PENDAHULUAN
1
mengeluh tidak nyaman dengan tubuhnya, rasa percaya diri sangat kurang
terhadap penampilan.3
Secara psikologi, seorang ibu akan mengalami akan mengalami gejala -
gejala psikiatrik bukan hanya selama kehamilan tetapi juga setelah melahirkan.
Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh oleh seorang wanita dalam dalam
menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada beberapa minggu atau
bulan pertama setelah melahirkan baik dari segi fisik maupun fisik. Sebagian
wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi ada sebagian lainnya yang
tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan – gangguan psikologis
dengan berbagai gejala atau sindrom.4
Telah banyak penelitian yang membuktikan wanita mengalami gangguan
jiwa selama periode perinatal.5 Insidens gangguan jiwa pada kehamilan lebih
rendah dibanding postpartum dan di luar kehamilan.Postpartum 10-15%, diluar
kehamilan 2-7%. Sebuah penelitian melaporkan bahwa 10% wanita hamil
memenuhi syarat mengalami depresi mayor dan minor.6
Penelitian yang dilakukan Heron, dkk, menunjukkan bahwa 21% wanita
hamil memiliki gejala ansietas, dan 64% dari wanita tersebut berlanjut menderita
ansietas postpartum.7 Penelitian lainya juga menunjukkan peningkatan prevalensi
ansietas yang tinggi pada masa postpartum dibandingkan populasi wanita umum
yaitu 20,4 % memiliki ansietas (dengan dua pertiga memiliki riwayat komorbid
depresi) dan 37.7% menderita depresi mayor (riwayat komorbid 29,2%).4
Dukungan psikologis dan perhatian akan memberi dampak terhadap pola
kehidupan sosial (keharmonisan, penghargaan, pengorbanan, kasih sayang dan
empati), pada wanita hamil dan dari aspek teknis, dapat mengurangi aspek sumber
daya(tenaga ahli, cara penyelesaian persalinan normal, akselerasi, kendali nyeri
dan asuhan neonatal).2,4,5Dalam referat ini akan dibahas gangguan psikologi pada
masa kehamilan dan setelah melahirkan agar kita sebagaidokter umum mampu
mengenali dan menindaklanjuti gangguan jiwa pada kehamilan dan setelah
melahirkan tersebut dengan pemberian terapi yang tepat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Hasil penelitian sampai saat ini menunjukkanetiologi yang multifaktorial.
Beberapa faktor yang dilaporkan seperti faktor hormonal, neuroendokrin,
biokemikal, psikologik, sosial, budaya, genetik dan kepribadian, atau hubungan
timbal balik diantara faktor-faktor tersebut.8,9,10 Eskirol sejak tahun 1845 telah
menghubungkan faktor keturunan penyebab gangguan tersebut. Salah satu dari
banyak teori yang berhubungan dengan psikopatologi menyangkut hal melahirkan
anak adalah bahwa beberapa penelitian epidemiologi melaporkan gangguan
mental menjadi bertambah berat selama kehamilan, selain faktor fisiologis mayor
yang diturunkan dan stres psikologis.9,10
Sejauh ini belum ada mekanisme biokimia seperti hormonal atau
neuroendokrin yang jelas.Dalton menyatakan progesteron yang tiba-tiba rendah
menyebabkan penyakit mental pada masa nifas.Salah satu hal yan memegang
peranan penting adalah ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan
progesteron.6,8,9,10
3
merupakan hal yang sangat berpengaruh selama masa kehamilan.
Kekurangan gizi tentu saja akan menyebabkan akibat yang buruk bagi si ibu
dan janinnya. Ibu dapat menderita anemia, sehingga suplai darah yang
mengantarkan oksigen dan makanan pada janinnya akan terhambat,
sehingga janin akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Di lain pihak kelebihan gizi pun ternyata dapat berdampak yang tidak baik
juga terhadap ibu dan janin. Janin akan tumbuh besar melebihi berat normal,
sehingga ibu akan kesulitan saat proses persalinan.11,12
b. Faktor Psikologis.
Faktor psikologis yang turut mempengaruhi kehamilan biasanya terdiri
dari stressor dan dukungan keluarga. Stress yang terjadi pada ibu hamil
dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin. Janin dapat mengalami
keterhambatan perkembangan atau gangguan emosi saat lahir nanti jika
stress pada ibu tidak tertangani dengan baik. Dukungan keluarga juga
merupakan andil yang besar dalam menentukan status kesehatan ibu. Jika
seluruh keluarga mengharapkan kehamilan, mendukung bahkan
memperlihatkan dukungannya dalam berbagai hal, maka ibu hamil akan
merasa lebih percaya diri, lebih bahagia dan siap dalam menjalani
kehamilan, persalinan dan masa nifas.7,12
c. Faktor Lingkungan Sosial, Budaya dan Ekonomi.
Faktor ini mempengaruhi kehamilan dari segi gaya hidup, adat istiadat,
fasilitas kesehatan dan tentu saja ekonomi. Gaya hidup sehat adalah gaya
hidup yang digunakan ibu hamil. Seorang ibu hamil sebaiknya tidak
merokok, bahkan kalau perlu selalu menghindari asap rokok, kapan dan
dimana pun ia berada. Perilaku makan juga harus diperhatikan, terutama
yang berhubungan dengan adat istiadat.Jika ada makanan yang dipantang
adat padahal baik untuk gizi ibu hamil, maka sebaiknya tetap
dikonsumsi.Demikian juga sebaliknya.Yang tak kalah penting adalah
personal hygiene.Ibu hamil harus selalu menjaga kebersihan dirinya,
mengganti pakaian dalamnya setiap kali terasa lembab, menggunakan bra
yang menunjang payudara, dan pakaian yang menyerap keringat. Ekonomi
4
juga selalu menjadi faktor penentu dalam proses kehamilan yang sehat.
Keluarga dengan ekonomi yang cukup dapat memeriksakan kehamilannya
secara rutin, merencanakan persalinan di tenaga kesehatan dan melakukan
persiapan lainnya dengan baik. Namun dengan adanya perencanaan yang
baik sejak awal, membuat tabungan bersalin, maka kehamilan dan proses
persalinan dapat berjalan dengan baik. Yang patut diperhatikan adalah
bahwa kehamilan bukanlah suatu keadaan patologis yang berbahaya.
Kehamilan merupakan proses fisiologis yang akan dialami oleh wanita usia
subur yang telah berhubungan seksual. Dengan demikian kehamilan harus
disambut dan dipersiapkan sedemikian rupa agar dapat dilalui dengan
aman.7,12
5
merasa sedih dan ambivalen tentang kenyataan bahwa ia hamil. Kurang lebih
80% wanita mengalami kekecewaan, penolakan, kecamasan, depresi, dan
kesedihan.
Fokus wanita adalah pada dirinya sendiri yang akan menimbulkan
ambivalensi mengenai kehamilannya seiring usahanya menghadapi
pengalaman kehamilan yang buruk, yang pernah ia alami sebelumnya, efek
kehamilan terhadap kehidupannya kelak (terutama jika ia memiliki karir),
tanggung jawab yang baru atau tambahan yang akan ditanggungnya,
kecemasan yang akan berhubungan dengan kemampuannya untuk menjadi
seorang ibu, masalah-masalah keuangan dan rumah tangga, dan dukungan
orang terdekat terhadap kehamilannya. Perasaan ambivalen ini biasanya
berakhir dengan sendirinya seiring ia menerima kehamilannya, sementara itu,
beberapa ketidaknyamanan pada trimester pertama, seperti nausea,
kelemahan, perubahan nafsu makan, kepekaan emosional, semua ini dapat
mencerminkan konflik dan defresi yang ia alami dan pada saat bersamaan
hal-hal tersebut menjadi pengingat tentang kehamilannya.
Trimester pertama sering menjadi waktu yang menyenangkan untuk
melihat apakah kehamilan akan dapat berkembang dengan baik. Hal ini akan
terlihat jelas terutama pada wanita yang telah beberapa kali mengalami
keguguran dan bagi para tenaga kesehatan profesional wanita yang cemas
akan kemungkinan terjadi keguguran kembali atau teratoma. Berat badan
sangat bermakna bagi wanita hamil selama trimester pertama.Berat badan
dapat menjadi salah satu uji realitas tentang keadaannya karena tubuhnya
menjadi bukti nyata bahwa dirinya hamil.Validasi kehamilan dilakukan
berulang-ulang saat wanita mulai memeriksa dengan cermat setiap perubahan
tubuh, yang merupakan bukti adanya kehamilan.Bukti yang paling kuat
adalah terhentinya menstruasi.Hasrat seksual pada trimester pertama sangat
bervariasi antara wanita yang satu dan yang lain. Meski beberapa wanita
mengalami peningkatan hasrat seksual, tetapi secara umum trimester pertama
merupakan waktu terjadinya penurunan libido dan hal ini memerlukan
komunikasi yang jujur dan terbuka terhadap pasangan masing-masing.
