Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lingkungan permukiman yang aman bencana dan rumah yang nyaman merupakan
kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang. Rumah bagi penghuninya berfungsi
sebagai alat berlindung dari gangguan alam dan makhluk lainnya. Rumah dan
lingkungannya memiliki peran sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya,
penyiapan generasi muda dan sebagai manifestasi jatidiri, sehingga sangat mungkin akan
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Atau
dengan kata lain SDM akan dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman dimana
masyarakat menempatinya. Perumahan dan permukiman yang kondusif dan aman bencana
pada kenyataannya menjadi potensial dalam mendorong dan menggerakkan roda kegiatan
ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja. Untuk golongan-golongan menengah ke
bawah, rumah juga merupakan barang modal karena dengan aset rumah ini mereka dapat
melakukan kegiatan ekonominya.
Penanganan masalah perumahan dan permukiman di Indonesia telah menjadi
program nasional dimana pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang aman
bencana dan nyaman adalah tanggung jawab bersama dengan menempatkan masyarakat
sebagai pelaku utama dalam penyelenggaraannya (secara multisektoral), sedangkan peran
pemerintah sebagai pendorong/fasilitator.
Menangani permasalahan yang timbul dalam bidang permukiman tidak dapat dilihat
sebagai permasalahan fisik semata namun harus dikaitkan dengan masalah sosial, ekonomi
serta budaya masyarakat secara berkeadilan, harmonis dan berkelanjutan karena sasaran
akhir dari upaya penataan dan pengembangan permukiman yang aman bencana adalah
terwujudnya kemampuan masyarakat untuk membangun dan mengelola permukiman serta
lingkungannya secara mandiri. Dalam kondisi penanganan masalah lingkungan
permukiman yang aman bencana dewasa ini dimana pelaksanaannya secara
terdesentralisasi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, persepsi, pola pikir dan
langkah kegiatan yang diselenggarakan di setiap daerah serta kesiapan kelembagaan
dituntut lebih banyak melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Banjir


