KATA PENGANTAR
Pemakalah
ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI .........................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................................iii
A. Latar Belakang.................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah............................................................................................iii
C. Tujuan .............................................................................................................iii
BAB II. PEMBAHASAN.............................................................................................1
A. Pengertian Tanggung Jawab Hukum................................................................1
B. Tanggung Jawab Perdata...................................................................................3
C. Tanggung Jawab Pidana....................................................................................5
D. TAnggung Jawab Administrasi ......................................................................10
E. Contoh Kasus..................................................................................................12
BAB III. PENUTUP...................................................................................................15
A. Kesimpulan.....................................................................................................15
B. Saran...............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran korporasi atau
perusahaan saat ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan
korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan
sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Apapun jenis kejahatan yang
dilakukan, korbanlah yang selalu menderita kerugian akibat kejahatan yang terjadi.
Demikian juga kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yang menimbulkan korban
kejahatan korporasi yang menderita kerugian. Korban kejahatan korporasi
cakupannya lebih luas daripada korban kejahatan pada umumnya baik dari segi
jumlah korban maupun kerugian yang ditimbulkan, sehingga korban kejahatan
korporasi perlu mendapat perhatian khusus dalam pencegahan dan penanggulangan
kejahatan korporasi.
Kejahatan- kejahatan yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri dapat berupa
penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi,
diskriminasi dan eksploitasi, danlainnya. Segala sesuatu yang melanggar hukum
bahkan melanggar hak-hak seseorang bahkan Negara akan diminta
pertanggungjawabannya, baik tanggungjawab perdata,pidana, dan administrasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah tertera di atas maka rumusan masalah yang
kita temukan adalah:
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan dapat menjelaskan tanggung jawab perdata perusahaan.
iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tanggung Jawab Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban
menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan
diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi
seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 1 Menurut hukum
tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.
2
Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu
hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain
sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi
pertanggungjawabannya.3
Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu
kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar
kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan
yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau
tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).4
a. Teori Tanggung Jawab Hukum
Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan
melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :5
1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan
sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa
yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.
2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena
kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan
(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah
bercampur baur (interminglend).
1
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
2
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.
3
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010,
hlm48.
4
Ibid. hlm. 49.
5
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 503.
2
6
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm. 511.
7
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2010,
hlm. 3.
3
(negligence).13 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ini diatur dalam pasal
1365. Sedangkan tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian
saja, diatur dalam pasal 1366 KUH Perdata.
Kedua,prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (persumption of liability),
yaitu prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab,
sampai tergugat dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam prinsip
tersebut, beban pembuktian berada pada tergugat.14
Ketiga, prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), yaitutanggung jawab
hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah
yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau
tidak. Dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum,
meskipun dalam melakukan perbuatannya itu tidak melakukannya dengan sengaja, dan
tidak pula mengandung unsur kelalaian.15
Mengambil contoh tentang masalah pencemaran lingkungan yang dapat ditinjau
dari segi yuridis hukum positif Indonesia, pertanggungjawaban perdata bagi pencemar
lingkungan diatur dalam Pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam menanggung beban kerugian lingkungan
hidup, suatu korpoasi dikenakan tanggung jawab mutlak (strict liability) sesuai dengan
Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Penerapan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan bagian
daripada proses pembuktian pertanggungjawaban perdata pada kasus perusakan dan
pencemaran lingkungan.
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) berdasarkan ketentuan Pasal
88 UU No. 32 Tahun 2009 tersebut, dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 51 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor: 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Selain itu juga diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 36/
13
Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran
dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) VS PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”,
JurnalBina Hukum Lingkungan, Vol. 1, No. 1, (Oktober 2016), hlm. 38
14
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain dalam
Bidang Penerbangan (kumpulan pengarang), cet. ke-2, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 21
15
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013), hlm. 111.
5
16
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat
Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pasal 6.
6
Hal senada pun telah dipertegas Moeljatno pada kesempatan lain, sebagai berikut:
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan
suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana,
sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan
perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam
hukum pidana ialah: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder shculd;
Actus non facit reum nisi mens sir rea). 21
Selanjutnya untuk dapat mempidana seseorang haruslah ditemukan adanya kesalahan
yang tercermin dalam sikap batin si pembuat, oleh karenanya berkaitan dengan itu
Moeljatno menambahkan secara detail bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa harus:
a) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
b) di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab;
c) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;
d) tidak adanya alasan pemaaf.22
Berdasarkan uraian di atas, dalam pertanggungjawaban pidana konsep utamanya
adalah ajaran tentang kesalahan atau dikenal dengan istilah “mens rea” yang dilandaskan
pada azas bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali jika
pikiran orang itu jahat. Berdasarkan pada azas itulah, maka untuk dapat mempidana
seseorang diperlukan adanya dua persyaratan pokok, yakni:
1. adanya perbuatan yang lahiriah yang melanggar (actus rens), dan
2. adanya sikap bathin/niat yang jahat (mens rea).
