Anda di halaman 1dari 44

Nama: Lely Kinanti

Kelas:AK-2E

A. PPH

PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN ( PPH )


Pajak Penghasilan ( menurut Pasal 25 atau PPh 25 ) adalah pajak yang dikenakan untuk
orang pribadi, perusahaan atau badan hukum lainnya atas penghasilan yang didapat.

Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap penghasilan orang pribadi dan badan yang
diterima selama satu tahun pajak. Selain perseorangan, Pajak Penghasilan (PPh) juga
diberlakukan kepada perusahaan atas pengelolaan barang dan jasa. Penarikan pajak diambil dari
barang atau jasa yang dikelola. Semua jenis pajak termasuk pungutan Pajak Penghasilan sama
pengelolaannya untuk memenuhi kepentingan negara dan akan kembali kepada rakyat. Seluruh
badan usaha di Indonesia yang berbentuk Perusahaan Terbatas (PT), Perusahaan Firma (Fa), dan
Perseroan Komanditer (CV) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) berkewajiban
membayar pajak.

Dasar hukum untuk pajak penghasilan adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983.
Kemudian mengalami perubahan berturut-turut, dari mulai UU Nomor 7 & Tahun 1991, UU
Nomor 10 & Tahun 1994, UU Nomor 17 & Tahun 2000, serta terakhir UU Nomor 36 & Tahun
2008.

Di Indonesia, awalnya pajak penghasilan diterapkan pada perusahaan perkebunan yang


banyak didirikan di Indonesia. Pajak tersebut dinamakan dengan Pajak Perseroan (PPs).
Pajak Perseroan adalah pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan dan diberlakukan
pada tahun 1925. Setelah pajak dikenakan hanya untuk perusahaan-perusahaan yang
didirikan di Indonesia, berangsur-angsur akhirnya diterapkan pula pajak yang dikenakan
untuk perorangan atau karyawan yang bekerja di suatu perusahaan.

Pada tahun 1932 misalnya, diberlakukan yang disebut dengan Ordonansi Pajak
Pendapatan. Ordonansi Pajak Pendapatan ini dikenakan untuk orang Indonesia maupun
orang yang bukan penduduk Indonesia tetapi memiliki pendapatan di Indonesia. Setelah
itu pada tahun 1935 diberlakukan Ordonansi Pajak Upah yang mengharuskan majikan
memotong gaji atau upah pegawai untuk membayar pajak atas gaji atau upah yang
diterima.
 

Langkah-langkah menghitung PPh 25 sesuai dengan UU


Nomor 36 Tahun 2008: 
Langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah menghitung penghasilan bruto Anda
setiap bulan.

Anda jumlahkan saja penghasilan secara keseluruhan pada bulan berjalan. Maksudnya
tidak hanya gaji pokok Anda saja yang masuk dalam perhitungan, namun juga tunjangan
lainnya bila ada, seperti tunjangan transport, tunjangan perumahan, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja, premi Jaminan Kematian, premi asuransi kesehatan, dan tunjangan
lain yang sifatnya teratur.

Selain itu, uang tambahan di luar gaji pokok juga ikut dijumlahkan, seperti uang lembur,
uang perjalanan dinas, bonus, uang cuti, tunjangan hari raya, dan tunjangan lainnya. Nah
Anda jumlahkan saja semuanya, hasilnya nanti merupakan penghasilan bruto pada bulan
berjalan atau satu bulan penghasilan.

Langkah kedua menemukan penghasilan bersih atau neto Anda selama satu bulan

Untuk menemukan penghasilan bersih atau neto Anda selama satu bulan mudah saja.
Anda hanya perlu mengurangi penghasilan bruto Anda pada bulan berjalan dengan
pengurangnya. Nah yang dimaksud pengurang di sini, misalnya adalah biaya jabatan
(biasanya 5% dari gaji pokok), iuran pensiun (biasanya 2% dari gaji pokok), iuran
Jaminan Hari Tua (biasanya 2% dari gaji pokok).

Langkah ketiga adalah menghitung penghasilan bersih atau neto selama satu tahun

Anda tinggal mengalikan 12 kali penghasilan bersih satu bulan Anda.

Langkah keempat adalah menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Anda bisa menghitungnya dengan cara mengurangi PKP, yaitu penghasilan bersih Anda
selama satu tahun yang sudah Anda hitung tadi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). PTKP ini berbeda-beda, tergantung dari status wajib pajak tersebut, antara yang
belum kawin, kawin dan belum punya anak (K-0), kawin dan punya anak 1 (K-1), kawin
dan punya anak dua (K-2), dan kawin dan punya anak 3 (K-3) berbeda-beda.

Langkah kelima adalah menghitung PPh 25 yang harus dibayarkan


Setelah Anda mengetahui PKP selama satu tahun, Anda tinggal mengalikannya dengan
tarif PPh 25 yang berlaku. Namun jika Anda ingin mengetahui berapa PPh 25 Anda per
bulannya, maka Anda tinggal membagi total pajak setahun dengan 12. Dengan
mengetahui PPh 25 Anda per bulan, Anda bisa menghitung penghasilan bersih Anda
dengan mengurangi penghasilan bersih pada bulan berjalan dengan PPh 25 pada bulan
berjalan.

Jenis Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan


1. Pajak Penghasilan Pasal 15
Pajak Penghasilan Pasal 15 merupakan laporan pajak yang berhubungan dengan Norma
Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu.

Begitu Anda memiliki badan usaha atau menjadi pengusaha, maka telah menjadi Wajib
Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang berprofesi sebagai pengusaha. Untuk
itu, ada sejumlah pajak yang harus dibayarkan. Jenis pajak yang harus dibayarkan
tersebut biasanya tertera pada SKT (Surat Keterangan Terdaftar) saat Anda mendaftarkan
diri menjadi NPWP Badan.

Wajib Pajak PPh Pasal 15:

 Perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional


 Perusahaan pelayaran dan penerbangan dalam negeri
 Perusahaan asuransi luar negeri
 Perusahaan pengeboran minyak, gas, dan panas bumi
 Perusahaan dagang asing
 Perusahaan investor dalam bentuk BOT (build, operate, and transfer)

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan kepada
beberapa wajib pajak yang bergerak dalam kegiatan usaha tertentu. Dimana wajib pajak
tersebut mengalami kesulitan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, sehingga tata
caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam PPh 15 ini.

Penghitungan PPh Pasal 15

Besarnya pajak penghasilan yang harus disetor dan dipotong sendiri oleh badan atau
perusahaan Anda adalah dengan mengalikan tarif efektif dan Peredaran Bruto yang
diterima berdasarkan perjanjian charter.

Pemotongan PPh Pasal 15 atas penghasilan berdasarkan perjanjian charter dilakukan pada
saat terutangnya imbalan atau nilai pengganti.
Tarif dan Dasar Pengenaan PPh 15

1. Perusahaan Pelayaran

Laba bersih = 60% x Omzet Bruto

Pajak Penghasilan = 1,8% x Omzet Bruto

2. Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Laba Bersih = 4% x Omzet Bruto

Pajak Penghasilan = 1,2% x Omzet Bruto

3. Pelayaran Asing dan/atau Perusahaan Maskapai Penerbangan, namun tidak


melakukan P3B

Laba Bersih = 1% x Nilai Ekspor Bruto

Penyelesaian Pajak Penghasilan = 0,44% x Nilai ekspor Bruto

4. Pihak yang Melakukan Kemitraan dalam Perjanjian BOT

Pajak Penghasilan = 5% x bruto nilai tertinggi nilai pasar dengan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP)

Contoh Penghitungan PPh 15

Penghitungan PPh pasal 15 atas penghasilan sewa kapal milik perusahaan dalam negeri.
PT Maju Jaya membayar atas sewa kapal kepada PT Karya Bersama sebesar Rp50 Juta.

