Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MIKROEKONOMI UNTUK KEBIJAKAN

KEBIJAKAN SUBSIDI LISTRIK PADA MASA PANDEMI

Zulfa Kamilia
1906329083

Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Indonesia

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap negara memiliki kewajiban untuk warganya, pemerintah Indonesia


memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum seperti yang telah disebutkan dalam Undang
Undang Dasar Negara Tahun 1945. Dalam rangka mendukung hal tersebut
pemerintah setiap tahunnya memiliki proyek untuk membangun seluruh variable
ekonomi, seperti Pendidikan dan Kesehatan (Bappenas, 2020).

Sebagai salah satu pokok pembangunan, Kesehatan merupakan fokus utama


pada beberapa tahun belakangan. Di Indonesia sendiri pemerintah memberikan
jaminan sosial kesehatan pada setiap warga negaranya (BPJS) sebagai salah satu
cara agar kesehatan dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Hal ini menjadi
penting karena sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia,
Indonesia memiliki pola penyakit yang menindikasikan kompleksnya situasi
Kesehatan di Indonesia (WHO, 2015). Berdasarkan riset yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan (2018), Indonesia memiliki relevansi tinggi antara kematian
dengan penyakit tidak menular, penyebabnya dikarenakan sebanyak 95,5 persen
masyarakat Indonesia kurang mengkonsumsi sayur dan buah, 33,5 persen
masyarakat Indonesia kurang olahraga, 29,3 persen masyarakat Indonesia usia
produktif adalah perokok berat, 31 persen masyarakat Indonesia menderita obesitas
sentral dan 21,8 persen obesitas terjadi pada dewasa (kemenkes.go.id, 2020).

Obesitas sendiri menjadi pemicu terjadinya penyakit tidak menular di Indonesia


(WHO, 2015). Penyakit tidak menular (PTM), pada tahun 2018 mengalami
peningkatan hingga saat ini. Berdasarkan Grafik 1 dapat diketahui bahwa penyebab
kematian yang berasal dari PTM pada tahun 2013 adalah sebanyak 51,8 persen
dimana sebanyak 21,2 persen kematian disebabkan oleh Stroke, 12,9 persen
disebabkan oleh Jantung Koroner dan 6,7 persen disebabkan oleh Diabetes Mellitus.
5.3

Stroke 5.7

Jantung Koroner 21.2

Diabetes Mellitus
6.7
Tuberkulosis

Hipertensi

12.9

Grafik 1 Jumlah Kematian Akibat PTM Pada Tahun 2013

Sumber: kompas.com, 2020

Sedangkan dari ketiga penyakit tersebut, Diabetes Mellitus mengalami peningkatan


terbanyak dimana pada tahun 2013 sebanyak 6,7 persen mengalami peningkatan
menjadi 8,5 persen pada tahun 2018 (kompas.com, 2020). Penyakit Diabetes Mellitus
sendiri merupakan salah satu bentuk eksternalitas yang dihasilkan dari konsumsi gula
yang berlebihan. Eksternalitas didapatkan akibat marginal social cost lebih besar
daripada marginal private cost, dengan kata lain ketika seseorang membeli minuman
bergula tinggi, minuman tersebut belum termasuk dengan biaya yang dihasilkan dari
dampak mengkonsumsi minuman tersebut.

Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kematian yang disebabkan oleh
penyakit Diabetes Mellitus, salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah
dengan memberikan pajak terhadap minuman bergula tinggi baik alami maupun
buatan serta minuman dengan konsentrat yang dikemas dan masih memerlukan
pengenceran dalam konsumsinya, dalam wacana tersebut diketahui bahwa objek
pajak tersebut dikenakan tarif sebesar Rp 1500,- (kompas.com, 2020).
BAB II

TEORI DAN PEMBAHASAN

A. TEORI EKSTERNALITAS

Dalam perekonomian modern, setiap aktivitas memiliki keterkaitan. Keterkaitan


aktivitas dengan aktivitas lain yang tidak melalui mekanisme pasar disebut
eksternalitas. Menurut Rosen (1999), Eksternalitas adalah konsekuensi dari
ketidakmampuan seseorang untuk membuat suatu proper right. Menurut Pindyck dan
Rubinfield (2013) eksternalitas merupakan dampak yang dirasakan oleh pihak ketiga
yang ditimbulkan akibat proses konsumsi dan produksi. Penyataan tersebut juga
didukung oleh Mankiw (2004) yang menyatakan bahwa efek yang tidak
terkompensasi yang dihasilkan dari perilaku seseorang yang menyangkut
kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain, eksternalitas adalah dampak samping,
baik dampak yang menguntungkan maupun dampak yang merugikan dari tindakan
suatu pihak terhadap pihak lainnya.

