Anda di halaman 1dari 20

1

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN


Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Hukum Perusahaan dan Kepailitan”

Makalah ini disusun oleh:


Kelompok VI
Hukum Ekonomi Syariah- 6A

IRMA MAULINA (0204171003)


KAREN AZAM GINTING (0204171021)

Dosen Pengampu : Aida Nur Hasanah, S.Hi, MH

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puja dan
Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kamidapat merampungkan penyusunan makalah Hukum
Perusahaan dan Kepailitan dengan judul "Tanggung Jawab Perusahaan" tepat pada
waktunya. 
Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Namun
tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada
kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini. 
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalah lain yang berkaitan pada makalah-makalah selanjutnya. 
Wassalamu’alaikumWr.Wb.

Medan, Juni 2020

Pemakalah
ii

Daftar Isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI .........................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................................iii
A. Latar Belakang.................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah............................................................................................iii
C. Tujuan .............................................................................................................iii
BAB II. PEMBAHASAN.............................................................................................1
A. Pengertian Tanggung Jawab Hukum................................................................1
B. Tanggung Jawab Perdata...................................................................................3
C. Tanggung Jawab Pidana....................................................................................5
D. TAnggung Jawab Administrasi ......................................................................10
E. Contoh Kasus..................................................................................................12
BAB III. PENUTUP...................................................................................................15
A. Kesimpulan.....................................................................................................15
B. Saran...............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16
iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran korporasi atau
perusahaan saat ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan
korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan
sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Apapun jenis kejahatan yang
dilakukan, korbanlah yang selalu menderita kerugian akibat kejahatan yang terjadi.
Demikian juga kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yang menimbulkan korban
kejahatan korporasi yang menderita kerugian. Korban kejahatan korporasi
cakupannya lebih luas daripada korban kejahatan pada umumnya baik dari segi
jumlah korban maupun kerugian yang ditimbulkan, sehingga korban kejahatan
korporasi perlu mendapat perhatian khusus dalam pencegahan dan penanggulangan
kejahatan korporasi.
Kejahatan- kejahatan yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri dapat berupa
penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi,
diskriminasi dan eksploitasi, danlainnya. Segala sesuatu yang melanggar hukum
bahkan melanggar hak-hak seseorang bahkan Negara akan diminta
pertanggungjawabannya, baik tanggungjawab perdata,pidana, dan administrasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah tertera di atas maka rumusan masalah yang
kita temukan adalah:

1. Bagimana tanggung jawab perdata perusahaan ?


2. Bagaimana tanggung jawab pidana perusahaan?
3. Bagaimana tanggung jawab administrasi perusahaan?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan dapat menjelaskan tanggung jawab perdata perusahaan.
iv

2. Mengetahui dan dapat menjelaskan tanggung jawab pidana perusahaan.


3. Mengetahui dan dapat menjelaskan tanggung jawab administrasi perusahaan.
1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tanggung Jawab Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban
menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan
diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi
seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 1 Menurut hukum
tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.
2
Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu
hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain
sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi
pertanggungjawabannya.3
Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu
kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar
kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan
yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau
tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).4
a. Teori Tanggung Jawab Hukum
Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan
melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :5
1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan
sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa
yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.
2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena
kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan
(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah
bercampur baur (interminglend).
1
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
2
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.
3
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010,
hlm48.
4
Ibid. hlm. 49.
5
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 503.
2

3) Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa


mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik
secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya
tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.

b. Perbuatan Melawan Hukum


Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut dengan
istilah (onrechmatige daad) atau dalam bahasa inggris disebut tort. Kata (tort)
berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan dari
wanprestasi kontrak. Kata (tort) berasal dari bahasa latin (orquer) atau (tortus) dalam
bahasa Prancis, seperti kata (wrong) berasal dari bahasa Prancis (wrung) yang berarti
kesalahan atau kerugian (injury).
Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum yang kemudian dikenal
dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai sperti apa yang
disebut oleh pribahasa latin, yaitu (juris praecepta sunt haec honeste vivere, alterum
non leadere, suum cuque tribune) artinya semboyan hukum adalah hidup secara jujur,
tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain haknya. Sebelum tahun 1919
yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar
peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar Arrest HR 31 Januari 1919
dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang dimaksud perbuatan
melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain, hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan dan kesusilaan yang diterima
di masyarakat.6
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan
hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seorang yang
karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum
dikenal 3 (tiga) katgori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :7
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian).
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian

