Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan adalah suatu masa dimana terjadi perubahan baik secara


biologis, psikologis maupun adaptasi pada wanita.1Sebagian besar kaum wanita
menganggap bahwa kehamilan adalah peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi
sebagian lagi menganggap sebagai peristiwa khusus yang sangat menentukan
kehidupan selanjutnya. Kehamilan dan nifas kadang - kadang dapat menimbulkan
gangguan jiwa.2
Perubahan kondisi fisik dan emosional yang komplek, memerlukan
adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dengan kehamilan yang terjadi.
Kompleks antara keinginan prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-
norma sosiokultural dan persoalan kehamilan itu sendiri, dapat merupakan
pencetus berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi emosional, ringan hingga
ketingkat gangguan jiwa yang berat.1,2
Kehamilan melibatkan aspek fisik dan psikis. Secara fisik,kehamilan
merupakan proses yang menakjubkan terjadi selama Sembilan bulan. Proses
kehamilan dimulai sejak meleburnya sel sperma dan sel telur dalam
rahim.Biasanya wanita saat itu belum menyadari bahwa dirinya telah
hamil.Namun organ-organ saat itu yang bertanggung jawab untuk menjaga
kelangsungan kehamilan mulai bekerja.Kerja organ ini dipengaruhi oleh sistem
endokrin tubuh yang menyebabkan terjadinya berbagai perubahan fisik dan
psikis.2,3,4
Banyak sekali perubahan fisik yang terjadi selama kehamilan, diduga akan
mempengaruhi rasa nyaman selama proses kehamilan. Kebanyakan wanita hamil
telah mengetahui bahwa kehamilan adalah kewajaran yang sempurna yang harus
dirawat. Belakangan ini wanita hamil telah mengetahui bahwa selama kehamilan
akan mengalami perubahan pada tubuhnya yang bersifat sementara bukan
permanen. Beberapa kunjungan kehamilan, wanita hamil mengeluh mengalami
gangguan rasa nyaman akibat dari perubahan fisik selama kehamilan, mereka

1
mengeluh tidak nyaman dengan tubuhnya, rasa percaya diri sangat kurang
terhadap penampilan.3
Secara psikologi, seorang ibu akan mengalami akan mengalami gejala -
gejala psikiatrik bukan hanya selama kehamilan tetapi juga setelah melahirkan.
Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh oleh seorang wanita dalam dalam
menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada beberapa minggu atau
bulan pertama setelah melahirkan baik dari segi fisik maupun fisik. Sebagian
wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi ada sebagian lainnya yang
tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan – gangguan psikologis
dengan berbagai gejala atau sindrom.4
Telah banyak penelitian yang membuktikan wanita mengalami gangguan
jiwa selama periode perinatal.5 Insidens gangguan jiwa pada kehamilan lebih
rendah dibanding postpartum dan di luar kehamilan.Postpartum 10-15%, diluar
kehamilan 2-7%. Sebuah penelitian melaporkan bahwa 10% wanita hamil
memenuhi syarat mengalami depresi mayor dan minor.6
Penelitian yang dilakukan Heron, dkk, menunjukkan bahwa 21% wanita
hamil memiliki gejala ansietas, dan 64% dari wanita tersebut berlanjut menderita
ansietas postpartum.7 Penelitian lainya juga menunjukkan peningkatan prevalensi
ansietas yang tinggi pada masa postpartum dibandingkan populasi wanita umum
yaitu 20,4 % memiliki ansietas (dengan dua pertiga memiliki riwayat komorbid
depresi) dan 37.7% menderita depresi mayor (riwayat komorbid 29,2%).4
Dukungan psikologis dan perhatian akan memberi dampak terhadap pola
kehidupan sosial (keharmonisan, penghargaan, pengorbanan, kasih sayang dan
empati), pada wanita hamil dan dari aspek teknis, dapat mengurangi aspek sumber
daya(tenaga ahli, cara penyelesaian persalinan normal, akselerasi, kendali nyeri
dan asuhan neonatal).2,4,5Dalam referat ini akan dibahas gangguan psikologi pada
masa kehamilan dan setelah melahirkan agar kita sebagaidokter umum mampu
mengenali dan menindaklanjuti gangguan jiwa pada kehamilan dan setelah
melahirkan tersebut dengan pemberian terapi yang tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi
Hasil penelitian sampai saat ini menunjukkanetiologi yang multifaktorial.
Beberapa faktor yang dilaporkan seperti faktor hormonal, neuroendokrin,
biokemikal, psikologik, sosial, budaya, genetik dan kepribadian, atau hubungan
timbal balik diantara faktor-faktor tersebut.8,9,10 Eskirol sejak tahun 1845 telah
menghubungkan faktor keturunan penyebab gangguan tersebut. Salah satu dari
banyak teori yang berhubungan dengan psikopatologi menyangkut hal melahirkan
anak adalah bahwa beberapa penelitian epidemiologi melaporkan gangguan
mental menjadi bertambah berat selama kehamilan, selain faktor fisiologis mayor
yang diturunkan dan stres psikologis.9,10
Sejauh ini belum ada mekanisme biokimia seperti hormonal atau
neuroendokrin yang jelas.Dalton menyatakan progesteron yang tiba-tiba rendah
menyebabkan penyakit mental pada masa nifas.Salah satu hal yan memegang
peranan penting adalah ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan
progesteron.6,8,9,10

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Selama Kehamilan


Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kehamilan, yaitu faktor fisik,
faktor psikologis dan faktor sosial budaya dan ekonomi.
a. Faktor Fisik.
Faktor fisik seorang ibu hamil dipengaruhi oleh status kesehatan dan
status gizi ibu tersebut.Status kesehatan dapat diketahui dengan
memeriksakan diri dan kehamilannya ke pelayanan kesehatan terdekat,
puskesmas, rumah bersalin, atau poliklinik kebidanan.Adapun tujuan dari
pemeriksaan kehamilan yang disebut dengan Ante Natal Care
(ANC).Karena manfaat memeriksakan kehamilan sangat besar, maka
dianjurkan kepada ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin
di tempat pelayanan kesehatan terdekat.Selain itu status gizi ibu hamil juga

3
merupakan hal yang sangat berpengaruh selama masa kehamilan.
Kekurangan gizi tentu saja akan menyebabkan akibat yang buruk bagi si ibu
dan janinnya. Ibu dapat menderita anemia, sehingga suplai darah yang
mengantarkan oksigen dan makanan pada janinnya akan terhambat,
sehingga janin akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Di lain pihak kelebihan gizi pun ternyata dapat berdampak yang tidak baik
juga terhadap ibu dan janin. Janin akan tumbuh besar melebihi berat normal,
sehingga ibu akan kesulitan saat proses persalinan.11,12
b. Faktor Psikologis.
Faktor psikologis yang turut mempengaruhi kehamilan biasanya terdiri
dari stressor dan dukungan keluarga. Stress yang terjadi pada ibu hamil
dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin. Janin dapat mengalami
keterhambatan perkembangan atau gangguan emosi saat lahir nanti jika
stress pada ibu tidak tertangani dengan baik. Dukungan keluarga juga
merupakan andil yang besar dalam menentukan status kesehatan ibu. Jika
seluruh keluarga mengharapkan kehamilan, mendukung bahkan
memperlihatkan dukungannya dalam berbagai hal, maka ibu hamil akan
merasa lebih percaya diri, lebih bahagia dan siap dalam menjalani
kehamilan, persalinan dan masa nifas.7,12
c. Faktor Lingkungan Sosial, Budaya dan Ekonomi.
Faktor ini mempengaruhi kehamilan dari segi gaya hidup, adat istiadat,
fasilitas kesehatan dan tentu saja ekonomi. Gaya hidup sehat adalah gaya
hidup yang digunakan ibu hamil. Seorang ibu hamil sebaiknya tidak
merokok, bahkan kalau perlu selalu menghindari asap rokok, kapan dan
dimana pun ia berada. Perilaku makan juga harus diperhatikan, terutama
yang berhubungan dengan adat istiadat.Jika ada makanan yang dipantang
adat padahal baik untuk gizi ibu hamil, maka sebaiknya tetap
dikonsumsi.Demikian juga sebaliknya.Yang tak kalah penting adalah
personal hygiene.Ibu hamil harus selalu menjaga kebersihan dirinya,
mengganti pakaian dalamnya setiap kali terasa lembab, menggunakan bra
yang menunjang payudara, dan pakaian yang menyerap keringat. Ekonomi

4
juga selalu menjadi faktor penentu dalam proses kehamilan yang sehat.
Keluarga dengan ekonomi yang cukup dapat memeriksakan kehamilannya
secara rutin, merencanakan persalinan di tenaga kesehatan dan melakukan
persiapan lainnya dengan baik. Namun dengan adanya perencanaan yang
baik sejak awal, membuat tabungan bersalin, maka kehamilan dan proses
persalinan dapat berjalan dengan baik. Yang patut diperhatikan adalah
bahwa kehamilan bukanlah suatu keadaan patologis yang berbahaya.
Kehamilan merupakan proses fisiologis yang akan dialami oleh wanita usia
subur yang telah berhubungan seksual. Dengan demikian kehamilan harus
disambut dan dipersiapkan sedemikian rupa agar dapat dilalui dengan
aman.7,12

2.3 Aspek Psikologis dalam Kehamilan


Pada beberapa wanita dengan perasaan ambivalen mengenai kehamilan,
stres mungkin meningkat.Respon terhadap stres mungkin dapa terlihat bervariasi
yang tampak atau tidak tampak.Sebagai contoh, sebagian besar wanita
mengkhawatirkan apakah bayinya normal.12 Pada mereka yang memiliki janin
dengan resiko tinggi untuk kelainan bawaan, stres meningkat. Selama kehamilan
dan terutama mendekati akhir kehamilan, harus dibuat rencana untuk perawatan
anak dan perubahan gaya hidup yang akan terjadi setelah kelahiran. Pada
sejumlah wanita, takut terhadap nyeri melahirkan sangat menekan
jiwa.Pengalaman kehamilan mungkin dapat diubah oleh komplikasi medis dan
obstetrik yang dapat terjadi. Wanita dengan komplikasi kehamilan adalah 2 kali
cenderung memiliki ketakutan terhadap kelemahan bayi mereka atau menjadi
depresi.2,13
Masa kehamilan dibagi menjadi tiga periode atau trimester, masing-
masing selama 13 minggu. Menurut Mochtar, proses kejiwaan selama kehamilan
meliputi:16
A. Trimester Pertama
Trimester pertama sering dianggap sebagai periode penyesuaian
terhadap kenyataan bahwa ia sedang mengandung. Sebagian besar wanita

5
merasa sedih dan ambivalen tentang kenyataan bahwa ia hamil. Kurang lebih
80% wanita mengalami kekecewaan, penolakan, kecamasan, depresi, dan
kesedihan.
Fokus wanita adalah pada dirinya sendiri yang akan menimbulkan
ambivalensi mengenai kehamilannya seiring usahanya menghadapi
pengalaman kehamilan yang buruk, yang pernah ia alami sebelumnya, efek
kehamilan terhadap kehidupannya kelak (terutama jika ia memiliki karir),
tanggung jawab yang baru atau tambahan yang akan ditanggungnya,
kecemasan yang akan berhubungan dengan kemampuannya untuk menjadi
seorang ibu, masalah-masalah keuangan dan rumah tangga, dan dukungan
orang terdekat terhadap kehamilannya. Perasaan ambivalen ini biasanya
berakhir dengan sendirinya seiring ia menerima kehamilannya, sementara itu,
beberapa ketidaknyamanan pada trimester pertama, seperti nausea,
kelemahan, perubahan nafsu makan, kepekaan emosional, semua ini dapat
mencerminkan konflik dan defresi yang ia alami dan pada saat bersamaan
hal-hal tersebut menjadi pengingat tentang kehamilannya.
Trimester pertama sering menjadi waktu yang menyenangkan untuk
melihat apakah kehamilan akan dapat berkembang dengan baik. Hal ini akan
terlihat jelas terutama pada wanita yang telah beberapa kali mengalami
keguguran dan bagi para tenaga kesehatan profesional wanita yang cemas
akan kemungkinan terjadi keguguran kembali atau teratoma. Berat badan
sangat bermakna bagi wanita hamil selama trimester pertama.Berat badan
dapat menjadi salah satu uji realitas tentang keadaannya karena tubuhnya
menjadi bukti nyata bahwa dirinya hamil.Validasi kehamilan dilakukan
berulang-ulang saat wanita mulai memeriksa dengan cermat setiap perubahan
tubuh, yang merupakan bukti adanya kehamilan.Bukti yang paling kuat
adalah terhentinya menstruasi.Hasrat seksual pada trimester pertama sangat
bervariasi antara wanita yang satu dan yang lain. Meski beberapa wanita
mengalami peningkatan hasrat seksual, tetapi secara umum trimester pertama
merupakan waktu terjadinya penurunan libido dan hal ini memerlukan
komunikasi yang jujur dan terbuka terhadap pasangan masing-masing.