Penghasilan sewa kapal = Rp50 Juta

Tarif PPh pasal 15 = 1,2%

PPh yang harus dipotong sama dengan Rp50 Juta × 1,2% = Rp600.000

Pembayaran PPh Pasal 15

Pembayaran PPh Pasal 15 secara mandiri oleh badan atau perusahaan Penerbangan
Dalam Negeri (pencharter) melalui pemotongan. Penyetoran atas PPh 15 dilakukan oleh
pencharter paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Cara Pembayaran

Pencharter harus menyetorkan PPh pasal 15 kepada bank atau pos persepsi dengan cara
menyampaikan SSP atau kode billing melalui: teller bank atau pos persepsi, Anjungan
Tunai Mandiri (ATM), Internet banking, mobile banking, EDC atau sarana lainnya.

Anda akan mendapatkan lembar Bukti Penerimaan Negara sebagai bukti pembayaran
yang berisi mengenai data pembayaran yang dilakukan. Data yang tertera di antaranya
identitas pembayar, jenis pajak, masa pajak, tahun pajak, dan Nomor Tanda Penerimaan
Negara atau NTPN.

Pelaporan SPT

Pelaporan SPT masa PPh Pasal 15 oleh wajib pajak dilakukan paling lambat tanggal 20
bulan takwim berikutnya setelah penyetoran pajak.

2. Pajak Penghasilan Pasal 21


PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri
atau karyawan Anda, dan harus dibayar setiap bulannya.

Perusahaan mengelola pemungutan pajak dengan memotong langsung penghasilan para


pegawai dan menyetorkannya ke kas negara melalui bank persepsi.

5 Macam Perhitungan PPh Pasal 21 Menurut Aturan Baru:

 Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala


 Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas
 Anggota Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap
 Penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur
 Peserta program pensiun berstatus pegawai yang menarik dana pensiun

3. Pajak Penghasilan Pasal 22


Pemungutan pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan impor atau dari pembeli
atas penjualan barang mewah.

Pihak Pemungut:
 Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang.
 Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swsata yang berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
 Wajib Pajak Badan tertentu untuk memungut pajak pembeli atas penjualan barang
mewah.

Tarif PPh Pasal 22:

Atas Impor:

 Apabila menggunakan Angka Pengenal Importir (API) adalah 2,5% x nilai impor,
jika tidak menggunakan API maka tarifnya sebesar 7,5% x nilai impor.
 Pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD tarifnya 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak
final).
 Atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu yang menggunakan API adalah
0,5% x nilai impor.

Atas Penjualan Hasil Produksi:

 Kertas = 0,1% x DPP (Dasar Pengenaan Pajak) PPN (tidak final)


 Semen = 0,25% x DPP PPN (tidak final)
 Baja = 0,3% x DPP PPN (tidak final)
 Otomotif = 0,45% x DPP PPN (tidak final)
 Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak, gas dan pelumas adalah bersifat final bagi penyalur atau
agen dan tidak bersifat final bagi yang lainnya

Atas Pembelian Bahan-bahan untuk Keperluan Industri tarifnya 0,25% x harga


pembelian (Tidak termasuk PPN).

4. Pajak Penghasilan Pasal 23


PENJELASAN SINGKAT

Pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari Wajib Pajak saat transaksi yang meliputi
transaksi dividen (pembagian keuntungan saham), royalti, bunga, hadiah dan
penghargaan, sewa dan penghasilan lain yang terkait dengan penggunaan aset selain
tanah atau bangunan, atau jasa.

Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari
penghasilan.
Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan  atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Beberapa contoh tarifnya:

Tarif 15% dari jumlah bruto:

 Dividen, kecuali pembagian dividen terhadap orang pribadi dikenakan final.


 Hadiah dan penghargaan, selain yang dipotong PPh 21.

Tarif 2% dari jumlah bruto:

 atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta kecuali
sewa tanah dan atau bangunan.
 atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
 atas imbalan jasa lainnya dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
141/PMK.03/2015.

PENJELASAN LEBIH DALAM

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara pihak yang menerima
penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan pemberi penghasilan.

Pihak pemberi penghasilan (pembeli atau penerima jasa) akan memotong dan melaporkan
PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.

Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis jasa
lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015.

Pembayaran, Pelaporan dan Bukti Potong PPh Pasal 23

Prosedur pembayaran dan pelaporan PPh Pasal 23 diatur secara khusus dalam peraturan
perundang undangan perpajakan. Berikut ini adalah penjelasan lengkapnya:

Pembayaran PPh Pasal 23

Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong yang kemudian menyetorkannya melalui


Bank Persepsi (ATM, teller bank, fitur bayar pajak online di OnlinePajak, dll) yang telah
disetujui oleh Kementerian Keuangan.
Ingat! Jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23.

Namun, agar dapat melakukan pembayaran pajak, Anda harus membuat ID Billing
terlebih dahulu. Tautan di bawah ini akan memandu Anda membuat ID Billing.

Bukti Potong PPh Pasal 23

Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus memberikan
bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dikenakan pajak
tersebut dan bukti potong (rangkap ke-2) pada saat melakukan e-Filing pajak PPh 23 di
OnlinePajak. 

Pelaporan PPh Pasal 23

Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23,
lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online atau e-Filing gratis di
OnlinePajak.

Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23.

Jika sebelumnya perhitungan, pembayaran dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara
terpisah-pisah, kini ketiga hal tersebut bisa dilakukan dengan satu
aplikasi OnlinePajak yang terintegrasi, mudah, otomatis dan lebih cepat.

Tarif PPh 23 dan Objeknya

Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari
penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%,
tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif dan objek PPh
Pasal 23 :

1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :

 Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga
dan royalti;
 Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;

2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi
dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015.

5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif
PPh Pasal 23.

6. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk


dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:

 Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai


imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
 Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan
faktur pembelian);
 Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga
disertai dengan perjanjian tertulis);
 Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah
dibayarkan kepada pihak ketiga).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:

 Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;


 Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak
yang bersifat final; 
 Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain yang
merupakan imbalan atas pekerjaan yang dilakukan wajib pajak penyedia tenaga
kerja kepada tenaga kerja. Hal ini harus dibuktikan oleh kontrak kerja dengan
pengguna jasa dan daftar pembayaran gaji, tunjangan, upah, atau honorarium;
 Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan hasil pengadaan barang atau
material terkait jasa yang diberikan. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
pembelian atas pengadaan barang atau material;
 Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan
oleh faktur tagihan dari pihak ketiga dan disertai dengan perjanjian tertulis;
 Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa penggantian atau reimbursement.
Ini berlaku untuk biaya yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak
ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur tagihan dan bukti pembayaran.

62 Jenis Objek PPh 23 


Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis jasa
lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015. Berikut ini adalah
daftar lengkap objek PPh Pasal 23, tarif dan cara buat hitung, setor dan e-Filing yang
mudah, cepat, aman dan gratis!

Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut: 

1. Penilai (appraisal);
2. Aktuaris;
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Hukum;
5. Arsitektur;
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape; 
7. Perancang (design);
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas)
kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas);
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Penebangan hutan;
13. Pengolahan limbah;
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Perantara dan/atau keagenan;
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19.  Mixing film;
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Internet termasuk sambungannya;
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi; 
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28. Maklon;
29. Penyelidikan dan keamanan;
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Pembasmian hama;
33. Kebersihan atau cleaning service;
34. Sedot septic tank;
35. Pemeliharaan kolam;
36. Katering atau tata boga;
37.  Freight forwarding;
38. Logistik;
39. Pengurusan dokumen;
40. Pengepakan;
41. Loading dan unloading;
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43. Pengelolaan parkir;
44. Penyondiran tanah;
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Pemeliharaan tanaman;
48. Permanenan;
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau
perhutanan;
50. Dekorasi;
51. Pencetakan/penerbitan;
52. Penerjemahan;
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
54. Pelayanan pelabuhan;
55. Pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Pengelolaan penitipan anak;
57. Pelatihan dan/atau kursus;
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Sertifikasi;
60. Survey;
61. Tester;
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah).

Pihak Pemotong PPh Pasal 23 dan Pihak yang Dikenakan PPh Pasal 23
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-pihak tersebut
hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut ini:

1. Pihak pemotong PPh Pasal 23:

 Badan pemerintah;
 Subjek pajak badan dalam negeri;
 Penyelenggara kegiatan;
 Bentuk Usaha Tetap (BUT);
 Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
 Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak.  

2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23: 

 Wajib pajak dalam negeri;


 Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pengecualian PPh 23

Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas: 

1. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;


2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

 Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;


 Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor;
 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
 SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
 Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.

Kesimpulan

 Pemerintah telah menambahkan objek PPh Pasal 23 menjadi 62 jenis jasa lainnya dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.040/2015. 
 PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa,
atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
 Tarif PPh 23 ada dua yaitu 15% dan 2% tergantung pada objek pajaknya. 
 Ada 5 manfaat buat setor dan e-Filing PPh 23 di OnlinePajak, yaitu:
o Telah disahkan DJP.
o Cepat dan mudah (perhitungannya otomatis dan akurat).
o Terintegrasi. Hitung, setor dan lapor pajak online PPh 23 dilakukan dalam satu
aplikasi terpadu.
o Gratis untuk buat ID billing, setor pajak online dan e-Filing PPh 23.  
o Sedia jasa pengiriman bukti potong pajak. 

5. Pajak Penghasilan Pasal 25


PENJELASAN SINGKAT

Angsuran pajak yang berasal dari jumlah Pajak Penghasilan terutang menurut SPT
Tahunan PPh dikurangi PPh yang dipotong serta PPh terutang di Luar Negeri yang boleh
dikreditkan.

Pembayaran pajak harus dibayarkan sendiri tanpa diwakilkan oleh siapapun. Pembayaran
pajak dilaksanakan secara berangsur. Tujuannya untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam pembayaran pajak tahunannya. Adapun sanksi keterlambatan pembayaran pajak
yaitu pengenaan bunga 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal
pembayaran.

Angsuran pajak/bulan = (PPh terutang – kredit pajak) / 12

PENJELASAN LEBIH DALAM

Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara angsuran.
Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang terutang
harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak
bisa diwakilkan.

Perhitungan PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah
tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak
tahun lalu, yang dikurangi dengan:

 Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat
(1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan
Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak
penghasilan yang dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak
memiliki NPWP);
 Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa
setahun.

Tarif PPh Pasal 25

Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25)
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:

 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan
tiap masing-masing tempat usaha.
 Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh
(12 bulan).

Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:

 Sampai Rp 50.000.000 = 5%
 Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
 Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
 Di atas Rp 500.000.000 = 30%

Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena Pajak
(PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15
Maret 2014.

Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari libur
nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari
berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei 2008,
pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen
sejenisnya.
Untuk melakukan setoran pajak, Anda harus membuat ID Billing terlebih dahulu.
OnlinePajak menyediakan layanan pembuatan ID Billing secara online yang mudah,
cepat dan akurat.

Sanksi-sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 25

Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2% per
bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16
Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
OnlinePajak adalah aplikasi hitung, setor, dan lapor pajak menyediakan kemudahan
dalam membuat laporan PPN, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 21 yang Anda butuhkan
sebelum membuat laporan Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25).

6. Pajak Penghasilan Pasal 26


Pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima
Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Berdasarkan
aturan, tarif umum PPh Pasal 26 adalah 20%.

PPh Pasal 26 merupakan penerapan dari asas sumber yang dianut dalam sistem
pemungutan pajak di Indonesia. Berdasarkan asas sumber, penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia bisa dikenakan
pajak di Indonesia.

Jenis penghasilan yang dipotong:

 Dividen
 Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
 Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
 Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
 Hadiah dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
 Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
 Keuntungan karena pembebasan utang

7. Pajak Penghasilan Pasal 29


PPh Pasal 29 dihasilkan dari nilai lebih pajak terutang (pajak terutang dikurangi kredit
pajak) yaitu saat jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu tahun pajak lebih
besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak lain dan telah disetor
sendiri.

PPh ini harus dibayarkan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.

Tarif PPh Pasal 29:

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu:

PPh 25 yang sudah dilunasi = 0,75% x jumlah penghasilan/omzet per bulan.

PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang masih terutang – PPh 25 yang sudah dilunasi.

Wajib Pajak Badan:

Angsuran PPh 25 = PPh terutang tahun lalu x 12

PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang – Angsuran PPh 25.

8. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)


Pajak dari penghasilan yang dipotong dari bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga
obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, hadiah
undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya, serta transaksi lain sebagaimana diatur
dalam peraturan.

Penghasilan dikenai pajak yang sifatnya final alias tidak bisa dikreditkan.

Penghasilan yang termasuk PPh Pasal 4 ayat (2):

 Bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi.
 Hadiah undian.
 Transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
 Transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.

PPh Terutang
Hukum pajak Indonesia mengenal istilah pajak terutang. Istilah ini mengacu pada pajak yang
harus dibayarkan pada saat tertentu dalam masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun, sesuai
ketentuan dalam undang-undang. Sedangkan, PPh terutang adalah pajak terutang yang dihitung
dari Penghasilan Kena Pajak..

Dasar Hukum PPh Terutang

Semua jenis pajak terutang, termasuk pajak penghasilan, tidak sama dengan utang pajak. Hal ini
dapat dilihat dari dasar hukumnya. Istilah pajak yang terutang dapat Anda temukan pada
beberapa peraturan pajak di bawah ini:

1. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP

Undang-undang ini mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Pada
pasal 10 undang-undang ini dijabarkan bahwa pajak terutang adalah pajak yang harus
dibayar pada saat tertentu dalam masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak.

2. UU KUP Pasal 1 Ayat 10

Deskripsi pajak terutang dalam UU KUP Pasal 1 mirip dengan UU Nomor 28 Tahun
2007.

3. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh

Undang-undang ini merupakan versi lebih baru dari UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. Pasal 17 dalam undang-undang ini memuat tarif pajak penghasilan
untuk orang pribadi dan badan. Wajib pajak membutuhkan informasi ini untuk
menghitung pajak terutang dari penghasilan kena pajak.

4. PER-4/PJ/2009

Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 4 Tahun 2009 tidak secara khusus menyebut
pajak penghasilan terutang. Akan tetapi, peraturan ini memuat penjelasan serta petunjuk
untuk melakukan pencatatan pajak penghasilan, khususnya bagi Wajib Pajak Orang

5. PER-32/PJ/2015

Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 32 Tahun 2015 juga mengatur tarif pajak
penghasilan, dengan fokus pada pajak penghasilan pribadi. Peraturan ini juga
membedakan tarif yang dikenakan pada wajib pajak yang sudah memiliki NPWP dan
yang belum. Anda dapat menemukannya pada bab VII pasal 20.

Berbeda dengan pajak terutang (yang bukan merupakan tunggakan), deskripsi utang
pajak tercantum di dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU
PSPP) khususnya pada pasal 1 Ayat 8. Dengan kata lain, ada unsur sanksi di dalam utang
pajak dan sudah menjadi tunggakan. Anda wajib membayar utang pajak beserta denda,
kenaikan, atau bunga sebagai sanksi keterlambatan.

Rumus Perhitungan Tarif PPh Terutang

Menurut UU No 36 Tahun 2008, terdapat persentase khusus untuk menghitung tarif pajak
penghasilan, tergantung dari jumlah Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh. Rumus tarif untuk
wajib pajak orang pribadi adalah:

 5% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan hingga Rp50.000.000/tahun.


 15% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp50.000.000 hingga
Rp250.000.000/tahun.
 25% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp250.000.000 hingga
Rp500.000.000/tahun.
 30% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp500.000.000/tahun.

Perhitungan di atas ini hanya berlaku untuk wajib pajak yang sudah memiliki NPWP. Wajib
pajak tanpa NPWP harus membayar tarif 20% lebih tinggi dari yang wajib dibayarkan pemilik
NPWP.

Cara Menentukan Jumlah Penghasilan Kena Pajak

Dalam dunia perpajakan, ada istilah Penghasilan Kena Pajak dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Sebelum menghitung pajak penghasilan (termasuk pajak terutang), pastikan mengetahui
jumlah penghasilan kena pajak Anda, terutama karena jumlahnya bisa berbeda untuk setiap
orang.

Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 16 Tahun 2016 menetapkan angka Rp54.000.000
sebagai jumlah PTKP selama setahun untuk wajib pajak orang pribadi. Jika individu tersebut
sudah menikah, ada tambahan senilai Rp4.500.000. Nilai yang sama akan terus ditambahkan
untuk setiap anak yang lahir dari pernikahan individu tersebut.

Untuk menentukan pajak yang harus Anda bayar, temukan selisih antara penghasilan kena pajak
dan PTKP dalam setahun. Setiap individu akan mendapat hasil yang berbeda karena adanya
variasi, seperti jumlah pendapatan, potongan pada gaji, status pernikahan atau keluarga, dan lain
sebagainya.

Ilustrasi Perhitungan Tarif Pajak Penghasilan Terutang

Berikut ini adalah contoh perhitungan PPh terutang:

A adalah karyawan perusahaan yang masih lajang. Dia memiliki penghasilan senilai
Rp6.000.000 per bulan, atau Rp72.000.000 per tahun. Status lajang A membuatnya mendapat
Penghasilan Tidak Kena Pajak sejumlah Rp54.000.000 per tahun. Ini berarti penghasilan kena
pajak si A dihitung dari selisih antara gaji/pendapatan per tahun dan PTKP, yaitu Rp72.000.000–
Rp54.000.000 = Rp18.000.000.
Karena penghasilan si A dalam setahun adalah Rp72.000.000, maka perhitungan tarifnya
menggunakan persentase 15%. Jumlah pajak penghasilan yang harus dibayar dalam setahun
adalah 15/100 x Rp18.000.000 = Rp2.700.000. Ini berarti jumlah uang yang menjadi potongan
pajak A adalah Rp225.000.

Kesimpulan

Pajak penghasilan terutang bukan sebuah sanksi, melainkan bukti dari tanggung jawab setiap
wajib pajak. Tidak seperti utang pajak, pajak terutang tidak membebani wajib pajak dengan
bunga, denda, atau kenaikan tarif akibat kelalaian.

Wajib Pajak juga secara aktif menghitung pajak terutang sendiri, tidak tergantung pada surat
pemberitahuan atau peringatan.

B.Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Undang –
Undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau di peroleh dalam Tahun Pajak.
Jika Subjek Paajak telah memenuhi kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif maka
disebut Wajib Pajak. Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP menyebutkan bahwa Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badanyang menurut ketentuan peraturan perundang -
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Termasuk
pemungut pajak dan pemotong pajak tertentu.
Berdasarkan PAsal 2 ayah (1) UU Nomor 36 tahun 2008, Subjek Pajak dikelompokkan
sebagai berikut.
1. Subjek Pajak orang pribadi
Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
atau di luar Indonesia.
2. Subjek Pajak warisan yang belom terbagisebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris .
3. Subjek Pajak badan
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupunn tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komaditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontra investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuk sebenarnya
sehingga setiap unit tertentu dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan
sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintan Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan Subjek Pajak.
4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Inddonesia, yang dapat berupa :

a. Tempat kedudukan manajemen;


b. Cabang perusahaan;
c. Kantor perwakilan ;
d. Gedung kantor ;
e. Pabrik;
f. Bengkel;
g. Gudang;
h. Ruang untuk promosi dan penjualan;
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. Perikanan, perternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. Proyek kontruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu dua belas bulan;
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia.;
p. Computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atas
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.

Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri


Subjek pajak penghasilan juga dikelompokkan menjadi Subjek Pajak dalam negeri dan
Subjek Pajak luar negeri. Pengelompokkan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 36
Tahun 2008.
1. Subjek Pajak dalam negeri adalah :
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi keriteria:
1. Pembentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan;
2. Pembiayaannya bersumber dari Anggara Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. Penerimaannya dimasukkan damalam Anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; danpembukuannya diperksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2. Subjek Pajak luar negeri adalah :


a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedududkan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia ,orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban Pajak Subjektif
Kewajiban pajak subjektif berarti kewajiban pajak yang melekat pada subjek dan tidak
dapat dilimpahkan pada orang atau pihak lain. Pada umumnya, setiap orang yang bertempat
tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif. Sementara untuk orang yang
bertempat tinggal di luar Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya ada jika mempunyai
hubungan ekonomi dengan Indonesia.
Saat mulai dan berakrinya pajak subjektif untuk setiap  Subjek Pajak diuraikan dalam
table berikut ini :

Jenis Subjek Pajak Kewajiban Pajak Subjektif Dimulai Kewajiban Pajak Subjektif Berakhir
Dalam Negeri Orang  Saat dilahirkan  Saat meninggal
Pribadi.  Saat berada di Indonesia atau  Saat meninggalkan Indonesia
berniat bertempat tinggal di untuk selama - lamanya
Indonesia

Dalam Negeri Badan  Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak lagi
kedudukan di Indonesia bertempat kedudukan di
Indonesia

Luar Negeri Melalui  Saat menjalankan usaha atau  Saat tidak lagi menjalankan
BUT melakukan kegiatan melalui usaha atau melakukan kegiatan
BUT di Indonesia melalui BUT di Indonesia

Luar Negeri Tidak  Saat menerima atau  Saat tidak lagi menerima atau
Melalui BUT memperoleh penghasilan dari memperoleh penghasilan dari
Indonesia Indonesia

Warisan Belum Terbagi  Saat timbulkan warisan yang  Saat warisan selesai dibagikan
belum terbagi
Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, sekaligus menjadi Wajib
Pajak karena menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubung dengan pemilikn Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan
Tidak Kena Pajak(PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
1. Wajib Pajak dalam negeri dikenal pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib PAjak luar negeri
dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarka penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto
dengan tariff pajak spadan.
3. Wajib PAjak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun
pajak, sedangkan Wajib Pajak luarnegeri tidak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan
dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana
diatur dalam UU PPh dan undang – undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata perpajakan.