6
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm. 511.
7
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2010,
hlm. 3.
3

Jika ditinjau dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan


hukum lainya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem Eropa
Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :8
a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian),
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas
sebgaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

B. Tanggung Jawab Perdata


Menurut Munir Fuady suatu perbuatan melawan hukum berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 1365 KUH Perdata, haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 9 adanya
suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya unsur kesalahan,
menimbulkan kerugian bagi korban, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan
dengan kerugian.
Menurut Wiryono Projodikoro, pada umunya yang bertanggungjawab atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh suatu korporasi adalah seseorang yang
dapat dianggap mewakili korporasi tersebut yaitu pengurus atau anggota dari pengurus
tesebut. Seringkali ini disebutkan dalam statute atau Anggaran Dasar (AD) dari badan
hukum masing-masing.10 Demikian pula menurut Yahya Harahap, menurutnya orang
yang bertanggung jawab adalah orang-orang yang dianggap mempunyai wewenang dan
kapasitas untuk bertindak melakukan perbuatan hukum pada korporasi tersebut.11
Adapun untuk menentukan bentuk tanggung jawab perdata pada korporasi,
menggunakan prinsip-prinsip pertanggungjawaban. Secara umum, prinsip-prinsip
pertanggungjawaban dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:12
Pertama, tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault),
yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Unsur kesalahan ini terdiri dari unsur kesengajaan (intentional tort) dan unsur kelalaian
8
Ibid, hlm. 3.
9
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 254.
10
Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, cet. ke-3 (Bandung: Penerbit Vorkink Van Hoeve,
1959), hlm. 22.
11
Yahya Harahap, Hukum PerseroanTerbatas, cet. ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 124.
12
Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 220.
4

(negligence).13 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ini diatur dalam pasal
1365. Sedangkan tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian
saja, diatur dalam pasal 1366 KUH Perdata.
Kedua,prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (persumption of liability),
yaitu prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab,
sampai tergugat dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam prinsip
tersebut, beban pembuktian berada pada tergugat.14
Ketiga, prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), yaitutanggung jawab
hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah
yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau
tidak. Dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum,
meskipun dalam melakukan perbuatannya itu tidak melakukannya dengan sengaja, dan
tidak pula mengandung unsur kelalaian.15
Mengambil contoh tentang masalah pencemaran lingkungan yang dapat ditinjau
dari segi yuridis hukum positif Indonesia, pertanggungjawaban perdata bagi pencemar
lingkungan diatur dalam Pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam menanggung beban kerugian lingkungan
hidup, suatu korpoasi dikenakan tanggung jawab mutlak (strict liability) sesuai dengan
Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Penerapan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan bagian
daripada proses pembuktian pertanggungjawaban perdata pada kasus perusakan dan
pencemaran lingkungan.
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) berdasarkan ketentuan Pasal
88 UU No. 32 Tahun 2009 tersebut, dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 51 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor: 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Selain itu juga diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 36/

13
Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran
dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) VS PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”,
JurnalBina Hukum Lingkungan, Vol. 1, No. 1, (Oktober 2016), hlm. 38
14
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain dalam
Bidang Penerbangan (kumpulan pengarang), cet. ke-2, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 21
15
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2013), hlm. 111.
5

