Anda di halaman 1dari 10

LT 1

Logistik merupakan kegiatan yang melibatkan pihak eksternal perusahaan, seperti pemasok, distributor,
retailer, dan konsumen. Council of Logistics Management (1986) mendefinisikan logistik sebagai proses
perencanaan, penerapan, pengontrolan aliran efektif, penyimpanan barang, pelayanan dan informasi yang
berhubungan dari titik awal pembuatan hingga ke titik akhir penggunaan agar dapat memenuhi keinginan
konsumen. Tujuan dari adanya konsep logistik adalah membuat produk sesuai dengan jumah yang
dibutuhkan, untuk dikirim ke tempat dan konsumen yang membutuhkan pada waktu dan kondisi yang
tepat, dengan biaya normal. Pada tahun 2007 berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh World Bank,
Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index/LPI) Indonesia menempati peringkat ke-43 dari 150
negara yang disurvei dan pada tahun 2010 Indonesia menempati peringkat 75 LPI dari 155 negara yang
disurvei. Penurunan peringkat tersebut dikarenakan beberapa faktor, seperti kualitas pelayanan dan
infrastruktur yang kurang baik serta mahalnya biaya logistik di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian dari
Lembaga Pengkajian Penelitian Pengembangan Ekonomi (LP3EI) Kamar Dagang dan Industri Indonesia
(2012) biaya logistik di Indonesia mencapai 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau senilai Rp1.820
Triliun per tahun yang terdiri dari biaya penyimpanan sebesar Rp 546 Triliun, biaya transportasi sebesar Rp
1.092 Triliun, dan biaya administrasi sebesar Rp 182 Triliun. Mahalnya biaya logistik mengakibatkan banyak
perusahaan manufaktur mensubkontrakkan pekerjaan dalam bidang logistik kepada pihak ke-3 atau biasa
disebut dengan third party logistics (3PL). Hasil survei yang dilakukan oleh John Langley et.al di Amerika
pada tahun 2003 menunjukkan bahwa mahalnya biaya logistik mempengaruhi kerjasama perusahaan
dengan pihak 3PL. Hasil dari survei tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 78% perusahaan di Amerika
Utara bekerjasama dengan pihak 3PL, di Eropa Barat sebanyak 79% perusahaan bekerjasama dengan pihak
3PL, serta sebanyak 58% perusahaan di Asia-Pasifik bekerjasama dengan pihak 3PL. 3PL merupakan
perusahaan penyedia jasa seperti pengiriman (freight forwarders), transportasi, shipper association,
intermodal marketing company, dan beberapa fungsi logistik lainnya (Wisner et.al, 2005). Dengan adanya
kerjasama dengan perusahaan 3PL, perusahaan penyewa jasa tersebut tidak perlu mengeluarkan biaya
investasi untuk transportasi, gudang, serta kegiatan logistik yang lain. Asosiasi Logistik Indonesia (2014)
mendata bahwa sedikitnya terdapat 873 perusahaan yang bergerak dalam bidang 3PL di Indonesia, yang
terdiri dari perusahaan lokal dan multinasional. Perusahaan yang bergerak dalam bidang 3PL dan
beroperasi di Indonesia seperti JNE Logistics and Distribution, Indah Cargo, FedEx, DHL, TiKi, Pahala
Logistics, dll. Salah satu perusahaan 3PL di Indonesia dengan jaringan terbesar adalah PT. XYZ Logistics.
