Kelas:AK-2E
A. PPH
Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap penghasilan orang pribadi dan badan yang
diterima selama satu tahun pajak. Selain perseorangan, Pajak Penghasilan (PPh) juga
diberlakukan kepada perusahaan atas pengelolaan barang dan jasa. Penarikan pajak diambil dari
barang atau jasa yang dikelola. Semua jenis pajak termasuk pungutan Pajak Penghasilan sama
pengelolaannya untuk memenuhi kepentingan negara dan akan kembali kepada rakyat. Seluruh
badan usaha di Indonesia yang berbentuk Perusahaan Terbatas (PT), Perusahaan Firma (Fa), dan
Perseroan Komanditer (CV) yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) berkewajiban
membayar pajak.
Dasar hukum untuk pajak penghasilan adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983.
Kemudian mengalami perubahan berturut-turut, dari mulai UU Nomor 7 & Tahun 1991, UU
Nomor 10 & Tahun 1994, UU Nomor 17 & Tahun 2000, serta terakhir UU Nomor 36 & Tahun
2008.
Pada tahun 1932 misalnya, diberlakukan yang disebut dengan Ordonansi Pajak
Pendapatan. Ordonansi Pajak Pendapatan ini dikenakan untuk orang Indonesia maupun
orang yang bukan penduduk Indonesia tetapi memiliki pendapatan di Indonesia. Setelah
itu pada tahun 1935 diberlakukan Ordonansi Pajak Upah yang mengharuskan majikan
memotong gaji atau upah pegawai untuk membayar pajak atas gaji atau upah yang
diterima.
Anda jumlahkan saja penghasilan secara keseluruhan pada bulan berjalan. Maksudnya
tidak hanya gaji pokok Anda saja yang masuk dalam perhitungan, namun juga tunjangan
lainnya bila ada, seperti tunjangan transport, tunjangan perumahan, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja, premi Jaminan Kematian, premi asuransi kesehatan, dan tunjangan
lain yang sifatnya teratur.
Selain itu, uang tambahan di luar gaji pokok juga ikut dijumlahkan, seperti uang lembur,
uang perjalanan dinas, bonus, uang cuti, tunjangan hari raya, dan tunjangan lainnya. Nah
Anda jumlahkan saja semuanya, hasilnya nanti merupakan penghasilan bruto pada bulan
berjalan atau satu bulan penghasilan.
Langkah kedua menemukan penghasilan bersih atau neto Anda selama satu bulan
Untuk menemukan penghasilan bersih atau neto Anda selama satu bulan mudah saja.
Anda hanya perlu mengurangi penghasilan bruto Anda pada bulan berjalan dengan
pengurangnya. Nah yang dimaksud pengurang di sini, misalnya adalah biaya jabatan
(biasanya 5% dari gaji pokok), iuran pensiun (biasanya 2% dari gaji pokok), iuran
Jaminan Hari Tua (biasanya 2% dari gaji pokok).
Langkah ketiga adalah menghitung penghasilan bersih atau neto selama satu tahun
Anda bisa menghitungnya dengan cara mengurangi PKP, yaitu penghasilan bersih Anda
selama satu tahun yang sudah Anda hitung tadi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). PTKP ini berbeda-beda, tergantung dari status wajib pajak tersebut, antara yang
belum kawin, kawin dan belum punya anak (K-0), kawin dan punya anak 1 (K-1), kawin
dan punya anak dua (K-2), dan kawin dan punya anak 3 (K-3) berbeda-beda.
Begitu Anda memiliki badan usaha atau menjadi pengusaha, maka telah menjadi Wajib
Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang berprofesi sebagai pengusaha. Untuk
itu, ada sejumlah pajak yang harus dibayarkan. Jenis pajak yang harus dibayarkan
tersebut biasanya tertera pada SKT (Surat Keterangan Terdaftar) saat Anda mendaftarkan
diri menjadi NPWP Badan.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan kepada
beberapa wajib pajak yang bergerak dalam kegiatan usaha tertentu. Dimana wajib pajak
tersebut mengalami kesulitan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, sehingga tata
caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam PPh 15 ini.
Besarnya pajak penghasilan yang harus disetor dan dipotong sendiri oleh badan atau
perusahaan Anda adalah dengan mengalikan tarif efektif dan Peredaran Bruto yang
diterima berdasarkan perjanjian charter.
Pemotongan PPh Pasal 15 atas penghasilan berdasarkan perjanjian charter dilakukan pada
saat terutangnya imbalan atau nilai pengganti.