Sebagai syarat yang pertama untuk mempidana seseorang adalah jelas secara lahiriah
terlihat adanya tingkah laku si pembuat yang melanggar sesuatu perbuatan yang dilarang
untuk dilakukan, sedangkan syarat yang kedua menunjukkan adanya sikap bathin atau
keadaan jiwa dari si pembuat sehubungan dengan perbuatan yang dilakukannya itu.
Dengan merujuk pendapat Moeljatno di atas maka semakin melengkapi ajaran tentang
kesalahan yang tentu bermanfaat terutama untuk menentukan bagaimana menyatakan
bahwa seseorang itu bersalah, hal ini penting oleh karena dalam setiap
pertanggungjawaban pidana itu akan selalu ada suatu kesalahan, baik dalam bentuk
kesengajaan ataupun kealpaan. Azas dalam hukum pidana yang tidak tertulis “geen straf
zonder schuld” yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan adalah azas yang sangat
fundamental dalam pertanggungjawaban pidana.
21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985, h. 153.
22
Ibid., h. 164.
8
Azas dalam hukum pidana modern ini lebih dikenal dengan istilah “liability without
foulty” atau diterjemahkan secara bebas sebagai “pertanggungjawaban tanpa kesalahan”,
asas inilah yang sementara ini dipandang sebagai alternatif asas sehingga hukum pidana
diharapkan dapat dan mampu mengatasi serta menanggulangi kejahatan-kejahatan
inkonvesioanl yang dilakukan korporasi selaku entitas hukum, sehingga memungkinkan
terhadap korporasi (rechtspersoon) dipertanggungjawabkan secara pidana sekalipun ia
tidak memiliki wujud fisik dan sikap batin sebagaimana manusia (natuurlijke person).
Menurut para pakar terdapat dua ajaran pokok yang menjadi landasaan pembenaran
dibebankannya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, yakni :
1) Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Mutlak (Doctrine of Strict Liability);
2) Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Doctrine of Vicarious Liability).
Bentuk dari tindak pidana yang makin marak dilakukan oleh korporasi di Indonesia
adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laudering) yang langsung maupun tidak
langsung merupakan turunan dari tindak pidana korupsi, sebagaimana lazim terjadi di
Indonesia. Selain itu marak pula tindak pidana perdagangan orang (human trafficking),
tindak pidana narkotika dan masih banyak lagi tindak pidana yang saat ini bagaikan suatu
kewajaran yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Meskipun telah banyak peraturan
perundangan yang mengatur pemberantasan terhadap berbagai macam tindak pidana
tersebut, akan tetapi di dalam prakteknya, semua yang terungkap bagaikan puncak
gunung es, yang masih menyimpan lebih banyak yang belum terungkap. Khusus terhadap
korporasi, sampai saat ini masih sangat sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau
terdakwa dalam tindak pidana, meskipun telah terlihat jelas kerugian yang ditimbulkan
dari perbuatan yang dilakukan oleh korporasi.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang
merupakan sistem hukum warisan dari Belanda, telah pula menerapkan sistem
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Akan tetapi, meskipun Indonesia telah
menganut sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, hingga saat ini masih
sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa dalam proses penegakan hukum
terhadap korporasi.
Dalam sejarah perkembangan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, bisa
dibagi menjadi :
a) Pengurus korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dibebankan kepada pengurus
korporasi dan bukan kepada korporasi yang bersangkutan ;
9
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi. Pelanggaran terhadap hukum administrasi
tersebut antara lain seperti asisten perawat tidak mempunyai surat ijin kerja, surat ijin
praktek, atau melangar batas kewenangan asisten perawat. Aspek hukum administrasi
dalam penyelenggaraan praktik pelayanan kesehatan, setiap asisten perawat yang telah
menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik dipersyaratkan untuk memiliki
ijin. Ijin menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu23:
Dari sudut bentuknya, ijin diberikan dalam bentuk tertulis, berdasarkan permohonan
tertulis yang diajukan. Lembaga yang berwenang mengeluarkan ijin juga didasarkan pada
kemampuan untuk melakukan penilaian administratif dan teknis tenaga kesehatan.
23
Rudi Yulianto, Analisa Terhadap Tindakan Perawat Dalam Melakukan Tindakan Khitan, Tesis,
Surabaya, 2017, h. 106
24
Ibid., h. 107.
11
Contoh Kasus Kebakaran Hutan dan/atau lahan PT. National Sago Prima (NSP)
PT. National Sago Prima (NSP), merupakan Badan Usaha yang bergerak di bidang
usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat. Hal ini berdasarkan
Akta Nomor : 4 Tanggal 10 Maret 2009. Pengesahan akta tersebut sesuai dengan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-
11540-AH.01.01.Tahun 2009 Tanggal 07 April 2009 Tentang Pengesahan Badan Hukum
Perseroan.