6
Banyak wanita merasakan kebutuhan kasih sayang yang besar dan cinta
kasih tanpa seks.Libido secara umum sangat dipengaruhi oleh keletihan,
nausea, depresi, payudara yang membesar dan nyeri, kecemasan,
kekhawatiran, dan masalah-masalah lain merupakan hal yang sangat normal
terjadi pada trimester pertama.
B. Trimester Kedua
Trimester kedua sering dikenal sebagai periode kesehatan yang baik,
yakni periode ketika wanita merasa nyaman dan bebas dari segala
ketidaknyamanan yang normal dialami saat hamil.Namun, trimester kedua
juga merupakan fase ketika wanita menelusur ke dalam dan paling banyak
mengalami kemunduran. Trimester kedua sebenarnya terbagi atas dua fase:
pra-quickening (sebelum adanya pergerakan janin yang dirasakan ibu) dan
pasca-quickening (setelah adanya pergerakan janin yang dirasakan ibu).
Quickening menunjukkan kenyataan adanya kehidupan yang terpisah, yang
menjadi dorongan bagi wanita dalam melaksanakan tugas psikologis
utamannya pada trimester kedua, yakni mengembangkan identitas sebagai ibu
bagi dirinya sendiri, yang berbeda dari ibunya.
Pada trimester kedua, mulai terjadi perubahan pada tubuh. Pada akhir
trimester kedua, rahim akan membesar sekira 7,6 cm di atas pusar.
Pertambahan berat badan rata-rata 7,65-10,8 kg termasuk pertambahan berat
dari trimester pertama. Janin mulai aktif bergerak pada periode ini.Sebagian
besar wanita merasa lebih erotis selama trimester kedua, kurang lebih 80%
wanita mengalami kemajuan yang nyata dalam hubungan seksual dibanding
pada trimester pertama dan sebelum hamil. Trimester kedua relatif terbebas
dari segala ketidaknyamanan fisik, dan ukuran perut wanita belum menjadi
masalah besar, lubrikasi vagina semakin banyak pada masa ini, kecemasan,
kekhawatiran dan masalah-masalah yang sebelumnya menimbulkan
ambivalensi pada wanita tersebut mereda, dan ia telah mengalami
perubahandari seorang yang mencari kasih sayang dari ibunya menjadi
seorang yang mencari kasih sayang dari pasangannya, dan semua faktor ini
turut mempengaruhi peningkatan libido dan kepuasan seksual.
7
C. Trimester Ketiga
Trimester ketiga sering disebut periode penantian dengan penuh
kewaspadaan. Pada periode ini wanita mulai menyadari kehadiran bayi
sebagai makhluk yang terpisah sehingga ia menjadi tidak sabar menanti
kehadiran sang bayi. Ada perasaan was-was mengingat bayi dapat lahir
kapanpun. Hal ini membuatnya berjaga-jaga sementara ia memperhatikan dan
menunggu tanda dan gejala persalinan muncul.
Trimester ketiga merupakan waktu persiapan yang aktif terlihat dalam
menanti kelahiran bayi dan menjadi orang tua sementara perhatian utama
wanita terfokus pada bayi yang akan segera dilahirkan. Pergerakan janin dan
pembesaran uterus, keduanya menjadi hal yang terus menerus mengingatkan
tentang keberadaan bayi.Wanita tersebut lebih protektif terhadap
bayinya.Sebagian besar pemikiran difokuskan pada perawatan bayi.Ada
banyak spekulasi mengenai jenis kelamin dan wajah bayi itu kelak Sejumlah
ketakutan muncul pada trimester ketiga.Wanita mungkin merasa cemas
dengan kehidupan bayi dan kehidupannya sendiri. Seperti: apakah nanti
bayinya akan lahir abnormal, terkait persalinan dan pelahiran (nyeri,
kehilangan kendali, hal-hal lain yang tidak diketahui), apakah ia akan
menyadari bahwa ia akan bersalin, atau bayinya tidak mampu keluar karena
perutnya sudah luar biasa besar, atau apakah organ vitalnya akan mengalami
cedera akibat tendangan bayi.
Ia juga mengalami proses duka lain ketika ia mengantisipasi hilangnya
perhatian dan hak istimewa khusus lain selama kehamilan, perpisahan antara
ia dan bayinya yang tidak dapat dihindari, dan perasaan kehilangan karena
uterusnya yang penuh secara tiba-tiba akan mengempis dan ruang tersebut
menjadi kosong. Depresi ringan merupakan hal yang umum terjadi dan
wanita dapat menjadi lebih bergantung pada orang lain lebih lanjut dan lebih
menutup diri karena perasaan rentannya.
Wanita akan kembali merasakan ketidaknyamanan fisik yang semakin
kuat menjelang akhir kehamilan. Ia akan merasa canggung, jelek, berantakan,
dan memerlukan dukungan yang sangat besar dan konsisten dari
8
pasangannya. Pada pertengahan trimester ketiga, peningkatan hasrat seksual
yang terjadi pada trimester sebelumnya akan menghilang karena abdomennya
yang semakin besar menjadi halangan. Alternatif untuk mencapai kepuasan
dapat membantu atau dapat menimbulkan perasaan bersalah jika ia merasa
tidak nyaman dengan cara-cara tersebut.
Dengan demikian resiko dan penyebab yang terkait, seperti tersebut diatas
dapat sebagai pencetus terjadinya reaksi-reaksi psikologis mulai tingkat gangguan
emosional yang ringan ketingkat gangguan jiwa yang serius.Sebaiknya masalah
mengenai kesehatan mental dibicarakan.Skrining penyakit mental sebaiknya
dilakukan pada pemeriksaan prenatal pertama.Ini mencakup riwayat gangguan
psikiatrik dahulu, termasuk rawat inap dan rawat jalan.7,10
Penilaian gangguan cemas dan mood dalam kehamilan mencakup
pemeriksaan medis dasar yang sesuai dalam hal ini termasuk pemeriksaan darah
lengkap, fungsi tiroid, ginjal dan hati.Disarankan juga pemeriksaan toksikologi
urin.Penggunaan obat psikoaktif sebelumnya atau saat ini seperti juga penggunaan
alkohol dan obat terlarang perlu dicatat.Gejala-gejala yang menunjukkan
disfungsi mental sebaiknya diperiksa. Kondisi seperti kecemasan dan depresi
mungkin berhubungan dengan peningkatan resiko kelahiran prematur.18,19
9
menyebutkan bahwa terjadi perbaikan gangguan panik selama proses
kehamilan dan gejalanya menonjol lagi pada periode pascapersalinan.