Tarif dan Dasar Pengenaan PPh 15
1. Perusahaan Pelayaran
Pajak Penghasilan = 5% x bruto nilai tertinggi nilai pasar dengan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP)
Penghitungan PPh pasal 15 atas penghasilan sewa kapal milik perusahaan dalam negeri.
PT Maju Jaya membayar atas sewa kapal kepada PT Karya Bersama sebesar Rp50 Juta.
PPh yang harus dipotong sama dengan Rp50 Juta × 1,2% = Rp600.000
Pembayaran PPh Pasal 15 secara mandiri oleh badan atau perusahaan Penerbangan
Dalam Negeri (pencharter) melalui pemotongan. Penyetoran atas PPh 15 dilakukan oleh
pencharter paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Cara Pembayaran
Pencharter harus menyetorkan PPh pasal 15 kepada bank atau pos persepsi dengan cara
menyampaikan SSP atau kode billing melalui: teller bank atau pos persepsi, Anjungan
Tunai Mandiri (ATM), Internet banking, mobile banking, EDC atau sarana lainnya.
Anda akan mendapatkan lembar Bukti Penerimaan Negara sebagai bukti pembayaran
yang berisi mengenai data pembayaran yang dilakukan. Data yang tertera di antaranya
identitas pembayar, jenis pajak, masa pajak, tahun pajak, dan Nomor Tanda Penerimaan
Negara atau NTPN.
Pelaporan SPT
Pelaporan SPT masa PPh Pasal 15 oleh wajib pajak dilakukan paling lambat tanggal 20
bulan takwim berikutnya setelah penyetoran pajak.
Pihak Pemungut:
Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang.
Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swsata yang berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Wajib Pajak Badan tertentu untuk memungut pajak pembeli atas penjualan barang
mewah.
Atas Impor:
Apabila menggunakan Angka Pengenal Importir (API) adalah 2,5% x nilai impor,
jika tidak menggunakan API maka tarifnya sebesar 7,5% x nilai impor.
Pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD tarifnya 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak
final).
Atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu yang menggunakan API adalah
0,5% x nilai impor.
Pajak yang dipotong oleh pemungut pajak dari Wajib Pajak saat transaksi yang meliputi
transaksi dividen (pembagian keuntungan saham), royalti, bunga, hadiah dan
penghargaan, sewa dan penghasilan lain yang terkait dengan penggunaan aset selain
tanah atau bangunan, atau jasa.
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari
penghasilan.
Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta kecuali
sewa tanah dan atau bangunan.
atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
atas imbalan jasa lainnya dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
141/PMK.03/2015.
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara pihak yang menerima
penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan pemberi penghasilan.
Pihak pemberi penghasilan (pembeli atau penerima jasa) akan memotong dan melaporkan
PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.
Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis jasa
lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015.
Prosedur pembayaran dan pelaporan PPh Pasal 23 diatur secara khusus dalam peraturan
perundang undangan perpajakan. Berikut ini adalah penjelasan lengkapnya:
Namun, agar dapat melakukan pembayaran pajak, Anda harus membuat ID Billing
terlebih dahulu. Tautan di bawah ini akan memandu Anda membuat ID Billing.
Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus memberikan
bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dikenakan pajak
tersebut dan bukti potong (rangkap ke-2) pada saat melakukan e-Filing pajak PPh 23 di
OnlinePajak.
Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23,
lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online atau e-Filing gratis di
OnlinePajak.
Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23.
Jika sebelumnya perhitungan, pembayaran dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara
terpisah-pisah, kini ketiga hal tersebut bisa dilakukan dengan satu
aplikasi OnlinePajak yang terintegrasi, mudah, otomatis dan lebih cepat.
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari
penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15% dan 2%,
tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif dan objek PPh
Pasal 23 :
Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga
dan royalti;
Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi
dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015.
5. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif
PPh Pasal 23.
