Anda di halaman 1dari 9

MOHAMMAD HATTA

RIWAYAT HIDUP
Nama Asli : Mohammad `Athar
Nama Panggilan : Atta berubah menjadi Hatta
Tempat tinggal : Kota Bukittinggi Didataran Agam Provinsi Sumatra Barat
Tanggal lahir : 12 Agustus 1902
Nama Ayah : Haji Mohammad Jamil yang berasal dari Batuhampar
Yang merupakan anak dari Syekh Arsyad, seorang guru agama
Yang terkenal
Nama Ibu : Siti Saleha orang Bukittinggi asli yang merupakan anak dari Ilyas
Bagindo Marah, seorang pedagang yang berhasil
Meninggal : pada pukul 18.45 tanggal 14 Maret 1980 pada usia ke 78 tahun
Di makamkan : di Jalan Ponegoro 57, Jakarta
Hatta adalah anak kedua setelah Rafi`ah yang lahir pada tahun 1900. Umur 7 bulan
Htta sudah menjadi anak yatim. Ayahnya meninggal dunia di usia 30 tahun. Kemudian Ibu
Saleha kawin dengan Mas Agus Aji Ning yang merupakan seorang pedagang dari Palembang
yang sudah sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah. Hatta adalah anak laki
– laki satu – satunya dari empat bersaudara. Hatta dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang cukup ada dan terpandang. Kakek dari ibunya adalah seorang pedagang yang berhasil.
Kenalannya banyak, baik bangsa indonesia maupun orang – orang Belanda. Htta
memanggilnya dengan Pak Gaek yang mempunyai sebuah surau di Batuhampar. Banyak
orang belajar agama di sana.
Bung Hatta menikah dengan Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di
Megamendung. Tuhan mengaruniai perkawinan mereka dengan 3 anak semuanya wanita.
Yang pertama bernama Meutia Farida. Yang kedua bernama Gemala Rubiah dan yang ketiga
bernama Halida Nuriah.

PENDIDIKAN
1. Sekolah swasta milik Ledeboer
2. SR (Sekolah Rakyat)
3. ELS ( Europe Lagere School )
4. MULO ( Meer Uitgebreid Lagere Onderwis ) di Padang
5. PHS ( Prins Hendrik School )
6. Kuliah di Handels Hoogere School ( sekolah tinggi ekonomi ) di Rotterdam
ORGANISASI
1. Menjadi bendahara Swallow yaitu perkumpulan sepak bola di Sekolah MULO
di Padang
2. Menjadi bendahara JSB ( JONG SUMATRANEN BOND )
3. Menjadi bendahara Indische vereniging di Belanda
4. Pada tahun 1926 dipilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia
5. Menjadi ketua PNI Baru
6. Menjadi wakil ketua PPKI
7. Wakil ketua Panitia sembilan

PERANAN BUNG HATTA DALAM MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN


INDONESIA
1. Merumuskan Teks Proklamasi
Perumusan teks proklamasi di lakukan di rumah Laksamana Maeda. Pada saat
Bung karno dan Bung Hatta tiba, mereka langsung menuju ruang tamu bersama
Subarjo, Sukarni dan Sayuti Melik. Diruang tamu, mereka menyusun teks proklamasi.
Sukarno mengusulkan agar Hatta yang menyusunnya, sebab bahasanya lebih baik.
Hatta setuju, tetapi ia meminta kepada Sukarno untuk menuliskannya. Ia akan
mendiktekan. Setelah naskah selesai, merek kembali ke ruangan sidang, Sukarno
membuka sidang. Teks proklamasi dibacanya beberapa kali. Semua hadir menyetujui
isinya. Hatta mengusulkan agar semua yang hadir menandatanganinaskah itu. Tetapi
Sukarni meminta agar naskah itu di tandatangani oleh Sukarno dan Hatta saja. Yang
lain lain setuju. Maka naskah itu pun di tandatangani oleh Sukarno dan Hatta. Mereka
menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia.

