Anda di halaman 1dari 10

Nama: Azam Azizi Rahman

NPM: 110110180389
Kelas: Hukum Acara Pidana E
Dosen: Dr. Somawijaya S.H., M.H.
Rully Herdita Ramadhani, S.H., M.H.

UAS

1. A. Menurut Pasal 143 ayat (2) KUHAP “ Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang
diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan”
Agar suatu Surat dakwaan sah harus memenuhi keriteria diatas, diperjelas dengan pasal 143
ayat (3) yang menyatakan bahwa surat dakwaan menjadi batal demi hukum apabila tidak
memenuhi ketentuan ayat (2) poin b.

B. Perubahan surat dakwaan oleh JPU hanya dapat dilakukan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang, perubahan itu harus dengan tujuan untuk menyempurnakan surat
dakwaan atau tidak melanjutkan penuntutannya sebagaimana disebutkan pada Pasal 144
ayat (1) KUHAP. Dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 144 ayat (2), Perubahan tersebut hanya
dapat dilakukan 1 kali sebelum selambat-lambatnya 7 hari sebelum siding dimulai.

C. Menurut Surat Edaran Jaksa Agung no SE-004/J.A/11/1993 terdapat beberapa bentuk


surat dakwaan, yaitu:
1) dakwaan Tunggal
Dalam Surat Dakwaan ini hanya satu tindak pidana yang didakwakan, karena tidak
terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternative atau dakwaan penggantinya;
contohnya surat dakwaan delik pencurian (362 KUHP)
2) dakwaan alternative
Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan
yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan
lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak
Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa
lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak
perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisandakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan
yang dipandang terbukti.Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan
lainnya tidakperlu dibuktikan lagi. Misalnya didakwakan
Pertama: Pencurian (pasal 362 KUHP), atau
Kedua: Penadahan (pasal 480 KUHP).

3) Subsidair
Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiridari beberapa
lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis denganmaksud lapisan yang satu berfungsi
sebagai pengganti lapisansebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai
dari TindakPidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan TindakPidana
yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai
dari lapisan teratessampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Lapisan yang tidak
terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntutagar terdakwa dibebaskan dari
lapisan dakwaan yang bersangkutan. misalnya didakwakan :
Primair: Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP),
Subsidair: Pembunuhan (pasal 338 KUHP),
Lebih Subsidair: Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (pasal 351(3)KUHP).

4) Kumulatif
Dalam Surat Dakwaan kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidanasekaligus, ke semua
dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaanyang tidak terbukti harus dinyatakan
secara tigas dan dituntutpembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan
dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masingmasing merupakan
Tindak Pidana yang berdiri sendiri.
Misalnya didakwakan :
Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan
Kedua : Pencurian dengan pernberaten (363 KUHP), dan
Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP).

5) Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk inidikombinasikan/digabungkan
antara dakwaan kumulatif dengan dakwaanalternatif atau Subsidair. Timbulnya bentuk
ini seiring denganperkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik
dalambentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan. Misalnya
didakwakan
Kesatu :
Primair: Pembunuh berencana (pasal 340 KUHP)
Subsidair: Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP);
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang(pasal 351 (3) KUHP);
Kedua :
Primair: Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP);
Subsidair: Pencurian (pasal 362 KUHP), dan
Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP).