1. Penilai (appraisal);
2. Aktuaris;
3. Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4. Hukum;
5. Arsitektur;
6. Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7. Perancang (design);
8. Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas)
kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9. Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
10. Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas);
11. Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12. Penebangan hutan;
13. Pengolahan limbah;
14. Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15. Perantara dan/atau keagenan;
16. Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
17. Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18. Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19. Mixing film;
20. Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
21. Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22. Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23. Internet termasuk sambungannya;
24. Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
25. Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
26. Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
27. Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28. Maklon;
29. Penyelidikan dan keamanan;
30. Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31. Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32. Pembasmian hama;
33. Kebersihan atau cleaning service;
34. Sedot septic tank;
35. Pemeliharaan kolam;
36. Katering atau tata boga;
37. Freight forwarding;
38. Logistik;
39. Pengurusan dokumen;
40. Pengepakan;
41. Loading dan unloading;
42. Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43. Pengelolaan parkir;
44. Penyondiran tanah;
45. Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46. Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47. Pemeliharaan tanaman;
48. Permanenan;
49. Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau
perhutanan;
50. Dekorasi;
51. Pencetakan/penerbitan;
52. Penerjemahan;
53. Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Pajak Penghasilan;
54. Pelayanan pelabuhan;
55. Pengangkutan melalui jalur pipa;
56. Pengelolaan penitipan anak;
57. Pelatihan dan/atau kursus;
58. Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59. Sertifikasi;
60. Survey;
61. Tester;
62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah).
Pihak Pemotong PPh Pasal 23 dan Pihak yang Dikenakan PPh Pasal 23
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-pihak tersebut
hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut ini:
Badan pemerintah;
Subjek pajak badan dalam negeri;
Penyelenggara kegiatan;
Bentuk Usaha Tetap (BUT);
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak.
Pengecualian PPh 23
Kesimpulan
Pemerintah telah menambahkan objek PPh Pasal 23 menjadi 62 jenis jasa lainnya dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.040/2015.
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa,
atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Tarif PPh 23 ada dua yaitu 15% dan 2% tergantung pada objek pajaknya.
Ada 5 manfaat buat setor dan e-Filing PPh 23 di OnlinePajak, yaitu:
o Telah disahkan DJP.
o Cepat dan mudah (perhitungannya otomatis dan akurat).
o Terintegrasi. Hitung, setor dan lapor pajak online PPh 23 dilakukan dalam satu
aplikasi terpadu.
o Gratis untuk buat ID billing, setor pajak online dan e-Filing PPh 23.
o Sedia jasa pengiriman bukti potong pajak.
Angsuran pajak yang berasal dari jumlah Pajak Penghasilan terutang menurut SPT
Tahunan PPh dikurangi PPh yang dipotong serta PPh terutang di Luar Negeri yang boleh
dikreditkan.
Pembayaran pajak harus dibayarkan sendiri tanpa diwakilkan oleh siapapun. Pembayaran
pajak dilaksanakan secara berangsur. Tujuannya untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam pembayaran pajak tahunannya. Adapun sanksi keterlambatan pembayaran pajak
yaitu pengenaan bunga 2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal
pembayaran.
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pajak yang dibayar secara angsuran.
Tujuannya adalah untuk meringankan beban wajib pajak, mengingat pajak yang terutang
harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan tidak
bisa diwakilkan.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah
tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak
tahun lalu, yang dikurangi dengan:
Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat
(1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan
Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak
penghasilan yang dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak
memiliki NPWP);
Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa
setahun.
Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25)
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan
tiap masing-masing tempat usaha.
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh
(12 bulan).
Sampai Rp 50.000.000 = 5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
Di atas Rp 500.000.000 = 30%
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena Pajak
(PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15
Maret 2014.
Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari libur
nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari
berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei 2008,
pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen
sejenisnya.
Untuk melakukan setoran pajak, Anda harus membuat ID Billing terlebih dahulu.
OnlinePajak menyediakan layanan pembuatan ID Billing secara online yang mudah,
cepat dan akurat.
Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2% per
bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16
Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
OnlinePajak adalah aplikasi hitung, setor, dan lapor pajak menyediakan kemudahan
dalam membuat laporan PPN, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 21 yang Anda butuhkan
sebelum membuat laporan Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25).
PPh Pasal 26 merupakan penerapan dari asas sumber yang dianut dalam sistem
pemungutan pajak di Indonesia. Berdasarkan asas sumber, penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia bisa dikenakan
pajak di Indonesia.
Dividen
Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
Hadiah dan penghargaan
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
Keuntungan karena pembebasan utang
PPh ini harus dibayarkan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.
PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang masih terutang – PPh 25 yang sudah dilunasi.
PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang – Angsuran PPh 25.
Penghasilan dikenai pajak yang sifatnya final alias tidak bisa dikreditkan.
Bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi.
Hadiah undian.
Transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
Transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
PPh Terutang
Hukum pajak Indonesia mengenal istilah pajak terutang. Istilah ini mengacu pada pajak yang
harus dibayarkan pada saat tertentu dalam masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun, sesuai
ketentuan dalam undang-undang. Sedangkan, PPh terutang adalah pajak terutang yang dihitung
dari Penghasilan Kena Pajak..
