyediaan pangan mandiri di kabupaten/kota,
(4) menetapkan Kawasan Pangan Berkelanjutan dengan insentif bagi pemilik tanah
dan Pemda setempat.
Ke tiga, dengan instrumen pengendalian konversi yaitu: (1) Instrumen yuridis
berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan sanksi yang sesuai
, (2) Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik tanah dan Pemda setempat ,
(3) Pengalokasian dana dekonsentrasi untuk merangsang Pemda melindungi
tanah pertanian, terutama sawah, dan (4) Instrumen RTRW dan perizinan lokasi
(Pertimbangan Teknis Pertanahan).

Kebijakan Prioritas Pengendalian Konversi

Berdasarkan strategi di atas, terdapat Kebijakan Pengendalian


Konversi yaitu : (1) Menyusun peraturan perundangundangan perlindungan tanah pertanian produktif (PP,
Perpres maupun UU), (2) Menetapkan zonasi tanah-tanah
pertanian berkelanjutan, (3) Menetapkan bentuk insentif
dan disinsentif terhadap pemilik tanah dan pemerintah
daerah setempat, (4) Mengintegrasikan ketiga ketentuan
tersebut dalam RTRW Nasional, provinsi dan kabupaten/
kota, (5) Membentuk Komisi Pengendali Tanah Sawah tingkat
nasional, provinsi dan kabupaten/kota, dengan keputusan
pada kepala daerah yang bersangkutan.
Pengendalian alih fungsi tanah pertanian secara sistematis,
berjenjang dan berkelanjutan perlu menjadi perhatian
semua pihak. Adapun strategi pengendalian alih fungsi tanah
pertanian antara lain penetapan peraturan perundangundangan tentang pengendalian tanah pertanian produktif,
penetapan zonasi perlindungan tanah pertanian abadi
berikut kebijakan pengelolaannya dan
implementasi
peraturan dan zonasi perlindungan tanah pertanian dalam
RTRW Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagai acuan
pengarahan lokasi pembangunan, perizinan dan administrasi
pertanahan.

Sinkronisasi Baku Sawah untuk Mendukung


Surplus Beras 10 juta ton pada tahun 2014
Dalam upaya mendukung surplus beras 10 juta ton pada
tahun 2014 telah dilakukan langkah-langkah yaitu dengan
Pembentukan Tim Koordinasi Pemantapan Luas Sawah (Surat
Keputusan Kepala BPN Nomor 354/KEP-100.18/IX/2011
tanggal 16 September 2011, dengan Tugas Pokok yaitu (1)
Memastikan luas baku sawah, sebaran dan klasifikasinya

32

buletin tata ruang | November - Desember 2011

serta pembaruan (updating) datanya, (2) Mengkaji penyiapan


langkah-langkah yang diperlukan dalam mendukung upaya
pencapaian surplus produksi beras dan penugasan tim teknis
dari BPN RI, Kementan dan BPS untuk mengkaji data spasial
dan tekstual untuk ditetapkan menjadi luas baku sawah
Pulau Jawa.

Dalam upaya pemantapan luas sawah baku nasional


dibutuhkan dukungan data dan infromasi dari kementerian
dan lembaga terkait, seperti BPN RI yang menyediakan data
luas baku Sawah Nasional Sebelum tahun 1980, tahun 1980,
tahun 1990, tahun 2000 dan tahun 2010) dengan input data
1 : 25.000 untuk Pulau Jawa dan 1 : 100.000 untuk luar Pulau
Jawa dan disajikan pada skala 1 : 250.000, Bakosurtanal
yang memiliki Peta Dasar dan Penutup Lahan/Rupa Bumi,
juga Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan,
BPS dan Kementerian dan lembaga lain yang memiliki data
citra, atau land cover.
Langkah dalam mendukung pencapaian surplus produksi
beras antara lain dilakukan oleh BPN-RI yang telah
mengeluarkan Peraturan Kepala BPN No. 2 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan, sebagai langkah
pencegahan alih fungsi Sawah. Selain itu juga diperlukan
Analisis Kesesuaian RTRW dengan persebaran sawah eksisting
dan meninjau kembali peruntukkan ruang yang tidak
sesuai, analisis pelepasan kawasan hutan dan rasionalisasi
kawasan kehutanan hasil Timdu dalam persetujuan substansi
Kemenhut untuk penetapan RTRW provinsi, dan analisis
pencetakan sawah baru atas dasar syarat tumbuh padi dengan
memperhatikan ketersediaan tanahnya.

Tanah terlantar produktif,


berpeluang untuk diberikan hak
atau dasar sesuai peraturan,
sementara tanah terlantar tidak
produktif berpotensi untuk
dialokasikan ke tujuan lain.
Karakter Lahan terlantar

Lahan-lahan seperti semak belukar dan alang-alang adalah


contoh lahan terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang
tidak sesuai dengan hak atau dasarnya, dan bisa bersifat
produktif atau tidak produktif. Tanah terlantar produktif,
berpeluang untuk diberikan hak atau dasar sesuai peraturan,
sementara tanah terlantar tidak produktif berpotensi untuk
dialokasikan ke tujuan lain.

Grafik Status Progres Penyelesaian


RTRW Kabupaten/Kota

No.

Pulau

Jenis Sawah

Total

Irigasi (Ha)

Non Irigasi (Ha)

Ha

Sumatera

1.850.142

548.574

2.398.716

29,31

Jawa*)

2.535.555

986.049

3.521.604

43,03

Bali

75.830

173

76.003

0,93

Nusa Tenggara

176.873

108.979

285.852

3,49

Kalimantan

230.470

707.137

937.607

11,46

Sulawesi

614.466

272.035

886.501

10,83

Maluku

15.666

6.097

21.763

0,27

Papua

29.751

26.089

55.840

0,68

5.528.753

2.655.133

8.183.886

100

Nasional

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN TERLANTAR


Sering kita menjumpai semak belukar atau alang-alang di
perjalanan atau mungkin tak jauh dari tempat tinggal kita.
Semak belukar dan alang-alang memiliki ciri-ciri hampir
sama, yaitu kesuburan tanah yang rendah. Lahan semacam ini
menjadi lahan kritis akibat salah pengolahan. Tapi sering pula
lahan-lahan seperti ini memang sengaja tidak diusahakan
karena alasan tertentu. Salah satunya adalah untuk investasi
jangka panjang, khususnya jika di pemilik tanah sedang
berspekulasi dengan harga lahan tersebut di masa yang akan
datang.