KMA.SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkunan


Hidup Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Berbicara mengenai penentuan ganti kerugian lingkungan hidup, dalam hukum
positif pedoman penentuan besaran ganti kerugian lebih lanjut diatur dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup
Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Permen ini dimaksudkan
untuk memberikan pedoman bagi instansi lingkungan hidup pusat dan/atau daerah dalam
menentukan besaran kerugian lingkungan hidup dan melakukan penghitungan besarnya
kerugian lingkungan hidup.
Dalam permen tersebut dijelaskan bahwa perhitungan besaran ganti rugi
dipengaruhi oleh faktor teknis dan non-teknis.Faktor teknis antara lain: durasi waktu atau
lama terjadinya Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, volume polutan
yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup, parameter polutan yang melebihi Baku
Mutu Lingkungan Hidup, luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/ atau Kerusakan
Lingkungan Hidup; dan/atau status lahan yang rusak. Sedangkan faktor nonteknis antara
lain; inflasi; dan/atau kebijakan pemerintah.16
C. Tanggung Jawab Pidana
Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subyek
hukum pidana. Subyek hukum pidana dalam ketentuan perundangundangan merupakan
pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum
yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap
orang lain (korban).
Tujuan dari pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu memberikan suatu dampak
penting bagi direktur untuk mengatur manajemen yang efektif agar korporasinya berjalan
sesuai dengan kewajiban korporasi tersebut. Pemidanaan terhadap korporasi, pada
dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan hukum pidana pada umumnya, yaitu:
1. Untuk menghentikan dan mencegah kejahatan di masa yang akan datang.
2. Mengandung unsur penghukuman yang mencerminkan kewajiban masyarakat untuk
menghukum siapapun yang membawa kerugian.
3. Untuk merehabilitasi para penjahat korporasi.
4. Pemidanaan korporasi harus mewujudkan sifat kejelasan, dapat diperdiksi dan
konsitensi dalam prinsip hukum pidana secara umum

16
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat
Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pasal 6.
6

5. Untuk efisiensi, dan


6. Untuk keadilan.17
Korporasi memiliki organ-organ kepengurusan, yang sekalipun secara riil yang
bertindak atau yang melakukan perbuatan adalah para pengurus atau bahkan para pegawai
korporasi, namun perbuatan hukum itu tidak mengikat kepada para pengurus atau para
pegawai secara pribadi, akan tetapi mengikat korporasi itu sendiri. Seiring dengan
perkembangan dunia perekonomian yang sedemikian pesat, yang lazim diikuti pula
dengan gejala kriminalitas yang mengiringinya dan merupakan dampak negative dari
rangkaian kelanjutan perkembangan dan pertumbuhan dunia perekonomian yang pesat
tersebut, maka yang tadinya korporasi itu hanya sebatas sebagai subyek hukum perdata,
kini telah pula merambah menjadikannya sebagai subyek hukum dalam hukum pidana.
Mengawali pembahasan dalam bagian ini terlebih dahulu akan dikaji tentang apa
sebenarnya yang dimaksud dengan tindak pidana atau perbuatan pidana atau dalam istilah
Belanda dikenal sebagai strafbaar feit. Roeslan Saleh menuliskan bahwa : “Perbuatan
pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki
oleh hukum. Syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada
aturan yang melarang”.18 Selanjutnya dengan mengacu pada pendapat Moeljatno
mengenai perbuatan pidana, Roeslan Saleh juga menuliskan :
Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dinamakan perbuatan pidana, juga disebut orang dengan delik. Menurut ujudnya
atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan
hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang
dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah
perbuatan yang anti sosial.19
Lebih lanjut Moeljatno mengatakan: “Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak
cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada
kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak
tertulis : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. (geen straf zonder schuld, ohne schuld
keine strafe)”.20
17
Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/21/pertan ggungjawaban-pidana-korporasi/
18
Rudhi Prasetya (II), Maatschap, Firma Dan Persekutuan Komanditer, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004, hal 1-2
19
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983, h.13
20
Ibid, h. 63.
7

Hal senada pun telah dipertegas Moeljatno pada kesempatan lain, sebagai berikut:
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan
suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana,
sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan
perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam
hukum pidana ialah: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder shculd;
Actus non facit reum nisi mens sir rea). 21
Selanjutnya untuk dapat mempidana seseorang haruslah ditemukan adanya kesalahan
yang tercermin dalam sikap batin si pembuat, oleh karenanya berkaitan dengan itu
Moeljatno menambahkan secara detail bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa harus:
a) melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
b) di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab;
c) mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;
d) tidak adanya alasan pemaaf.22
Berdasarkan uraian di atas, dalam pertanggungjawaban pidana konsep utamanya
adalah ajaran tentang kesalahan atau dikenal dengan istilah “mens rea” yang dilandaskan
pada azas bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali jika
pikiran orang itu jahat. Berdasarkan pada azas itulah, maka untuk dapat mempidana
seseorang diperlukan adanya dua persyaratan pokok, yakni:
1. adanya perbuatan yang lahiriah yang melanggar (actus rens), dan
2. adanya sikap bathin/niat yang jahat (mens rea).
Sebagai syarat yang pertama untuk mempidana seseorang adalah jelas secara lahiriah
terlihat adanya tingkah laku si pembuat yang melanggar sesuatu perbuatan yang dilarang
untuk dilakukan, sedangkan syarat yang kedua menunjukkan adanya sikap bathin atau
keadaan jiwa dari si pembuat sehubungan dengan perbuatan yang dilakukannya itu.
Dengan merujuk pendapat Moeljatno di atas maka semakin melengkapi ajaran tentang
kesalahan yang tentu bermanfaat terutama untuk menentukan bagaimana menyatakan
bahwa seseorang itu bersalah, hal ini penting oleh karena dalam setiap
pertanggungjawaban pidana itu akan selalu ada suatu kesalahan, baik dalam bentuk
kesengajaan ataupun kealpaan. Azas dalam hukum pidana yang tidak tertulis “geen straf
zonder schuld” yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan adalah azas yang sangat
fundamental dalam pertanggungjawaban pidana.