Semua jenis pajak terutang, termasuk pajak penghasilan, tidak sama dengan utang pajak. Hal ini
dapat dilihat dari dasar hukumnya. Istilah pajak yang terutang dapat Anda temukan pada
beberapa peraturan pajak di bawah ini:
Undang-undang ini mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Pada
pasal 10 undang-undang ini dijabarkan bahwa pajak terutang adalah pajak yang harus
dibayar pada saat tertentu dalam masa pajak, tahun pajak, atau bagian tahun pajak.
Deskripsi pajak terutang dalam UU KUP Pasal 1 mirip dengan UU Nomor 28 Tahun
2007.
Undang-undang ini merupakan versi lebih baru dari UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. Pasal 17 dalam undang-undang ini memuat tarif pajak penghasilan
untuk orang pribadi dan badan. Wajib pajak membutuhkan informasi ini untuk
menghitung pajak terutang dari penghasilan kena pajak.
4. PER-4/PJ/2009
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 4 Tahun 2009 tidak secara khusus menyebut
pajak penghasilan terutang. Akan tetapi, peraturan ini memuat penjelasan serta petunjuk
untuk melakukan pencatatan pajak penghasilan, khususnya bagi Wajib Pajak Orang
5. PER-32/PJ/2015
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 32 Tahun 2015 juga mengatur tarif pajak
penghasilan, dengan fokus pada pajak penghasilan pribadi. Peraturan ini juga
membedakan tarif yang dikenakan pada wajib pajak yang sudah memiliki NPWP dan
yang belum. Anda dapat menemukannya pada bab VII pasal 20.
Berbeda dengan pajak terutang (yang bukan merupakan tunggakan), deskripsi utang
pajak tercantum di dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU
PSPP) khususnya pada pasal 1 Ayat 8. Dengan kata lain, ada unsur sanksi di dalam utang
pajak dan sudah menjadi tunggakan. Anda wajib membayar utang pajak beserta denda,
kenaikan, atau bunga sebagai sanksi keterlambatan.
Menurut UU No 36 Tahun 2008, terdapat persentase khusus untuk menghitung tarif pajak
penghasilan, tergantung dari jumlah Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh. Rumus tarif untuk
wajib pajak orang pribadi adalah:
Perhitungan di atas ini hanya berlaku untuk wajib pajak yang sudah memiliki NPWP. Wajib
pajak tanpa NPWP harus membayar tarif 20% lebih tinggi dari yang wajib dibayarkan pemilik
NPWP.
Dalam dunia perpajakan, ada istilah Penghasilan Kena Pajak dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Sebelum menghitung pajak penghasilan (termasuk pajak terutang), pastikan mengetahui
jumlah penghasilan kena pajak Anda, terutama karena jumlahnya bisa berbeda untuk setiap
orang.
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 16 Tahun 2016 menetapkan angka Rp54.000.000
sebagai jumlah PTKP selama setahun untuk wajib pajak orang pribadi. Jika individu tersebut
sudah menikah, ada tambahan senilai Rp4.500.000. Nilai yang sama akan terus ditambahkan
untuk setiap anak yang lahir dari pernikahan individu tersebut.
Untuk menentukan pajak yang harus Anda bayar, temukan selisih antara penghasilan kena pajak
dan PTKP dalam setahun. Setiap individu akan mendapat hasil yang berbeda karena adanya
variasi, seperti jumlah pendapatan, potongan pada gaji, status pernikahan atau keluarga, dan lain
sebagainya.
A adalah karyawan perusahaan yang masih lajang. Dia memiliki penghasilan senilai
Rp6.000.000 per bulan, atau Rp72.000.000 per tahun. Status lajang A membuatnya mendapat
Penghasilan Tidak Kena Pajak sejumlah Rp54.000.000 per tahun. Ini berarti penghasilan kena
pajak si A dihitung dari selisih antara gaji/pendapatan per tahun dan PTKP, yaitu Rp72.000.000–
Rp54.000.000 = Rp18.000.000.
Karena penghasilan si A dalam setahun adalah Rp72.000.000, maka perhitungan tarifnya
menggunakan persentase 15%. Jumlah pajak penghasilan yang harus dibayar dalam setahun
adalah 15/100 x Rp18.000.000 = Rp2.700.000. Ini berarti jumlah uang yang menjadi potongan
pajak A adalah Rp225.000.
Kesimpulan
Pajak penghasilan terutang bukan sebuah sanksi, melainkan bukti dari tanggung jawab setiap
wajib pajak. Tidak seperti utang pajak, pajak terutang tidak membebani wajib pajak dengan
bunga, denda, atau kenaikan tarif akibat kelalaian.
Wajib Pajak juga secara aktif menghitung pajak terutang sendiri, tidak tergantung pada surat
pemberitahuan atau peringatan.
B.Subjek Pajak
Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Undang –
Undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau di peroleh dalam Tahun Pajak.
Jika Subjek Paajak telah memenuhi kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif maka
disebut Wajib Pajak. Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP menyebutkan bahwa Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badanyang menurut ketentuan peraturan perundang -
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Termasuk
pemungut pajak dan pemotong pajak tertentu.
Berdasarkan PAsal 2 ayah (1) UU Nomor 36 tahun 2008, Subjek Pajak dikelompokkan
sebagai berikut.
1. Subjek Pajak orang pribadi
Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
atau di luar Indonesia.
2. Subjek Pajak warisan yang belom terbagisebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris .
3. Subjek Pajak badan
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupunn tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komaditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontra investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuk sebenarnya
sehingga setiap unit tertentu dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan
sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintan Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan Subjek Pajak.
4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Inddonesia, yang dapat berupa :
Jenis Subjek Pajak Kewajiban Pajak Subjektif Dimulai Kewajiban Pajak Subjektif Berakhir
Dalam Negeri Orang Saat dilahirkan Saat meninggal
Pribadi. Saat berada di Indonesia atau Saat meninggalkan Indonesia
berniat bertempat tinggal di untuk selama - lamanya
Indonesia
Dalam Negeri Badan Saat didirikan atau bertempat Saat dibubarkan atau tidak lagi
kedudukan di Indonesia bertempat kedudukan di
Indonesia
Luar Negeri Melalui Saat menjalankan usaha atau Saat tidak lagi menjalankan
BUT melakukan kegiatan melalui usaha atau melakukan kegiatan
BUT di Indonesia melalui BUT di Indonesia
Luar Negeri Tidak Saat menerima atau Saat tidak lagi menerima atau
Melalui BUT memperoleh penghasilan dari memperoleh penghasilan dari
Indonesia Indonesia
Warisan Belum Terbagi Saat timbulkan warisan yang Saat warisan selesai dibagikan
belum terbagi
Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, sekaligus menjadi Wajib
Pajak karena menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubung dengan pemilikn Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan
Tidak Kena Pajak(PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
1. Wajib Pajak dalam negeri dikenal pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib PAjak luar negeri
dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarka penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto
dengan tariff pajak spadan.
3. Wajib PAjak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun
pajak, sedangkan Wajib Pajak luarnegeri tidak wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan
dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana
diatur dalam UU PPh dan undang – undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata perpajakan.
C. Objek Pajak
Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang
dikenakan pajak. Objek Pajak pengahsilan adalah setiap tambahan kemampuan ekomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,yang
dapat dipakai untuk dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 bahwa penghasilan yang dikenakan pajak
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
(c) baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia.
Bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan yang didapat di mana pun
juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar
Indonesia. Bagi subjek pajak dalam negeri, kewajiban pajak objektifnya adalah world wide
income sedangkan bagi subjek pajak luar negeri kewajiban pajak objektifnya terbatas hanya
yang diatur dalam Pasal 26 UU PPh 1984.
(d) yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan harta.
Unsur (d) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang dikenakan
pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan
sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak, termasuk yang dipakai membeli harta
sebagai investasi. Ini sebenarnya penerapan rumus: Y = C + S untuk keperluan perpajakan. Ini
lazim disebut metode penghitungan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pemakaian
penghasilan, expenditure atau penggunaan penghasilan.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang Pajak Penghasilan.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
Laba usaha.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti keuntungan karena
pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau
pengambilalihan usaha.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Royalti.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
Premi asuransi.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
Surplus Bank Indonesia.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP.
Objek Pajak yang dikenakan PPh final atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya.
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.
Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan
pengusaha.
2. Impor BKP.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha.
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6. Ekspor BKP Berwujud oleh PKP.
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP.
8. Ekspor JKP oleh PKP.
1. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia.
2. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan yang dimaksud.
Bentuk Usaha Tetap (BUT), berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 Ayat 5,
adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, serta Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:
a. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; dan
b. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan
berproduksi komersil .
Contoh Kasus
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp15.375.000.000,00 (lima belas miliar tiga
ratus tujuh puluh lima juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Menunjukkan atau meminjamkan seluruh data yang menjadi dasar serta berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang
terutang pajak. Untuk jenis Pemeriksaan Lapangan, Subjek pajak harus memberikan akses untuk
melihat dan menyimpan data.