Jaringan yang dimiliki oleh PT. XYZ Logistics seluas 65.000 m2 , 12 distribution center, dan lebih dari 300
tujuan pengiriman (destination center) di wilayah Indonesia. Selain coverage area yang luas, hingga
Nopember 2014 terdapat kurang lebih 90 konsumen (contoh: Unilever, PnG, Nestle, Sampoerna, dll) yang
bekerjasama dengan PT. XYZ Logistics. Luasnya jaringan dan banyaknya konsumen yang harus ditangani,
menyebabkan konsep just in time, efisiensi dan efektivitas merupakan prioritas utama perusahaan. PT. XYZ
Logistics bergerak dalam bidang jasa pengiriman barang pada area domestik (Indonesia) dan internasional,
pergudangan, serta transportasi. Sebagai perusahaan dengan proses bisnis awal adalah ekspedisi, maka
jasa pengiriman barang pada area domestik dan internasional merupakan prioritas. Per Nopember 2014
perbandingan jumlah order pengiriman domestik dan internasional yang harus dikirim oleh PT. XYZ
Logistics adalah 87%:13%. Besarnya prosentase order pengiriman barang pada area domestik menarik
minat peneliti untuk melakukan penelitian pada unit bisnis yang menangani pengiriman barang area
domestik. Unit Bisnis PT. XYZ Logistics yang menangani jasa pengiriman barang pada area domestik adalah
Unit Bisnis Domestic Freight Forwarding (DFF). Terdapat dua aktivitas utama yang dilakukan oleh Unit
Bisnis DFF: a. Pre vessel: Melakukan penanganan order dari sales, melakukan pengambilan barang di
gudang konsumen, pencarian peti kemas yang sesuai di depo, dan serah terima untuk pengiriman. b. Post
vessel: Mengikuti perjalanan barang sampai dengan tujuan kemudian mengantarkan kepada gudang
konsumen. Pihak manajemen Unit Bisnis DFF menerapkan kebijakan bahwa semua order yang datang
harus ditangani, sehingga tidak diperbolehkan adanya lost sales. Terdapat beberapa usaha yang dilakukan
dalam rangka pemenuhan order (order fulfillment) agar tidak terjadi lost sales yaitu dengan adanya
integrasi teknologi informasi, koordinasi dengan Unit Bisnis Land Transport sebagai penyedia kendaraan
berupa truk/trailer beserta driver, serta adanya jabatan Checker dan Dinas Luar dimana di perusahaan
pengiriman yang lain tidak terdapat kedua jabatan tersebut. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir
permintaan yang dapat dipenuhi (order fulfillment) oleh Unit Bisnis DFF mengalami peningkatan. Pada
tahun 2013 rata-rata jumlah permintaan yang dapat dipenuhi sebesar 91%, sedangkan pada tahun 2014
rata-rata permintaan yang dapat dipenuhi Unit Bisnis DFF sebesar 94,4%. Kenaikan sebesar 3,4 %
menunjukkan bahwa kemampuan pihak manajemen dan operasional dalam penanganan order lebih baik
jika dibanding tahun sebelumnya. Saat ini, peningkatan jumlah permintaan yang dapat dipenuhi oleh
perusahaan tidak berbanding lurus dengan laba atau net profit yang seharusnya diterima. Berdasarkan
analisa internal yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi penerimaan laba atau net profit perusahaan yaitu upah lembur yang diberikan perusahaan
kepada jabatan operasional pengiriman (Checker, Dinas Luar, supir (driver) dan kenek (helper)), belum
clear-nya biaya storage/demurrage yang merupakan tanggung jawab konsumen, serta metode penetapan
harga yang belum tepat. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak sesuainya peningkatan permintaan
dengan laba atau net profit yang diterima perusahaan adalah metode penetapan harga yang belum tepat.

Berdasarkan Gambar 1.1 dapat kita ketahui bahwa metode penentuan harga yang digunakan adalah
metode penentuan harga berdasarkan aktivitas. Terdapat 3 aktivitas untuk melaksanakan kegiatan
pengiriman, yaitu: a. Aktivitas pickup yaitu aktivitas saat proses muat di warehouse konsumen di daerah
asal hingga barang masuk depo pelabuhan (port origin) b. Aktivitas shipping yaitu aktivitas mulai dari
pelabuhan asal (port origin) hingga pelabuhan tujuan (port destination) c. Aktivitas dooring yaitu aktivitas
saat peti kemas keluar dari pelabuhan tujuan (port destination) hingga sampai ke warehouse konsumen di
daerah tujuan. Perbandingan prosentase biaya antara pickup, shipping, dan dooring adalah 20%:60%:20%.
Terdapat dua biaya pada sub aktivitas pickup dan dooring yaitu biaya trucking, dan biaya buruh. Sedangkan
untuk aktivitas shipping terdapat beberapa komponen biaya, seperti biaya untuk menurunkan peti kemas
dari lapangan timbun ke truk, biaya untuk mengangkat peti kemas dari truk ke lapangan timbun untuk
dimasukkan ke dalam kapal, dll. Seluruh biaya yang terdapat pada aktivitas shipping merupakan otoritas
dari perusahaan pelayaran, dimana PT. XYZ Logistics selaku transporter (pengirim) telah membayarkan
sejumlah uang berdasarkan tarif yang ditawarkan oleh perusahaan pelayaran.

Tabel 1.1 merupakan tabel harga yang ditawarkan beserta frekuensi pengiriman yang dilakukan PT. XYZ
Logistics pada konsumen dengan kota tujuan Makassar, Banjarmasin, Manado, Samarinda, dan
Manokwari. Berdasarkan Tabel 1.1 tersebut dapat kita ketahui bahwa pengiriman dengan jumlah
terbanyak adalah dari Surabaya ke Makassar dengan jumlah 2.599 TEUs, dan pengiriman dengan kantitas
terendah adalah dari Surabaya ke Manokwari dengan kuantitas dalam satu tahun 250 TEUs. Terdapat
beberapa faktor yang dipertimbangkan oleh pihak manajemen perusahaan dalam penentuan biaya
pengiriman yairu jarak (origin dan destination), frekuensi pengiriman ke kota tujuan, serta tarif dari
perusahaan pelayaran. Namun variabel lain seperti waktu pengiriman belum dipertimbangkan oleh pihak
perusahaan. Tabel 1.2 merupakan rekap rata-rata waktu aktual pengiriman barang.
