Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH ETIKA PROFESI

ANALISA DARI CONTOH KASUS


PELANGGARAN ITE DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

MUZAYYANAH (1461404574)

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA


FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
TAHUN 2019
CONTOH KASUS AHMAD DHANI

Musisi Ahmad Dhani divonis hukuman penjara 1 tahun 6 bulan pada Senin
(28/1/2019) lalu, setelah didakwa melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) atas twitnya pada 2017 yang dinilai menyebarkan kebencian dan
permusuhan. Hakim menilai Ahmad Dhani melanggar Pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28
Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Caleg Gerindra itu dinyatakan melanggar
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian.

Kasus Ahmad Dhani ini bermula dari laporan Jack B. Lapian yang mengaku
pendukung Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Ia melaporkan twit Dhani pada 7 Februari, 6
Maret, dan 7 Maret 2017. Pada 7 Februari, misalnya, Dhani menulis: "Yang menistakan
agama si Ahok, yang diadili KH Ma'ruf Amin..." Pada 6 Maret, Dhani kembali menulis:
"Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya."
Terakhir, pada 7 Maret, pentolan Dewa 19 ini menulis: "Sila pertama Ketuhanan YME.
Penista agama jadi gubernur... Kalian waras???". Direktur Program Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu menilai, vonis yang dijatuhkan hakim kepada
Ahmad Dhani menambah rentetan panjang korban dari pasal karet UU ITE. Data yang
dihimpun Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), hingga 31
Oktober 2018 setidaknya ada 381 korban yang dijerat dengan UU ITE. Berdasarkan data
itu, 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan
ujaran kebencian. Umumnya pelapor berasal dari mereka yang memiliki kekuasaan
modal atau kekuasaan politik.

ANALISA :

UU ITE datang membuat situs porno bergoyang dan sebagian bahkan


menghilang? Banyak situs porno alias situs lendir ketakutan dengan denda 1 miliar rupiah
karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. Padahal
sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya
membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang
mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang
terjadi didalamnya. Apakah UU ITE sudah lengkap dan jelas? Ternyata ada beberapa
masalah yang terlewat dan juga ada yang belum tersebut secara lugas didalamnya. Ini
adalah materi yang saya angkat di Seminar dan Sosialisasi Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang diadakan oleh BEM Fasilkom Universitas Indonesia
tanggal 24 April 2008. Saya berbicara dari sisi praktisi dan akademisi, sedangkan di sisi
lain ada pak Edmon Makarim yang berbicara dari sudut pandang hukum. Tertarik? Klik
lanjutan tulisan ini. Oh ya, jangan lupa materi lengkap plus UU ITE dalam bentuk PDF
bisa didownload di akhir tulisan ini.
CYBERCRIME DAN CYBERLAW

UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa


mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment
terhadap pelaku cybercrime. Nah kalau memang benar cyberlaw, perlu kita diskusikan
apakah kupasan cybercrime sudah semua terlingkupi? Di berbagai literatur, cybercrime
dideteksi dari dua sudut pandang:

1. Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas:


Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat
Email (Fraud), Email Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet,
Terorisme, Isu Sara, Situs Yang Menyesatkan, dsb.
2. Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi  Sebagai Sasaran:
Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer,
Pembobolan/Pembajakan Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan
Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb.

Cybercrime menjadi isu yang menarik dan kadang menyulitkan karena:

 Kegiatan dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial negara


 Kegiatan dunia cyber relatif tidak berwujud
 Sulitnya pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah,
disadap, dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan
detik
 Pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi
 Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi
masalahnya adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat
ketika awal mula terjadi pencurian listrik. Barang bukti yang dicuripun tidak
memungkinkan dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada
kejahatan dunia maya, pencurian bandwidth, dsb

Contoh gampangnya rumitnya cybercrime dan cyberlaw:

 Seorang warga negara Indonesia yang berada di Australia melakukan cracking


sebuah server web yang berada di Amerika, yang ternyata pemilik server
adalah orang China dan tinggal di China. Hukum mana yang dipakai untuk
mengadili si pelaku?
 Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, mengembangkan aplikasi tukar
menukar file dan data elektronik secara online. Seseorang tanpa identitas
meletakkan software bajakan dan video porno di server dimana aplikasi di
install. Siapa yang bersalah? Dan siapa yang harus diadili?
 Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, meng-crack account dan password
seluruh professor di sebuah fakultas. Menyimpannya dalam sebuah direktori
publik, mengganti kepemilikan direktori dan file menjadi milik orang
lain. Darimana polisi harus bergerak?