2. A. 1) Pemeriksaan Perkara Biasa


- Perkara yang diajukan oleh JPU diterima oleh Panitera Muda Pidana dan harus
dicatat dalam buku register perkara seterusnya diserahkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim / Majelis yang menyidangkan perkara
tersebut;
- Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil
Ketua terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak;
- Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan penangguhan /
pengalihan penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya permohonan
tersebut harus atas musyawarah Majelis Hakim;
- Dalam hal permohonan penangguhan / pengalihan penahanan dikabulkan,
penetapan ditandatangani oleh Ketua Majelis Hakim dan Hakim Anggota;
- Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara,
untuk mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat formil dan
materiil; 1. Syarat formil : nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat
tinggal, pekerjaan dari si terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama; 2. Syarat
materiil : waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, perbuatan yang didakwakan
harus jelas dirumuskan unsur-unsurnya, hal-hal yang menyertai perbuatan pidana
itu yang dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan meringankan
2) Pemerisaan Singkat
- Berdasarkan pasal 203 ayat (1) KUHAP, maka yang diartikan dengan perkara-
perkara dengan acara singkat adalah perkara-perkara pidana yang menurut
Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana;
- Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut Umum ke
persidangan dapat dilakukan pada hari-hari persidangan tertentu yang ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan;
- Dalam acara singkat ini, maka setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis Hakim dan
setelah pertanyaan formil terhadap terdakwa diajukan maka Penuntut Umum
dipersilahkan menguraikan tentang tindak pidana yang didakwakan secara lisan
dan dicatat dalam Berita Acara Sidang sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203
ayat (3) KUHAP);
- Tentang hal registrasi atau pendaftaran perkara-perkara pidana dengan acara
singkat ini, baru didaftarkan oleh Panitera/Panitera Muda Pidana setelah Hakim
memulai dengan pemeriksaan perkara;
- Apabila pada hari sidang yang ditentukan, terdakwa dan atau saksi-saksi utamanya
tidak datang, maka Majelis cukup menyerahkan kembali berkas perkara kepada
Jaksa secara langsung tanpa ada penetapan, sebaiknya dengan buku pengantar
(ekspedisi);
- Dalam hal Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan supaya diadakan
pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama 14 hari dan bilamana dalam
waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan
tambahan, maka Hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang Pengadilan
dengan acara biasa (Pasal 203(3)b KUHAP);
- Putusan perkara pidana singkat tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam
Berita Acara Sidang.
3) Pemeriksaan Cepat
- Yang diartikan dan termasuk perkara-perkara dengan acara cepat adalah perkara-
perkara pidana yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan
penjara atau denda Rp. 7.500,- (pasal 205 ayat (1) KUHAP), yang mencakup tindak
pidana ringan, pelanggaran lalu lintas (pasal 211 KUHAP beserta penjelasannya)
juga kejahatan “penghinaan ringan” yang dimaksudkan dalam pasal 315 KUHP dan
diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dengan tanpa ada kewajiban dari Penuntut
Umum untuk menghadirinya kecuali bilamana sebelumnya Penuntut Umum
menyatakan keinginannya untuk hadir pada sidang itu;
- Terdakwa tidak hadir dipersidangan. Putusan verstek yakni putusan yang
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa (pasal 214 ayat (2) KUHAP), apabila putusan
berupa pidana perampasan kemerdekaan, terpidana dapat mengajukan
perlawanan yang diajukan kepada pengadilan yang memutuskan, dan Panitera
memberitahukan Penyidik tentang adanya perlawanan dan Hakim menetapkan
hari persidangan untuk memutus perkara perlawanan tersebut. Perlawanan
diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan secara sah
kepada terdakwa;
- Terhadap putusan yang berupa pidana perampasan kemerdekaan, dapat diajukan
banding;
- Dalam hubungan perkara-perkara pidana dengan acara cepat, Panitera memelihara
2 (dua) register (pasal 61 Undang-undang No.2 Tahun 1986, tentang Peradilan
Umum), yakni:
- Register tindak pidana ringan;
- Register pelanggaran lalu lintas.
B. Putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima
karena mengadung cacat formil, hal-hal seperti
Surat kuasa yang tidak memenuhi syarat pasal 123 ayat (1) HIR; gugatan tidak memiliki
dasar hukum; gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plunum litis
consortium; gugatan melanggar kompetensi absolut atau relative.
C. Putusan NO berkaitan dengan pemeriksaan perkara dipengadilan karena diperiksanya
surat dakwaan dilakukan pada masa pemeriksaan sepertihalnya pada bagian ketiga Acara
Pemeriksaan Biasa Pasal 156 KUHAP.

3. A. Kompetensi relatif
diartikan kewenangan pengadilan untuk menangani/mengadili suatu sengketa/perkara
didasarkan pada tempat/lokasi/domisili para pihak yang bersengketa atau didasarkan pada
dimana objek yang disengketakan berada.  Atau dengan kata lain, kompetenasi relatif adalah
kewenangan pengadilan untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum (yurisdiksi)
yang dimilikinya. Oleh karena itu, para pihak dalam mengajukan gugatan untuk
memperhatikan dimana tempat/lokasi/domisili para pihak serta objek yang disengketakan,
dengan tujuan kompentesi relatif dari gugatan yang diajukan dapat diterima, diperiksa serta
diadili oleh hakim.
Kompetensi Absolut
Kompentesi Absolut diartikan kewenangan pengadilan mengadili suatu perkara/sengketa
yang didasarkan kepada “objek atau menteri pokok perkaranya”. Untuk melihat lebih jauh
terkait kompentensi absolut tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU
No. 14 Tahun 1970 (saat ini telah diubah menjadi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).

