Anda di halaman 1dari 81

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO USIA DAN VISUS SEBELUM

OPERASI DENGAN KEJADIAN KOMPLIKASI INTRAOPERATIF


PADA OPERASI EKEK PASIEN KATARAK SENILIS DI RSUP
FATMAWATI TAHUN 2015-2017

Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KEDOKTERAN

Oleh:
Indira Khairunnisa Effendi
11141030000061

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Shawalat
serta salam tak lupa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para
sahabatnya. Semoga kita menjadi umatnya yang mendapatka syafaat beliau kelak di
hari kiamat nanti, aamin ya rabbal alamiin.

Dalam proses pembuatan skripsi yang berjudul ”Prevalensi dan Faktor Risiko
Usia dan Visus Sebelum Operasi dengan Kejadian Komplikasi Intraoperatif pada
Operasi EKEK Pasien Katarak Senilis di RSUP Fatmawati Tahun 2015-2017”
tentu saja penulis melibatkan berbagai pihak yang memberikan bantuan, bimbingan,
serta dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
pihak yang telah terlibat, di antaranya:

1. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes sebagai dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr. Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS sebagai ketua Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter (PSKPD) FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
3. dr. Nida Farida, Sp.M sebagai pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, dukungan , serta semangat dan nasehat sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini dengan baik
4. Ibu Yuliati, M.Biomed sebagai pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, dukungan, serta semangat dan nasehat sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini dengan baik

iv
5. dr. Sylvi, Sp.M selaku konsulen poli mata RSUP Fatmawati yang telah
memberikan bimbingan, bantuan, serta dukungan kepada penulis sejak awal
proses pengambilan data penelitian ini
6. Bapak Chris Adhiyanto, M.Biomed, PhD selaku penanggung jawab riset
PSKPD angkatan 2014
7. Staf dosen PSKPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuan serta berbagai pelajaran hidup sebagai bekal
bagi penulis untuk menjadi seorang dokter yang bermanfaat bagi agama, nusa
dan bangsa.
8. Staf poli mata dan instalasi rekam medik RSUP Fatmawati yang telah
memberikan banyak bantuan kepada penulis selama proses pengambilan data
penelitian ini
9. Kedua orang tua penulis, Bapak Ir. Muhammad Ramzi Boes Effendi dan Ibu
Made Mailinda Krisyanti yang selalu mendukung penulis baik dari waktu,
nasehat, bimbingan, dukungan, dan doa yang tiada hentinya. Serta selalu
menanamkan kepada penulis untuk tidak mudah menyerah dan bahwa tidak ada
yang tidak mungkin di dunia ini jika kita berusaha dengan sekuat tenaga. Hal
tersebut merupakan bagian terpenting dalam penelitian penulis
10. Adik penulis, Meivia Nisrina Effendi yang selalu memberi saya semangat untuk
menyelesaikan penelitian ini, serta dapat menjadi teman yang baik di saat
penulis membutuhkan waktu istirahat. Kepada nenek penulis Ketut Ratnadi
serta keluarga kedua orang tua penulis yang selalu mendukung penuh penulis
selama menempuh pendidikan dokter
11. Teman sejawat dalam kelompok penelitian yang sama, Rahmy Nursafitri, Diva
Zahra, Azhardin Maralaut, dan Hanifsyah Odang yang telah memberikan
dukungan, bantuan dan hiburan serta saling menyemangati satu sama lain agar
kami dapat menyelesaikan dan melaporkan penelitian masing-masing dalam
waktu yang sama. Terima kasih atas kerja sama dan canda tawa selama ini
12. Sahabat penulis, Rahmy Nursafitri, Ajeng Ristia Sari, Andi Nabila, Silma
Rahima Zahra, Azifa Anisatul, Sherly Trisna, Desti Asihanti yang senantiasa
v
menjadi supporting system dan penghibur disaat senang maupun susah. Terima
kasih atas dukungan dan hiburannya semoga kita dapat menjadi dokter yang
sukses
13. Teman-teman penulis, Gebry Nadira Rambe, Ning Indah Permatasari, Amalina
Fitrasari, Nurul Fathimah, Arga Prahastya Baswara, Retno Widyati, Prayoga
Anugerah, Nadia Syifa Bachmimsyah, Ayeesha Putri Zarifa, Putri Kumalaratri,
Nisrina Putri Anandiva, Noortieni Khariulisa, Wicitra Diwasasri yang telah
membantu penulis baik dalam penyusunan laporan penelitian maupun menjadi
teman yang selalu bersedia mendengarkan keluh kesah penulis selama
menempuh pendidikan preklinik. Terimakasih atas dukungannya
14. Teman-teman sejawat PSKPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
memberi motivasi kepada penulis dan telah berjuang bersama dari semester
satu hingga semester akhir, sehingga penulis dapat menyeselesaikan penelitian
ini dengan baik.
Semua pihak yang telah terlibat dalam pembuatan dan penulisan laporan penelitian
ini. Semoga segala kebaikan dan dukungan yang sudah diberikan oleh semua pihak
dapat dibalas dengan pahala dan kebaikan yang berlipat ganda dari Allah SWT dan
semoga laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat yang banyak.

Ciputat, Oktober 2017

Penulis

vi
ABSTRAK

Indira Khairunnisa Effendi. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Prevalensi
dan faktor risiko usia dan visus sebelum operasi dengan kejadian komplikasi
intraoperatif pada operasi EKEK Pasien Katarak Senilis di RSUP Fatmawati Tahun
2015-2017. Latar Belakang: Seiring bertambahnya usia, risiko penyakit degeneratif
seperti katarak senilis akan terus meningkat. Modalitas terapi utama katarak senilis
adalah operasi untuk mengganti lensa dengan lensa intraokular, salah satunya adalah
Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK) yang memiliki angka kejadian komplikasi
intraoperatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode fakoemulsifikasi.
Beberapa faktor risiko komplikasi intraoperatf adalah usia dan visus sebelum operasi
yang dapat menggambarkan progresivitas katarak dan dapat menjadi penyulit saat
operasi. Tujuan: Mengetahui prevalensi dan hubungan faktor risiko usia dan visus
sebelum operasi dengan kejadian komplikasi intraoperatif pada operasi EKEK pasien
katarak senilis. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang
dilakukan selama bulan Februari-Agustus 2017 di RSUP Fatmawati. Data sekunder
diambil dari rekam medik pasien katarak senilis yang dioperasi dengan metode EKEK
pada bulan Juni 2015-Mei 2017 dengan operator residen yang dibimbing oleh seorang
konsulen mata. Hasil: Responden berjumlah 34 mata yang dioperasi dari pasien yang
berusia ≥ 50 tahun, didapatkan 5 mata yang mengalami komplikasi intraoperatif.
Dilakukan analisis bivariat dengan uji korelasi chi square dan didapatkan hubungan
antara usia dan komplikasi intraoperatif dengan p value 0,219 dan nilai r 0,297, dan
hubungan antara visus sebelum operasi dan komplikasi intraoperatif dengan p value
0,592 dan nilai r -0,098. Kesimpulan: Prevalensi komplikasi intraoperatif EKEK yaitu
14,7% dan hubungan faktor risiko usia dan visus sebelum operasi dengan kejadian
komplikasi intraoperatif tidak signifikan.

Kata kunci: katarak senilis, EKEK, komplikasi intraoperatif, lansia, visus sebelum
operasi

ABSTRACT

Indira Khairunnisa Effendi. Medical Studies and Medical Educationi Program.


Prevalence and Risk Factors of age and preoperative visus with ECCE intraoperative
complications in senile cataract patients at RSUP Fatmawati within 2015-2017.
Background: As people get older, risk of degenerative disease such as senile cataract
is also increase. Main therapy of senile cataract is to replace the opaque lens with
intraocular lens (IOL) by surgery, which one of the methods is Extracapsular Cataract
Extraction (ECCE) that have higher incidence of intraoperative complications than

vii
phacoemulcification method. Some of the risk factors of intraoperative complications
are older age and preoperative visus that could represent the progressivity of senile
cataract and could be. Objective: Find out the prevalence and the risk factors of age
and preoperative visus with ECCE intraoperative complications in senile cataract
patients. Method: This study use cross sectional design which was held during
February-August 2017 at RSUP Fatmawati. Secondary datas were obtained from senile
cataract patients who undergone ECCE surgery within June 2015-May 2017 and
operated by resident guidanced by ophtamologist. Result: Number of respondent are
34 eyes whose patient’s age is ≥ 50 years old, 5 eyes experiencing intraoperative
complications. Bivariate analysis ware performed with chi square correlation test and
obetained p value 0,219 with correlative coefficient 0,297 for relationship between age
and intraoperative complications and p value 0,592 with correlative coefficient -0,098
for relationship between preoperative visus and intraoperative complications.
Conculsion: The prevalence of intraoperative complications is 14,7% and the
relationship between age and preoperative visus with intraoperative complications are
not significant.

Keyword: senile cataract, ECCE, intraoperative complications, old, preoperative visus

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................. i


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
1.3 Hipotesis............................................................................................................ 3
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 4

1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 4

1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 4

1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 6

2.1 Lensa Mata ........................................................................................................ 6

2.1.1 Anatomi Lensa ........................................................................................ 6

2.1.2 Histologi Lensa ....................................................................................... 7

2.13 Komposisi Lensa ..................................................................................... 9


ix
2.1.4 Metabolisme Lensa ............................................................................... 10

2.2 Katarak ............................................................................................................ 13

2.2.1 Definisi Katarak ................................................................................... 13

2.2.2 Faktor Risiko Katarak ........................................................................... 14

2.2.3 Klasifikasi Katarak ............................................................................... 14

2.2.4 Manifestasi Klinis Katarak ................................................................... 15

2.2.5 Penegakan Diagnosis Katarak .............................................................. 15

2.2.6 Katarak Senilis ...................................................................................... 16

2.2.6.1 Definisi Katarak Senilis ................................................................ 16

2.2.6.2 Faktor Risiko Katarak Senilis ....................................................... 16

2.2.6.3 Patogenesis Katarak Senilis .......................................................... 17

2.2.6.4 Patofisiologi Katarak Senilis ......................................................... 18

2.2.6.5 Stadium Katarak Senilis ................................................................ 19

2.2.7 Tata Laksana Katarak .......................................................................... 21

2.3 Ekstrasi Katarak Ekstra kapsular (EKEK) ...................................................... 23


2.4 Komplikasi Intraoperatif EKEK ..................................................................... 26
2.5 Tajam Penglihatan (Visus) .............................................................................. 29
2.6 Kerangka Teori................................................................................................ 31
2.7 Kerangka Konsep ............................................................................................ 31

BAB III: METODE PENELITIAN ................................................................... 35

3.1 Desain Penelitian ............................................................................................ 35


3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 35

3.2.1 Waktu penelitian ................................................................................... 35


x
3.2.2 Tempat penelitian ................................................................................. 35

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................................... 35

3.3.1 Populasi Target ..................................................................................... 35

3.3.2 Populasi Terjangkau ............................................................................. 36

3.3.3 Sampel .................................................................................................. 36

3.3.4 Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .................................. 36

3.4 Identifikasi Variabel ........................................................................................ 37

3.4.1 Variabel Bebas ...................................................................................... 37

3.4.2 Variabel Terikat ................................................................................... 37

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Subjek Penilitian .............................................. 37


3.6 Alur Penelitian ................................................................................................ 38
3.7 Manajemen Data ............................................................................................. 38

3.7.1 Pengolahan data .................................................................................... 38

3.7.2 Analisis Data......................................................................................... 39

3.7.2.1 Analisis Univariat.......................................................................... 39

3.7.2.2 Analisis Bivariat ............................................................................ 39

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 41

4.1 Karakteristik Responden ................................................................................. 41

4.1.1 Usia Responden .................................................................................... 41

4.1.2 Jenis Kelamin Responden ..................................................................... 42

4.1.3 Visus Sebelum Operasi Responden ...................................................... 43

xi
4.1.4 Komplikasi Intraoperatif Responden .................................................... 45

4.2 Korelasi antara Usia Pasien dengan Kejadian Komplikasi Intra operatif EKEK
......................................................................................................................... 47
4.3. Korelasi antara Visus Sebelum Operasi Pasien dengan Kejadian Komplikasi
Intraoperatif EKEK ......................................................................................... 50
4.4 Keterbatasan Penelitian ................................................................................... 53

BAB V: SIMPULAN DAN SARAN................................................................... 54

5.1 Simpulan ......................................................................................................... 54


5.2 Saran ................................................................................................................ 54

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56


LAMPIRAN ......................................................................................................... 59

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Stadium Katarak Senilis ........................................................................ 19


Tabel 2.2 Perbedaan Teknik Operasi EKIK, EKEK, dan fakoemulsifikasi .......... 22
Tabel 2.3 Perbandingan Risiko Komplikasi EKEK dan EKIK ............................. 23
Tabel 2.4 Kriteria Tajam Penglihatan (Visus) Menurut WHO ............................. 30
Tabel 4.1 Karakteristik Usia Responden ............................................................... 42
Tabel 4.2 Karakteristik Jenis Kelamin Responden ............................................... 43
Tabel 4.3 Karakteristik Visus Sebelum Operasi Responden................................. 44
Tabel 4.4 Karakteristik Komplikasi Intraoperatif Responden .............................. 46
Tabel 4.5 Tabulasi Silang antara Usia dengan Kejadian Komplikasi Intraoperatif47
Tabel 4.6 P value dan Koefisien Korelasi Usia dengan Kejadian Komplikasi
Intraoperatif ..................................................................................................... 49
Tabel 4.7 Tabulasi Silang antara Visus Sebelum Operasi dengan Kejadian Komplikasi
Intraoperatif ..................................................................................................... 50
Tabel 4.8 P value dan Koefisien Korelasi Visus Sebelum Operasi dengan Kejadian
Komplikasi Intraoperatif ................................................................................. 52

