Anda di halaman 1dari 4

Keterbatasan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah

Studi Kasus Keputusan Impor Pangan di Tengah Pandemi Covid-19

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian


Intern Pemerintah (SPIP) merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan
yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem ini diselenggarakan secara
menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. SPIP dapat
dianalogikan sebagaimana kendaraan yang membawa pengemudinya ke tempat yang
akan dituju. Hal ini dikarenakan didalam kendaraan terdapat panel-panel indikator yang
akan memberikan peringatan ketika mobil tidak berjalan sebagaimana mestinya
contohnya panel speedometer, panel bahan bakar, suhu mesin dan sebagainya.
Begitupun dengan SPIP, ketika ada suatu bagian yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya maka dapat dilakukan monitor untuk melakukan pengendalian atau dapat
mencegah suatu risiko terjadi dengan melakukan mitigasi risiko sebelumnya.
Pemerintah sudah merancang sedemikian rupa aturan dan prosedur pelaksanaan SPIP
agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kementerian maupun Lembaga sesuai
denan aturan dan tujuan awalnya. Namun, pepatah mengatakan tak ada gading yang
tak retak, begitupun dengan sistem yang dibuat oleh pemerintah. Salah satu faktor
yang dapat menyebabkan keterbatasan dalan sistem pengendalian internal pada
pemerintah yaitu kurang matangnya suatu pertimbangan.
Efektivitas pengendalian seringkali dibatasi oleh adanya keterbatasan manusia
dalam pengambilan keputusan. Suatu keputusan diambil oleh manajemen umumnya
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang antara lain mencakup informasi
yang tersedia, waktu yang ada dan beberapa variable lain baik internal maupun
eksternal (lingkungan). Dalam kenyataannya, sering dijumpai bahwa beberapa
keputusan yang diambil dengan kondisi adanya keterbatasan waktu dan informasi akan
memberikan hasil yang kurang efektif dibandingkan dengan apa yang diharapkan
(Pusdiklatwas BPKP, 2016).
Pernyataan tersebut sejalan dengan kondisi yang tengah dihadapi oleh
pemerintahan Indonesia saat ini, dimana ditengah wabah yang belum pasti kapan
berakhir pemerintah mau tidak mau diharuskan mengambil kebijakan untuk
memperbaiki keadaan. Salah satunya yakni diterbitkannya peraturan Menteri
Perdagangan No. 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Holtikultura.
Lonjakan akan kebutuhan pangan seperti beras, gula, bawang, buah-buahan serta
sayur-mayur tidak sebanding dengan stok nasional. Oleh karena itu, setelah
menimbang satu dan lain hal pemerintah memutuskan untuk cepat-cepat melakukan
impor guna menstabilkan kembali stok nasional. Namun dari jika diteliti lebih lanjut,
kebijakan ini memberikan suatu keanehan dimana daerah asal barang impor tidaklah
diatur (mengingat terdapat beberapa zona merah) sehingga pembukaan keran impor
yang tujuan utamanya untuk menstabilkan stok nasional menjadi tersendat karena
terdapat komonditas yang diimpor dari daerah zona merah seperti China dan India.
Untuk mengatasi masalah tersebut sebenarnya pemerintah dapat mengambil opsi
impor dari daerah yang dikategorikan sebagai zona hijau seperti selandia baru. Akan
tetapi, hal tersebut tidaklah menjadi solusi karena produk holtikultura jika diimpor dari
negara tersebut mengalami kenaikan hampir 100 persen sehingga tidak dapat
menekan harga dipasaran.
kejadian tersebut merupakan salah satu contoh dari kurang matangnya
pemerintah dalam mengambil kebijakan dimana pemerintah mengambil kebijakan
untuk membuka impor sebesar-besarnya terhadap produk holtikultura seperti bawang
putih dan bawang bombay ataupun produk lainnya seperti gula, beras dan bahan pokok
lainnya di tengah kondisi ekstraordinary seperti saat ini dimana wabah korona sedang
hampir diseluruh dunia. Kondisi luar biasa ini mengakibatkan pengambilan keputusan
yang diambil menjadi bias, karena terdapat beberapa data yang belum diketahui secara
pasti seperti kebijakan baru terkait ekspor dinegara pengimpor, kenaikan harga,
kuantitas barang yang diberikan sehingga hal tersebut dapat menyebabkan terbatasnya
pengendalian yang dapat dilakukan. Celah kecil saja dapat memberikan kesempatan
bagi para mafia untuk bebas bermain dan berkerja sama dengan “orang dalam” untuk
mengelola impor komoditas ini demi keuntungan pribadi.
Selain itu, kurang matangnya pengambilan keputusan juga dapat menyebabkan
keborosan anggaran dimana anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan ke tempat
lain seperti peningkatan produksi tanaman holtikultura dalam negeri ataupun
penanganan wabah covid-19 menjadi dibelokkan kepada pemaikaian yang lain. Imbas
terbesarnya adalah kerugian yang lagi-lagi akan dirasakan oleh negara.
Imbas dari ditetapkannya kebijakan permendag ini banyak para pihak yang
mengkritik kebijakan ini. Seperti yang disampaikan Badan Pengurus Pusat Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (BPP HMIP) dimana “Kebijakan yang dikeluarkan Menteri
Perdagangan ini berdampak langsung pada membanjirnya bawang putih dan bombay
impor di dalam negeri sehingga walaupun alasanya untuk meredam harga, tapi dampak
negatifnya lebih mengerikan yakni membunuh petani dalam negeri. Petani di Indonesia
dengan dukungan pemerintah hingga saat ini tengah semangat atau masif
membudidayakan bawang putih, tak hanya untuk penuhi kebutuhan dalam negeri,
namun bertujuan untuk ekspor agar pendapatan petani semakin menyejahterakan.”
Namun pemerintah mengklaim kebijakan ini berjalan cukup efektif karena
selama Ramadhan harga komoditas tersebut dapat dihandle sehingga tidak mengalami
kenaikan secara drastis. Dalam keadaan pandemi seperti sekarang ini, kebijakan yang
diambil oleh pemerintah memang kadang menjadi boomerang dan pil pahit yang mau
tidak mau harus di terima karena setelah dilakukan segala pertimbangan hal tersebut
merupakan keputusan terbaik.
Meskipun kurang matangnya pengambilan kebijakan bukan berarti pengendalian
tidak dilakukan di lingkungan internal pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Perdagangan. Pada awal tahun 2019, Kementerian Perdagangan memperoleh level
Maturitas SPIP pada level 3, yang mana artinya pengendalian intern telah dilaksanakan
dan terdokumentasikan dengan baik, hanya saja pada saat evalusasi praktek
pengendalian dokumentasi tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi
internal kementerian perdagangan telah melakukan pengendalian namun belum
optimal, sehingga dapat menyebabkan faktor-faktor eksternal mempengaruhi kegiatan
yang berlangsung. Sebagaimana yang analogikan sebelumnya ketika terdapat panel di
dalam kendaraan rusak atau tidak bekerja sebagaimana mestinya, keputusan yang
diambil menjadi tidak efektif dan menyebabkan terhambatnya tujuan tercapai.
Sumber

Anonim. https://www.law-justice.co/artikel/84679/impor-bablas-stok-minim-mafia-pangan-pesta-
saat-corona/. Diakses pada 24 Juli 2020
Roland, dkk. https://www.google.com/amp/s/m.tribunnews.com/amp/regional/2020/03/20/hipmi-
kecam-permendag-tentang-pembebasan-impor-bawang-putih-dan-bombay. Diakses
pada 23 Juli 2020

Anda mungkin juga menyukai