21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985, h. 153.
22
Ibid., h. 164.
8

Azas dalam hukum pidana modern ini lebih dikenal dengan istilah “liability without
foulty” atau diterjemahkan secara bebas sebagai “pertanggungjawaban tanpa kesalahan”,
asas inilah yang sementara ini dipandang sebagai alternatif asas sehingga hukum pidana
diharapkan dapat dan mampu mengatasi serta menanggulangi kejahatan-kejahatan
inkonvesioanl yang dilakukan korporasi selaku entitas hukum, sehingga memungkinkan
terhadap korporasi (rechtspersoon) dipertanggungjawabkan secara pidana sekalipun ia
tidak memiliki wujud fisik dan sikap batin sebagaimana manusia (natuurlijke person).
Menurut para pakar terdapat dua ajaran pokok yang menjadi landasaan pembenaran
dibebankannya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, yakni :
1) Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Mutlak (Doctrine of Strict Liability);
2) Ajaran Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Doctrine of Vicarious Liability).
Bentuk dari tindak pidana yang makin marak dilakukan oleh korporasi di Indonesia
adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money laudering) yang langsung maupun tidak
langsung merupakan turunan dari tindak pidana korupsi, sebagaimana lazim terjadi di
Indonesia. Selain itu marak pula tindak pidana perdagangan orang (human trafficking),
tindak pidana narkotika dan masih banyak lagi tindak pidana yang saat ini bagaikan suatu
kewajaran yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Meskipun telah banyak peraturan
perundangan yang mengatur pemberantasan terhadap berbagai macam tindak pidana
tersebut, akan tetapi di dalam prakteknya, semua yang terungkap bagaikan puncak
gunung es, yang masih menyimpan lebih banyak yang belum terungkap. Khusus terhadap
korporasi, sampai saat ini masih sangat sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau
terdakwa dalam tindak pidana, meskipun telah terlihat jelas kerugian yang ditimbulkan
dari perbuatan yang dilakukan oleh korporasi.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang
merupakan sistem hukum warisan dari Belanda, telah pula menerapkan sistem
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Akan tetapi, meskipun Indonesia telah
menganut sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, hingga saat ini masih
sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa dalam proses penegakan hukum
terhadap korporasi.
Dalam sejarah perkembangan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, bisa
dibagi menjadi :
a) Pengurus korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dibebankan kepada pengurus
korporasi dan bukan kepada korporasi yang bersangkutan ;
9