Prevalensi gangguan obsesif kompulsif selama hidup adalah 2 – 3%.2,3,20
a. Gangguan cemas menyeluruh
Gambaran utama gangguan ini kekhawatiran dan kecemasan yang
berlebihan tentang kehidupan kehamilan, misalnya komplikasi kehamilan,
sekalipun kehamilan itu normal, yang ditandai dengan ketegangan motorik
dan hiperaktifitas motorik dan otonom misalnya: gemetar, gugup, gelisah,
cepat lelah; gejala hiperaktifitas otonom misalnya: nafas pendek, palpitasi,
keringat, kaki dan tangan dingin, pusing, mual, gangguan menelan,
kewaspadaan yang berlebihan, perasaan terancam, iritabel, insomnia.2,20
b. Gangguan panik
Bermanifestasi dengan ciri-ciri utama adanya periode kekhawatiran yang
mendalam atau perasaan tidak enak yang berlangsung beberapa menit dan
sifatnya berulang secara tak terduga.Serangan panik terjadinya mendadak
dengan rasa takut dan kecemasan yang berlebihan serta perasaan ingin
mati.Ada laporan bahwa wanita yang hamil mengalami peningkatan gejala
panik selama kehamilan. Gejala yang dialami selama serangan panik: napas
pendek, rasa tercekik, jantung berdebar-debar, telinga mendengung, mata
kabur/ berkunang, perasaan gatal, takut mati dan kehilangan kontrol. 2,20,21
c. Gangguan obsesif kompulsif
Gangguan ini ditandai oleh dorongan dan obsesi berulang yang cukup
berat dan menyebabkan tekanan emosi yang nyata.Obsesi adalah ide yang
menetap, pikiran atau impuls yang tidak masuk akal, misalnya
keinginan.Kompulsi adalah tingkah laku yang berulang-ulang yang dilakukan
sebagai respon atas obsesi. Tingkah laku kompulsif dan pikiran obsesif
menyebabkan tekanan mental yang nyata pada wanita hamil.1,2
d. Penanganan
Psikoterapi membantu wanita hamil yang mengalami kecemasan untuk
mengatasi ketakutan dan kecemasan yang berhubungan dengan
10
kehamilannya.Dengan mendiskusikan pikiran dan perasaan yang mengganggu
menyebabkan dapat lepas dari tekanan. Pengurangan gejala kecemasan
membuat wanita tersebut dapat berfungsi lebih efektif dalam hubungan
pribadi dan keluarga dengan sendirinya kecemasan itu akan hilang.1,20,21
Pada wanita dengan gangguan obsesif kompulsif, dimana obsesi menetap
dan kecemasan yang tidak dapat ditoleransi rawat inap mungkin
diperlukan.Pengobatan noninvasif yang efektif dari gangguan kecemasan
dapat digunakan melalui latihan relaksasi otot yang bertahap, visual imagery,
latihan kognitif, latihan biofeedback. Dasar pengobatan ini adalah relaksasi
otot dan ketegangan otot tidak timbul pada waktu yang sama, karena itu
wanita hamil yang belajar unutk melemaskan ototnya tidak akan mengalami
gejala gangguan kecemasan.1
Obat anti cemas dapat menghilangkan gejala cemas.Penggunaan obat anti
cemas sebaiknya dihindari pada kehamilan trimester I. Bila kecemasan
berlebihan dan mengganggu dapat diberikan obat anti cemas golongan
benzodiazepin dan non benzodiazepin. Pasien yang hamil dengan adanya
gejala panik yang serius dapat diberikan alprazolam dengan dosis
minimum.2,20
Wanita hamil yang mendapat obat golongan benzodiazepin, bayinya akan
memberikan 2 tipe reaksi toksik, yaitu: sindrom floppy infant dan reaksi
withdrawal.1 Gilberg menghubungkan penggunaan benzodiazepine dosis
rendah yang lama dengan sindrom floppy infant dengan gejala: hipotoni,
letargi, sulit mengisap, sianosis dan hipotermia.2,22 Gejala withdrawal pada
bayi baru lahir dengan penggunaan diazepam selama kehamilan yang timbul 2
– 6 jam setelah kelahiran, terdiri dari: tremor, iritabel, hipertonia dan reflek
hisap yang berlebihan. Gejala ini berhasil diatasi dengan pemberian
fenobarbital selam 6 minggu.Wanita yang menggunakan benzodiazepin
sebaiknya tidak menyusui.Penggunaan obat anti cemas tentang terjadinya
kelainan kongenital masih kontroversi. Namun, beberapa penelitian
melaporkan penggunaan diazepam selama kehamilan meningkatkan resiko
terjadinya labiopalatoskisis.1,2,20,21,22
11
2. Gangguan Afektif Pada Kehamilan
Gejala utamanya adalah gangguan mood disertai dengan sindrom manik
atau depresi yang bukan disebabkan oleh gangguan mental atau penyakit fisik.
Insidens gangguan bipolar atau gangguan manik ± 0,5 – 1,5%. Insiden depresi
mayor dan gangguan manik cenderung meningkat pada periode setelah
melahirkan.Gejala gangguan depresi yang lain adalah: wajah murung,
cengeng, gelisah dan iritabilitas meningkat, sulit konsentrasi, ragu-ragu, sering
lupa, timbul ide kematian dan bunuh diri biasa ditemukan pada depresi mayor.
Gejala umum mania adalah: ketidakstabilan mood dengan adanya peralihan
mood yang cepat dari kemarahan dan depresi. Cara bicara mania sangat cepat,
keras dan sulit dipotong.2,18,24
a. Depresi mayor
Ditandai oleh mood yang disforik, tidak peduli pada lingkungan, kenaikan
atau penurunan berat badan, insomnia atau hipersomnia, kelelahan, perasaan
tidak berharga dan pada kasus yang berat ada ide yang menetap untuk bunuh
diri.22,23
b. Gangguan bipolar
Gangguan bipolar atau gangguan manic ditandai oleh periode euforia, atau
iritabel yang jelas, hiperaktifitas, insomnia, banyak bicara, tidak bisa
memusatkan perhatian dan harga diri yang berlebihan. Baik gangguan depresi
maupun episode manik bisa disertai gambaran psikotik, misalnya: halusinasi
auditorik maupun ide-ide delusi, 15 – 25% diantara wanita pernah mengalami
depresi selama hidupnya. 1,22,23
c. Penanganan
Perencanaan kehamilan sangat penting pada wanita yang didiagnosis
depresi atau mania, sebaiknya kehamilannya perlu direncanakan atau
dikonsultasikan dengan ahli kebidanan dan kandungan, dan psikiater tentang
masalah resiko dan keuntungan setiap pemakaian obat-obat
psikofarmakologi.1 Rawat inap sebaiknya dipikirkan sebagai pilihan
pengobatan psikofarmakologis pada trimester I untuk kasus kehamilan yang
12
tidak direncanakan, dimana pengobatan harus dihentikan segera dan apabila
terdapat riwayat gangguan afektif rekuren.1,2
Penggunaan antidepresan trisiklik sebaiknya hanya pada pasien hamil
yang mengalami depresi berat yang mengeluhkan gejala vegetatif dari depresi,
seperti: menangis, insomnia, gangguan nafsu makan dan ada ide-ide bunuh
diri. Psikoterapi harus digunakan bila ada konflik intrapsikis yang
berhubungan dengan kehamilan.Terapi perilaku kognitif sangat menolong
pasien depresi dan dapat digunakan bersama antidepresan.Terapi
elektrokompulsif (ECT) digunakan pada pasien depresi psikotik
untukmendapatkan respon yang lebih cepat, bila kehidupan ibu dan anak
terancam. Belum ada hubungan yang jelas antara penggunaan nortriptilin,
desipramin atau golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
adalah antidepresan pilihan untuk wanita hamil, mencakup fluoksetin dan
sertralin, tidak menyebabkan hipotensi ortostatik, konstipasi atau sedasi.2,20
Epidemiologi
Dalam dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi
perhatian khusus pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca
salin, dan telah melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang
diduga mempunyai kaitan dengan gejala-gejala tersebut. Berbagai studi
mengenai baby blues syndrome di luar negeri melaporkan angka kejadian
13
yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan
disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang
digunakan.4
Etiologi
14
Kelenjar thyroid berukuran kecil dan terletak di leher.Beberapa wanita
mengalami penurunan hormon thyroid setelah melahirkan. Rendahnya hormon
thyroid akan menyebabkan gejala depresi, irritabilitas, berkurangnya minat
pada aktivitas biasa, kelemahan dan peningkatan berat badan. Akan tetapi
tidak semua wanitamengalami baby blues syndrome akibat ketidakseimbangan
hormon thyroid.8
Perubahan gaya hidup.
Ibu baru mengalami banyak perubahan gaya hidup, dan beberapa
diantaranya akan berkontribusi dalam terjadinya baby blue syndrome.
Lingkungan yang meningkatkan risiko gejala baby blues syndrome antara lain:
Perubahan jadwal sehari-hari akibat bayi yang baru lahir
Kepikiran pada berat badan dan bentuk tubuh setelah hamil
Kelelahan dan kurang tidur setelah melahirkan anak
Sedikitnya dukungan dalam merawat bayi
Khawatir akan kemampuan untuk menjadi ibu yang baik depresi
15
2.) Faktor pengalaman.
Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Paykel dan Inwood dalam Regina dkk 2001, mengatakan bahwa depresi
pascapersalinan ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara,
mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan
bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat
menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters
yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan
hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi
pertama.
3) Faktor pendidikan.
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan
konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan
untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran
mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka.
4.) Faktor selama proses persalinan.
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang
digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik
yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula
trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang
bersangkutan akan menghadapi depresi pascapersalinan.
5.) Faktor dukungan sosial.
Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan
pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak
berkurang.
Patofisiologi
Baby blues bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor
biologis dan faktor emosi. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level hormon
16
yang sangat mendadak pada ibu. Hormon kehamilan (estrogen dan
progesteron) secara mendadak mengalami penurunan 72 jam setelah
melahirkan dan juga disertai penurunan kadar hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan
perasaan tertekan serta di lain sisi terjadi peningkatan dari hormon menyusui.25
Perubahan hormon yang cepat inilah bisa mencetuskan terjadinya baby
blue syndrome.Level neurosteroid berasal dari hormon progesteron yang
mengalami fluktuasi selama siklusmenstruasi dan memuncak saat
kehamilan.Hormon sex yang dinamakan neurosteroid berikatan dengan
beberapa tipe reseptor termasuk reseptor GABAA untuk memodulasi
eksitabilitas dari sel otak.Kekurangan delta subunit reseptor GABAA pada
wanita menunjukkan sikap depresi dan gangguan cemas setelah melahirkan.
