Anda di halaman 1dari 10

JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO

Volume 8, Nomor 1, Januari 2019


Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

BEBERAPA FAKTOR RESIKO TERJADINYA DERMATITIS


SEBOROIK PADA KARYAWAN GO-JEK KOTA SEMARANG
Rova Budi Kusuma1, Asih Budiastuti2, Aryoko Widodo S3
1
Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro
2
Staf Pengajar Ilmu Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran,Universitas Diponegoro
3
Staf Pengajar Ilmu Biokimia, Fakultas Kedokteran,Universitas Diponegoro
Jl. Prof. H. Soedarto, SH., Tembalang-Semarang 50275, Telp. 02476928010

ABSTRAK
Latar Belakang: Dermatitis Seboroik adalah penyakit kulit kronis berulang pada area yang
didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi yang memiliki banyak kelenjar
sebasea. Karyawan GO-JEK Kota Semarang diperkirakan memiliki resiko lebih tinggi untuk
terkena Dermatitis Seboroik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor resiko
Dermatitis Seboroik pada Karyawan GO-JEK Kota Semarang. Tujuan: Mengetahui beberapa
faktor resiko terjadinya Dermatitis Seboroik pada Karyawan GO-JEK Kota Semarang.
Metode: Penelitian ini bersifat belah lintang dilakkan pada 22 Karyawan GO-JEK Kota
Semarang sebagai subjek penelitian pada bulan Mei 2018. Diagnosis Dermatitis Seboroik
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis residen ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Data
diambil dengan kuesioner meliputi hygiene perorangan, durasi terpapar keringat dan lama
kerja per hari. Data dianalisis dengan program komputer secara analitik dengan menggunakan
uji chi-square atau fischer test dengan tingkat kemaknaan untuk variabel uji bivariat p<0,05.
Kemudian dilakukan regresi logistik. Hasil: Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa
lama kerja yang lama merupakan faktor resiko Dermatitis Seboroik RP= 20,158 (IK = 1,107-
367,015) p = 0,042. Simpulan: Lama kerja yang lama merupakan faktor resiko Dermatitis
Seboroik.

Kata Kunci: Dermatitis Seboroik, faktor resiko, lama kerja.

ABSTRACT
SOME RISK FACTORS OF SEBORRHEIC DERMATITIS IN GO-JEK
EMPLOYEES IN SEMARANG CITY
Background: Seborrheic dermatitis is a chronic recurrent skin disease in an area based on
constitutional factors and predilection which has many sebaceous glands. GO-JEK employees
in Semarang City are estimated to have a higher risk of developing Seborrheic Dermatitis.
This study aims to determine several risk factors for Seborrheic Dermatitis in GO-JEK
Employees in Semarang City. Aim: To determine several risk factors for Seborrheic
Dermatitis in GO-JEK Employees in Semarang City. Methods: This study was a cross-
sectional study conducted on 22 GO-JEK Employees in Semarang City as the subject of the
study in May 2018. The diagnosis of Seborrheic Dermatitis was established based on clinical
examinations of residents of skin and sex health sciences. Data were taken by questionnaire
covering individual hygiene, duration of exposure to sweat and length of work per day. The
data were analyzed by computer analytic program using chi-square or fischer test with a
significance level for the bivariate test variable p <0.05. Then logistic regression test. Results:
The results of multivariate analysis showed that the long working period was a risk factor for

458 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

Seborrheic Dermatitis Rp = 20.158 (IK = 1.107-367.015) p = 0.042. Conclusion: Long


working period is a risk factor for Seborrheic Dermatitis.

Keywords: Seborrheic Dermatitis, risk factor, working period.

PENDAHULUAN Salah satu infeksi jamur yang dapat


Dewasa ini banyak individu yang menyebabkan inflamasi adalah infeksi
tidak perhatian terhadap kesehatan Pityrosporum ovale.6 Infeksi dari
tubuhnya sendiri, salah satunya adalah Pityrosporum ovale dianggap oleh Shuster
bagian kulit. Secara awam penggunaan (1984) sebagai penyebab primer ketombe
sampo atau produk kecantikan yang lain karena membuktikan dari postulat Koch
dianggap cukup untuk merawat kesehatan bahwa pertumbuhan Pityrosporum ovale di
kulit, namun faktanya angka insidensi penderita ketombe mengalami
penyakit kulit di Indonesia menempati peningkatan.6,7,8 Meskipun begitu hingga
urutan ketiga terbanyak setelah infeksi sekarang patogenesis dari Dermatitis
saluran napas bagian atas akut dan Seboroik masih belum diketahui secara
hipertensi esensial.1 Salah satu penyakit pasti walaupun menurut Fritsch (2008),
kulit yang menempati urutan atas adalah kejadian Dermatitis Seboroik memiliki
Dermatitis Sebororik. hubungan yang erat dengan produksi
Angka kejadian Dermatitis sebum yang berlebih dan adanya
Seboroik di dunia cukup tinggi yaitu Malassezia.9
sekitar 3-5%.2 Berdasarkan prevalensi Dermatitis Seboroik sering
Dermatitis Seboroik di RSUP Cipto mengenai jenis kelamin laki-laki daripada
Mangunkusumo Jakarta dari tahun 2000- perempuan. Hal ini mungkin didukung dari
2002 adalah sekitar 8,3%.3 Dermatitis produksi hormon androgen yang
Seboroik memiliki bentuk awal/permulaan merangsang atau mengontrol
berupa ketombe. Ketombe atau dandruff perkembangan dan pemeliharaan
memiliki nama lain berupa pitiriasis karakteristik laki-laki.10
furfurasea, pitiriasis simpleks kapitis atau
seboroik kapitis.4,5