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bentuk dan Posisi Lensa pada Bola Mata ........................................... 6
Gambar 2.2 Anatomi Lensa .................................................................................... 9
Gambar 2.3 Mekanisme Pertukaran Air, Elektrolit, dan Bahan Kimia pada Lensa 13
Gambar 2.4 Katarak Senilis Stadium Insipien ...................................................... 19
Gambar 2.5 Katarak Senilis Stadium Imatur ........................................................ 20
Gambar 2.6 Katarak Senilis Stadium Matur ......................................................... 20
Gambar 2.7 Katarak Senilis Stadium Hipermatur ................................................. 20
Gambar 2.8 Teknik Kapsulotomi Anterior pada Operasi EKEK .......................... 24
Gambar 2.9 Langkah Operasi EKEK dengan PC-IOL ......................................... 26
Gambar 4.1 Frekuensi Usia Responden dalam Bentuk Diagram Batang ............. 42
Gambar 4.2 Frekuensi Jenis Kelamin Responden dalam Bentuk Diagram Batang43
Gambar 4.3 Frekuensi Visus Sebelum Operasi Responden dalam Bentuk Diagram
Batang ............................................................................................................. 45
Gambar 4.4 Frekuensi Komplikasi Intraoperatif Responden dalam Bentuk Diagram
Batang ............................................................................................................. 47
Gambar 4.5 Sebaran Frekuensi Komplikasi Intraoperatif Berdasarkan Usia Responden
......................................................................................................................... 48
Gambar 4.6 Sebaran Frekuensi Komplikasi Intraoperatif Berdsarkan Visus Sebelum
Operasi Responden.......................................................................................... 51

xiv
DAFTAR SINGKATAN

EKIK : Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular


EKEK : Ekstraksi Katarak Intra Kapsular
MIP : Major Intrinsic Protein
ROS : Reactive Oxygen Species
IOL : Intra Ocular Lens
AC-IOL : Anterior Chamber Intra Ocular Lens
PC-IOL : Posterior Chamber Intra Ocular Lens
OVD : Ocular Viscosurgical Device
BSS : Balanced Salt Solution
CF : Count Finger
HM : Hand Motion
LP : Light Perception
NLP : No Light Perception
WHO : World Health Organization
BPS : Badan Pusat Statistik

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Persetujuan Etik ....................................................................... 59


Lampiran 2 Surat Keterangan Izin Penelitian ....................................................... 60
Lampiran 3 Riwayat Penulis ................................................................................. 62

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan tertinggi di Indonesia1.
Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi katarak pada penduduk Indonesia
adalah sebesar 1,8%, dan perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau
setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak.
Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun
lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis, sekitar 16-22% penderita
katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun2.
Modalitas terapi utama katarak senilis adalah operasi yang bertujuan untuk
perbaikan tajam penglihatan sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.
Selama 30 tahun terakhir, bedah katarak telah mengalami perubahan drastis dan
perbaikan terus berlanjut dengan peralatan otomatis dan berbagai modifikasi lensa
tanam intraokular yang memungkinkan dilakukannya operasi melalui insisi kecil.
Berbagai pilihan metode operasi yang ada diantaranya Ekstraksi Katarak Intra
Kapsular (EKIK), Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK), dan
fakoemulsifikasi3. Pada saat ini teknik yang paling sering digunakan adalah
fakoemulsifikasi, namun operasi EKEK pun masih tetap digunakan untuk pasien
dengan lensa yang sangat keras atau mengalami kelainan endotel kornea4.
Dalam tindakan operatif maka sangat memungkinkan terjadinya komplikasi
baik intraoperatif maupun postoperatif. Secara umum, angka kejadian komplikasi
pada berbagai tahap operasi sudah berkurang, hampir 98% dari operasi katarak
dengan berbagai macam teknik berhasil tanpa menimbulkan komplikasi yang
serius5. Menurut penelitian oleh Hasan (2016), di Negara Iran prevalensi kejadian
komplikasi operasi katarak berkurang dari 6,95% pada tahun 2006 menjadi 3,07%
pada tahun 2010, sedangkan untuk komplikasi intraoperatif, prevalensi
kejadiannya di Iran sebesar 4,15%, sedangkan untuk tiap jenis komplikasinya
diurutkan dari yang paling tinggi prevalensinya adalah ruptur kapsul posterior

1
2

dengan vitreous prolapse (2,86%), ruptur kapsul posterior tanpa vitreous prolapse
(0,69%), suprakoroidal efusi / hemorargik (0,39%), nucleus drop (0,11%),
retrobulbar hemorargik (0,06%), dan dislokasi lensa intraokular (0,03%)6. Pada
penelitian ini, peneliti menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi intraoperatif yaitu operator residen,
teknik operasi selain fakoemulsifikasi, dan usia kurang dari 10 tahun atau lebih
dari 70 tahun. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Rehab Ismail & Ahmed
Sallam (2000) komplikasi intraoperatif yang paling sering terjadi di Inggris adalah
ruptur kapsul posterior dan vitreous prolapse dengan prevalensi 1,92%, kemudian
suprakoroidal hemorargik, dimana prevalensi pada teknik fakoemulsifikasi (0,72)
lebih kecil dibandingkan dengan teknik operasi lainnya7.
Terdapat pula beberapa penelitian yang meneliti beberapa komplikasi
intraoperatif yang spesifik dan dikaitkan dengan beberapa faktor risiko yang
diduga dapat mempengaruhi keberhasilan operasi dan angka kejadian komplikasi
intraoperatif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Zare (2009),
prevalensi terjadinya ruptur kapsul posterior dan vitreous prolapse adalah 7,9%
pada 767 pasien di Labbafinejad Medical Center. Risiko terjadinya ruptur kapsul
posterior dan vitreous prolaps meningkat hingga 5x apabila operator operasinya
merupakan residen8. Penelitian lain mengenai usia dilakukan oleh DK Berler
(2000) yang meneliti angka kejadian komplikasi intraoperatif pada pasien dengan
usia sangat tua (>88 tahun) dibandingkan dengan yang lebih muda (<88 tahun).
Hasilnya komplikasi intraoperatif yang paling sering terjadi adalah ruptur kapsul
posterior, vitreous prolaps, dan nucleus drop. Angka kejadian total pada pasien
sangat tua 10% dari 102 pasien, sedangkan pada kelompok usia yang lebih muda
3% dari 700 pasien9.
Penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa selain dari teknik operasi itu
sendiri, faktor-faktor lain seperti usia, dan operator dapat mempengaruhi angka
kejadian komplikasi intraoperatif pada pasien katarak senilis. Selain itu, peneliti
tertarik untuk melihat pengaruh faktor risiko lain seperti visus sebelum operasi
terhadap kejadian komplikasi intraoperatif karena visus sebelum operasi dapat
menggambarkan progresivitas stadium katarak apakah katarak imatur ataupun
matur yang berarti dapat menggambarkan bagaimana kondisi kekeruhan lensa dan
3

menyebabkan lensa semakin keras dan kaku, namun pada dasarnya visus tidak
dapat dijadikan indicator utama dalam menetapkan stadium katarak karena
penurunan visus dapat terjadi berdasarkan lokasi katarak, jika lokasi kekeruhan
berada pada visual axis maka visus akan semakin terpengaruh untuk menurun
meskipun masih berada pada stadium imatur. Berdasarkan hasil pencarian
ternyata belum ditemukan penelitian melihat korelasi antara kedua variabel
tersebut, ditambah lagi belum ditemukannya penelitian mengenai komplikasi
intraoperatif pada operasi katarak senilis dengan teknik EKEK yang dilakukan
oleh residen di Indonesia. Hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan usia dan visus sebelum operasi dengan kejadian komplikasi
intraoperatif pada pasien katarak senilis dengan teknik operasi EKEK, khususnya
yang dilakukan oleh residen pada pasien di RSUP Fatmawati tahun 2015-2017.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini
adalah
• Bagaimanakah angka kejadian komplikasi intraoperatif pada operasi
EKEK pasien katarak senilis di RSUP Fatmawati Tahun 2015-2017?
• Apakah terdapat hubungan usia dengan kejadian komplikasi intraoperatif
pada operasi EKEK pasien katarak senilis di RSUP Fatmawati Tahun
2015-2017?
• Apakah terdapat hubungan visus sebelum operasi dengan kejadian
komplikasi intraoperatif pada operasi EKEK pasien katarak senilis di
RSUP Fatmawati Tahun 2015-2017?

1.3 Hipotesis

• Komplikasi intraoperatif yang terjadi adalah ruptur kapsul posterior,


vitreous loss, dislokasi IOL, dan perdarahan suprakoroid.
4

• Terdapat hubungan antara usia dengan kejadian komplikasi intraoperatif


pada operasi EKEK pasien katarak senilis pada RSUP Fatmawati Tahun
2015-2017
• Terdapat hubungan antara visus sebelum operasi dengan kejadian
komplikasi intraoperatif pada operasi EKEK pasien katarak senilis pada
RSUP Fatmawati Tahun 2015-2017

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi komplikasi
intraoperatif dan hubungan faktor risiko usia dan visus sebelum operasi
dengan kejadian komplikasi intraoperatif pada operasi EKEK pasien katarak
senilis

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui prevalensi komplikasi intraoperatif yang paling sering terjadi
pada operasi EKEK pasien katarak senilis di RSUP Fatmawati Tahun
2015-2017
2. Mengetahui hubungan antara usia dengan kejadian komplikasi
intraoperatif pada operasi EKEK pasien katarak senilis pada RSUP
Fatmawati Tahun 2015-2017
3. Mengetahui hubungan antara visus sebelum operasi dengan kejadian
komplikasi intraoperatif pada operasi EKEK pasien katarak senilis pada
RSUP Fatmawati Tahun 2015-2017

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat bagi Peneliti
1. Meningkatkan kemampuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian
berbasis komunitas dengan metode potong lintang (cross sectional)
5

2. Mendapatkan pengetahuan mengenai prevalensi komplikasi pada pasien


katarak senilis setelah operasi EKEK di RSUP Fatmawati
3. Mendapatkan pengetahuan mengenai beberapa faktor risiko usia dan visus
sebelum operasi terhadap kejadian komplikasi intraoperatif pada pasien
katarak senilis dengan teknik operasi EKEK di RSUP Fatmawati
4. Sebagai salah satu syarat mendapat gelar Sarjana Kedokteran dari Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta

1.5.2 Manfaat bagi Perguruan Tinggi


1. Melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsi
dan tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat
2. Sebagai data awal bagi penelitian-penelitian selanjutnya terutama dalam
bidang kesehatan sistem penglihatan

1.5.3 Manfaat bagi RSUP Fatmawati


Sebagai data masukan dan evaluasi bagi RSUP Fatmawati untuk
memberikan edukasi kepada pasien katarak senilis mengenai faktor risiko usia
dan visus sebelum operasi terhadap komplikasi intraoperatif dengan teknik
EKEK

1.5.4 Manfaat bagi Masyarakat


1. Memberi informasi dan pengetahuan masyrakat terutama orang lanjut usia
(lansia) tentang pentingnya menjaga kesehatan sistem penglihatan
2. Memberikan informasi dan pengetahuan masyarakat luas tentang faktor
risiko usia dan visus sebelum operasi terhadap komplikasi intraoperatif
dengan teknik EKEK pada pasien katarak senilis di RSUP Fatmawati
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lensa Mata

2.1.1 Anatomi Lensa


Lensa mata adalah suatu massa dengan struktur bikonvek, avaskular,
transparan dan tidak mempunyai serabut saraf dan saluran limfatik. Lensa
memiliki berat sebesar 135 mg pada usia 0-9 tahun hingga 255 mg pada usia 40-
80 tahun, diameter sebesar 9-10 mm dan ketebalan sebesar 3,5 mm saat lahir
hingga 5 mm saat usia lanjut. Lensa memiliki radius kurvatura anterior 10 mm
dan radius kurvatura posterior 6 mm sehingga permukaan posterior lebih
cembung daripada permukaan anterior4,10.
Lensa terletak pada segmen posterior mata di antara permukaan posterior
iri dan bagian cekung pada corpus vitreous yang disebut fossa hyaloid. Lensa
bersama dengan iris membentuk diaragma optikal yang memisahkan segmen
anterior dan posterior mata, Lensa menggantung pada serabut serat kaya fibrin
yang berasal dari epitel siliaris pada korpus siliaris dan berinsersio pada kapsul
lensa anterior dan berinsersio pada kapsul lensa anterior dan posterior yang
disebut serabut zonula atau zonula zinii. Zonula zinii tersusun secara sirkular
mengelilingi lensa. Bagian lensa terdiri dari kapsul, epitel, nukleus dan
korteks5,10.

Gambar 2.1 Bentuk dan Posisi Lensa pada Bola Mata


Sumber: Lang GK. Ophthalmology: A Short Textbook. New York: Thieme
Stuttgard Publisher; 2000: P.170

6
7

2.1.2 Histologi Lensa


A. Kapsul Lensa
Kapsul lensa merupakan membran basement yang sangat tebal dan terdiri
dari kolagen tipe IV dan glikoprotein yang berfungsi melapisi isi lensa, yaitu
nukleus, korteks, dan epitel lensa. Kapsul lensa bersifat homgen, refraktil, semi
permeabel, dan kaya akan karbohidrat yang meliputi permukaan luar sel-sel
epitel. Kapsul lensa mampu berubah bentuk selama perubahan proses akomodasi
dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap pengaruh kimia. Ketebalan kapsul
lensa di bagian anterior 12-21 mikron, di bagian posterior 2-9 mikron dan di
ekuator 9-17 mikron. Ketebalan kapsul meningkat seiring dengan preoses
penuaan5,11.