Menurut PP No. 11 tahun 2011, tanah terlantar terkait


dengan tujuan yang dinyatakan dalam Hak atau Dasar yang
diberikan sehingga dapat berupa semak belukar atau alangalang yang tidak produktif atau dapat produktif seperti karet,
perumahan, dst. Hal ini dapat terjadi karena kesuburan tanah
rendah, kesesuaian terbatas, atau disengaja karena tanah
baik jika dipakai untuk tujuan lain. Keperluan ekonomis
jangka pendek atau panjang, misalnya.
Menurut informasi dari Badan Pertanahan Nasional
(September 2011), terdapat tanah terlantar seluas 7,3 juta
hektar yang dipastikan berupa tanah yang subur dan berada
di luar tanah hutan. Tanah-tanah terlantar ini merupakan
tanah negara yang mencakup lahan yang sudah ada haknya
atau dasar penguasaannya. Lebih lanjut, dari sebanyak 7,3
juta hektar lahan terlantar itu, sebanyak 1,9 juta merupakan
hak guna usaha (HGU) perkebunan.
Sementara itu data BPN (2008) menunjukkan daerah tiga
besar tanah terlantar terletak di Propinsi Sulsel 1.277.257
hektar, Propinsi Kalteng 1.140.048 hektar, dan Propinsi
Riau 1.121.613 hektar. Adapun kebanyakan lahan terlantar
merupakan lahan perkebunan.

Kebijakan Pemanfaatan Lahan Terlantar

Dalam PP No. 11 tahun 2011, diatur tentang Penertiban


dan Pendayagunaan Tanah Terlantar pada pasal 2 yang
menyatakan, Tanah yang diberi hak oleh Negara (Hak
Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak pengeloaan atau dasar
penguasaan): tidak usahakan, tidak digunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya.
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

33

topik lain

Sedangkan dalam pasal 8 diatur tentang peringatan


untuk pemilik tanah terlantar. Peringatan pertama akan
disampaikan dalam kurun waktu 1 bulan kepada si pemilik
tanah agar tanahnya itu dimanfaatkan. Jika pada bulan
pertama peringatan ini diacuhkan, maka tanah ini masuk
pada tahap 1 yaitu diusulkan menjadi tanah terlantar.

Tanah terlantar di wilayah Kalimantan Tengah

Selanjutnya peringatan ke dua akan disampaikan pada satu


bulan berikutnya. Pada tahap ini, setelah tanah dinyatakan
status quo sesuai pasal 8 dan 12, tanah telah ditetapkan
sebagai tanah terlantar. Peringatan terakhir atau ke tiga
dilakukan pada satu bulan berikutnya lagi. Tahap ini dianggap
tahap akhir. Maka jika pemilik tanah belum menghiraukan
peringatan pemerintah, tanahnya akan dikuasai langsung
oleh negara.

Kalimantan tengah adalah daerah yang merupakan wilayah


dengan tanah terlantar No. 2 terbesar di Indonesia (data BPN)
--- sekitar 1,3 juta Ha.
Grafik Status Progres Penyelesaian
RTRW Kabupaten/Kota

Optimalisasi pemanfaatan Kendala yang dihadapi


berencana memanfaatkan tanah terlantar antara lain untuk masyarakat
lahan dapat dilakukan Pemerintah
dalam rangka reformasi agraria dan kepentingan strategi negara dan pemerintah,
dengan penggunaan di antaranya untuk ketahanan pangan, ketahanan energi, dan pengembangan
teknologi informasi perumahan rakyat. Sementara untuk cadangan umum negara, tujuannya antara
spasial, yang diawali lain adalah untuk relokasi masyarakat jika terjadi bencana, relokasi masyarakat jika
dengan pencarian lahan ada keperluan penting, kepentingan hankam dan pemerintah.
yang tersedia dan dapat
pemetaan ini masih kasar, tapi jika hal ini dilakukan, ada sekitar 2,8 juta hektar
bersumber dari tanah Walau
tanah terlantar yang bisa dimanfaatkan. (Tanah-red) Ini akan diserahkan kepada
terlantar yang tersedia petani, kata Kepala BPN dalam jumpa pers pada Hari Agraria Nasional (24/9/2010).
di dalam dan luar Akan tetapi penertiban tanah terlantar membutuhkan waktu. Apalagi karena data
kawasan hutan. yang dimiliki kasar dan tidak memiliki standar. Yang cukup melegakan adalah
sebagian data mudah diakses.
Kegiatan penertiban tanah terlantar, baik di luar kawasan hutan maupun
dalam kawasan hutan, perlu dipercepat. Dalam penentuan alokasi lahan untuk
peruntukan spesifik, kondisi lokal, regional dan nasional harus diperhitungkan
secara bersamaan (bukan parsial). Optimalisasi pemanfaatan lahan dapat dilakukan
dengan penggunaan teknologi informasi spasial, yang diawali dengan pencarian
lahan yang tersedia dan dapat bersumber dari tanah terlantar yang tersedia di
dalam dan luar kawasan hutan. Untuk memudahkan alokasi tanah yang spesifik,
tentu saja diperlukan data yang baik dan akurat.
Referensi:
-Bahan Paparan Kebijakan Pertahanan dalam Ketahanan Pangan, Direktorat Penatagunaan Tanah Badan
Pertanahan Nasional, Oktober 2011
-Bahan Paparan Sinkronisasi Luas Baku Sawah untuk Mendukung Surplus Beras 10 Juta ton tahun 2014: , Tim
Koordinasi Pemantapan Luas Sawah, Kementerian Kehutanan
-Bahan Paparan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Terlantar, Dr Baba Barus, MSc, Direktur Riset dan Pelatihan P4W,
LPPM IPB

34

buletin tata ruang | November - Desember 2011

HARI TATA RUANG-WORLD TOWN PLANING DAY 2011

Dialog Hijau
tentang Masa Depan
Terciptanya Kota Hijau di masa depan sangat bergantung
pada kepedulian masyarakat. Dialog Interaktif-Future Green
City yang diadakan sebagai puncak peringatan
Hari Tata Ruang 2011 merupakan upaya untuk
meningkatkan kepedulian semua pihak.