Banjir adalah aliran air di permukaan tanah yang relatif tinggi dan tidak dapat
ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta
menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah yang melebihi normal dan mengakibatkan
kerugian pada manusia. Daerah rawan banjir adalah kawasan yang potensial untuk dilanda
banjir yang diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir (pernah atau berulang kali).
Berdasarkan Dokumen Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Permukiman
Berbasis Mitigasi Bencana, maka asumsi kriteria kebencanaan banjir adalah:
a. Tinggi : 3, jika mengancam lebih 100 jiwa jiwa (banjir pada kawasan
pemukiman), waktu genangan lebih dari 3 hari
b. Sedang : 2, jika mengancam kurang dari 100 jiwa (banjir pada kawasan
pemukiman), waktu genangan kurang dari 2 hari
c. Rendah : 1, jika lebih rendah dari point b atau genangan pada kawasan
pertanian
Dalam rangka pencegahan dan pengurangan resiko banjir, ada dua pendekatan yang
dapat dilakukan, yaitu pendekatan fisik struktural dan non-struktural.
A. Skala Kota Dan Kawasan
1. Struktur Kota
• Mengatur tingkat intensitas penggunaan lahan yang dapat mencegah terjadinya
genangan air permukaan
• Penempatan fungsi-fungsi dengan kepadatan yang paling tinggi (dapat berupa
kawasan ekonomi utama kota seperti kawasan perdagangan, jasa, perkantoran)
tidak berada pada area dengan level tanah (elevasi) paling rendah. Hal ini
dimaksudkan agar air masih dapat mengalir melewati fungsi-fungsi tersebut atau
diresapkan pada area tersebut untuk mengurangi limpasan air permukaan
(runoff).
• Permukiman sedapat mungkin memiliki jarak teretentu dengan badan air, sesuai
ketentuan garis sempadan, baik garis sempadan sungai, garis sempadan pantai,
maupun garis sempadan waduk.
• Permukiman dikembangkan di area yang elevasinya lebih tinggi daripada muka
air. Apabila dikembangkan di daerah yang lebih rendah, maka harus ada upaya
rekayasa tata air agar area tersebut tidak tergenang air.
2. Penggunaan Lahan
• Pengaturan penggunaan lahan dilakukan dengan mempertimbangkan kombinasi
keterbukaan dan ketertutupan (solid-void) lahan agar memungkinkan adanya
peresapan air
• di ruang terbuka hijau sehingga volume air permukaan dapat dikurangi untuk
mengurangi beban saluran drainase yang ada.
• Menempatkan fungsi-fungsi ruang terbuka hijau perkotaan pada area yang
berpotensi terkena genangan air ataupun luapan sungai agar dapat meresapkan air
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya banjir.
• Pengembangan permukiman harus memperhatikan bukaan dan tutupan lahan.
Pengembangannya disesuaikan dengan pengaturan Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) dan Koefisien Daerah Hijau (KDH) yang ditetapkan masing-masing
daerah dalam dokumen Rencana Tata Ruang, sesuai dengan karakter dan daya
dukungnya.
B. Skala Lingkungan
a. Lingkungan Perumahan, Perdagangan, Industri dan/atau Campuran Konfigurasi
Tata Letak Bangunan
• Dalam upaya untuk menghindari genangan air, maka bangunan harus memiliki
area terbuka yang digunakan untuk meresapkan air ke dalam tanah untuk
mengurangi volume air permukaan dan sebagai cadangan air tanah.
• Apabila tanah peresapan ini sangat terbatas keberadaannya, maka peresapan air
dapat dibantu dengan lubang biopori atau sumur resapan.
• Air yang tidak meresap ke dalam tanah harus diarahkan kepada saluran
pembuangan (drainase) untuk diteruskan melalui saluransaluran yang lebih besar
untuk sampai ke tempat pembuangan akhir (sungai, laut).
• Bangunan ditata dan diletakkan sedemikian rupa sehingga sistem drainase yang
terbentuk memudahkan air permukaan dapat mengalir dengan lancar.
• Disusun dengan pola yang memungkinkan adanya hierarki saluran drainase dari
yang kecil (saluran tersier) sampai yang besar
• Untuk bangunan yang sudah tidak memiliki ruang hijau sempadan, maka harus
ada jalan sebagai orientasi akses utama.
• Area sempadan sungai dapat dimanfaatkan sebagai area fungsional pada kawasan
padat di perkotaan. Lebar bantaran sungai mengikuti ketentuan yang ditetapkan
• Untuk bangunan yang sudah berada di dataran banjir, maka perlu didirikan
dengan konsep rumah panggung atau menggunakan lantai bawah sebagai ruang-
ruang servis.
• Penggunaan material permanen dapat mengurangi resiko kerusakan bangunan.
• Pembuatan penampung air hujan dapat mengurangi jumlah air permukaan yang
berpotensi menjadi genangan. Apabila setiap rumah memiliki penampungan air
hujan, jumlah air limpasan yang ada dapat dikurangi sehingga banjir akibat
genangan sedikit banyak dapat dihindari.
• Pembuatan penampungan air hujan hendaknya mengikuti standar yang
dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum: “Tata Cara Pembuatan &
Pemeliharaan Penampung Air Hujan (PAH)”
b. Sarana
Sarana Yang Berupa Bangunan
Sarana pemerintahan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan kebudayaan tanggap
banjir hendaknya dibuat berdasarkan upaya-upaya penanganan banjir seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
• Upaya pencegahan :
Halaman diusahakan memiliki luasan yang cukup sehingga dapat menjadi area
parkir yang dapat berfungsi juga sebagai area peresapan air langsung atau
menggunakan lubang biopori untuk mencegah banyaknya air permukaan
sehingga dapat mengurangi kemungkinan banjir.
• Upaya persiapan :
Terletak di elevasi yang tinggi diantara lingkungan yang ada agar pada saat
banjir sarana ini relatif tidak terendam setinggi lingkungan yang lain. Diletakkan
pada posisi yang jauh dari sungai sehingga mengurangi resiko banjir terutama
karena luapan sungai.
• Upaya evakuasi :
Perlu diletakkan pada lokasi yang mudah diakses sehingga mudah dijangkau
pada saat banjir dan dapat berfungsi sebagai tempat penampungan (evakuasi).
Pos hansip perlu diletakkan di titik yang mudah terlihat dari lingkungan perumahan
sehingga dapat menjadi titik pemberi peringatan.
Sarana Non Bangunan
Upaya penanganan ruang terbuka hijau, lapangan rumput, lapangan olah raga tanggap
bencana banjir adalah sebagai berikut:
• Upaya pencegahan :
RTH dan lapangan rumput diusahakan memiliki luasan yang cukup sehingga
dapat menjadi area peresapan air langsung atau menggunakan lubang biopori
untuk mencegah banyaknya air permukaan sehingga dapat mengurangi
kemungkinan banjir.
• Upaya persiapan :
Terletak di elevasi yang rendah diantara lingkungan yang ada agar pada saat
banjir area ini dapat menjadi kolam retensi yang menampung air permukaan dan
menyerapkannya ke dalam tanah. Dialokasikan area yang dekat dengan sungai
sehingga dapat menjadi area penghambat (barrier) masuknya air lebih jauh ke
komplek perumahan.
c. Utilitas
Drainase
• Drainase disusun dengan pola yang memungkinkan hierarki pelayanan air
buangan dapat mengalir lancar.
• Untuk lingkungan dengan ruang terbuka yang cukup besar, drainase dapat dibuat
dan difungsikan sebagai daerah resapan.
• Perlunya pemerliharaan drainase untuk menghindari saluran yang mampet dan
terjadinya pendangkalan yang akan mengurangi kapasitas dan daya tampung
saluran.
Jalan
• Pada ruas jalan yang sering tergenang air, penggunaan material beton lebih baik
daripada aspal.
• Pada ketinggian yang sama, elevasi jalan lebih rendah dari elevasi lantai
bangunan di sampingnya.
• Elevasi as jalan dibuat lebih tinggi dari saluran drainase agar dapat mengalirkan
air dari jalan ke drainase.
• Jalan sebagai jalur evakuasi dan jalur air yang meluap.
• Untuk daerah rawan banjir, jalan diupayakan menggunakan konstruksi beton.
2.2 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Longsor
Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006,
gerakan tanah atau tanah Iongsor merusakkan jalan, pipa dan kabel baik akibat gerakan
dibawahnya atau karena penimbunan material hasil longsoran. Gerakan tanah yang berjalan
lambat menyebabkan penggelembungan (tilting) dan bangunan tidak dapat digunakan.
Rekahan pada tanah menyebabkan fondasi bangunan terpisah dan menghancurkan utilitas
lainnya didalam tanah. Runtuhan lereng yang tiba-tiba dapat menyeret permukiman turun
jauh dibawah lereng. Runtuhan batuan (rockfalls) yang berupa luncuran batuan dapat
menerjang bangunan- bangunan atau permukiman dibawahnya. Aliran butiran (debris flow)
dalam tanah yang lebih lunak, menyebabkan aliran lumpur yang dapat mengubur bangunan
permukiman, menutup aliran sungai sehingga menyebabkan banjir, dan menutup jalan.
Liquefaction adalah proses terpisahnya air di dalam pori-pori tanah akibat getaran
sehingga tanah kehilangan daya dukung terhadap bangunan yang ada diatasnya sebagai
akibatnya bangunan akan amblas atau terjungkal. Berdasarkan Dokumen Tata Cara
Penyusunan Rencana Pembangunan Permukiman Berbasis Mitigasi Bencana, maka asumsi
kriteria kebencanaan longsor adalah:
a. tinggi : 3, jika mengancam lebih 50 jiwa (longsor pada kawasan pemukiman)
b. sedang : 2, jika mengancam kurang dari 25-50 jiwa (longsor pada kawasan
pemukiman)
c. rendah : 1, jika mengancam hanya mengancam kawasan non pemukiman
(sawah/ladang, hutan, jalan)
Dalam rangka pencegahan dan pengurangan resiko tanah longsor ini, ada dua
pendekatan perwilayahan yaitu pengaturan dalam skala kota dan kawasan serta dalam skala
lingkungan permukiman.
A. Skala Kota Dan Kawasan
1. Struktur Kota
• Perlu adanya identifikasi awal tentang kelerengan yang berpotensi longsor dengan
memperhatikan jenis tanah yang menutupinya (Distamben Jabar) :
a. Merupakan lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah lempung yang tebal
b. Merupakan lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah lempung yang
menumpang di atas batuan kompak dan keras
c. Merupakan lereng yang tersusun oleh perlapisan tanah atau perlapisan batuan
yang miring ke arah luar lereng
• Memanfaatkan kawasan yang dianggap rawan bencana longsor sebagai kawasan
lindung (ruang terbuka hijau, paru-paru kota atau lingkungan).
2. Penggunaan Lahan
• Pengaturan penggunaan lahan dilakukan dengan mempertimbangkan kombinasi
keterbukaan dan ketertutupan (solid-void) lahan agar memungkinkan adanya
peresapan air di ruang terbuka hijau sehingga volume air permukaan dapat dikurangi
untuk mengurangi beban saluran drainase yang ada.
B. SKALA LINGKUNGAN
a. Lingkungan Perumahan, Perdagangan, Industri dan/atau Campuran.
Sarana Yang Berupa Bangunan
• Konfigurasi bangunan dibuat dengan mengikuti pola kontur yang ada.