Tabel 1.2 merupakan rata-rata waktu aktual pengiriman barang pada top five destinations perusahaan
tahun 2014. Berdasarkan Tabel 1.2 dapat kita ketahui bahwa waktu aktual pengiriman pada top five
destination lebih lama jika dibandingkan dengan target waktu yang telah ditetapkan perusahaan. Waktu
pengiriman merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi harga. Jika target waktu pengiriman untuk
Kota Makassar adalah 10 hari, dan jika aktual pengiriman melebihi batas waktu tersebut maka perusahaan
harus mengeluarkan biaya lebih, baik untuk tenaga kerja, kendaraan, dll. Namun, jika waktu aktual
pengiriman kurang dari target waktu yang telah ditetapkan maka perusahaan telah menghemat biaya dan
dapat dialokasikan untuk pengeluaran yang lain. Saat ini, penentuan target waktu pengiriman di PT. XYZ
Logistics hanya berdasarkan pengalaman selama beberapa tahun, mengingat perusahaan telah berdiri
sejak tahun 1972. Terdapat tiga klasifikasi target waktu yang ditetapkan oleh perusahaan yang telah
mempertimbangkan kegiatan non produktif (contoh: menunggu, antri), yaitu: - Target waktu aktivitas
pickup adalah 4 hari untuk semua tujuan. - Target waktu aktivitas shipping bergantung pada tujuan setiap
kota. - Target waktu aktivitas dooring adalah maksimal 5 hari setelah kedatangan kapal, barang telah
dikirim ke gudang penerima. Penentuan target waktu pengiriman yang belum tepat dapat mempengaruhi
perusahaan dalam penetapan harga pokok pengiriman.

Berdasarkan gambaran kondisi saat ini di Unit Bisnis DFF PT. XYZ Logistics yang telah dipaparkan, maka
dalam penelitian ini akan dilakukan identifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi waktu pengiriman,
penentuan waktu standar pengiriman, serta memberikan skema perbaikan atau rekomendasi untuk
perusahaan dalam hal penetapan harga pokok pengiriman pada area domestik. Terdapat beberapa
metode yang dapat digunakan dalam perhitungan harga pokok seperti Traditional Costing, Activity Based
Costing (ABC), serta Time Driven Activity Based Costing (TDABC). Traditional costing merupakan versi
pertama perhitungan biaya dimana dalam metode tersebut pembebanan biaya overhead dalam proses
produksi (manufacturing overhead) berdasarkan volum dari cost driver, seperti jumlah jam yang diperlukan
oleh pekerja (direct labor) untuk memproduksi sebuah produk. Penggunaan Traditional Costing saat ini
kurang relevan, dikarenakan saat ini perkembangan industri yang lebih banyak menggunakan mesin
(otomasi), serta customer focused strategy Jika menggunakan Traditional Costing akan dikhawatirkan
terjadi over allocation budgeted overhead dan under allocation budgeted overhead. Versi kedua metode
perhitungan biaya adalah ABC. Metode ABC merupakan metode yang dikembangkan untuk menyelesaikan
tidak akurat nya alokasi overhead dari Traditional Costing dengan cara melacak biaya overhead pada setiap
aktivitas, kemudian menetapkan biaya aktivitas pada produk, dan pelanggan berdasarkan konsumsi dari
setiap aktivitas. Terdapat beberapa kendala saat penerapan metode ABC, salah satunya terkait
subjektivitas dalam pembangunan model harga yang sulit divalidasi. Dalam penelitian ini digunakan
Metode TDABC. Metode TDABC dipilih dikarenakan metode tersebut menjadikan waktu sebagai pemicu
(driver) terjadinya harga pokok produk atau jasa. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang
ekspedisi atau pengiriman, waktu merupakan salah satu kriteria penilaian kinerja perusahaan. Sehingga
perhitungan waktu dan biaya akan mempengaruhi kerjasama PT. XYZ Logistics dengan konsumen.