6
Banyak wanita merasakan kebutuhan kasih sayang yang besar dan cinta
kasih tanpa seks.Libido secara umum sangat dipengaruhi oleh keletihan,
nausea, depresi, payudara yang membesar dan nyeri, kecemasan,
kekhawatiran, dan masalah-masalah lain merupakan hal yang sangat normal
terjadi pada trimester pertama.
B. Trimester Kedua
Trimester kedua sering dikenal sebagai periode kesehatan yang baik,
yakni periode ketika wanita merasa nyaman dan bebas dari segala
ketidaknyamanan yang normal dialami saat hamil.Namun, trimester kedua
juga merupakan fase ketika wanita menelusur ke dalam dan paling banyak
mengalami kemunduran. Trimester kedua sebenarnya terbagi atas dua fase:
pra-quickening (sebelum adanya pergerakan janin yang dirasakan ibu) dan
pasca-quickening (setelah adanya pergerakan janin yang dirasakan ibu).
Quickening menunjukkan kenyataan adanya kehidupan yang terpisah, yang
menjadi dorongan bagi wanita dalam melaksanakan tugas psikologis
utamannya pada trimester kedua, yakni mengembangkan identitas sebagai ibu
bagi dirinya sendiri, yang berbeda dari ibunya.
Pada trimester kedua, mulai terjadi perubahan pada tubuh. Pada akhir
trimester kedua, rahim akan membesar sekira 7,6 cm di atas pusar.
Pertambahan berat badan rata-rata 7,65-10,8 kg termasuk pertambahan berat
dari trimester pertama. Janin mulai aktif bergerak pada periode ini.Sebagian
besar wanita merasa lebih erotis selama trimester kedua, kurang lebih 80%
wanita mengalami kemajuan yang nyata dalam hubungan seksual dibanding
pada trimester pertama dan sebelum hamil. Trimester kedua relatif terbebas
dari segala ketidaknyamanan fisik, dan ukuran perut wanita belum menjadi
masalah besar, lubrikasi vagina semakin banyak pada masa ini, kecemasan,
kekhawatiran dan masalah-masalah yang sebelumnya menimbulkan
ambivalensi pada wanita tersebut mereda, dan ia telah mengalami
perubahandari seorang yang mencari kasih sayang dari ibunya menjadi
seorang yang mencari kasih sayang dari pasangannya, dan semua faktor ini
turut mempengaruhi peningkatan libido dan kepuasan seksual.

7
C. Trimester Ketiga
Trimester ketiga sering disebut periode penantian dengan penuh
kewaspadaan. Pada periode ini wanita mulai menyadari kehadiran bayi
sebagai makhluk yang terpisah sehingga ia menjadi tidak sabar menanti
kehadiran sang bayi. Ada perasaan was-was mengingat bayi dapat lahir
kapanpun. Hal ini membuatnya berjaga-jaga sementara ia memperhatikan dan
menunggu tanda dan gejala persalinan muncul.
Trimester ketiga merupakan waktu persiapan yang aktif terlihat dalam
menanti kelahiran bayi dan menjadi orang tua sementara perhatian utama
wanita terfokus pada bayi yang akan segera dilahirkan. Pergerakan janin dan
pembesaran uterus, keduanya menjadi hal yang terus menerus mengingatkan
tentang keberadaan bayi.Wanita tersebut lebih protektif terhadap
bayinya.Sebagian besar pemikiran difokuskan pada perawatan bayi.Ada
banyak spekulasi mengenai jenis kelamin dan wajah bayi itu kelak Sejumlah
ketakutan muncul pada trimester ketiga.Wanita mungkin merasa cemas
dengan kehidupan bayi dan kehidupannya sendiri. Seperti: apakah nanti
bayinya akan lahir abnormal, terkait persalinan dan pelahiran (nyeri,
kehilangan kendali, hal-hal lain yang tidak diketahui), apakah ia akan
menyadari bahwa ia akan bersalin, atau bayinya tidak mampu keluar karena
perutnya sudah luar biasa besar, atau apakah organ vitalnya akan mengalami
cedera akibat tendangan bayi.
Ia juga mengalami proses duka lain ketika ia mengantisipasi hilangnya
perhatian dan hak istimewa khusus lain selama kehamilan, perpisahan antara
ia dan bayinya yang tidak dapat dihindari, dan perasaan kehilangan karena
uterusnya yang penuh secara tiba-tiba akan mengempis dan ruang tersebut
menjadi kosong. Depresi ringan merupakan hal yang umum terjadi dan
wanita dapat menjadi lebih bergantung pada orang lain lebih lanjut dan lebih
menutup diri karena perasaan rentannya.
Wanita akan kembali merasakan ketidaknyamanan fisik yang semakin
kuat menjelang akhir kehamilan. Ia akan merasa canggung, jelek, berantakan,
dan memerlukan dukungan yang sangat besar dan konsisten dari

8
pasangannya. Pada pertengahan trimester ketiga, peningkatan hasrat seksual
yang terjadi pada trimester sebelumnya akan menghilang karena abdomennya
yang semakin besar menjadi halangan. Alternatif untuk mencapai kepuasan
dapat membantu atau dapat menimbulkan perasaan bersalah jika ia merasa
tidak nyaman dengan cara-cara tersebut.

Dengan demikian resiko dan penyebab yang terkait, seperti tersebut diatas
dapat sebagai pencetus terjadinya reaksi-reaksi psikologis mulai tingkat gangguan
emosional yang ringan ketingkat gangguan jiwa yang serius.Sebaiknya masalah
mengenai kesehatan mental dibicarakan.Skrining penyakit mental sebaiknya
dilakukan pada pemeriksaan prenatal pertama.Ini mencakup riwayat gangguan
psikiatrik dahulu, termasuk rawat inap dan rawat jalan.7,10
Penilaian gangguan cemas dan mood dalam kehamilan mencakup
pemeriksaan medis dasar yang sesuai dalam hal ini termasuk pemeriksaan darah
lengkap, fungsi tiroid, ginjal dan hati.Disarankan juga pemeriksaan toksikologi
urin.Penggunaan obat psikoaktif sebelumnya atau saat ini seperti juga penggunaan
alkohol dan obat terlarang perlu dicatat.Gejala-gejala yang menunjukkan
disfungsi mental sebaiknya diperiksa. Kondisi seperti kecemasan dan depresi
mungkin berhubungan dengan peningkatan resiko kelahiran prematur.18,19

2.4Gangguan Jiwa pada Kehamilan dan Setelah Melahirkan


Semua wanita hamil mempunyai pengalaman peristiwa kecemasan.Cemas
terhadap perubahan fisik, kesukaran persalinan dan kesehatan janin yang
dikandungnya. Kadang-kadang kecemasan itu menjadi berlebihan dan merugikan
sehingga timbul gangguan cemas seperti fobia, perilaku menghindar serta
kecemasan yang berulang.1,2

2.4.1 Selama kehamilan


1. Gangguan kecemasan pada kehamilan
Insiden pasti gangguan cemas menyeluruh tidak diketahui.Prevalensi
gangguan panik adalah 1 – 2% dari seluruh populasi. Ada laporan yang

9
menyebutkan bahwa terjadi perbaikan gangguan panik selama proses
kehamilan dan gejalanya menonjol lagi pada periode pascapersalinan.
Prevalensi gangguan obsesif kompulsif selama hidup adalah 2 – 3%.2,3,20
a. Gangguan cemas menyeluruh
Gambaran utama gangguan ini kekhawatiran dan kecemasan yang
berlebihan tentang kehidupan kehamilan, misalnya komplikasi kehamilan,
sekalipun kehamilan itu normal, yang ditandai dengan ketegangan motorik
dan hiperaktifitas motorik dan otonom misalnya: gemetar, gugup, gelisah,
cepat lelah; gejala hiperaktifitas otonom misalnya: nafas pendek, palpitasi,
keringat, kaki dan tangan dingin, pusing, mual, gangguan menelan,
kewaspadaan yang berlebihan, perasaan terancam, iritabel, insomnia.2,20
b. Gangguan panik
Bermanifestasi dengan ciri-ciri utama adanya periode kekhawatiran yang
mendalam atau perasaan tidak enak yang berlangsung beberapa menit dan
sifatnya berulang secara tak terduga.Serangan panik terjadinya mendadak
dengan rasa takut dan kecemasan yang berlebihan serta perasaan ingin
mati.Ada laporan bahwa wanita yang hamil mengalami peningkatan gejala
panik selama kehamilan. Gejala yang dialami selama serangan panik: napas
pendek, rasa tercekik, jantung berdebar-debar, telinga mendengung, mata
kabur/ berkunang, perasaan gatal, takut mati dan kehilangan kontrol. 2,20,21
c. Gangguan obsesif kompulsif
Gangguan ini ditandai oleh dorongan dan obsesi berulang yang cukup
berat dan menyebabkan tekanan emosi yang nyata.Obsesi adalah ide yang
menetap, pikiran atau impuls yang tidak masuk akal, misalnya
keinginan.Kompulsi adalah tingkah laku yang berulang-ulang yang dilakukan
sebagai respon atas obsesi. Tingkah laku kompulsif dan pikiran obsesif
menyebabkan tekanan mental yang nyata pada wanita hamil.1,2

d. Penanganan
Psikoterapi membantu wanita hamil yang mengalami kecemasan untuk
mengatasi ketakutan dan kecemasan yang berhubungan dengan

10
kehamilannya.Dengan mendiskusikan pikiran dan perasaan yang mengganggu
menyebabkan dapat lepas dari tekanan. Pengurangan gejala kecemasan
membuat wanita tersebut dapat berfungsi lebih efektif dalam hubungan
pribadi dan keluarga dengan sendirinya kecemasan itu akan hilang.1,20,21
Pada wanita dengan gangguan obsesif kompulsif, dimana obsesi menetap
dan kecemasan yang tidak dapat ditoleransi rawat inap mungkin
diperlukan.Pengobatan noninvasif yang efektif dari gangguan kecemasan
dapat digunakan melalui latihan relaksasi otot yang bertahap, visual imagery,
latihan kognitif, latihan biofeedback. Dasar pengobatan ini adalah relaksasi
otot dan ketegangan otot tidak timbul pada waktu yang sama, karena itu
wanita hamil yang belajar unutk melemaskan ototnya tidak akan mengalami
gejala gangguan kecemasan.1
Obat anti cemas dapat menghilangkan gejala cemas.Penggunaan obat anti
cemas sebaiknya dihindari pada kehamilan trimester I. Bila kecemasan
berlebihan dan mengganggu dapat diberikan obat anti cemas golongan
benzodiazepin dan non benzodiazepin. Pasien yang hamil dengan adanya
gejala panik yang serius dapat diberikan alprazolam dengan dosis
minimum.2,20
Wanita hamil yang mendapat obat golongan benzodiazepin, bayinya akan
memberikan 2 tipe reaksi toksik, yaitu: sindrom floppy infant dan reaksi
withdrawal.1 Gilberg menghubungkan penggunaan benzodiazepine dosis
rendah yang lama dengan sindrom floppy infant dengan gejala: hipotoni,
letargi, sulit mengisap, sianosis dan hipotermia.2,22 Gejala withdrawal pada
bayi baru lahir dengan penggunaan diazepam selama kehamilan yang timbul 2
– 6 jam setelah kelahiran, terdiri dari: tremor, iritabel, hipertonia dan reflek
hisap yang berlebihan. Gejala ini berhasil diatasi dengan pemberian
fenobarbital selam 6 minggu.Wanita yang menggunakan benzodiazepin
sebaiknya tidak menyusui.Penggunaan obat anti cemas tentang terjadinya
kelainan kongenital masih kontroversi. Namun, beberapa penelitian
melaporkan penggunaan diazepam selama kehamilan meningkatkan resiko
terjadinya labiopalatoskisis.1,2,20,21,22