Pemberian antidepresan saat kehamilan akan berefek panjang pada sistem
serotonin dan berpengaruh pada sensitivitas reseptor GABAA.26
Tidak ada hubungan yang konsisten, kadar estrogen dan perubahan
pada estrogen dengan depresi post partum yang benar-benar terbukti. O’Hara
dkk menemukan hubungan kadar estradiol pada usia kehamilan 36 minggu
dan depresi postpartum pada penelitian terhadap 182 perempuan. Penelitian
lain terhadap blue syndrome dan depresi postpartum menemukan kadar
estrogen yang sama pada ibu-ibu yang mengalami gangguan mood dan yang
tidak mengalami gangguan mood.31 Ada bukti menunjukkan interaksi estrogen
dengan neurotransmitter. Sebagian data mendapatkan estradiol mungkin
memberi efek pada system transmitter dan menganggu fungsi kognitif dan
proses emosional. Reseptor estrogen menyebar luas dalam otak pada manusia
Efek estrogen yang paling di akui adalah interaksinya dengan reseptor
dopamine terutama efek menghambat. Estrogen juga memberi efek terhadap
reseptor norepinephrine, adrenalin dan serotonin.33
17
menyatakan estrogen menghambat uptake dopamine pada area ini, sehingga
mekanisma pasti masih ditelusuri. Ada bukti menyatakan perubahan aktifitas
dopamine oleh estrogen akibat berubahnya protein G pada reseptor D2
dopamin.32
18
tidak sanggup merawat bayinya seorang diri dirumah baik itu dari segi kasih
sayang maupun dari segi finansial.Baby blues syndrome juga sangat mungkin
terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan atau
mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung.26
Gambaran Klinis
Diagnosis
Baby blues syndrome adalah tekanan atau stress yang dialami oleh
seorang wanita pasca melahirkan karena penderita beranggapan bahwa
kehadiran bayi akan mengganggu atau merusak suatu hal dalam hidupnya
19
seperti karier, kecantikan/penampilan dan aktivitas rutin yang dianggap
penting dalam hidupnya. Penderita baby blues syndrome kebanyakannya
adalah kalangan wanita karier, artis, model dan wanita modern tetapi sindrom
ini tidak menutup kemungkinan menyerang pada wanita muda (pernikahan
dini) dan semua wanita pasca melahirkan.26
Perubahan sikap yang negatif dengan kondisi emosional yang kurang
terkontrol seperti sering marah, cepat tersinggung, dan menjauh dari bayi yang
baru dilahirkan, susah tidur dan tiba-tiba sering menangis. Apabila ini tidak
segera ditangani berdampak negatif terhadap kesehatan jiwa
penderita.Sindrom ini umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah
melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga atau empat setelah
persalinan. Seseorang terdiagnosis baby blues syndrome apabila terlihat secara
psikologis kejiwaannya seperti di bawah ini:26,27
Perasaan cemas, khawatir ataupun was was yang berlebihan, sedih,
murung, dan sering menangis tanpa ada sebab (tidakjelas
penyebabnya).
Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus
sering migrain.
Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak.
Adanya perasaan putus asa
20
Tidak memperhatikan atau bahkan perhatian yang berlebihan pada
anak.
Perasaan takut telah menyakiti anak.
Tidak tertarik pada seks.
Perasaan berubah-ubah dengan ekstrim, terganggu proses berpikir dan
konsentrasi.
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa
secara langsung postpartum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan
beberapa simptom yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan depresi
postpartum blues bila memenuhi kriteria dan gejala yang ada.
Kekuranganhormonthyroid yang ditemukan pada individuyang mengalami
kelelahanluar biasa ditemukan juga pada ibu yang mengalami postpartum
blues mempunyai jumlah kadar thyroid yang sangat rendah.25,26
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudahmerupakan
acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat
dipergunakan beberapa kuesioner dengan alat bantu.Endinburgh Postnatal
Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validasi yang teruji
yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari
pasca salin.Pertanyaan-pertanyaan berhubungan dengan labilitas perasaan,
kecemasan, perasaan bersalah sertamencakup hal-hal lain yang terdapat pada
postpartum blues.Kuesiner initerdiri dari 10 pertanyaan, dimana setiap
pertanyaan memiliki 4 pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus
dipilih satusesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat
itu.Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata rata dapat
diselesaikandalam waktu 5 menit, nilai scoring lebih besar 12 memiliki
sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis
postpartum blues. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca
salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2
minggukemudian.8,27
21
Karakteristik Baby Blues Syndrome Postpartum Depression
Insidens 30-75% dari wanita yang 10-15% dari wanita yang
melahirkan melahirkan
Pengaruh sosial dan Tidak ada; ada dalam Ada hubungan yang kuat
budaya semua budaya dan kelas
sosioekonomi
22
Keterkaitan Neurotransmitter pada Depresi Postpartum
Penatalaksanaan
23
harus juga dipenuhi.Mereka membutuhkan kesempatan untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang
menakutkan.Mungkin juga merekamembutuhkan pengobatan dan/atau
istirahat, dan seringkali merasa gembiramendapat pertolongan praktis.Dengan
bantuan dari teman dan keluarga,mereka mungkin perlu untuk mengatur atau
menata kembali kegiatan rutinsehari-hari,atau mungkin menghilangkan
beberapa kegiatan, disesuaikandengan konsep mereka tentang keibuan dan
perawatan bayi.8,25
Bila memangdiperlukan dapat diberikan pertolongan dari para ahli,
misalnya dari seorang psikolog atau konselor yangberpengalaman dalam
bidang tersebut.Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk
mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental
pasca-salin dansegera memberikan penangganan yang tepat bila terjadi
gangguan tersebut, bahkan merujuk kepada para ahli psikologi/konseling bila
memangdiperlukan. Postpartum blues juga dapat dikurangi dengan cara
belajar tenangdengan menarik nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi
tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu,
tidak perfeksionis dalam hal menguruskan bayi, membicarakan rasa cemas
danmengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok
ibu-ibu baru. 8,25
Dalam penangganan para ibu yang mengalami postpartum blues
dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik. Pengobatan medis,konseling,
emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secaraintelektual tentang
pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin padasaat-saat tertentu.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan ditingkat
perilaku, emosional, intelektual, social dan psikologissecara bersama-sama
dengan melibatkan lingkungannya yaitu: suami,keluarga, dan juga teman
dekatnya.8,25
2. Psykosis Postpartum (Puerperal Psykosis)
Definisi
24
Psikosis postpartumialah suatu sindrom yang ditandai oleh depresi berat
dan waham. Umumnya terjadi pada minggu pertama dalam 6 minggu setelah
melahirkan.25 Perempuan yang menderita bipolar disorder atau masalah psikotik
lainnya yang disebut Skizoafektif disorder mempunyai resiko yang lebih tinggi
untuk terkena postpartum psikosis. Gejalanya antara lain mengalami delusi,
halusinasi, gangguan saat tidur dan obsesi mengenai bayinya. Penderita dapat
terkena perubahan mood secara drastis, dari depresi ke gusaran dan berganti
menjadi euforia dalam waktu yang singkat.23
Etiologi
25
psikologis individu.Klaus dan Kennel mengindikasikan pentingnya cinta
dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik
antara ibu dan anak.
d. Faktor sosial.
Paykel dan Regina dkk mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak
memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu-ibu, selain kurangnya
dukungan dalam perkawinan.
Patogenesis
1. Faktor Hormon
Kadar hormon estrogen dan progesteron menurun drastis saat persalinan.
Perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron pada saat kehamilan
memicu peningkatan ikatan pada reseptor dopamin dan penurunan kadar
hormon saat persalinan menyebabkan terjadinya suatu supersensitivitas
reseptor dopamin yang mencetuskan terjadinya psikotik postpartum. 30,31
2. Faktor Psikososial
Penelitian psikodinamik menunjukkan bahwa pada gangguan postpartum
terdapat konflik antara sang ibu dengan tugasnya sebagai ibu yang harus
mengasuh anaknya, dengan kelahiran anaknya yang baru dengan suaminya.