B. Epitel Lensa
Epitel lensa terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada
permukaan anterior lensa. Sel epitel dapat melakukan mitosis, aktivitas
premitosis tertinggi terjadi di sekeliling lensa anterior yang diketahui sebagai
zona pertumbuhan. Sel yang baru dibentuk akan migrasi ke ekuator dan pada saat
sel-sel epitel migrasi ke arah bagian lengkung lensa, mereka memulai proses
diferensiasi terminal menjadi serabut-serabut lensa, dimana terjadi peningkatan
ukuran sel yaitu sel-sel epitel kolumnar. Perubahan tersebut disertai dengan
peningkatan protein selular yang disebut kristalin dalam membran masing-
masing sel serabut. Pada saat bersamaan terjadi pelepasan organel-organel yang
terdiri dari sel nukleus, mitokondria dan ribosom. Hilangnya organel ini
memberikan fungsi lensa yang tidak dapat menyerap atau membiaskan sinar
akibat adanya organel sehingga sinar dapat menembus lensa5,11

C. Nukleus dan Korteks


Lensa akan terus tumbuh dan membentuk serat lensa seumur hidup, tidak
ada sel-sel yang hilang dari lensa, serabut-serabut lensa yang baru terbentuk
bertumpuk dan tersusun rapat bersama dengan serabut yang terbentuk
sebelumnya, dimana lapisan yang paling awal terbentuk terletak di sentral.
8

Lapisan paling tua tersebut diproduksi selama kehidupan embrio dan akan
tetap berada di sentral lensa. Serabut-serabut lensa dibentuk dengan susunan
interdigitasi. Hal ini lah yang membentuk nukleus dan korteks lensa. Nukleus
lensa terdiri dari berbagai zona yang berbeda sesuai dengan usia serabut lensa
yaitu5:

• Nukleus embrionik
Bagian terdalam dari nucleus yang menyerupai lensa sampai dengan 3 bulan
masa gestasi. Nukleus embrionik terdiri dari serabut lensa primer yang terbentuk
dari elongasi sel dinding posterior dari vesikel lensa
• Nukleus Fetal
Nukleus fetal terletak melingkar diluar nucleus embrionik dan menyerupai
lensa dari 3 bulan masa gestasi hingga saat kelahiran. Bentuknya menyerupai
huruf Y pada bagian anterior dan huruf Y terbalik pada bagian posterior
• Nukleus Infantil
Nukleus infantil menyerupai lensa sejak lahir hingga masa pubertas
• Nukleus Dewasa
Nukleus dewasa menyerupai serabut lensa sejak pubertas dan bertahan
selamanya
• Korteks
Bagian terluar yang terdiri dari serabut termuda yang baru terbentuk

D. Zonula Zinii
Lensa difiksasi oleh serabut zonula yang berasal dari lamina basalis epitel
non pigmen korpus siliaris pars plikata. Zonula melekat pada kapsul anterior dan
posterior lensa menuju ekuator. Masing-masing serabut zonula terdiri dari
serabut kolagen multipel yang menyatu dengan kapsul lensa. Serat zonula serupa
dengan myofibril serat elastin. Sistem ini penting untuk proses akomodasi, yang
dapat memfokuskan objek dekat dan jauh dengan mengubah kecembungan
lensa5,11.
9

Gambar 2.2 Anatomi Lensa


Sumber: Lang GK. Ophthalmology: A Short Textbook. New York: Thieme
Stuttgard Publisher; 2000: P. 171

2.13 Komposisi Lensa


Lensa manusia terdiri atas air sebanyak 65%, protein dengan konsentrasi
35% dari berat lensa, dan sedikit mineral. Kadar protein tersebut menyebabkan
lensa sebagai organ dengan kandungan protein tertinggi dibandingkan dengan
seluruh jaringan tubuh. Selain itu lensa juga memiliki kandungan kalium yang
lebih tinggi dibandingkan jaringan lain3. Protein lensa dibagi menjadi dua
berdasarkan kelarutannya dalam air, 80% dari protein tersebut merupakan protein
hidrofilik (water-soluble) yang merupakan bagian terbesar pembentuk kristalin
dan hidrofobik (water-insoluble). Kristalin adalah protein intraselular yang
terdapat pada epithelium dan membrane plasma dari sel serat lensa. Kristalin
terbagi atas kristalin alpha (α), beta (β), dan gamma (γ). Kristalin alpha
membentuk 32% dari protein lensa dan merupakan protein dengan berat molekul
yang paling besar yaitu sebesar 600-4000 kDa bergantung pada kecenderungan
subunitnya untuk beragrerasi. Kristalin alpha merupakan gabungan dari 4 subunit
mayor dan 9 subunit minor. Setiap polipetida subunit memiliki berat molekul 20
kDa. Rantai ikatannya merupakan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik.
Kristalin alpha terlibat dalam transformasi sel epitel menjadi serat lensa. Laju
sintesis kristalin alpha tujuh kali lebih cepat di sel epitel daripada di bagian
korteks, mengindikasikan penurunan laju sintesis setelah transformasi. Kristalin
beta dan gamma memiliki rangkaian asam amino homolog dan struktur yang saam
10

sehingga dapat digabungkan sebagai satu famili protein. Kristalin beta sebesar
55% dari protein hidrofilik pada protein lensa. Protein lensa hidrofobik dapat
dibagi menjadi dua, yaitu protein yang larut dalam urea dan yang tidak larut
dalam urea. fraksi yang larut dalam urea terdiri atas protein sitoskeletal yang
berfungsi sebagai rangka struktural sel lensa. Fraksi yang tidak larut urea terdiri
atas membrane plasma serat lensa. Major Intrinsic Protein (MIP) atau aquaporin-
0 adalah protein yang menyusun plasma membran sebesar 50%. MIP pertama kali
muncul di lensa ketika serat lensa mulai memanjang dan dapat di jumpai di
membran plasma di seluruh masa lensa. MIP tidak di jumpai di sel epitel, maka
dari itu MIP berhubungan dengan diferensiasi sel menjadi serat lensa. Aquaporin
pada membran serat lensa lensa berfungsi sebagai kanal ion untuk difusi nutrisi,
mineral, dan air menuju lensa. Aquaporin juga berfungsi untuk melakukan
transpor aktif natirum, kalium, kalsium dan asam amino dari aqueous humor
begitu pula yang terjadi pada kapsul posterior melalui proses difusi pasif. Hal ini
menyebabkan terjadinya homeostasis untuk kejernihan lensa dan kestabilan
komposisi air lensa terhadap aqueous humor. Semakin meningkatnya usia,
kompoisisi air semakin berkurang dan fraksi protein hidrofobik akan meningkat
sehingga membentuk agregasi pratikel besar yang menyebabkan lensa menjadi
tidak tembus cahaya, keras, tidak elastis untuk akomodasi mata, dan keruh.
Kejadian ini tidak dapat dihindari seperti halnya keriput di kulit dan timbulnya
uban. Berkurangnya transparansi lensa umumnya terjadi pada 95% manusia
dengan usia diatas 65 tahun. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa konversi dari
protein yang hidrofilik menjadi hidrofobik merupakan proses alami maturasi
serabut lensa5,12,13.

2.1.4 Metabolisme Lensa


Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah mempertahankan transparansi
lensa. Lensa mendapatkan energi utama melalui metabolisme glukosa anaerobik.
Komponen penting lain yang dibutuhkan lensa adalah bentuk NADPH tereduksi
yang didapatkan melalui jalur pentosa yang berfungsi sebagai agen pereduksi
dalam biosintesis asalm lemak dan glutation. Metabolisme berbagai zat di lensa
adalah sebagai berikut12–14:
11

1. Metabolisme gula
Glukosa memasuki lensa dari aqueous humor melalui difusi sederhana dan
difusi terfasilitasi. Kurang lebih 90-95% glukosa yang masuk ke lensa
difosforilasi oleh enzim heksokinase menjadi glukosa-6-fosfat. Heksokinase akan
tersaturasi oeh kadar glukosa normal pada lensa sehingga apabila kadar glukosa
normal telah tercapai, maka reaksi ini akan terhenti. Glukosa-6-fosfat yang
terbentuk ini akan digunakan di jalur glikolisis anaerob dan jalur pentosa fosfat.
Walaupun hanya 3% dari glukosa masuk ke siklus krebs, tetapi siklus ini
menghasilkan 25% dari seluruh ATP yang dibutuhkan lensa. Jalur lain yang
melakukan metabolisme glukosa-6-fosfat adalah jalur pentosa fosfat. 5% dari
seluruh glukosa lensa di metabolisme oleh jalur ini dapat distimulasi oleh
peningkatan kadar glukosa. Aktivitas jalur pentosa fosfat di lensa lebih tinggi
dibandingkan di jaringan lain untuk menghasilkan banyak NADPH yang
berfungsi untuk mereduksi glutation. Jalur lain yang berperan dalam metabolisme
glukosa di lensa adalah jalur sorbitol. Ketika kadar glukosa meningkat, seperti
pada keadaan hiperglikemik, jalur sorbitol akan lebih aktif daripada jalur
glikolisis sehingga sorbitol akan terbentuk dan terakumulasi. Glukosa akan diubah
menjadi sorbitol dengan bantuan enzim yang berada di permukaan epitel yaitu
aldosa reduktase. Lalu sorbitol akan di metabolisme menjadi fruktosa oleh enzim
sorbitol dehidrogenase. Selanjutnya sorbitol dan fruktosa akan menyebabkan
tekanan osmotik meningkat dan akan menarik air sehingga lensa akan
menggembung, sitoskeletal akan mengalami kerusakan, dan lensa menjadi keruh.

2. Metabolisme protein
Konsentrasi protein lensa adalah konsentrasi protein yang tertinggi dari
seluruh jaringan tubuh. Sintesis protein lensa berlangsung seumur hidup. Sintesis
protein utama adalah protein kristalin dan Major Intrinsic Protein (MIP). Sintesis
protein hanya berlangsung di sel epitel dan di permukaan serabut kortikal. Lensa
protein dapat stabil dalam waktu yang panjang karena sebagian besar enzim yang
mendegradasi protein dalam keadaan normal dapat diinhibisi.
12

3. Glutation
Glutation (L-γ-glutamil-L-sisteinglisin) dijumpai dalam konsetrasi besar di
lensa terutama di lapisan epitelial. Fungsi glutation adalah mempertahankan
transparansi lensa dengan cara mencegah kristalin dan melindungi dari kerusakan
oksidatif. Glutation memiliki waktu paruh 1-2 hari dan di daur ulang pada siklus
γ-glutamil. Sintesis dan degradasi glutation berlangsung dalam kecepatan yang
sama. Glutation di dintesis dari L-glutamat, L-sisteinn dan glisin dalam dua tahap
yang membutuhkan 11-12% ATP lensa. Glutation tereduksi juga didapatkan dari
aqueous humor melalui transport aktif. Pemecahan glutation mengeluarkan asam
amino yang akan di daur ulang untuk pembentukan glutation selanjutnya

4. Metabolisme antioksidan
Lensa dapat mengalami kerusakan akibat radikal bebas seperti ROS (Reactive
Oxygen Species). ROS adalah sebutan untuk sekelompok radikal oksigen yang
sangat reaktif, merusak lipid, protein, karbohidrat dan asam nukleat. Mekanisme
kerusakan yang diakibatkan oleh ROS adalah peroksidasi lipid membran
membentuk malondialdehida, yang akan membentuk ikatan silang antara protein
dan lipid membrane sehingga sel menjadi rusak. Polimerasi dan ikatan silang
protein tersebut menyebabkan agregasi kristalin dan inaktivasi enzim yang
berperan dalam mekanisme antioksidan seperti katalse dan glutation redukatase.
Lensa memiliki beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi dari radikal
bebas seperti glutation peroksidase, katalase, dan superoksida.

5. Metabolisme Pengaturan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit


Aspek fisiologi yang terpenting dalam menjaga transparansi lensa adalah
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Transparansi lensa sangat
bergantung pada komponen struktural dan makromolekular. Selain itu, hidrasi
lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa. Lensa mempunyai kadar kalium dan
asam amino yang tinggi dibandingkan aqueous humor dan vitreous humor dan
memiliki kadar natrium dan klorida yang lebih rendah dibandingkan sekitarnya.
Keseimbangan elektrolit diatur oleh permeabilitas dan pompa natrium dan kalium
(Na-K-ATPase). Pompa ini berfungsi memompa natrium keluar dan memompa
13

kalium untuk masuk. Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran
di lesna disebut teori pompa bocor. Kalium dan asam amino ditransportasikan ke
dalam lensa secara aktif ke anterior lensa melalui epithelium. Lalu kalium dan
asam amino akan berdifusi melalui bagian posterior lensa. Sedangkan natrium
masuk ke dalam lensa di bagian posterior lensa secara difusi dan keluar malui
bagian anterior lensa secara aktif.

Gambar 2.3 Mekanisme pertukaran air, elektrolit, dan bahan kimia pada lensa
Sumber: Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition. New
Delhi: New Age International (P) Ltd. Publisher; 2007: P.169

2.2 Katarak

2.2.1 Definisi Katarak


Katarak berasal dari bahasa Latin, cataracta, atau dalam bahasa Yunani,
kataraktes, yang artinya terjun seperti air. Kata ini ditafsirkan dari buku-buku
Arab “Nuzul EL Ma” yang berarti air terjun. Istilah ini dipakai oleh orang Arab
sebab orang-orang dengan kelainan ini mempunyai penglihatan yang seolah-
olah terhalang oleh air terjun15.
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat
14

kedua-duanya. Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif


ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama3.
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat
juga akibat kelainan kongenital, atau penyulit penyakit mata lokal menahun.
Bermacam-macam penyakit mata dapat mengakibatkan katarak seperti
glaukoma, ablasi, uveitis, retinitis pigmentosa bahan toksis khusus. Katarak
dapat berhubungan dengan proses penyakit intraokular lainnya. Kelainan
sistemik atau metabolik yang dapat menimbulkan katarak adalah diabetes
melitus, galaktosemia, dan distrofi miotonik14.