11
2. Gangguan Afektif Pada Kehamilan
Gejala utamanya adalah gangguan mood disertai dengan sindrom manik
atau depresi yang bukan disebabkan oleh gangguan mental atau penyakit fisik.
Insidens gangguan bipolar atau gangguan manik ± 0,5 – 1,5%. Insiden depresi
mayor dan gangguan manik cenderung meningkat pada periode setelah
melahirkan.Gejala gangguan depresi yang lain adalah: wajah murung,
cengeng, gelisah dan iritabilitas meningkat, sulit konsentrasi, ragu-ragu, sering
lupa, timbul ide kematian dan bunuh diri biasa ditemukan pada depresi mayor.
Gejala umum mania adalah: ketidakstabilan mood dengan adanya peralihan
mood yang cepat dari kemarahan dan depresi. Cara bicara mania sangat cepat,
keras dan sulit dipotong.2,18,24
a. Depresi mayor
Ditandai oleh mood yang disforik, tidak peduli pada lingkungan, kenaikan
atau penurunan berat badan, insomnia atau hipersomnia, kelelahan, perasaan
tidak berharga dan pada kasus yang berat ada ide yang menetap untuk bunuh
diri.22,23
b. Gangguan bipolar
Gangguan bipolar atau gangguan manic ditandai oleh periode euforia, atau
iritabel yang jelas, hiperaktifitas, insomnia, banyak bicara, tidak bisa
memusatkan perhatian dan harga diri yang berlebihan. Baik gangguan depresi
maupun episode manik bisa disertai gambaran psikotik, misalnya: halusinasi
auditorik maupun ide-ide delusi, 15 – 25% diantara wanita pernah mengalami
depresi selama hidupnya. 1,22,23
c. Penanganan
Perencanaan kehamilan sangat penting pada wanita yang didiagnosis
depresi atau mania, sebaiknya kehamilannya perlu direncanakan atau
dikonsultasikan dengan ahli kebidanan dan kandungan, dan psikiater tentang
masalah resiko dan keuntungan setiap pemakaian obat-obat
psikofarmakologi.1 Rawat inap sebaiknya dipikirkan sebagai pilihan
pengobatan psikofarmakologis pada trimester I untuk kasus kehamilan yang

12
tidak direncanakan, dimana pengobatan harus dihentikan segera dan apabila
terdapat riwayat gangguan afektif rekuren.1,2
Penggunaan antidepresan trisiklik sebaiknya hanya pada pasien hamil
yang mengalami depresi berat yang mengeluhkan gejala vegetatif dari depresi,
seperti: menangis, insomnia, gangguan nafsu makan dan ada ide-ide bunuh
diri. Psikoterapi harus digunakan bila ada konflik intrapsikis yang
berhubungan dengan kehamilan.Terapi perilaku kognitif sangat menolong
pasien depresi dan dapat digunakan bersama antidepresan.Terapi
elektrokompulsif (ECT) digunakan pada pasien depresi psikotik
untukmendapatkan respon yang lebih cepat, bila kehidupan ibu dan anak
terancam. Belum ada hubungan yang jelas antara penggunaan nortriptilin,
desipramin atau golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
adalah antidepresan pilihan untuk wanita hamil, mencakup fluoksetin dan
sertralin, tidak menyebabkan hipotensi ortostatik, konstipasi atau sedasi.2,20

2.4.2 Setelah Melahirkan


1. Baby Blues dan Depresi Postpartum
Definisi
Baby blues adalah suatu gangguan psikologis sementara yang ditandai
denganperubahanemosi berupa mood labil, sedih, disforia, dan mudah
menangis pada minggu pertama setelah melahirkan.25 Menurut
Cunningham,baby blues adalah gangguan suasana hati yangberlangsung
selama 3-6 hari pasca melahirkan.2Jika gejala bertahan selama lebih dari 2
minggu maka diindikasikan sebagai depresi postpartum.25

Epidemiologi

Dalam dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi
perhatian khusus pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca
salin, dan telah melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang
diduga mempunyai kaitan dengan gejala-gejala tersebut. Berbagai studi
mengenai baby blues syndrome di luar negeri melaporkan angka kejadian

13
yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan
disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang
digunakan.4

Etiologi

Penelitian menunjukkan penyebab baby blues syndrome adalah faktor


hormonal yang akan mempengaruhi keadaan kimiawi otak. Itu merupakan
proses biologis dan bukan merupakan kesalahan seorang ibu atau bergantung
pada kepribadian yang lemah. Baby blues syndrome terjadi 50-80% pada ibu
baru.6 Kondisi ini ditunjukkan dengan peningkatan respon emosi. Ibu baru
akan menunjukkan mood yang mudah berubah, mudah menangis, gelisah,
irritabilitas, kesulitan tidur dan merasa tidak sehat.25
Lebih dari 50% dari ibu yang mengalami depresi sebelumnya setelah
melahirkan anak akan menjadi depresi kembali pada kelahiran berikutnya.
Wanita akan lebih rentan apabila pada saat hamil mereka sudah mengalami
depresi atau memiliki gejala mood premenstruasi sebelum hamil.4,6 Apabila
wanita tersebut mengalami depresi selama hidupnya, risiko untuk berkembang
menjadi postpartum depression juga akan meningkat dari 10 sampai 25%
begitu pula dengan wanita yang mengidap penyakit bipolar (manic-depressive
illness) akan menempatkan wanita pada peningkatan risiko untuk mengalami
postpartum depression.5
Ketidakseimbangan hormonal.
Jumlah hormon wanita seperti estrogen dan progesteron meningkat
secara tajam pada saat kehamilan.Pada minggu-minggu setelah melahirkan,
jumlah hormon estrogen dan progesteron lebih menurun dari jumlah sebelum
kehamilan.Fluktuasi tiba-tiba pada tingkat hormonal ini berhubungan dengan
gejala dari depresi yang dialami seorang ibu baru. Wanita lebih rentan pada
ketidakseimbangan hormonal daripada pria. Itu disebabkan terjadinya reaksi
kimia antara hormon dan otak yang meningkatkan risiko terjadinya baby blues
syndrome.8
Hormon Thyroid.

14
Kelenjar thyroid berukuran kecil dan terletak di leher.Beberapa wanita
mengalami penurunan hormon thyroid setelah melahirkan. Rendahnya hormon
thyroid akan menyebabkan gejala depresi, irritabilitas, berkurangnya minat
pada aktivitas biasa, kelemahan dan peningkatan berat badan. Akan tetapi
tidak semua wanitamengalami baby blues syndrome akibat ketidakseimbangan
hormon thyroid.8
Perubahan gaya hidup.
Ibu baru mengalami banyak perubahan gaya hidup, dan beberapa
diantaranya akan berkontribusi dalam terjadinya baby blue syndrome.
Lingkungan yang meningkatkan risiko gejala baby blues syndrome antara lain:
 Perubahan jadwal sehari-hari akibat bayi yang baru lahir
 Kepikiran pada berat badan dan bentuk tubuh setelah hamil
 Kelelahan dan kurang tidur setelah melahirkan anak
 Sedikitnya dukungan dalam merawat bayi
 Khawatir akan kemampuan untuk menjadi ibu yang baik depresi

Menurut Kruckman dalam Yanita dan zamralita 2001, menyatakan


terjadinya depresi pascapersalinan dipengaruhi oleh faktor:29,30
a. Biologis.
Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar
hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut
terlalu cepat atau terlalu lambat.
b. Karakteristik ibu, yang meliputi:
1) Faktor umur.
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang
perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini
mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh
seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan
persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan
tersebut untuk menjadi seorang ibu.

15
2.) Faktor pengalaman.
Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Paykel dan Inwood dalam Regina dkk 2001, mengatakan bahwa depresi
pascapersalinan ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara,
mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan
bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat
menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters
yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan
hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi
pertama.
3) Faktor pendidikan.
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan
konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan
untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran
mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka.
4.) Faktor selama proses persalinan.
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang
digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik
yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula
trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang
bersangkutan akan menghadapi depresi pascapersalinan.
5.) Faktor dukungan sosial.
Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan
pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak
berkurang.

Patofisiologi
Baby blues bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor
biologis dan faktor emosi. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level hormon

16
yang sangat mendadak pada ibu. Hormon kehamilan (estrogen dan
progesteron) secara mendadak mengalami penurunan 72 jam setelah
melahirkan dan juga disertai penurunan kadar hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan
perasaan tertekan serta di lain sisi terjadi peningkatan dari hormon menyusui.25
Perubahan hormon yang cepat inilah bisa mencetuskan terjadinya baby
blue syndrome.Level neurosteroid berasal dari hormon progesteron yang
mengalami fluktuasi selama siklusmenstruasi dan memuncak saat
kehamilan.Hormon sex yang dinamakan neurosteroid berikatan dengan
beberapa tipe reseptor termasuk reseptor GABAA untuk memodulasi
eksitabilitas dari sel otak.Kekurangan delta subunit reseptor GABAA pada
wanita menunjukkan sikap depresi dan gangguan cemas setelah melahirkan.
Pemberian antidepresan saat kehamilan akan berefek panjang pada sistem
serotonin dan berpengaruh pada sensitivitas reseptor GABAA.26
Tidak ada hubungan yang konsisten, kadar estrogen dan perubahan
pada estrogen dengan depresi post partum yang benar-benar terbukti. O’Hara
dkk menemukan hubungan kadar estradiol pada usia kehamilan 36 minggu
dan depresi postpartum pada penelitian terhadap 182 perempuan. Penelitian
lain terhadap blue syndrome dan depresi postpartum menemukan kadar
estrogen yang sama pada ibu-ibu yang mengalami gangguan mood dan yang
tidak mengalami gangguan mood.31 Ada bukti menunjukkan interaksi estrogen
dengan neurotransmitter. Sebagian data mendapatkan estradiol mungkin
memberi efek pada system transmitter dan menganggu fungsi kognitif dan
proses emosional. Reseptor estrogen menyebar luas dalam otak pada manusia
Efek estrogen yang paling di akui adalah interaksinya dengan reseptor
dopamine terutama efek menghambat. Estrogen juga memberi efek terhadap
reseptor norepinephrine, adrenalin dan serotonin.33

Penelitian sebelumnya menyatakan aktifitas dopamine mungkin


berkurang pada pasien depresi.31 Hormon ovarium ditemukan memberi
perubahan pada aktifitas dopamine, primernya pada nigrostriatal dan jalur
mesolimbik.Thompson dkk telah melakukkan penelitian yang serial

17
menyatakan estrogen menghambat uptake dopamine pada area ini, sehingga
mekanisma pasti masih ditelusuri. Ada bukti menyatakan perubahan aktifitas
dopamine oleh estrogen akibat berubahnya protein G pada reseptor D2
dopamin.32

Norepinefrin juga dipercaya berperanan sebagai faktor utama


patofisiologi depresi.Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan antara
regulasi reseptor B-andrenergic postsinaps dengan respons antidepresan, yang
mana menunjukkan efektivitas antidepresan dengan efek norandrenergik.
Selain itu, terjadi peningkatan densitas reseptor a2-andrenergik dilaporkan
pada pasien depresi dan cubaan bunuh diri. Peningkatan regulasi ini juga
mungkin disebabkan kekurangan relative norepinefrin di sinaps.31
Banyak dari penelitian gangguan mood, secara umumnya difokuskan
ke system serotonergik, yang mana system ini mengalami efek pada korteks
prefrontal, system limbic, aktifitas pituitary, dan perilaku seks. Sistem
serotonergik telah diketahui sensitive terhadap estrogen dan progestron.
Bethea dkk melakukkan penelitian lanjut terhadap primate bukan manusia atas
hormone ovarian dengan system serotonergik, dengan hasil terjadi pada
system serotonergik, akibat efek perubahan dari hormone ovarium dalam
susunan saraf pusat.30
Kadar prolaktin yang rendah dan berkurangnya respon prolaktin
terhadap test D-fenfl uramine ditemukan pada pasien depresi. Ini mungkin
hubungannya dengan depressi post partum yang mana kadar prolkatin rendah
pada saat kelahiran.31 Abou Salah dkk menyatakan ibu postpartum yang
mengalami depresi menunjukkan penurunan kadar prolaktin plasma yang
signifikan dibanding ibu yang tidak mengalami depresi. Dan pada ibu-ibu
yang melakukkan Inisiasi menyusu Dini mendapatkan skor mood yang lebih
baik dan kadar prolaktin lebih tinggi.31
Sebagian besar ibu tidak siap untuk untuk menghadapi kelahiran
bayinya, mereka juga sangat khawatir bayi mereka yang terkena penyakit
jaundice dan kesulitan makan yang merupakan memiliki masalah kesehatan
yang umum bagi bayi.Selain itu, ibu yang pertama kali memiliki bayi merasa