LT 2

Angkutan multimoda adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit dua moda transportasi
yang berbeda, atas dasar satu kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari satu tempat
diterimanya barang oleh badan usaha angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk
penerima barang tersebut. Badan usaha angkutan multimoda diharuskan untuk mampu menyediakan jasa
angkutan multimoda dengan standar keselamatan dan keamanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
serta kualitas pelayanan yang mampu mewujudkan efektifitas dan efisiensi yang tinggi dalam
penyelenggaraan angkutan sebagai komponen penting dalam suatu logistik. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI No. 8 Tahun 2011 tentang angkutan multimoda, angkutan multimoda hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha angkutan multimoda yang diselenggarakan oleh badan usaha angkutan
multimoda nasional dan badan usaha angkutan multimoda asing. Kegiatan multimoda dimulai sejak
diterimanya barang oleh badan usaha angkutan multimoda dari pengguna jasa angkutan multimoda
sampai diserahkannya barang kepada penerima barang dari badan usaha angkutan multimoda sesuai
dengan yang diperjanjikan dalam dokumen angkutan multimoda. Kegiatan angkutan multimoda dapat
dilakukan dengan menggunakan alat angkut moda transportasi darat, perkeretaapian, laut, dan pesawat
udara. Pengguna jasa angkutan multimoda wajib membayar ongkos angkut sesuai dengan perjanjian yang
tertuang dalam dokumen angkutan multimoda, memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
jenis, keadaan, jumlah, berat, dan volume barang, penandaan, waktu, dan tempat barang diterima oleh
badan usaha angkutan multimoda dari pengguna jasa serta waktu dan tempat barang diserahkan kepada
penerima barang yang dituangkan dalam dokumen angkutan multimoda, dan memberitahukan serta
memberi tanda atau label sebaga barang khusus atau barang berbahaya dalam hal barang yang dikirim
berupa barang khusus atau barang berbahaya sesuai dengan konvensi internasional dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Tarif angkutan multimoda ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama
antara badan usaha angkutan multimoda dan pengguna jasa angkutan multimoda secara tertulis.
Komponen tarif angkutan multimoda terdiri atas tarif angkutan masing-masing moda yang digunakan serta
tarif jasa lainnya sesuai dengan jenis jasa yang diberikan oleh badan usaha angkutan multimoda. Jenis,
struktur, dan golongan tarif masing-masing moda ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Menurut Council of Logistic Management (Ballou, 1992) logistik didefinisikan
sebagai proses perencanaan, implementasi, dan pengendalian efisiensi, aliran biaya yang efektif dan
penyimpanan bahan mentah, bahan setengah jadi, barang jadi dan informasiinformasi yan berhubungan
dari asal titik konsumsi dengan tujuan memenuhi kebutuhan konsumen. Selain itu, Christopher (1992)
mendefinisikan logistik sebagai suatu proses strategis dalam pengelolaan mulai dari pengadaan barang,
perpindahan barang hingga penyimpanan barang, bahan baku dan produk jadi (yang di dalamnya terkait
pula aliran informasi) pada perusahaan dan koneksi pemasaran untuk kepentingan mendapatkan
keuntungan secara maksimal dengan biaya yang efisien dan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
konsumen. Berdasarkan hasil survey Indeks Kinerja Logistik (Logistic Performance Index/LPI) oleh Bank
Dunia tahun 2007, Indonesia menduduki peringkat ke-43 dari 150 negara yang disurvei dan pada tahun
2010 posisi Indonesia terus merosot ke peringkat 75 di antara 155 negara yang disurvei dan berada di
bawah kinerja beberapa Negara ASEAN lainnya seperti Singapura (urutan kedua), Malaysia (urutan ke-29),
dan Thailand (Urutan ke-35). LPI yang diterbitkan oleh Bank Dunia menggunakan enam indikator penilaian,
yaitu kepabeanan, infrastruktur, kemudahan mengatur pengapalan internasional, kompetensi logistik dari
pelaku penyedia jasa local, biaya logistik dalam negeri, serta waktu pengiriman. Menurut Mulyadi (2011),
rendahnya kinerja sektor logistik di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu tingginya biaya
logistik, masih rendahnya pelayanan, hambatan operasional di pelabuhan, serta keterbatasan kapasitas
dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik nasional. Hal tersebut merupakan penyebab berbagai
permasalahan nasional seperti fluktuasi harga, hambatan ekspor, kesenjangan penawaran, permintaan
antar daerah, sampai lambatnya distribusi bantuan pada bencana alam. Akibat dari lanjutan permasalahan
tersebut, masyarakat harus membayar biaya yang tinggi karena biaya logistik dalam negeri kurang mampu
bersaing dalam perdagangan bebas antar Negara. Namun, permasalahan tingginya biaya logistik di
Indonesia tidak hanya disebabkan oleh tingginya biaya transportasi darat dan laut tetapi juga oleh banyak
faktor baik yang terkait dengan regulasi, SDM (Sumber Daya Manusia), proses dan infrastruktur yang tidak
efisien, dan kurangnya profesionalitas pelaku dan penyedia jasa logistik lokal. Penentuan harga pengiriman
dari perusahaan jasa multimoda satu dengan lainnya akan berbeda-beda meskipun tidak terlalu signifikan.
