Anda di halaman 1dari 4

Perceraian Pasangan Warga Negara Afrika Selatan yang Diajukan di Pengadilan

Negeri Denpasar

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar dibawah register Nomor 172/PdtG/2014/Pn.Dps


mengenai perceraian warga negara asing di Indonesia merupakan salah satu kasus yang
terkait dengan Hukum Perdata Internasional. Gugatan ini diajukan oleh seorang suami yang
sebut saja namanya Thomas yang merupakan Warga Negara Afrika Selatan, pemegang
Pasport No. M00096351 dan KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas) di Indonesia, yang
dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Ngurah Rai, yang saat ini beralamat di Badung Bali. Bahwa
Thomas dan Isteri nya sudah menikah sejak tanggal 12 Desember 1975 dan diterangkan
dalam Akte Perkawinan Lengkap yang telah dikeluarkan Oleh Departemen Dalam Negeri
Republik Afrika Selatan No. Q10424 pada tanggal 12 Desember 2005.

Bahwa sejak pernikahan dilangsungkan hingga sekarang mereka tidak di karuniai


seorang anak. Sudah 10 Tahun terakhir Thomas dan Isterinya sudah tidak tinggal dalam satu
rumah. Kedua pasangan suami isteri tersebut sama-sama bekerja pada bidang perhotelan
namun mereka bekerja pada hotel yang berbeda sehingga mereka harus menjalani perjalanan
ke luar negeri sendiri-sendiri yang mengakibatkan mereka jarang bertemu satu sama lain.
Karena sudah 10 Tahun berpisah dalam arti mereka sudah tidak tinggal dalam satu rumah
kemudian Thomas mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri Denpasar dimana ia
dan isterinya berdomisili sekarang dan Isterinya pun menyetujui nya.

Kasus gugatan perceraian Thomas terhadap isteri nya ini masuk dalam perkara
Hukum Perdata Internasional, karena terdapat unsur asing yaitu Thomas dan Isterinya yang
berkewarganegaraan Afrika Selatan. Dimana dalam menganalisa kasus ini yang menjadi
fokus adalah gugatan perceraian yang diajukan di Pengadilan Negeri Denpasar, Namun
perkawinan kedua pasangan ini dilangsungkan di Afrika Selatan.
Dari uraian kasus diatas kami mencoba menganalisis dengan pranata tradisional Teori
Titik Taut, Teori Kualifikasi, Lex Fori, dan Lex causae. Menurut Bayu Seto Hardjowahono
(2013:84) Titik Taut adalah fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara yang
menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan karena itu
menciptkan relevansi antara perkara yang  bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya
sistem atau aturan hukum intern dari tempat itu. Pertama-tama kami menentukan apa yang
menjadi Titik Taut Primer dari kasus tersebut.

Yang menjadi Titik Taut Primer dari kasus tersebut antara lain yaitu:

1) Kewarganegaraan, karena Thomas dan isterinya mereka adalah pasangan suami isteri
yang berkewarganegaraan Afrika Selatan,
2) Domisili, Tempat tinggal tetap Thomas dan Isterinya adalah di Bali sehingga Domisili
masuk menjadi Titik Taut Primer dalam kasus ini,
3) Tempat terjadinya perbuatan hukum, poin ke-3 ini masuk menjadi Titik Taut Primer
karena gugatan perceraian yang diajukan Thomas terhadap Isterinya diajukan di
Pengadilan Negeri Denpasar.

Setelah ditentukan mana yang menjadi Titik Taut Primer kemudian kita menentukan apa
yang menjadi Titik Taut Sekunder, yang menjadi Titik Taut Sekunder adalah Hukum
Kewarganegaraan (lex patriae) karena Thomas dan Isterinya termasuk Warga Negara Asing.

Setelah ditentukan apa yang menjadi Titik Taut Primer dan Sekunder kemudian kita
mengkualifikasi kasus tersebut dari uraian fakta hukum yang sudah dijabarkan diatas,
kategori yuridis terhadap fakta yang ditemukan menjadikan kasus ini masuk dalam
kualifikasi hukum tentang orang karena yang menjadi fokus utama nya adalah gugatan
perceraian Warga Negara Asing yang diajukan di PN Denpasar.

Kemudian kami tentukan Lex Fori dari uraian fakta hukum diatas adalah Hukum
Indonesia, karena Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) ditegaskan bahwa, “tuntutan untuk perceraian perkawinan, harus dimajukan
kepada pengadilan negeri, yang mana dalam daerah hukumnya, tatkala surat permintaan
termaksud dalam Pasal 831 Reglemen Hukum Acara Perdata dimajukan, si suami
mempunyai tempat tinggalnya, atau dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian,
tempat kediaman sebenarnya.

Jika si suami pada saat tersebut tak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman
sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri tempat
kediaman si istri sebenarnya. Hal ini di kuatkan dengan pendapat Sudargo Gautama
(1987:224) “pada saat perkara perceraian atau hidup terpisah diajukan, haruslah salah satu
ketentuan yang terinci dibawah ini terpenuhi, yaitu Pihak tergugat mempunyai “habitual
residence” nya (domisilinya) dinegara tempat perceraian diucapkan.

Setelah kita menemukan lex fori dari kasus tersebut maka langkah selanjutnya


menentukan lex causae dari kasus tersebut menurut pasal 18 AB yang berisi “Bentuk dari
tiap perbuatan ditentukan menurut hukum dari negara atau tempat, dimana perbuatan itu
dilakukan.” (locus regit actum). Dari bunyi pasal tersebut yang merupakan Sumber Hukum
Perdata Internasional maka yang menjadi lex causae dari kasus ini adalah Hukum Indonesia.

Dari hasil analisis kasus yang bersangkutan dapat disimpulkan bahwa dalam
menyelesaikan perkara perceraian yang diajukan oleh warga negara asing di pengadilan
Indonesia dapat diselesaikan di Indonesia, dengan syarat proses peradilan tersebut sesuai
dengan hukum formil dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Selain itu, Pengadilan Negeri Denpasar memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili dalam perkara perceraian Warga Negara Asing berdasarkan tempat tinggal
tergugat (forum rei) yaitu di Indonesia dan pertimbangan Mahkamah Agung yang
mengabulkan gugatan perceraian warga negara asing berkewarganegaraan Afrika Selatan
telah sesuai prinsip-prinsip Hukum Perdata Internasional maka hukum materil yang
digunakan yaitu hukum Indonesia sebagai dasar pemeriksaan gugatan yang diajukan oleh
Penggugat.

Anda mungkin juga menyukai