Pada tanggal 17 Desember 2018 yang lalu, Mahkamah Agung memutuskan untuk
mengabulkan kasasi yang dimohonkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan terkait kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PT. NSP dengan nomor perkara
3067 K/PDT/2018.
12
Dengan demikian PT. NSP harus melakukan ganti kerugian ekologis dan ekonomi
serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp. 1 truliun lebih sesuai dengan putusan PN
Jakarta Selatan No. 591/Pdt:G-LH/2015/ PN.Jkt.Sel.
PT. NSP terbukti melakukan kejahatan korporasi khususnya di bidang lingkungan
hidup karena lalai mengantisipasi kerusakan hutan akibat dari terjadinya kebakaran hutan
pada awal tahun 2014 sampai dengsan bulan Maret. Sehingga menyebabkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Hal tersebut sesuai dengan putusan PN Jakarta
Selatan No. 591/Pdt:G-LH/2015/PN.Jkt.Sel. Dalam putusan tersebut menjelaskan bahwa
PT. NSP telah melakukan beberapa perbuatan melawan hukum, diantaranya:
1. Adanya suatu perbuatan
PT. NSP melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.
Akibat dari kebakaran hutan dan lahan PT. NSP y, menyebabkan luas lahan yang
terbakar adalah sekitar 3.000 ha dengan 2.000 ha diantaranya adalah kawasan belum
produktif dan 1.000 ha adalah kawasan tanaman produktif.
2. Adanya perbuatan melanggar hukum
PT. NSP telah melanggar ketentuan yang ada di Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun
2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Berkaitan
dengan Hutan dan/atau Lahan. Selain itu PT. NSP juga lalai dalam melakukan
ketentuan yang ada di Peaturan Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 2009 tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
Tentang Perlindungan Hutan.
3. Adanya kesalahan
PT. NSP tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai dalam pengendalian
dan pencegahan kebakaran. PT. NSP dianggap lalai karena tidak memiliki early
warning system yang memadai dalam hal pengendalian kerusakan lingkungan hidup,
belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya
kebakaran hutan dan lahan di lokasi usahanya. Sehingga karena kelalaian PT. NSP
menyebabkan kebakaran yang terjadi di lahan pengelolaan cukup lama untuk
dipadamkan dan akhirnya terlampauinya kriteria baku mutu kerusakan lingkungan.
Lalai merupakan salah satu unsur kesalahan yang diatur dalam pasal 1365 dan 1366
KUH Perdata.
4. Adanya kerugian
13
Perbuatan melanggar hukum dan kesalahan yang telah dilakukan PT. NSP telah
menimbulkan kerugian lingkungan hidup, sehingga PT. NSP wajib untuk membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Ganti tersebut antara lain ganti
kerugian ekologis dan ekonomi serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.
1.072.913.922.500 (satu triliun tujuh puluh dua milyar sembilan ratus tiga belas juta
sembilan ratus dua puluh dua lima ratus rupiah).
5. Adanya unsur kausalitas sebab akibat
Akibat dari perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan PT. NSP yang telah
merusak lingkungan hidup di dalam lokasi IUPHHBK HTI Tanaman Sagu PT. NSP,
maka PT. NSP wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan dan wajib membayar
biaya pemulihan lingkungan hidup.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
1. Pertanggungjawaban hukum pidana pada korporasi dapat diminta
pertanggungjawabannya pada saat terpenuhinya unsur-unsur, antara lain: suatu
perbuatan yang bersifat melawan hukum, mampu bertanggung jawab, adanya
kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) seperti yang tercantum dalam
Pasal 338 KUHP, 340 KUHP, atau karena kealpaan (culpa) yang dimana terdapat
pada Pasal 359 KUHP dan 360 KUHP.
2. Pertanggungjawaban secara hukum perdata pada perusahaan dapat diminta
pertanggungjawaban secara perdata dan tindakan perusahaan dapat dikatakan
sebagai perbuatan melawan hukum, apabila dari tindakan tersebut terpenuhinya
unsu-unsur yang tertuang dalam Pasal 1365 kuhperdata, adanya kerugian nyata
yang diderita sebagai akibat langsung dari perbuatan tersebut. Sementara
pertanggungjawaban dalam kategori wanprestasi apabila terpenuhinya unsur-
unsur wanprestasi yang terdapat pada Pasal 1234 kuhperdata;
15
Daftar Pustaka
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta
Bakti, Bandung, 2010
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985
Yahya Harahap, Hukum PerseroanTerbatas, cet. ke-4 ,Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan:
Beberapa Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) VS PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, JurnalBina Hukum Lingkungan, Vol. 1,
No. 1, (Oktober 2016)
Tanggung Jawab Pidana, Perdata Dan Administrasi Asisten Perawat Dalam Pelayanan
Kesehatan Desa Swadaya oleh Clara Yunita Ina Ola, Khoirul Huda, Andika Persada
Putera, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hang
Tuah Surabaya.
Menguji Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Oleh Adriano
Adriano@Yahoo.Co.Id Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung