Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tinea Korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial
golongan dermatofita yang menyerang daerah kulit tidak berambut (glabrous skin).3
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim
yang panas (tropis dan subtropis). Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi
yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini
terjadi akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.4
2.2 Epidemiologi
Tinea korporis terdapat diseluruh dunia, terutama pada daerah tropis dan
insiden meningkat pada kelembapan udara yang tinggi. Penyakit ini masih banyak
terdapat di Indonesia dan masih merupakan salah satu penyakit rakyat. Di Jakarta,
golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Di daerah lain,
seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya dan Manado, keadaanya kurang
lebih sama, yakni menempati urutan kedua sampai keempat terbanyak
dibandingkan dengan golongan penyakit lainnya.5
Tinea korporis dapat menyerang semua umur dan lebih sering pada orang
dewasa. Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang, sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan penyakit ini.4
2.3 Etiologi
Tinea korporis disebabkan oleh golongan dermatofita yang menyerang jaringan
berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan keratinolisis. Dermatofita terbagi
dalam tiga genus yaitu Microsporon, Epidermophyton, dan Tricophyton. Penyebab
tersering tinea korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes.6
Tetapi penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di
Amerika Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Trycophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika
penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton
2
mentagrophytes, sedangkan di Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton
rubrum, sementara di Asia penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum,
Tricophyton mentagropytes dan Tricophyton violaceum.2
2.5 Patofisiologi
Transmisi dermatofit kemanusia dapat melalui tiga sumber masing-masing
memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara
khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.
Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat
sehingga mengganggu fungsi barrier startum korneum. Infeksi dapat ditularkan
melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda
seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi
hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini
memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi kedalam jaringan
epidermis dan merusak keratiosit.8
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama :
1. Perlekatan ke keratinosit
Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan
keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan
sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang
diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik.
3
2. Penetrasi melalui ataupun antara sel
Setelah terjadi perlekatan spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum
dengan kecepatan lebih cepat daripada proses deskuamasi. Proses penetrasi ini
dilakukan melalui sekresi proteinase, lepase, dan enzim musinolitik, yang juga
memberikan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu
terjadinya penetrasi jamur ke jaringan. Fungsi mannan di dalam dinding sel
dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan
baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatifita, pada
pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi
menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negative. Infeksi
menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilakn oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Di hipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh
sel Langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe.
Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi
untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan
barrier epidermal menjadi permeable terhadap transferrin dan sel-sel yang
bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu reson
jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm
yang mengivasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagan
aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan
skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan
bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh system
pertahanan tubuh (imunitas) seluler.8
4
Gambar 2.1. Mikroskopis Trichophyton rubrum
5
Gambar 2.2 Efloresensi Tinea Korporis
2.7 Diagnosis
Diagnosis Tinea Korporis di tegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Pasien mengeluh rasa gatal-gatal, karena rasa gatal semakin memberat
pasien menggaruk lesi sehingga lesi menjadi lebih luas. Rasa gatal akan
semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya
adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab dan panas serta memakai pakaian yang tidak menyerap
keringat.
2. Pemeriksaan Efloresensi
Gambaran klinis dari tinea korporis merupakan lesi anular, bulat atau
lonjong berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang (tanda
peradangan lebih jelas pada daerah tepi) yang sering disebut central healing.
Tapi kadang juga dijumpai erosis dan kusta akibat garukan. Lesi-lesi umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat
juga terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Bila tinea korporis ini menahun tanda-tanda aktif jadi
menghilang selanjutnya hanya meninggalkna daerah-daerah yang
hiperpigmentasi dan skuamasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat terjadi
bersama-sama dengan tinea kruris.3
6
Gambar 2.3 Tinea Korporis
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% dan biakan. Untuk
mendiagnosis diperlukan skuama dari bagian tepi lesi yang diambil dengan
menggunakan skalpel. Skuama tersebut ditaruh pada slide yang ditetesi oleh
larutan kalium hidroksida. Diagnosis dibuat dengan memeriksa skuama yang
terinfeksi tersebut secara mikroskopis untuk mendeteksi adanya hifa sebagai
dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang atau spora berderet.6
2.9 Penatalaksanaan
Penyakit tinea korporis sering kambuh bahkan sampai menahun sehingga
untuk menghindari faktor resiko seperti hindari sumber penularan yaitu binatang
atau kontak dengan penderita lain, menjaga keberisihan badan dan lingkungan.
Obat-obat anti-jamur dapat diberikan secara topikal (dioles), ada pula yang
tersedia dalam bentuk oral (obat minum). Jenis obat luar (salep) seringkali
digunakan jika lesi kulit tidak terlalu luas. Salep harus dioleskan pada kulit yang
telah bersih, setelah mandi atau sebelum tidur selama dua minggu, meskipun
lesinya telah hilang. Tanda dan gejala (seperti kemerahan, gatal, dan rasa panas)
dapat diobati dengan kombinasi steroid/krim anti jamur. Steroid tidak selalu
diberikan, hanya diberikan jika terdapat gejala inflamasi.
7
Bifonazole krim 1% 1 kali sehari
2.10 Pencegahan
Faktor-faktor yang perlu dihindari untuk mencegah terjadi tinea korporis antara
lain:
1. Mengurangi kelembapan tubuh penderita dengan menghindari pakaian yang
panas
2. Menghindari sumber penularan yaitu binatang atau kontak dengan penderita
lain
3. Meningkatkan kebersihan pribadi maupun lingkungan
4. Menjaga kekebalan tubuh dengan asupan gizi yang cukup
2.11 Prognosis
8
Pada umumnya prognosis untuk tinea koporis adalah baik dengan terapi yang
benar dan mejaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkunga. Untuk tinea korporis
yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan 70-100%
setelah pengobatan dengan antijamur.8
9
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Tinea korporis merupakan infeksi jamur yag umumnya sering dijumpai
didaerah tropis terutama di Indonesia
2. Penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes
3. Faktor resiko dari tinea korporis yaitu kontak langsung dengan penderita atau
binatang, kebersihan diri maupun lingkungan yang kurang
4. Penegakkan diagnosis tinea korporis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan KOH 10-20%
5. Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingakat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan antijamur.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini
RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science ; 2003.
2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP, Fungal disease with cutaneous
involment. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA,
Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology in general medicine. 6 th ed. New Yoek: Mc
graw hill, 2008.
3. Djuanda,Adhi,dkk,.2013.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
6.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Habif TP. Clinical Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004.
5. Harahap Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
6. Siregar, RS. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
7. Hainer,BL.2003.Dermatophyte infections.Medical University of South
Carolina. Charleston.www.aafp.org.afp
8. Rushing ME, Tinea Corporis. Online journal
9. Goedadi MH, Suwito PS. 2004. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja
U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI
11