18
tidak sanggup merawat bayinya seorang diri dirumah baik itu dari segi kasih
sayang maupun dari segi finansial.Baby blues syndrome juga sangat mungkin
terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan atau
mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung.26

Gambaran Klinis

Baby blues syndrome ditandai perasaan sedih, seperti menangis,


perasaan kesepian atau menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan
tidak bisa tidur. Baby blues syndrome relatif ringan dan biasanya berlangsung
2 minggu. Perbedaan dengan postpartum depression adalah pada frekuensi,
intensitas dan lamanya durasi gejala.Dalam postpartum depression, gejala
yang lebih sering, lebih intens dan lebih lama.26 Beberapa gejala baby blue
syndrome: 5,8,26
1. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan
menangis tanpa sebab
2. Mudah kesal, mudah tersinggung dan tidak sabar
3. Tidak memiliki atau kurang bertenaga
4. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga
5. Menjadi tidak tertarik dengan bayi atau menjadi terlalu memperhatikan
dan kuatir terhadap bayinya
6. Tidak percaya diri
7. Sulit beristirahat dengan tenang atau tidur lebih lama
8. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan
9. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan
10. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya

Diagnosis
Baby blues syndrome adalah tekanan atau stress yang dialami oleh
seorang wanita pasca melahirkan karena penderita beranggapan bahwa
kehadiran bayi akan mengganggu atau merusak suatu hal dalam hidupnya

19
seperti karier, kecantikan/penampilan dan aktivitas rutin yang dianggap
penting dalam hidupnya. Penderita baby blues syndrome kebanyakannya
adalah kalangan wanita karier, artis, model dan wanita modern tetapi sindrom
ini tidak menutup kemungkinan menyerang pada wanita muda (pernikahan
dini) dan semua wanita pasca melahirkan.26
Perubahan sikap yang negatif dengan kondisi emosional yang kurang
terkontrol seperti sering marah, cepat tersinggung, dan menjauh dari bayi yang
baru dilahirkan, susah tidur dan tiba-tiba sering menangis. Apabila ini tidak
segera ditangani berdampak negatif terhadap kesehatan jiwa
penderita.Sindrom ini umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah
melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ketiga atau empat setelah
persalinan. Seseorang terdiagnosis baby blues syndrome apabila terlihat secara
psikologis kejiwaannya seperti di bawah ini:26,27
 Perasaan cemas, khawatir ataupun was was yang berlebihan, sedih,
murung, dan sering menangis tanpa ada sebab (tidakjelas
penyebabnya).
 Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus
sering migrain.
 Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak.
 Adanya perasaan putus asa

Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien


mengalami postpartum depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan
lama kelamaan tekanan atau stres yang dirasakan semakin kuat atau semakin
besar maka penderita akan mengalami depresi pasca melahirkan yang berat.
Jika telah mengalami hal ini maka diperlukan penanganan secara berkala,
gejala dari depresi tersebut adalah:
 Kelelahan yang berkepanjangan, susah tidur, dan insomnia.
 Hilangnya perasaan bahagia dan minat
 Tidak memperhatikan diri sendiri dan menarik diri dari keluarga dan
teman.

20
 Tidak memperhatikan atau bahkan perhatian yang berlebihan pada
anak.
 Perasaan takut telah menyakiti anak.
 Tidak tertarik pada seks.
 Perasaan berubah-ubah dengan ekstrim, terganggu proses berpikir dan
konsentrasi.

Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa
secara langsung postpartum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan
beberapa simptom yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan depresi
postpartum blues bila memenuhi kriteria dan gejala yang ada.
Kekuranganhormonthyroid yang ditemukan pada individuyang mengalami
kelelahanluar biasa ditemukan juga pada ibu yang mengalami postpartum
blues mempunyai jumlah kadar thyroid yang sangat rendah.25,26
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudahmerupakan
acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat
dipergunakan beberapa kuesioner dengan alat bantu.Endinburgh Postnatal
Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validasi yang teruji
yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari
pasca salin.Pertanyaan-pertanyaan berhubungan dengan labilitas perasaan,
kecemasan, perasaan bersalah sertamencakup hal-hal lain yang terdapat pada
postpartum blues.Kuesiner initerdiri dari 10 pertanyaan, dimana setiap
pertanyaan memiliki 4 pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus
dipilih satusesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat
itu.Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata rata dapat
diselesaikandalam waktu 5 menit, nilai scoring lebih besar 12 memiliki
sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis
postpartum blues. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca
salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2
minggukemudian.8,27

Tabel 1. Perbedaan baby blues dan postpartum depression25

21
Karakteristik Baby Blues Syndrome Postpartum Depression
Insidens 30-75% dari wanita yang 10-15% dari wanita yang
melahirkan melahirkan

Onset 3 – 5 hari setelah Dalam waktu 3-6 bulan


melahirkan setelah melahirkan

Durasi Hari sampai minggu Bulan sampai tahun jika


tidak diobati

Stressor terkait Tidak ada Ada, terutama kurang


dukungan

Pengaruh sosial dan Tidak ada; ada dalam Ada hubungan yang kuat
budaya semua budaya dan kelas
sosioekonomi

Riwayat gangguan Tidak ada hubungan Ada hubungan yang kuat


mood

Riwayat gangguan Tidak ada hubungan Ada hubungan


mood dalam keluarga

Rasa sedih Ada Ada

Mood labil Ada Sering pada awalnya


kemudian depresi secara
bertahap

Anhedonia Ada Sering

Gangguan tidur Kadang-kadang Hampir selalu

Keinginan untuk bunuh Tidak ada Kadang-kadang


diri

Keinginan untuk Jarang Sering


menyakiti bayi

Rasa bersalah, Tidak ada, jika ada Sering dan biasanya


ketidakmampuan biasanya ringan berat
Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 11th edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

22
Keterkaitan Neurotransmitter pada Depresi Postpartum

Penatalaksanaan

Disebabkan keparahan postpartum blues biasanya ringan dan


menghilang secara spontan, tidak ada pengobatan khusus selain dukungan dan
reassurance yang diindikasikan. Gejala-gejala yang timbul mungkin
menyebabkan penderitaan tetapi biasanya tidak mempengaruhi kemampuan
ibu untuk berfungsi dan merawat bayinya.Konsultasi kejiwaan umumnya tidak
diperlukan.Namun, pasien harus diinstruksikan untuk menghubungi dokter
kandungan atau primary care providernya jika gejala menetap lebih dari dua
minggu untuk menidentifikasi dini gangguan afektif yang lebih parah. Wanita
dengan riwayat penyakit jiwa, terutama depresi postpartum harus dipantau
lebih dekat karena mereka berisiko lebih tinggi untuk terkena penyakit nifas
yang signifikan.25
Postpartum blues seringkaliterabaikan dan tidak ditangani dengan
baik. Banyak ibu yang berjuangsendiri dalam beberapa saat setelah
melahirkan. Mereka merasakan adasuatu yang salah namun mereka sendiri
tidak benar-benar mengetahui apayang sedang terjadi. Apabila mereka pergi
mengunjungi dokter atau sumber-sumber lainnya untuk minta pertolongan,
seringkali hanya mendapatkansaran untuk beristirahat atau tidur lebih banyak,
tidak gelisah, minum obatatau berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai
merasa gembiramenyambut kedatangan bayi yang mereka cintai.Penangganan
gangguan mental pascasalin pada prinsipnya tidak berbeda dengan
penangganan gangguan mental pada momen-momenlainnya. Para ibu ini
membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang

23
harus juga dipenuhi.Mereka membutuhkan kesempatan untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang
menakutkan.Mungkin juga merekamembutuhkan pengobatan dan/atau
istirahat, dan seringkali merasa gembiramendapat pertolongan praktis.Dengan
bantuan dari teman dan keluarga,mereka mungkin perlu untuk mengatur atau
menata kembali kegiatan rutinsehari-hari,atau mungkin menghilangkan
beberapa kegiatan, disesuaikandengan konsep mereka tentang keibuan dan
perawatan bayi.8,25
Bila memangdiperlukan dapat diberikan pertolongan dari para ahli,
misalnya dari seorang psikolog atau konselor yangberpengalaman dalam
bidang tersebut.Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk
mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental
pasca-salin dansegera memberikan penangganan yang tepat bila terjadi
gangguan tersebut, bahkan merujuk kepada para ahli psikologi/konseling bila
memangdiperlukan. Postpartum blues juga dapat dikurangi dengan cara
belajar tenangdengan menarik nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi
tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu,
tidak perfeksionis dalam hal menguruskan bayi, membicarakan rasa cemas
danmengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok
ibu-ibu baru. 8,25
Dalam penangganan para ibu yang mengalami postpartum blues
dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik. Pengobatan medis,konseling,
emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secaraintelektual tentang
pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin padasaat-saat tertentu.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan ditingkat
perilaku, emosional, intelektual, social dan psikologissecara bersama-sama
dengan melibatkan lingkungannya yaitu: suami,keluarga, dan juga teman
dekatnya.8,25
2. Psykosis Postpartum (Puerperal Psykosis)
Definisi

24
Psikosis postpartumialah suatu sindrom yang ditandai oleh depresi berat
dan waham. Umumnya terjadi pada minggu pertama dalam 6 minggu setelah
melahirkan.25 Perempuan yang menderita bipolar disorder atau masalah psikotik
lainnya yang disebut Skizoafektif disorder mempunyai resiko yang lebih tinggi
untuk terkena postpartum psikosis. Gejalanya antara lain mengalami delusi,
halusinasi, gangguan saat tidur dan obsesi mengenai bayinya. Penderita dapat
terkena perubahan mood secara drastis, dari depresi ke gusaran dan berganti
menjadi euforia dalam waktu yang singkat.23

Etiologi

Psikosis postpartum disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut:25,27,28,29


a. Faktor konstitusional.
Gangguan postpartum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat
obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada
komplikasi dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih
banyak pada wanita primipara. Wanita primipara lebih umum menderita blues
karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses adaptasi,
kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak
paham perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap
dirawat.
b. Faktor fisik.
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan
mental selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik
dihubungkan dengan kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan
hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode laten selama dua hari
diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat berpengaruh
pada keseimbangan.Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun
secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.
c. Faktor psikologis.
Peralihan yang cepat dari keadaan dua dalam satu pada akhir kehamilan
menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian

25
psikologis individu.Klaus dan Kennel mengindikasikan pentingnya cinta
dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik
antara ibu dan anak.
d. Faktor sosial.
Paykel dan Regina dkk mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak
memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu-ibu, selain kurangnya
dukungan dalam perkawinan.

Patogenesis
1. Faktor  Hormon
Kadar hormon estrogen dan progesteron menurun drastis saat  persalinan.
Perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron pada saat kehamilan
memicu peningkatan ikatan pada reseptor dopamin dan  penurunan kadar
hormon saat persalinan menyebabkan terjadinya suatu supersensitivitas
reseptor dopamin yang mencetuskan terjadinya psikotik postpartum. 30,31
2. Faktor Psikososial
Penelitian psikodinamik menunjukkan bahwa pada gangguan postpartum
terdapat konflik antara sang ibu dengan tugasnya sebagai ibu yang harus
mengasuh anaknya, dengan kelahiran anaknya yang baru dengan suaminya.
Konflik ini mempunyai peranan dalam menentukan identitas dirinya sebagai
seorang ibu yang tak dapat berkomunikasi dengan bayinya, menghambat ibu
ini menemukan jati dirinya dan ini merupakan hambatan dini hubungan timbal
balik antara ibu dan anak. Walaupun wanita ini mempunyai pengalaman
dengan ibunya, tetapi pengalaman masa kanak-kanak memaksanya menolak
figur ibunya untuk ditiru dan didentifikasi. Penolakan ini mengakibatkan
seorang ibu kehilangan arah dan menjadi bingung. Gangguan identifikasi ini
menyebabkan perasaan terganggu, mereka sebagai ibu yang tidak tahu
bagaimana seharusnya bertindak, dan melahirkan anak tetapi tidak tahu
bagaimana merawatnya.