• Ketentuan dasar fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktorfaktor berikut
ini (SNI 03-1733-2004) :
 Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali
dengan rekayasa/ penyelesaian teknis.
 Kemiringan lahan tidak melebihi 15% dengan ketentuan: Tanpa rekayasa
untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar-landai dengan
kemiringan 0-8%; dan Diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan
kemiringan 8-15%.
Kavling dan Bangunan
• Bangunan tidak berdiri di lahan miring.
• Seandainya berdiri di lahan miring, maka perlu dipertimbangkan dengan
menggunakan material yang lebih ringan dalam rangka mengurangi pembebanan
pada tanah yang dapat mengakibatkan longsor.
• Pengaturan proposi tutupan dan bukaan lahan (rata-rata 60 % – 40 %) sebagai
sarana untuk meresapkan air ke dalam tanah
Apabila dimungkinkan, adanya sumur-sumur resapan dapat membantu peresapan air.
Namun hal ini perlu juga memperhatikan struktur tanah yang membentuknya. Adapun
pembuatan sumur resapan mengikuti standar-standar sebagai berikut :
1. Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI
032453-2002).
2. Spesifikasi Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI 06-2459-
2002).
b. Sarana
Sarana Yang Berupa Bangunan
Sarana pemerintahan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan kebudayaan tanggap
banjir hendaknya dibuat berdasarkan upaya-upaya pencegahan dampak longsor seperti
yang dijelaskan di bawah ini.
• Upaya pencegahan :
Sarana umum harus diletakkan di daerah yang aman terhadap bahaya longsor dari
sebuah kawasan permukiman. Halaman diusahakan memiliki luasan yang cukup
sehingga dapat menjadi area parker yang dapat berfungsi juga sebagai area
peresapan air langsung atau menggunakan lubang biopori untuk mencegah
banyaknya air permukaan sehingga dapat mengurangi debit air limpasan (run-off).
Perlu diletakkan pada lokasi yang aman dan mudah diakses sehingga pada saat
bagian lain terkena longsor, bangunan tetap aman dan dapat berfungsi sebagai
tempat penampungan (evakuasi). Pos hansip perlu diletakkan di titik yang mudah
terlihat dari lingkungan perumahan sehingga dapat menjadi titik pemberi
peringatan kepada masyarakat dalam suatu lingkungan pada saat hujan turun
dimana yang secara historis merupakan karakter hujan yang dapat menyebabkan
longsor di area-area yang pernah mengalami kelongsoran.
Sarana Non Bangunan
Upaya penanganan ruang terbuka hijau, lapangan rumput, lapangan olah raga tanggap
bencana longsor adalah sebagai berikut:
• Upaya pencegahan :
Pada area dengan jenis tanah yang mudah meresapkan air, RTH dan lapangan
rumput diusahakan memiliki luasan yang cukup sehingga dapat menjadi area
peresapan air langsung atau menggunakan lubang biopori untuk mencegah
banyaknya air permukaan.
• Upaya persiapan :
Terletak di elevasi yang rendah diantara lingkungan yang ada agar pada saat
longsor area ini dapat menjadi area penerima longsornya lereng sehingga tidak
menimpa perumahan dan fasilitas lain yang ada di bawahnya.
c. Utilitas
Drainase
• Drainase disusun dengan pola yang memungkinkan hierarki pelayanan air buangan
dapat mengalir lancar.
• Atur drainase lereng sehingga tingkat kejenuhan air dalam lereng setelah hujan
turun dapat dikurangi. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan membuat parit
yang berfungsi untuk menyalurkan air limpasan hujan ke arah menjauhi lereng
yang rawan longsor.
• Membuat saluran drainase dalam lereng dengan cara menusukkan pipa-pipa bambu
yang dilubangi kedua ujungnya. Pipa ini ditusukkan pada bagian bawah lereng
kurang lebih 1 m di atas titik-titik rembesan air yang keluar dari lereng. Panjang
pipa minimal 2 meter. Untuk menghindari penyumbatan oleh butir-butir tanah
yang ikut terbawa air, di dalam pila dapat diberi filter berselang-seling berupa ijuk
dan pasir. Hal ini dilakukan untuk untuk menguras air yang sudah terlanjur
terjebak di dalam lereng (Distamben Jabar).
Air Bersih
Jaringan air bersih harus terletak pada area yang aman dari bencana longsor. Jaringan
ini dapat digabungkan areanya dengan area untuk jalan.
Persampahan
Sistem persampahan yang baik dapat menghindarkan penumpukan tanah. Pola
sanitary landfill dapat dikembangkan dengan pola yang sesuai dengan standar yang ada
agar tingkat kestabilan tanah dapat diupayakan.
2.3 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Tsunami
A. IDENTIFIKASI KERENTANAN TSUNAMI
a. Untuk Kawasan Dengan Area Evakuasi
Berikut adalah identifikasi kerentanan tsunami pada kawasan yang memiliki area
evakuasi:
• Tinggi : 3, jika kawasan /lokasi bahaya tsunami tidak terdapat area/bangunan yang
tinggi
• Sedang : 2, jika kawasan/area bahaya tsunami tersedia area/ bangunan cukup tinggi
tetapi masih dalam jarak bahaya (kurang dari 500 m dari pantai)
• Rendah : 1, jika kawasan/area bahaya tsunami tersedia area/ bangunan yang tinggi
dengan jarak lebih dari 500 m dari pantai
b. Untuk Kawasan Dengan Ketersediaan Jalan
Berikut adalah identifikasi kerentanan tsunami pada kawasan yang memiliki
ketersediaan jalan:
• Tinggi : 3, kurang jalan alternatif untuk penyelamatan (1-2 jalur alternatif)
• Sedang : 2, ada jalur penyelamatan ( > 2 jalur alternatif)
• Rendah : 1, ada jalur penyelamatan ( > 2 jalur alternatif) dan dapat dilalui oleh
angkutan roda 4
B. FAKTOR RESIKO
Pratiwi (2010) dalam “Dampak Tsunami Semakin Intensif Pada Lingkungan”
menyatakan beberapa kawasan memiliki faktor resiko lebih besar akan terjadinya tsunami.
Kawasan-kawasan tersebut mencakup:
• Pantainya terletak di bagian teluk yang setengah tertutup
• Pantainya tidak ditumbuhi pepohonan yang cukup lebat
• Pantainya tidak memiliki tanggul atau galengan penahan gelombang yang cukup
tinggi
• Pantainya tidak diperkuat dengan sistem tanggul pantai
• Terletak ditepi atau dekat dengan muara sungai
• Terletak pada daerah dataran banjir
• Bangunan terletak di tepi atau sangat dekat dengan pantai
• Bangunan terbuat dari bahan bangunan berkualitas rendah
C. SKENARIO PENGURANGAN RESIKO BENCANA TSUNAMI
Skenario pengurangan resiko bencana tsunami mencakup hal-hal sebagai berikut.
a. Umum
1. Ploting lokasi/area resiko bencana tsunami
2. Ploting jumlah dan persebaran penduduk yang terancam
• Mengidentifikasi lokasi/tempat yang aman sebagai area evakuasi, bukit dan
bangunan tinggi
• Mengidentifikasi kapasitas tampung area evakuasi,
• Mengidentifikasi jumlah penduduk pada area yang terkena dampak resiko
bencana.
• Jaringan jalan terdekat menuju lokasi/tempat evakuasi yang aman/akses cepat,
• Mengidentifikasi jenis kendaraan yang melewati jalan menuju area evakuasi
• Mengidentifikasi alterenatif jalur menuju area evakuasi (lebar dan kondisi)
• Mengarahkan penyelamatan ke area evakuasi per kawasan (konsentrasi
penduduk) dengan mempertimbangkan jarak dan jaringan jalan
• Membuat petunjuk arah / rambu penyelamatan menuju lokasi/ tempat
pengungsian yang aman (area evakuasi bisa lebih dari satu tempat)
• Dibutuhkan langkah penyelamatan yang cepat sehingga butuh akses jalan yang
lebar dengan kondisi baik untuk menuju area evakuasi
• Jalan sebagai jalur evakuasi dibuat tegak lurus dengan garis pantai
b. Skala Kota Dan Kawasan
1. Pemanfaatan Ruang Untuk Bencana Tsunami
Menurut REKOMPAK – Departemen Pekerjaan Umum Tahun 2010, usaha mitigasi
bencana tsunami melalui pemanfaatan ruang mencakup hal-hal sebagai berikut:
• Pengaturan untuk daerah pengembangan baru (kawasan jauh dari pantai, letak
bangunan, sempadan bangunan)
• Pengaturan kepadatan penduduk/bangunan
• Pencegahan untuk fungsi tertentu
• Relokasi elemen untuk jalur evakuasi
• Pengaturan lahan konservasi/kawasan mangrove
• Penyediaan jalur evakuasi
• Penyediaan prasarana kritis
D. PERENCANAAN PERMUKIMAN TANGGAP BENCANA TSUNAMI
a. Skala Lingkungan
Pada skala lingkungan, pada dasarnya terdapat prinsip utama yang menjadi
pertimbangan pada perencanaan lingkungan tanggap bencana yaitu:
1. Rencanakan evakuasi.
2. Hindari pembangunan baru di daerah terpaan tsunami untuk mengurangi korban
pada masa mendatang.
3. Atur pembangunan baru di daerah terpaan tsunami untuk memperkecil kerugian
pada masa mendatang.
4. Rancang dan bangun bangunan baru untuk mengurangi kerusakan.
5. Lindungi pembangunan yang ada dari kerugian melalui pembangunan kembali,
perencanaan dan proyek pemanfaatan kembali lahan.
6. Lakukan pencegahan khusus dalam menempatkan serta merancang infrastruktur dan
fasilitas penting untuk mengurangi kerusakan.
Tata Letak
Bahaya tsunami secara efektif bisa ditanggulangi dengan melindungi penduduk
melalui rencana tata ruang. Sedapat mungkin pembangunan tidak dilakukan di daerah
beresiko terkena tsunami.
1. Bila pembangunan di daerah beresiko ini tidak dapat dihindari, intensitas
pemanfaatan lahan, jumlah bangunan dan penggunaannya diusahakan sesedikit
mungkin.
2. Bila hal ini juga tidak mungkin, para perencana dan perancang harus mengusahakan
penanggulangan bahaya melalui teknik perencanaan lokasi dan teknik konstruksi
bangunan.
3. Perencanaan tata guna lahan membantu masyarakat dalam menentukan lokasi, tipe,
dan intensitas pembangunan, dan oleh sebab itu bisa memperkecil kemungkinan
persentuhan komunitas setempat dengan bahaya tsunami.
4. Di daerah-daerah di mana tidak mungkin membatasi tata guna lahan hanya untuk
ruang terbuka, peraturan-peraturan perencanaan tata guna lahan lainnya bisa dipakai.
5. Termasuk pengaturan ketat terhadap jenis pembangunan dan tata guna lahan yang
diizinkan di daerah bahaya, dan menghindari pemanfaatan nilai lahan yang tinggi dan
tingkat hunian yang tinggi.
Variasi Ketinggian
1. Berdasarkan pengamatan lapangan pada lokasi desa Pananjung, di Pantai Selatan
Jawa Barat, terdapat rumah penduduk yang masih relatif bertahan sementara rumah-
rumah di sekelilingnya hancur tak bersisa.
2. Hal ini karena pada saat terjadi tsunami, lokasi rumah yang berada tepat di belakang
bangunan hotel besar terlindungi dari gelombang besar yang datang dari laut.
3. Beberapa jenis model pembangunan baru sebagai strategi penanggulangan bencana
dapat diterapkan pada pembangunan baru yang memiliki resiko tsunami.
Konsepnya melindungi bangunan-bangunan kecil dengan hotel – hotel besar dan
bangunan-bangunan batas air lainnya. Misalnya resort terdapat variasi penginapan yang
berukuran kecil dan bangunan hotel yang relative besar.
Ruang Terbuka dan Vegetasi
