Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


POST ORIF FEMUR DI RUANG POLI ORTOPEDI
RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI
JEMBER

OLEH:
Handita Diani Ratri, S. Kep
NIM 182311101032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER, 2018
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Tentang Penyakit


1. Review Anatomi Fisiologi
Femur atau tulang paha merupakan tulang yang memanjang dari panggul ke
lutut dan merupakan tulang terpanjang dan terbesar di dalam tubuh, panjang
femur dapat mencapai seperempat panjang tubuh.Femur dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu ujung proksimal, batang, dan ujung distal. Ujung proksimal bersendi
dengan asetabulum tulang panggul dan ujung distal bersendi dengan patella dan
tibia. Ujung proksimal terdiri dari caput femoris, fores capitis femoris, collum
femoris, trochanter mayor, fossa trochanterica, trochanter minor, trochanter
tertius, linea intertrochanter, dan crista intertrochanterica.

Gambar 1. Ujung Proksimal Femur


Batang atau corpus femur atau shaft merupakan tulang panjang yang
mengecil di bagian tengahnya dan berbentuk silinder halus dan bundar di
depannya. Linea aspera terdapat pada bagian posterior corpus dan memiliki dua
komponen yaitu labium lateral dan labium medial. Labium lateral menerus pada
rigi yang kasar dan lebar disebut tuberositas glutea yang meluas ke bagian
belakang trochanter mayor pada bagian proksimal corpus, sedangkan labium
medial menerus pada linea spirale yang seterusnya ke linea intertrochanterica
yang menghubungkan antara trochanter mayor dan trochanter minor.

Gambar 2. Anatomi Femur


Pada ujung distal terdapat bagian-bagian seperti condylus medialis,
condylus lateralis, epicondylus medialis, epicondylus lateralis, facies patellaris,
fossa intercondylaris, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan
sulcus popliteus, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus
popliteus. Condylus memiliki permukaan sendi untuk tibia dan patella.
Gambar 3. Pembuluh darah di Femur
Terdapat pembuluh darah besar di sekitar femur, yaitu femoral artery, dan
femoral vein. Vena yang terdapat pada sekitar tulang femur atau yang disebut
Common Femoral Vein (CGV) memiliki diameter rata rata 11,84 mm pada saat
relaksasi, dan mampu meningkat hingga 14,27 mm. Diameter arteri femoralis
adalah berkisar 3,9 hingga 8,9 mm. Terdapat great saphenous vein yang
merupakan vena besar, subkutan, dan superfisial. Vena ini merupakan vena
terpanjang pada tubuh manusia yang bekerja pada sepanjangn ekstremitas bawah
(Keiler dkk., 2018).
Gambar 4. Kompartmen Femur
Karedsheh (2018) menjelaskan bahwa terdapat 3 kompartment yang berada
di sekitar tulang femur, meliputi anterior, medial, dan posterior. Diantara
kompartmen satu dengan yang lain dipisahkan oleh sekat atau septum.
a. Anterior compartment
Otot: vastus intermedius, vastus lateralis, rectus femoralis, vastus
medialis, dan sartonus.
Nerve: femoral nerve
b. Medial/adductor compartment
Otot: adductor longus, gracilis, dan adductor magnus
Nerve: sciatic nerve
c. Posterior compartment
Otot: biceps femoralis, semitensinosus, dan semimembranosus
Nerve: obturator nerve
2. Definisi
ORIF (Open Reduction Internal Fixation, Open Reduksi Internal Fiksasi)
merupakan jenis operasi yang digunakan untuk memperbaiki tulang yang patah.
Operasi ini terdiri dari dua bagian. Pertama, tulang yang patah direduksi atau
dikembalikan ke tempatnya. Selanjutnya, perangkat fiksasi internal ditempatkan
pada tulang. Perangkat fiksasi bisa dilakukan dengan sekrup, pelat, batang, atau
pin yang digunakan untuk menahan tulang yang patah (Winchester Hospital,
2018).
Intermountain Healhcare (2012) menjelaskan bahwa ORIF merupakan
prosedur pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki tulang yang patah
(fraktur). Reduksi terbuka (open reduction) adalah pembuatan sayatan (insisi)
yang dilakukan untuk menjangkau tulang yang fraktur dan kemudian
memindahkan tulang tersebut kembali ke posisi normal. Fiksasi internal (internal
fixation) adalah penempatan sekrup logam, pelat, jahitan, atau batang (rods) di
tulang agar tetap berada di tempatnya saat poses penyembuhan terjadi.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Norvell, 2017; Keany 2015). Fraktur femur yang digambarkan sesuai lokasi,
dapat dikelompokkan menjadi 3, meliputi proksimal atau ujung atas dekat
panggul, shaft/poros tulang, dan distal atau ujung bawah dekat lutut (Avruskin,
2013; Romeo, 2018).
Gambar 5. ORIF pada Fraktur Femur

3. Epidemiologi
Romeo (2018) menjelaskan bahwa insiden fraktur femur berkisar antara 9,5
hingga 18,9 per 100.000 populasi dunia per tahun. Insiden fraktur femur di
Amerika Serikat adalah sebanyak 250.000 kasus, dan diperkirakan akan
meningkat dua kali lipat pada tahun 2050.

4. Etiologi
ORIF merupakan salah satu penatalaksanaan pada kasus fraktur, Nurafif dan
Kusuma (2015) menjelaskan bahwa etiologi fraktur adalah sebagai berikut:
a. Faktor traumatik
Kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat teradi patah pada
tempat yang terkena, akan mengakibatkan kerusakan pada jaringan
lunak disekitarnya. Jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka
terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan
kerusakan jaringan lunak ditempat yang terkena dan kerusakan jaringan
lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma ada 2
yaitu:
1) Trauma langsung adalah benturan pada tulang yang berakibat
ditempat tersebut.
2) Trauma tidak langsung adalah titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur yang berjauhan.
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.
d. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

5. Klasifikasi
Nurafif dan Kusuma (2015) menjelaskan bahwa fraktur diklasifikasikan
secara klinis menjadi 3, yaitu:
a. Fraktur tertutup (closed)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar
trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunaksekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringansubkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam danpembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman compartment syndrome.

Gambar 6. Fraktur Tertutup


b. Fraktur terbuka (open/ compound fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang bila tulang yang patah menembus
otot dan kulit yang memungkinkan/potensial untuk terjadi infeksi
dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang
yang patah. Derajat patah tulang terbuka dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Derajat I apabila laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi
fragmen minimal.
2) Derajata II apabila laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III apabila luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar.
(a) Derajat IIIA: patah tulang terbuka dengan jaringan luas, tetapi
masih bisa menutupi patahan tulang saat dilakukan perbaikan.
(b) Derajat IIIB: patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak hebat atau hilang (soft tissue loes) sehingga tampak
tulang (bone-exposs).
(c) Derajat IIIC: patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh
darah dan atau saraf yang hebat.
Gambar 7. Fraktur Terbuka
c. Fraktur dengan komplikasi, seperti halnya malunion, delayed,
nonunion, dan infeksi tulang.

6. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit (Smeltzer & Bare, 2002). Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi
perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment (Smeltzer & Bare, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup.Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon,
otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain: nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito,2012). Reduksi terbuka dan fiksasi interna
(ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku.
Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price & Wilson, 2006).

7. Manifestasi Klinis
Belleza (2016) menjelaskan bahwa manifestasi klinis fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Kehilangan fungsi
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran
fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui
dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur.Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lainya.
d. Edema dan ecchymosis lokal
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

8. Pemeriksaan Penunjang
Belleza (2016) menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada pasien dengan diagnosa fraktur femur adalah:
a. Pemeriksaan X ray, berfungsi untuk menentukan lokasi dan luas fraktur
b. Bone scans, tomograms, computed tomography (CT) atau Magnetig
Resonance Imaging (MRI), bertujuan untuk memfisualisasi fraktur,
perdarahan, kerusakan jaringan, dan membedakan antara ftaktur akibat
trauma dengan neoplasma tulang
c. Arteriogram, yaitu pemeriksaan yang dapat dilakukan aabila dicurigai
terjadi kerusakan pembuluh darah okuli
d. Complete Blood Cound (CBC). Jika hasil pemeriksaan hitung darah
lengkap menunjukkan bahwa hematokrit mengalami peningkatan atau
penurunan (hemokonsentrasi) menunjukkan adanya perdarahan pada
lokasi fraktur atau organ di sekitar lokasi trauma. Hasil pemeriksaan
hitung darah lengkap yang menunjukkan peningkatan sel darah putih
(WBC) merupakan tanda respon stres normal setelah trauma atau
terjadinya fraktur
e. Urine creatinine (Cr) clearance, untuk mengetahui trauma atau Fraktur
yang terjadi menyebabkan meningkatnya Cr pada ginjal
f. Coagulation profile, bertujuan untuk mengetahui perubahan akibat
kehilangan darah.

9. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


Norvell (2017) menjelaskan bahwa penatalaksanaan pada pasien dengan
fraktur adalah melalui metode RICE, yaitu:
a. Rest
Nyeri merupakan sinyal tubuh bahwa telah terjadi suatu masalah. Hal
yang harus dilakukan ketika mengalami nyeri adalah menghentikan
kegiatan fisik dan yang paling penting harus dilakukan 2 hari pertama.
Tulang yang mengalami trauma harus diistirahatkan dan tidak diberikan
banyak gerakan. Tulang yang mengalami trauma dan mendapatkan
tidak diistirahatkan atau mendapatkan banyak gerakan, akan beresiko
mengalami perpanjangan masa penyembuhan.
b. Ice
Kompres menggunakan es pada hari pertama hingga hari kedua pasca
terjadinya trauma bertujuan untuk mengurangi nyeri atau rasa sakit, dan
menghentikan perdarahan.
c. Compression
Pemberian tekanan pada tubuh yang mengalami trauma dapat
dilakukan menggunakan elastic medical bandage atau ACE bandage.
Pembebatan harus dilakukan tepat, dalam arti tidak terlalu longgar, dan
tidak terlalu rapat untuk menjaga sirkulasi tetap berjalan lancar.
d. Elevation
Hal terakhir yang bisa dilakukan untuk menangani fraktur adalah
dengan mengelevasikan bagian yang trauma lebih tinggi dari jantung.
Hal ini bertujuan untuk melancarkan sirkulasi. Ketika terjadi fraktur
pada tulang tibia atau fibula maka tindakan elevasi bisa dilakukan
dengan memberikan bantal di bawah tulang tersebut, sehingga bagian
yang mengalami trauma diposisikan lebih tinggi daripada jantung.
Patah tulang biasanya disebabkan oleh adanya trauma atau kecelakaan,
operasi ORIF biasanya merupakan prosedur darurat. Sebelum operasi pasien
mungkin menjalani (Winchester Hospital, 2018):
1. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memeriksa
sirkulasi darah dan saraf yang dipengaruhi oleh tulang yang patah
2. X-ray, CT scan, atau MRI, digunaka untuk mengevaluasi tulang yang
patah dan struktur di sekitarnya
3. Suntik tetanus, bergantung pada jenis fraktur dan status imunisasi
pasien
4. Puasa. Jika operasi bersifat mendesak, pasien mungkin tidak memiliki
waktu untuk berpuasa sebelumnya oleh karena itu pasien harus
memberi tahu dokter dan ahli anestesi kapan terakhir kali pasien makan
dan minum.
General anesthesia mungkin digunakan pada prosedur operasi ORIF.
General anesthesia akan menghalangi rasa sakit dan membuat pasien tertidur
selama operasi. Dalam beberapa kasus, anestesi spinal atau anestesi lokal dapat
digunakan namun hal ini tergantung pada di mana letak fraktur dan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan prosedur (Winchester Hospital, 2018).
Pada pasien post ORIF femur, penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan rehabilitation exercise dengan tujuan utama dalam progam
latihan yaitu untuk mengebalikan fungsi, kinerja, kekuatan otot dan daya tahan ke
tingkat sebelum terjadinya trauma. Terapi latihan yang dapat dilakukan antara
lain:
a. Assissted active exercise
Assisted active exercise yaitu suatu gerakan aktif dengan bantuan
kekuatan dari luar, sedangkan pasien tetap mengkontraksikan ototnya
secara sadar. Bantuan dari luar dapat berupa tangan terapis, papan,
maupun suspension. Latihan ini dilakukan pada hari pertama sampai
dengan hari ketiga pasca operasi. Pada hari pertama posisi pasien tidur
terlentang, terapis berada di samping pasien pada sisi yang sakit.
Terapis memfiksasi fragmen bagian distal dan menyangga tungkai
bawah. Pasien diminta menekuk dan meluruskan lututnya sesuai
kemampuan. Pada hari kedua dan ketiga pasca operasi latihan ini
dilakukan dengan posisi berbeda yaitu dengan duduk ongkang-
ongkang, satu tangan terapis memberi fiksasi di atas lutut dan satu
tangan yang lain menyangga tungkai bawah kemudian pasien diminta
bergerak menekuk dan meluruskan lututnya. Gerakan ini dilakukan 5-
10 kali pengulangan

Gambar 8. Gerakan assisted active untuk sendi lutut fleksi-ekstensi


b. Free active exercise
Free active exercise yaitu suatu gerakan aktif yang dilakukan oleh
adanya kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan,
gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan pengaruh
gravitasi. Latihan ini dilakukan pada hari ketiga sampai hari keenam.
Posisi pasien yaitu duduk ongkang-ongkang. Terapis berada di samping
pasien dan memberi fiksasi pada tungkai atas sedekat mungkin dengan
lututkemudian pasien diminta untuk menekuk lutut (fleksi) dan
meluruskan lutut (ekstensi) dilakukan 8 kali.

Gambar 9.Free Active Movement pada sendi lutut


c. Ressisted active exercise
Resisted active exercise yaitu gerak aktif dengan tahanan dari luar
terhadap gerakan yang dilakukan oleh pasien. Tahanan dapat berasal
dari terapis, pegas maupun dari pasien itu sendiri. Salah satu cara untuk
meningkatkan kekuatan otot adalah dengan meningkatkan tahanan
secara bertahap. Latihan ini dilakukan pada hari keempat sampai hari
keenam. Posisi pasien duduk ongkang-ongkang. Terapis berada di
samping pasien, satu tangan memfiksasi tungkai atas bagian distal
sedekat mungkin dengan lutut dan satu tangan memberi tahanan pada
tungkai bawah. Pasien diminta meluruskan lututnya kemudian terapis
memberi tahanan ke arah fleksi, selanjutnya pasien diminta untuk
menekuk lututnya kemudian terapis memberi tahanan ke arah ekstensi.
Gerakan ini dilakukan 5-10 kali pengulangan .

Gambar 10.Resisted active exercise pada sendi lutut


d. Latihan duduk
1) Latihan duduk Long Sitting
Posisi awal pasien tidur terlentang satu tangan terapis diletakkan di
punggung pasien.Untuk menahan agar tidak jatuh, pasien diminta
bangun dengan kedua siku sebagai tumpuan, kemudian kedua
telapak tangan pasien menumpu setelah badan condong ke
belakang/posisi long sitting, kedua tangan menumpu ke belakang
badan.
Gambar 12. Duduk long sitting

2) Latihan duduk menggantung


Posisi awal pasien duduk half lying dengan long sitting, terapis
berdiri disamping pasien, tungkai yang sehat disuruh menekuk.
Kedua tangan sebagai tumpuan dan terapis menyangga tungakai
yang cidera. Pelan-pelan pasien diminta untuk menggeser
pantatnya, terapis membawa tungkai kedua tungkai kesamping bed
sampai kedua lutut di tepi bed kedua tangan pasien menumpu untuk
menyangga tubuh, kemudian kedua tungkai dalam keadaan
menggantung.

Gambar 12. Duduk menggantung


e. Latihan jalan
Latihan jalan dengan menggunakan kruk atau walker dapat
memperbaiki aktifitas fungsional jalan. Sebelum latihan jalan pasien
diberikan latihan transfer secara bertahap mulai dari posisi tidur
terlentang ke posisi duduk, duduk ke berdiri. Pada saat duduk dan
berdiri diberikan latihan keseimbangan yaitu dengan memberi dorongan
ke depan, belakang, samping kanan dan kiri.
Latihan jalan bisa dimulai dari tingkat yang paling aman yaitu dengan
walker yang mempunyai stabilitas lebih tinggi daripada kruk. Apabila
dengan walker kemampuan jalan penderita mulai meningkat kemudian
dapat diganti dengan kruk. Latihan jalan dilakukan tanpa menumpu
berat badan (non weight bearing) yaitu kaki yang sehat menumpu
sedang kaki yang sakit tidak menumpu dan dengan metode swing yang
terdiri dari swing to dan swing trough. Swing to yaitu kedua kruk maju
kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan posisi kaki
saat menumpu sejajar dengan kedua kruk. Swing trough yaitu kedua
kruk maju kemudian diikuti kedua kaki diayunkan ke depan dengan
posisi kaki saat menumpu melewati kruk. Beban dari non weight
bearing adalah 0% dari berat badan pasien.
Latihan jalan pertama kali diberikan dengan jarak yang dekat seperti di
sekitar tempat tidur baru kemudian ditambah dengan jarak yang lebih
jauh bertahap dari hari ke hari. Pasien diminta untuk tetap berjalan
seperti yang diajarkan terapis yaitu tanpa menumpu berat badan sampai
menunggu jadwal kontrol ke dokter dimana hasil dari kontrol tersebut
menjadi pertimbangan apakah pasien diperbolehkan partialweight
bearing (setengah menumpu berat badan) atau total weight bearing
sekaligus. Beban pada latihan partialweight bearing adalah 30-50%
dari berat badan pasien sedangan pada total wight bearing pasien
menumbu beban tubuhnya 100%. Non weight bearing dilakukan pada 3
minggu post operasi, partial weight bearing dilakukan 3-6 minggu
seleah kalus terbentuk, full weight bearing dilakuan pada 3 bulan post
operasi.
B. Clinical Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Laserasi kulit Dilakukan tindakan


pembedahan Open
Reduction Internal Fixation
(ORIF)
Perubahan jaringan Kerusakan integritas
sekitar kulit
Syaraf nyeri perifer
terangsang
Pergeseran fragmen Kerusakan integritas
tulang jaringan
Aktivasi mediator nyeri
oleh SSP
Deformitas

Persepsi nyeri
Gangguan fungsi Risiko sindrom disuse
ekstremitas

Nyeri akut
Hambatan mobilitas
fisik

Tidak mampu Terdapat bekas luka


mengakses kamar pembedahan
mandi

Risiko infeksi
Defisit perawatan
diri: mandi
C. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat,status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Kaji keluhan pasien setlah menjalani operasi ORIF demus, biasanya
pasien post-operasi mengalami nyeri.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang
femur, bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa saja yang
sudah di dapatkan, kapan waktu operasi dilakukan, apakah sebelumnya
sudah berobat ke dukun patah tulang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit
diabetes menghambat penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang femur adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun
ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah,
seperti nyeri yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien
yang merupakan pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB
seperti konstipasi dan gangguan eliminasi urine.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti
timbulnya rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi
anggota gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan
aktivitasnya pasien harus dibantu oleh orang lain, namun untuk
aktivitas yang sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya
sendiri.      
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun
harus ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan
pasien ditempat tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain
itu dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika
terjadi atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak
psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya
program immobilisasi serta proses penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur femur riwayat spiritualnya tidak
mengalami gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa
bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih bisa mengartikan
makna dan tujuan serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya
karena merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program
amputasi).
g) Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Post operasi: biasanya terjadi reflek batuk tidak efektif sehingga
terjadi penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke
belakang akibat general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan
nadi dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena
terjadi infeksi terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan
anastesi, nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien post operasi ORIF
femur meliputi:
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan tindakan
pembedahan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
muskuloskletal, nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi
muskuloskeletal, imobilisasi
4) Resiko sindrom disuse berhubungan dengan imobilisasi, paralisis,
perubahan tingkat kesadaran
5) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
6) Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan Post
Operatif
1. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam dan intensitas nyeri)
nyeri akut pada pasien dapat berkurang, dengan kriteria hasil: 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Indikator Awa 1 2 3 4 5 3. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang
l dirasakan
Melaporkan
nyeri berkurang Terapi relaksasi (6040)
Mengenali nyeri 4. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi
Mengetahui seperti nafas dalam
penyebab nyeri 5. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
Mencari bantuan

2. Kerusakan NOC NIC


integritas jaringan Intregitas jaringan: kulit dan membran mukosa (1101) Perawatan Luka Tekan (3520)
(00046) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan
diharapkan integritas kulit tetap terjaga dengan kriteria adanya tanda kulit pecah-pecah
hasil: 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
Indikator Awal 1 2 3 4 5 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
Sensasi dan kering
elastisitas 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
Lesi setiap dua jam sekali
Perfusi jaringan
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
pada daerah yang tertekan
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
8. Monitor status nutrisi pasien
9. Memandikan pasien dengan sabun dan
air hangat

Pengecekan kulit (3590)