C. Objek Pajak
Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang
dikenakan pajak. Objek Pajak pengahsilan adalah setiap tambahan kemampuan ekomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,yang
dapat dipakai untuk dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 bahwa penghasilan yang dikenakan pajak
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

(a) tambahan kemampuan ekonomis.


Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk menguasai
barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Maksud
“tambahan” disini adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto
dikurangi dengan biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

(b) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.


Maksudnya adalah hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah menjadi
realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi, yaitu penghasilan
yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis maupun dengan memakai accrual
basis.

(c) baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia.
Bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat di mana pun
juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar
Indonesia. Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide
income sedangkan bagi subjek pajak luar negeri kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya
yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh 1984.

(d) yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta.
Unsur (d) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan
pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan
sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta
sebagai investasi. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini
lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian
penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.

(e) dengan nama dan dalam bentuk apapun.


Bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa
besarnya penghasilan itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak
dan juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak melainkan
yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya. Pedoman yang harus
dipegang teguh ini disebut the Substance-Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat
ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai.
Objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak. Penghasilan tersebut diperoleh wajib pajak dari dalam maupun luar
negeri, seperti:

 Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang Pajak Penghasilan.
 Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
 Laba usaha.
 Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti keuntungan karena
pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
 Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
 Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau
pengambilalihan usaha.
 Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
 Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
 Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
 Royalti.
 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
 Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
 Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
 Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
 Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
 Premi asuransi.
 Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
 Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
 Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
 Surplus Bank Indonesia.
 Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP.
 Objek Pajak yang dikenakan PPh final atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya.
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.
 Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.

Sedangkan yang tidak termasuk dalam Objek Pajak PPh adalah:


1. Bantuan atau sumbangan dan harta hibah.
2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyetaraan modal.
3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan pajak dari wajib
pajak atau pemerintah, kecuali yang berikan oleh yang bukan wajib pajak, wajib pajak
yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
4. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, asuransi
beasiswa.
5. Dividen atau bagian laba yang diperoleh/diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal dari usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat sebagai berikut:
o Dividen bagian dari cadangan laba yang ditahan.
o Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang mendapat dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
6. Iuran yang diterima atau diperoleh dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang bayar oleh pemberi kerja atau pegawai.
7. Penghasilan yang ditanamkan oleh dana pensiun, pada bidang-bidang tertentu yang
telah ditetapkan oleh menteri keuangan.
8. Bagian laba yang diterima dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, perkumpulan, persekutuan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyetaraan kontrak investasi kolektif.
9. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
lndonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan
mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan sektor-sektor usaha yang diatur
berdasarkan Permenkeu dan sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
10. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu dan ketentuannya berdasar pada
Peraturan Menteri Keuangan.
11. Sisa lebih yang diterima oleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian, atau pengembangan yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan lagi dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan, pengembangan dan penelitian, dalam jangka waktu paling lama 4
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Keuangan.
12. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Objek pajak yang dikenakan PPN diatur dalam pasal 4 Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1984 tentang PPN dan perubahannya yakni Undang-Undang 42
Tahun 2009 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2010.

Dalam pasal tersebut, pungutan PPN dikenakan atas:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan
pengusaha.
2. Impor BKP.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha.
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah  pabean di dalam daerah pabean.
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6. Ekspor BKP Berwujud oleh PKP.
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP.
8. Ekspor JKP oleh PKP.

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:


1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:


1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
3. warisan;
4. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara
final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit);
6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa;
7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat: dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
10. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan
mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
12. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
13. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
14. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Objek Pajak Usaha Tetap


Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai:

1. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia.

2. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan yang dimaksud.

Bentuk Usaha Tetap (BUT), berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat 5,
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, serta Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:

1. Tempat kedudukan manajemen


2. Cabang perusahaan
3. Kantor perwakilan
4. Gedung kantor
5. Pabrik
6. Bengkel
7. Gudang
8. Ruang untuk promosi dan penjualan
9. Pertambangan dan penggalian sumber alam
10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan
lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
14. Orang atau Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

PENGHASILAN PAJAK DARI BUT YANG DITANAMKAN KEMBALI DI


INDONESIA
Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) sesudah dikurangi pajak dari
suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994 tidak dikenakan sepanjang PKP sesudah pajak tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Keputusan Menteri
Keuangan tersebut, yakni :

a. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; dan
b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan
berproduksi komersil .

Contoh Kasus
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).

Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap Rp20.500.000.000,00


di Indonesia dalam tahun 2013
Pajak Penghasilan: Rp  5.125.000.000,00 (-)
25% x Rp20.500.000.000,00 = 
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak  Rp15.375.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang : Rp 3.075.000.000,00
20% x Rp15.375.000.000

Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp15.375.000.000,00 (lima belas miliar tiga
ratus tujuh puluh lima juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

D. Kewajiban Subjek Pajak


kewajiban yang harus dipatuhi oleh Subjek pajak, di antaranya:
1. Kewajiban Mendaftarkan Diri
Subjek pajak harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di kantor
pajak pratama (KPP) atau kantor pelayanan, penyuluhan dan konsultasi perpajakan (KP2KP). Saat ini,
pendaftarakan NPWP juga dapat dilakukan melalui online.
Subjek pajak yang merupakan pengusaha, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) oleh
KPP atau KP2KP setelah memenuhi persyaratan tertentu, di antaranya pengusaha orang pribad atau
badan melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah omzet melebihi
Rp4.800.000.000 dalam setahun. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, tetap dapat melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Setelah dikukuhkan sebagai PKP, maka wajib untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari
setiap pembeli/pengguna jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN tersebut kemudian dilaporkan
dalam SPT Masa. Jika ada yang harus disetorkan, Subjek pajak perlu menyetorkan PPN itu ke KPP
tempat mendaftar.
2. Kewajiban Pembayaran, Pemotongan/Pemungutan, dan Pelaporan Pajak
Sesuai dengan sistem self assessment, Subjek pajak harus melakukan penghitungan, pembayaran dan
pelaporan pajak terutangnnya sendiri.
3. Ditjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan pada Subjek pajak untuk menguji kepatuhannya dalam
memenuhi kewajiban perpajakan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menjalankan fungsi pengawasan
terhadap Subjek pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Subjek pajak.
Kewajiban yang diperiksa di antaranya:
 Memenuhi panggilan untuk menghadiri Pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan, khususnya
jenis Pemeriksaan Kantor.