B. 1) Teori Pembuktian berdasarkan UU secara Positif,


2) Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim Melulu
3) Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis
4) Teori Pembuktian berdasarkan UU secara Negatif

Di Indonesia menganut teori Pembukitan berdasarkan UU secara Negatif sebagagaimana


disebutkan pada pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
C. 1) Bewijslaat atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan
oleh Undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum. Dalam hukum positif, asas
pembagian beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RB dan Pasal
1865 KUH Pdt yang menegaskan bahwa kewajiban untuk membuktian adalah pihak yang
mendalihkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau untuk mengukuhkan haknya sendiri
ataupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa. Hal ini
berdasarkan pada asas actori incumbit probation yang berarti siapa yang menggugat dialah
yang wajib membuktikan.
2) Bewijskracht adalah sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam
rangkaian penilaian terbuktinya suatu dalil yang diungkapkan. Penilaian tersebut merupakan
otoritas hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian antara alat bukti yang
satu dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang
diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang disidangkan. Jika
bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjjutnya mengarah pada apakah bukti
tersebut dapat diterima atau tidak.
3) Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah
terjadinya suatu peristiwa hukum. Dalam buku IV Kitab Undang Hukum Perdata yang
mengatur tentang pembuktian dan daluarsa, alat bukti tercantum dalam Pasal 1865. Secara
eksplisit ditegaskan bahwa alat bukti terdiri atas; bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, dan segala sesuatunya dengan
mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam bab-bab yang berikut.
4. A. 1) Putusan Vrijspaark/ putusan bebas
Pasal 191 ayat (1) KUHAP menjelaskan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dari uraian pasal
tersebut disimpulkan bahwa ketika terdapat seseorang terdakwa diperiksa pengadilan,
kemudian hakim berpendapat perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan merupakan tindak tindak pidana, maka terdakwa harus dibebaskan.
Bebas disini dapat dimaknai bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat membuktikan
kesalahan terdakwa dikarekan kurang alat bukti atau alat bukti yang dihadirkan kurang
meyakinkan hakim yang memutus.
2) Putusan ontslag van alle rechtvervolging/ Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menjelaskan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dari uraian pasal tersebut
disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa terbukti, namun dinilai bukan merupakan tindak
pidana, sehingga hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

Lepas dari segala tuntutan hukum disini dimaknai Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut
seorang terdakwa yang melakukan tindak pidana pencurian (362 KUHP) dipengadilan,
namun ternyata setelah diproses hukum, terdakwa ternyata mengalami gangguan jiwa,
sehingga menurut hakim terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Selain itu,
bisa juga jika perbuatan terdakwa ternyata perbuatan perdata dan bukan masuk perbuatan
pidana, sehingga hakim harus melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

B. menurut pasal 67 KUHAP “Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara cepat.” Maka putusan yang dapa diterima adalah putusan
pemidanaan.
5. A. 1) Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.Para pihak
mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan
Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan
hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar
bij voeraad.

2) Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi.Para pihak
dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi
kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan "casser" yang berarti memecahkan atau membatalkan,
sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima
oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung
karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak
dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat
kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.

B. Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :


1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut
pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan
melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun
hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh
Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga
diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam
suatu putusan tidak terdapat irah-irah.

6. A. Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah
Agung. menurut KUHAP suatu permohonan ditolak jika:
1) Putusan yang dimintakan kasasi adalah putusan bebas (Pasal 22 KUHAP)
2) Melewati tenggan waktu (Pasal 245 KUHAP)
3) Sudah ada putusan kasasi sebulunya dalam perkara tersebut (Pasal 247 ayat (4) KUHAP)
4) Tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), atau tidak memberitahu
alas an kasasi kepada panitera, jika pemohon tidak memahami hukum (Pasal 248 ayat
(2) KUHAP) atau pemohon terlambat mengajukan memori kasasi, yaitu 14 hari setelah
mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan (4) KUHAP)
5) Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP.

B. Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila dalam putusan mengenai


perkara yang bersangkutan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya suatu kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu, yang untuk itu semua
telah dinyatakan pula oleh hakim pidana. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan
masa tenggang waktu 180 hari sejak diketahuinya kebohongan, tipu muslihat, atau
bukti-bukti palsu berdasarkan putusan hakim pidana.
2. Adanya surat-surat bukti yang bersifat menentukan, jika surat-surat bukti dimaksud
dikemukakan ketika proses persidangan berlangsung. Bukti semacam itu disebut pula
dengan istilah novum. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan masa tenggang
waktu 180 hari sejak diketahui atau ditemukannya bukti baru (novum).
3. Adanya kenyataan bahwa putusan hakim mengabulkan suatu hal yang tidak dituntut
atau lebih dari yang dituntut. Peninjauan kembali dapat diajukan dalam tenggang
waktu 180 hari sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan
kepada pihak-pihak yang berperkara.
4. Adanya bagian mengenai suatu tuntutan dalam gugatan yang belum diputus tanpa
ada pertimbangan sebab-sebabnya. Peninjauan kembali diajukan dengan masa
tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
5. Adanya putusan yang saling bertentangan, meskipun para pihaknya sama, mengenai
dasar atau soal yang sama, atau sama tingkatannya. Peninjauan kembali ditujukan
dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
6. Adanya kenyataan bahwa putusan itu mengandung suatu kekhilafan atau kekeliruan
yang nyata sehingga merugikan pihak yang bersangkutan. Peninjauan kembali dapat
diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.

Anda mungkin juga menyukai