Setiap perusahaan akan mengeluarkan biaya yang berbeda-beda. Mulyadi (2011) menjelaskan bahwa,
perbedaan pengeluaran biaya pada setiap perusahaan disebabkan karena adanya perbedaan terhadap luas
cakupan pengiriman, jumlah unit akomodasi yang dimiliki oleh perusahaan, volume pengiriman pada
setiap akomodasi, jumlah sumber daya manusia yang bekerja pada perusahaan, serta waktu pelayanan.
Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kapasitas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Salah
satu perusahaan yang bergerak di bidang logistik di dalam negeri adalah PT. APL Logistic. PT. APL Logistic
melakukan pengiriman di hampir seluruh wilayah di Indonesia, diantaranya pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. PT. APL Logistic memiliki tiga distribution center yang terletak di pulau Jawa
yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta, dengan konsumen utama berdasarkan kontrak yang masih berjalan
hingga saat ini adalah P&G. Pihak perusahaan memiliki kebijakan bahwa semua order yang diterima harus
ditangani dengan baik, tanpa adanya keterlambatan kedatangan, dengan barang yang dikirim masih dalam
keadaan baik. Banyaknya pesaing logistik saat ini menyebabkan perusahaan perlu meningkatkan kinerjanya
untuk tetap dapat dipercaya oleh konsumen. Pesaing tersebut diantaranya Kamadjaja Logistik, DHL, FedEx,
dll. Dimana perusahaan pesaing tersebut lebih terlihat kinerjanya baik, memiliki jaringan yang cukup besar,
dan lebih memiliki banyak konsumen. Akibat dari persaingan yang ada saat ini, perusahaan perlu
memikirkan bagaimana caranya meningkatkan kualitas pelayanan namun tetap dapat meminimalkan biaya
yang terjadi. Maka dalam hal ini peneliti akan melakukan identifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi kinerja perusahaan diantaranya waktu pengiriman, biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan, estimasi waktu kegiatan yang efisien. Diharapkan peneliti dapat memberikan perbaikan atau
rekomendasi yang tepat terhadap perusahaan dengan metode yang tepat. Kondisi perusahaan saat ini
masih menerapkan tarif standar yang telah ditetapkan oleh direksi dengan mempertimbangkan faktor
jarak tempuh pengiriman, waktu pengiriman, sifat khusus dari barang, berat barang, dan ukuran barang.
Terdapat beberapa komponen biaya yang berpengaruh lainnya namun belum dipertimbangkan
diantaranya adalah faktor waktu dari aktivitas yang dilakukan berdasarkan jenis barang yang akan dikirim
ke konsumen, perlakuan khusus barang berdasarkan sifatnya, misalnya barang pecah belah, mudah rusak,
dan yang lainnya dengan mempertimbangan overhead cost dalam setiap pengiriman. Overhead cost
merupakan biaya tidak langsung yang dikenakan dalam setiap pengiriman. Biaya ini merupakan salah satu
pemicu terjadinya biaya di dalam suatu pengiriman (cost driver). Sulitnya menghitung biaya overhead
dengan metode direct cost memicu terjadinya pengeluaran tak menentu di dalam perusahaan karena pada
setiap pengiriman biaya yang dikeluarkan berubah-ubah. Akan tetapi direksi tidak dapat semena-mena
mengubah tarif dasar pengiriman yang telah disepakati bersama oleh pelanggan. Akibat terjadinya
perubahan tersebut, perusahaan akan semakin merugi dengan pengeluaran yang tidak dapat terukur
setiap waktu. Selain biaya terkait overhead, masalah lain yang dapat memicu terjadinya biaya lebih pada
perusahaan adalah waktu pengiriman. Perusahaan memiliki target waktu pengiriman yang berbeda setiap
kota, namun kenyataannya barang yang dikirim selalu tidak sesuai target hari, banyak kendala yang
menyebabkan masalah tersebut muncul seperti macet yang berkepanjangan, terdapat masalah dalam
kendaraan, kecelakaan, dll. Akibat pengiriman yang melebihi batas target tersebut, perusahaan harus
mengeluarkan biaya lebih, baik untuk tenaga kerja, maintenance kendaraan, sewa akomodasi, dll. Oleh
karena permasalahan tersebut diperlukan perhitungan overhead cost dan waktu aktual pengiriman dengan
menggunakan metode yang tepat agar perusahaan dapat optimal dalam menentukan dan menetapkan
tarif pada pengiriman Untuk memecahkan permasalahan terkait dengan biaya dan waktu yang dikeluarkan
oleh perusahaan, dapat menggunakan metode Activity Based Costing. Activity Based Costing merupakan
suatu pendekatan akuntansi biaya yang membebankan biaya resource kepada objek. Pendekatan tersebut
didasarkan pada pemahaman bahwa setiap jasa yang dilakukan merupakan hasil dari beberapa aktivitas
dan aktivitas tersebut membutuhkan biaya tertentu (Franklin, 2006). Activity Based Costing adalah metode
yang banyak digunakan untuk menghitung cost karena dapat mengalokasikan biaya overhead yang dinilai
sebagai salah satu cost driver. Metode tersebut dapat menghitung berapa besar konsumsi overhead dari
setiap pengiriman barang. Namun, perhitungan biaya produk berdasarkan aktivitas (Activity Based Costing)
masih banyak dikritik karena beberapa kelemahan, diantaranya mengabaikan potensi unused capacity,
mengasumsikan resource bekerja pada kondisi full capacity, biaya penerapan yang mahal, mengkonsumsi
cukup banyak waktu, dan sulit memonitor semua aktivitas dalam suatu proses kerja. Adanya kelemahan
dari Activity Based Costing tersebut memunculkan ide penyempurnaan Activity Based Costing yang disebut
dengan Time Driven Activity Based Costing. Menurut Kaplan dan Anderson (2007) Time Driven Activity
Based Costing ini mampu memberikan solusi terhadap kelemahan Activity Based Costing karena adanya
perkiraan waktu yang diperlukan untuk setiap kegiatan sebagai pemicu biaya yang utama, yang disebut
dengan time driver. Penelitian sebelumnya telah dilakukan dengan menggunakan metode Time Driven
Activity Based Costing untuk mengetahui harga pokok pengiriman studi kasus PT. XYZ Logistic. Pada
penelitian tersebut sangat cocok diterapkan pada kasus permasalahan perusahaan tersebut dalam hal
waktu pengiriman. Penerapan metode Time Driven Activity Based Costing dinilai dapat berkontribusi
dalam efisiensi waktu pengiriman dengan menghitung masing-masing besar waktu standar tiap kegiatan.
Dalam perhitungan HPP metode TDABC merupakan metode yang mudah diterapkan dan diaplikasikan di
unit bisnis DFF (Domestic Freight Forwarding). Namun metode TDABC juga memiliki keterbatasan jika
diterapkan di perusahaan seperti tarif perusahaan, tarif trucking, serta internal perusahaan berpengaruh
masing-masing 65%, 22%, dan 13% (Putri, 2015). Metode Time Driven Activity Based Costing lebih mudah
diterapkan, dengan cost lebih murah, dan lebih powerful daripada ABC konvensional (Kaplan dan
Anderson, 2007). Metode Time Driven Activity Based Costing menjadikan waktu sebagai pemicu terjadinya
production cost. Oleh karena itu, penentuan production cost menggunakan waktu sebagai cost driver.
Melihat beberapa keuntungan dan kelebihan dari metode Time Driven Activity Based Costing tersebut,
peneliti tertarik untuk mengimplementasikan metode ini karena penerapan di Indonesia mengenai metode
tersebut belum banyak digunakan, padahal menurut Kaplan dan Anderson metode tersebut baik untuk
diadopsi dalam menentukan suatu harga produk/jasa, salah satunya adalah perusahaan multimoda dalam
menentukan tarif yang tepat pada setiap pengiriman. Selain itu, metode Time Driven Activity Based Costing
masih tergolong metode baru sehingga sebagian besar perusahaan jasa multimoda masih melakukan
perhitungan yang sederhana dan konvensional. Dari uraian tersebut, banyak kelebihan yang dimiliki oleh
Time Driven Activity Based Costing sehingga potensial diterapkan untuk permasalahan pada perusahaan
jasa multimoda yang menjadi objek penelitian.