 Menunjukkan atau meminjamkan seluruh data yang menjadi dasar serta berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang
terutang pajak. Untuk jenis Pemeriksaan Lapangan, Subjek pajak harus memberikan akses untuk
melihat dan menyimpan data.

 Memberikan izin untuk memasuki tempat atau ruang yang dianggap perlu serta memberi bantuan
untuk memperlancar proses pemeriksaan.

 Menyampaikan tanggapan secara tertulis atau surat pemberitahuan hasil pemeriksaan.

 Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik, khususnya untuk jenis
Pemeriksaan Kantor.

 Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.


4. Kewajiban Memberi Data
Data di sini adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan
atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi
mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan
keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Ditjen Pajak.
Kewajiban ini tidak hanya dipatuhi oleh Subjek pajak, tetapi juga oleh setiap instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lain. Jika sengaja tidak memenuhi kewajiban ini, Subjek pajak akan terkena
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000
E. Biaya-biaya yang dapat di kurangkan dari penghasilan
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran
yang boleh dibebankan sebagai biaya disebut biaya deductible (Deductible Expense) dan
pengeluaran yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya disebut biaya nondeduktibel (Non
Deductible Expense). Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
adalah biaya yang yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha
atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
masa manfaat dari pengeluaran tersebut.

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan termasuk;
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain :
a. Biaya pembelian bahan;
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
c. Bunga, sewa, dan royalty;
d. Biaya perjalanan;
e. Biaya pengolahan limbah;
f. Premi asuransi;
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
h. Biaya administrasi; dan
i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh asset berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun
3. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri keuangan
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan asset yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memlihara penghasilan
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
8. Piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu;
d. Syarat pada huruf c tidak berlaku untuk menghapuskan piutang tak tertagih debitur
kecil yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
12. Sumbangan fasilitas Pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah;
14. Kerugian yang dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan lima tahun;
15. Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memeilhara penghasilan, misalnya :
 Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham;
 Pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam
serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi;
Tidak boleh dibebankan sebagai biaya

Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari


penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam
bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-Cuma,
tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan
merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena
itu, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, jumlah yang yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto.

F. Kompensasi kerugian yang diperbolehkan menurut UU pajak yang berlaku


Kompensasi kerugian fiskal adalah suatu skema ganti rugi yang bisa diterapkan oleh Wajib Pajak
Badan ataupun Orang Pribadi yang telah melakukan pembukuan apabila berdasarkan ketetapan
pajak yang telah diterbitkan Direktur Jenderal Pajak (DJP) atau berdasarkan SPT Tahunan PPh
(self assessment) mengalami kerugian fiskal.
Suatu perusahaan memiliki dua jenis akuntansi keuangan, yakni akuntansi komersial dan
akuntansi fiskal.
Akuntansi komersial merupakan aktivitas untuk menyediakan informasi keuangan yang
diperoleh melalui suatu proses akuntansi secara umum.
Akuntansi fiskal merupakan bagian dari akuntansi keuangan yang menekankan pada
penyusunan laporan perpajakan (SPT) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap
transaksi atau kegiatan perusahaan.
Penghitungan fiskal bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan perusahaan yang
ditujukan secara khusus kepada otoritas pajak sebagai salah satu pemenuhan kepatuhan pajak
(tax compliance). Dari hasil penghitungan fiskal ini, nantinya akan diketahui apakah Wajib Pajak
tersebut mengalami kerugian fiskal atau tidak.
Dasar Hukum Kompensasi Kerugian Fiskal
Dasar hukum kompensasi kerugian fiskal ada pada UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 2
tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam UU tersebut disebutkan bahwa:
“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 tahun.”
Adapun arti dari pengurangan pada ayat (1) pernyataan di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengurangan biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha.
2. Penyusutan atas pengeluaran agar memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk mendapatkan hak dan atas biaya lain yang memiliki masa manfaat lebih dari 1
tahun.
3. Iuran ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Kerugian yang terjadi akibat penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan terkait.
5. Kerugian yang disebabkan oleh selisih kurs mata uang asing.
6. Pengurangan atas biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia.
7. Biaya beasiswa, pelatihan, dan magang.
8. Piutang yang ternyata tidak dapat ditagih.
9. Bentuk sumbangan yang dialokasikan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
mana ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
10. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang mana ketentuannya juga diatur dengan PP.
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya juga diatur dengan PP.
12. Sumbangan untuk fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dalam PP.
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan PP.
Kompetensi Kerugian Fiskal sesuai UU PPh
Berikut adalah penjelasannya berdasarkan UU PPh.
1. Kerugian fiskal adalah kerugian berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan DJP serta
kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self assessment) dalam hal tidak ada atau
belum diterbitkan ketetapan pajak oleh DJP.
2. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila dalam tahun pajak sebelumnya terdapat kerugian
fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi ada kerugian fiskal).
3. Kerugian fiskal terjadi karena saat penghasilan bruto dikurangi biaya hasilnya mengalami
kerugian
4. Kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai pada tahun pajak
berikutnya secara berturut-turut sampai dengan lima tahun.
5. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal mulai berlaku tahun 2009
sedangkan untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan Undang-undang no.17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan.
6. Apabila pada kemudian hari berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan
jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian menurut SPT Tahunan PPh atau hasil
pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian fiskal tersebut harus segera direvisi sesuai
dengan ketentuan dan prosedur pembetulan SPT sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
Ketentuan Umum Perpajakan.
Perlu dicatat bahwa kompensasi kerugian tersebut tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang
keseluruhan penghasilannya bersifat Final dan atau bukan merupakan objek pajak. Selain itu,
kerugian yang diderita dari luar negeri tidak dapat diikutsertakan dalam penghitungan
kompensasi kerugian fiskal.

Contoh Perhitungan
1. PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus
juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut:

2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00

2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)

2012 : laba fiskal Rp N I H I L

2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00

2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00

Kompensasi kerugiannya dilakukan seb berikut:

2. PT Mahkota Prima pada tahun 2015 mengalami kerugian fiskal sebesar Rp250 Juta, maka
kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga tahun 2020, dengan rincian perhitungan sebagai
berikut:
Tahun 2015 : kerugian fiskal = Rp250 Juta
Tahun 2016 : laba fiskal Rp50 Juta, maka kerugian fiskal tahun 2017 dapat dikurangkan,
sehingga tersisa Rp200 Juta.
Tahun 2017 : rugi fiskal Rp25 Juta, sehingga pada tahun ini belum perlu membayar pajak.
Sedangkan sisa kerugian fiskal tahun 2017 tetap Rp200 Juta, dan memiliki saldo rugi fiskal
tambahan sebesar Rp25 Juta pada 2019. Keduanya tidak bisa digabungkan.
Tahun 2018 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka laba ini akan digunakan untuk
mengurangi kerugian fiskal tahun 2017, sehingga saldo rugi fiskal 2017 berkurang menjadi
Rp125 Juta, dan saldo rugi fiskal 2019 tetap Rp25 Juta.
Tahun 2019 : memperoleh laba fiskal Rp25 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun 2017 akan
dikurangkan, sehingga menjadi Rp100 juta. Sedangkan rugi fiskal tahun 2019 jumlahnya tidak
berubah.
Tahun 2020 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun 2017 akan
dikurangkan kembali, sehingga tersisa Rp25 Juta. Sedangkan rugi fiskal tahun 2019 tetap Rp25
Juta.
Dari contoh perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa saat tahun 2016, 2018, 2019, dan 2020
menghasilkan laba fiskal, kerugian tahun 2017 dapat dikompensasikan atau diperhitungkan. Pada
tahun kelima yaitu tahun 2020, masih terdapat sisa kompensasi kerugian sebesar Rp25 Juta.
Jumlah ini tidak dapat dikompensasikan lagi karena telah melewati batas waktu 5 tahun,
sehingga sisa Rp25 Juta tersebut dapat dikatakan hangus.
Kompensasi Kerugian Jika Terdapat Produk/Putusan Hukum
Apabila suatu perusahaan ternyata diketahui pernah dilakukan pemeriksaan dan menempuh
upaya hukum tertentu sehingga terbit suatu produk atau putusan hukum, hal tersebut dapat
berpengaruh terhadap nilai kerugian fiskal dalam tahun pajak bersangkutan.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011 (PP 74/2011) disebutkan bahwa
wajib pajak dapat membetulkan SPT tahunan yang telah disampaikan, dalam hal wajib pajak
menerima putusan hukum tertentu atas tahun pajak sebelumnya atau beberapa tahun pajak
sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam SPT tahunan, dengan menyampaikan pernyataan tertulis.
Putusan hukum tertentu tersebut adalah surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali.
Jenis Kompensasi
1. Horizontal yaitu Mengkompensasikan kerugian atas suatu unit usaha (divisi) dengan
kepada unit usaha (divisi) lainnya dalam tahun yang sama.
Kecuali kerugian atas unit usaha:
 Di luar negeri
 Dikenakan PPh yang bersifat Final
 Yang penghasilannya bukan Objek PPh

Apabila masih terdapat kerugian setelah dikompensasikan secara horizontal, sisa kerugian
tersebut dapat dikompensasikan secara Vertikal
2. Vertikal yaitu Mengkompensasikan kerugian fiskal pada suatu tahun ke tahun pajak
berikutnya.
Catatan:
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat
diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak
lebih dari 10 (sepuluh) tahun.

G. PTKP
Penghasilan Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP adalah pengurangan terhadap penghasilan
neto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung
penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib
pajak di Indonesia.
PTKP ini digunakan untuk menghitung besaran PPh yang bukan PPh Final. Contoh PPh
final adalah PPh atas honorarium beban APBN/APBD.
Sesuai dengan pasal 7 UU Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008, Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) merupakan jumlah pendapatan wajib pajak pribadi yang dibebaskan dari
PPh Pasal 21. Dalam penghitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai pengurang penghasilan
neto Wajib Pajak (WP).
PTKP ini bisa dikatakan sebagai dasar untuk penghitungan PPh 21. Jika penghasilan
Kawan Pajak tidak melebihi PTKP maka Kawan Pajak tidak dikenakan pajak penghasilan
Pasal 21. Sebaliknya, jika penghasilan Kawan Pajak melebihi PTKP maka penghasilan neto
setelah dikurangi PTKP itulah yang menjadi dasar penghitungan PPh 21.
Dalam praktiknya ketika para wajib pajak melaporkan SPT Tahunan, masih banyak
diantara mereka yang belum mengetahui mengenai tarif PTKP. Padahal hal tersebut
merupakan dasar yang dijadikan untul penghitungan PPh 21. Dari Penghasilan Bruto
dikurangi biaya-biaya kemudian menjadi penghasilan neto, dari penghasilan neto itu
dikurangi oleh PTKP, dan akhirnya menjadi Penghasilan Kena Pajak.
Selain aturan yang tertera dalam pasal 7 UU No 36 Tahun 2008, terdapat juga Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) RI No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP. Dalam
aturan baru ini, jumlah PTKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah Rp54.000.000,00
setahun atau Rp Rp4.500.000,00 per bulan. Sementara cara penghitungannya diuraikan
secara detail melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016.
Jadi jika memiliki penghasilan hingga Rp4.500.000,00 sebulan, berdasarkan aturan
PTKP 2020, pendapatan hingga Rp4.500.000,00 per bulan dibebaskan dari pungutan PPh
21. Pembebasan tersebut didasarkan pada ambang batas tarif PTKP. Jika penghasilan
tahunan melebihi ambang batas, maka wajib pajak harus membayar PPh 21.
Meski begitu, Kita tetap harus melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh.
Ketentuan ini berlaku hingga wajib pajak memperoleh status Non-Efektif (NE) dari
Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Perhitungan Tarif PTKP Ditentukan Berdasarkan Kondisi Perekonomian Negara

Besar kecilnya tarif PTKP yang berlaku di Indonesia ditetapkan dengan peraturan menteri
keuangan dan didasarkan atas kondisi perekonomian suatu negara.
Di saat inflasi tinggi, harga barang-barang tinggi, maka PTKP juga seharusnya dinaikkan
karena penghitungan PTKP sendiri merupakan asumsi atas pengeluaran untuk kebutuhan
dasar.
Jika harga barang tinggi, maka pengeluaran untuk kebutuhan dasar semakin tinggi, dan
tentu saja harusnya PTKP juga semakin besar.
Namun, jika harus setiap tahun PTKP dinaikkan karena tiap tahun ada inflasi, rasa-
rasanya terlalu ribet. Oleh karena itu penyesuaian tarif PTKP biasanya dilakukan berapa
tahun sekali, meskipun pernah juga hanya dalam satu tahun PTKP dinaikkan kembali oleh
Menteri Keuangan.

Cara Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak

Dalam Menghitung PTKP untuk keperluan penghitungan PPh terutang, acuan yang
digunakan adalah status perkawinan dan banyaknya tanggungan keluarga bagi Wajib Pajak
yang memiliki NPWP.
Menurut aturan DJP, satu keluarga plus tanggungannya hanya boleh ada satu NPWP.
Meskipun dalam praktiknya masih banyak juga suami istri yang memiliki NPWP tersendiri,
terutam yang dua-duanya sama-sama bekerja sebagai karyawan atau PNS.
Jika ada suami istri masing-masing punya NPWP, seperti kasus dua orang PNS atau dua
orang karwaan suami istri, maka PTKP kawin hanya diperhitungkan kepada suami, dan istri
dianggap belum kawin tanpa tanggungan.
Misal kalian sudah nikah, punya anak dua, suami istri punya NPWP.
Maka status PTKP suami adalah Kawin Anak Dua (K/2), sementara status PTKP istri adalah
Tidak Kawin tanpa tanggungan (TK/0).