1. Terdapat empat strategi dasar perencanaan wilayah yang dapat dipakai dalam upaya
mengurangi risiko tsunami, yaitu:
• Menghindari daerah terpaan
• Memperlambat arus air
• Membelokkan kekuatan air
• Menghambat terpaan air
2. Strategi dasar ini dapat dipakai secara terpisah atau dikombinasikan dalam strategi
yang lebih luas. Metodenya dapat dipakai secara pasif untuk membuat gelombang
tsunami melewati wilayah tanpa menyebabkan kerusakan besar, atau dapat dipakai
untuk memperkuat struktur dan diletakkan untuk menghadapi kekuatan tsunami.
3. Efektivitas masing-masing teknik tergantung pada intensitas dari kejadian tsunami.
Teknik memperlambat termasuk membuat penahan akan mengurangi daya hancur
gelombang. Hutan buatan yang dirancang khusus dan jalur hijau dapat memperlambat
dan menahan arus dan puing yang dibawa ombak.
Infrastruktur
1. Fasilitas Umum
• Beberapa sarana umum masyarakat sepatutnya mendapatkan perhatian khusus untuk
memperkecil kerusakan.
• Prasarana seperti sistem transportasi baik untuk manusia maupun barang, dan sistem
seperti komunikasi, gas alam, persediaan air, pembangkit listrik,dan sistem
pengiriman/penyaluran sangat penting untuk kelangsungan suatu masyarakat
setempat dan dibutuhkan untuk tetap berfungsi—atau setidaknya dengan mudah
dan cepat dapat diperbaiki-seusai terjadinya suatu bencana.
• Fasilitas dan sarana umum (gedung kantor pemerintah, SD, puskesmas) diupayakan
untuk bisa dipakai sebagai tempat evakuasi. Untuk itu penempatannya harus
mempertimbangkan kemungkinan bencana gempa & tsunami.
2. Jalan
• Strategi utama untuk segera menyelamatkan jiwa sebelum gelombang tsunami
datang adalah mengevakuasi penduduk dari wilayah bahaya. Dua metode yang
umumnya diterapkan:
1. Evakuasi horisontal, yaitu memindahkan penduduk ke lokasilokasi yang lebih
jauh atau ke dataran yang lebih tinggi
2. Evakuasi vertikal, yaitu memindahkan penduduk ke lantailantai lebih tinggi di
dalam bangunan-bangunan.
• Jalan lingkungan merupakan salah satu sarana bagi penduduk untuk dapat
menyelamatkan diri mereka menuju lokasi yang lebih jauh dan lebih tinggi.
• Bentuk jalan lingkungan akan menentukan bagaimana tata letak perumahan yang
akan tercipta, dan dapat sebaliknya. Perumahan yang ditata dengan baik dan sejajar
garis pantai, relatif aman terhadap resiko kerusakan yang tinggi bila dibandingkan
dengan perumahan yang tidak, karena akan menimbulkan arus turbulensi tsunami.
• Jalan lingkungan juga dapat menjadi elemen lingkungan yang bisa meningkatkan
kewaspadaan warga saat terjadi bencana. Karakteristik jalan lingkungan
mempengaruhi tingkat keefektifannya dalam mendukung peningkatan kewaspadaan
tersebut.
• Jalan lingkungan yang berukuran lebar dan tegak lurus dengan pantai, menyebabkan
warga dapat melihat datangnya gelombang tsunami yang masih jauh dari arah jalan
lingkungan ini. Cukup banyak warga yang kemudian segera menyelamatkan diri
menuju
• tempat yang lebih tinggi.
• Jalan lingkungan itu sendiri juga mengarah ke tempat yang lebih tinggi sehingga
memudahkan upaya penyelamatan diri dari bencana.salah satu sarana bagi penduduk
untuk dapat menyelamatkan diri mereka menuju lokasi yang lebih jauh dan lebih
tinggi.
• Bentuk jalan lingkungan akan menentukan bagaimana tata letak perumahan yang
akan tercipta, dan dapat sebaliknya. Perumahan yang ditata dengan baik dan sejajar
garis pantai, relatif aman terhadap resiko kerusakan yang tinggi bila dibandingkan
dengan perumahan yang tidak, karena akan menimbulkan arus turbulensi tsunami.
3. Saluran Air
• Lingkungan perumahan dapat dilindungi dengan adanya saluran buatan atau saluran
alam.
• Saluran-saluran pengendali ini diharapkan dapat mengalirkan aliran gelombang
tsunami sehingga mengurangi kuantitas aliran air laut sampai ke area yang lebih
dalam dan mengurangi pula kuantitas arus balik yang cenderung pula dapat lebih
menghancurkan dikarenakan membawa serta puing-puing dari bangunan-bangunan
yang dilewati sebelumnya.
b. Skala Bangunan
1. Langkah yang paling efektif adalah dengan menempatkan Bangunan-bangunan baru
jauh dari wilayah yang potensial tersapu air. Bila tak mungkin menghindari
pembangunan di wilayah terpaan, aspek rancangan dan konstruksi akan memainkan
peran penting dalam kinerja struktur saat terjadi tsunami.
2. Untuk mendapatkan bangunan dengan kinerja ideal yang diharapkan perlu
diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut :
• Lokasi bangunan,
• Konfigurasinya (bentuk, ukuran, ketinggian, dan orientasinya)
• Intensitas dan frekuensi ancaman tsunami di daerah tersebut
• Standar-standar rancangan struktural dan non-struktural
• Pilihan bahan bangunan inti dan pendukung
• Bisa diandalkan atau tidaknya peralatan yang digunakan
• Kemampuan profesional dari arsitek atau perancang bangunan tersebut
• Kualitas konstruksinya
• Tingkat kepercayaan terhadap faktor-faktor tersebut.
Bahan Bangunan dan Karakter Fisik Bangunan
1. Bahan bangunan serta rancangan dan konstruksi bangunan-bangunan baru harus
memperhatikan kekuatan-kekuatan yang berhubungan dengan tekanan air, daya
apung, arus dan gelombang, dampak reruntuhan, pergeseran dan api.
2. Pada dasarnya bangunan-bangunan dari beton, batu, dan kerangka baja berat cukup
kokoh menghadang tsunami, kecuali bila didahului dengan gempa bumi. Bangunan
berrangka kayu, atau struktur rangka besi ringan di daerah yang rendah dekat garis
pantai pasti akan hancur diterjang tsunami.
3. Tidak semua wilayah terpengaruh oleh gelombang tsunami dan arus yang membawa
kerusakan yang dihancurkannya. Bangunanbangunan yang berada di area yang lebih
tidak beresiko terendam air seharusnya dapat bertahan dengan tingkat kerusakan
yang bisa diperbaiki bila dirancang dan dibangun dengan baik.
4. Kekuatan arus dan pecahan gelombang, puing dan reruntuhan yang bergerak sangat
cepat disapu air, serta arus yang mengikis bisa melampaui daya tahan sebagian
besar bangunan kecuali bangunanbangunan tersebut dibangun dengan elemen-
elemen rancangan dan material khusus.
5. Bangunan hendaknya ditempatkan, dirancang dan dikonstruksi pada ketinggian
minimum dan harus cukup kokoh bila diterjang air deras tanpa terangkat dari
pondasinya dan hanyut, walaupun masih mungkin rusak, runtuh, terbanjiri, rusak
lantai/permukaannya atau dampak-dampak lain.
2.4 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Gempa
Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006,
gempa bumi adalah getaran partikel batuan atau goncangan pada kulit bumi yang
disebabkan oleh pelepasan energi secara tiba-tiba akibat aktivitas tektonik (gempa bumi
tektonik) dan rekahan akibat naiknya fluida (magma, gas, uap dan Iainnya) dari dalam bumi
menuju ke permukaan, di sekitar gunung api, disebut gempa bumi gunung api/vulkanik.
Getaran tersebut menyebabkan kerusakan dan runtuhnya struktur bangunan yang
menimbulkan korban bagi penghuninya. Getaran gempa ini juga dapat memicu terjadinya
tanah longsor, runtuhan batuan dan kerusakan tanah Iainnya yang merusakkan permukiman
disekitarnya. Getaran gempa bumi juga dapat menyebabkan bencana ikutan yang berupa
kebakaran, kecelakaan industri dan transportasi dan juga banjir akibat runtuhnya
bendungan dan tanggultanggul penahan lainnya. Sumber gempa bumi di Indonesia banyak
dijumpai di lepas pantai/di bawah laut yang disebabkan oleh aktivitas subduksi dan sesar
bawah laut. Beberapa gempa bumi dengan sumber di bawah laut, dengan magnitude besar
dengan mekanisme sesar naik dapat menyebabkan tsunami. Dijumpai pula sumber gempa
bumi di darat yang disebabkan oleh aktivitas sesar di darat
A. SKALA KOTA DAN KAWASAN
a. Struktur Kota
• Berorientasi kepada ruang-ruang terbuka di lingkungan.
• Semakin tinggi kepadatan penduduk atau bangunan, harus semakin besar pula
ruang terbuka yang tersedia; dengan daya tamping sejumlah manusia yang ada
di dalam bangunan tersebut.
• Pada rumah susun, diperlukan ruang-ruang terbuka yang lebih banyak daripada
pada bangunan rumah tinggal pribadi.
B. SKALA LINGKUNGAN
a. Lingkungan Perumahan, Perdagangan, Industri dan/atau Campuran.
Konfigurasi dan Tata Letak Bangunan
• Agar dapat berlangsung lebih lancar, proses evakuasi harus dilakukan melalui jalan
yang relatif lurus dan memudahkan orientasi orang menuju area evakuasi.
• Jarak antarbangunan harus memungkinkan ruang yang cukup dan aman sebagai
tempat berkumpul.
• Kombinasi ruang terbuka – tertutup yang memungkinkan kemudahan evakuasi.
• Untuk kasus permukiman padat, di mana ruang terbuka (halaman rumah) yang ada
sangat minim, jalan merupakan satu-satunya ruang evakuasi. Maka, dimensi jalan
harus mencukupi untuk evakuasi.
Kavling dan Bangunan
Di daerah rawan gempa, layout di dalam bangunan juga harus jelas dan memudahkan
proses evakuasi secara cepat.
b. Sarana
Sarana Yang Berupa Bangunan
• Masing-masing bangunan sarana umum harus dibuat mengikuti standar bangunan
tahan gempa agar kemudian dapat digunakan sebagai area penampungan/evakuasi
gempa
• Sarana Non Bangunan
• Bangunan sarana umum juga harus memiliki ruang terbuka di sekelilingnya
dengan daya tampung yang memadai; sesuai dengan estimasi jumlah orang yang
akan dievakuasi ke ruang terbuka tersebut.
• Sarana Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan ruang terbuka lainnya diperlukan sebagai
tempat evakuasi gempa
c. Utilitas
Jaringan utilitas yang tanggap gempa diperlukan untuk mendukung proses evakuasi
dan proses pemulihan pasca bencana.
Drainase
• Drainase disusun dengan pola yang memungkinkan hierarki pelayanan air buangan
dapat mengalir lancar.
• Untuk lingkungan dengan ruang terbuka yang cukup besar, drainase dapat dibuat
dan difungsikan sebagai daerah resapan.
• Perlunya pemerliharaan drainase untuk menghindari saluran yang mampet dan
terjadinya pendangkalan yang akan mengurangi kapasitas dan daya tampung
saluran
• Jalan
• Material jalan sebaiknya terbuat dari beton untuk mengurangi resiko keretakan
yang dapat menghambat evakuasi dan penanganan pasca gempa.
• Jalan harus memiliki orientasi yang jelas dan relatif lurus menuju ruang terbuka
yang lebih luas.
Air Bersih
Sumber air bersih harus tetap ada pada masa pasca bencana. Untuk menghindari
kerusakan (patahnya pipa distribusi, dsb.), maka pipa yang digunakan di daerah rawan
gempa adalah pipa lentur yang memungkinkan adanya gerakan tanah.
2.5 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Kebakaran