Salah satu rangkaian kegiatan Hari Tata Ruang 2011


adalah Dialog Interaktif Future Green City. Kegiatan yang
diadakan pada tanggal 12 November 2011 dan berlokasi di
Plasa Selatan Senayan ini adalah kegiatan tahunan Direktorat
Jenderal Penataan Ruang (DJPR), Kementerian PU.
Persiapan acara dari konsepsi hingga pelaksanaan dilakukan
dalam kurun waktu kurang enam bulan dan mengusung
tema Future Green City sebagai bentuk dukungan terhadap
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang sedang
menjadi isu strategis Ditjen Penataan Ruang.
Rangkaian acara ini diawali dengan kegiatan Call For Act
yakni pengumpulan karya-karya generasi muda yang peduli
lingkungan untuk dilombakan dan diberi kesempatan
mempresentasikan hasil karyanya. Karya-karya tersebut
dapat berupa Poster, Buku Saku, Video, Foto dan lainnya
dengan syarat bertema green.

Logo Kegiatan Call For Act

Setelah melalui proses penjurian, terpilih lima karya peserta


yang menurut para juri adalah karya yang menarik, kreatif
dan inovatif. Antara lain adalah Tim dari Fakultas Biologi
Universitas Gajah Mada dengan judul Taman Edukasi,
Krispitoyo dari Forum Arsitek Medan dengan judul Gang Ban.
tong.seng, Annisa Wibi dan Kandi S. dari Komunitas Sahabat
Kota Peta Hijau Bandung, Niken Prawestiti dari Peta Hijau
Jakarta serta yang terakhir Bambang Sutrisna dkk, dari Teens
Go Green.
Beberapa contoh karya dari peserta

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

35

topik lain
Dialog Interaktif Future Green City ini juga dihadiri dari
beberapa wakil dari negara lain dan juga menghadirkan
beberapa narasumber yang sangat peduli akan lingkungan
sekitarnya. Narasumber tersebut adalah Sofian Sibarani,
Nirwono Joga dan Dik Doank. Selain mereka ada pula NGO,
komunitas pecinta lingkungan dan masyarakat peduli
lingkungan.
Acara ini diawali oleh penampilan musik kreatif dari Kandang
Jurank Doank , yang kemudian dibuka oleh Dirjen Penataan
Ruang Ir. Imam S. Ernawi MCM, M.Sc. Dialog sesi pertama
dimulai dengan narasumber Direktur AECOM Sofian Sibarani
dan Dik Doank sebagai artis peduli lingkungan. Secara garis
besar paparan dari Sofian Sibarani bercerita tentang posisi
kualitas kota besar di Indonesia dibandingkan dengan dunia
serta solusi menghadapi kompleksnya permasalahan di
perkotaan. Kemudian dilanjutkan dengan Dik Doank yang
bercerita mengenai sebuah wadah bagi masyarakat untuk
belajar banyak ilmu, menjadi manusia yang lebih baik dan
cinta akan lingkungan sekitarnya.

Aksi Musikal dari Kandang Jurank Doank

Acara ini juga diisi oleh presentasi lima karya para pemenang
Call For Act. Setiap sesi dialog ini diakhiri dengan diskusi
tanya jawab seputar materi paparan dari masing-masing
narasumber atau presentator.
Ada beberapa hal yang cukup menarik pada acara ini, antara
lain adalah bentuk komitmen bersama dari pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat yang dituangkan melalui kain
batik berisi tulisan, kritik, masukan dan saran untuk kota hijau
yang produktif dan berkelanjutan.

Acara ini merupakan bentuk


dukungan terhadap Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
yang sedang menjadi isu strategis
Ditjen Penataan Ruang.

Komitmen Generasi Muda tertuang dalam bentuk batik


36

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Pemberian Cinderamata kepada Narasumber


oleh Dirjen Penataan Ruang

Acara Dialog Interaktif Future Green City ini ditutup oleh


Setditjen Penataan Ruang, Dr.Ir. Ruchyat Deni Dj, M.Eng.
Kemudian peserta Dialog Interaktif baik presentator maupun
peserta yang aktif dalam sesi dialog diberikan sebuah plakat
sebagai bentuk apresiasi terhadap partisipasi mereka yang
turut berkontribusi dan aktif mensukseskan acara ini.
Sebagai puncak acara, dilakukan penandatanganan
bersama pernyataan dukungan mewujudkan kota hijau
bersama yang isinya antara lain: (1) Siap memberikan
kontribusi dalam mewujudkan Kota Hijau masa depan yang
berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang
ramah lingkungan, peningkatan kualitas, kuantitas dan
aksesibilitas ruang terbuka hijau, peningkatan kualitas udara
dan air, pengurangan sampah dan limbah, pemanfaatan
energi secara cerdas, inovatif dan ramah lingkungan,
pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan,
pengembangan bangunan hijau, peningkatan peran
komunitas hijau dan pengembangan jejaring kerjasama
dengan para pemangku kepentingan; (2) Turut berperan aktif
mewujudkan kota hijau sesuai dengan peran, potensi dan
kemampuan masing-masing baik sebagai individu maupun
bagian dari komunitas, melakukan kegiatan-kegiatan nyata
yang cerdas, inovatif dan kreatif di lingkungan masing-masing;
dan (3) Siap menjadi pelopor perubahan dengan mengajak dan
mendorong kelompok atau komunitas generasi muda lainnya
untuk turut memberikan kontribusi positif dalam mewujudkan
kota hijau masa depan yang berkelanjutan untuk Indonesia
yang lebih baik.