b) b) Korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika


pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dibebankan kepada korporasi
dan tidak dibebankan kepada prngurus korporasi ;
c) c) Pengurus korporasi dan korporasi secara bersama-sama dijadikan tersangka atau
terdakwa, yaitu ketika pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dibebankan
secara bersama-sama kepada pengurus dan korporasi yang bersangkutan.
Apabila kita melihat pada proses penegakan hukum atas pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi, maka dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut :
a) Pengurus diajukan terlebih dahulu sebagai tersangka atau terdakwa dan setelah
pengurus tersebut sebagai terdakwa telah dijatuhi putusan pemidanaan, kemudian
korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa ;
b) Korporasi diajukan terlebih dahulu sebagai tersangka atau terdakwa dan setelah
korporasi tersebut sebagai terdakwa telah dijatuhi putusan pemidanaan, kemudian
pengurus diajukan sebagai tersangka atau terdakwa ;
c) Korporasi dan pengurus diajukan secara bersama-sama sebagai tersangka atau
terdakwa ;
Dari ketiga proses penegakan hukum terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi,
terhadap pengajuan pengurus maupun korporasi secara terpisah, baik pengurus yang
diajukan terlebih dahulu maupun korporasi yang diajukan terlebih dahulu, mengandung
kelemahan yaitu ketika pada tahap penjatuhan pemidanaan dan putusan pemidanaan
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tentu akan
membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun perkara a quo
baru mempunyai kekuatan hukum tetap,. Hal ini menyebabkan akan terjadi kesulitan
dalam proses pengajuan pihak berikutnya dalam proses penegakan hukum, mengingat
dengan jangka waktu yang lama bisa menyebabkan rusak atau hilangnya barang bukti,
menghilangnya korporasi karena terjadi peleburan, pembubaran dan sebab-sebab lainnya.
Sedangkan apabila korporasi dan pengurus diajukan secara bersama-sama dan dalam
waktu yang sama sebagai tersangka maupun terdakwa, maka akan memudahkan proses
pemeriksaan perkara pada tiap tingkatan proses penegakan hukum. Di samping itu,
khusus pada tahap persidangan, tentu akan membuat persidangan dapat dilakukan secara
cepat dan biaya ringan serta proses rehabilitasi maupun ganti rugi kepada pihakpihak
yang dirugikan dapat cepat dilakukan

D. Tanggung Jawab Administrasi


10

Perusahaan dikatakan telah melakukan pelanggaran administrasi manakala


perusahaan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai
ketentuan pada perusahaan contohnya di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan
bagi asisten perawat untuk menjalankan tugasnya (surat ijin kerja, surat ijin praktek),
batas kewenangan serta kewajiban asisten perawat.

Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi. Pelanggaran terhadap hukum administrasi
tersebut antara lain seperti asisten perawat tidak mempunyai surat ijin kerja, surat ijin
praktek, atau melangar batas kewenangan asisten perawat. Aspek hukum administrasi
dalam penyelenggaraan praktik pelayanan kesehatan, setiap asisten perawat yang telah
menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik dipersyaratkan untuk memiliki
ijin. Ijin menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu23:

a. Ijin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele bevoegdheid) ;


b. Ijin dalam arti pemberian kewenangan secara materil (materieele bevoegdheid).
Pada hakikatnya, perangkat ijin menurut hukum administrasi adalah24:
1) Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian ijin (formal atau materil) dapat
memberi kontribusi dan standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh
asisten perawat dalam pelaksanaan praktiknya;
2) Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam pelaksanaan praktik dan
mencegah penyelenggaraan praktik pelayanan kesehatan oleh orang yang
tidak berhak ;
3) Melakukan proses seleksi yakni penilaian administrasi, serta kemampuan
teknis yang harus dipenuhi oleh setiap perawat ;
4) Memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik
yang tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.

Dari sudut bentuknya, ijin diberikan dalam bentuk tertulis, berdasarkan permohonan
tertulis yang diajukan. Lembaga yang berwenang mengeluarkan ijin juga didasarkan pada
kemampuan untuk melakukan penilaian administratif dan teknis tenaga kesehatan.

23
Rudi Yulianto, Analisa Terhadap Tindakan Perawat Dalam Melakukan Tindakan Khitan, Tesis,
Surabaya, 2017, h. 106
24
Ibid., h. 107.
11

Pengeluaran ijin dilandaskan pada asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan


yang baik, persamaan hak, kepercayaan, kepatutan dan keadilan.
Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya
pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan praktik
tenaga kesehatan dalam hal ini asisten perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Undang-Undang Tenaga Kesehatan telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib
ditaati setiap tenaga kesehatan yakni: Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan
kewenangan yang telah diatur, bagi asisten perawat setiap kewenangan sudah
dicantumkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang Asisten Tenaga Kesehatan.
Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap
gugatan malpraktik.
Ketiadaan surat ijin praktik dan surat tanda registrasi dalam menjalankan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administratif malpractice yang
dapat dikenai sanksi hukum. Bentuk Sanksi administrasi yang diancamkan pada
pelanggaran hukum adminitarsi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, denda
administratif dan pencabutan izin. Berdasarkan Undang-Undang Tenaga Kesehatan,
dimana tercantum bahwa setiap asisten tenaga kesehatan harus memiliki Sertifikat Ujian
Kompetensi dan Surat Tanda Registrasi untuk dapat menjalankan praktik yang telah ada
sebelum di undangkan peraturan ini untuk jangka waktu 6 tahun, dalam hal ini undang-
undang keperawatan telah dicatat dalam lembaran negara sehingga telah diberlakukan,
maka ketentuan pada pasal 88 berlaku hingga tahun 2020.