INDONESIA DAN CYBERCRIME

Paling tidak masalah cybercrime di Indonesia yang sempat saya catat adalah
sebagai berikut:

 Indonesia meskipun dengan penetrasi Internet yang rendah (8%), memiliki


prestasi menakjubkan dalam cyberfraud terutama pencurian kartu kredit (carding).
Menduduki urutan 2 setelah Ukraina (ClearCommerce)
 Indonesia menduduki peringkat 4 masalah pembajakan software setelah China,
Vietnam, dan Ukraina (International Data Corp)
 Beberapa cracker Indonesia tertangkap di luar negeri, singapore, jepang, amerika,
dsb
 Beberapa kelompok cracker Indonesia ter-record cukup aktif di situs zone-h.org
dalam kegiatan pembobolan (deface) situs
 Kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus (APJII)
 Sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit
mencapai Rp 30 milyar per tahun (AKKI)
 Layanan e-commerce di luar negeri banyak yang memblok IP dan credit card
Indonesia. Meskipun alhamdulillah, sejak era tahun 2007 akhir, mulai banyak
layanan termasuk payment gateway semacam PayPal yang sudah mengizinkan
pendaftaran dari Indonesia dan dengan credit card Indonesia

Indonesia menjadi tampak tertinggal dan sedikit terkucilkan di dunia


internasional, karena negara lain misalnya Malaysia, Singapore dan Amerika sudah sejak
10 tahun yang lalu mengembangkan dan menyempurnakan Cyberlaw yang mereka
miliki. Malaysia punya Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) 1997,
Communication and Multimedia Act (Akta Komunikasi dan Multimedia) 1998, dan
Digital Signature Act (Akta Tandatangan Digital) 1997. Singapore juga sudah punya The
Electronic Act (Akta Elektronik) 1998, Electronic Communication Privacy Act (Akta
Privasi Komunikasi Elektronik) 1996. Amerika intens untuk memerangi child
pornography dengan: US Child Online Protection Act (COPA), US Child Pornography
Protection Act, US Child Internet Protection Act (CIPA), US New Laws and
Rulemaking.

Jadi kesimpulannya, cyberlaw adalah kebutuhan kita bersama. Cyberlaw akan


menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis Internet, para akademisi dan masyarakat
secara umum, sehingga harus kita dukung. Nah masalahnya adalah apakah UU ITE ini
sudah mewakili alias layak untuk disebut sebagai sebuah cyberlaw? Kita analisa dulu
sebenarnya apa isi UU ITE itu.

MUATAN UU ITE
Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw
karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di
beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan
UU ITE kalau saya rangkumkan adalah sebagai berikut:

 Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda
tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN
Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
 Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
 UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang
berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat
hukum di Indonesia
 Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
 Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
o Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan
Permusuhan)
o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))

PASAL KRUSIAL

Pasal yang boleh disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27-29, wa bil
khusus Pasal 27 pasal 3 tentang muatan pencemaran nama baik. Terlihat jelas bahwa
Pasal tentang penghinaan, pencemaran, berita kebencian, permusuhan, ancaman dan
menakut-nakuti ini cukup mendominasi di daftar  perbuatan yang dilarang menurut UU
ITE. Bahkan sampai melewatkan masalah spamming, yang sebenarnya termasuk masalah
vital dan sangat mengganggu di transaksi elektronik. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga
dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers bahkan mengajukan judicial review ke
mahkamah konstitusi. Perlu dicatat bahwa sebagian pasal karet (pencemaran, penyebaran
kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.

Para Blogger patut khawatir karena selama ini dunia blogging mengedepankan
asas keterbukaan informasi dan kebebasan diskusi. Kita semua tentu tidak berharap
bahwa seorang blogger harus didenda 1 miliar rupiah karena mempublish posting berupa
komplain terhadap suatu perusahaan yang memberikan layanan buruk, atau posting yang
meluruskan pernyataan seorang “pakar” yang salah konsep atau kurang valid dalam
pengambilan data. Kekhawatiran ini semakin bertambah karena pernyataan dari seorang
staff ahli depkominfo bahwa UU ITE ditujukan untuk blogger dan bukan untuk pers.
Pernyataan ini bahkan keluar setelah pak Nuh menyatakan bahwa blogger is a part of
depkominfo family. Padahal sudah jelas bahwa UU ITE ditujukan untuk setiap orang.
YANG TERLEWAT DAN PERLU PERSIAPAN DARI UU ITE

Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan dengan
peraturan dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE (Peraturan Menteri, dsb) adalah
masalah:

 Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data


pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb
 Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk
pengembangan dan penyebarannya
 Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE.
Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan
kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan
memberi jebakan ke para pedofili dan pengembang situs porno anak-anak
 Terakhir ada yang cukup mengganggu, yaitu pada bagian penjelasan UU ITE
kok persis plek alias copy paste dari bab I buku karya Prof. Dr. Ahmad Ramli,
SH, MH berjudul Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia.
Kalaupun pak Ahmad Ramli ikut menjadi staf ahli penyusun UU ITE tersebut,
seharusnya janganlah terus langsung copy paste buku bab 1 untuk bagian
Penjelasan UU ITE, karena nanti yang tanda tangan adalah Presiden Republik
Indonesia. Mudah-mudahan yang terakhir ini bisa direvisi dengan cepat.
Mahasiswa saja dilarang copas apalagi dosen hehehehe

KESIMPULAN

UU ITE adalah cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting untuk


mendukung lancarnya kegiatan para pebisnis Internet, melindungi akademisi, masyarakat
dan mengangkat citra Indonesia di level internasional. Cakupan UU ITE luas (bahkan
terlalu luas?), mungkin perlu peraturan di bawah UU ITE yang mengatur hal-hal lebih
mendetail (peraturan mentri, dsb). UU ITE masih perlu perbaikan, ditingkatkan
kelugasannya sehingga tidak ada pasal karet yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang
tidak produktif.

Anda mungkin juga menyukai