3. Faktor Biologis

26
Wanita dengan riwayat psikosis cenderung untuk terjadi rekurensi
sebanyak 90%.

Faktor Risiko28
Seorang wanita kemungkinan akan mengalami depresi dan psikosis
postpartum, jika ia memiliki:
1. Riwayat mengidap depresi atau penyakit mental lainnya
2. Pernah mengalami depresi postpartum. Wanita yang pernah menderita
depresi postpartum setelah melahirkan memiliki resiko kekambuhan
sekitar 25%.
3. Riwayat keluarga yang mengidap depresi
4. Mengalami stress di rumah atau tempat kerja selama hamil. Perempuan
yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran,
antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja
tau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai
ibu rumah tangga dan orang tua dari anak-anaknya.
5. Kurang mendapat dukungan emosional. Banyaknya kerabat keluarga yang
membantu pada saat kehamilan, persalinan, dan pascasalin, beban seorang
ibu karena kehamilannya akan semakin berkurang.
6. Memiliki masalah pernikahan atau masalah hubungan.

Gambaran Klinis
Pada psikosis postpartum gejala dapat terjadi dalam jangka waktu setahun
setelah melahirkan anak. namun awalnya sering terjadi pada minggu kedua atau
minggu ketiga setelah persalinan. Gejala yang khas pada psikosis postpartum
yaitu:
1. Agitasi.
2. Gelisah.
3. Emosi yang labil.
4. Kegembiraan yang berlebihan.
5. Insomnia.
6. Menangis.

27
7. Bingung.
8. Dan lama-kelamaan akan timbul episode psikotik yang gawat dengan
gambaran mania dan delirium.(2)

Diagnosis Psikosis Postpartum


Menurut DSM-V-TR, tidak ada kriteria bagi gangguan depresidan psikosis
pada postpartum, namun diagnosis bisa ditegakkan apabila depresi dan psikosis
yang terjadi mempunyai hubungan dengan persalinan dan perlangsungannya
hanya sementara.26
Sedang menurut PPDGJ-III, maka pedoman diagnostik untuk gangguan
psikiatrik pada postpartum (F.53) yaitu:19
F.53.1 Gangguan Mental dan Perilaku Berat yang Berhubungan dengan Masa
Nifas YTK
Termasuk : psikosis masa nifas YTT.

Penatalaksanaan Psikosis postpartum


Psikosis postpartum merupakan suatu kondisi emergensi dan memerlukan
perhatian dan penanganan segera. Pasien mungkin akan membutuhkan terapi obat
untuk jangka waktu tertentu, seperti haloperidol atau flufenazin, keduanya
diberikan dalam dosis 2-5 mg per os 3 kali perhari. Bila agitasi maka pasien
membutuhkan anti psikotika berpotensi tinggi dan diberikan IM. Mood stabilizer
seperti lithium, valproid acid, carbamazepine digunakan sebagai terapi akut yang
dikombinasi dengan obat anti psikotik dan benzodiapezine.34
            Indikasi pemakaian ECT sama seperti psikosis tanpa persalinan tetapi
dianjurkan ditunda sampai satu bulan postpartum untuk menghindari terjadinya
emboli.34
Berikut adalah perbedaan gejala klinis dari baby blues syndrome,
postpartum depression dan postpartum psychotic:

Tabel 2. Perbedaan gejala klinis dari baby blues syndrome, postpartum depression
dan postpartum psychotic.

28
Baby Blues Syndrome Postpartum Depression Postpartum Psychotic

 Terjadi pada 30-75%  Terjadi pada 10-15%  Terjadi pada 0,1-0,2% ibu
ibu melahirkan ibu melahirkan melahirkan
 Gangguan suasana  Gangguan suasana  Depresi dengan gangguan
hati dan pikiran hati dan pikiran mood
(mood) dengan perasaan  Khayalan yang kacau (bayi
 Munculnya rasa sedih tertekan yang merata cacat/meninggal,
 Murung, gelisah,  Mudah/sering mengingkari kelahiran,
tidak nyaman menangis menganggap dirinya belum
 Kebingungan yang  Hampir selalu sulit menikah, perawan, terus
subjektif tidur menerus meragukan
 Menjadi  Terjadi antara 3-6 keyakinan diri, mudah
mudah/sering bulan setelah terpengaruh, memberontak)
menangis melahirkan, biasanya  Mengeluh letih, tidak bisa
 Kadang sulit tidur 12 minggu tidur, gelisah, menangis,

 Terjadi 3-5 hari  Berlangsung selama emosi tidak terkendali,

setelah melahirkan beberapa bulan, bila curiga, bingung, bukan

 Berlangsung selama tidak mendapatkan dirinya sendiri, kata-kata

beberapa hari sampai perawatan bisa menyakitkan, obsesi pada

beberapa minggu mencapai beberapa kesehatan bayi.

 Tanpa pemicu khusus tahun  Mengeluh tidak bisa


berdiri, tidak bisa
 Tidak dipengaruhi  Pemicu utama terjadi
bila tidak berjalan/bergerak
kondisi social budaya
dan tingkat ekonomi mendapatkan  Terjadi beberapa hari.
dukungan dari suami Rata-rata 2-3 minggu
 Bisa terjadi pada
dan/atau anggota setelah kelahiran, hampir
orang yang tidak
keluarga selalu dalam kurun 8
pernah dan berasal
minggu
dari anggota  Sangat dipengaruhi

keluarganya yang kondisi social budaya  50% berasal dari

tidak pernah dan tingkat ekonomi keluarga yang pernah

29
mengalami  Sangat erat mengalami
penyimpangan hubungannya penyimpangan mood.
mood dengan pengalaman  Ingin bunuh diri atau
 Tidak berpikir ingin penyimpangan membunuh sang bayi.
bunuh diri mood yang Bisa merasa ada suara-
 Jarang ada yang pernah/sedang suara yang menyuruhnya
berpikir ingin dialami. Bisa bunuh diri atau
menyakiti sang bayi terjadi pada ibu membunuh sang bayi
 Hampir tidak yang anggota  Dari populasi penderita,
pernah merasa keluarga lainnya 5% bunuh diri, 4%
bersalah dan tidak pernah mengalami membunuh bayinya,
berdaya. penyimpangan 67% mengalami
 Bisa kembali mood. kejadian kedua kali
normal dengan  Kadang berpikir penyimpangan
sendirinya bila ingin menyakiti emosional (affective
dukungan dan sang bayi. disorder) sepanjang
bantuan anggota  Sering merasa tahun
keluarga lain bisa berlebihan merasa  Proses kelahiran menjadi
membuat sang ibu bersalah dan tidak salah satu ketegangan
baru tersebut berdaya yang berkembang
tenang  Perlu mendapatkan menjadi penyimpangan
bantuan dan mood yang hebat
treatment  Harus mendapatkan
bantuan, pengawasan
dan treatment

2.5 Pseudocyesis
Definisi

30
Pseudosiesis adalah kehamilan amaginer atau palsu, gejala kehamilan ini
secara psikis lebih berat gangguannya daripada peristiwa abortus. Biasanya gejala
yang timbul seperti tanda hamil yang pasti yaitu:35,36
1.       Berhentinya menstruasi
2.       Membesarnya perut
3.       Payudara jadi besar
4.       Pinggul jadi besar
5.       Perubahan – perubahan kelenjar endokrin, dll.
Etiologi
Sebuah penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara kehamilan
palsu dengan kelenjar pituitary (pusat produksi hormon selama kehamilan).
Ketidakseimbangan hormon ini sering dipicu oleh stres dan kecemasan, sehingga
dapat menyebabkan perubahan emosi dan psikologis yang mengarah pada
kepercayaan atas sesuatu yang sangat diharapkannya.35Perempuan yang
mengalami kondisi ini biasanya dianjurkan untuk melakukan konseling, karena
penyebab dasarnya adalah emosional dan psikologis termasuk stres, gelisah dan
depresi.37
Para psikolog percaya bahwa perempuan yang mengalami kehamilan palsu
memiliki keinginan yang sangat kuat untuk hamil, sehingga dirinya merasa
mengalami proses kehamilan. Perempuan yang beresiko mengalami hamil palsu
ini, diantaranya:37
1. Usia akhir 30 atau awal 40 tahun dan belum memiliki anak
2. Pernah mengalami keguguran pada kandungan sebelumnya
3. Sangat ingin punya anak lagi, karena anak yang kecil sudah layak punya
adik lagi
4. Di lingkungannya ada perempuan yang sedang hamil
5. Faktor stres dan kecemasan, terutama yang menyangkut kehamilan
Pada kehamilan pseudosiesis secara psokologis ada sikap yang ambivalen
terhadap kehamilannya yaitu ingin sekali menjadi hamil, sekaligus di barengi
ketakutan untuk merealisir keinginan punya anak, sehingga terjadi proses inhibisi.

31
Keinginan-keinginan tersebut dibarengi rasa bersalah dan dorongan untuk
menghukum diri sendiri yang kemudian di kompensasikan dalam bentuk
agresivitas, secara simultan, berbarengan muncul kesediaan untuk tidak
menyadari bahwa kehamilannya ilusi belaka. Oleh komponen yang kontradiktif
ini biasanya wanita tidak mau ke dokter untuk memeriksakan dirinya.35
Penyebab yang pasti dari hamil palsu belum diketahui.Tetapi faktor yang
sangat sering berhubungan dengan terjadinya Kehamilan palsu adalah faktor
emosional/psikis yang menyebabkan kelenjar pituitary terpengaruh sehingga
menyebabkan kegagalan system endokrin dalam mengontrol hormone yang
menimbulkan keadaan seperti hamil.Jadi, kebanyakan kejadian hamil palsu ini
disebabkan faktor psikologis dimana karena keinginan yang besar dari wanita
untuk memiliki anak atau bisa juga karena ingin menghindari kehamilan.36
   Tatalaksana
Pengobatan tergantung sejauh mana kepercayaan pasien terhadap
delusi/khayalannya, perlunya dukungan dari pasangan hidup dan juga keluarga
untuk mengatasinya.Untuk suatu keadaan yang berat dimana penderita benar-
benar merasa yakin kalau dia hamil dan keadaan ini sampai menimbulkan depresi
maka konseling psikologis atau psikiater mungkin diperlukan.Pengobatan hanya
dilakukan konseling dengan psikoterapist.37

2.6 Pemilihan Psikotropika dalam Kehamilan


Ketika mempertimbangkan pengelolaan skizofrenia selama kehamilan,
berbagai jenis risiko harus diperhitungkan.
1. Risiko obat-obatan: organ malformasi (teratogenisitas), sindrom perinatal
(toksisitas neonatal), dan postnatal perilaku sequelae (perilaku toksisitas).
2. Risiko tidak ada pengobatan dan / atau putus obat.