LAIN JEMBATAN ORESUND,


LAIN JEMBATAN SELAT SUNDA

Lesson Learned Penerapan KLHS

na
Renca

Oleh: Melva E Marpaung


Direktorat Penataan Ruang Wilayah Tarunas,
Ditjen Penataan Ruang, Kemen PU

Bukan tidak mungkin


kerusakan dan pencemaran
lingkungan berasal dari
kesalahan pada tahap
perencanaan. Ini mengapa
KLHS (Kajian Lingkungan
Hidup Strategis) menjadi
instrumen jitu dalam
suatu perencanaan atau
pembangunan.

Dalam dua dekade terakhir, kerusakan sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan di Indonesia boleh dikatakan terjadi begitu cepat, melampaui
kemampuan kita untuk mencegah dan mengendalikan degradasi sumber daya
alam dan lingkungan.
Faktor kelembagaan melalui kebijakan dan rencana atau program (KRP) yang selama
ini cenderung bias ekonomi ditengarai menjadi salah satu penyebab terjadinya hal
tersebut. Lingkungan hidup cenderung diposisikan sebagai penyedia sumber daya
alam tanpa dipikirkan mempunyai batas-batas daya dukung tertentu.
Salah satu jalan keluar yang dipandang efektif untuk mengatasi masalah tersebut
adalah suatu tindakan strategis yang dapat menuntun, mengarahkan dan
menjamin lahirnya kebijakan, rencana dan program-program yang secara inheren
mempertimbangkan efek negatif kebijakan tersebut terhadap lingkungan dan
menjamin keberlanjutan suatu lingkungan. Tindakan strategis yang dimaksud
adalah institusi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic
Environmental Assessment (SEA). (KLH: 2009)

Analisa Lingkungan dan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis)


Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah
satu produk penting modernisasi ekologi era tahun 1990an. KLHS merupakan insitutusi baru yang dibentuk untuk
memperbaiki politik dan tata kelola lingkungan hidup,
dengan fokus utama mengintegrasikan pertimbangan
lingkungan pada aras (level) pengambilan keputusan yang
bersifat strategis, yakni pada aras kebijakan, rencana dan
program pembangunan.
Berdasarkan buku atau laporan yang dikeluarkan oleh
Kementerian LH, telah banyak informasi terkait definisi,
tujuan, manfaat dan sasaran dibutuhkannya KLHS dalam
penyusunan kebijakan, rencana dan program terkait
pembangunan.

Environmenal assessment assumens that It is possible


to set up different ways (alternatives) how to reach the
desired goal and then to asses these ways to see which is
the best from an environmental point-of-view.
Yang menjadi bahan diskusi hangat di kalangan para
perencana terutama yang terkait dengan penyusunan
rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan,
serta rencana pembangunan kawasan belakangan ini
adalah pendekatan (kelembagaan) dan prosedur yang mana
yang digunakan, mengingat ada empat pendekatan dan
tiga prosedur yang hingga saat ini telah disusun sebagai
refleksi atas adanya perbedaan dalam menyikapi peraturan
perundangan.
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

37

topik lain
Empat pendekatan yang dimaksud adalah (Pedoman KLHS:
2009) :
a. KLHS dalam Kerangka Dasar AMDAL (EIA Mainframe),
yaitu pola KLHS secara formal ditetapkan sebagai bagian
dari peraturan perundangan AMDAL. KLHS yang tumbuh
dalam kerangka kelembagaan semacam ini disebut sebagai
EIA Mainframe karena menggunakan pendekatan yang
menyerupai AMDAL.
b. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan
(Environmental Appraisal Style). Pola kelembagaan semacam
ini terbentuk karena terkait dengan proses pengambilan
keputusan di tingkat atas yaitu di parlemen atau kabinet.
Model ini juga disebut sebagai Environmental Appraisal,
dengan tujuan memastikan keberlanjutan lingkungan
(Environmental Sustainability Assurance).
c. KLHS sebagai Kajian Terpadu atau Penilaian Keberlanjutan
(Integrated Assessment/Sustainability Appraisal). Dalam
pendekatan ini KLHS ditempatkan sebagai bagian dari
kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis
dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.
d. KLHS sebagai pendekatan untuk pengelolaan berkelanjutan
sumber daya alam (Sustainable Resource Management).

Dalam pendekatan ini KLHS diaplikasikan dalam kerangka


pembangunan berkelanjutan dan dilaksanakan sebagai
bagian yang tak lepas dari hierarki sistem perencanaan
penggunaaan lahan dan sumber daya alam atau sebagai
bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumber daya alam.
Berdasarkan pendekatan tersebut, terdapat tiga prosedur
KLHS yang disusun oleh institusi yang berbeda, yaitu:
a. KLHS dengan Kerangka Dasar Amdal, yang meliputi
penapisan, pelingkupan, dokumen KLHS, partisipasi
masyarakat, konsultasi, pengambilan keputusan,
pemantauan dan tindak lanjut.
b. KLHS sebagai Penilaian Keberlanjutan Lingkungan, yang
meliputi penapisan awal, analisa efek lingkungan, lingkup
dan karakter efek potensial, kebutuhan penanggulangan
efek, lingkup dan karakter efek residual, tindak lanjut, dan
kepedulian masyarakat.
c. Kajian Terpadu untuk Penilaian Keberlanjutan yang meliputi
identifikasi masalah, penetapan tujuan yang hendak dicapai,
pengembangan alternatif atau pilihan KRP untuk mencapai
tujuan, analisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan
hidup dari KRP, bandingkan manfaat dan kerugian dari
setiap alternatif KRP yang ada, pemaparan bagaimana
pemantauan dan evaluasi diimplementasikan.