Kebakaran yang terjadi dipengaruhi oleh faktor alam yang berupa cuaca yang kering
serta faktor manusia yang berupa pembakaran baik sengaja maupun tidak sengaja.
Kebakaran ini akan menimbulkan efek panas yang sangat tinggi sehingga akan meluas
dengan cepat (Permendagri No.33 Tahun 2006). Kerusakan yang ditimbulkan berupa
kerusakan lingkungan, jiwa dan harta benda. Dampak lebih lanjut adalah adanya asap yang
ditimbulkan yang dapat mengakibatkan pengaruh pada kesehatan terutama pernafasan serta
gangguan aktivitas sehari-hari seperti terganggunya jadwal penerbangan. Tebalnya asap
juga dapat mengganggu cuaca.
Berdasarkan Dokumen Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Permukiman
Berbasis Mitigasi Bencana, maka asumsi kriteria kebencanaan kebakaran adalah:
a. tinggi : 3, jika mengancam penduduk > 50 jiwa/ha)
b. sedang : 2, jika mengancam penduduk 25-50
c. rendah : 1, jika mengancam penduduk kurang 25
Akses dan pasokan air untuk pemadam kebakaran harus memenuhi persyaratan dalam
bab ini. Dalam konteks lingkungan permukiman, sistem proteksi kebakaran yang digunakan
adalah sistem proteksi aktif (SPA) antara lain dengan pemasangan hidran dan sistem
proteksi pasif (SPP) antara lain pengaturan tata letak bangunan, tata letak jalan dan
pengaturan ruang luar.
A. SKALA KOTA DAN KAWASAN
a. Struktur Kota
Menempatkan fungsi-fungsi dengan kepadatan tinggi pada area dengan akses terbaik
(hierarki jalan tertinggi) agar memudahkan mobil pemadam kebakaran untuk mengakses
lokasi.
b. Penggunaan Lahan
• Pengaturan penggunaan lahan dilakukan dengan mempertimbangkan kombinasi
keterbukaan dan ketertutupan lahan agar perambatan api tidak mudah menjalar
ke deretan bangunan. Disamping itu, kondisi ini diperlukan juga pada saat
kebakaran dimana perlu adanya area untuk evakuasi.
• Menempatkan fungsi-fungsi yang berpotensi terbakar atau sebagai tempat
penyimpanan bahan bakar dalam jumlah yang besar ataupun adanya kegiatan
menggunakan api sebagai proses utama kegiatan jauh dari permukiman
penduduk.
B. SKALA LINGKUNGAN BANGUNAN GEDUNG
a. Lingkungan Perumahan, Perdagangan, Industri dan/atau Campuran.
• Lingkungan tersebut di atas harus direncanakan sedemikian rupa sehingga
tersedia sumber air berupa hidran halaman, sumur kebakaran atau reservoir air
dan sebagainya yang memudahkan instansi pemadam kebakaran untuk
menggunakannya, sehingga setiap rumah dan bangunan gedung dapat dijangkau
oleh pancaran air unit pemadam kebakaran dari jalan di lingkungannya.
• Setiap lingkungan bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana komunikasi
umum yang dapat dipakai setiap saat untuk memudahkan penyampaian informasi
kebakaran. Dalam hal ini fungsi penyampaian informasi dalam konteks
permukiman seperti masjid atau tempat ibadah lainnya, pos ronda (dengan
kentongannya) dapat difungsikan sebagai tempat penyebaran informasi umum
Jalan Lingkungan
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi
pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan gedung harus tersedia jalan lingkungan
dengan perkerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran. Namun apabila
karena keterbatasan lahan dan mengakibatkan jalan depan permukiman tidak bisa dilalui
mobil pemadam kebakaran, maka hierarki jalan sebelumnya harus merupakan jalan yang
bisa diakses mobil pemadam kebakaran.
Jarak Antar Bangunan dan Gedung
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, harus disediakan jalur
akses mobil pemadam kebakaran dan ditentukan jarak minimum antar bangunan gedung
dengan memperhatikan tabel di bawah ini
Jarak minimum antar bangunan gedung tersebut tidak dimaksudkan untuk
menentukan garis sempadan bangunan gedung. Garis sempadan bangunan gedung tetap
mengikuti ketentuan rencana tata ruang wilayah yang berlaku di kabupaten/kota atau
Provinsi DKI Jakarta. Disamping pemisahan jarak antar bangunan ini, tentunya bangunan
permukiman yang ada harus menggunakan material yang lebih tahan terhadap api
(bangunan permanen).
Beberapa tipe yang mewakili karakter pembangunan permukiman di perkotaan adalah
1. Bangunan tunggal, yaitu bangunan hunian yang berdiri secara terpisah pada suatu
kavling
2. Bangunan kopel, yaitu bangunan hunian yang berhimpit pada satu sisi sedangkan
sisi lainnya terpisah dengan bangunan di sebelahnya.
3. Bangunan deret, yaitu bangunan yang pada kedua sisi sampingnya berhimpitan
langsung dengan bangunan di sebelahnya.
C. AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE LINGKUNGAN
a. Akses Kendaraan Pemadam Kebakaran
• Akses kendaraan pemadam kebakaran harus disediakan dan dipelihara sesuai
persyaratan teknis ini.
• Cetak biru akses jalan untuk kendaraan pemadam kebakaran sebaiknya
disampaikan kepada Instansi pemadam kebakaran untuk dikaji dan diberi
persetujuan sebelum dilakukan konstruksinya.
b. Akses Kendaraan Pemadam Kebakaran
• Sambungan Siamase
Otoritas berwenang setempat (OBS) memiliki kewenangan untuk mengharuskan
pemilik/ pengelola bangunan gedung menyediakan sambungan siamese yang
dipasang di lokasi dimana akses ke atau di dalam bangunan gedung atau
lingkungan bangunan gedung menjad sulit karena alasan keamanan.
• Akses ke Bagian Pintu Masuk atau Pintu Lokasi Pembangunan Gedung
OBS memiliki kewenangan untuk mengharuskan pemilik bangunan gedung
menyediakan akses untuk pemadam kebakaran lewat bagian pintu masuk atau
pintu lokasi pembangunan gedung dengan pemakaian peralatan atau sistem yang
disetujui.
• Pemeliharaan Akses
Pemilik atau penghuni bangunan gedung dengan adanya akses harus
memberitahu OBS manakala akses tersebut diubah sedemikian rupa sehingga
bisa menghambat akses pemadam kebakaran ke lokasi bangunan gedung.
c. Jalan Akses Pemadam Kebakaran
• Akses yang Disyaratkan
1. Jalan akses pemadam kebakaran yang telah disetujui harus disediakan
pada setiap fasilitas, bangunan gedung, atau bagian bangunan gedung
setelah selesai dibangun atau direlokasidalam bangunan gedung atau
lingkungan bangunan gedung menjadi sulit karena alasan keamanan.
2. Jalan akses pemadam kebakaran meliputi jalan kendaraan, jalan untuk
pemadam kebakaran, jalan ke tempat parkir, atau kombinasi jalan-jalan
tersebut.
3. Apabila tidak ada garasi untuk rumah tinggal untuk satu atau dua
keluarga, atau garasi pribadi, tempat parkir, gudang/bangsal, bangunan
gedung pertanian atau bangunan gedung gandeng atau bangunan gedung
seluas (37 m2) 400 ft2.
4. Apabila jalan akses pemadam kebakaran tidak dapat dibangun karena
alasan lokasi, topografi, jalur air, ukuran-ukuran yang tidak dapat
dinegosiasi, atau kondisi-kondisi semacam itu, maka pihak yang
berwenang bisa mensyaratkan adanya fitur proteksi kebakaran tambahan.
• Jalur Akses Lebih Dari Satu
Jalur akses pemadam kebakaran lebih dari satu bisa disediakan apabila ditentukan
oleh OBS dengan pertimbangan bahwa jalan akses tunggal kurang bisa diandalkan karena
kemacetan lalu lintas, kondisi ketinggian, kondisi iklim, dan faktor-faktor lainnya yang bisa
menghalangi akses tersebut.
• Akses yang Disyaratkan
1. OBS memiliki kewenangan untuk mensyaratkan pemasangan dan pemeliharaan
gerbang atau penghalang-penghalang yang disetujui sepanjang jalan, jalan kecil atau
jalan terusan lainnya, tidak termasuk jalan-jalan umum, gang untuk umum atau
jalan besar.
2. Apabila diperlukan, pintu gerbang dan penghalang-penghalang tersebut harus diberi
pengaman secara rapih.
3. Jalan-jalan, jalan kecil, dan jalan terusan yang telah ditutup dan dihalangi tidak
boleh diterobos atau digunakan kecuali jika ada izin dari pemilik atau OBS.
4. Pengunci, gerbang, pintu-pintu, penghalang, kunci, penutup, tanda-tanda, label atau
segel yang telah dipasang oleh unit pemadam kebakaran atau atas instruksinya atau
dibawah kendalinya, tidak boleh dipindahkan, dibuka, dibongkar, dirusak atau
diperlakukan tidak dengan baik.
• Lapis Perkerasan (hard standing) dan Jalur Akses masuk (accessway)
a) Di setiap bagian dari bangunan gedung hunian di mana ketinggian lantai hunian
tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 meter, maka tidak
dipersyaratkan adanya lapis perkerasan, kecuali diperlukan area operasional dengan
lebar 4 meter sepanjang sisi bangunan gedung tempat bukaan akses diletakkan,
asalkan ruangan operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 meter dari jalur
masuk mobil pemadam kebakaran.
b) Dalam tiap bagian dari bangunan gedung (selain bangunan gedung rumah tinggal
satu atau dua keluarga), perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat
langsung mencapai bukaan akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung.
Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil
pemadam, snorkel, mobil pompa dan mobil tangga dan platform hidrolik serta
mempunyai spesifikasi sebagai berikut :
1. Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15
meter. Bagian-bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat
mobil pemadam kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4 meter.
2. Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak
boleh kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat posisi akses
pemadam kebakaran diukur secara horizontal.
3. Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan yang
diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran.
Persyaratan perkerasan untuk melayani bangunan gedung yang ketinggian
lantai huniannya melebihi 24 meter harus dikonstruksi untuk menahan
beban statis mobil pemadam kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat
kaki (jack).
4. Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak
boleh lebih dari 1 : 8,3.
5. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila
melebihi 46 harus diberi fasilitas belokan.
6. Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari 10,5
m dan harus memenuhi persyaratan
7. Tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil
pemadam minimum 4,5 m untuk dapat dilalui peralatan pemadam
tersebut.
8. Jalan umum boleh digunakan sebagai lapisan perkerasan (hard-standing)
asalkan lokasi jalan tersebut sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan
akses pemadam kebakaran (access openings).
9. Lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian
lain bangunan gedung, pepohonan, tanaman atau lain tidak boleh
menghambat jalur antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam
kebakaran.