Contoh Kasus Kebakaran Hutan dan/atau lahan PT. National Sago Prima (NSP)
PT. National Sago Prima (NSP), merupakan Badan Usaha yang bergerak di bidang
usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat. Hal ini berdasarkan
Akta Nomor : 4 Tanggal 10 Maret 2009. Pengesahan akta tersebut sesuai dengan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-
11540-AH.01.01.Tahun 2009 Tanggal 07 April 2009 Tentang Pengesahan Badan Hukum
Perseroan.
Pada tanggal 17 Desember 2018 yang lalu, Mahkamah Agung memutuskan untuk
mengabulkan kasasi yang dimohonkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan terkait kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PT. NSP dengan nomor perkara
3067 K/PDT/2018.
12

Dengan demikian PT. NSP harus melakukan ganti kerugian ekologis dan ekonomi
serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp. 1 truliun lebih sesuai dengan putusan PN
Jakarta Selatan No. 591/Pdt:G-LH/2015/ PN.Jkt.Sel.
PT. NSP terbukti melakukan kejahatan korporasi khususnya di bidang lingkungan
hidup karena lalai mengantisipasi kerusakan hutan akibat dari terjadinya kebakaran hutan
pada awal tahun 2014 sampai dengsan bulan Maret. Sehingga menyebabkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Hal tersebut sesuai dengan putusan PN Jakarta
Selatan No. 591/Pdt:G-LH/2015/PN.Jkt.Sel. Dalam putusan tersebut menjelaskan bahwa
PT. NSP telah melakukan beberapa perbuatan melawan hukum, diantaranya:
1. Adanya suatu perbuatan
PT. NSP melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.
Akibat dari kebakaran hutan dan lahan PT. NSP y, menyebabkan luas lahan yang
terbakar adalah sekitar 3.000 ha dengan 2.000 ha diantaranya adalah kawasan belum
produktif dan 1.000 ha adalah kawasan tanaman produktif.
2. Adanya perbuatan melanggar hukum
PT. NSP telah melanggar ketentuan yang ada di Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun
2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Berkaitan
dengan Hutan dan/atau Lahan. Selain itu PT. NSP juga lalai dalam melakukan
ketentuan yang ada di Peaturan Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 2009 tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
Tentang Perlindungan Hutan.
3. Adanya kesalahan
PT. NSP tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai dalam pengendalian
dan pencegahan kebakaran. PT. NSP dianggap lalai karena tidak memiliki early
warning system yang memadai dalam hal pengendalian kerusakan lingkungan hidup,
belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya
kebakaran hutan dan lahan di lokasi usahanya. Sehingga karena kelalaian PT. NSP
menyebabkan kebakaran yang terjadi di lahan pengelolaan cukup lama untuk
dipadamkan dan akhirnya terlampauinya kriteria baku mutu kerusakan lingkungan.
Lalai merupakan salah satu unsur kesalahan yang diatur dalam pasal 1365 dan 1366
KUH Perdata.
4. Adanya kerugian
13

Perbuatan melanggar hukum dan kesalahan yang telah dilakukan PT. NSP telah
menimbulkan kerugian lingkungan hidup, sehingga PT. NSP wajib untuk membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Ganti tersebut antara lain ganti
kerugian ekologis dan ekonomi serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.
1.072.913.922.500 (satu triliun tujuh puluh dua milyar sembilan ratus tiga belas juta
sembilan ratus dua puluh dua lima ratus rupiah).
5. Adanya unsur kausalitas sebab akibat
Akibat dari perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan PT. NSP yang telah
merusak lingkungan hidup di dalam lokasi IUPHHBK HTI Tanaman Sagu PT. NSP,
maka PT. NSP wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan dan wajib membayar
biaya pemulihan lingkungan hidup.