1. Risiko Obat
a. Organ malformasi (Teratogenisitas)

32
Teratogen adalah zat atau apapun (obat, zat kimia, polutan, virus, fisik)
yang dalam kehamilan dapat menyebabkan perubahan bentuk atau fungsi
organ dalam perkembangan janin.Teratogen berasal dari bahasa Yunani
teratos, yang berarti monster.Hadegen, asal kata dari Hades (dewa dalam
mitologi Yunani), adalah zat yang mengganggu pertumbuhan dan fungsi
normal dari organ.Trophogen adalah zat yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan organ. Hadegen dan trophogen inilah yang
mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan organ (organogenesis)
bahkan setelah lahir.38
Periode utama pembentukan organ adalah 12 minggu pertama
kehamilan. Sebuah obat dianggap teratogenik jika selama pengkonsumsian
dapat meningkatkan risiko kelainan bawaan dibandingkan dengan populasi
umum. Dalam sebuah survei besar di antara 746 anak perempuan dengan
skizofrenia, Bennedsen et al membandingkan risiko cacat bawaan dengan
risiko di antara 56.106 anak di populasi umum. Peningkatan kecil malformasi
ditemukan pada bayi dari ibu dengan skizofrenia, tetapi tidak ada perbedaan
antara anak perempuan dengan skizofrenia yang melahirkan sebelum (tidak
ada paparan antipsikotik) atau setelah masuk pertama kali ke departemen
psikiatri.39 Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dari
ibu dengan psikosis mungkin memiliki peningkatan risiko malformasi
independen paparan antipsikotik.40
Hanya terdapat sedikit data mengenai efek samping pada janin bagi
perempuan dengan gangguan jiwa yang diobati dengan antipsikotik selama
kehamilan.Hal ini disebabkan karena alasan etis pada penelitian. Kebanyakan
data berasal dari studi epidemiologi besar perempuan yang terkena agen
antipsikotik selama kehamilan. Agen antipsikotik yang telah dipelajari paling
menyeluruh dalam kehamilan adalah fenotiazin dan haloperidol.40
Sobel mempelajari 52 wanita dengan psikosis terkena klorpromazin
selama kehamilan dibandingkan dengan kelompok kontrol dari 110 wanita
yang tidak diobati dari populasi pasien yang sama. Temuan yang mengejutkan

33
adalah bahwa tingkat kerusakan janin adalah serupa pada kedua kelompok,
tetapi tingkat ini masih sekitar dua kali yang terlihat pada populasi umum.41

Fenotiazin

Resnick et altidak menemukan hubungan yang signifikan antara


konsumsi ibu fenotiazin dan kematian janin. Dalam kasus-terkontrol studi
mereka dari 117 wanita hamil dengan skizofrenia, ada kurang dari korelasi
antara penggunaan obat dan kematian janin dibandingkan antara faktor-faktor
seperti tingkat keparahan skizofrenia dan kematian janin. Reanalisis data dari
studi sebelumnya yang disebut memperhatikan kecenderungan yang tidak
signifikan terhadap anomali meningkat setelah terpapar fenotiazin selama
minggu 4 sampai 10.42
Sebuah meta-analisis yang dikumpulkan dari semua studi yang tersedia
mengenai paparan fenotiazin padatrimester pertama dengan total 74.337
kelahiran hidup ditemukan peningkatan risiko relatif teratogenik.Tingkat
anomali kongenital pada anak yang terpajan fenotiazin adalah 2,4%
dibandingkan dengan sekitar 2,0% pada populasi umum.43 Namun, tidak ada
kelainan organ tertentu yang berhubungan dengan paparan fenotiazin telah
konsisten diidentifikasi. Tak satu pun dari dosis yang ditentukan penelitian
yang digunakan oleh pasien, karena sebagian besar menggunakan
signifiphenothiazines untuk kondisi obstetrik (hiperemesis) daripada untuk
gangguan psikotik, dosis rata-rata yang mungkin lebih rendah dibandingkan
rejimen antipsikotik standar.

Haloperidol

Ada beberapa studi yang telah meneliti efek dari paparan


antipsikotikpotensi tinggiseperti haloperidol. Namun, sejumlah besar
perempuan telah terpapar haloperidol karena telah menjadi obat pilihan
pertama selama lebih dari 10 tahun sebelum muncul antipsikotik atipikal. Efek
teratogenik spesifik belum diketahui oleh tenaga kesehatan. Sebuah studi
retrospektif terhadap 100 perempuan yang menerima haloperidol selama hamil
menunjukkan tidak berpengaruh penting pada rasio jenis kelamin keturunan,

34
berat lahir intrauterin atau neonatal survival, fekunditas atau durasi kehamilan
dibandingkan dengan wanita yang tidak memakai antipsikotik.44 Namun,
Laporan kasus menggambarkan bayi yang baru lahir dengan cacat berupa
berkurangnya anggota badan pada ibu yang diobati dengan haloperidol 1,5 mg
/ hari selama periode ekstremitas-sensitif organogenetic.45 Kopelman et al
menjelaskan neonatus dengan kelainan tungkai yang parah setelah ibu
mengkonsumsi haloperidol 15 mg / hari selama 7 minggu pertama kehamilan,
namun neonatus juga terkena dalam rahim untuk methylphenidate dan
fenitoin.46
Godet dan Marie-Cardine mempelajari 199 anak yang lahir dari ibu
dengan skizofrenia yang terkena obat antipsikotik selama kehamilan. Sebuah
peningkatan minimal dalam risiko malformasi terlihat dalam studi ini: 2,5%
dari anak-anak memiliki kelainan. Mereka mengamati 4 malformasi antara 89
anak terpapar dalam rahim untuk setidaknya satu agen antipsikotik selama
trimester pertama dan 3 malformasi antara 29 anak terpapar dalam rahim
untuk penggunaan haloperidol. Namun, pada penelitian ini terdapat
kekurangan mengenai signifikasi hubungan antara risiko malformasi dan
pengobatan antipsikotik. Informasi ini perlu dipertimbangkan terhadap laporan
kasus di mana kausalitas belum ditetapkan.47

Atypical Antipsikotik

Dibandingkan dengan antipsikotik tradisional, sedikit yang diketahui


tentang risiko yang terkait dengan paparan pralahir untuk antipsikotik atipikal.
Antipsikotik atipikal memiliki beberapa keunggulan dibandingkan antipsikotik
tradisional di bahwa mereka hanya sangat jarang berhubungan dengan efek
ekstrapiramidal dan kebanyakan dari mereka hanya memiliki pengaruh
minimal pada kadar prolaktin serum, kecuali dua dari antipsikotik baru
(risperidone, Amisulpride), yang menginduksi hiperprolaktinemia.44
Koren dkk. Telah menunjukkan asupan folat yang rendah pada pasien
dengan skizofrenia menerima antipsikotik atipikal. Berat badan rata-rata
adalah 84.2kg dan 63% dari pasien wanita yang obesitas (indeks massa

35
tubuh>27 kg/m2). Folat serum Jahat jauh lebih rendah dibanding pada pasien
rumah sakit umum, meningkatkan risiko cacat tabung saraf.

Clozapine

Beberapa tindak lanjut studi klinis ibu hamil dengan gangguan psikotik
yang dirawat dengan clozapine telah menunjukkan bahwa tidak ada bukti
hubungan kausal antara clozapine dan terjadinya malformasi janin.48 Beberapa
laporan kasus yang diterbitkan dan seri kasus kolektif menunjukkan ada
hubungan yang pasti antara paparan clozapine dan anomali kongenital pada
hewan atau manusia, namun sejauh mana data hewan dapat extrapolat ed
untuk manusia tidak jelas.
T'enyi dan Trixler melaporkan pada enam kehamilan dari empat
wanita dengan skizofrenia (satu kehamilan setiap tiga wanita dan tiga
kehamilan pada satu perempuan) yang memerlukan perawatan clozapine
selama kehamilan, tidak satu pun dari kehamilan menunjukkan efek samping
yang dialami oleh salah satu perempuan atau bayi mereka. 48 Namun, di
review, Dev dan Krupp melaporkan pada 61 anak yang lahir dari 59
perempuan yang menerima pengobatan clozapine selama kehamilan. Lima
puluh satu dari anak-anak yang sehat, lima memiliki cacat bawaan dan lima
memiliki sindrom perinatal. Para ibu dari beberapa anak-anak dengan cacat
bawaan telah mengambil obat lain selama kehamilan dan obat-obatan bisa
memainkan beberapa bagian dalam menyebabkan kerusakan janin. Layanan
Pharmacovigilance Novartis telah melaporkan hampir 200 kasus dengan
kejadian malformasi dari 6%. Namun, ini hanya merupakan kehamilan
dilaporkan secara spontan kepada perusahaan, dan kehamilan lain yang terkait
dengan clozapine, oleh karena itu hasil penelitian tersebut tidak dianggap.46

Olanzapine

Data dari registri kasus eksposur olanzapine selama kehamilan telah


sementara dilaporkan oleh Goldstein et al Hasil yang tersedia dari 23
kehamilan olanzapine secara prospektif dipastikan terkena dan ada tambahan
11 kasus retrospektif dipastikan kehamilan. Aborsi spontan terjadi pada 13%,

36
lahir mati pada 5%, kelainan besar di 0% dan prematur pada 5%. Sebuah
penjelasan diperluas dalam Database Pharmacovigilance Dunia Lilly
Keselamatan yang luas mencakup data hasil kehamilan untuk 144 kasus
dilaporkan prospektif. Di antaranya, 102 (70,8%) mengakibatkan kelahiran
normal, 12 (8,3%) menyebabkan aborsi spontan, 6 (4,2%) ke prematur
pengiriman dan 3 (2,1%) stillbirths terjadi. Data yang dilaporkan adalah
semua dalam kisaran normal tingkat kontrol sejarah. 49
Malformasi utama yang terdaftar di enam kasus (4,2%). Dalam satu
kasus ibu juga digunakan ganja, alkohol, nikotin dan ekstasi, dan dalam tiga
kasus ibu juga minum obat psikotropika bersamaan (benzodiazepin,
paroxetine, asam valproik [valproate natrium]). Ada laporan kasus beberapa
bayi sehat lahir tanpa komplikasi meskipun paparan pralahir untuk olanzapine.

Risperidone

Ada data yang sangat terbatas tentang keamanan penggunaan


risperidone selama kehamilan manusia. Baru-baru ini, Ratnayake dan Libretto
melaporkan pada dua wanita dengan skizofrenia yang diobati dengan
Risperidone 4 dan 6 mg / hari sebelum dan selama kehamilan dan selama
masa menyusui. Tidak ada kelainan organ saat lahir dan tidak ada kelainan
perkembangan telah ditemukan pada anak-anak setelah usia 2 tahun. Laporan-
laporan kasus mendukung temuan dari studi postmarketing dari 7684 pasien
yang diberi resep risperidone. Sembilan wanita mengambil risperidone selama
sepuluh kehamilan dan, dari sepuluh kehamilan, ada tujuh kelahiran hidup dan
tiga penghentian terapi. Tidak ada kelainan dilaporkan antara tujuh bayi hidup
terkena risperidon dalam rahim. Namun, tidak ada konsekuensi yang luas
dapat ditarik atas dasar ini sejumlah kecil data.49

Quetiapine

Dua laporan yang ditemukan dalam literatur mengenai penggunaan


quetiapine selama kehamilan manusia. T'enyi et al Dilaporkan pada pasien
yang diobati dengan quetiapine selama kehamilan seluruh tanpa komplikasi.
Pasien telah mengambil 300mg quetiapine dua kali sehari pada saat

37
pembuahan, dosis berkurang pada minggu kedua puluh kehamilan menjadi
200mg dan 2 minggu kemudian untuk 150mg. Taylor et al melaporkan pada
pasien yang kehamilannya dikonfirmasi. setelah 2 minggu quetiapine 300 mg /
hari perawatan. Pada minggu 21 dosis dikurangi menjadi 200 mg / hari sampai
4 minggu sebelum tanggal perkiraan untuk pengiriman, ketika dosis
quetiapine nya berkurang 50 mg / hari setiap minggu. Pasien tetap dalam
remisi selama kehamilan dan tidak ada masalah yang diamati pada postpartum
bulan pertama.50

b. Perinatal Syndromes (Toksisitas Neonatal)

Sindrom Perinatal mengacu pada berbagai gejala perilaku dan fisik


yang diamati pada periode neonatal langsung yang dapat dikaitkan dengan
paparan obat dekat waktu kelahiran. Meskipun sindrom distress transient
neonatal terkait dengan paparan atau penarikan dari antidepresan,
benzodiazepin dan penstabil mood telah didokumentasikan dalam laporan
kasus, hanya ada beberapa laporan kasus toksisitas neonatal atau sindrom
perinatal yang berhubungan dengan penggunaan antipsikotik selama
kehamilan. Laporan kasus dan kasus seri (psychiatrically wanita sakit yang
menerima obat antipsikotik selama trimester akhir) telah melaporkan gejala,
termasuk kegelisahan motor, tremor, hipertonisitas, gerakan abnormal dan
kesulitan dengan makan oral pada bayi yang lahir dari wanita yang
menggunakan antipsikotik tradisional, khususnya fenotiazin, selama
kehamilan. Gejala-gejala yang dilaporkan sebagian besar sementara dan
diselesaikan dalam beberapa hari, namun beberapa dari mereka berlangsung
hingga 10 bulan setelah lahir. Sebuah efek jangka panjang dari paparan obat
tidak dapat dikesampingkan.38
Beberapa hari apatis abnormal dilaporkan pada bayi baru lahir yang
ibunya menerima sampai dengan 1800mg dari klorpromazin setiap hari
sampai melahirkan. Dalam laporan lain, kolestatik penyakit kuning pada bayi
yang baru lahir selama 2 minggu pertama setelah kelahiran disebabkan
konsumsi ibu klorpromazin selama lalu trimester.41