2. Mendampingi Ir. Soekarno pada saat pembacaan proklamasi dan pengibaran SANG
SAKA MERAH PUTIH pada tanggal 17 Agustus 1945

3. Menjadi wakil Presiden


Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI melakukan sidang yang salah satu isinya
ialah Sukarno menjadi Presiden dan Hatta menjadi wakil Presiden

4. Memperjuangkan Indinesia di KMB (Konferensi Meja Bundar)


Konferensi ini diselenggarakan di Den Haag pada 23 Agustus dan berakhir
pada 2 November 1949. Masalah yang lama di perdebatkan ialah kedudukan Irian
Barat. Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada RIS. Hatta menuntut
supaya daerah itu diserahkan.
Belanda menolak, komisi PBB campur tangan. Salah seorang anggota komisi
mengusulkan supaya untuk sementara waktu Irian Barat tetap di bawah kekuasaan
Belanda. Tetapi setelah setahun RIS terbentuk, maka Irian Barat harus dimasukkan ke
dalam RIS.
Hatta dapat menerima usul itu tetapi BFO menolak. Mereka ingin Irian Barat
di serahkan bersama sama daerah lain. Karena itu Hatta berunding dengan delegasi
BFO. Setelah berunding lamanya, akhirnya BFO menyetujui usul anggota komisi
PBB.
Setelah KMB berakhir, Indonesia akan menjadi Republik Indonesia Serikat.
RI dan negara negara federal akan menjadi anggota RIS. Belanda akan mengakui
kekuasaan RIS. Pada tanggal 27 Desember 1949, Hatta menghadiri upacara
pengakuan kedaulatan oleh Belanda.

PRINSIP HIDUP
1. Selalu disiplin dan cerdas
2. Menepati janji dan hidp sederhana
3. Jangan sombong karena kedudukan Ayahmu. Tetapi berusahalah
sendiri. Berdirilah dengan kekuatan kakimu sendiri
4. Dalam kehidupan ini yang penting bukan mencari harta. Yang
penting ialah bertakwa kepada tuhan serta mencari ilmu untuk di
sumbangkan kepada masyarakat
5. Buku membentuk watak Bangsa
6. Tukar pikiran itu banyak faedahnya
7. Berani mengambil resiko agar menjadi pribadi yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H. Rosihan (ed.), Mengenang Syahrir, P.T. Gramedia, jakarta 1980
Bakry, H. Oemar, Bung Hatta Selamat Jalan: Cita-citamu kami teruskan, Mutiara,
Jakarta 1980
Basri. Drs. Yusmar (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Departemen P & K,
Jakarta 1975
Hatta, Mohammad,Memoir, Tintamas, Jakarta 1979
Hatta, Mohammad, Kumpulan karangan, jilid I, Bulan Bintang, Jakarta 1976
Hatta, Mohammad, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Tinta mas, Jakarta 1969
Yasni, Dr. Z., Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta 1978
Nasution, Jenderal A.H, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 5, Angkasa,
Bandung1978
Panitia Peringatan Bng Hatta ke-70, Bung Hatta Mengabdi Tjita-tjita Perdjoangan
Bangsa, Jakarta 1972
Salam, Solichin, Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional, Djaja Murni, Jakarta 1963
Sastromidjojo, Ali, Tonggak-tonggak di perjalananku, P.T. Kinta; Jakarta 1974
Subardjo Djojohadisurjo, Prof. Ahmad, Kesadaran Nasional, Gunung Agung, Jakarta
1978
Sutarjo Kartohadikusumo
RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Soetardjo Kartohadikusumo


Agama : Islam
Tempat Lahir : Kunduran, Blora, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Rabu, 22 Oktober 1890
Meninggal : di Jakarta, 20 Desember 1976 pada umur 84 tahun
Warga Negara : Indonesia
Ayah : Kiai Ngabehi Kartoredjo
Ibu : Mas Ajoe Kartoredjo
Istri : Siti Djaetoen Kamarroekmini

Pendidikan

 Sekolah Jawa di Ngawi (1899)


 Sekolah Belanda di Blora (1900)
 Sekolah Menengah Pamong Praja (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren
atau OSVIA) di Magelang

 
Karir

 Ketua Cabang Boedi Oetomo


 Mantri Kabupaten
 Assistant-Wedono
 Pembantu Jaksa Kepala (Adjunct Hoofdjaksa) di Rembang
 Wakil Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Oud Osvianen Bond (OOB)
 Wakil Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB)
 Anggota Volksraad mewakili Jawa Timur
 Gubernur Jawa Barat pertama
 Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967)
 Dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959)
 Dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967)
 Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948)
 Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965)
 Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956).

Soetardjo Kartohadikoesoemo adalah putra seorang Assistant-Wedono di


onder-distrik Kunduran, Ngawi, yaitu Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda
Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo, adalah keturunan keluarga pemerintahan dari
Banten. Keluarga Soetardjo adalah keluarga pamong praja. Semua saudara laki-
lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai
negeri.

Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa


kecil Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di
kemudian hari untuk menulis buku tentang desa. Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo
mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah (kleinambtenaarsexamen) pada
1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan
melanjutkan pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan
organisasi pergerakan. Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah
terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan sekolah
dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat itu yang menjadi
Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar.Tidak
sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu
juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Resident Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu
pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian
diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19
bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono. Jabatan-jabatan tersebut
membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan
hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam bahasa
Indonesia dan Belanda.
PERAN DALAM MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo


memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang merendahkan
masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda. Saat menjabat sebagai Mantri,
Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang menempatkan
pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di atas tikar,
sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi bulan berikutnya,
semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk di atas kursi.Pada
1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono
onderdistrik Bogorejo di daerah Blora.

Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan


memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
yang terpuruk karena praktik tengkulak.Karena kerja kerasnya karirnya pun semakin
meningkat dan saat terbentuknya PPBB, ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan
kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad,
Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuuracademi.Soetardjo
melontarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata
kerja pamong praja yang feodal menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan
Soetardjo Bank melalui kongres PPBB. Soetardjo juga memperjuangkan
dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale
Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji
Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas.
Selama menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di
awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat
strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:

1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan sumbangan 25 juta


Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi ini diterima, dan
diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas sebesar 2 juta
Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan membentuk welvaartsfonds
dan welvaartscommissie dengan tugas merancang upaya memberantas
kemiskinan.

3. Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander dalam semua undang-


undang menjadi Indonesia

4. Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk Indonesia dan memberi


kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk menjadi anggota
militer.

5. Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak sekolah Inlandsche Mulo,


mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare vakschool),
menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht) mengingat
terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional (leerplicht).

Selain itu, Soetardjo juga berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan,


diantaranya adalah pembuatan Desa Ordonnantie 1941, serta pembentukan Comite
voor onderwijsbelangen, pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang
dikenal dengan Petisi Soetardjo.

PETISI SUTARJO

Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara


wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang
sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada
Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom) dalam batas
Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda.

Pada tanggal 15 juli 1936 Sutarjo mengajukan khusul kepada pemerintah


hindia belanda akan diadakan konverensi keraajaan belanda yang membahas status
politik hindia belanda dalam 10 tahun mendatang yang berupa ekonomi meskipun
masih ada dalam batas pasal 1 undang undang dasar kerajaan belanda. Hal ini
dimaksudkan agar tercapai kerja sama yang mendorong untuk memajukan negerinya
dengan rencana yang mantap dalam menetukan politik, ekonomi, dan sosial. Jelas
bahwa petisi ini bersifat mederat dan kooperatif melalui cara cara yang sah dalam
dewan rakyat. Dapat dimengerti pula bahwa sekurang kurangnya dapat diketahui
pendirian politik masing masing publik. Makin majunya tuntutan para nasionalis
membuktikan runtuh nya politik etis yang selalu didambakan dan pemerintah masih
memegang kuat paternalisme nya sehingga dapat diramalkan bahwa petisi sukarjo itu
tidak akan berhasil. Para nasionalis sendiri menganggap bahwa petisi harus
disebarluaskan ditengah masyarakat. Pada tahun 1938 banyak diselenggarakn rapat
untuk mendukung petisi itu rapat rapat itu meruoakan suatu usaha gigih yang
dilakukan para nasonialis waktu itu. Keputusan penolakan petisi sutarjo sangat
mengecewakan para pemimpin nasional.

Setelah penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang


dengan kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat
sebagai pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu). Pada 17 Agustus
1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut
kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal
tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman
Singodimedjo. Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga
dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur
Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat
itu menjadi daerah otonom provinsi.

Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung,


melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini diajukan
pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen)
Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan
politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai
Ketua DPA.

PRINSIP HIDUP
“ Selalu hidup sederhana meski dari keturunan orang terpandang “
Daftar sumber atau referensi
Buku Sejarah Nasional Indonesia Dan Umum Untuk SMU kelas 2 yang di susun oleh
I WAYAN BADRIKA
https://www.hariansejarah.id/2016/09/petisi-soetardjo.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Mas_Sutardjo_Kertohadikusumo
https://m.merdeka.com/soetardjo-kartohadikusumo/profil/

Anda mungkin juga menyukai