EKSTERNALITAS NEGATIF

Eksternalitas dapat berdampak secara positif maupun negatif pada pihak


ketiga yang merasakannya. Eksternalitas positif terjadi apabila pihak ketiga yang tidak
terlibat pada proses produksi maupun konsumsi turut mendapatkan manfaat yang
dihasilkan, sedangkan sebaliknya, pada eksternalitas negatif pihak ketiga
mendapatkan kerugian yang dihasilkan dari proses produksi maupun konsumsi.
Biasanya eksternalitas negatif memberikan kerugian pada lingkungan. Salah satu
contohnya adalah rokok. Oleh sebab itu rokok diberikan cukai karena menimbulkan
eksternalitas bagi orang lain yang menghirup asapnya. Eksternalitas ini ada akibat
biaya yang muncul sebagai dampak.
Grafik 2
Eksternalitas Negatif
Sumber: Pindyck dan Rubenfield, 2013

Idealnya pada pasar, social cost lebih besar daripada private cost. Namun
pada pasar dengan eksternalitas positif, private cost lebih besar daripada social cost.
Sedangkan pada pasar dengan eksternalitas negatif menghasilkan marginal social
cost yang lebih besar daripada marginal private cost. Oleh sebab itu konsumsi
masyarakat (Q1) lebih besar daripada nilai idealnya (Q*). Sehingga dikarenakan
adanya kelebihan konsumsi maka terjadi deadweight loss pada grafik yang diarsir
(dihimpit oleh MSC dan MC) yang menjadi eksternalitas. Suatu eksternalitas
merupakan tergolang dalam kegagalan pasar, hal ini dikarenakan pada eksternalitas
pasar gagal dalam mengalokasikan sumberdaya yang efisien. Untuk mencegah dan
mengatasi kegagalan pasar tersebut, pemerintah mengeluarkan command and
control policy dan market based policy (Mankiw, 2004). Dalam command and control
policy, pemerintah memberikan kebijakan yang berpengaruh secara langsung dalam
proses produksi maupun konsumsi, contohnya penetapan batas atas. Sedangkan
pada market based policy pemerintah memberikan kebijakan dengan asumsi insentif
swasta dengan insentif social.
B. PIGOUVIAN TAX
Konsep Pigouvian tentang internalisasi eksternalitas untuk mengoreksi hasil
pasar yang tidak efisien menunjukkan bahwa ukuran pajak cukai harus sama dengan
biaya eksternalitas negatif (taxfoundation.org, 2020). Eksternalitas negatif yang
sebelumnya tidak menjadi tanggungan produsen dan konsumen, kini menjadi
tanggungan pelaku ekonomi (Tietenberg, 2000 dan Pearce & Turner, 1990). Dengan
adanya pajak juga produsen perlu memperhatikan jumlah kuantitas yang dihasilkan
guna mengurangi eksternalitas negatif yang dapat merusak ataupun memberikan
kerugian pada pihak lainnya.

Pigouvian tax sendiri implementasinya tergolong sebagai cukai di Indonesia.


Cukai memiliki konsep yang luas. Cukai ditarik dengan tiga asumsi:

1. Sebagai sin taxes. Cukai dipungut karena barang/jasa tersebut perlu


dibatasi dan dikendalikan karena menimbulkan masalah social ataupun
Kesehatan
2. Sebagai Pigouvian tax. Pigouvian tax dikenakan pada barang yang
memiliki eksternalitas negatif dan dimana pendapatannya digunakan
sebagai earmark tax pada sektor yang terkena.
3. Sebagai consumption tax of specific goods and service. Cukai dikenakan
sebagai kompensasi atas kepuasan yang diterima akibat mengkonsumsi
barang tersebut. Barang-barang tersebut biasanya bersifat revenue (dapat
memiliki profit yang tinggi dan digunakan untuk membiayai kepentingan
umum) dan regulerend (sebagai alat mengatur kebijaksanaan produksi
suatu perusahaan).