10. Periksa kulit dan selaput lendir terkait
dengan adanya kemerahan
11. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan
lecet
14. Monitor infeksi terutama daerah edema
15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi asuhan
mengenai tanda-tanda kerusakan kulit,
dengan tepat
3. Hambatan mobilitas NOC NIC
fisik (00085) Koordinasi pergerakan(0212) Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
setelah dilakukan perwatan selama 3x24 jam mobilitas fisik 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk
pasien membaik dengan kriteria hasil: memfasilitasi mobilisasi sesuai indikasi
2. Berikan informasi tentang kemungkinan
Indikator Awal 1 2 3 4 5 posisi penyebab nyeri otot atau sendi
Kontraksi pergerakan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
Kemantapan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
pergerakan sesuai indiksi
Kesinambungan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
pergerakan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot,
latihan fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
7. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan
tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan
yang benar sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
8. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
9. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah
program latihan
10. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal
yang teraktur dan terencana
11. Instruksikan pasien atau keluarga cara
melakukan latihan ROM pasif, dan aktif
12. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
13. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan
latihan
4. Resiko sindrom NOC NIC
disuse (00040) Status Neurologi: Sensori tulang punggung/ fungsi motorik Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
(0914) 1. Sediakan informasi mengenai fungi otot,
setelah dilakukan perwatan selama 3x24 jampasien latihan fisiologis, dan konsekuensi dari
mnunjukkan perbaikan status fungsi motorik dengan kriteria penyalahgunaannya
hasil: 2. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
3. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
Indikator Awal 1 2 3 4 5 selesai satu set jika dipelukan
Gerakan kepala 4. Bantu klien untuk menyampaikan atau
dan bahu mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan
Reflek tendon tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan
Kekuatan tubuh yang benar sudah di pelajari
bagian atas Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
Kekuatan tubuh 5. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
bagian bawah terhadap fungsi sendi
6. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah
program latihan
7. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal
yang teraktur dan terencana
8. Instruksikan pasien atau keluarga cara
melakukan latihan ROM pasif, dan aktif
9. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
10. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan
latihan
5. Resiko infeksi NOC NIC
(00004) Keparahan infeksi (0703) Kontrol infeksi (6540)
Kontrol resiko (1902) 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, dipakai setiap pasien
tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil: 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien
sesuai SOP rumah sakit
Indikator Awal 1 2 3 4 5 3. Batasi jumlah pengunjung
Bau busuk 4. Ajarkan cara mencuci tangan
Suhu tubuh Perlindungan infeksi (6550)
Nanah pada luka 5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
Kemampuan 6. Berikan perawatan kulit yang tepat
Manajemen nutrisi (1100)
mengidentifikasi faktor 7. Tentukan status gizi pasien
risiko 8. Identifikasi adanya alergi
Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
6. Defisit perawatan NOC NIC
diri (00108) Perawatan diri: mandi (0305) Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan
Perawatan diri: kebersihan (0301) (1801)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi
diharapkan perawatan diri pasien: mandi tidak mengalami dengan tepat
gangguan dengan kriteria hasil: 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
Keluarga mampu melakukan 3. Monitor kebersihan kuku
Indikator Awal 1 2 3 4 5 4. Monitor integritas kulit
Cuci tangan 5. Jaga kebersihan secara berkala
Membersihkan 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
telinga mempertahankan kebersihan dengan tepat
Menjaga kesersihan
untuk kemudahan
bernafas
Membersihkan kuku
jari tangan dan kaki
DAFTAR PUSTAKA

Avruskin, Andra. 2013. Femur Fracture.


https://www.moveforwardpt.com/SymptomsConditionsDetail.aspx?
cid=f85bbe8f-685c-43bf-bb51-9bc43dd8fb01. [Diakses pada December 03,
2018].
Belleza, M. 2016. Fracture. https://nurseslabs.com/fracture/. [Diakses pada
December 03, 2018].
Carpenito, L.J. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisis 13. Jakarta:
EGC.
Intermountain Healthcare. 2012. Oper Reduction and Internal Fixation (ORIF).
https://intermountainhealthcare.org/ext/Dcmnt?ncid=521402750. [Diakses
pada December 03, 2018].
Keany, E. James. 2015. Femur Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7. [Diakses pada
December 03, 2018].
Keiler, J., Sidel, R., Wree, A. 2018. The femoral vein diameter and its correlation
with sex, age and body mass index – An anatomical parameter with clinical
relevance. The Journal of Venous Desease. 0(0): 1-12.
Norvell, J. G. 2017. Tibia and Fibula Fracture in the ED.
https://emedicine.medscape.com/article/826304-overview#a6. [Diakses
pada December 03, 2018].
Nurafif, A. H. dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Bersarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC. Yogyakarta: MediAction.
Romeo, M. Nicholas. 2018. Femur Injuries and Fracture.
https://emedicine.medscape.com/article/90779-overview#a7. [Diakses pada
December 03, 2018].
Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Winchester Hospital. 2018. Open Reduction and Internal Fixation Surgery.
www.winchesterhospital.org/health-library/article?id=539804. [Diakses
pada December 03, 2018].

Anda mungkin juga menyukai