2.2.2 Faktor Risiko Katarak


Beberapa faktor yang merupakan penyebab terbentuknya katarak lebih cepat.
Seperti15:
1. Diabetes melitus
2. Radang mata
3. Trauma mata
4. Riwayat keluarga dengan katarak
5. Pemakaian steroid oral jangka panjang
6. Pembedahan mata lainnya
7. Radiasi sinar ultraviolet dan infra merah

2.2.3 Klasifikasi Katarak


Berdasarkan usia katarak yang diklasifikasikan dalam15:
1. Katarak kongenital: katarak yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun
2. Katarak juvenil: katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
3. Katarak senilis: katarak setelah usia 50 tahun.
Bila mata sehat dan tidak terdapat kelainan sistemik maka hal ini biasanya
terdapat pada hampir semua katarak senilis, katarak herediter, dan katarak
kongenital
15

2.2.4 Manifestasi Klinis Katarak


Akibat perubahan opasitas lensa, terdapat berbagai gangguan pada
penglihatan termasuk10,14:
1. Penurunan tajam penglihatan secara perlahan (progresif). Penurunan tajam
penglihatan akibat katarak senilis memiliki beberapa ciri khas yaitu tidak
nyeri dan menurun secara perlahan dan progresif. Pasien dengan kekeruhan
lensa yang terletak di bagian sentral akan mengalami penurunan tajam
penglihatan yang lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang mengalami
kekeruhan lensa di bagian perifer. Selain itu pada pasien dengan kekeruhan
lensa di bagian perifer akan merasa penglihatannya lebih baik saat cahaya
terang dimana pupil akan berkontraksi. Semakin keruh lensa maka tajam
penglihatan akan semakin berkurang hingga sampai kepada persepsi cahaya
dan proyeksi sinar yang akurat.
2. Sensasi silau (glare). Sensasi silau merupakan salah satu gejala yang pertama
kali dirasakan mengganggu oleh pasien. Opasitas lensa mengakibatkan rasa
silau karena cahaya dibiaskan akibat perubahan indeks refraksi lensa,
keparahan sensasi silau dapat berbeda pada tiap pasien akibat perbedaan
lokasi dan luas kekeruhan lensa
3. Penurunan sensitivitas kontras. Pasien mengeluhkan sulitnya melihat benda
diluar ruangan pada cahaya terang atau sulit saat melihat cahaya langsung
dari lampu kendaraan.
4. Melihat halo berwarna sekitar sinar. Hal ini dapat terjadi akibat adanya
agregasi air di lensa yang menyebabkan terjadinya pembiasan cahaya putih
menjadi spektrum warna.
5. Diplopia monokular: penglihatan ganda umumnya terjadi dikarenakan adanya
perbedaan infeks refraksi antara satu bagian lensa yang mengalami kekeruhan
dengan bagian lensa lainnya.
6. Sukar melihat dimalam hari atau penerangan redup

2.2.5 Penegakan Diagnosis Katarak


Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan oftamologi15
16

1. Anamnesis: riwayat perjalanan penyakit pasien


2. Tajam penglihatan (visus) dengan dan tanpa koreksi pinhole occluder
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter atau slit lamp didapatkan
kekeruhan lensa. Pemeriksaan Shadow test dengan membuat sudut 45° arah
sumber cahaya (senter) dengan dataran iris. Bayangan iris yang jatuh pada
lensa, menunjukkan shadow test (+) yang berarti katarak masih imatur.
Sementara shadow test (-) menunjukkan katarak sudah matur
4. Pemeriksaan refleks pupil langsung dan tidak langsung (+). Bila terdapat
relative afferent pupillary defect, perlu dipikirkan adanya kelainan patologis
lain yang mengganggu tajam penglihatan pasien.
5. Funduskopi jika memungkinkan.

2.2.6 Katarak Senilis

2.2.6.1 Definisi Katarak Senilis


Katarak senilis atau age-related cataract adalah katarak yang paling sering
ditemukan diantara jenis katarak lainnya. katarak senilis adalah semua kekeruhan
lensa yang terdapat pada usia lanjut yaitu usia diatas 50 tahun. Pada usia diatas
70 tahun hampir 90% mengalami perkembangan katarak senilis. Tidak terdapat
perbedaan tingkat kejadian katarak pada pasien laki-laki maupun perempuan.
Katarak senilis umumnya terjadi bilateral namun pada umumnya onset gejala
klinis pada salah satu mata terjadi lebih cepat. Secara morfologi katarak senilis
terbagi menjadi dua yaitu katarak kortikal (soft cataract) dan katarak nuclear
(hard cataract), seringkali pada mata yang sama terjadi baik katarak kortikal
maupun katarak nuklear sehingga sulit untuk mendapatkan perbedaan frekuensi
diantara keduanya4,5,14

2.2.6.2 Faktor Risiko Katarak Senilis


Faktor risiko utama pada katarak senilis adalah proses penuaan terutama
pada pasien dengan usia diatas 50 tahun15. Meskipun belum terdapat penjelasan
etiopatologi yang jelas namun terdapat beberapa faktor yang diperkirakan dapat
mempengaruhi onset, tipe, dan maturasi katarak senilis diantaranya10:
17

1. Hereditas. Riwayat penyakit keluarga terkait katarak dapat mempengaruhi


kecepatan munculnya onset pada usia tertentu
2. Radiasi ultraviolet (UV). Berdasarkan berbagai studi epidemiologi,
didapatkan bahwa tingginya paparan sinar ultraviolet dari sinar matahari
dapat mempengaruhi kecepatan onset dan proses maturasi katarak senilis
3. Nutrisi. Pola makan rendah protein, asam amino dan vitamin (riboflavin,
vitamin E, vitamin C) dapat menyebabkan kurangnya zat antioksidan
sehingga radikal bebas lebih cepat merusak sel-sel lensa.
4. Merokok. Selain tinggi nya radikal bebas, merokok juga dapat menyebabkan
akumulasi 3 hidroksikynurinin dan kromosfor yang merupakan molekul
berpigmen dan dapat menyebabkan lensa menjadi kekuningan, kandungan
sianat pada rokok juga dapat mengakibatkan denaturasi protein lensa

2.2.6.3 Patogenesis Katarak Senilis


Patogenesis katarak senilis bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya
dimengerti. Seiring bertambahnya usia, peningkatan radikal bebas akan
menimbulkan kerusakan pada setiap jaringan tubuh, apalagi karena pengaruh
lingkungan atau dari kurangnya aktivitas antioksidan alami dalam tubuh.
Semakin lama semakin jelas bahwa oksidasi dari protein lensa adalah salah satu
faktor penting dengan kejadian katarak. Serat-serat protein halus yang
membentuk lensa internal bersifat bening. Ketika protein rusak, keseragaman
struktur ini akan menghilang dan serat-serat yang seharusnya berfungsi untuk
meneruskan cahaya menjadi terpancar bahkan terpantul. Kerusakan lensa akibat
radikal memang tidak langsung tetapi sangat kuat terutama adanya perbedaan
kadar antioksidan di dalam tubuh penderita katarak dan mereka yang tetap
memiliki kejernihan lensa. Salah satu penelitian yang di publikasikan oleh British
Medical Journal mendapatkan hasil dari analisis darah untuk mengetahui kadar
vitamin E dan beta karoten. Beta karoten merupakan pigmen yang berwarna
jingga yang terdapat di dalam wortel dan sayuran yang di dalam hati akan diubah
menjadi vitamin A. hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar
vitamin E dan beta karoten dengan kemungkinan mengalami katarak. Pada
kelompok katarak diperoleh kadar antioksidan yang rendah. Kerusakan protein
18

akibat kehilangan elektron oleh radikal bebas mengakibatkan sel-sel jaringan


protein lensa menjadi rusak sehingga mengakibatkan katarak12,15.
Penuaan juga dapat menyebabkan lensa bertambah berat dan tebal sehingga
kemampuan akomodasinya menurun. Saat lapisan baru dari serabut korteks
terbentuk secara konsentris, sel-sel tua yang tidak dibuang akan menumpuk ke
arah tengah sehingga nukleus lensa mengalami penekanan dan pengerasan
(sklerosis nuklear). Beberapa temuan menunjukkan bahwa kristalin (protein
lensa) mengalami modifikasi dan agregasi kimia menjadi high molecullar-
weight-protein. Agregasi protein ini akan menyebabkan fluktuasi mendadak pada
indeks refraksi lensa, penyebaran sinar cahaya, dan penurunan transparansi.
Perubahan kimia protein lensa nuklear ini juga dapat menyebabkan perubahan
warna lensa menjadi kuning atau kecoklatan, selain itu dapat pula ditemukannya
vesikel antara lensa, dan pembesaran sel epitel. Perubahan lain yang juga muncul
adalah perubahan fisiologi kanal ion pada lensa yang dapat mengakibatkan
katarak13.
Katarak komplikata merupakan katarak yang timbul akibat penyakit mata
lain atau penyakit sistemik. Berbagai kondisi yang dapat mengakibatkan
terjadinya katarak sekunder adalah uveitis anterior kronis, glaukoma akut, miopia
patologis, dan diabetes melitus merupakan penyebab yang paling umum.
Penggunaan obat-obatan (steroid) dan trauma, baik trauma tembus, trauma
tumpu, kejutan listrik, radiasi sinar ultraviolet dan inframerah juga dapat
mengakibatkan kekeruhan lensa atau katarak15.

2.2.6.4 Patofisiologi Katarak Senilis


Kekeruhan lensa ini mengakibatkan lensa tidak transparan dan terjadi
perubahan indeks refraksi lensa, sehingga pupil akan berwarna putih atau abu-
abu. Pada mata akan tampak kekeruhan lensa dalam bermacam-macam bentuk
dan tingkat. Kekeruhan ini juga dapat ditemukan pada berbagai lokalisasi di
lensa seperti korteks, nukleus, dan subkapsularis posterior5.
19

2.2.6.5 Stadium Katarak Senilis

Tabel 2.1 Stadium Katarak Senilis5,15


Insipien Imatur Matur Hipermatur

Kekeruhan Ringan sebagian seluruh Masif

Cairan lensa Normal Bertambah normal Berkurang (air


(air masuk) + massa lensa
keluar)

Iris Normal Terdorong normal Termulans

Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam


depan

Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka


mata

Shadow test Negatif Positif Negatif Pseuodopositif

Tajam 0.8-1.0 0.4-0.5 0.02-0.1 <0.1


penglihatan
(visus)

Gambar 2.4 Katarak Insipien


Sumber: Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition. New
Delhi: New Age International (P) Ltd. Publisher; 2007: P.178
20

Gambar 2.5 Katarak Imatur


Sumber: Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition. New
Delhi: New Age International (P) Ltd. Publisher; 2007: P.177

Gambar 2.6 Katarak Matur


Sumber: Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition. New
Delhi: New Age International (P) Ltd. Publisher; 2007: P. 177

Gambar 2.7 Katarak Hipermatur


Sumber: Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. fourth. New Delhi: New
Age International (P) Ltd. Publisher; 2007: P.177
21

2.2.7 Tata Laksana Katarak


Tata laksana utama katarak adalah pembedahan. Tidak ada manfaat dari
suplementasi nutrisi atau terapi farmakologi dalam mencegah atau
memperlambat progresivitas dari katarak. Metode pembedahan yang saat ini
umum digunakan adalah ekstraksi katarak. Ekstraksi katarak adalah cara
pembedahan dengan mengangkat lensa yang terkena katarak. Dapat dilakukan
dengan intrakapsular yaitu mengeluarkan lensa bersama dengan kapsul lensa atau
ekstrakapsular yaitu mengeluarkan isi lensa (korteks dan nukleus) melalui kapsul
anterior yang dirobek (kapsulotomi anterior) dengan meninggalkan kapsul
posterior. Tindakan bedah ini pada saat ini dianggap lebih baik karena
mengurangi beberapa komplikasi. Setelah pembedahan, lensa diganti dengan
kacamata afakia, lensa kontak atau lensa tanam intraokular. Selain itu biasanya
diberikan pula kombinasi antibiotik dan steroid tetes mata 6 kali sehari hingga 4
minggu pasca operasi3,15

Indikasi bedah4,14:
1. Penurunan fungsi penglihatan yang tidak dapat lagi ditoleransi pasien karena
mengganggu aktivitas sehari-hari
2. Adanya anisometropia yang bermakna secara klinis
3. Kekeruhan lensa menyulitkan pemeriksaan segmen posterior
4. Terjadi komplikasi terkait lensa seperti peradangan atau glaukoma sekunder

Metode Pembedahan3,15,16:
1. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK). Teknik pengikisan isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa
dan korteks lensa dapat keluar melalui insisi 9-10 mm tanpa mengangkat
kapsul posterior lensa.
2. Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (EKIK). Pembedahan dengan
mengeluarkan seluruh lensa beserta dengan kapsul posterior.
3. Fakoemulsifikasi. Pembedahan dilakukan dengan menggunakan vibrator
ultrasonik genggam untuk menghancurkan nukleus yang keras hingga
substansi nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui insisi 2,5-3 mm.
22