Memberikan izin untuk memasuki tempat atau ruang yang dianggap perlu serta memberi bantuan
untuk memperlancar proses pemeriksaan.
Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik, khususnya untuk jenis
Pemeriksaan Kantor.
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan termasuk;
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain :
a. Biaya pembelian bahan;
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
c. Bunga, sewa, dan royalty;
d. Biaya perjalanan;
e. Biaya pengolahan limbah;
f. Premi asuransi;
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
h. Biaya administrasi; dan
i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh asset berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun
3. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri keuangan
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan asset yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memlihara penghasilan
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
8. Piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu;
d. Syarat pada huruf c tidak berlaku untuk menghapuskan piutang tak tertagih debitur
kecil yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
12. Sumbangan fasilitas Pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah;
14. Kerugian yang dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan lima tahun;
15. Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memeilhara penghasilan, misalnya :
Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham;
Pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam
serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi;
Tidak boleh dibebankan sebagai biaya
Contoh Perhitungan
1. PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus
juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut:
2. PT Mahkota Prima pada tahun 2015 mengalami kerugian fiskal sebesar Rp250 Juta, maka
kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga tahun 2020, dengan rincian perhitungan sebagai
berikut:
Tahun 2015 : kerugian fiskal = Rp250 Juta
Tahun 2016 : laba fiskal Rp50 Juta, maka kerugian fiskal tahun 2017 dapat dikurangkan,
sehingga tersisa Rp200 Juta.
Tahun 2017 : rugi fiskal Rp25 Juta, sehingga pada tahun ini belum perlu membayar pajak.
Sedangkan sisa kerugian fiskal tahun 2017 tetap Rp200 Juta, dan memiliki saldo rugi fiskal
tambahan sebesar Rp25 Juta pada 2019. Keduanya tidak bisa digabungkan.
Tahun 2018 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka laba ini akan digunakan untuk
mengurangi kerugian fiskal tahun 2017, sehingga saldo rugi fiskal 2017 berkurang menjadi
Rp125 Juta, dan saldo rugi fiskal 2019 tetap Rp25 Juta.
Tahun 2019 : memperoleh laba fiskal Rp25 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun 2017 akan
dikurangkan, sehingga menjadi Rp100 juta. Sedangkan rugi fiskal tahun 2019 jumlahnya tidak
berubah.
Tahun 2020 : memperoleh laba fiskal Rp75 Juta, maka saldo rugi fiskal tahun 2017 akan
dikurangkan kembali, sehingga tersisa Rp25 Juta. Sedangkan rugi fiskal tahun 2019 tetap Rp25
Juta.
Dari contoh perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa saat tahun 2016, 2018, 2019, dan 2020
menghasilkan laba fiskal, kerugian tahun 2017 dapat dikompensasikan atau diperhitungkan. Pada
tahun kelima yaitu tahun 2020, masih terdapat sisa kompensasi kerugian sebesar Rp25 Juta.
Jumlah ini tidak dapat dikompensasikan lagi karena telah melewati batas waktu 5 tahun,
sehingga sisa Rp25 Juta tersebut dapat dikatakan hangus.
Kompensasi Kerugian Jika Terdapat Produk/Putusan Hukum
Apabila suatu perusahaan ternyata diketahui pernah dilakukan pemeriksaan dan menempuh
upaya hukum tertentu sehingga terbit suatu produk atau putusan hukum, hal tersebut dapat
berpengaruh terhadap nilai kerugian fiskal dalam tahun pajak bersangkutan.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011 (PP 74/2011) disebutkan bahwa
wajib pajak dapat membetulkan SPT tahunan yang telah disampaikan, dalam hal wajib pajak
menerima putusan hukum tertentu atas tahun pajak sebelumnya atau beberapa tahun pajak
sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam SPT tahunan, dengan menyampaikan pernyataan tertulis.
Putusan hukum tertentu tersebut adalah surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali.
Jenis Kompensasi
1. Horizontal yaitu Mengkompensasikan kerugian atas suatu unit usaha (divisi) dengan
kepada unit usaha (divisi) lainnya dalam tahun yang sama.
Kecuali kerugian atas unit usaha:
Di luar negeri
Dikenakan PPh yang bersifat Final
Yang penghasilannya bukan Objek PPh
Apabila masih terdapat kerugian setelah dikompensasikan secara horizontal, sisa kerugian
tersebut dapat dikompensasikan secara Vertikal
2. Vertikal yaitu Mengkompensasikan kerugian fiskal pada suatu tahun ke tahun pajak
berikutnya.