SISTEM RUJUKAN DALAM MANAJEMEN BENCANA

Sistem Rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan


kesehatan yg mengatur pelimpahan tugas/wewenang dan tanggung jawab pelayanan
kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal; maupun struktural dan
fungsional terhadap kasus/masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Rujukan dibagi
dalam rujukan medik/perorangan yang berkaitan dengan pengobatan dan pemulihan berupa
pengiriman pasien (kasus), spesimen, dan pengetahuan tentang penyakit; serta rujukan
kesehatan dikaitkan dengan upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan berupa sarana,
teknologi, dan operasional.
1. Rujukan vertikal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan.
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan yang lebih
tinggi dilakukan apabila:
 asien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
 perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan yang lebih
rendah dilakukan apabila:
 permasalahan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan yang lebih
rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
 kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih
baik dalam menangani pasien tersebut;
 pasien memerlukan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan
jangka panjang; dan/atau
 perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau
ketenagaan.
2. Rujukan horizontal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan.
Rujukan horizontal dilakukan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan
dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
Setiap pemberi pelayanan kesehatan berkewajiban merujuk pasien bila keadaan
penyakit/permasalahan kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan yang sah dan
mendapat persetujuan pasien/keluarganya (pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan
medis, sumber daya, atau geografis).

Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya yang


diberikan setelah dijelaskan oleh tenaga kesehatan yang berwenang, sekurang-kurangnya
mengenai :
 diagnosis & terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
 alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
 risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
 transportasi rujukan; dan
 risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.
Perujuk sebelum melakukan rujukan harus :
 melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai
indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan keselamatan pasien selama
pelaksanaan rujukan;
 melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima
rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat; dan
 membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan. Surat
pengantar rujukan sekurang-kurangnya memuat:
 identitas pasien;
 hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang) yang telah dilakukan;
 diagnosis kerja;
 terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan
 tujuan rujukan; dan
 nama dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
Rujukan dianggap telah terjadi apabila pasien telah diterima oleh penerima rujukan.
Penerima rujukan berkewajiban:
 menginformasikan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana serta
kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan
 memberikan pertimbangan medis atas kondisi pasien; dan
 memberikan informasi kepada perujuk mengenai perkembangan keadaan
pasien setelah selesai memberikan pelayanan.
Penerima rujukan bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan kesehatan
lanjutan sejak menerima rujukan.

1. Jenis Rujukan
Rujukan medik yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas satu
kasus yang timbul baik secara vertikal maupun horizontal kepada yang lebih berwenang
dan mampu menangani secara rasional. Jenis rujukan medik antara lain:
1) Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk keperluaan diagnostik, pengobatan,
tindakan operatif dan lain – lain.
2) Transfer of specimen. Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium
yang lenih lengkap.
3) Transfer of knowledge / personal. Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli
untuk meningkatkan mutu layanan setempat.
2. Rujukan Kesehatan
Rujukan kesehatan yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan bahan atau
spesimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini adalah rujukan yang
menyangkut masalah kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit (preventif) dan
peningkatan kesehatan (promotif). Rujukan ini mencakup rujukan teknologi, sarana dan
opersional
3. Keuntungan Sistem Rujukan
 Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, berarti bahwa
pertolongan dapat diberikan lebih cepat, murah dan secara psikologis memberi rasa
aman pada pasien dan keluarga
 Dengan adanya penataran yang teratur diharapkan pengetahuan dan keterampilan
petugas daerah makin meningkat sehingga makin banyak kasus yang dapat dikelola
di daerahnya masing – masing
 Masyarakat desa dapat menikmati tenaga ahli
Skema Rujukan Upaya Kesehatan

Rujukan Upaya Kesehatan Rujukan Upaya Kesehatan


Perorangan Masyarakat

RSU Pusat, Kemkes, Dinkes


RSU Khusus Propinsi
Tersier Tersier

dr. Sp swasta, RSUD, Dinkes Kab/Kota,


Sekunder Sekunder
BP4, Klinik Spesialis BP4, BKMM, BKOM

dr. swasta, Puskesmas Primer Puskesmas


Primer
BKIA, Bidan, BP
Posyandu Masyarakat Masyarakat UKBM
Polindes
Kader Upaya
Upaya Kesehatan Kesehatan
Perorangan/mandiri Perorangan/mandiri
Keluarga Mandiri Keluarga Mandiri