Tabel 2.2 Perbedaan Teknik Operasi EKIK, EKEK, dan Fakoemulsifikasi4


Teknik EKIK EKEK Fakoemulsifikasi

Indikasi Zonula lemah • Lensa sangat Bermacam tipe


keras katarak

• Kelainan
endotel kornea

Dilatasi pupil Diperlukan Diperlukan Diperlukan

Insisi 10-12 mm, 180 ˚ 6-10 mm, 120 ˚ 3,2-3,5 mm, 30˚

Metode
pengangkatan lensa
• Tidak • Teknik can- • Teknik hexis
• Kapsulotomi dilakukan opener dan
• Teknik
teknik lainnya
• Pengangkatan • Bersama fakoemulsifikasi
nukleus dengan • Manual
• Irigasi dan
seluruh bagian Sliding
• Pengangkatan aspirasi secara
lensa
korteks • Irigasi dan otomatis
• Tidak aspirasi secara
dilakukan manual atau
otomatis

Lensa intraokular AC-IOL PC-IOL “in the PC-IOL “in the


bag” bag”

Jahitan Diperlukan 5-7 Diperlukan 3-5 Tidak diperlukan


jahitan secara jahitan secara jahitan
kontinu atau kontinu atau
berjarak berjarak
23

2.3 Ekstrasi Katarak Ekstra kapsular (EKEK)


Teknik yang saat ini umum digunakan dalam operasi katarak senilis yaitu
EKEK dengan implantasi posterior-chamber IOL (PC-IOL). Teknik ini telah
menggantikan EKIK yang dianggap memiliki lebih banyak komplikasi. Kapsul
posterior dan sebagian kapsul anterior lensa tetap dipertahankan sedangkan
nukleus diangkat dengan teknik aspirasi dan irigasi dalam teknik operasi EKEK.
Pembedahan EKEK cukup baik untuk pasien katarak senilis yang mengalami
pengerasan nukleus sehingga perlu dilakukan ekstraksi lensa dan untuk pasien
yang mengalami miopia tinggi dengan degenerasi vitreous humor. Teknik EKEK
saat ini dianggap lebih baik dibandingkan dengan EKIK dari segi keamanan dan
komplikasi yang ditimbulkan. Berikut adalah tabel perbandingan risiko yang
ditimbulkan operasi EKEK dan EKIK3,4,16

Tabel 2.3 Perbandingan Risiko Komplikasi EKIK dan EKEK4


EKIK EKEK
Risiko Vitreous Ada Risiko relatif rendah
loss karena kapsul posterior
lensa dipertahankan
Risiko glaukoma Dapat terjadi jika terdapat Jarang terjadi
afakik vitreous loss atau akibat
blockade pupil
Risiko retinal Angka insidensi lebih Angka insidensi lebih
Detatchment tinggi rendah
Implantasi IOL Hanya dapat dilakukan Dapat dilakukan implantasi
implantasi AC-IOL baik AC-IOL maupun PC-
IOL

Tahapan operasi EKEK meliputi4,10,14:


1. Anastesi topikal dan lokal subkonjungtiva dengan lidokain 2%
2. Mata diberi antiseptik dengan mengoleskan povidone-iodine lotion 5% pada
kulit kelopak mata dan diteteskan sebanyak 1 tetes pada saccus konjungtiva
untuk menghilangkan flora normal
24

3. Letakkan Plastic drape pada bagian kulit dan sekitar kelopak mata sebagai
isolator antara bagian yang akan dioperasi, plastic drape bersifat steril dan
dapat menempel sendiri pada bagian kulit di sekitar mata. Kemudian
speculum dipasang untuk menjaga kelopak mata tetap terbuka
4. Rektus superior difiksasi dengan bridle suture untuk menjaga posisi bola mata
berada di bawah
5. Lakukan fornix-based conjungtival flap untuk mengekspos limbus, dapat
terjadi perdarahan, jaga hemostasis menggunakan wet field cautery. Pada
beberapa operasi flap konjungtiva tidak dilakukan
6. Insisi limbus dengan alur melingkar dan kedalaman dua per tiga pada arah jam
10-12 (120˚) menggunakan razor blade knife untuk membuka segmen
anterior. Sebagai metode alternative untuk membuka segmen anterior dapat
dilakukan korneoskleral section sebesar 2-3 mm dan small buttonhole
peripheral iredektomi pada arah jam 12.
7. Substansi viskoelsastis atau OVD (Ocular Viscosurgical Device) yang terdiri
dari 2% hidroksipropil metilselulosa , 1% natrium hialuronat, dan kondroitin
sulfat di injeksi kedalam bilik anterior untuk menjaga kestabilan bilik anterior
dan proteksi endotelium
8. Lakukan anterior kapsulotomi. Berbagai teknik insisi dapat dilakukan
diantaranya can-opener technique, envelope technique, linear technique, dan
continuous curvilinear capsulorrhexis. Teknik yang saat ini umum digunakan
adalah can-opener technique yaitu dengan cara membuat inisisi dengan jarum
26 G secara radial pada bagian kapsul anterior dengan bentuk menyerupai
tutup botol.

Gambar 2.8 Teknik Anterior Kapsulotomi pada Operasi EKEK


Sumber: ogi R. Basic Ophthalmology. fourth. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd.; 2009: P. 229
25

9. Pelebaran insisi korneoskleral hingga 8-10 mm menggunakan enlarging


scissors
10. Lakukan hidrodiseksi dengan injeksi Balanced Salt Solution (BSS) ke dalam
bagian bawah perifer kapsul anterior untuk memisahkan kapsul dan korteks
lensa.
11. Pengeluaran nukleus lensa, terdapat 2 cara untuk mengeluarkan nukleus lensa
yaitu pressure and counter-pressure method atau irrigating wire vectis
technique menggunakan lens hook dan spatula
12. Aspirasi korteks menggunakan two-way irrigation aspiration cannula (Simcoe
aspiration irrigation cannula)
13. Kantung kapsul lensa digembungkan melalui injeksi susbtansi viskoelastis
14. Implantasi Posterior Chamber-Intraocular Lens (PC-IOL)
15. Aspirasi susbtansi viskoelastisitas dengan two-way cannula dan bilik anterior
diisi dengan BSS
16. Penutupan insisi korneoskleral dengan jahitan sebanyak 3-5 menggunakan
benang nilon 10.0 monofilamen
17. Flap konjungtiva di reposisi kembali dan penjagaan hemostasis dengan wet
field cautery
18. Injeksi deksametason 0,25 ml dan gentamisin 0,5 ml subkonjungtival sebagai
antibiotic profilaksis
19. Patching dengan pad and sticking plaster or bandage
26

Gambar 2.9 Langkah Operasi EKEK dengan PC-IOL


(Keterangan: A. Teknik kaspsulotomi can-opener anterior; B. Pengambilan kapsul
anterior lensa; C. Insisi korneoskleral; D. Pengambilan nucleus lensa dengan
metode pressure and counter-pressure); E. Aspirasi korteks lensa; F. Penyisipan
bagian inferior PC-IOL; G. Penyisipan bagian superior PC-IOL; H. implantasi
PC-IOL; I. penjahitan korneskleral)
Sumber: Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Fourth Ed. New
Delhi: New Age International (P) Ltd. Publisher; 2007: P.190

2.4 Komplikasi Intraoperatif EKEK


Komplikasi merupakan salah satu outcome yang dinilai dalam melihat
efektifitas teknik operasi. Secara umum, angka kejadian komplikasi pada berbagai
tahap operasi sudah berkurang, hampir 98% dari operasi katarak dengan berbagai
macam teknik berhasil tanpa menimbulkan komplikasi yang serius. Komplikasi
dapat terjadi pada berbagai tahap mulai dari preoperatif, intraoperatif, dan
postoperatif (early / delayed). Komplikasi intraoperatif yang umumnya terjadi
adalah:
27

1. Ruptur kapsul posterior


Komplikasi intraoperatif yang paling sering terjadi adalah ruptur kapsul
posterior lensa. Hal ini dapat berujung kepada kompliasi yang serius seperti
dropped nucleus dan vitreous loss yang juga dapat menyebabkan retinal
detatchment sehingga mempersulit implantasi IOL. Berdasarkan The UK National
Database of Cataract Surgery didapatkan prevalensi kejadian rupture kapsul
posterior sebesar 1,92%. Dari database tersebut dapat di identifikasi faktor risiko
yang dapat menyebabkan ruptur kapsul posterior diantaranya adalah usia diatas 90
tahun (OR: 2,37), jenis kelamin laki-laki (OR: 1,28), mengalami pseudoeksfoliasi
(OR: 2,92), dan tingkat operator operasi (OR: 3,73)17. Ruptur kapsul posterior
biasanya terjadi akibat cedera dari instrumen operasi dan dapat terjadi pada tahap
operasi manapun, selain itu adanya blokade pada kapsul lensa akibat hidroseksi
yang terlalu kuat dan berlebihan juga dapat menyebabkan ruptur kapsul posterior.
Kasus yang lebih jarang terjadi saat aspirasi korteks atau karena adanya trauma
saat implantasi IOL sehingga merobek kapsul posterior lensa. Gejala terjadinya
ruptur kapsul posterior diawali dengan perubahan kedalaman bilik mata anterior
menjadi lebih dangkal atau lebih dalam secara mendadak14.
Permasalahan yang dihadapi oleh operator operasi adalah waktu dimana
ruptur kapsul posterior terjadi, manajemen tatalaksana lebih mudah apabila ruptur
terjadi saat nukleus dan korteks lensa sudah diangkat namun jika ruptur terjadi
sebelum nukleus dan korteks lensa diangkat maka diperlukan pembesaran insisi
korneoskleral untuk mempermudah pengeluaran lensa dan mencegah terjadinya
vitreous loss17.

2. Vitreous Loss
Viterous loss pada teknik EKEK biasanya terjadi sebagai akibat dari ruptur
kapsul posterior karena teknik yang salah saat melakukan operasi dan pada pasien
dengan lemahnya serat zonula zinii. Vitreous loss meningkatkan risiko uveitis,
cystoid macular edema, dan retinal detatchment akibat adhesi perlukaan vitreous
dengan retina, selain itu perlukaan vitreous juga dapat menempel pada iris
sehingga iris tertarik kearah vitreous. Jika vitreous loss terjadi maka perlu
28

dilakukan vitrektomi untuk membersihkan vitreous dari material yang berasal dari
bilik anterior dan menutup insisi17,18.

3. Perdarahan
Perdarahan pada bilik anterior atau pada anterior vitreous jarang terjadi dan
biasanya dapat diatasi dengan cepat dan spontan tanpa mempengaruhi hasil
operasi, sedangkan ekspulsif suprakoroidal hemorargik merupakan komplikasi
yang serius dari operasi katarak18. Hal ini biasanya terjadi pada pasien dengan
hipertensi tidak terkontrol atau memiliki riwayat aterosklerosis, suprakoroidal
hemorargik ditandai dengan perlebaran luka yang cepat disertai dengan ekspulsi
dari lensa, vitreous, retina, uvea dan perdarahan massif. Penganganan utama
suprakoridal hemorargik adalah untuk mendrainase perdarahan dengan melakukan
sklerotomi namun sebagian besar kasus suprakoroidal hemorargik berakhir pada
hilangnya fungsi penglihatan.

4. Iris injury
Perlukaan pada iris (atau pada kornea) terjadi saat bilik anterior tertusuk oleh
instrument operasi yang tajam seperti keratom atau razor blade atau saat
implantasi IOL sehingga dapat mengenai pembuluh darah dan terjadi perlukaan
atau perdarahan minimal4,10,18.

5. Dislokasi IOL
Dislokasi IOL kedalam rongga vitreous dapat terjadi akibat komplikasi lanjut
dari rupture kapsul posterior atau lepasnya zonula zinii. Jika terdapat fragmen IOL
yang tertinggal hal ini dapat menyebabkan komplikasi postoperatif seperti
vitreous hemorargik, retinal detatchment, uveitis, dan sistoid macular edema
kronik. Pada pasien dengan komplikasi dislokasi IOL kedalam rongga vitreous
maka perlu dilakukan pars plana vitrektomi untuk mengambil dan reposisi
IOL4,10,14
29

2.5 Tajam Penglihatan (Visus)


Penglihatan yang baik dihasilkan dari kombinasi jaras visual neurologik yang
utuh, mata yang sehat secara struktural, serta mata yang dapat memfokuskan
penglihatan dengan tepat. Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan
fungsi mata untuk menilai kekuatan resolusi mata, dan perlu dilakukan karena
tajam penglihatan dapat berubah-ubah sesuai dengan proses penyakit yang sedang
berjalan. Secara garis besar, terdapat tiga penyebab utama berkurangnya tajam
penglihatan yaitu kelainan refraksi, kelainan media refrakta, dan kelainan saraf19.
Ketajaman penglihatan diukur dengan memperlihatkan objek dalam berbagai
ukuran yang diletakkan pada jarak standar dari mata, alat yang umum digunakan
adalah kartu snellen yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil
untuk menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi angka yang sesuai dengan
suatu jarak (dalam kaki atau meter), yaitu jarak yang memungkinkan semua huruf
dalam baris itu terbaca oleh mata normal. Misalnya, huruf-huruf pada baris “40”
cukup besar untuk dapat dibaca oleh mata normal dari jarak 40 kaki. Sesuai
konvensi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh sejauh 20 kaki (6
meter). Ketajaman penglihatan diberi skor dengan dua angka (misalkan 20/40).
Angka pertama adalah jarak uji (dalam kaki) antara kartu dan pasien, dan angka
kedua adalah jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien.
Ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi diukur tanpa kacamata atau lensa
kotak, sedangkan ketajaman terkoreksi berarti menggunakan alat bantu yang telah
disebutkan. Mengingat buruknya ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi
dapat disebabkan oleh kelainan refraksi semata, untuk menilai kesehatan mata
secara lebih relevan digunakan ketajaman penglihatan yang terkoreksi3,20.
Pasien yang tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu harus mengurangi
jarak berdiri dengan kartu snellen sampai huruf itu dapat di baca. Jarak ke kartu
kemudian dicatat sebagai angka pertama, ketajman visual 5/200 artinya pasien
baru dapat mengenali huruf yang paling besar pada jarak 5 kaki. Mata yang tidak
dapat membaca satu huruf pun pada jarak satu meter, diuji dengan cara
menghitung jari. Catatan pada kartu yang mencantumkan “CF pada 2 kaki”
menunjukkan bahwa mata tersebut dapat menghitung jari pada jarak 2 kaki, tetapi
tidak bisa lebih jauh dari 2 kaki. Jika pasien tidak bisa menghitung jari, mata
30

tersebut mungkin masih dapat mendeteksi lambaian tangan yang digerakkan


secara vertikal atau horizontal (tajam penglihatan HM – Hand Motion). Tingkat
penglihatan yang lebih rendah lagi adalah batas kesanggupan pasien yang hanya
dapat melihat persepsi cahaya atau LP (light perception), jika mata tidak dapat
melihat persepsi cahaya maka mata dianggap buta total atau NLP (No Light
Perception) 3,4,20