Dengan menggunakan regulasi command and control policy, pemerintah menekan


pabrik-pabrik untuk mengurangi produksi agar menghasilkan eksternalitas lebih sedikit.
Dengan adanya command and control policy juga pemerintah memberikan insentif
kepada pabrik untuk mencari alternatif terbaik agar eksternalitas tidak terjadi (Mankiw,
2004). Pajak Pigouvian memperbaiki insentif dalam eksternalitas sehingga tidak hanya
menambah pendapatan pemerintah, Pigouvian juga mendorong efisiensi ekonomi
C. PEMBAHASAN

Penggunaan pajak minuman berpemanis dan berkonsentrat tinggi sudah banyak


dikembangkan di beberapa negara lainnya. Sebagian besar analisis ekonomi tentang
pajak dan regulasi eksternalitas berfokus pada dua pendekatan sebagai alternatif.
Dalam kebijakan lingkungan, banyak ekonom menganjurkan "mekanisme pasar",
seperti pajak emisi atau izin polusi yang dapat diperdagangkan, dibandingkan regulasi
"command and control". Mereka berpendapat bahwa fleksibilitas yang ditawarkan oleh
mekanisme pasar mengurangi biaya agregat pengurangan emisi. Namun dalam pajak
cukai minuman berpemanis, kebijakan "command and control" lebih disukai
dibandingkan sistem mekanisme pasar, terutama pada minuman berpemanis pajak
cukai akan lebih efektif daripada pajak penjualan karena sejumlah alasan. Pajak cukai
terkandung dalam harga rak dan dengan demikian, lebih terlihat oleh konsumen,
sedangkan pajak penjualan hanya diterapkan pada tempat pembelian setelah
keputusan untuk memilih dan membeli barang tersebut dibuat.

Dalam menilai keefektifannya, pajak cukai yang diterapkan pada ukuran per unit
lebih efektif dalam menaikkan harga jika tersedia diskon volume, dibandingkan dengan
pajak penjualan (PPN) yang umumnya diterapkan dalam persentase harga (Powell &
Chriqui, 2012). Jika tujuannya adalah untuk mengurangi asupan kalori, akan lebih baik
jika ada pajak minuman berpemanis yang ditargetkan daripada pajak soda yang juga
berlaku untuk soda diet rendah kalori untuk membatasi substitusi dari soda ke minuman
berpemanis berkalori tinggi lainnya dan mendorong penggantian ke soda rendah kalori
(Chaloupka, Powell & Chriqui, 2011).
L

Grafik 3
Pengenaan Pajak Minuman Berpemanis
Sumber: Dharmasena, Davis, dan Capps Jr, 2014

Ketika pemerintah menerapkan pajak minuman berpemanis, yang terjadi adalah


barang A dikenai pajak pada tarif per unit T, seperti yang ditunjukkan pada grafik 3.
Pengenaan pajak menggeser kurva penawaran ke atas secara paralel di pasar A,
menciptakan irisan antara PA harga produsen dan PA harga konsumen. Dapat
diketahui sebelum adanya pajak, equilibrium awal dimana pembeli membayar minuman
berpemanis pada titik K yang digambarkan pada kurva supply SA2, sedangkan setelah
diberikan pajak, terdapat perubahan equilibrium menjadi titik L yang tergambar pada
kurva supply SA3. Perubahan kurva supply ini disebabkan oleh adanya perubahan
harga dari PA0 ke PA2, sehingga kuantitas menurun dari QA0 ke QA2.

Sebelum dikenakan pajak kemampuan produksi produsen berada pada titik QA0
dan PA0, namun setelah dikenakan pajak, pajak tersebut menggeser kemampuan
produsen bersedia memproduksi barang A menjadi titik QA2PA2 (paling bawah)
sedangkan pada konsumen, ability to pay awal berada pada titik QA1PA1, namun
setelah dikenakan pajak menjadi titik QA2PA2 (paling atas). Sehingga surplus
konsumen terjadi pada garis diatas titik PA2 (paling atas) dan surplus produsen pada
PA2 (paling bawah). Sedangkan pengurangan produksi pada yang sebelumnya QA0
menjadi QA2 pada grafik yang ditutup abu-abu menjadi titik inefisiensi (penurunan
produksi dan tidak bersedianya konsumen membayar) atau yang biasa disebut dengan
deadweight loss.

Pengenaan pajak dikenakan pada grafik yang diarsir hitam. Pada grafik tersebut
dapat diketahui pajak ditanggung sebagian oleh konsumen dan Sebagian oleh
produsen. Pada kebijakan yang diberikan pemerintah yakni pengenaan cukai sebesar
Rp 1500,- per liter minuman berpemanis dan berkonsentrat tinggi dapat tanggung oleh
produsen maupun konsumen. Hal ini tergantung dari masing-masing kebijakan
produsen. Namun apabila pajak dikenakan oleh konsumen secara keseluruhan dapat
menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Meningkatnya harga yang dibayar konsumen
menurunkan grafik kuantitas kesediaan konsumen membeli barang tersebut dan
memperbesar deadweight loss sedangkan apabila dibebankan pada perusahaan hal ini
menimbulkan biaya produksi yang berlebihan sehingga berkurangnya kuantitas
produksi produsen.

