Anda di halaman 1dari 5

Rangkuman Materi Sumber Hukum Perdata Internasional dan Titik Pertautan

1. Sumber Hukum Perdata Internasional


Hukum Perdata Internasional merupakan keseluruhan peraturan dan keputusan hukum
yang menunjukkan aturan hukum mana yang akan berkalaku atau apakahyang merupakan
hukum jika hubungan atau peristiwa antara warga negara pada suatu waktu tertentu yang
memperlihatkan titik pertalian dengan aturan dan kaidah hukum dari masing-masing pihak
yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal. Dalam artian terdapat
unsur asingnya.1, maka sebenarnya hukum perdata internasional itu bukanlah hukum antar
negara melainkan suatu hukum nasional yang berlaku terhadap suatu peristiwa yang
mengandung unsur asingnya, jadi sumber-sumber hukum perdata internasional adalah
berikut
a. Sumber utama, yaitu sumber yang berupa sumber hukum tertulis antara lain undang-
undang ataupun traktat. Sumber hukum tidak tertulis berupa yurisprudensi dan
kebiasaan.
b. Sumber HPI Indonesia,
 Pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB (Algemeene Bepalingen van Wetgeving Indonesie)
 UU kewarganegaraan RI yaitu UU nomor 62 tahun 1958
 UU no 5 tahun 1960, UU pokok agrarian. Dalam uu ini ada 2 pasal yang menyangkut
dengan HPI.
1. Pasal 16 AB Status Personil Seseorang & Wewenang
Status & wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya (Lex
patriae). Jadi, seseorang dimanapun ia berada tetap terikat kepada hukumnya yang
menyangkut status & wewenang demikian pula orang asing maksudnya status &
wewenang orang asing itu harus dinilai hukum nasional orang asing tersebut
2. Pasal 17 AB Status Kenyataan atau Riil
Status Mengenai benda2 tetap harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat
dimana benda itu terletak (lex resital).
3. Pasal 18 AB Status Campuran
Status campuran bentuk tindakan hukum dinilai menurut hukum dimana tindakan itu
dilakukan (Locus Regit Actum)
Ketiga pasal tersebut diatas merupakan contoh dari ketentuan penunjuk disebut sebagai ketentuan
penunjuk karena menunjuk kepada suatu sistim tertentu mungkin hukum nasional maupun hukum
asing, dalam prakteknya hakim yang mengadili kasus HPI ini merupakan atau memakai hukum
asing hal ini dilakukan oleh sang hakim dengan dasar karena UU yang berlaku dinegara orang
asing tersebut yang memerintahkan bahwa dalam kasus yang dihadapi tersebut menerapkan hukum
asing.

1 Sudarto Gautama, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, Hal.21
2. Titik Pertautan
Dalam hal menentukan bilamana suatu persoalan hukum dapat digolongkan sebagai
persoalan hukum perdata internasional, sebagaimana dikutip dalam uraian Kosters, bahwa
pada Hukum Perdata Internasional ini kita berhadapan dengan peristiwa hukum yang
tersebar di atas bidang yang lebih luas daripada hukum nasional saja, dengan peristiwa-
peristiwa yang menunjukkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel hukum daripada
lebih dari satu, acapkali dari berbagai negara. Dari uraian ini muncul istilah “aanknoping”
(titik pertalian, titik pertautan).2
Masalah-masalah pokok Hukum Perdata Internasional sebagaimana perkembangannya
didasarkan atas kenyataan adanya ko-eksistensi dari pelbagai sistem hukum negara-negara
di dunia yang sederajat kedudukannya. Adapun masalah pokok Hukum Perdata
Internasional adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi Relatif, hakim atau badan peradilan mana yang berwenang
menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing.
2. Hukum yang berlaku untuk mengatur dan/atau menyelesaikan perkara yang
mengandung unsur asing.
3. Pengakuan terhadap putusan-putusan hakim asing atau mengakui hak-hak yang terbit
berdasarkan hukum atau Putusan Pengadilan Asing.3
Dengan kata lain, bahwa masalah yang dihadapi sebagai persoalan Hukum Perdata
Internasional adalah berkisar dari tiga pertanyaan tersebut yang kemudian dikembangkan
sebagai Lex Fori (Choice of Jurisdiction), Lex Causae (masalah pilihan hukum
atau Choice of Law), dan pengakuan putusan hukum asing (Recognition of Foreign
Judgements).
Dalam perumusan Hukum Perdata Internasional telah dipergunakan istilah “Titik
Pertalian” berdasar pada pendekatan yang sederhana, proses penyelesaian perkara Hukum
Perdata Internasional sebenarnya dimulai dengan evaluasi terhadap titik-titik taut (primer)
dan setelah melalui proses kualifikasi fakta, konsep titik taut kembali digunakan (dalam
arti sekunder) dalam rangka menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam perkara
Hukum Perdata Internasional yang bersangkutan.
Titik-titik taut didefinisikan sebagai fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara Hukum
Perdata Internasional yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu,
dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan sistem hukum dari
tempat itu.
Titik-titik pertalian dapat dibagikan dalam beberapa bagian tertentu. Ada berbagai macam
pembagian dan perincian lebih jauh daripada titik-titik pertalian ini, sebagai berikut:
1) Titik Taut Primer