Tabel 2.4 Kriteria Tajam Penglihatan (Visus) Menurut WHO21


Kriteria Tajam penglihatan

Snellen LogMAR

Tajam penglihatan baik 6/6 – 6/18 0,00 - 0,48

Tajam penglihatan sedang <6/18 – 6/60 >0,48 - 1,00

Tajam penglihatan buruk <6/60 >1,00


31

2.6 Kerangka Teori


Usia > 50 tahun degeneratif

Lensa bertambah tebal


dan berat
Enzim Radikal bebas
antioksidan
Kemampuan akomodasi
lensa menurun

lipid protein
Sel-sel tua tidak
dibuang dan menumpuk
ke arah tengah
Kerusakan oksidatif Crystalin mengalami modifikasi
& perksidase lipid dan agregasi kimia
Nukleus lensa tertekan dan
mengeras (sklerosis)
Kerusakan lipid pada High molecullar-weight
membran lensa protein

Sintesis protein menurun Denaturasi protein

Protein larut -> tidak larut


Fluktuasi mendadak Fluktuasi penyebaran
indeks refraksi lensa sinar cahaya Kekeruhan
lensa

Tekanan osmotik lensa Konsentrasi ion terganggu

Hidrasi lensa

Na – Ca banyak di dalam lensa Kalium dan glutation sedikit

KATARAK SENILIS Terapi utama: pembedahan


Penyakit
sistemik

EKEK fakoemulsifikasi EKIK


usia

Operator operasi Faktor Risiko terjadi komplikasi


risiko

Visus sebelum
operasi intraoperatif Pasca operatif

Sindorm
pseudoeksfoliasi
32

2.7 Kerangka Konsep

Penyakit
sistemik

usia

Komplikasi
Operator operasi Faktor Intraoperatif
risiko
EKEK

Visus sebelum
operasi

Sindorm
pseudoeksfoliasi

Keterangan :
Variabel terikat

Variabel Bebas

Variabel Perancu
33

2.8 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala


Ukur Ukur

1 Komplikasi Komplikasi Rekan Baca • Mengalami Kategorik


intraoperatif yang terjadi medis komplikasi nominal
saat sedang
• Tidak
dilakukan
mengalami
operasi
komplikasi
yang tertera
pada rekam
medis

2 Usia Usia pasien Rekam Baca Berdasarkan Numerik


pada saat medis kriteria WHO:
Kategorik
melakukan
• Usia ordinal
operasi
pertengahan
katarak
(middle
yang tertera
age): 45-59
pada rekam
tahun
medis
• Usia lanjut
(elderly):
60-74 tahun

• Lansia (old):
75-90 tahun

• Lansia
sangat tua
(very old):
>90 tahun
34

3 Jenis Jenis Rekam Baca • Laki-laki Kategorik


Kelamin kelamin medis nominal
• perempuan
yang tertera
pada rekam
medis

4 Visus Visus Rekam Baca Berdasarkan Kategorik


Sebelum sebelum medis kriteria WHO: ordinal
Operasi operasi
• baik (6/6 –
yang tertera
6/18)
pada rekam
medis • sedang
(<6/18 –
6/60)

• buruk
(<6/60)
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian di laksanakan secara observational dengan pendekatan potong
lintang (cross sectional) analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara usia dan visus sebelum operasi dengan kejadian komplikasi intraoperatif
pada operasi EKEK pasien katarak senilis pada RSUP Fatmawati Tahun 2015-
2017. Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang meliputi
pengambilan data dengan instrumen rekam medis pasien, analisis data, intepretasi
data hasil penelitian, dan penulisan laporan penelitian.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Agustus 2017

3.2.2 Tempat penelitian


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati,
Jakarta Selatan

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Target


Populasi target penelitian ini adalah semua pasien terdiagnosis katarak
senilis yang menjalani operasi EKEK.

35
36

3.3.2 Populasi Terjangkau


Populasi yang digunakan adalah semua pasien terdiagnosis katarak
senilis yang menjalani operasi EKEK di RSUP Fatmawati mulai dari bulan
Juni 2015 hingga Mei 2017

3.3.3 Sampel
Sampel yang digunakan adalah semua mata dari pasien terdiagnosis
katarak senilis yang menjalani operasi EKEK di RSUP Fatmawati mulai dari
bulan Juni tahun 2015 hingga Mei 2017 yang dioperasi oleh residen dibawah
bimbingan satu dokter konsulen mata. Pada kelompok ini dilakukan pendataan
adanya komplikasi saat menjalani operasi EKEK, kemudian dihubungkan
dengan variable usia dan visus sebelum operasi yang diduga dapat menjadi
faktor risiko terjadinya komplikasi intraoperatif.

3.3.4 Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


Besar sampel penelitian menggunakan cara total sampling rekam medis
pasien yang terdiagnosis katarak senilis yang menjalani operasi EKEK di
RSUP Fatmawati pada bulan Juni 2015 hingga Mei 2017 yang dioperasi oleh
residen dibawah bimbingan satu konsulen dokter spesialis mata. Teknik
pengambilan sampel menggunakan cara consecutive sampling, yaitu setiap
pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dijadikan sebagai subjek
penelitian22,23.
37

3.4 Identifikasi Variabel

3.4.1 Variabel Bebas

• Usia dalam skala kategorik ordinal


• Visus sebelum operasi dalam skala kategorik ordinal

3.4.2 Variabel Terikat


Komplikasi intraoperatif dalam skala kategorik nominal

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Subjek Penilitian


Kriteria Inklusi:
• Pasien berusia ≥ 50 tahun
• Pasien terdiagnosis penyakit Katarak Senilis
• Pasien yang dioperasi dengan metode EKEK pada bulan Juni 2015 – Mei
2017
• Pasien yang dioperasi oleh residen dibawah bimbingan 1 dokter

Kriteria Eksklusi:
• Pasien dengan TIO > 20
• Pasien yang mengalami komplikasi sesudah operasi
• Pasien dengan katarak senilis sekunder
38

3.6 Alur Penelitian

Persiapan Menentukan Rumah Sakit


Penelitian untuk pengambilan data

Pembuatan proposal

Penentuan Jumlah Sampel


yang dibutuhkan

Penentuan Kriteria Inklusi

Perizinan Rumah Sakit

Pengambilan Data Sekunder

Tidak sesuai Pasien katarak dengan


kriteria inklusi operasi EKEK

Data tidak diolah Sesuai kriteria


inklusi

Pengambilan Data

Pengolahan dan Penyusunan


analisa data laporan penelitian

3.7 Manajemen Data

3.7.1 Pengolahan data


Manajemen data adalah cara pengolahan data yang dilakukan mulai dari
pengumpulan data sampai dengan analisis data. Tahapan dalam manajemen data
adalah sebagai berikut24,25:
39

1. Editing
Data yang sudah masuk dilakukan pengecekan ulang dan melengkapi atau
mengoreksi data bila ditemukan ketidaklengkapan
2. Coding
Data yang sudah didapatkan diberi kode untuk memudahkan pemasukkan
data
3. Entry (Tabulating)
Tabulasi merupakan proses penyusunan data yang dapat dilakukan secara
manual maupun dengan komputer. Proses penyusunan data menggunakan
computer lebih dikenal sebagai data entry, kemudian data akan diolah dan
dianalisa.

3.7.2 Analisis Data


Data yang diperoleh akan diolah dan dilakukan analisis univariat dan
bivariat menggunakan software IBM SPSS statistics versi 22

3.7.2.1 Analisis Univariat


Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskrispikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada penelitian ini data bersifat
kategorik sehingga data ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan
proporsi yang disajikan dalam bentuk tabel dan diagram batang22

3.7.2.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan usia dan visus
sebelum operasi sebagai variabel independen dengan komplikasi intraoperatif
sebagai variabel dependen. Uji yang digunakan adalah uji chi square karena
kedua variabel bersifat kategorik, dengan menggunakan interval kepercayaan
(confidence interval) 95% dengan α 5% sehingga jika p value <0,05 maka
hasil perhitungan statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara kedua variabel. Lalu dilakukan uji korelasi Spearman untuk
40

mengetahui koefisien korelasi (r) dan besar kekuatan hubungan antara kedua
variabel22,26. Uji chi square dapat digunakan pada penelitian dengan jumlah
subjek antara 20-40 semua nilai ekspektasi > 5 atau tidak ada nilai ekspektasi
<533. Jika terdapat nilai ekspektasi <5, p value diperoleh dari Fisher’s Exact
Test22,33. Hal ini berlaku pada penelitian dengan tabulasi uji hipotesis 2x2,
namun karena tabulasi uji hipotesis antara usia dan visus sebelum operasi
dengan komplikasi intraoperatif adalah tabel 2x3 tanpa melihat nilai
ekspektasi p value diperoleh dari pearson chi-square26.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Fatmawati (RSUP) Jakarta


selama bulan Mei-Juli 2017. Subjek penelitian berjumlah 34 mata dari 30 pasien
yang merupakan pasien terdiagnosis katarak senilis primer yang dioperasi dengan
teknik EKEK dan dilakukan oleh residen dibawah pengawasan salah satu
konsulen dokter spesialis mata di RSUP Fatmawati pada bulan Juni 2015-Mei
2017. Sumber data diperoleh dari data sekunder, yaitu dilakukan dengan melihat
data mengenai jenis kelamin, usia, visus sebelum operasi, dan komplikasi
intraoperatif dari rekam medis pasien atas izin dari dokter pembimbing.

4.1 Karakteristik Responden

4.1.1 Usia Responden


Subjek penelitian ini merupakan individu lanjut usia yang berusia ≥50
tahun. Berdasarkan kriteria lanjut usia WHO, terdapat 8 pasien (26,7%) dalam
usia pertengahan (middle age), 16 pasien (53,3%) usia lanjut (elderly), dan 6
pasien (20,0%) yang memasuki usia lansia tua (old). Usia termuda 51 tahun dan
tertua 84 tahun dengan rata-rata usia 65,53 (SD=9,35). Data usia diperoleh
berdasarkan data yang tertera pada rekam medis mengenai usia saat menjalani
operasi EKEK.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Sumathi (2016) yang mendeskripsikan
karakteristik responden pada pasien katarak di India, dimana didapatkan
responden dengan usia 50-70 tahun sebanyak 1402 pasien dan responden diatas
70 tahun sebanyak 478 pasien27. Dengan rata-rata usia responden yaitu 61,9
(SD=8,9). Selain itu penelitian Thevi (2015) di Malaysia yang meneliti kejadian
katarak dari usia dibawah 40-90 tahun, didapatkan pasien dengan usia diatas 50
tahun sebanyak 1506 pasien sedangkan pasien dibawah 50 tahun sebanyak 126
pasien28. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian katarak senilis lebih tinggi
dibandingkan jenis katarak lainnya (juvenile / kongenital)
41
42

Tabel 4.1 Karakteristik Usia Responden


Usia Frekuensi (n) Persentase (%)
Middle age 8 26,7%
Elderly 16 53,3%
Old 6 20,0%
Jumlah 30 100%

Di bawah ini merupakan diagram batang yang menggambarkan frekuensi usia


responden

Gambar 4.1 Frekuensi Usia Responden dalam Bentuk Diagram Batang

4.1.2 Jenis Kelamin Responden


Sebagian besar subjek pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 16 pasien (53,3%) dan sisanya adalah permpuan sebanyak 14 pasien
(46,7%)
Hal ini sesuai dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Jakarta
Selatan tahun 2015 jumlah lanjut usia yang berjenis kelamin pria sebanyak
141.660 orang dan sebanyak 142.420 penduduk lansia berjenis keamin wanita29.
Namun berdasarkan penelitian Preeti (2015) pasien katarak senilis yang
menjalani operasi EKEK di India didapatkan pasien dengan jenis kealmin laki-
laki sebanyak 75 dan wanita sebanyak 102 orang30. Perbedaan hasil yang
43

didapatkan mungkin terjadi akibat perbedaan demografi penduduk dan


berdasarkan studi epidemiologi disebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan
tingkat kejadian katarak pada pasien laki-laki maupun perempuan sehingga jenis
kelamin tidak dianggap sebagai faktor risiko terjadinya katarak senilis14

Tabel 4.2 Frekuensi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis kelamin Frekuensi (n) Persentase

Pria 16 53,3%

Wanita 14 46,7%

Total 30 100

Di bawah ini merupakan diagram batang yang menggambarkan frekuensi jenis


kelamin responden

Gambar 4.2 Frekuensi Jenis Kelamin Responden dalam Bentuk Diagram Batang

4.1.3 Visus Sebelum Operasi Responden


Berdasarkan kriteria visus menurut WHO, sebagian besar subjek penelitian
memiliki visus sebelum operasi yang buruk (<6/60) yaitu sebanyak 30 mata
44

(88,2%), 3 mata (8,8%) memiliki visus sebelum operasi sedang (<6/18-6/60), dan
1 mata (2,9%) masuk dalam kategori visus baik (6/6-6/18).
Pada penelitian Yorston dkk (2002) yang meneliti 1800 pasien di Afrika,
didapatkan pasien dengan visus sebelum operasi yang buruk sebanyak 1554
pasien (86,3%). Namun dalam penelitian ini, pasien dengan visus terbaik salah
satu mata dibawah 3/60 dianggap buta31. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian
Thevi (2016), dari 1632 pasien di Malaysia, didapatkan visus sebelum operasi
yang buruk sebanyak 1343 pasien (82,3%), sedang sebanyak 271 (16,6%) dan 18
orang (1,1%) memiliki visus sebelum operasi yang baik28. Data pada penelitian
sebelumnya sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa
sebagian besar pasien katarak senilis yang di operasi sudah masuk ke dalam
stadium matur hingga hipermatur, bahkan terdapat 6 mata yang memiliki visus
1/300 (persepsi lambaian tangan) dan 7 mata memiliki visus 1/tak terhingga
(persepsi cahaya) meskipun visus bukan merupakan indikator utama penentuan
stadium katarak.