Literatur yang telah ada saat ini membandingkan bahwa dengan adanya pajak
minuman berpemanis menurunkan asupan kalori dan meningkatkan pendapatan
negara dengan memperhitungkan efek substitusi pada barang pengganti lainnya
(Smith, Lin, dan Lee, 2010). Sedangkan tanpa perhitungan substitusi barang lainnya,
pajak minuman berpemanis memberikan kontribusi lebih kecil pada pendapatan
negara. Pada penelitian lainnya keefektifan dapat dilihat dari populasi masyarakat
(Fletcher, Frishvold, dan Tefft, 2010b).

D. KESIMPULAN

Bahwa pengenaan pajak minuman berpemanis dibuat karena adanya


eksternalitas (peningkatan diabetes mellitus) di Indonesia. Pajak minuman berpemanis
merupakan salah satu contoh eksternalitas negatif, dimana pada eksternalitas negatif
terdapat kelebihan konsumsi pada masyarakat yang menyebabkan timbulnya
deadweight loss. Sebagai salah satu cara untuk menanggulangi tingginya diabetes
melitus, pemerintah memberikan kebijakan cukai dalam bentuk Pigouvian tax, sehingga
kuantitas produksi produsen lebih terkontrol dan konsumsi konsumen lebih sedikit yang
diharapkan mengurangi eksternalitas yang terbentuk.
DAFTAR REFERENSI

Adhi, Irawan Sapto. (2020). 5 Penyakit Tidak Menular yang Paling Banyak Diderita
Orang Indonesia. 13 Januari 2020.
https://health.kompas.com/read/2020/02/13/103000768/5-penyakit-tidak-
menular-yang-paling-banyak-diderita-orang-indonesia?page=all.

Catriana, Elsa. (2020). Sri Mulyani Usulkan Minuman Berpemanis Kena Cukai, Ini
Produknya. 14 January 2021.
https://money.kompas.com/read/2020/02/19/143200026/sri-mulyani-usulkan-
minuman-berpemanis-kena-cukai-ini-produknya?page=all.

Chaloupka, F. J., L. M. Powell, and J. F. Chriqui. (2009). Sugar-Sweetened Beverage


Taxes and Public Health. New Jersey: Princeton

Fletcher, J. M., D. Frisvold, and N. Tefft. (2010). Can Soft Drink Taxes Reduce
Population Weight. Contemporary Economic Policy 28(20 10a):967-974.

Kristiaji, Bawono. (2016). Urgensi Pigouvian Tax untuk Indonesia. 13 Januari 2020.
https://news.ddtc.co.id/urgensi-pigouvian-tax-untuk-indonesia-6662?
page_y=2200

Mankiw, George. (2004). Principle of Microeconomics. South-Western: Cengage


Learning

No Name. (2020). Pigouvian Tax. 14 Januari 2021. https://taxfoundation.org/tax-


basics/pigouvian-tax/

No Name. (2020). Penyakit Tidak Menular Kini Ancam Usia Muda. 13 Januari 2020.
https://www.kemkes.go.id/article/view/20070400003/penyakit-tidak-menular-
kini-ancam-usia-muda.html

Pindyck, Robert. Daniel Rubenfield. (2013). Microeconomics (8th Edition). California:


Pearson Education
Powell, L. M., Chriqui, J. F. (2012). Food taxes and subsidies: Evidence and policies for
obesity prevention. In J. Cawley (Ed.), The handbook of the social science of
obesity. Oxford: Oxford University Press

Putri, Gloria. (2020). Angka Kematian Akibat Penyakit Tidak Menular di Indonesia
Melonjak. 13 Januari 2020.
https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/23/130000923/angka-kematian-
akibat-penyakit-tidak-menular-di-indonesia-melonjak?page=all.

Senarath Dharmasena, George C. Davis and Oral Capps Jr. (2014). Partial versus
General Equilibrium Calorie and Revenue Effects Associated with a
SugarSweetened Beverage Tax. Journal of Agricultural and Resource
Economics , August 2014, Vol. 39, No. 2 (August 2014), pp. 157-173

Smith, T. A., B. H. Lin, and J. Y. Lee. (2010). Taxing Caloric Sweetened Beverages:
Potential Effects on Beverage Consumption, Calorie Intake, and Obesity.
Economic Research Report ERR- 100,: Washington U.S. Department of
Agriculture, Economic Research Service

World Health Organization. (2015). State of Health Inequality. 13 Januari 2020.


https://www.who.int/docs/default-source/gho-documents/health-equity/state-of-
inequality/12-dec-final-final-17220-state-of-health-inequality-in-indonesia-for-
web.pdf?sfvrsn=54ae73ea_2

Anda mungkin juga menyukai