Tingkatan Rujukan

1. Perorangan/ keluarga : kader kesehatan, upaya kesehatan keluarga mandiri


2. Masyarakat : UKBM posyandu, poskesdas, poskestren, apotik hidup, dana sehat, dll
3. Strata pertama : praktik dr swasta, praktik bidan, puskesmas, RB, BP, pustu, pusling,
panti, lapas
4. Strata kedua : RSU/khusus (pem/TNI POLRI/swasta), BKPM, BP4, BKMM, BKJM,
BPKT, BKMM, Klinik spesialis, Praktik dr spes, Dinkes Kab/Kota, BKOM
5. Strata ketiga : RS kelas B pendidikan, RS kelas A, Dinkes provinsi, Kemenkes, institusi
unggulan.
RUMAH SAKIT LAPANGAN

Beberapa alasan RS lapangan perlu didirikan, antara lain:


1. Rumah sakit yang ada tidak dapat menampung semua korban.
2. Rumah sakit yang ada tidak berfungsi secara optimal.
3. Rumah sakit yang ada sulit dijangkau dari lokasi bencana.
a. Pengiriman tim aju
Sebelum menggerakkan RS lapangan kita perlu mengirimkan tim aju yang
mempunyai pengalaman dan kemampuan dalam pengelolaan RS lapangan. Jumlah tim
aju yang dikirim minimal 3 (tiga) orang terdiri dari tenaga teknis yang mempunyai
pengalaman dalam membangun RS lapangan, tenaga medis dan sanitarian. Tim aju
bertugas untuk melakukan penilaian mengenai lokasi pendirian tenda dan peralatannya.
Penilaian oleh tim aju tersebut penting untuk memastikan bahwa RS lapangan yang
akan didirikan memang didasarkan pada kebutuhan, berada di tempat yang aman,
memiliki akses yang mudah dijangkau, dan sumber air dan listrik yang masih dimiliki
paska terjadinya bencana. Oleh karena itu tim aju perlu melakukan koordinasi dengan
sumber daya setempat dalam merencanakan pendirian dan operasional RS lapangan
mutlak diperlukan. Sumber daya setempat harus diinformasikan mengenai
kemungkinan didirikannya RS lapangan, alasan pendiriannya, lokasi, dan terbukanya
akses rujukan bagi setiap korban selama masa operasional rumah sakit.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penilaian untuk pendirian
RS lapangan di lokasi bencana, antara lain:
1. Keamanan. Lokasi pendirian RS lapangan harus berada di wilayah yang aman dari
bencana susulan, misalnya, tidak berpotensi terkena gempa susulan atau banjir
susulan. Jika bencana berkaitan dengan konflik maka lokasi RS lapangan harus
berada di wilayah yang netral dan mendapat jaminan keamanan dari kedua pihak
yang bertikai.
2. Akses. Dalam penetapan lokasi pendirian RS lapangan, kita harus
memperhitungkan kemudahan akses bagi petugas dan pasien, juga untuk mobilisasi
logistik.
3. Infrastruktur. Apakah terdapat bangunan yang masih layak dan aman dipergunakan
sebagai bagian dari RS lapangan. Jika tidak, apakah ada lahan dengan permukaan
datar dan keras yang dapat digunakan untuk pendirian RS lapangan. Apakah
tersedia prasarana seperti sumber air bersih dan listrik yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan operasional RS lapangan. Selain itu, perlu pula
dipertimbangkan ketersediaan bahan bakar untuk menghidupkan genset dan
kebutuhan operasional lain.
4. Sistem komunikasi. Apakah tersedia sistem komunikasi di lokasi pendirian RS
lapangan atau apakah diperlukan sistem komunikasi yang independen bagi RS
lapangan. Faktor komunikasi memegang peranan penting baik untuk keperluan
internal rumah sakit maupun untuk hubungan eksternal terkait dengan pelaporan,
koordinasi dan mobilisasi tenaga dan logistik, dsb.
Semua penilaian tersebut dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait untuk
mendapatkan hasil yang tepat sehingga mobilisasi RS lapangan dan sumber dayanya
dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
b. Tenaga medis-non medis
Pendirian RS lapangan memerlukan tenaga yang sudah terlatih dalam hal
operasionalisasi RS lapangan, yang terdiri dari tenaga medis dan non-medis yang akan
menjadi tim inti RS lapangan. Tim inti harus dipersiapkan sejak awal dan terdiri dari
unsur manajerial, klinisi, keperawatan, penunjang medis, sarana, dan prasarana,
biasanya merupakan tim yang melekat pada sistem RS atau dibentuk oleh suatu institusi
atau badan dengan melibatkan berbagai unsur. Tenaga medis RS lapangan dibutuhkan
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memang menjadi tujuan pendirian RS
lapangan. Contoh tenaga medis yang terlibat, antara lain:
 dokter umum
 dokter spesialis bedah
 dokter spesialis bedah tulang
 dokter anestesi
 dokter penyakit dalam
 dokter spesialis kandungan
 dokter spesialis anak
 dokter spesialis jiwa
 perawat mahir (gawat darurat, kamar bedah, intensif, rawat bedah)
 perawat anestesi
 perawat umum
 radiografer
 tenaga analisis laboratorium
 apoteker dan asisten apoteker
 ahli gizi/dietisien
 tenaga rekam medis
 tenaga elektro medik, dan
 tenaga sanitarian.
Selain tenaga medis, tenaga non-medis juga diperlukan untuk mendukung
kelancaran operasionalisasi RS lapangan. Kebersihan maupun perawatan tenda dan
perlengkapan RS lapangan demikian pula dengan kesehatan dan kesejahteraan anggota
tim RS lapangan maupun penduduk yang berobat menjadi tugas mereka. Tenaga non-
medis yang terlibat, antara lain:
 pengemudi /supir
 juru masak
 tenaga administrasi
 tenaga laundry
 tenaga teknisi listrik dan mesin
 tenaga pembantu umum (untuk tenaga gudang, kebersihan, dll.)