Konflik ini mempunyai peranan dalam menentukan identitas dirinya sebagai
seorang ibu yang tak dapat berkomunikasi dengan bayinya, menghambat ibu
ini menemukan jati dirinya dan ini merupakan hambatan dini hubungan timbal
balik antara ibu dan anak. Walaupun wanita ini mempunyai pengalaman
dengan ibunya, tetapi pengalaman masa kanak-kanak memaksanya menolak
figur ibunya untuk ditiru dan didentifikasi. Penolakan ini mengakibatkan
seorang ibu kehilangan arah dan menjadi bingung. Gangguan identifikasi ini
menyebabkan perasaan terganggu, mereka sebagai ibu yang tidak tahu
bagaimana seharusnya bertindak, dan melahirkan anak tetapi tidak tahu
bagaimana merawatnya.
3. Faktor Biologis
26
Wanita dengan riwayat psikosis cenderung untuk terjadi rekurensi
sebanyak 90%.
Faktor Risiko28
Seorang wanita kemungkinan akan mengalami depresi dan psikosis
postpartum, jika ia memiliki:
1. Riwayat mengidap depresi atau penyakit mental lainnya
2. Pernah mengalami depresi postpartum. Wanita yang pernah menderita
depresi postpartum setelah melahirkan memiliki resiko kekambuhan
sekitar 25%.
3. Riwayat keluarga yang mengidap depresi
4. Mengalami stress di rumah atau tempat kerja selama hamil. Perempuan
yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran,
antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja
tau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai
ibu rumah tangga dan orang tua dari anak-anaknya.
5. Kurang mendapat dukungan emosional. Banyaknya kerabat keluarga yang
membantu pada saat kehamilan, persalinan, dan pascasalin, beban seorang
ibu karena kehamilannya akan semakin berkurang.
6. Memiliki masalah pernikahan atau masalah hubungan.
Gambaran Klinis
Pada psikosis postpartum gejala dapat terjadi dalam jangka waktu setahun
setelah melahirkan anak. namun awalnya sering terjadi pada minggu kedua atau
minggu ketiga setelah persalinan. Gejala yang khas pada psikosis postpartum
yaitu:
1. Agitasi.
2. Gelisah.
3. Emosi yang labil.
4. Kegembiraan yang berlebihan.
5. Insomnia.
6. Menangis.
27
7. Bingung.
8. Dan lama-kelamaan akan timbul episode psikotik yang gawat dengan
gambaran mania dan delirium.(2)
Tabel 2. Perbedaan gejala klinis dari baby blues syndrome, postpartum depression
dan postpartum psychotic.
28
Baby Blues Syndrome Postpartum Depression Postpartum Psychotic
Terjadi pada 30-75% Terjadi pada 10-15% Terjadi pada 0,1-0,2% ibu
ibu melahirkan ibu melahirkan melahirkan
Gangguan suasana Gangguan suasana Depresi dengan gangguan
hati dan pikiran hati dan pikiran mood
(mood) dengan perasaan Khayalan yang kacau (bayi
Munculnya rasa sedih tertekan yang merata cacat/meninggal,
Murung, gelisah, Mudah/sering mengingkari kelahiran,
tidak nyaman menangis menganggap dirinya belum
Kebingungan yang Hampir selalu sulit menikah, perawan, terus
subjektif tidur menerus meragukan
Menjadi Terjadi antara 3-6 keyakinan diri, mudah
mudah/sering bulan setelah terpengaruh, memberontak)
menangis melahirkan, biasanya Mengeluh letih, tidak bisa
Kadang sulit tidur 12 minggu tidur, gelisah, menangis,
29
mengalami Sangat erat mengalami
penyimpangan hubungannya penyimpangan mood.
mood dengan pengalaman Ingin bunuh diri atau
Tidak berpikir ingin penyimpangan membunuh sang bayi.
bunuh diri mood yang Bisa merasa ada suara-
Jarang ada yang pernah/sedang suara yang menyuruhnya
berpikir ingin dialami. Bisa bunuh diri atau
menyakiti sang bayi terjadi pada ibu membunuh sang bayi
Hampir tidak yang anggota Dari populasi penderita,
pernah merasa keluarga lainnya 5% bunuh diri, 4%
bersalah dan tidak pernah mengalami membunuh bayinya,
berdaya. penyimpangan 67% mengalami
Bisa kembali mood. kejadian kedua kali
normal dengan Kadang berpikir penyimpangan
sendirinya bila ingin menyakiti emosional (affective
dukungan dan sang bayi. disorder) sepanjang
bantuan anggota Sering merasa tahun
keluarga lain bisa berlebihan merasa Proses kelahiran menjadi
membuat sang ibu bersalah dan tidak salah satu ketegangan
baru tersebut berdaya yang berkembang
tenang Perlu mendapatkan menjadi penyimpangan
bantuan dan mood yang hebat
treatment Harus mendapatkan
bantuan, pengawasan
dan treatment
2.5 Pseudocyesis
Definisi
30
Pseudosiesis adalah kehamilan amaginer atau palsu, gejala kehamilan ini
secara psikis lebih berat gangguannya daripada peristiwa abortus. Biasanya gejala
yang timbul seperti tanda hamil yang pasti yaitu:35,36
1. Berhentinya menstruasi
2. Membesarnya perut
3. Payudara jadi besar
4. Pinggul jadi besar
5. Perubahan – perubahan kelenjar endokrin, dll.
Etiologi
Sebuah penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara kehamilan
palsu dengan kelenjar pituitary (pusat produksi hormon selama kehamilan).
Ketidakseimbangan hormon ini sering dipicu oleh stres dan kecemasan, sehingga
dapat menyebabkan perubahan emosi dan psikologis yang mengarah pada
kepercayaan atas sesuatu yang sangat diharapkannya.35Perempuan yang
mengalami kondisi ini biasanya dianjurkan untuk melakukan konseling, karena
penyebab dasarnya adalah emosional dan psikologis termasuk stres, gelisah dan
depresi.37
Para psikolog percaya bahwa perempuan yang mengalami kehamilan palsu
memiliki keinginan yang sangat kuat untuk hamil, sehingga dirinya merasa
mengalami proses kehamilan. Perempuan yang beresiko mengalami hamil palsu
ini, diantaranya:37
1. Usia akhir 30 atau awal 40 tahun dan belum memiliki anak
2. Pernah mengalami keguguran pada kandungan sebelumnya
3. Sangat ingin punya anak lagi, karena anak yang kecil sudah layak punya
adik lagi
4. Di lingkungannya ada perempuan yang sedang hamil
5. Faktor stres dan kecemasan, terutama yang menyangkut kehamilan
Pada kehamilan pseudosiesis secara psokologis ada sikap yang ambivalen
terhadap kehamilannya yaitu ingin sekali menjadi hamil, sekaligus di barengi
ketakutan untuk merealisir keinginan punya anak, sehingga terjadi proses inhibisi.