LT 3

Perusahaan adalah suatu organisasi yang menggunakan dan mengkoordinir barang-barang


ekonomi untuk menghasilkan produk agar dapat memuaskan kebutuhan konsumen dengan
tujuan akhir untuk memperoleh laba (Murti Sumarni dan Soeprihanto, 1993:5). Berdasarkan
pengertian perusahaan ini, perusahaan dapat digolongkan berdasarkan produk yang
dihasilkan menjadi dua macam yaitu perusahaan yang menghasilkan produk barang dan
produk jasa. Perusahaan dapat juga ditinjau dari aspek jenis kegiatannya yaitu perusahaan
dagang, perusahaan manufaktur dan perusahaan jasa. Dalam perusahaan dagang dan
manufaktur hasil yang dikeluarkan adalah barang, sebagai contoh pedagang gula dan
perusahan textile. Sedangkan perusahaan jasa hasil yang dikeluarkan berupa jasa sebagai
contoh jasa perjalanan wisata dan jasa pengiriman barang. Perusahaan jasa yang berkembang
pada saat ini telah merambah pada semua sektor kehidupan, salah satunya jasa pengiriman
barang PT Supra Raga Transport. Karena banyaknya perusahaan yang sejenis maka
diperlukan strategi untuk dapat bertahan dalam situasi persaingan ini. Salah satu strategi
untuk bertahan adalah dalam hal penentuan tarif pengiriman barang. Dalam penentuan tarif
yang dapat bersaing tidak hanya dilakukan dengan perkiraan saja tetapi harus dengan
perhitungan yang tepat. Apabila tarif terlalu tinggi maka berakibat pindahnya konsumen
keperusahaan yang lain, tetapi apabila tarif yang ditetapkan terlalu rendah berdampak pada
kelangsungan usaha perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik
mengajukan skripsi dengan judul “EVALUASI PENENTUAN TARIF PENGIRIMAN
BARANG”
LT 4
Perkembangan dunia usaha akhir – akhir ini mengalami persaingan global yang sangat ketat,
dimana perusahaan tidak hanya menghadapi pesaing lokal tetapi juga pesaing internasional,
hal ini telah menciptakan perubahan dalam model dan praktek manajemen. Kondisi ini
menjadikan manajer yang bertanggungjawab untuk menentukan strategi perusahaan,
sehingga manajer sangat memerlukan informasi yang akurat sebagai landasan dalam
mengambil berbagai kebijaksanaan, terutama kebijaksanaan penentuan harga pokok
produksi. Perhitungan harga pokok pada awalnya diterapkan dalam perusahaan manufaktur,
akan tetapi dalam perkembangannya perhitungan harga pokok telah diadaptasi oleh
perusahaan jasa, perusahaan dagang, dan sektor nirlaba. Harga pokok mempunyai peranan
yang sangat penting dalam menentukan harga jual produk/jasa. Penetapan biaya yang lebih
tepat akan menghasilkan harga pokok produksi / jasa yang lebih akurat. Oleh karena itu,
perusahaan harus benar-benar serius menangani harga pokok produksi / jasanya. Inilah yang
mendasari dikembangkannya metode Activity Based Costing System (ABC). Activity Based
Costing (ABC) telah menjadi ungkapan popular untuk mendeskripsikan teknik-teknik baru
dalam akuntansi manajemen. Berdasarkan hasil survey dengan pihak manajemen penetapan
tarif yang di diterapkan di Terminal Petikemas Semarang berdasarkan kesepakatan anggota
Asosiasi INSA (Indonesia National Shipowners Association) dan pihak manajemen TPKS
dengan memperhatikan pendekatan Harga jual jasa / pentarifan dari 2 (dua) pesaing
utamanya, yaitu Terminal Petikemas Surabaya (TPS) dan Jakarta Internasional Terminal
Container (PT JITC). Terminal Petikemas Semarang merupakan salah satu cabang PT
Pelabuhan Indonesia III (Persero) yang memberikan pelayanan jasa bongkar muat
petikemas. Terminal petikemas semarang (TPKS) dalam melakukan pentarifan, terdiri dari 3
segemen Usaha, yaitu, Bongkar / Muat baik Internasional dan Domestik, Lapangan dan
gudang / CFS (Container Freight Station). Berdasarkan hasil survey dengan pihak
manajemen penetapan tarif yang di diterapkan di Terminal Petikemas Semarang berdasarkan
kesepakatan anggota Asosiasi INSA (Indonesia National Shipowners Association) dan pihak
manajemen TPKS dengan memperhatikan pendekatan Harga jual jasa / pentarifan dari 2
(dua) pesaing utamanya, yaitu Terminal Petikemas Surabaya (TPS) dan Jakarta Internasional
Terminal Container (PT JITC). Batasan masalah dalam penelitian ini dipusatkan pada
perhitungan tarif jasa Bongkar / Muat (Loading – Discharging) FCL (Full Container Load)
Petikemas 20’ (dua puluh feet) dan tarif Petikemas kosong (Empty Container) 20’ (dua
puluh feet) tahun 2015. Produk jasa tersebut dipilih karena jasa Bongkar / Muat (Loading –
Discharging) FCL Petikemas 20’ dan petikemas kosong 20’ merupakan produk jasa
unggulan dan merupakan ukuran standar dari petikemas. Ukuran standart petikemas dimulai
dari panjang 20 feet, maka 1 petikemas 20’ dinyatakan dalam 1 TEUS (Twenty Foot
Equivalent Units) dan petikemas 40’ dinyatakan dalam 2 TEUS.