2 Sudargo Gautama, op. cit, hal. 37


3 Bayu Seto, 2001, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
14-16.
Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum yang menunjukkan bahwa
peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing dan karena itu, bahwa peristiwa hukum yang
dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan peristiwa hukum intern atau
domestik semata.
2) Titik Taut Sekunder
Yaitu fakta-fakta dalam perkara Hukum Perdata Internasional yang akan membantu penentuan
hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan perosalan Hukum Perdata
Internasional yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder seringkali disebut titik taut penentu karena
fungsinya akan menentukan huum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the
applicable law dalam penyelesaian suatu perkara.
Jenis-jenis pertalian yang pada umumnya dianggap menentukan dalam Hukum Perdata
Internasional adalah, antara lain:
a) Tempat penerbitan izin berlayar sebuah kapal (bendera kapal) kewarganegaraan para
pihak.
b) Domisili, tempat tinggal tetap, tempat asal orang atau badan hokum.
c) Tempat benda terletak (situs).
d) Tempat dilakukannya perbuatan hukum (Locus Actus).
e) Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum atau tempat pelaksanaan perjanjian (Locus
Solutionis).
f) Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi (Locus Celebrationis).
g) Tempat gugatan perkara diajukan atau tempat pengadilan (Locus Forum).

Contoh Kasus
Sumber: Kompasiana.com
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dibawah register Nomor 172/PdtG/2014/Pn.Dps mengenai
perceraian warga negara asing di Indonesia merupakan salah satu kasus yang terkait dengan
Hukum Perdata Internasional. Gugatan ini diajukan oleh seorang suami yang sebut saja namanya
Thomas yang merupakan Warga Negara Afrika Selatan, pemegang Pasport No. M00096351 dan
KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas) di Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Ngurah
Rai, yang saat ini beralamat di Badung Bali. Bahwa Thomas dan Isteri nya sudah menikah sejak
tanggal 12 Desember 1975 dan diterangkan dalam Akte Perkawinan Lengkap yang telah
dikeluarkan Oleh Departemen Dalam Negeri Republik Afrika Selatan No. Q10424 pada tanggal
12 Desember 2005.
Bahwa sejak pernikahan dilangsungkan hingga sekarang mereka tidak di karuniai seorang anak.
Sudah 10 Tahun terakhir Thomas dan Isterinya sudah tidak tinggal dalam satu rumah. Kedua
pasangan suami isteri tersebut sama-sama bekerja pada bidang perhotelan namun mereka bekerja
pada hotel yang berbeda sehingga mereka harus menjalani perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri
yang mengakibatkan mereka jarang bertemu satu sama lain. Karena sudah 10 Tahun berpisah
dalam arti mereka sudah tidak tinggal dalam satu rumah kemudian Thomas mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan Negeri Denpasar dimana ia dan isterinya berdomisili sekarang dan
Isterinya pun menyetujui nya.
Kasus gugatan perceraian Thomas terhadap isteri nya ini masuk dalam perkara Hukum Perdata
Internasional, karena terdapat unsur asing yaitu Thomas dan Isterinya yang berkewarganegaraan
Afrika Selatan. Dimana dalam menganalisa kasus ini yang menjadi fokus adalah gugatan
perceraian yang diajukan di Pengadilan Negeri Denpasar, Namun perkawinan kedua pasangan ini
dilangsungkan di Afrika Selatan. Dari uraian kasus diatas kami mencoba menganalisis dengan
pranata tradisional Teori Titik Taut, Teori Kualifikasi, Lex Fori, dan Lex causae. Menurut Bayu
Seto Hardjowahono (2013:84) Titik Taut adalah fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara
yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan karena itu
menciptkan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya sistem
atau aturan hukum intern dari tempat itu. Pertama-tama kami menentukan apa yang menjadi Titik
Taut Primer dari kasus tersebut.
Yang menjadi Titik Taut Primer dari kasus tersebut antara lain yaitu: 1) Kewarganegaraan, karena
Thomas dan isterinya mereka adalah pasangan suami isteri yang berkewarganegaraan Afrika
Selatan, 2) Domisili, Tempat tinggal tetap Thomas dan Isterinya adalah di Bali sehingga Domisili
masuk menjadi Titik Taut Primer dalam kasus ini, 3) Tempat terjadinya perbuatan hukum, poin
ke-3 ini masuk menjadi Titik Taut Primer karena gugatan perceraian yang diajukan Thomas
terhadap Isterinya diajukan di Pengadilan Negeri Denpasar. Setelah ditentukan mana yang menjadi
Titik Taut Primer kemudian kita menentukan apa yang menjadi Titik Taut Sekunder, yang menjadi
Titik Taut Sekunder adalah Hukum Kewarganegaraan (lex patriae) karena Thomas dan Isterinya
termasuk Warga Negara Asing.
Setelah ditentukan apa yang menjadi Titik Taut Primer dan Sekunder kemudian kita
mengkualifikasi kasus tersebut dari uraian fakta hukum yang sudah dijabarkan diatas, kategori
yuridis terhadap fakta yang ditemukan menjadikan kasus ini masuk dalam kualifikasi hukum
tentang orang karena yang menjadi fokus utama nya adalah gugatan perceraian Warga Negara
Asing yang diajukan di PN Denpasar. Kemudian kami tentukan Lex Fori dari uraian fakta hukum
diatas adalah Hukum Indonesia, karena Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata) ditegaskan bahwa, “tuntutan untuk perceraian perkawinan,
harus dimajukan kepada pengadilan negeri, yang mana dalam daerah hukumnya, tatkala surat
permintaan termaksud dalam Pasal 831 Reglemen Hukum Acara Perdata dimajukan, si suami
mempunyai tempat tinggalnya, atau dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, tempat
kediaman sebenarnya.
Jika si suami pada saat tersebut tak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya
di Indonesia, maka tuntutan harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman si istri
sebenarnya. Hal ini di kuatkan dengan pendapat Sudargo Gautama (1987:224) “pada saat perkara
perceraian atau hidup terpisah diajukan, haruslah salah satu ketentuan yang terinci dibawah ini
terpenuhi, yaitu Pihak tergugat mempunyai “habitual residence” nya (domisilinya) dinegara
tempat perceraian diucapkan. Setelah kita menemukan lex fori dari kasus tersebut maka langkah
selanjutnya menentukan lex causae dari kasus tersebut menurut pasal 18 AB yang berisi “Bentuk
dari tiap perbuatan ditentukan menurut hukum dari negara atau tempat, dimana perbuatan itu
dilakukan.” (locus regit actum). Dari bunyi pasal tersebut yang merupakan Sumber Hukum
Perdata Internasional maka yang menjadi lex causae dari kasus ini adalah Hukum Indonesia.
Dari hasil analisis kasus yang bersangkutan dapat disimpulkan bahwa dalam menyelesaikan
perkara perceraian yang diajukan oleh warga negara asing di pengadilan Indonesia dapat
diselesaikan di Indonesia, dengan syarat proses peradilan tersebut sesuai dengan hukum formil dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Pengadilan Negeri Denpasar memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili dalam perkara perceraian Warga Negara Asing
berdasarkan tempat tinggal tergugat (forum rei) yaitu di Indonesia dan pertimbangan Mahkamah
Agung yang mengabulkan gugatan perceraian warga negara asing berkewarganegaraan Afrika
Selatan telah sesuai prinsip-prinsip Hukum Perdata Internasional maka hukum materil yang
digunakan yaitu hukum Indonesia sebagai dasar pemeriksaan gugatan yang diajukan oleh
Penggugat.

Anda mungkin juga menyukai