 tenaga keamanan.
c. Jenis penyakit dan obat saat bencana
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Buku Peta Bencana di Indonesia
beberapa jenis penyakit dan kelainan yang sering ditemukan pada keadaan bencana dan
di tempat pengungsian, antara lain: diare, ISPA, campak, tifoid, stress, hipertensi,
penyakit mata, asma, kurang gizi, penyakit kulit, BDB, dan tetanus.
Beberapa pendekatan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan
perhitungan kebutuhan obat dalam situasi bencana, yaitu:
 Melihat jenis bencana yang terjadi, misalnya bencana banjir, bencana gunung
meletus, bencana kebakaran hutan, bencana kebakaran, bencana akibat konflik
(huruhara). Berdasarkan data tersebut, kita dapat melakukan perhitungan yang
relatif sesuai dengan kebutuhan selain jenis obat yang disediakan juga dapat
mendekati kebutuhan nyata.
 Mendata jumlah pengungsi, berikut usia dan jenis kelaminnya.
 Pedoman pengobatan yang umum digunakan. Dalam hal ini sebaiknya merujuk
pada Pedoman Pengobatan yang diterbitkan oleh Depkes.
Agar penyediaan obat dan perbekalan kesehatan dapat membantu pelaksanaan
pelayanan kesehatan pada saat kejadian bencana, jenis obat dan perbekalan kesehatan
harus sesuai dengan jenis penyakit dan pedoman pengobatan yang berlaku. (DOEN,
Formularium Rumah Sakit, Standar terapi rumah sakit.)
d. Mobilisasi prasarana
Prasarana adalah seluruh benda maupun jaringan atau instalasi yang membuat suatu
sarana yang ada dapat berfungsi sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Beberapa
contoh prasarana dalam RS lapangan, antara lain:
 instalasi air bersih, dimulai dari sumber air yang diolah melalui alat penjernih air
(water purifier) dengan keluaran berupa air bersih.
 instalasi listrik, dimulai dari genset RS lapangan melalui jaringan instalasi listrik
dan keluar sebagai arus listrik yang digunakan pada stop kontak dan lampu
penerangan.
 Instalasi pengkondisian udara, dimulai dari udara yang masuk melalui modul
pendingin kemudian disalurkan ke dalam tenda-tenda RS lapangan berupa udara
dingin atau panas.
e. Pendirian tenda rumah sakit lapangan
Pendirian Rumah Sakit Lapangan (RS lapangan) di daerah bencana dapat dilakukan
dengan memperhatikan sarana dan fasilitas pendukung yang dapat dimanfaatkan untuk
mendukung operasionalisasi RS lapangan seperti bangunan, listrik, air, dan MCK atau
dengan mendirikan tenda di ruang terbuka. Tahapan dalam pendirian RS lapangan,
antara lain:
1. Menetapkan tata letak (site plan) RS lapangan berdasarkan prioritas.
2. Menyiapkan lokasi atau lahan untuk pendirian tenda serta sarana dan fasilitas
pendukung yang akan digunakan.
3. Mempersiapkan sistem drainase untuk menghindari genangan air.
4. Membersihkan permukaan lokasi pendirian tenda dari benda tajam yang dapat
merusak tenda, dan apabila permukaan tanah tidak datar harus diratakan dahulu.
5. Menyiapkan pembatas (pagar) sebagai pengaman dan menetapkan satu pintu masuk
dan satu pintu keluar untuk membatasi keluar masuk orang yang tidak
berkepentingan.
6. Mendirikan tenda berikut secara berurutan sesuai prioritas.
a. Tenda Gudang
Tujuan: Sebagai tempat penyimpanan seluruh peralatan RS lapangan untuk bencana
pada saat persiapan sampai operasionalisasi. Persyaratan:
1. Lokasi untuk tenda gudang harus berada di lahan yang bebas dari genangan air
dan di sisi kanan, kiri, dan belakang dibuatkan saluran drainase.
2. Tenda dapat menampung seluruh peralatan yang ada; bila ukurannya cukup
besar, tenda dapat dibagi menjadi 3 bagian-gudang umum, gudang farmasi, dan
gudang gizi (gizi kering dan gizi basah). Tenda farmasi dapat didirikan secara
terpisah karena pengelolaan farmasi membutuhkan keahlian khusus.
3. Memiliki satu pintu untuk keluar masuk barang.
4. Dilengkapi dengan palet (alas/tatakan kayu) untuk menghindari lembab dan
mempermudah pengangkutan barang.
5. Pencahayaan memadai.
6. Ditunjuk seorang penanggung jawab gudang dan untuk keamanan barang.
7. Pembatasan orang yang keluar masuk gudang (harus seizin penanggung jawab).
8. Bahan yang mudah terbakar (mis., bensin, solar, gas medis, dsb.) disimpan di
tempat yang terpisah dari barang lain.
b. Tenda Unit Gawat Darurat (UGD)
Tujuan: Sebagai tempat untuk memberikan pelayanan gawat darurat (gadar) dan
melakukan triase. Persyaratan :
1. Tenda UGD didirikan di tempat terdepan untuk memudahkan evakuasi dan
mobilisasi pasien.
2. Diupayakan dilengkapi dengan alat pendingin ruangan.
3. Sterilisasi ruang UGD harus tetap terjaga.
4. Selain petugas, tidak diperbolehkan membawa benda tajam ke dalam tenda
karena dapat merusak tenda balon.

c. Tenda Bedah
Tujuan: Sebagai tempat untuk tindakan operasi (bedah). Persyaratan:
1. Harus dekat dengan tenda rawat inap, tenda sterilisasi, xray, tenda perawatan
intensif.
2. Selain petugas tidak diperbolehkan masuk dan membawa benda tajam ke dalam
tenda karena dapat merusak tenda balon.
3. Lantai tenda mudah dibersihkan dan harus selalu dalam keadaan kering.
4. Harus dilengkapi dengan AC.
5. Pencahayaan harus memadai.
6. Pasokan listrik harus stabil.
7. Pintu masuk/keluar mudah diakses untuk pasien baik yang menggunakan tandu
dan stretcher.
8. Tersedia cukup ruang untuk mobilisasi pasien tanpa risiko kontaminasi.
9. Tersedia ruang tunggu pasien untuk pra-operasi.
10. Tersedia ruangan untuk penempatan peralatan bedah seperti, instrumen, obat-
obatan, linen bedah.
11. Ditunjuk penanggung jawab ruang operasi yang tugasnya:
 Menjaga ruang bedah agar tetap steril
 Menyiapkan dan memeriksa peralatan yang dibutuhkan untuk tindakan
bedah dan menjaga keamanannya.
 Membatasi keluar masuknya orang yang tidak berkepentingan.
d. Tenda Perawatan
Tujuan: Sebagai tempat untuk perawatan pasien. Persyaratan:
1. Lantai tenda mudah dibersihkan dan harus selalu dalam keadaan kering.
2. Dapat dilengkapi dengan AC atau kipas angin.
3. Untuk mengurangi hawa panas akibat terik matahari, minimal 30 cm di atas atap
tenda diberi lapisan terpal.
4. Jumlah tempat tidur disesuaikan dengan luas tenda dan cukup nyaman untuk
pelaksanaan tindakan dan untuk mobilisasi pasien, alat medis, dan personel.
e. Tenda Intensive Care Unit (ICU)
Tujuan: Sebagai tempat untuk perawatan intensif pasien yang kritis. Persyaratan:
1. Tenda perawatan intesif didirikan di dekat tenda bedah/perawatan.
2. Lantai tenda mudah dibersihkan dan harus selalu dalam keadaan kering.
3. Harus dilengkapi dengan AC.
f. Tenda Farmasi
Tujuan: Sebagai tempat istirahat personel RS lapangan. Persyaratan:
1. Tenda personel didirikan di luar area RS lapangan, jika memungkinkan.
2. Usahakan didirikan di dekat gudang untuk mengawasi barang.
3. Untuk kenyamanan dan kebersihan, tenda personel hanya difungsikan untuk
tempat istirahat/tidur.
g. Pendirian Tenda Administrasi
Tujuan: Sebagai tempat pelayanan administrasi RS lapangan. Persyaratan:
1. Akses mudah dari unit-unit pelayanan serta pihak lain yang berkentingan.
2. Ruangan/tenda cukup memadai untuk kegiatan ke administrasian dan
penerimaan tamu, konferensi pers, dll.
3. Sumber listrik dan pencahayaan cukup, jika memungkinkan bisa dilengkapi
dengan pendingin ruangan (AC).
h. Tenda Laundry dan Sterilisasi
Tujuan: Sebagai tempat untuk sterilisasi alat medis, alat operasi, linen (baju operasi,
tutup kepala). Persyaratan:
1. Tenda sterilisasi didirikan di dekat ruang operasi (bedah).
2. Mudah dicapai dari tenda perawatan.
3. Lantai tenda mudah dibersihkan dan harus selalu dalam keadaan kering.
4. Dapat dibagi menjadi 2 bagian (bagian pertama, bagian penerimaan barang atau
alkes yang akan disterilisasikan/ didekontaminasi; bagian kedua, tempat
penyimpanan barang atau alkes yang sudah steril dan siap digunakan).
5. Tersedia tempat penyimpanan barang atau alkes yang telah disterilkan.
6. Pelabelan pada alat yang telah disterilkan untuk mengetahui jenis instrumen dan
masa sterilnya.
7. Tersedia autoclave dan perhatikan sirkulasi udara agar tenda tidak panas.
8. Tersedia wastafel atau sumber air untuk dekontaminasi sebelum sterilisasi.
i. Tenda X-Ray
Tujuan: Sebagai tempat untuk memproses film rontgen. Persyaratan:
1. Letaknya harus bersebelahan dengan tenda radiografi.
2. Dapat memanfaatkan papan atau triplek untuk membuat bilik kamar gelap.
3. Luas bilik disesuaikan dengan ukuran alat processing film.
4. Tidak boleh ada pencahayaan (harus ada kamar gelap) dengan cara melapisi
seluruh dinding bilik menggunakan plastik atau kertas warna hitam.
5. Tersedia safety light (lampu kamar gelap) yang dipasang di dalam bilik kamar
gelap untuk mengecek processing film.
6. Tersedia sumber air untuk pembilasan dan pencucian film.

Selain itu, ada beberapa aturan umum yang diberlakukan untuk pendirian semua
jenis tenda di atas, antara lain:
1. Lokasi untuk tenda harus berada di lahan yang bebas dari genangan air.
2. Tidak boleh membawa benda tajam ke dalam tenda karena dapat merusak tenda balon;
tidak boleh merokok dalam tenda dan gudang.
3. Tekanan udara pada tabung tenda balon (apabila jenis tenda adalah tenda balon) harus
diperiksa minimal dua hari sekali, jika tekanan berkurang segera dipompa kembali. Jika
ditemukan kebocoran pada tenda, segera lakukan penambalan.
4. Tali tenda harus diikatkan secara kuat ke pasak yang ditanam ke tanah.
5. Lakukan pembersihan secara rutin minimal sehari sekali (disapu dan dipel).
6. Selain petugas tidak diperbolehkan membawa benda tajam ke dalam tenda karena dapat
merusak tenda balon. Masing-masing tenda memiliki perlengkapan dan peralatannya
sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan dalam
tenda tersebut.

Anda mungkin juga menyukai