Penerapan KLHS pada Jembatan Oresund

Penerapan KLHS pada Rencana Pembangunan Jembatan


The Oresund yang menghubungkan wilayah Laut Swedia
dan Denmark dapat memberi wawasan lebih luas terkait
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Tata
Ruang Kawasan, sektor dan mega proyek di Indonesia, seperti
pembangunan Jembatan Selat Sunda dan yang lainnya,
khususnya tentang peran penerapan KLHS dalam proses
perencanaan dan pembangunannya.
Jembatan Oresund adalah jembatan yang menghubungkan
dua negara Skandinavia (Swedia dan Denmark) di selat
Oresund (lebih jauh lagi antara Eropa Daratan dengan
Skandinavia). Jembatan ini mulai dibangun pada 1995
sampai 14 Agustus 1999, dan diresmikan pada 2 Juli 2000.
Jembatan ini menghubungkan dua area metropolitan, yaitu
Malmo (Swedia) dan Copenhagen (Denmark).
Jembatan ini mempunyai empat lajur jalan raya dan dua lajur rel
kereta api dengan panjang kurang lebih 17 km, yang terdiri dari
jembatan sepanjang 7.845 m, pulau buatan (aritificial peninsula)
sepanjang 4.055 m dan terowongan (immersed tunnel) sepanjang
4.050 m. Hal ini yang membuatnya menjadi jembatan terpanjang di
Eropa untuk kategori jembatan yang mengkombinasikan jalan raya
dan rel kereta api. Di ujung jembatan yang berada di sisi Denmark,
dibuat pulau buatan bernama Peberholm. Pulau ini mempunyai
panjang dan lebar kurang lebih 4000 x 500 meter persegi.
Pembangunan jembatan ini merupakan visi dan ide lama
yang memakan waktu 100 tahun. Telah banyak laporan dan

38

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Lokasi Jembatan Oresund (Swedia dan Denmark)

One of the advantages of Strategic


Environemntal Assesment is
a more rational and structured
decision-making or planning
kajian dihasilkan sejak tahun 1950 hingga 1970-an. Kerjasama
bilateral Swedia dan Denmark dalam rencana pembangunan
jembatan ini bahkan telah ditandangatangani tahun 1973,
akan tetapi tidak diratifikasi oleh Denmark. Banyak industri
besar antara lain perusahaan Volvo pun turut melakukan lobi
mengingat jembatan ini akan menyelesaikan missing link
terkait pasar atau jaringan di Eropa.
Akhirnya pada tahun 1991 kerjasama bilateral ini ditandatangani,
dan pada Agustus 1993 mulai dilakukan pembangunan pada
sisi Denmark. Satu tahun berikutnya (1994) kerjasama disetujui
oleh pihak Denmark dan SEA atau KLHS dipublikasi. Pada tahun
2000, jalur tetap (fixed link) dibuka.

Berdasarkan pengalaman penyusunan Rencana Pembangunan


Jembatan Oresund, disebutkan bahwa penerapan KLHS pada
penyusunan rencana tersebut memiliki manfaat, yaitu: (1)
diperoleh sebuah evaluasi yang sistematis dari konsekuensi/
dampak dari proyek, kebijakan, program atau rencana yang
fokus pada lingkungan/berkelanjutan; (2) adanya evaluasi
dari alternatif penting, apakah hal ini dapat dilakukan dengan
cara terbaik, atau sebaliknya; (3) kita bisa melihat tradeoff pembangunan jembatan secara jelas, pihak mana yang
mendapat keuntungan dan pihak mana yang harus berkorban,
(4) KLHS menjadi instrumen pengambilan keputusan atau
proses perencanaan yang rasional dan terstruktur.

Akan tetapi penerapan KLHS pada rencana pembangunan


jembatan ini bukannya tidak menemui masalah sama
sekali. Beberapa masalah dalam penerapan KLHS pada kasus
ini antara lain: ruang lingkup penilaian atau kajian yang
sangat terbatas, tidak dipertimbangkannya alternatif dalam
pelaksanaannya, lebih terfokus pada informasi yang tersedia
tanpa menginginkan adanya perubahan dan perbaikan
terhadap proposal yang diusulkan, sering telatnya penilaian
pada proses perencanaan, dan kecilnya dampak rekomendasi
KLHS pada pengambilan keputusan.

Prosedur KLHS yang diterapkan


Identifikasi Isu dan Masalah

Langkah pertama yang diambil, sesuai dengan prosedur KLHS, adalah


mengidentifikasi isu dan masalah. Adapun isu yang diidentifikasi dalam rencana
pembangunan jembatan ini adalah saline water mengalir ke Laut Baltic dari
Samudera Atlantic, peningkatan jumlah lalu-lintas yang menimbulkan polusi,
akan adanya ketidaknyamanan selama pembangunan (konstrusi) jembatan, traffic
kereta api dan mobil pada jembatan yang sama, dan adanya perdebatan lokasi,
yaitu apakah jembatan diletakkan di Malmo Copenhagen yang padat penduduk
atau di Helsingborg Helsingor yang merupakan titik terdekat.
Pengambilan keputusan pembangunan Jembatan ini cukup kompleks. Keputusan
merupakan bagian dari proses yang ditetapkan Pemerintah, Parlemen, dan the
National Licensing Board for Environmental Protection, the Water Corut, lalu
kembali ke Pemerintah. Kompleksitas ini mengakibatkan konflik dan kontradiksi
dalam pengambilan keputusan.

Peningkatan Kualitas Rencana

Terkait penerapan KLHS dalam rencana ini, terdapat hal-hal yang perlu ditingkatkan
yaitu: kepedulian (awareness), kejelasan (clarity), peningkatan proses praktikal dan
spesifik lokai peraturan dan kebutuhan kelembagaan, dan partisipasi publik atau
masyarakat. Hal-hal inilah yang dapat menjawab pertanyaan sulit dalam perbaikan
sistem.
Selanjutnya, hasil kajian juga harus dapat menjawab pertanyaan strategis, antara
lain: masalah agenda dan otonomi yang membatasi alternatif-alternatif; fokus
November - Desember 2011 | buletin tata ruang