38
c. Pascanatal Perilaku sequelae (Toksisitas Perilaku)
Toksisitas perilaku mengacu pada potensi dalam eksposur rahim
dengan obat psikotropika menyebabkan gejala sisa neurobehavioural jangka
panjang. Pertanyaan ini rumit oleh faktor genetik dan lingkungan yang juga
berkontribusi terhadap hasilnya. Beberapa data dari penelitian pada hewan
telah menunjukkan bahwa perubahan dalam neurotransmitter. Fungsi dan
perilaku terjadi setelah paparan pralahir untuk agen psikotropika, seperti
klorpromazin dan haloperidol.45 Masih harus ditentukan apa konsekuensi
temuan ini bagi manusia.
Data mengenai efek paparanneurobehavioural pralahir untuk
antipsikotik sangat terbatas. Tanpa tindak lanjut mustahil untuk
memperkirakan efek neurobehavioural pada anak yang terpajanantipsikotik.
Dalam sebuah studi kasus kontrol, dari 68 anak terpapar dalam rahim untuk
antipsikotik khas (fenotiazin, haloperidol) selama trimester kedua kehamilan
dievaluasi. Analisis statistik tidak ditemukan adanya perbedaan yang
signifikan dalam perilaku antara anak-anak terkena dan tidak terkena anak
dalam rahim untuk antipsikotik.39

2. Tidak ada Pengobatan dan / atau Pemutusan Obat

Potensi risiko tidak memberikan obat pada wanita hamil termasuk


kemungkinan membahayakan dirinya atau janin selama episode psikotik.
Semakin banyak penelitian telah menunjukkan tingkat kekambuhan yang
tinggi saat obat dihentikan pada pasien dengan skizofrenia.46 Baldessarini dan
Viguera dan Gilbert et al melaporkan bahwa pasien dengan skizofrenia berada
pada risiko terbesar kambuh dalam 3 bulan pertama putus obat.33 Diperkirakan
bahwa 65% dari wanita dengan skizofrenia yang tidak menjaga obat akan
kambuh selama kehamilan. Tingkat penarikan antipsikotik juga penting. Jika
waktu pemberian obat yang di konsumsi lebih sempit yaitu selama <2 minggu,
tingkat kekambuhan adalah 5 sampai 6 kali lipat lebih tinggi daripada yang
diamati ketika obat dikonsumsi lebih dari 2 bulan. Dengan demikian,
keputusan untuk menghentikan pengobatan antipsikotik saat perempuan

39
dengan skizofrenia hamil atau berencana untuk hamil menjadi jauh lebih
sulit.51
Dokter harus menginformasikan pasien dari kemungkinan tinggi
kambuh dan risiko yang terkait dengan dekompensasi yang serta informasi
yang lengkap tersedia mengenai risiko atau manfaat dari perawatan dengan
obat antipsikotik. Risiko penggunaan alkohol, merokok, masalah gizi, stres
dan masalah hubungan potensial berkaitan dengan psikosis harus dibahas.
Dokter harus mempertimbangkan manfaat dari pengendalian penyakit jiwa
parah pada pasien hamil mereka versus risiko untuk ibu dan janin dari
pengobatan berkelanjutan. Wadhwa et al menyelidiki konsekuensi dari stres
ibu dan faktor terkait dalam kehamilan pada panjang kehamilan janin,
pertumbuhan janin dan perkembangan otak. Temuan mereka mendukung
peran penting untuk stres prenatal ibu dalam etiologi prematuritas terkait hasil
dan menyarankan bahwa efek ini sebagian dimediasi oleh sumbu
neuroendokrin ibu janin, terutama oleh plasenta corticotropin-releasing
hormone. Temuan mereka juga memberikan bukti awal bahwa pengaruh stres
prenatal pada janin berkembang dapat bertahan setelah lahir.39,40
Penyakit jiwa selama kehamilan juga dapat mempengaruhi self care-
ibu dan perhatian terhadap perawatan prenatal. Bunuh diri atau impulsif
terkait dengan negara psikotik menimbulkan risiko klinis. Wanita hamil
dengan psikosis telah ditemukan untuk menjadi lebih mungkin untuk merokok
atau menggunakan alkohol atau obat-obatan terlarang. Psikosis selama periode
postpartum juga dapat mempengaruhi ibu-bayi lampiran dan, dengan
demikian, mempengaruhikemudian bayi pembangunan. Anak-anak dari ibu
yang dirawat di rumah sakit dengan skizofrenia jarang berhasil dibesarkan
oleh ibu mereka dan, karena itu, awal bayi mereka lingkungan lampiran sangat
terganggu dan tidak sebanding dengan anak-anak dibesarkan oleh ibu yang
sehat. Ada data yang menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu dengan
skizofrenia lebih mungkin untuk menampilkan masalah perilaku dan
gangguan pameran di motor, kognitif dan perkembangan emosional.40,51

40
Wanita dengan Skizofrenia yang Telah Menjadi Hamil
Algoritma pengobatan yang paling tepat untuk pengobatan wanita
dengan skizofrenia yang telah hamil tergantung pada tingkat keparahan
gangguan. Pemantauan selama kehamilan sangat penting untuk
memungkinkan deteksi cepat dan pengobatan penyakit berulang. Ketika obat
diindikasikan, upaya harus dilakukan untuk memilih pilihan paling aman,
keputusan berdasarkan data keamanan reproduksi yang tersedia dan riwayar
respon respon obat. Bila mungkin, switch ini harus terjadi sebelum wanita
mencoba untuk hamil, untuk mengkonfirmasi stabilitasnya dalam menanggapi
obat.Sebaliknya, pasien dengan psikosis kronik, terutama mereka dengan
riwayat kambuh berulang, sebaiknya dipelihara pada antipsikotik sebelum dan
selama kehamilan. Pendekatan ini memiliki keuntungan bahwa paparan obat
janin mungkin terbatas ketika dosis rendah digunakan dan kebutuhan untuk
inadministration intermiten dosis tinggi untuk mengobati kekambuhan
psikotik dapat dihindari. Pemantauan terapi obat bisa membantu untuk
menemukan dosis yang optimal,terutama mengingat kapasitas metabolisme
diubah untuk banyak obat selama kehamilan.51
Data mengenai efek penghentian obat pada kesejahteraan pasien
dengan penyakit jiwa telah mengungkapkan risiko yang besar. Ini memiliki
promptedreassessment pedoman bagi perempuan yang hamil saat dirawat
dengan antipsikotik, serta bagi perempuan yang mengembangkan gangguan
onset baru kejiwaan selama kehamilan. Keputusan untuk menerima risiko
absolut lebih tinggi daripada rata-rata dan risiko relatif kecil untuk
teratogenesis terkait dengan antipsikotik tertentu dapat dibenarkan oleh
kebutuhan untuk terapi obat untuk memastikan kesehatan mental yang stabil
ibu selama kehamilan.47
Perhatian juga harus diberikan pada dosis obat selama kehamilan. Ada
dorongan intuitif untuk mengurangi penggunaan obat selama kehamilan.
Namun, bagi banyak obat, tampaknya ada ada hubungan dosis-respon yang
jelas untuk risiko selama kehamilan. Oleh karena itu, banyak wanita dapat
undertreated dan ditempatkan pada peningkatan risiko untuk kambuh jika

41
dosis obat mengalami penurunan. Meskipun risiko tidak dapat diukur mutlak,
pentingnya menimbang berbagai pilihan pengobatan dan risiko relatif dengan
wanita dihadapkan dengan keputusan ini tidak dapat dilebih-lebihkan.50
Beberapa antipsikotik atipikal menyebabkan berbagai derajat berat
badan, yang meningkatkan risiko cacat tabung saraf pada bayi dari wanita
kelebihan berat badan. Karena banyak kehamilan pada wanita dengan
skizofrenia tidak direncanakan ada kemungkinan bahwa kehamilan dapat
pertama kali terdeteksi di luar postconceptional pertama bulan, setelah neural
tube defect telah terbentuk. Oleh karena itu, sebaikanya dilakukan tes
diagnostik untuk menyingkirkan cacat tabung saraf janin di antara pasien
tersebut, termasuk menggunakan tingkat USG 2 rinci dan tes α-fetoprotein.
Sehingga untuk melengkapi wanita yang mengonsumsi antipsikotik atipikal
dapat direkomendasikan untuk pemberian folat dosis tinggi (misalnya 4 mg /
hari) pada populasi yang berisiko tinggi (misalnya ose dengan bayi
sebelumnya dengan cacat tabung saraf, dengan diabetes mellitus dan
antiepileptics mengambil).52

Wanita dengan Pertama-Episode Skizofrenia selama Kehamilan

Psikosis selama kehamilan harus dianggap sebagai darurat medis dan


kebidanan. Gejala dapat menempatkan seorang wanita pada peningkatan
risiko untuk perilaku berbahaya atau impulsif, dan dapat mengganggu
kemampuannya untuk mendapatkan perawatan prenatal yang tepat. Risiko
bagi hasil kehamilan yang merugikan yang paling mungkin untuk secara
substansial kurang selama eksposur trimester kedua dan ketiga, setelah
selesainya organogenesis, meskipun tidak adanya data registri kasus luas
dengan senyawa yang paling membatasi kepastian dengan yang kesimpulan
tentang keselamatan dapat ditarik. Secara umum, menghindari agen
antipsychotic pada trimester pertama sangat dianjurkan tetapi, jika hal ini
tidak mungkin, menjaga dosis rendah dan singkat untuk meminimalkan
paparan adalah bijaksana.51

42
Sebuah meta-analisis mencatat risiko yang lebih tinggi dari cacat
bawaan setelah paparan antipsikotikpotensi rendah pada trimester pertama.
Dalam pandangan potensi untuk pengembangan hipotensi ibu dengan
fenotiazin alifatik dan thioridazine, dan peningkatan risiko kemungkinan
malformasi janin dengan fenotiazin, adalah lebih baik untuk menggunakan
high-potensi agen sebagai lini pertama untuk manajemen gangguanpsikotik
selama kehamilan. Pemilihan obat untuk ibu hamil dengan psikosis akan
ditentukan oleh risiko efek samping. Antipsikotik potensi tinggi khas
menguntungkan karena mereka memiliki tingkat hipotensi ortostatik yang
lebih rendah dari dan juga memiliki beberapa data keamanan dalam
penggunaan oleh wanita psikotik.40,43
Meningkatnya jumlah pengalaman penggunaan yang aman dari
antipsikotik atipikal selama kehamilan dapat mendorong dokter untuk
mempromosikan pengobatan tersebut. Namun, karena keterbatasan data yang
tersedia mengenai keselamatan agen antipsikotik baru, sulit untuk membuat
keputusan tentang penggunaan clozapine, olanzapine atau risperidone dalam
pengobatan wanita hamil psikotik. Keputusan jauh lebih sulit ketika
mempertimbangkan antipsikotik atipikal lainnya seperti quetiapine dengan
hanya dua laporan kasus yang diterbitkan, atau Amisulpride, ziprasidone dan
aripiprazole tanpa data manusia yang tersedia.48,49,50 Data dilaporkan mengenai
clozapine menunjukkan bahwa, dalam kasus tertentu, efek yang
menguntungkan terhadap ibu mungkin lebih besar daripada risiko bayi.
Namun, clozapine belum sistematis dipelajari dalam kehamilan dan
penggunaannya terlalu terbatas untuk menentukan apakah ia memiliki
keuntungan unik atau kelemahan dalam hal perkembangan janin. Mencatat
besar kasus registry dengan olanzapine menggambarkan risiko yang relatif
rendah untuk merugikan peristiwa dibandingkan dengan tingkat dasar untuk
malformasi spontan, kelahiran prematur atau aborsi spontan, karena itu,
tampaknya agen menjanjikan dalam pengobatan ibu hamil dengan psikosis. 48
Namun, ada kebutuhan besar untuk pengumpulan data lebih lanjut tentang
risiko antipsikotik atipikal pada kehamilan. Strategi pengobatan

43
nonpharmacological harus selalu dieksplorasi. Pilihan ini dapat membatasi
kebutuhan obat selama kehamilan. Nonpharmacological terapi, seperti
psikoterapi individu, terapi untuk keluarga pasien dan pasangan, dan rawat
inap dalam lingkungan, biasanya harus dicoba sebelumnya dan secara
bersamaan diterapkan bersamaan dengan psikofarmaka sebagai terapi
kombinasi untuk mengurangi gejala gangguan kejiwaan.