Dalam Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak, Menggunakan Dua Kriteria Utama:
 status perkawinan
 jumlah tanggungan oleh wajib pajak

WP yang sudah menikah, status PTKPnya adalah K, sementara yang belum/tidak menikah,
statusnya adalah TK.
Kemudian, jumlah tanggungan menggunakan angka, dan maksimal tanggungan adalah 3.
Dengan demikian dipakai istilah:
 0 = tidak punya tanggungan
 1 = memiliki tanggungan 1 orang dalam keluarga
 2 = memiliki tanggungan 2 orang
 3 = memiliki tanggungan 3 orang
Berikut Ini Kode-Kode PTKP Yang Berlaku (Penghasilan Tidak Kena Pajak TK, K, K/I) Dalam
Menghitung Pajak Penghasilan Terutang:

Wajib Pajak dengan Status Lajang (TK):


 PTKP TK/0 artinya tidak kawin dan tidak ada tanggungan
 PTKP TK/1 artinya tidak kawin dan punya 1 tanggungan
 PTKP TK/2 artinya tidak kawin dan punya 2 tanggungan
 PTKP TK/3 artinya tidak kawin dan punya 3 tanggungan

Wajib Pajak dengan Status Kawin (K):


 PTKP K/0 artinya kawin dan tidak ada tanggungan
 PTKP K/1 artinya kawin dan punya 1 tanggungan
 PTKP K/2 artinya kawin dan punya 2 tanggungan
 PTKP K/3 artinya kawin dan punya 3 tanggungan
Wajib Pajak dengan Status PTKP Digabung Suami Istri (K/I):
 PTKP K/I/0 artinya penghasilan suami dan istri digabung dan tidak ada tanggungan
 PTKP K/I/1 artinya penghasilan suami dan istri digabung dan punya 1 tanggungan
 PTKP K/I/2 artinya penghasilan suami dan istri digabung dan punya 2 tanggungan
 PTKP K/I/3 artinya penghasilan suami dan istri digabung dan punya 3 tanggungan

Contoh Cara Menentukan K-0, K-1, TK-0, TK-1 Dan Sebagainya

1. Seorang karyawan pernah menikah tapi istrinya sudah meninggal dunia, punya 3
orang anak, maka status PTKPnya adalah TK-3
2. seorang PNS laki-laki menikah, punya anak tapi sudah meninggal dunia, sehingga
tidak punya tanggungan lagi, maka status PTKPnya adalah K-0.
3. WP pribadi suami istri penghasilannya digabung, punya 2 orang tanggungan, maka
status PTKPnya adalah K/I-2.
4. Perempuan punya suami, dua-duanya sama-sama punya NPWP, punya anak 4. Status
PTKP suami adalah K-3 (maksimal 3 tanggungan) dan status PTKP istri adalah TK-
0 (dianggap tidak kawin dan tidak punya tanggungan).

Besar Tarif PTKP 2020

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016, berikut tarif PTKP


yang ditetapkan hingga saat ini adalah:
 Untuk Wajib Pajak orang pribadi akan menjadi Rp54.000.000,00 (lima puluh empat
juta rupiah)
 Untuk Wajib Pajak yang kawin mendapat tambahan sebesar Rp4.500.000,00 (empat
juta lima ratus ribu rupiah)
 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan
suami sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah)
 Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat sebesar Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu
rupiah), maksimal 3 (tiga) orang setiap keluarga.

*Keluarga sedarah yang dimaksud dalam poin 4 (empat) adalah orang tua kandung,
saudara kandung dan anak.
*Sementara yang dimaksud keluarga semenda adalah mertua, anak tiri, dan ipar

Makin banyak anggota keluarga yang ditanggung, makin besar PTKP karena asumsinya
makin besar pengeluran untuk kebutuhan dasarnya.
Demikian juga WP kawin dengan yang tidak kawin, PTKPnya juga beda karena asumsinya
WP yang kawin kebutuhan dasarnya lebih besar dibandingkan yang tidak kawin.
tabel tarif lengkap PTKP 2020 yang mengacu pada PMK No.101/PMK.010/2016
Tabel PTKP 2020 masih sama dengan Tabel PTKP 2019, PTKP 2018, PTKP 2017, dan
PTKP 2016. Besarannya naik dibandingkan Tabel PTKP 2015.
Tabel PTKP nanti dibedakan antara kawin atau belum kawin, punyak anak atau tidak,
jumlah anak yang menjadi tanggungan, dan apakah penghasilan suami istri digabung atau
tidak.
Dengan demikian akan dikenal istilah K, TK, K0, K1, K2, K3, TK0, TK1, TK2 dan TK3

Cara Menghitung Pajak Atau PPh Terutang

Secara sederhana, cara menghitung pajak terutang, terutama untuk karyawan adalah:

 Penghasilan dikalikan 12
 dikurangi biaya jabatan dan iuran asuransi, ketemu penghasilan netto
 Cara menghitung PKP: penghasilan netto dikurangi PTKP sesuai dengan jenisnya
(K0, K1, dan sebagainya).
 Ketemu PKP atau Penghasilan Kena Pajak.
 Besarnya pajak yang harus dibayar dalam satu tahun = Tarif PPh Pasal 21 x PKP
 Pajak per bulan = Besar Pajak di atas dibagi 12

Contoh Perhitungan untuk PTKP Wajib Pajak Tidak Kawin


Dimas bekerja di PT. XYZ dengan pendapatan Rp6.000.000,00 per bulan. Status Raka
saat ini belum menikah yakni TK/0 (Tidak Kawin dengan Tanpa Tanggungan). Sesuai tabel
di atas, maka tarif PTKP Dimas adalah Rp54.000.000,00. Maka perhitungannya sebagai
berikut.
Gaji Pokok : 6.000.000
Pengurang
1. Biaya Jabatan 5% x 6,000,000 : 300.000
2. Biaya Pensiun 1% x 6,000,000 : 60.000
( 360.000 )

Penghasilan Bersih per Bulan : 5.640.000

Penghasilan Neto per Tahun 5,640,000 x 12 : 67.680.000

PTKP (TK/0) : (54.000.000)

Penghasilan Kena Pajak Setahun : 13.680.000

PPh Terutang 5% x 13,680,000 : 684.000

PPh Pasal 21 Masa 684,000/12 : 57.000

Jadi Dimas harus membayar PPh 21 sejumlah Rp57.000,00 setiap bulan atau 684.000,00
setahun. PPh 21 bisa dibayarkan sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak atau dipotong langsung
dari perusahaan.

Contoh Perhitungan untuk PTKP Wajib Pajak Kawin Istri Tidak Bekerja
Di tahun berikutnya, Dimas menikah dan memiliki satu orang anak. Istri Dimas tidak
bekerja dan berpenghasilan. Sementara pendapatan Dimas mengalami kenaikan menjadi
Rp7.500.000,00
Berarti sekarang status Dimas adalah K/1 (Kawin dengan memiliki 1 tanggungan). Maka
tarif PTKP Dimas menjadi Rp63.000.000,00 per tahun dengan contoh perhitungan berikut
ini.

Gaji Pokok : 7.500.000

Pengurang
1. Biaya Jabatan 5% x 7,500,000 : 375.000
2. Biaya Pensiun 1% x 7,500,000 : 75.000
( 450.000 )

Penghasilan Bersih per Bulan : 7.050.000

Penghasilan Neto per Tahun 7,050,000 x 12 : 84.600.000

PTKP : ( 63.000.000 )

Penghasilan Kena Pajak Setahun : 21.600.000

PPh Terutang 5% x 21,600,000 : 1.080.000

PPh Pasal 21 Masa 1,080,000/12 : 90.000


Jadi, setelah Dimas menikah dan memiliki 1 (satu) tanggungan, ia harus membayar PPh 21
sebesar Rp 90.000 setiap bulannya atau Rp. 1.080.000 setahun.
Itulah contoh penerapan tarif PTKP untuk menghitung PPh Pasal 21.

Anda mungkin juga menyukai