Tabel 4.3 Karakteristik Visus Sebelum Operasi Responden


Kategori Visus Frekuensi (n) Persentase (%)

6/6-6/18 1 2,9%

6/18-6/60 3 8,8%

6/60 30 88,2%

Total 34 100%

Diagram batang di bawah ini menunjukkan frekuensi visus sebelum operasi


subjek penelitian berdasarkan kategori WHO
45

Gambar 4.3 Frekuensi Visus Sebelum Operasi Responden dalam Bentuk Diagram
Batang

4.1.4 Komplikasi Intraoperatif Responden


Dari 34 mata yang dioperasi, terdapat 5 mata (14,7%) yang mengalami
komplikasi intraoperatif yaitu 2 mata mengalami ruptur kapsul posterior, 1 mata
mengalami iris injury, 1 mata mengalami vitreous prolaps, dan 1 mata
mengalami perdarahan. Pada bulan juni 2015-mei 2016 terdapat 4 kejadian
komplikasi intraoperatif dari 21 mata yang dioperasi sehingga didapatkan angka
prevalensi komplikasi intraoperatif pada periode juni 2015- mei 2016 sebesar
19% sedangkan pada periode juni 2016-mei 2017 terdapat penurunan drastis
menjadi 1 kejadian komplikasi intraoperatif dari 13 mata yang dioperasi sehingga
didapatkan angka prevalensi komplikasi intraoperatif pada periode juni 2016-mei
2017 sebesar 7,69%.
Pada penelitian yang dilakukan Hasemi (2011) di Iran juga terdapat
penurunan drastis pada prevalensi komplikasi intraoperatif dari 6,95% pada
tahun 2006 menjadi 3,06% pada tahun 2010. Disebutkan pada penelitian bahwa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi angka kejadian komplikasi intraopratif
adalah metode operasi (non-fakoemulsifikasi), pengalaman operator yang
sebagian besar dilakukan oleh residen, dan usia dibawah 10 tahun atau diatas 70
tahun. Sehingga dapat diperkirakan bahwa terjadinya penurunan angka kejadian
46

komplikasi intraoperatif dari tahun 2015 ke 2017 terjadi karena adanya


peningkatan kemampuan dan kompetensi residen yang menjadi operator. Selain
itu, pada penelitian yang sama disebutkan bahwa komplikasi yang paling sering
terjadi adalah ruptur kapsul posterior dengan prevalensi sebesar 2,86% diikuti
dengan perdarahan retrobulbar sebesar 0,06%6. Hal ini juga diperkuat oleh
penelitian Ezegwui(2014) di Nigeria, dari 150 pasien yang menjalani operasi
EKEK oleh operator residen, 61 pasien (40,7%) mengalami komplikasi dengan
frekuensi terbanyak yaitu capsular flaps (7,5%), ruptur kapsul posterior (6,2%),
positive pressure (5%), dan vitreous loss (5%). Pada penelitian ini dinyatakan
pula bahwa performa yang adekuat sangat diperlukan residen saat melakukan
EKEK terutama saat melakukan kapsulotomi anterior, cornea handling, dan
mencegah ruptur kapsul posterior 32

Tabel 4.4 Frekuensi Komplikasi Intraoperatif EKEK


Komplikasi intraoperatif Frekuensi (n) Persentase (%)

tidak ada komplikasi 29 85,3%

Ruptur kapsul posterior 2 5,9%

Iris injury 1 2,9%

Perdarahan 1 2,9%

Vitreous loss 1 2,9%

Total 34 100%

Diagram batang berikut menunjukkan frekuensi komplikasi intraoperatif pada


pasien katarak senilis yang dioperasi dengan metode EKEK
47

Gambar 4.4 Frekuensi Komplikasi Intraoperatif Responden dalam Bentuk


Diagram Batang

4.2 Korelasi antara Usia Pasien dengan Kejadian Komplikasi Intraoperatif


EKEK

Tabel 4.5 Tabulasi Silang antara Usia dengan Kejadian Komplikasi Intraoperatif
Usia Tidak ada Terdapat komplikasi Total
komplikasi

45-59 8 0 8

60-74 17 3 20

75-90 4 2 6

Total 29 5 34
48

Gambar 4.5 Sebaran Frekuensi Komplikasi Intraoperatif Berdasarkan Usia


Responden

Berdasarkan grafik di atas, dapat terlihat bahwa sebagian besar subjek


penelitian yang berusia 60-74 tahun, terdapat 3 mata yang mengalami komplikasi
intraoperatif lebih sedangkan pada usia 75-90 tahun terdapat 2 mata yang
mengalami komplikasi intraoperatif. Untuk mengetahui hubungan antara usia
sebagai variabel independen dengan adanya kejadian komplikasi intraoperatif
sebagai variabel dependen digunakan analisis bivariat. Uji analisis yang
digunakan adalah uji chi square karena kedua variabel termasuk kategorik dimana
usia adalah kategorik ordinal dan komplikasi intraoperatif dibuat menjadi
kategorik nominal. Uji chi square dapat digunakan pada penelitian dengan jumlah
subjek antara 20-40 semua nilai ekspektasi > 5 atau tidak ada nilai ekspektasi
<533. Setelah data diuji dengan uji hipotesis chi square, ditemukan 3 sel yang
memiliki nilai ekspektasi <5 sehingga p value diperoleh dari Fisher’s Exact
Test22,33. Namun karena tabulasi uji hipotesis antara usia dan komplikasi
intraoperatif adalah tabel 2x3 tanpa melihat nilai ekspektasi p value diperoleh dari
pearson chi-square26. Berdasarkan uji tersebut didapatkan p value > 0,05 yaitu
0,219 yang berarti H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa usia tidak
berhubungan secara signifikan dengan angka kejadian komplikasi intraoperatif.
Untuk mengetahui nilai korelasi antara usia dan kejadian komplikasi intraoperatif
49

menggunakan uji korelasi Spearman dan didapatkan nilai korelasi (r) sebesar
0,297 yang berarti tidak ada hubungan linear yang jelas. Arah korelasi positif
menandakan bahwa semakin tinggi usia, semakin tinggi pula risiko kejadian
komplikasi intraoperatif.

Tabel 4.6 P Value dan Koefisien Korelasi Usia dengan Kejadian Komplikasi
Intraoperatif
Korelasi P value Koefisien korelasi Arah korelasi
(r)

Usia dengan 0,219 0,297 positif


Kejadian
Komplikasi
Intraoperatif

Berdasarkan hasil analisis, didapatkan p value > 0,05 sehingga disimpulkan


tidak terdapat perbedaan komplikasi intraoperatif yang signifikan antara pasien
lansia maupun lansia tua, dengan kata lain bahwa hubungan yang signifikan
antara usia dengan kejadian intraoperatif. Hasil yang sama didapatkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Thevi dkk dimana pengelompokan usia dibagi
menjadi diatas dan dibawah 70 tahun. Dari 1632 responden, terdapat 171 pasien
mengalami komplikasi intraoperatif dengan pasien dengan usia dibawah 70
sebanyak 57 kejadian dan pasien dengan usia diatas 70 tahun sebanyak 114
kejadian. Pada penelitian tersebut tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
usia dengan komplikasi intraoperatif dengan p value 0,36728.
Hasil yang tidak signifikan tersebut dapat disebabkan oleh karena bukan
faktor risiko usia yang menyebabkan kejadian komplikasi intraoperatif
melainkan faktor risiko yang lain seperti keterampilan operator, kelemahan
struktur zonula zinii, pupil yang mengecil, dan sindrom pseudoeksfoliasi34.
Seiring bertambahnya usia akan terjadi peningkatan radikal bebas yang akan
menimbulkan kerusakan pada setiap jaringan tubuh dan proses oksidasi dari
protein lensa, selain itu secara alami seiring berjalannya proses penuaan lensa
50

akan bertambah berat, tebal, dan terdapat penumpukan sel-sel tua yang tidak
dibuang sehingga nukleus lensa mengalami penekanan dan pengerasan (sklerosis
nuklear). Penelitian DK Berler (2000) mendapatkan 31 dari 802 pasien yang
mengalami komplikasi intraoperatif, 10% merupakan pasien berusia sangat tua
(diatas 88 tahun). Penelitian ini menjelaskan bahwa pengerasan nukleus dan
tingkat kemahiran operator dapat menjadi faktor yang menyeabkan terjadinya
komplikasi intraoperatif namun hasil yang tidak signifikan didapatkan karena
kurangnya populasi pasien berusia lansia tua dan lansia sangat tua, dimana pada
penelitian tersebut hanya didapatkan 102 pasien dengan usia 88-98 tahun yang
dapat menjadi keterbatasan untuk mencari hubungan antara usia dengan
komplikasi intraoperatif9.

4.3. Korelasi antara Visus Sebelum Operasi Pasien dengan Kejadian


Komplikasi Intraoperatif EKEK
Tabel 4.7 Tabulasi Silang antara Visus Sebelum Operasi dengan Kejadian
Komplikasi Intraoperatif
Visus Sebelum Tidak ada Terdapat komplikasi Total
Operasi komplikasi
(berdasarkan
kriteria visus
menurut WHO)

6/6-6/18 1 0 1

6/18-6/60 2 1 3

6/60 26 4 30

Total 29 5 34
51

Gambar 4.6 Sebaran Frekuensi Komplikasi Intraoperatif Berdasarkan Visus


Sebelum Operasi Responden

Berdasarkan grafik dan tabel di atas, terlihat bahwa 4 dari 5 mata (80%)
yang mengalami komplikasi intraoperatif memilki visus sebelum operasi yang
buruk (<6/60) sedangkan 1 mata lainnya memiliki visus sebelum operasi yang
sedang (<6/18-6/60). Untuk mengetahui hubungan antara visus sebelum operasi
sebagai variabel independen dengan adanya kejadian komplikasi intraoperatif
sebagai variabel dependen digunakan analisis bivariat. Uji analisis yang
digunakan adalah uji chi square karena kedua variabel termasuk kategorik dimana
pengelompokan visus berdasarkan WHO adalah kategorik ordinal dan komplikasi
intraoperatif dibuat menjadi kategorik nominal. Setelah data diuji dengan uji
hipotesis chi square ditemukan 5 sel yang memiliki nilai ekspektasi <5, namun
karena tabulasi uji hipotesis antara visus sebelum operasi dan komplikasi
intraoperatif adalah tabel 2x3, tanpa melihat nilai ekspektasi p value diperoleh
dari pearson chi-square. Berdasarkan uji tersebut didapatkan p value > 0,05 yaitu
0,592 yang berarti H0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa visus sebelum
operasi tidak berhubungan secara signifikan dengan angka kejadian komplikasi
intraoperatif. Untuk mengetahui nilai korelasi antara visus sebelum operasi dan
kejadian komplikasi intraoperatif menggunakan uji korelasi Spearman dan
didapatkan nilai korelasi (r) sebesar -0,098 yang berarti tidak ada hubungan linear
52

yang jelas. Arah korelasi yang negatif menunjukkan bahwa semakin rendah visus
sebelum operasi maka semakin tinggi risiko komplikasi intraoperatif yang terjadi.