39

Topik Lain
pada gejala sumber pada lokasi awal yang ditetapkan
(contoh: daripada memikirkan bagaimana menghambat
polusi, tapi lebih fokus pada bagaimana membersihkan
polusi, seperti emisi, dll); alternatif nonstruktural yang sering
diabaikan (contoh: organisasi dan otoritas sering tidak
mempertimbangkan alternatif yang tidak melibatkan solusi
konstruksi dan infrastruktur); alternatif solusi nonstruktur
yang seringnya tidak lebih ekonomis dan ramah lingkungan,
dan sebaliknya; dan solusi nonstruktural seperti harga, solusi
keuangan, pajak, subsidi dan dukungan, pendidikan, dll.
Hasil kajian hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan adanya: (1) kepedulian dan kejelasan (lebih
eksplisit). Sebagai contoh, alternatif sering dinilai tetapi
tujuannya tidak dievaluasi atau dipertanyakan, (2) Partisipasi
publik. Keterlibatan publik/masyarakat dapat memperjelas
situasi. Hal ini akan mendorong redefenisi tujuan dan masalah.
Hal-hal di atas tentu merupakan peningkatan kualitas
perencanaan, mengingat selama ini banyak kesalahan yang
biasa dilakukan oleh perencana. Yang pertama adalah
berpikir bahwa solusi yang tersedia adalah one size fits all,
dengan kata lain Inilah cara yang biasa kita lakukan. Banyak
perencana takut, jika mereka melakukannya dengan cara lain,
orang-orang akan berfikir mereka telah melakukan kesalahan
pada masa lalu. Kemudian yang ke dua adalah memastikan
bahwa common problem membutuhkan common solution
dalam mendefinisikan common sense. Kesalahan yang ke
tiga perencana adalah saat menyusun dummy alternatif,
secara sengaja membuat kurang menarik, dan menyisakan
sedikit ruang untuk merealisasikan alternatif. Lalu yang ke
empat adalah perencana sering melakukan pertimbangan
kriteria dengan kriteria seleksi yang tidak jelas. Seperti
misalnya saat memutuskan mengapa beberapa alternatif
kriteria dipertimbangkan sementara yang lainnya tidak.

Alternatif-alternatif
Pembangunan jembatan ini tetap menimbulkan kontroversi
antara lain dalam hal lokasi bandara, masalah kepentingan
nasional dan regional, dan perdebatan penetapan lokasi di
kedua negara. Karena itu alternatif-alternatif solusi menjadi
sangat penting.
Inti dari KLHS dalam rencana pembangunan pada suatu wilayah
atau dua wilayah adalah dapat disusunnya alternatif-alternatif
pada tahap kebijakan dan proses penyusunan rencana atau
rancangan.

40

buletin tata ruang | November - Desember 2011

Jembatan Selat Sunda


Jembatan Selat Sunda adalah bagian dari cita-cita besar
bangsa Indonesia untuk menyatukan pulau-pulau besar di
Indonesia, gagasan yang mulai muncul sejak tahun 1960
perlu diwujudkan karena akan membawa manfaat luar biasa
bagi bangsa Indonesia. Banyak negara di dunia sudah lama
memulai dan berhasil membangun proyek-proyek raksasa
berupa jembatan yang menghubungkan wilayah-wilayahnya
yang semula terpisah, guna meningkatkan perekonomian
dan kesejahteraan rakyat.
Jembatan Selat Sunda yang direncanakan akan dibangun
akan berlokasi di kawasan Selat Sunda, dimana kawasan ini
merupakan Kawasan Strategis Nasional yang ditetapkan
dalam dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),
yaitu PP No.26/2008 Lampiran X No. 17 dimana kebijakannya
adalah Rehabilitasi dan Pengembangan KSN dengan Sudut
Kepentingan Ekonomi
(Pengembangan/Peningkatan
kualitas kawasan) pada tahapan pengembangan III.
Demikian juga dalam Kebijakan MP3EI, kawasan ini
ditetapkan sebagai kawasan prioritas dan bagian dari koridor
pengembangan ekonomi nasional. Pembangunan Jembatan
Selat Sunda (JSS) yang berlokasi di KSN Selat Sunda tersebut
bertujuan untuk meningkatkan pergerakan lintas batas serta
kelancaran pergerakan angkutan barang dan penumpang
di pulau Jawa dan Sumatera. Rencana Tata Ruang KSN
Selat Sunda yang saat ini sedang disusun akan menjadi
acuan dan dasar hukum bagi stakeholder penataan ruang
dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan Selat Sunda
dan pembangunan Jembatan Selat Sunda serta kawasan di
sekitarnya.
Proyek ini dicetuskan pada tahun 1960 dan sekarang akan
merupakan bagian dari proyek Asian Highway Network
(Trans Asia Highway dan Trans Asia Railway). Dana proyek
pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) direncanakan
berasal dari pembiayaan Konsorsium diperkirakan menelan
biaya sekitar 10 miliar Dollar Amerika atau 100 triliun rupiah.
(bersambung di Edisi Januari-Febuary 2012)
Konsep Jembatan Selat Sunda

Kaleidoskop

Buletin
Tata Ruang
2011

Buletin Tata Ruang edisi I, Januari - Februari 2011

Pengarusutamaan Gender dalam penyelenggaraan penataan ruang dan


implementasinya dalam pengembangan infrastruktur dan permukiman
merupakan Tema Edisi 1 Butaru 2011.
Isu-isu dan pemahaman terkait gender dielaborasi dari profil tokoh yang
dtampilkan pada edisi ini yaitu Ir. Sri Apriatini Sukardi, yang saat ini menjabat
sebagai Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum bidangAntar lembaga.
Masalah, pengertian dan tantangan lebih jauh tentang Gender diuraikan dalam
artikel-artikel utama di edisi ini yang antara lain : Kabupaten/Kota Layak Anak
(KLA) dalam Pengentasan Kemiskinan dan Perwujudan Hak Anak; Gender : dari
Definisi hingga Implementasi; Smarth Growth dalam Pengembangan Perkotaan,
Indigenous Environmental Knowledge, Membendung Jakarta.

Buletin Tata Ruang edisi II, Maret - April 2011


Edisi 2 Butaru mengangkat tema Mengintegrasikan dan Memperkuat Wilayah di
Sepanjang Koridor.
Konsep Pengembangan Wilayah Koridor dan MP3EI diangkat dari Profil tokoh
yang ditampilkan pada edisi ini yaitu Dr. Ir. Luky Eko Wuryanto, yang saat ini
menjabat sebagai Deputi bidang infrastruktur dan pengembangan wilayah,
Kemenko Perekonomian.
Adapun artikel-artikel yang memuat pemahaman tentang kebijakan MP3EI dan
pembangunan ekonomi yang lebih konkrit ditampilkan dalam edisi ini, yaitu :
Kekayaan Alam Pekanbaru dan Dumai untuk Indonesia; Pembangunan Koridor
Ekonomi dalam Pengembangan Wilayah; Tinjau Ulang Peran Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu dalam ikut Mendorong Pengembangan Wilayah Nasional ; Kawasan
Lumbung Ikan Nasional Maluku Akan Dikembangkan; Koridor Ekonomi Indonesia
dalam Penataan Ruang: Suatu Perspektif; Hitam Putih TransJakarta.