44
Tabel 3. Tabel Keamanan Penggunaan Obat Psikotropika dalam Kehamilan
dan Menyusui

45
BAB III

KESIMPULAN

Kehamilan merupakan waktu transisi, yakni suatu masa antara kehidupan


sebelum memiliki anak yang sekarang berada dalam kandungan dan kehidupan
nanti setelah anak tersebut lahir. Perubahan status yang radikal ini
dipertimbangkan sebagai suatu krisis disertai periode tertentu untuk menjalani
proses persiapan psikologis yang secara normal sudah ada selama kehamilan dan
mengalami puncaknya pada saat bayi lahir.Hasil penelitian sampai saat ini
menunjukkan etiologi yang multifaktorial.Beberapa faktor yang dilaporkan seperti
faktor hormonal, neuroendokrin, biokemikal, psikologik, sosial, budaya, genetik
dan kepribadian, atau hubungan timbal balik diantara faktor-faktor
tersebut.Gangguan Jiwa pada wanita hamil dapat dibagi atas selama kehamilan
dan setelah melahirkan (postpartum).Gangguan jiwa selama kehamilan terdiri dari
gangguan kecemasan pada kehamilan seperti gangguan cemas menyeluruh,
gangguan panik, dan gangguan obsesif kompulsif dan Gangguan afektif seperti
depresi mayor dan gangguan bipolar.Sedangkan setelah melahirkan (postpartum)
gangguan jiwa bisa berupa baby blues, depresi postpartum dan psykosis
postpartum (Puerperal Psykosis). Beberapa gangguan jiwa lain yang tidak
termasuk dikeduanya seperti pseudocyesis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
tentang pemberian obat selama kehamilan antara lain
1. Tidak ada obat yang dianggap 100% aman bagi perkembangan janin.
2. Obat diberikan jika manfaatnya lebih besar daripada resikonya baik
bagi ibu maupun janin. Jika mungkin, semua obat dihindari pada tiga
bulan pertama kehamilan (trimester I), karena saat ini organ tubuh
janin dalam masa pembentukan.
3. Metabolisme obat pada saat hamil lebih lambat daripada saat tidak
hamil, sehingga obat lebih lama berada dalam tubuh.
4. Pengalaman penggunaan obat terhadap wanita hamil sangat terbatas,
karena uji klinis obat saat hendak dipasarkan tidak boleh dilakukan
pada wanita hamil

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahluwalia YK., Meyer BEB. Psychiatric disorders. In :Gleicher N, Gall


SA, Sibai BM, Elkayam U, Galbrath RM,Sarto GE, editors. Principles and
practice of medical therapyin pregnancy, 2th ed. Norwalk : Appleton &
Lange; 2012.p.1209 – 12.
2. Cunningham, MacDonald,Gant, Leveno, Gilstrap, Hankis etal. In :
Neurological and psychiatric disorders. WilliamsObstertrics. 23th ed.
Toronto : Appleton & Lange; 2007.p.1265– 70.
3. Rubinchik S.M., Kablinger A.S., Gardner J.S., Medications for Panic
Disorder andGeneralized Anxiety Disorder During Pregnancy, Prim
Care Companion J ClinPsychiatry. 2009; 7(3): 100–105.
4. Austin MP; Hadzi-Pavlovic D; Priest SR; Reilly N; Wilhelm K; Saint K;
Parker G.Depressive and anxiety disorders in the postpartum period: how
prevalent are theyand can we improve their detection? Arch Womens
Ment Health. 2010; 13(5):395-401.
5. Reck C; Struben K; Backenstrass M; Stefenelli U; Reinig K; Fuchs T;
Sohn C; Mundt C.Prevalence, onset and comorbidity of postpartum
anxiety and depressive disorders.Acta Psychiatr Scand. 2008; 118(6):459
6. Gavin NI, Gaynes BN, Lohr KN, Meltzer-Brody S, Gartlehner G, Swinson
T. Perinatal depression: a systematic review of prevalence and incidence.
Obstet Gynecol 2005;106:1071-83.
7. Heron J., O’Connor T.G., Golding J.,The ALSPAC Study Team. The
courseof anxiety and depression through pregnancy and the postpartum in
a communitysample, J. Affect Disorders 2004; 80(1): 65-73.
8. Kessler RC, Berglund P, Demler O, et al. The epidemiology of major
depressive disorder: results from the National Comorbidity Survey
Replication (NCS-R). JAMA 2003;289:3095-105.
9. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2014.Psikiatri dan Kedoktera Repoduksi
dalam Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-1, Binapura Angkasa, Jakarta: 398-400.

47
10. Bennett HA, Einarson A, Taddio A, Koren G, Einarson TR. Prevalence of
depression during pregnancy: systematic review. Obstet Gynecol
2004;130:698-709.
11. Antenatal and postnatal mental health: the NICE guideline on clinical
management and service guidance. London: National Institute for Health
and Clinical Excellence, 2007. Diunduh dari URL: http://www.nice.org
.uk/CG045fullguideline.
12. American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on
Obstetric Practice. Committee opinion no. 453: screening for depression
during and after pregnancy. Obstet Gynecol 2010;115:394-5.
13. Yonkers KA, Wisner KL, Stewart DE, et al. The management of
depression during pregnancy: a report from the American Psychiatric
Association and the American College of Obstetricians and Gynecologists.
Gen Hosp Psychiatry 2009; 31:403-13.
14. Diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4th ed.: DSM-IV.
Washington, DC: American Psychiatric Association, 1994.
15. Practice guideline for the treatment of patients with major depressive
disorder. 3rd ed. Washington, DC: American Psychiatric Association,
2010:66-70.
16. Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.
17. Mansjoer T, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
18. Berga SL., Parry BL. Psychiatry and reproductive medicine.In: Kaplan
HI., Saddock BJ, editors. Comprehensive textbook of psychiatry. 6th ed.
Baltimore : Williams & wilkins;2009. p. 1693 – 700
19. Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa, Jakarta: 79.
20. Misri S, Lusskin SI, Kontaras X. Psychiatric disorders in pregnancy (8
screens). Available from : http://www.uptodate.com. Accessed date :
October 01st, 2016.

48
21. Paulsen RH. Patient information : depression. [8 screens]. Available from:
http://www.uptodate.com. Accessed date : October 1st, 2016.
22. Vettraino IM, WelchRA. Drug therapy in pregnancy. In Ransom SB,
Dombrowski SG, Moghissi KS, Munkarah AR, editors. Practical strategies
in obstetrics and gynecology. Philadelphia : WB. Saunders Company :
2000. p. 432 – 3.
23. Herz EK. Management of psychiatric illness and pregnancy. In : Isada NB,
Drugan A, Johnson MP, Evans Ml, editors. Maternal genetic disease.
Stamford : Appleton & Lange; 2015. p. 89 – 95.
24. Stovall J. Patient information: bipolar disorder [5 screens].
http://www.uptodate.com. Accessed date : October 2rd, 2016.
25. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. 11th edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. P 839-44
26. Beck CT. Postpartum depression: it isn't just the blues. Am J Nurs. 2006
May. 106(5):40-50; quiz 50-1.
27. Scrandis DA, Sheikh TM, Niazi R, Tonelli LH, Postolache TT. Depression
after delivery: risk factors, diagnostic and therapeutic considerations.
ScientificWorldJournal. 2007. 7:1670-82.
28. Cockburn,Jayne. And Michael E.P. Psychological Challenges in Obstetrics
and Gynecology The Clinical Management. Springer.London.2007.
Hal.140-154.
29. Yanita & Zamralita. 2001. Persepsi Perempuan Primipara tentang
Dukungan Suami dalam Usaha Menanggulangi Gejala Depresi Pasca
Salin. Phronesis. Vol: 3. No: 5. h: 47.
30. Klaus M.,& Kennel J.H.,2013,Mothering The Mother, How Doula Can
Help You Have a Shorter, easer and HealthierBirth, Addison Wesley, New
York.
31. Zonana J, Gorman J M. The Neurobilogy of Postpartum Depression. CNS
Spectrum. Vol 10. October 2005.

49
32. Suttajit S. Roles Of Neurotransmitters, Hormones And Brain-Derived
Neurothrophic Factors In Pathogenesis Of Depression. Chiang Mai
Medical Journal. 2009. Chiang Mai University.
33. Jossefson A. Post Partum Depression-Epidemiological and Biological
Aspect. Linkoping University Medical Dissertation No. 781. University of
Linkoping. 2003. Sweden.
34. Harms, Roger.W.M.D. Mayo Clinical guide to a Healthy Pregnancy.
HarperCollinse-books.2009.Hal.261-264.
35. Tarin JJ, Hermenegildo C, García-Pérez MA, Cano A. Endocrinology and
physiology of pseudocyesis. Reprod Biol Endocrinol. 2013;11(39):1–12.
36. Yadav T, Balhara YPS, Kataria DK. Pseudocyesis versus delusion of
pregnancy: differential diagnoses to be kept in mind. Ind J Psychol Med.
2012;34(1):82–84.
37. Bekwe PC, Achor JU. Psychosocial and cultural aspects of pseudocyesis.
Ind J Psychiatry. 2008;50(2):112–116.
38. Cunningham et al, Williams Obstetric 23rd Edition.2010. Teratology and
medications thataffect the fetus. McGraw-Hill.
39. Bennedsen BE, Mortensen PB, Olesen AV, et al. 2011.Congenital
malformations, stillbirths, and infant death among children of women with
schizophrenia. Arch gen psychiatric. 58;674-679.
40. Galbally, Megan, Martien Snellen, and Josephine Power. “Antipsychotic
Drugs in Pregnancy: A Review of Their Maternal and Fetal Effects.”
Therapeutic Advances in Drug Safety 5.2 (2014): 100–109. PMC.
Accessed date : October 3rd, 2016.
41. Dinakar HS, Sobel RN, Bopp JH, Daniels A, Mauro S. Efficacy of
olanzapine and risperidone for treatment-refractory schizophrenia among
long-stay state hospital patients. Psychiatr Serv. 2002;53(6):755–757.
42. Resnick SG, Rosenheck RA, Canive JM, et al. Employment outcomes in a
randomized trial of second-generation antipsychotics and perphenazine in
the treatment of individuals with schizophrenia. J Behav Health Serv Res.
2008 Apr;35(2):215–225.

50
43. Scherk H, Pajonk FG, Leucht S. Second-generation antipsychotic agents
in the treatment of acute mania: a systematic review and meta-analysis of
randomized controlled trials. Arch Gen Psychiatry. 2007;64(4):442–455.
44. Verhey FRJ, Verkaaik M, Lousberg R. Olanzapine-Haloperidol in
Dementia Study g. Olanzapine versus haloperidol in the treatment of
agitation in elderly patients with dementia: results of a randomized
controlled double-blind trial. 2006;21(1):1–8.
45. Chan WC, Lam LC, Choy CN, Leung VP, Li SW, Chiu HF. A double-
blind randomised comparison of risperidone and haloperidol in the
treatment of behavioural and psychological symptoms in Chinese
dementia patients. Int J Geriatr Psychiatry. 2011;16(12):1156–1162.
46. Kopelman A, Andreasen NC, Nopoulos P. Morphology of the
anterior cingulate gyrus in patients with schizophrenia: relationship to
typical neuroleptic exposure. Am J Psychiatry 2006; 162(10): 1872-8.
47. Godet PF, Marie-Cardine M. Neuroleptics, schizophrenia, and pregnancy.
Epidemiological and teratologic study. 1991;7:543–547.
48. Meltzer HY, McGurk SR. The effects of clozapine, risperidone, and
olanzapine on cognitive function in schizophrenia. Schizophr Bull
1999; 25(2): 233-55.
49. Girgis RR, Diwadkar VA, Nutche JJ, Sweeney JA, Keshavan MS,
Risperidone in first-episode psychosis: a longitudinal, exploratory voxel-
based morphometric study. Schizophr Res 2006; 82(1): 89-94.
50. Zhong KX, Tariot PN, Mintzer J, Minkwitz MC, Devine NA. Quetiapine
to treat agitation in dementia: a randomized, double-blind, placebo-
controlled study. Current Alzheimer Research. 2007 Feb;4(1):81–93.
51. Pickar D, Vinik J, Bartko JJ. Pharmacotherapy of schizophrenic
patients: preponderance of off-label drug use. PLoS ONE 2008; 3(9)
52. Burghardt, Kyle J, and Vicki L Ellingrod. “Detection of the Metabolic
Syndrome in Schizophrenia and Implications for Antipsychotic Therapy:
Is There a Role for Folate?” Molecular diagnosis & therapy 17.1 (2013):
21–30. PMC. Accessed date : October 3rd, 2016.

51

Anda mungkin juga menyukai