Tabel 4.8 P Value dan Koefisien Korelasi Visus Sebelum Operasi dengan
Kejadian Komplikasi Intraoperatif
Korelasi P value Koefisien Arah korelasi
korelasi (r)

Visus sebelum 0,592 -0,098 negatif


operasi dengan
Kejadian
Komplikasi
Intraoperatif

Visus sebelum operasi dapat menggambarkan stadium dan progresivitas


katarak namun Khurana (2007) pada buku yang berjudul “comprehensive
ophtamology” menyatakan bahwa pasien dengan kekeruhan lensa yang terletak
di bagian sentral akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang lebih cepat
dibandingkan dengan pasien yang mengalami kekeruhan lensa di bagian
perifer10. Hal ini berarti bahwa data visus sebelum operasi belum cukup kuat
untuk menentukan stadium katarak senilis dan diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk memastikan stadium katarak. Pada pasien dengan visus buruk
(<6/60) bahkan mencapai persepsi lambaian tangan atau persepsi cahaya,
kekeruhan dan kekerasan lensa yang terjadi dapat menjadi penyulit terutama saat
proses ekstraksi nukleus dimana kekerasan nukleus dan penekanan yang terlalu
kuat dapat menyebabkan terjadinya intact dengan endotel kornea atau kapsul
posterior lensa sehingga terjadi komplikasi intraoperatif. Walaupun belum ada
penelitian serupa yang melihat hubungan antara visus sebelum operasi dengan
kejadian komplikasi intraoperatif, tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi
kekeruhan dan kekerasan lensa yang keluar sebagai manifestasi penurunan visus
dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi intraoperatif.
53

4.4 Keterbatasan Penelitian


1. Responden pada penelitian ini merupakan pasien yang dioperasi oleh residen
yang dibimbing dari salah satu konsulen di poli mata RSUP Fatmawati
sehingga belum cukup menggambarkan prevalensi dan korelasi penelitian
secara umum dan tidak mengambil sampel dari populasi yang lebih luas lagi
karena keterbatasan energi dan waktu.
2. Teknik operasi EKEK untuk pasien katarak senilis sudah mulai berkurang
dan beralih ke teknik fakoemulsifikasi yang memiliki risiko komplikasi
lebih kecil. Hal ini semakin mempersempit responden penelitian.
3. Pada data rekam medis pasien tidak dilakukan pencatatan terhadap stadium
dan lokasi katarak senilis yang dapat memengaruhi kondisi mata pasien.
4. Masih terdapat variabel lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi
kejadian komplikasi intraoperatif namun belum diteliti oleh peneliti.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
1. Prevalensi komplikasi intraoperatif pada operasi EKEK pasien katarak senilis
di RSUP Fatmawati Tahun 2015-2017 sebesar 14,7%
2. Tidak terdapat hubungan antara usia dengan kejadian komplikasi
intraoperatif pada pasien katarak senilis primer yang dioperasi dengan
metode EKEK di RSUP Fatmawati pada tahun 2015-2017 dengan p value
0,219 dan nilai korelasi (r) 0,297 yang berarti bahwa tidak ada hubungan
linear yang jelas
3. Tidak terdapat hubungan antara visus sebelum operasi dengan kejadian
komplikasi intraoperatif pada pasien katarak senilis primer yang dioperasi
dengan metode EKEK di RSUP Fatmawati pada tahun 2015-2017 dengan p
value 0,592 dan nilai korelasi (r) -0,098 yang berarti bahwa tidak ada
hubungan linear yang jelas.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran,
diantaranya:
A. Bagi Masyarakat
1. Bagi lansia khususnya yang memiliki beberapa faktor risiko katarak dan
mengalami keluhan mata buram atau seperti terhalang oleh cahya putih,
disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan
minimal dengan snellen chart dan pemeriksaan segmen anterior mata
untuk mendiagnosis katarak dan bagaimana progresivitasnya sehingga
dapat segera dilakukan perencanaan tata laksana dengan dokter mata
terkait.
2. Walaupun dalam penelitian ini tidak terbukti terdapat hubungan antara usia
dan visus sebelum operasi dengan kejadian komplikasi intraoperatif namun

54
55

pasien dengan usia diatas 88 tahun) semakin besar risiko mengalami


komplikasi intraoperatif saat menjalankan operasi EKEK begitu pula
dengan visus sebelum operasi, yang menandakan progresivitas dari katarak
sehingga semakin rendah visus pasien saat perencanaan operasi, semakin
tinggi pula risiko kejadian komplikasi intraoperatif.
2. Disarankan kepada remaja dan dewasa muda untuk menghindari faktor
risiko katarak dan menjaga kesehatan mata seperti mencukupi asupan
vitamin A, antioksidan, dan menjaga pola makan untuk menghindari
terjadinya hipertensi dan diabetes yang dapat memicu terjadinya katarak
sekunder
3. Untuk para lansia yang sudah mengalami katarak senilis primer, sebaiknya
segera dilakukan perencanaan tindakan operasi sebagai metode terapi
utama untuk mengatasi kekeruhan lensa akibat penuaan yang dapat
mengganggu penglihatan. Jika terdapat hal yang menunda proses operasi
maka disarankan agar memakai kacamata sesuai dengan ketajaman
penglihatan saat pemeriksaan terakhir dan berhati-hati saat beraktivitas.

B. Bagi Tenaga Medis


Sebaiknya lebih meperhatikan secara khusus bagi pasien yang memiliki
beberapa faktor risiko seperti usia sangat tua (>90), stadium katarak matur, dan
jika pasien mengalami katarak sekunder.

C. Bagi Peneliti Lain


1. Disarankan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis
dengan penelitian ini, jumlah sampel diperbanyak dan bervariasi tidak
hanya terbatas dari satu dokter spesialis.

2. Untuk penelitian berikutnya, disarankan untuk tidak hanya memeriksa usia


dan visus sebelum operasi namun juga dapat dilakukan pemeriksaan data
rekam medis mengenai penyakit komorbid baik okular maupun sistemik,
dan riwayat operasi mata sebelumnya untuk lebih mengetahui faktor risiko
yang memungkinkan terjadinya komplikasi intraoperatif.
56

DAFTAR PUSTAKA

1. Ratnaningsih N. Prevalence of Blindness and Low Vision in Sawah Kullon


Village, Purwakarta District, West Java, Indonesia. J Community Eye
Health. 2007;

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.

3. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftamologi Umum. 17th


ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.

4. Jogi R. Basic Ophthalmology. fourth. New Delhi: Jaypee Brothers Medical


Publishers (P) Ltd.; 2009.

5. Lang GK. Ophthalmology: A Short Textbook. New York: Thieme Stuttgard


Publisher; 2000.

6. Hasemi H, F. R, K. E, H. G, S. A, A. M. Intraoperative Complications of


Cataract Surgery in Tehran Province, Iran. Am Acad Optom Vis Sci
[Internet]. 2016; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26760583

7. Ismail R, Sallam A. Complications Associated with Catarct Surgery. 2000;


Available from: http://www.intechopen.com/books/cataract-
surgery/complications-associated-with-cataract-surgery

8. Zare M, Javadi M-A, Kiavash V. Risk Factors for Posterior Capsul Ruptur
and Vitreous Loss During Phacoemulsification. 2009; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3498858/

9. Berler DK. Intraoperative Complications During Cataract Surgery in The


Very Old. Trans Am Ophtalmol Soc. 2000;98:127–32.

10. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. fourth. New Delhi: New Age
International (P) Ltd. Publisher; 2007.

11. Mescher AL. Histologi Dasar Junqueira, Teks dan Atlas. 12th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.

12. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. 27th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.

13. Marks DB, Marks AD, Smith CM. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah
Pendekatan Klinis. 1st ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.

14. Kanski J, Bowling B. Clinical Ophthalmology: a Systematic Approach. 7th


ed. Edinburgh: Elsevier Publishers Ltd.; 2011.
57

15. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.

16. Syam AF, Yulherina, Sari NK. Masalah Kesehatan Pada Usia Lanjut:
Antisipasi dan Penanganannya. Jakarta: Interna Publishing; 2015.

17. Chan E, Mahroo OA, Spalton DJ. Review: Complications of Cataract


Surgery. Clin Exp Optom. 2010;93:379–89.

18. Crick RP, Khaw PT. A textbook of Clinical Ophthalmology: A practical


Guide to Disorders of The Eyes and The Management. 3rd ed. Singapore:
World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd; 2003.

19. Messina E. Standards for Visual Acuity. Newtown: National Institute for
Standards and Technology; 2006.

20. Ilyas S. Dasar Teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata. 5th ed.
Jakarta: Penerbit FKUI; 2015.

21. WHO. Informal Consultation on Analysis of Blindness Prevention


Outcomes. Geneva: WHO; 1998.

22. Swarjana IK. Statistik Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Penerbit ANDI; 2016.

23. Dahlan SM. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan: Seri Evidence Based Medicine. 2nd ed. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika; 2009.

24. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta;


2012.

25. Sujarweni V. Statistika Untuk Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Grava


Media; 2015.

26. Hastono SP. Analisis Data. Jakarta: Penerbit FKM UI; 2006.

27. Sumathi M, Park J, Palamaner G, Samanta S, Khanna RC, Rao GN. Cataract
Surgery Visual Outcomes and Associated Risk Factors in Secondary Level
Eye Care Centers of LV Prasad Eye Institute, India. 2016; Available from:
http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0144853

28. Thanigasalam T, Reddy SC, Zaki RA. Factors Associated with


Complications and Postoperative Visual Outcomes of Cataract Surgery: a
Study of 1.632 cases. J Ophthalmic Vis Res. 2015;10:375–84.

29. Badan Pusat Statistik. Jakarta dalam Angka. Jakarta: BPS Provinsi DKI
Jakarta; 2016.

30. Preeti M, Prasan VV, Vivekanand U. Conventional Extra Capsular Cataract


Extraction and Its Importance in the Present Day Ophthalmic Practice. Oman
J Ophthalmol. 2015;8:175–8.
58

31. Yorston D, Gichuhi S, Wood M, Foster A. Does Prospective Monitoring


Improve Cataract Surgery Outcomes in Africa. Br Med J Ophthalmol.
2002;86:543–7.

32. Ezegwui IR, Aghaji AE, Okpala NE, Onwasigwe EN. Evaluation of
Complications of Extracapsular Cataract Extraction Performed by Trainees.
Ann Med Health Sci Res. 2014;4:115–7.

33. Sastroasmoro S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa


Aksara; 1995.

34. Guzek JP, Holm M, Cotter JB, Cameron JA, Rademaker WJ, Wissinger DH.
Risk Factors for Intraoperative Complications in 1000 Extracapsular
Cataract Surgery. 2014;
59

LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Persetujuan Etik
60

Lampiran 2 Surat Keterangan Izin Penelitian


61
62

Lampiran 3 Riwayat Penulis

Informasi Umum
Nama : Indira Khairunnisa Effendi
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal lahir: Jakarta, 30 Maret 1996
Kewarnegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Labu Siam No. 116 Blok L Mega Cinere,
Cinere, Depok
No. Telepon : 021-7540895
No. Handphone : 087776622676
E-mail : indiraeffendi.ie@gmail.com

Pendidikan Formal
1999-2000 : TK Mini Preschool Pasar Minggu
2000-2002 : TK Islam Dian Didaktika Depok
2002-2008 : SD Islam Dian Didaktika Depok
2008-2011 : SMP Islam Dian Didaktika Depok
2011-2014 : SMA Negeri 34 Jakarta
2014-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter

Pengalaman Organisasi

1. Anggota Science Club of SMAN 34 Jakarta 2011-2013


2. Anggota Majelis Perwakilan Kelas SMA 2011-2012
3. Anggota CIMSA (Center for Indonesian Medical Students’ Activities) lokal
UIN Syarif Hidayatullah 2015-sekarang
4. Sekretaris SCOPH (Standing Commitee on Public Health) 2015-2016
5. Project Coordinator CIMSA (Center for Indonesian Medical Students’
Activities) lokal UIN Syarif Hidayatullah 2016-2017
63

(Lanjutan)
6. Supervising Council CIMSA (Center for Indonesian Medical Students’
Activities) lokal UIN Syarif Hidayatullah 2017-2018
7. Program Coordinator on Human Resources for Health CIMSA (Center for
Indonesian Medical Students’ Activities) Nasional 2017-2018

Partisipasi dalam Kepanitiaan

1. Panitia High School Celebration (HSC) SMAN 34 Jakarta 2011


2. Koordinator Divisi Acara “CIMSASTELLAR” Magang CIMSA UIN Syarif
Hidayatullah 2015
3. Event team CIMSA Anniversary Project on Region 3 2016
4. Anggota divisi acara October Meeting CIMSA Nasional 2016
5. Anggota divisi transportasi YCTA (Youth Collaboration Towards Action)
CIMSA AMSA 2017

Partisipasi dalam Pelatihan dan Kegiatan Organisasi

1. Seminar YCTA (Youth Collaboration Towards Action) Against Breast &


Cervical Cancer 2015 diselenggarakan oleh CIMSA dan AMSA Indonesia
2. Community Development Training 2015 diselenggarakan oleh CIMSA Lokal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Think Outside the Box Training 2015 diselenggarakan oleh CIMSA Lokal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Indonesian Disease Today 2016 diselenggarakan oleh CIMSA Lokal
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
5. October Meeting CIMSA 2016 diselenggarakan oleh CIMSA lokal UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Region 3 Training for Official 2016 diselenggarakan oleh CIMSA lokal
Universitas Pelita Harapan
64

7. Seminar YCTA (Youth Collaboration Towards Action) Against Climate


Change 2017 diselenggarakan oleh CIMSA dan AMSA Indonesia

Partisipasi dan Penghargaan dalam Bidang Akademik


-

Pages and Publications

1. Karya Tulis Ilmiah SMP Islam Dian Didaktika 2011 “Dampak Negatif
Aktivitas Gunung Berapi”

Prestasi Lain

1. Peserta Advance Student Forum Siswa Kumon Peringkat Atas Se-Indonesia


2008
2. Peserta Advance Student Forum Siswa Kumon Peringkat Atas Se-Indonesia
2009
3. Peserta Advance Student Forum Siswa Kumon Peringkat Atas Se-Indonesia
2010
4. Peserta Advance Student Forum Siswa Kumon Peringkat Atas Se-Indonesia
2011
5. Completition of the Final Level in Kumon Mathematics 2012
6. Peserta Purwacaraka Cinere Home Piano Concert 2012-2015

Anda mungkin juga menyukai