Buletin Tata Ruang edisi III, Mei - Juni 2011


Tema edisi ini adalah Perubahan Iklim: Bencana Saat ini atau Masa datang?
Profil tokoh pada edisi ini adalah Ir. Rachmat Witoelar, mantan menteri Lingkungan
hidup yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Artikel-artikel terkait perubahan iklim yang dimuat pada edisi ini yaitu antara lain:
Penerapan Low Carbon Economy dalam Penataan Ruang; Kewajiban Kita dibalik
Keindahan Wilayah Pesisir Bali; Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan
Sumber Daya Air ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah; Penanganan DAS
Bengawan Solo Di Masa Datang; Perubahan Iklim Dapat Dikendalikan: Negosiasi
Perubahan Iklim, Notes from Bangkok Clim ate Change Talks 2011. Adapun artikel
lainnya adalah Ruang untuk Masyarakat Lokal Tradisional (Masyarakat Adat) yang
Semakin Terpinggirkan; Green Building: A Sustainable Concept for Construction
Development.

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

41

Kaleidoskop

Buletin Tata Ruang edisi IV, Juli - Agustus 2011


Pembangunan Berkelanjutan: Penerapan Masa Lalu, Saat ini dan ke masa
datang, merupakan tema edisi ini.
Isu, tantangan dan konsep Pembangunan berkelanjutan didapat dari profil tokoh
edisi ini yaitu Prof. Dorodjatun Kuncoro.
Wacana, defiinisi dan best practice pembangunan berkelanjutan diuraikan dalam
artikel-artikel di edisi ini yaitu: Kota Blitar: Mewujudkan Harmoni Kota; Mewujudkan
Kota Pesisir Indonesia yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Infrastrukur Berbasis
Penataan Ruang; From Integrated Coastal Management to Sustainable Coastal
Planning; Kebijakan Transportasi Berkelanjutan Suatu Penerapan Metodologi
yang Komprehensif; Most Liveable City Index Pendekatan Baru dalam Mengukur
Tingkat Kenyamanan Kota; Karlskrona: Konsisten, Kunci Keberhasilan Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan; Percepatan Penyelesaian RTRW; Tantangan
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Perkotaan.

Buletin Tata Ruang edisi V, September - Oktober 2011


Tema edisi Buletin ke V adalah Hidup Harmoni dengan Resiko Bencana.
Masalah, Isu dan Strategi terkait Penanganan Bencana diuraikan dari hasil
wawancara dengan Dr. Syamsul Maarif yang adalah Ketua Badan Nasional
Penanganan Bencana (BNPB).
Artikel-artikel pada edisi ini memuat kebijakan dan rencana tindak penanganan
bencana yaitu: Menata Aceh dengan Harapan Baru; Mitigasi Bencana Tsunami
Mempertimbangkan Faktor-faktor Geologi dalam Penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah; Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur dan
Danau Toba; Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana; Respon Hijau
Terhadap Perubahan Iklim; Ketika Ijin Usaha Perkebunan- Pertambangan (IUP)
Bersinggungan Kawasan Hutan; Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
Jelang Deadline Raperpres Pulau/ Kepulauan dan KSN; Penentuan Pusat-pusat
Pengembangan di Wilayah Pesisir dan Laut.

Buletin Tata Ruang edisi VI, November - Desember 2011


Optimalisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang untuk Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan, yang juga merupakan tema
Rakernas BKPRN 2011 yang diselenggarakan di Manado 30 Nov sd 1 Desember
2011 Merupakan topik utama edisi ini.
Edisi kali ini yang sarat dengan substansi Rakernas menghadirkan profil tokoh
Ketua BKPRN yang juga adalah Menko Perekonomian, Ir. M Hatta Rajasa.
Artikel-artikel pada edisi ini merupakan isu, kebijakan dan program serta rencana
kerja dan kesepakatan terkait Optimalisai penyelenggaraan penataan ruang
untuk perwujudan pembangunan berkelanjutan, yaitu: Nilai-Nilai Strategis
Maros dalam Penguatan Kemitraan di KSN Metropolitan Mamminasata; Rapat
Kerja Nasional Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional 2011; Mencari Bentuk
Kemitraan Dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang; Kebijakan Percepatan
Persetujuan Substansi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah; Kebijakan Percepatan
Penataan Kawasan Hutan dalam Perencanaan Tata Ruang; Kajian Lingkungan
Hidup Strategis Untuk Penataan Ruang; Menuju Ketahanan Pangan dengan
Kebijakan Pertanahan; Dialog Hijau tentang Masa Depan; Kajian Lingkungan
Hidup Strategis: Lain Jembatan Oresund, Lain Jembatan Selat Sunda ;

42

buletin tata ruang | November - Desember 2011

agenda

Agenda Kerja

BKPRN

NOVEMBER - DESEMBER 2011

Agenda Kerja Forum BKPRN selama Bulan November dan


Desember masih didominasi oleh kegiatan rapat pembahasan
persetujuan substansi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi, Kabupaten dan Kota. Mendekati akhir tahun, kegiatan
pembahasan raperda RTRW cukup padat dilakukan. Direktorat
Jenderal Penataan Ruang (DJPR) sebagai sekretariat BKPRN
memang telah memprediksi akan datangnya kondisi seperti
ini, mengingat program percepatan penyusunan rencana tata
ruang memang menargetkan seluruh Perda RTRW akan selesai
pada akhir tahun 2011 ini.
Tidak hanya Perda RTRW, forum BKPRN juga disibukkan
dengan kegiatan pembahasan Raperpres Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Pulau/Kepulauan yang
juga mengejar target pada akhir tahun 2011 ini. Untuk lebih
lengkapnya, jadwal kegiatan pembahasan tersebut akan
ditampilkan pada tabel di bawah ini :
Tanggal
Pelaksanaan