Catatan:
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat
diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak
lebih dari 10 (sepuluh) tahun.
G. PTKP
Penghasilan Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP adalah pengurangan terhadap penghasilan
neto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung
penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib
pajak di Indonesia.
PTKP ini digunakan untuk menghitung besaran PPh yang bukan PPh Final. Contoh PPh
final adalah PPh atas honorarium beban APBN/APBD.
Sesuai dengan pasal 7 UU Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008, Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) merupakan jumlah pendapatan wajib pajak pribadi yang dibebaskan dari
PPh Pasal 21. Dalam penghitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai pengurang penghasilan
neto Wajib Pajak (WP).
PTKP ini bisa dikatakan sebagai dasar untuk penghitungan PPh 21. Jika penghasilan
Kawan Pajak tidak melebihi PTKP maka Kawan Pajak tidak dikenakan pajak penghasilan
Pasal 21. Sebaliknya, jika penghasilan Kawan Pajak melebihi PTKP maka penghasilan neto
setelah dikurangi PTKP itulah yang menjadi dasar penghitungan PPh 21.
Dalam praktiknya ketika para wajib pajak melaporkan SPT Tahunan, masih banyak
diantara mereka yang belum mengetahui mengenai tarif PTKP. Padahal hal tersebut
merupakan dasar yang dijadikan untul penghitungan PPh 21. Dari Penghasilan Bruto
dikurangi biaya-biaya kemudian menjadi penghasilan neto, dari penghasilan neto itu
dikurangi oleh PTKP, dan akhirnya menjadi Penghasilan Kena Pajak.
Selain aturan yang tertera dalam pasal 7 UU No 36 Tahun 2008, terdapat juga Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) RI No. 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian PTKP. Dalam
aturan baru ini, jumlah PTKP untuk wajib pajak orang pribadi adalah Rp54.000.000,00
setahun atau Rp Rp4.500.000,00 per bulan. Sementara cara penghitungannya diuraikan
secara detail melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016.
Jadi jika memiliki penghasilan hingga Rp4.500.000,00 sebulan, berdasarkan aturan
PTKP 2020, pendapatan hingga Rp4.500.000,00 per bulan dibebaskan dari pungutan PPh
21. Pembebasan tersebut didasarkan pada ambang batas tarif PTKP. Jika penghasilan
tahunan melebihi ambang batas, maka wajib pajak harus membayar PPh 21.
Meski begitu, Kita tetap harus melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh.
Ketentuan ini berlaku hingga wajib pajak memperoleh status Non-Efektif (NE) dari
Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Besar kecilnya tarif PTKP yang berlaku di Indonesia ditetapkan dengan peraturan menteri
keuangan dan didasarkan atas kondisi perekonomian suatu negara.
Di saat inflasi tinggi, harga barang-barang tinggi, maka PTKP juga seharusnya dinaikkan
karena penghitungan PTKP sendiri merupakan asumsi atas pengeluaran untuk kebutuhan
dasar.
Jika harga barang tinggi, maka pengeluaran untuk kebutuhan dasar semakin tinggi, dan
tentu saja harusnya PTKP juga semakin besar.
Namun, jika harus setiap tahun PTKP dinaikkan karena tiap tahun ada inflasi, rasa-
rasanya terlalu ribet. Oleh karena itu penyesuaian tarif PTKP biasanya dilakukan berapa
tahun sekali, meskipun pernah juga hanya dalam satu tahun PTKP dinaikkan kembali oleh
Menteri Keuangan.
Dalam Menghitung PTKP untuk keperluan penghitungan PPh terutang, acuan yang
digunakan adalah status perkawinan dan banyaknya tanggungan keluarga bagi Wajib Pajak
yang memiliki NPWP.
Menurut aturan DJP, satu keluarga plus tanggungannya hanya boleh ada satu NPWP.
Meskipun dalam praktiknya masih banyak juga suami istri yang memiliki NPWP tersendiri,
terutam yang dua-duanya sama-sama bekerja sebagai karyawan atau PNS.
Jika ada suami istri masing-masing punya NPWP, seperti kasus dua orang PNS atau dua
orang karwaan suami istri, maka PTKP kawin hanya diperhitungkan kepada suami, dan istri
dianggap belum kawin tanpa tanggungan.
Misal kalian sudah nikah, punya anak dua, suami istri punya NPWP.