Berdasarkan putusan PN Jakarta Selatan No. 591/Pdt:G-LH/2015/ PN.Jkt.Sel, PT.


NSP dibebankan tanggung jawab ganti kerugian dengan menggunakan prinsip
pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Prinsip tanggung jawab tersebut menjadikan
penggugat dalam hal ini adalah KLHK untuk tidak perlu membuktikan unsur kesalahan
atas perbuatan PT. NSP. Hal ini didasarkan oleh Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemdian dipertegas kembali
dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan
Kebakaran Hutan dan Lahan.
Perhitungan dan penentuan besaran ganti kerugian itu sendiri dilakukan oleh ahli di
bidang penataan hukum lingkungan di Instansi Lingkungan Hidup Pusat ataupun Daerah.
Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang
Kerugian Lingkungan. Faktor yang mempengaruhi besaran ganti rugi,antara lain: durasi
waktu atau lama terjadinya Pencemaran dan/ atau Kerusakan Lingkungan Hidup, volume
polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup, parameter polutan yang melebihi
Baku Mutu Lingkungan Hidup, luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau status lahan yang rusak, inflasi; dan/atau
kebijakan pemerintah. Jika diperhatikan, penentuan ganti rugi berdasarkan faktor-faktor
ini dimaksudkan agar besaran ganti rugi sesuai dengan besaran kerugian yang diderita
korban.
14

Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
1. Pertanggungjawaban hukum pidana pada korporasi dapat diminta
pertanggungjawabannya pada saat terpenuhinya unsur-unsur, antara lain: suatu
perbuatan yang bersifat melawan hukum, mampu bertanggung jawab, adanya
kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) seperti yang tercantum dalam
Pasal 338 KUHP, 340 KUHP, atau karena kealpaan (culpa) yang dimana terdapat
pada Pasal 359 KUHP dan 360 KUHP.
2. Pertanggungjawaban secara hukum perdata pada perusahaan dapat diminta
pertanggungjawaban secara perdata dan tindakan perusahaan dapat dikatakan
sebagai perbuatan melawan hukum, apabila dari tindakan tersebut terpenuhinya
unsu-unsur yang tertuang dalam Pasal 1365 kuhperdata, adanya kerugian nyata
yang diderita sebagai akibat langsung dari perbuatan tersebut. Sementara
pertanggungjawaban dalam kategori wanprestasi apabila terpenuhinya unsur-
unsur wanprestasi yang terdapat pada Pasal 1234 kuhperdata;
15

3. Pertanggungjawaban secara administrasi apabila perusahaan melanggar hukum


administrasi seperti tidak mempunyai surat tanda registrasi, surat izin kerja, surat
ijin praktik dan melanggar batas kewenangannya.
B. Saran
Dengan adanya makalah tentang Tanggung Jawab Perusahaan atau korporasi, kita
dapat mengetahui hal-hal apa yang harus dilakukan sesuai dengan aturan yang telah
dibuat oleh perusahaan dengan awasan peraturan pemerintah, yang mana dengan
mengetahui prinsip-prinsip seharusnya dapat memperkecil peluang bagi korporasi Untuk
melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum yang dapat merugikan banyak
pihak bahkan Negara. Mengingat makalah ini sangatlah sederhana dan dibuat dengan
referensi seadanya, alangkah baiknya pembaca bisa mengkaji lebih dalam bagaimana
tanggung jawab pidana, perdata dan adminstrasi pada perusahaan saat ini.

Daftar Pustaka
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta
Bakti, Bandung, 2010
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985
Yahya Harahap, Hukum PerseroanTerbatas, cet. ke-4 ,Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata untuk Kebakaran Hutan/Lahan:
Beberapa Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) VS PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, JurnalBina Hukum Lingkungan, Vol. 1,
No. 1, (Oktober 2016)
Tanggung Jawab Pidana, Perdata Dan Administrasi Asisten Perawat Dalam Pelayanan
Kesehatan Desa Swadaya oleh Clara Yunita Ina Ola, Khoirul Huda, Andika Persada
Putera, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hang
Tuah Surabaya.
Menguji Konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Oleh Adriano
Adriano@Yahoo.Co.Id Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung

Anda mungkin juga menyukai