31
Keinginan-keinginan tersebut dibarengi rasa bersalah dan dorongan untuk
menghukum diri sendiri yang kemudian di kompensasikan dalam bentuk
agresivitas, secara simultan, berbarengan muncul kesediaan untuk tidak
menyadari bahwa kehamilannya ilusi belaka. Oleh komponen yang kontradiktif
ini biasanya wanita tidak mau ke dokter untuk memeriksakan dirinya.35
Penyebab yang pasti dari hamil palsu belum diketahui.Tetapi faktor yang
sangat sering berhubungan dengan terjadinya Kehamilan palsu adalah faktor
emosional/psikis yang menyebabkan kelenjar pituitary terpengaruh sehingga
menyebabkan kegagalan system endokrin dalam mengontrol hormone yang
menimbulkan keadaan seperti hamil.Jadi, kebanyakan kejadian hamil palsu ini
disebabkan faktor psikologis dimana karena keinginan yang besar dari wanita
untuk memiliki anak atau bisa juga karena ingin menghindari kehamilan.36
Tatalaksana
Pengobatan tergantung sejauh mana kepercayaan pasien terhadap
delusi/khayalannya, perlunya dukungan dari pasangan hidup dan juga keluarga
untuk mengatasinya.Untuk suatu keadaan yang berat dimana penderita benar-
benar merasa yakin kalau dia hamil dan keadaan ini sampai menimbulkan depresi
maka konseling psikologis atau psikiater mungkin diperlukan.Pengobatan hanya
dilakukan konseling dengan psikoterapist.37
1. Risiko Obat
a. Organ malformasi (Teratogenisitas)
32
Teratogen adalah zat atau apapun (obat, zat kimia, polutan, virus, fisik)
yang dalam kehamilan dapat menyebabkan perubahan bentuk atau fungsi
organ dalam perkembangan janin.Teratogen berasal dari bahasa Yunani
teratos, yang berarti monster.Hadegen, asal kata dari Hades (dewa dalam
mitologi Yunani), adalah zat yang mengganggu pertumbuhan dan fungsi
normal dari organ.Trophogen adalah zat yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan organ. Hadegen dan trophogen inilah yang
mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan organ (organogenesis)
bahkan setelah lahir.38
Periode utama pembentukan organ adalah 12 minggu pertama
kehamilan. Sebuah obat dianggap teratogenik jika selama pengkonsumsian
dapat meningkatkan risiko kelainan bawaan dibandingkan dengan populasi
umum. Dalam sebuah survei besar di antara 746 anak perempuan dengan
skizofrenia, Bennedsen et al membandingkan risiko cacat bawaan dengan
risiko di antara 56.106 anak di populasi umum. Peningkatan kecil malformasi
ditemukan pada bayi dari ibu dengan skizofrenia, tetapi tidak ada perbedaan
antara anak perempuan dengan skizofrenia yang melahirkan sebelum (tidak
ada paparan antipsikotik) atau setelah masuk pertama kali ke departemen
psikiatri.39 Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dari
ibu dengan psikosis mungkin memiliki peningkatan risiko malformasi
independen paparan antipsikotik.40
Hanya terdapat sedikit data mengenai efek samping pada janin bagi
perempuan dengan gangguan jiwa yang diobati dengan antipsikotik selama
kehamilan.Hal ini disebabkan karena alasan etis pada penelitian. Kebanyakan
data berasal dari studi epidemiologi besar perempuan yang terkena agen
antipsikotik selama kehamilan. Agen antipsikotik yang telah dipelajari paling
menyeluruh dalam kehamilan adalah fenotiazin dan haloperidol.40
Sobel mempelajari 52 wanita dengan psikosis terkena klorpromazin
selama kehamilan dibandingkan dengan kelompok kontrol dari 110 wanita
yang tidak diobati dari populasi pasien yang sama. Temuan yang mengejutkan
33
adalah bahwa tingkat kerusakan janin adalah serupa pada kedua kelompok,
tetapi tingkat ini masih sekitar dua kali yang terlihat pada populasi umum.41
Fenotiazin
Haloperidol
34
berat lahir intrauterin atau neonatal survival, fekunditas atau durasi kehamilan
dibandingkan dengan wanita yang tidak memakai antipsikotik.44 Namun,
Laporan kasus menggambarkan bayi yang baru lahir dengan cacat berupa
berkurangnya anggota badan pada ibu yang diobati dengan haloperidol 1,5 mg
/ hari selama periode ekstremitas-sensitif organogenetic.45 Kopelman et al
menjelaskan neonatus dengan kelainan tungkai yang parah setelah ibu
mengkonsumsi haloperidol 15 mg / hari selama 7 minggu pertama kehamilan,
namun neonatus juga terkena dalam rahim untuk methylphenidate dan
fenitoin.46
Godet dan Marie-Cardine mempelajari 199 anak yang lahir dari ibu
dengan skizofrenia yang terkena obat antipsikotik selama kehamilan. Sebuah
peningkatan minimal dalam risiko malformasi terlihat dalam studi ini: 2,5%
dari anak-anak memiliki kelainan. Mereka mengamati 4 malformasi antara 89
anak terpapar dalam rahim untuk setidaknya satu agen antipsikotik selama
trimester pertama dan 3 malformasi antara 29 anak terpapar dalam rahim
untuk penggunaan haloperidol. Namun, pada penelitian ini terdapat
kekurangan mengenai signifikasi hubungan antara risiko malformasi dan
pengobatan antipsikotik. Informasi ini perlu dipertimbangkan terhadap laporan
kasus di mana kausalitas belum ditetapkan.47
Atypical Antipsikotik
35
tubuh>27 kg/m2). Folat serum Jahat jauh lebih rendah dibanding pada pasien
rumah sakit umum, meningkatkan risiko cacat tabung saraf.
Clozapine
Beberapa tindak lanjut studi klinis ibu hamil dengan gangguan psikotik
yang dirawat dengan clozapine telah menunjukkan bahwa tidak ada bukti
hubungan kausal antara clozapine dan terjadinya malformasi janin.48 Beberapa
laporan kasus yang diterbitkan dan seri kasus kolektif menunjukkan ada
hubungan yang pasti antara paparan clozapine dan anomali kongenital pada
hewan atau manusia, namun sejauh mana data hewan dapat extrapolat ed
untuk manusia tidak jelas.
T'enyi dan Trixler melaporkan pada enam kehamilan dari empat
wanita dengan skizofrenia (satu kehamilan setiap tiga wanita dan tiga
kehamilan pada satu perempuan) yang memerlukan perawatan clozapine
selama kehamilan, tidak satu pun dari kehamilan menunjukkan efek samping
yang dialami oleh salah satu perempuan atau bayi mereka. 48 Namun, di
review, Dev dan Krupp melaporkan pada 61 anak yang lahir dari 59
perempuan yang menerima pengobatan clozapine selama kehamilan. Lima
puluh satu dari anak-anak yang sehat, lima memiliki cacat bawaan dan lima
memiliki sindrom perinatal. Para ibu dari beberapa anak-anak dengan cacat
bawaan telah mengambil obat lain selama kehamilan dan obat-obatan bisa
memainkan beberapa bagian dalam menyebabkan kerusakan janin. Layanan
Pharmacovigilance Novartis telah melaporkan hampir 200 kasus dengan
kejadian malformasi dari 6%. Namun, ini hanya merupakan kehamilan
dilaporkan secara spontan kepada perusahaan, dan kehamilan lain yang terkait
dengan clozapine, oleh karena itu hasil penelitian tersebut tidak dianggap.46
Olanzapine
36
lahir mati pada 5%, kelainan besar di 0% dan prematur pada 5%. Sebuah
penjelasan diperluas dalam Database Pharmacovigilance Dunia Lilly
Keselamatan yang luas mencakup data hasil kehamilan untuk 144 kasus
dilaporkan prospektif. Di antaranya, 102 (70,8%) mengakibatkan kelahiran
normal, 12 (8,3%) menyebabkan aborsi spontan, 6 (4,2%) ke prematur
pengiriman dan 3 (2,1%) stillbirths terjadi. Data yang dilaporkan adalah
semua dalam kisaran normal tingkat kontrol sejarah. 49
Malformasi utama yang terdaftar di enam kasus (4,2%). Dalam satu
kasus ibu juga digunakan ganja, alkohol, nikotin dan ekstasi, dan dalam tiga
kasus ibu juga minum obat psikotropika bersamaan (benzodiazepin,
paroxetine, asam valproik [valproate natrium]). Ada laporan kasus beberapa
bayi sehat lahir tanpa komplikasi meskipun paparan pralahir untuk olanzapine.
Risperidone
Quetiapine
37
pembuahan, dosis berkurang pada minggu kedua puluh kehamilan menjadi
200mg dan 2 minggu kemudian untuk 150mg. Taylor et al melaporkan pada
pasien yang kehamilannya dikonfirmasi. setelah 2 minggu quetiapine 300 mg /
hari perawatan. Pada minggu 21 dosis dikurangi menjadi 200 mg / hari sampai
4 minggu sebelum tanggal perkiraan untuk pengiriman, ketika dosis
quetiapine nya berkurang 50 mg / hari setiap minggu. Pasien tetap dalam
remisi selama kehamilan dan tidak ada masalah yang diamati pada postpartum
bulan pertama.50
38
c. Pascanatal Perilaku sequelae (Toksisitas Perilaku)
Toksisitas perilaku mengacu pada potensi dalam eksposur rahim
dengan obat psikotropika menyebabkan gejala sisa neurobehavioural jangka
panjang. Pertanyaan ini rumit oleh faktor genetik dan lingkungan yang juga
berkontribusi terhadap hasilnya. Beberapa data dari penelitian pada hewan
telah menunjukkan bahwa perubahan dalam neurotransmitter. Fungsi dan
perilaku terjadi setelah paparan pralahir untuk agen psikotropika, seperti
klorpromazin dan haloperidol.45 Masih harus ditentukan apa konsekuensi
temuan ini bagi manusia.
Data mengenai efek paparanneurobehavioural pralahir untuk
antipsikotik sangat terbatas. Tanpa tindak lanjut mustahil untuk
memperkirakan efek neurobehavioural pada anak yang terpajanantipsikotik.
Dalam sebuah studi kasus kontrol, dari 68 anak terpapar dalam rahim untuk
antipsikotik khas (fenotiazin, haloperidol) selama trimester kedua kehamilan
dievaluasi. Analisis statistik tidak ditemukan adanya perbedaan yang
signifikan dalam perilaku antara anak-anak terkena dan tidak terkena anak
dalam rahim untuk antipsikotik.39
39
dengan skizofrenia hamil atau berencana untuk hamil menjadi jauh lebih
sulit.51
Dokter harus menginformasikan pasien dari kemungkinan tinggi
kambuh dan risiko yang terkait dengan dekompensasi yang serta informasi
yang lengkap tersedia mengenai risiko atau manfaat dari perawatan dengan
obat antipsikotik. Risiko penggunaan alkohol, merokok, masalah gizi, stres
dan masalah hubungan potensial berkaitan dengan psikosis harus dibahas.