Prov/Kab/Kota

1 Nov 2011

Kab. Hulu Sungai Utara, Kab. Hulu Sungai Selatan,


Kab. Balangan, Kab. Barito Kuala

2 Nov 2011

Kota Bima, Kota Tomohon, Kota Palembang

3 Nov2011

Kab. Tanah Datar, Kab. Dharmas Raya, Kab. Bangka Selatan,


Rtr Taman Nasional Gunung Merapi

7 Nov 2011

Kab. Paniai, Kab. Asmat, Kab. Lanny Jaya, Kab. Hulu Sungai
Tengah, Kab. Tanah Laut, Kab. Kotabaru

9 Nov 2011

Kota Padang Panjang, Kota Bengkulu

10 Nov 2011

Kab. Madina, Kab. Tapanuli Selatan,


RAPERPRES RTR KSN Perbatasan NTT,
RAPERPRES RTR KSN Perbatasan Sulut

11 Nov 2011

RAPERPRES RTR KSN Perbatasan Papua, RAPERPRES RTR KSN


Perbatasan Nad-Sumut, Kab. Kuantan Sengingi

14 Nov 2011

Pada bulan Akhir tahun 2011 terdapat beberapa RTR KSN


Pulau, Perkotaan dan Perbatasan yang telah selesai dibahas
dan telah menjadi Peraturan Presiden. Untuk RTR Kawasan
Perkotaan yang telah menjadi Peraturan Presiden antara
lain adalah Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan
Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan (SARBAGITA),
Perpres No. 55 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan
Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar (MAMMINASATA),
Perpres No. 62 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan
Medan, Binjai, Deli Serdang, Karo (MEBIDANGRO).
Adapun RTR KSN dan Pulau yang telah menjadi Perpres
adalah RTR Pulau Sulawesi No. 88 Tahun 2011 dan Perpres No.
87 Tahun 2011 tentang Kawasan Batam, Bintan dan Karimun
(BBK). Tidak hanya berhasil menjadi Perpres, keempat RTR
Kawasan Perkotaan tersebut telah mulai disosialisasikan
kepada masing-masing daerah terkait materi dan implikasinya.
Untuk RTR KSN Pulau Kepulauan dan Perbatasan, beberapa
telah selesai dibahas sampai pada tahap Eselon 1, yaitu RTR
KSN Borobudur, RTR KSN Danau Toba, RTR KSN Merapi, RTR
Pulau Papua, RTR Kepulauan Maluku, RTR Kepulauan Nusa
Tenggara yang dibahas pada tanggal 27 Desember 2011.
Tanggal
Pelaksanaan

Prov/Kab/Kota

2 Des 2011

Kab. Musi Banyu Asin, Kab. Mentawai

5 Des 2011

Kab. Murung Raya, Kab. Barito, Kab. Kapuas

6 Des 2011

Kab. Mamberamo Raya, Kab. Buton

Kab. Kutai Timur, Kab. Penajam Paser Utara, Kab. Alor, Kab.
Barito Utara

7 Des 2011

Kota Padang Sidempuan, Kota Sibolga, Kota Tebing Tinggi,


Kota Banjar Baru

15 Nov 2011

Kab. Paser, Kab. Berau, Kab. Kapuas Hulu,


Kab. Mamberamo Tengah

8 Des 2011

Kab. Melawi, Kab. Ketapang, Kab. Landak, Kab. Sanggau

16 Nov2011

Kota Solok, Kota Bitung, Kota Cimahi


Kota Lubuk Linggau

9 Des 2011

Kab Musi Banyuasin

12 Des 2011

Kab. Seruyan, Kab. Pulang Pisau, Kab. Gunung Mas, Kab. Rote Ndao

17 Nov 2011

Kab. Merangin, Kab. Kerinci, Kab. Sarolangaun,


Kab. Tanjung Jabung Barat, Kab. Tanjung Jabung Timur

14 Des 2011

Kota Balikpapan, Kota Manado, Kota Palopo

15 Des 2011

Ksn Selat Sunda

18 Nov 2011

Kab. Bungo, Kab. Tebo, Kab. Muaro Jambi,


Kab. Batanghari

16 Des 2011

Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Nduga, Kab. Puncak,


Kab Kutai Kertanegara, Kab Berau

21 Nov 2011

Kab. Mamuju, Kab. Mamuju Utara, Kab. Bolaang


Mongondow Timur

19 Des 2011

Kab. Mamberamo Tengah, Kab. Puncak , Kab. Muna

20 Des 2011

Kab. Kupang, Kab. Alor, Kab. Kepulauan Sangihe, Kab. Paser

22 Nov 2011

Kab .Tabalon, Kab. Tanah Bumbu, Kab. Banjar, Kab. Tapin

21 Des 2011

23 Nov 2011

Kota Pontianak, Kota Lhokseumawe, Kota Jambi, Kota


Sungai Penuh, Kab Karo

Kota Ternate, Kota Samarinda, Kota Banjar,


Kota Gunung Sitoli, Kab. Karo

22 Des 2011

Provinsi Aceh, Kab. Kepulauan Mentawai

24 Nov 2011

Kab. Rokan Hilir, Kab. Indragiri Hilir, Kab. Subang, Kab. Solok
Selatan

23 Des 2011

Kab. Bone, Kab. Sinjai, Kab. Keerom, Kota Padang Sidimpuan


Kota Sibolga

25 Nov 2011

Kab. Anambas, Kab. Labuhan Batu, Kab. Lampung Utara

27 Des 2011

28 Nov 2011

Kab. Bolaang Mongondow Timur, Kab. Bolaang Mongondow


Selatan, Kab. Murung Raya, Kab Barito Utara, Kab. Kapuas

Kab. Sarmi, Kab. Supiori, Kab. Nduga, Kab. Tolikara,


Kab. Puncak Jaya

28 Des 2011

Kota Palangkaraya, Kota Tidore Kepulauan

29 Nov 2011

Kab. Melawi, Kab. Ketapang, Kab. Landak

29 Des 2011

Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Sintang, Kab. Kutai Timur

November - Desember 2011 | buletin tata ruang

43

Growth is never by mere chance;


it is the result of forces working together.

Anda mungkin juga menyukai