LT 5
Pada dasarnya, informasi akuntansi manajemen digunakan untuk membantu manajer
menjalankan peranannya dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan
proses memilih diantara berbagai alternatif dalam memaksimalkan penggunaan sumber daya
secara efektif dan efisien. Salah satu keputusan manajerial yang penting mengenai efisiensi
yaitu menyangkut penggunaan metode cost of goods manufactured. Beberapa metode dalam
menentukan cost of goods manufactured yaitu dengan metode konvensional dan metode
Activity Based Costing. Saat ini sebagian perusahaan masih menggunakan metode
konvensional dalam menentukan cost of goods manufactured, yang mengalokasikan biaya
overhead berdasarkan perubahan volume, berbasiskan jam mesin dan jam kerja langsung.
Metode perhitungan konvensional dalam perusahaan yang menghasilkan lebih dari satu jenis
produk akan menimbulkan kesulitan dalam menyajikan biaya produksi yang akurat. Hal ini
terjadi karena pembebanan biaya overhead dilakukan berdasarkan unit produksi, dari tiap
jenis produk, sedangkan proporsi sumber daya yang diserap oleh tiap jenis produk berbeda.
Karena itu, metode konvensional dapat mendistorsi biaya produksi per unit, dimana produk
dengan tingkat pengerjaan yang lebih rumit dikenai biaya yang sama atau bahkan lebih
rendah dari produk dengan tingkat pengerjaan yang tidak terlalu rumit. Sehingga metode ini
kurang mampu memberikan informasi yang akurat dalam pembuatan keputusan. Biaya
overhead pabrik dalam product cost menjadi lebih tinggi dari prime cost dan perhitungan
biaya secara konvensional dianggap tidak dapat mengalokasikan biaya overhead ke product
cost secara adil. Activity Based Costing dikembangkan untuk menjawab keterbatasan
metode konvensional dari kebutuhan manajemen akan informasi cost of goods manufactured
yang mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk
menghasilkan cost of goods manufactured secara akurat. Penerapan Activity Based Costing
akan relevan bila biaya overhead pabrik merupakan biaya yang paling dominan dan
multiproduk. Activity Based Costing dapat menelusuri aktivitas yang memberi nilai tambah
dan aktivitas yang tidak memberi nilai tambah yang ditakutkan dalam menghasilkan suatu
produk. Sehingga perusahaan dapat meminimalisasi aktivitas yang tidak memberikan nilai
tambah bagi produk, yang akhirnya akan menghasilkan produk bernilai tinggi dengan biaya
seminimal mungkin. Hal ini dikarenakan perhitungan metode ABC benar-benar
mencerminkan konsumsi sumber daya yang digunakan dalam proses produksi (Martusa et
al., 2010). Produk merupakan hasil aktivitas bisnis dan aktivitas tersebut memanfaatkan
sumber daya yang akan menimbulkan biaya. Biaya produk dihubungkan ke aktivitas bisnis
yang relevan kemudian dihubungkan ke sumber daya yang dimanfaatkan. Hal ini
menghasilkan perhitungan biaya produk yang lebih akurat dibandingkan dengan perhitungan
menggunakan konsep tradisional. Penggunaan teknologi yang semakin meningkat juga dapat
menyebabkan peningkatan biaya tetap seperti penyusutan, pemeliharaan mesin, dan asuransi
untuk peralatan otomatis. Dalam produksi, pemakaian mesin seperti telah menggantikan
tenaga kerja langsung. Penelitian mengenai penerapan metode Activity Based Costing dalam
menentukan cost of goods manufactured telah banyak dilakukan. Namun yang menjadi
kontribusi penelitian dalam hal ini yaitu tingkat akurasi pembebanan overhead melalui
penerapan metode konvensional dibandingkan dengan metode Activity Based Costing,
sebagai proxy dalam menentukan perhitungan cost of goods manufactured. Berdasarkan
masalah pembebanan overhead yang mempengaruhi perhitungan cost of goods
manufactured, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada PT Multi Rezekitama
yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur khususnya menghasilkan
berbagai jenis produk cat, antara lain cat tembok, cat genting, cat bak, cat kayu, hummerton,
kromat, brown mas, brown perak, singkromat, cat dasar, flinkut, dan vernis. Perusahaan ini
mengalami kesulitan dalam menelusuri biaya overhead, sehingga berdampak pada penentuan
cost of goods manufactured. Dalam produksinya, perusahaan ini menggunakan tenaga mesin
sehingga akan berpengaruh terhadap pengalokasian biaya tetap dalam setiap jenis produk
yang diproduksi. Dengan memperhatikan kondisi penentuan biaya overhead yang dominan
dan multiproduk, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna membandingkan
perhitungan cost of goods manufactured dengan pendekatan tradisional melalui metode
Activity Based Costing untuk mendapatkan keakuratan dalam menentukan cost of goods
manufactured.

Anda mungkin juga menyukai