Dokter harus mempertimbangkan manfaat dari pengendalian penyakit jiwa
parah pada pasien hamil mereka versus risiko untuk ibu dan janin dari
pengobatan berkelanjutan. Wadhwa et al menyelidiki konsekuensi dari stres
ibu dan faktor terkait dalam kehamilan pada panjang kehamilan janin,
pertumbuhan janin dan perkembangan otak. Temuan mereka mendukung
peran penting untuk stres prenatal ibu dalam etiologi prematuritas terkait hasil
dan menyarankan bahwa efek ini sebagian dimediasi oleh sumbu
neuroendokrin ibu janin, terutama oleh plasenta corticotropin-releasing
hormone. Temuan mereka juga memberikan bukti awal bahwa pengaruh stres
prenatal pada janin berkembang dapat bertahan setelah lahir.39,40
Penyakit jiwa selama kehamilan juga dapat mempengaruhi self care-
ibu dan perhatian terhadap perawatan prenatal. Bunuh diri atau impulsif
terkait dengan negara psikotik menimbulkan risiko klinis. Wanita hamil
dengan psikosis telah ditemukan untuk menjadi lebih mungkin untuk merokok
atau menggunakan alkohol atau obat-obatan terlarang. Psikosis selama periode
postpartum juga dapat mempengaruhi ibu-bayi lampiran dan, dengan
demikian, mempengaruhikemudian bayi pembangunan. Anak-anak dari ibu
yang dirawat di rumah sakit dengan skizofrenia jarang berhasil dibesarkan
oleh ibu mereka dan, karena itu, awal bayi mereka lingkungan lampiran sangat
terganggu dan tidak sebanding dengan anak-anak dibesarkan oleh ibu yang
sehat. Ada data yang menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu dengan
skizofrenia lebih mungkin untuk menampilkan masalah perilaku dan
gangguan pameran di motor, kognitif dan perkembangan emosional.40,51
40
Wanita dengan Skizofrenia yang Telah Menjadi Hamil
Algoritma pengobatan yang paling tepat untuk pengobatan wanita
dengan skizofrenia yang telah hamil tergantung pada tingkat keparahan
gangguan. Pemantauan selama kehamilan sangat penting untuk
memungkinkan deteksi cepat dan pengobatan penyakit berulang. Ketika obat
diindikasikan, upaya harus dilakukan untuk memilih pilihan paling aman,
keputusan berdasarkan data keamanan reproduksi yang tersedia dan riwayar
respon respon obat. Bila mungkin, switch ini harus terjadi sebelum wanita
mencoba untuk hamil, untuk mengkonfirmasi stabilitasnya dalam menanggapi
obat.Sebaliknya, pasien dengan psikosis kronik, terutama mereka dengan
riwayat kambuh berulang, sebaiknya dipelihara pada antipsikotik sebelum dan
selama kehamilan. Pendekatan ini memiliki keuntungan bahwa paparan obat
janin mungkin terbatas ketika dosis rendah digunakan dan kebutuhan untuk
inadministration intermiten dosis tinggi untuk mengobati kekambuhan
psikotik dapat dihindari. Pemantauan terapi obat bisa membantu untuk
menemukan dosis yang optimal,terutama mengingat kapasitas metabolisme
diubah untuk banyak obat selama kehamilan.51
Data mengenai efek penghentian obat pada kesejahteraan pasien
dengan penyakit jiwa telah mengungkapkan risiko yang besar. Ini memiliki
promptedreassessment pedoman bagi perempuan yang hamil saat dirawat
dengan antipsikotik, serta bagi perempuan yang mengembangkan gangguan
onset baru kejiwaan selama kehamilan. Keputusan untuk menerima risiko
absolut lebih tinggi daripada rata-rata dan risiko relatif kecil untuk
teratogenesis terkait dengan antipsikotik tertentu dapat dibenarkan oleh
kebutuhan untuk terapi obat untuk memastikan kesehatan mental yang stabil
ibu selama kehamilan.47
Perhatian juga harus diberikan pada dosis obat selama kehamilan. Ada
dorongan intuitif untuk mengurangi penggunaan obat selama kehamilan.
Namun, bagi banyak obat, tampaknya ada ada hubungan dosis-respon yang
jelas untuk risiko selama kehamilan. Oleh karena itu, banyak wanita dapat
undertreated dan ditempatkan pada peningkatan risiko untuk kambuh jika
41
dosis obat mengalami penurunan. Meskipun risiko tidak dapat diukur mutlak,
pentingnya menimbang berbagai pilihan pengobatan dan risiko relatif dengan
wanita dihadapkan dengan keputusan ini tidak dapat dilebih-lebihkan.50
Beberapa antipsikotik atipikal menyebabkan berbagai derajat berat
badan, yang meningkatkan risiko cacat tabung saraf pada bayi dari wanita
kelebihan berat badan. Karena banyak kehamilan pada wanita dengan
skizofrenia tidak direncanakan ada kemungkinan bahwa kehamilan dapat
pertama kali terdeteksi di luar postconceptional pertama bulan, setelah neural
tube defect telah terbentuk. Oleh karena itu, sebaikanya dilakukan tes
diagnostik untuk menyingkirkan cacat tabung saraf janin di antara pasien
tersebut, termasuk menggunakan tingkat USG 2 rinci dan tes α-fetoprotein.
Sehingga untuk melengkapi wanita yang mengonsumsi antipsikotik atipikal
dapat direkomendasikan untuk pemberian folat dosis tinggi (misalnya 4 mg /
hari) pada populasi yang berisiko tinggi (misalnya ose dengan bayi
sebelumnya dengan cacat tabung saraf, dengan diabetes mellitus dan
antiepileptics mengambil).52
42
Sebuah meta-analisis mencatat risiko yang lebih tinggi dari cacat
bawaan setelah paparan antipsikotikpotensi rendah pada trimester pertama.
Dalam pandangan potensi untuk pengembangan hipotensi ibu dengan
fenotiazin alifatik dan thioridazine, dan peningkatan risiko kemungkinan
malformasi janin dengan fenotiazin, adalah lebih baik untuk menggunakan
high-potensi agen sebagai lini pertama untuk manajemen gangguanpsikotik
selama kehamilan. Pemilihan obat untuk ibu hamil dengan psikosis akan
ditentukan oleh risiko efek samping. Antipsikotik potensi tinggi khas
menguntungkan karena mereka memiliki tingkat hipotensi ortostatik yang
lebih rendah dari dan juga memiliki beberapa data keamanan dalam
penggunaan oleh wanita psikotik.40,43
Meningkatnya jumlah pengalaman penggunaan yang aman dari
antipsikotik atipikal selama kehamilan dapat mendorong dokter untuk
mempromosikan pengobatan tersebut. Namun, karena keterbatasan data yang
tersedia mengenai keselamatan agen antipsikotik baru, sulit untuk membuat
keputusan tentang penggunaan clozapine, olanzapine atau risperidone dalam
pengobatan wanita hamil psikotik. Keputusan jauh lebih sulit ketika
mempertimbangkan antipsikotik atipikal lainnya seperti quetiapine dengan
hanya dua laporan kasus yang diterbitkan, atau Amisulpride, ziprasidone dan
aripiprazole tanpa data manusia yang tersedia.48,49,50 Data dilaporkan mengenai
clozapine menunjukkan bahwa, dalam kasus tertentu, efek yang
menguntungkan terhadap ibu mungkin lebih besar daripada risiko bayi.
Namun, clozapine belum sistematis dipelajari dalam kehamilan dan
penggunaannya terlalu terbatas untuk menentukan apakah ia memiliki
keuntungan unik atau kelemahan dalam hal perkembangan janin. Mencatat
besar kasus registry dengan olanzapine menggambarkan risiko yang relatif
rendah untuk merugikan peristiwa dibandingkan dengan tingkat dasar untuk
malformasi spontan, kelahiran prematur atau aborsi spontan, karena itu,
tampaknya agen menjanjikan dalam pengobatan ibu hamil dengan psikosis. 48
Namun, ada kebutuhan besar untuk pengumpulan data lebih lanjut tentang
risiko antipsikotik atipikal pada kehamilan. Strategi pengobatan
43
nonpharmacological harus selalu dieksplorasi. Pilihan ini dapat membatasi
kebutuhan obat selama kehamilan. Nonpharmacological terapi, seperti
psikoterapi individu, terapi untuk keluarga pasien dan pasangan, dan rawat
inap dalam lingkungan, biasanya harus dicoba sebelumnya dan secara
bersamaan diterapkan bersamaan dengan psikofarmaka sebagai terapi
kombinasi untuk mengurangi gejala gangguan kejiwaan.