Maka status PTKP suami adalah Kawin Anak Dua (K/2), sementara status PTKP istri adalah
Tidak Kawin tanpa tanggungan (TK/0).
Dalam Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak, Menggunakan Dua Kriteria Utama:
status perkawinan
jumlah tanggungan oleh wajib pajak
WP yang sudah menikah, status PTKPnya adalah K, sementara yang belum/tidak menikah,
statusnya adalah TK.
Kemudian, jumlah tanggungan menggunakan angka, dan maksimal tanggungan adalah 3.
Dengan demikian dipakai istilah:
0 = tidak punya tanggungan
1 = memiliki tanggungan 1 orang dalam keluarga
2 = memiliki tanggungan 2 orang
3 = memiliki tanggungan 3 orang
Berikut Ini Kode-Kode PTKP Yang Berlaku (Penghasilan Tidak Kena Pajak TK, K, K/I) Dalam
Menghitung Pajak Penghasilan Terutang:
1. Seorang karyawan pernah menikah tapi istrinya sudah meninggal dunia, punya 3
orang anak, maka status PTKPnya adalah TK-3
2. seorang PNS laki-laki menikah, punya anak tapi sudah meninggal dunia, sehingga
tidak punya tanggungan lagi, maka status PTKPnya adalah K-0.
3. WP pribadi suami istri penghasilannya digabung, punya 2 orang tanggungan, maka
status PTKPnya adalah K/I-2.
4. Perempuan punya suami, dua-duanya sama-sama punya NPWP, punya anak 4. Status
PTKP suami adalah K-3 (maksimal 3 tanggungan) dan status PTKP istri adalah TK-
0 (dianggap tidak kawin dan tidak punya tanggungan).
*Keluarga sedarah yang dimaksud dalam poin 4 (empat) adalah orang tua kandung,
saudara kandung dan anak.
*Sementara yang dimaksud keluarga semenda adalah mertua, anak tiri, dan ipar
Makin banyak anggota keluarga yang ditanggung, makin besar PTKP karena asumsinya
makin besar pengeluran untuk kebutuhan dasarnya.
Demikian juga WP kawin dengan yang tidak kawin, PTKPnya juga beda karena asumsinya
WP yang kawin kebutuhan dasarnya lebih besar dibandingkan yang tidak kawin.
tabel tarif lengkap PTKP 2020 yang mengacu pada PMK No.101/PMK.010/2016
Tabel PTKP 2020 masih sama dengan Tabel PTKP 2019, PTKP 2018, PTKP 2017, dan
PTKP 2016. Besarannya naik dibandingkan Tabel PTKP 2015.
Tabel PTKP nanti dibedakan antara kawin atau belum kawin, punyak anak atau tidak,
jumlah anak yang menjadi tanggungan, dan apakah penghasilan suami istri digabung atau
tidak.
Dengan demikian akan dikenal istilah K, TK, K0, K1, K2, K3, TK0, TK1, TK2 dan TK3
Secara sederhana, cara menghitung pajak terutang, terutama untuk karyawan adalah:
Penghasilan dikalikan 12
dikurangi biaya jabatan dan iuran asuransi, ketemu penghasilan netto
Cara menghitung PKP: penghasilan netto dikurangi PTKP sesuai dengan jenisnya
(K0, K1, dan sebagainya).
Ketemu PKP atau Penghasilan Kena Pajak.
Besarnya pajak yang harus dibayar dalam satu tahun = Tarif PPh Pasal 21 x PKP
Pajak per bulan = Besar Pajak di atas dibagi 12
Jadi Dimas harus membayar PPh 21 sejumlah Rp57.000,00 setiap bulan atau 684.000,00
setahun. PPh 21 bisa dibayarkan sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak atau dipotong langsung
dari perusahaan.
Contoh Perhitungan untuk PTKP Wajib Pajak Kawin Istri Tidak Bekerja
Di tahun berikutnya, Dimas menikah dan memiliki satu orang anak. Istri Dimas tidak
bekerja dan berpenghasilan. Sementara pendapatan Dimas mengalami kenaikan menjadi
Rp7.500.000,00
Berarti sekarang status Dimas adalah K/1 (Kawin dengan memiliki 1 tanggungan). Maka
tarif PTKP Dimas menjadi Rp63.000.000,00 per tahun dengan contoh perhitungan berikut
ini.
Pengurang
1. Biaya Jabatan 5% x 7,500,000 : 375.000
2. Biaya Pensiun 1% x 7,500,000 : 75.000
( 450.000 )
PTKP : ( 63.000.000 )