Anda di halaman 1dari 4

3.

    Etiologi
Dilihat dari beberapa sudut pandang, ada beberapa hal ynag menyebabkan seseorang itu
mengalami gangguan mood, dan diantara factor-faktor tersebut adalah :
1. Faktor Biologis
a. Pengaruh Keluarga dan Genetik
Dalam kaitannya dengan gangguan mood adalah dalam studi keluarga, para
peneliti melihat adanya prevaliansi gangguan tertentu pada anggota-anggota
keluarga keluarga tingkat-pertama dari orang-orang yang diketahui memiliki
gangguan. Dan mereka menemukan bahwa angka anggota keluarga yang memiliki
gangguan suasana perasaan secara konsisten dua sampai tiga kali lebih tinggi
fibanding anggota keluarga kelompok control yang tidak memiliki gangguan
perasaan. Namun, perlu diketahui bahwa jika salah satu di antara pasangan
memiliki gangguan unipolar, maka kemungkinan pasangan kembarnya untuk
memiliki gangguan bipolar yang sangat tipis atau sama sekali tidak ada. Dan
tingkat keparahan mungkin juga terkait dengan banyaknya concordance
(sejauhmana sesuatu dimiliki bersama).

b.   Sistem Neurotransmiter


Gangguan suasana perasaan telah menjadi subjek studi neurobiologist yang
lebih intens. Penelitian mengimplikasikan pada tingkat serotonin yang rendah
dalam etiologi gangguan suasana perasaan. Hal ini dikarenakan, fungsi primer
serotonin adalah mengatur reaksi-reaksi emosional pada manusia. Dalam hipotesis
“permisif” penelitian ini mengatakan bahwa ketika tingkat serotonin rendah,
neurotransmitter lainnya diizinkan (mood irregularities), termasuk depresi.
Anjloknya norepineferin akan menjadi salah satu akibat terjadinya gangguan
mood.
c. Ritme Tidur dan Sirkadian
Gangguan mood yang dialami oleh seseorang ini umumnya dapat
dilihat dari pertambahan jam tidur yang semakin meningkat. Dan dalam
beberapa tahun telah diketahui bahwa gangguan tidur merupakan salah satu
pertanda bagi kebanyakan gangguan perasaan. Hal ini terjadi karena, pada
orang-orang yang mengalami depresi hanya ada waktu yang lebih pendek
secara signifikan sepelum repid eye movement (REM) sleep dimulai. REM
sleep atau non-REM sleep. Pada saat seseorang tetidur, mereka akan melalui
beberapa subtahapan tidur yang secara progresif menjadi lebih nyenyak, di
mana pada saat itu mereka mencapai tingkat istirahat yang sesungguhnya.
Pada prosesnya, setelah 90 menit seseorang mulai mengalami REM sleep, di
mana otak terjaga dan kita mulai bermimpi. Mata akan bergerak maju-mundur
dengan cepatdi balik kelopak mata, sehingga dinamai dengan repid eye
movement sleep. Dan ketika semakin larut, maka banyaknya REM sleep akan
semakain bertambah. Sedangkan, pada orang yang menderita depresi akan
kehilangan tidur gelombang-lambat mereka.
Selain memasuki periode REM sleep yang jumlah yang jauh lebih cepat, orang
dengan depresi ini akan mengalami aktvitas REM yang lebih intens. Tak
hanya itu, tahapan tidur yang paling nyenyak hanya berlangsung pendek atau
bahkan tidak terjadi sama sekali. Karena ada beberapa karakteristik tidur
hanya terjadi pada saat seseorang sedang mengalami depresi dan tidak terjadi
pada saat lainnya.

d.   Aktivitas Gelombang Otak


Ada beberapa indicator yang dapat dilihat dari aktivitas gelombang otak yang
menunjukkan adanya kerentanan biologis seseorang terhadap depresi. Hal ini
ditunjukkan oleh aktivitas gelombang otak yang didemonstrasikan oleh peneliti
bahwa para penderita depresi menunjukkan aktivasi lebih besar pada anterior
sebelah kanan (dan lebih kecil pada aktivasi sebelah kiri) disbanding orang-orang
yang tidak mengalami depresi (Durand, 2006: 295-299).
2.      Faktor Psikologis
Dalam mengulas kontribusi genetic terhadap penyebab depresi dapat dinyatakan bahwa
60%-80% penyebab depresi dapat diatribusikan pada pengalaman-penagalaman
psikologis. Selain itu pengalaman itu bersifat unik untuk masing-masing individu.
a.    Peristiwa Kehidupan yang Stressful
Peristiwa hidup yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan orang-orang yang
divintai, putusnuya hubungan romantic, lamanya hidup menganggur, sakit fisik, masalah
dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, dan lain sebagainya ini dapat
meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood atau kambuhnya sebuah gangguan
mood, terutama depresi mayor. Dan pada orang-orang dengan depresi mayor ini sering
kali kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah
interpersonal dengan teman, teman kerja atau supervisor.
b.   Teori Humanistic
Menurut teori ini, seseornag menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi
keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik
yang menghasilkan self-fulfillment. Kemudian dunia dianggap sebagai tempat yang
menjemukan (Nevid, 2003: 240-243).
c.    Learned Helplessness
Learned helplessness merupakan kedaan diri yang selalu membuat atribusi bahwa
mereka tidak memiliki kontrol atas stress dalam kehidupannya (baik sesuai kenyataan
maupun tidak).
d.   Negative Cognitive Styles
Negative cognitive styles adalah kesalahan berfikir yang difokuskan secara negative
pada tiga hal, yaitu dirinya sendiri, dunian terdekatnya, dan masa depannya. Di mana
menurut Beck, penderita depresi memandang yang terburuk dari segala hal. Bagi
mereka, kemunduran terkevil sekalipun merupakan bencana besar.
3.      Faktor Sosial dan Kultural
Sejumlah faktor social cultural memberikan kontribusi pada onset atau bertahannya
dperesi. Faktor yang paling menonjol antara lain adalah hubungan perkawinan, gender,
dan dukungan social.
a.    Hubungan Perkawinan
Maksudnya adalah hubungan perkawinan yang tidak memuaskan yang bisa
menyebabkan individu bisa mengalami gangguan perasaan seperti depresi.
b.   Perbedaan Gender
Menurut Cyranowski, dkk (2000) Sumber perbedaan ini bersifat cultural, karena
peran jenis yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan di masyarakat. Di mana laki-
laki sangat di dorong mandiri, masterful, dan asertif, sedangkan perempuan
sebaliknya diharapkan lebih pasif, lebih sensitive terhadap orang lain, dan mungkin
lebih banyak bergantung pada orang lain.
c.    Dukungan Social
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Johnson, Winett, dkk (1999) tentang
efek-efek dukungan social di dalam kesembuhan yang pesat dari episode manic
maupun depresif pada pasien gangguan bipolar, mereka menemukan hasil yang
mengejutkan bahwa, jaringan pertemanan, dan keluarga yang suportif secara social
membantu terjadinya kesembuhan cepat dari episode depresif, tetapi tidak pada
episode manic. Dari hasil penelitian ini dan juga studi-studi prospektif yang dilakukan
menguatkan tentang pentingnya dukungan social (atau kekurangan dukungan social)
dalam memprediksi onset atau gejala-gejala depresi yang muncul kemudian (Durand,
2006: 303-308).

Anda mungkin juga menyukai