44
Tabel 3. Tabel Keamanan Penggunaan Obat Psikotropika dalam Kehamilan
dan Menyusui
45
BAB III
KESIMPULAN
46
DAFTAR PUSTAKA
47
10. Bennett HA, Einarson A, Taddio A, Koren G, Einarson TR. Prevalence of
depression during pregnancy: systematic review. Obstet Gynecol
2004;130:698-709.
11. Antenatal and postnatal mental health: the NICE guideline on clinical
management and service guidance. London: National Institute for Health
and Clinical Excellence, 2007. Diunduh dari URL: http://www.nice.org
.uk/CG045fullguideline.
12. American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on
Obstetric Practice. Committee opinion no. 453: screening for depression
during and after pregnancy. Obstet Gynecol 2010;115:394-5.
13. Yonkers KA, Wisner KL, Stewart DE, et al. The management of
depression during pregnancy: a report from the American Psychiatric
Association and the American College of Obstetricians and Gynecologists.
Gen Hosp Psychiatry 2009; 31:403-13.
14. Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4th ed.: DSM-IV.
Washington, DC: American Psychiatric Association, 1994.
15. Practice guideline for the treatment of patients with major depressive
disorder. 3rd ed. Washington, DC: American Psychiatric Association,
2010:66-70.
16. Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.
17. Mansjoer T, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
18. Berga SL., Parry BL. Psychiatry and reproductive medicine.In: Kaplan
HI., Saddock BJ, editors. Comprehensive textbook of psychiatry. 6th ed.
Baltimore : Williams & wilkins;2009. p. 1693 – 700
19. Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Jakarta: 79.
20. Misri S, Lusskin SI, Kontaras X. Psychiatric disorders in pregnancy (8
screens). Available from : http://www.uptodate.com. Accessed date :
October 01st, 2016.
48
21. Paulsen RH. Patient information : depression. [8 screens]. Available from:
http://www.uptodate.com. Accessed date : October 1st, 2016.
22. Vettraino IM, WelchRA. Drug therapy in pregnancy. In Ransom SB,
Dombrowski SG, Moghissi KS, Munkarah AR, editors. Practical strategies
in obstetrics and gynecology. Philadelphia : WB. Saunders Company :
2000. p. 432 – 3.
23. Herz EK. Management of psychiatric illness and pregnancy. In : Isada NB,
Drugan A, Johnson MP, Evans Ml, editors. Maternal genetic disease.
Stamford : Appleton & Lange; 2015. p. 89 – 95.
24. Stovall J. Patient information: bipolar disorder [5 screens].
http://www.uptodate.com. Accessed date : October 2rd, 2016.
25. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. 11th edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. P 839-44
26. Beck CT. Postpartum depression: it isn't just the blues. Am J Nurs. 2006
May. 106(5):40-50; quiz 50-1.
27. Scrandis DA, Sheikh TM, Niazi R, Tonelli LH, Postolache TT. Depression
after delivery: risk factors, diagnostic and therapeutic considerations.
ScientificWorldJournal. 2007. 7:1670-82.
28. Cockburn,Jayne. And Michael E.P. Psychological Challenges in Obstetrics
and Gynecology The Clinical Management. Springer.London.2007.
Hal.140-154.
29. Yanita & Zamralita. 2001. Persepsi Perempuan Primipara tentang
Dukungan Suami dalam Usaha Menanggulangi Gejala Depresi Pasca
Salin. Phronesis. Vol: 3. No: 5. h: 47.
30. Klaus M.,& Kennel J.H.,2013,Mothering The Mother, How Doula Can
Help You Have a Shorter, easer and HealthierBirth, Addison Wesley, New
York.
31. Zonana J, Gorman J M. The Neurobilogy of Postpartum Depression. CNS
Spectrum. Vol 10. October 2005.
49
32. Suttajit S. Roles Of Neurotransmitters, Hormones And Brain-Derived
Neurothrophic Factors In Pathogenesis Of Depression. Chiang Mai
Medical Journal. 2009. Chiang Mai University.
33. Jossefson A. Post Partum Depression-Epidemiological and Biological
Aspect. Linkoping University Medical Dissertation No. 781. University of
Linkoping. 2003. Sweden.
34. Harms, Roger.W.M.D. Mayo Clinical guide to a Healthy Pregnancy.
HarperCollinse-books.2009.Hal.261-264.
35. Tarin JJ, Hermenegildo C, García-Pérez MA, Cano A. Endocrinology and
physiology of pseudocyesis. Reprod Biol Endocrinol. 2013;11(39):1–12.
36. Yadav T, Balhara YPS, Kataria DK. Pseudocyesis versus delusion of
pregnancy: differential diagnoses to be kept in mind. Ind J Psychol Med.
2012;34(1):82–84.
37. Bekwe PC, Achor JU. Psychosocial and cultural aspects of pseudocyesis.
Ind J Psychiatry. 2008;50(2):112–116.
38. Cunningham et al, Williams Obstetric 23rd Edition.2010. Teratology and
medications thataffect the fetus. McGraw-Hill.
39. Bennedsen BE, Mortensen PB, Olesen AV, et al. 2011.Congenital
malformations, stillbirths, and infant death among children of women with
schizophrenia. Arch gen psychiatric. 58;674-679.
40. Galbally, Megan, Martien Snellen, and Josephine Power. “Antipsychotic
Drugs in Pregnancy: A Review of Their Maternal and Fetal Effects.”
Therapeutic Advances in Drug Safety 5.2 (2014): 100–109. PMC.
Accessed date : October 3rd, 2016.
41. Dinakar HS, Sobel RN, Bopp JH, Daniels A, Mauro S. Efficacy of
olanzapine and risperidone for treatment-refractory schizophrenia among
long-stay state hospital patients. Psychiatr Serv. 2002;53(6):755–757.
42. Resnick SG, Rosenheck RA, Canive JM, et al. Employment outcomes in a
randomized trial of second-generation antipsychotics and perphenazine in
the treatment of individuals with schizophrenia. J Behav Health Serv Res.
2008 Apr;35(2):215–225.
50
43. Scherk H, Pajonk FG, Leucht S. Second-generation antipsychotic agents
in the treatment of acute mania: a systematic review and meta-analysis of
randomized controlled trials. Arch Gen Psychiatry. 2007;64(4):442–455.
44. Verhey FRJ, Verkaaik M, Lousberg R. Olanzapine-Haloperidol in
Dementia Study g. Olanzapine versus haloperidol in the treatment of
agitation in elderly patients with dementia: results of a randomized
controlled double-blind trial. 2006;21(1):1–8.
45. Chan WC, Lam LC, Choy CN, Leung VP, Li SW, Chiu HF. A double-
blind randomised comparison of risperidone and haloperidol in the
treatment of behavioural and psychological symptoms in Chinese
dementia patients. Int J Geriatr Psychiatry. 2011;16(12):1156–1162.
46. Kopelman A, Andreasen NC, Nopoulos P. Morphology of the
anterior cingulate gyrus in patients with schizophrenia: relationship to
typical neuroleptic exposure. Am J Psychiatry 2006; 162(10): 1872-8.
47. Godet PF, Marie-Cardine M. Neuroleptics, schizophrenia, and pregnancy.
Epidemiological and teratologic study. 1991;7:543–547.
48. Meltzer HY, McGurk SR. The effects of clozapine, risperidone, and
olanzapine on cognitive function in schizophrenia. Schizophr Bull
1999; 25(2): 233-55.
49. Girgis RR, Diwadkar VA, Nutche JJ, Sweeney JA, Keshavan MS,
Risperidone in first-episode psychosis: a longitudinal, exploratory voxel-
based morphometric study. Schizophr Res 2006; 82(1): 89-94.
50. Zhong KX, Tariot PN, Mintzer J, Minkwitz MC, Devine NA. Quetiapine
to treat agitation in dementia: a randomized, double-blind, placebo-
controlled study. Current Alzheimer Research. 2007 Feb;4(1):81–93.
51. Pickar D, Vinik J, Bartko JJ. Pharmacotherapy of schizophrenic
patients: preponderance of off-label drug use. PLoS ONE 2008; 3(9)
52. Burghardt, Kyle J, and Vicki L Ellingrod. “Detection of the Metabolic
Syndrome in Schizophrenia and Implications for Antipsychotic Therapy:
Is There a Role for Folate?” Molecular diagnosis & therapy 17.1 (2013):
21–30. PMC. Accessed date : October 3rd, 2016.
51