459 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

METODE Seboroik. Data diambil dengan


Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan kuesioner yang sudah di
observasional analitik dengan rancangan validasi. Data yang tercatat pada status
cross-sectional. Penelitian ini dilaksanakan penderita ditabulasi dan selanjutnya
pada bulan April hingga Juni tahun 2018 di dianalisis dengan program komputer secara
beberapa lokasi seperti: pangkalan Ojek analitik dengan menggunakan uji chi-
Tembalang dan pangkalan Ojek square atau fischer test dengan tingkat
Semarang. Kriteria Inklusi penelitian ini kemaknaan untuk variabel uji bivariat
adalah Menderita Dermatitis Seboroik di p<0,05. Kemudian dilakukan regresi
area kepala, Karyawan GO-JEK di logistik.
Semarang yang menggunakan helm pada Terdapat tiga variabel bebas pada
beberapa pangkalan Ojek misalnya: penelitian ini, yaitu Durasi terpapar
Pangkalan Ojek Tembalang dan pangkalan keringat, Hygiene perorangan dan lama
Ojek Semarang, Karyawan GO-JEK di kerja. Variabel tergantung pada penelitian
Semarang yang sudah bekerja dalam kurun ini adalah infeksi Dermatitis Seboroik pada
waktu lebih dari satu bulan (dalam kurun Karyawan GO-JEK di Semarang.
pagi hingga siang), Berpikiran sehat
jasmani dan rohani. Kriteria Eksklusi HASIL
penelitian ini adalah menolak atau Subyek penelitian diambil dengan
menghentikan partisipasi dalam penelitian. metode purposive sampling sebanyak 22
Sampel diambil dengan cara purposive sampel. Dari sampel tersebut didapatkan
sampling. Dengan menggunakan rumus ini 17 sampel yang memenuhi kriteria inklusi
jumlah sampel yang dibutuhkan adalah dan ekslusi dan 5 sampel yang digunakan
sebanyak 15 kasus infeksi Dermatitis sebagai syarat uji chi square.

Tabel 1. Karakteristik Sampel


Nilai tengah N (%)
Variabel F % Rerata ± SD
(min – max)
Hygiene perorangan 12,68 ± 1,96 12,5 (9 – 15)
- Baik (>12.5) 11 (50%)
- Buruk (<12.5) 11 (50%)
Durasi terpapar keringat 7,36 ± 3,16 7 (1 – 14)
- Lama (>6.5) 12 (54.5%)
- Sebentar (<6.5) 10 (45.5%)
Lama kerja 8,86 ± 2,51 9,5 (4 – 13)

460 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

Dermatitis seboroik
- Lama (>7.5) 14 (63.6%)
- Sebentar (<7.5) 8 (36.4%)
Ya 17 77,3
Tidak 5 22,7

Penelitian ini dilakukan pada 22 Ditemukan 17 karyawan GO-JEK Kota


subjek penelitian. Jenis kelamin subjek Semarang yang terdiagnosa dermatitis
penelitian ini adalah 22 orang laki-laki. seboroik.

Tabel 2. Hubungan antara tingkat hygiene perorangan dan dermatitis seboroik


Dermatitis seboroik
Variabel Ya Tidak Nilai p
N % n %
Hygiene perorangan
≥ 12,5 9 52,9 2 40,0 1,000*
< 12,5 8 47,1 3 60,0
Odds ratio (OD)=1,69 (IK 95%=0,22-12,81) ; *uji chi square
Titik potong optimum hygiene diantaranya terdiagnosis dermatitis
perorangan ditentukan menggunakan seboroik dan 11 karyawan yang masuk
analisis ROC, yakni 12,5 (dikategorikan kategori “hygiene baik”, 9 diantaranya
“hygiene baik” apabila skor >12,5 dan terdiagnosa dermatitis seboroik. Perbedaan
dikategorikan “hygiene buruk” apabila ini secara statistik tidak bermakna dengan
skor <12,5) dengan sensitifitas 50% dan p sebesar 1,00 (p > 0,2) sehingga variabel
spesifisitas 60%. Sebanyak 11 karyawan ini tidak dapat dianalisis lebih lanjut
yang masuk “hygiene buruk”, 8 dengan uji regresi logistik.

Tabel 3. Hubungan antara durasi terpapar keringat dan dermatitis seboroik


Dermatitis seboroik
Variabel Ya Tidak Nilai p
n % n %
Durasi terpapar keringat
≥ 6,5 11 64,7 1 20,0 0,135*
< 6,5 6 35,3 4 80,0
Odds ratio (OD)=7,33 (IK 95%=0,66-81,37) ; *uji chi square
Titik potong optimum durasi dikategorikan “durasi pendek” apabila
terpapar keringat ditentukan menggunakan terpapar keringat <6,5 jam per hari) dengan
analisis ROC, yakni 6,5 jam per hari sensitifitas 65% dan spesifisitas 80%.
(dikategorikan “durasi panjang” apabila Sebanyak 12 karyawan yang masuk
terpapar keringat >6,5 jam per hari dan “durasi panjang”, 11 diantaranya

JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


461
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

terdiagnosis dermatitis seboroik dan 10 statistik bermakna dengan p sebesar 0,135


karyawan yang masuk kategori “durasi (p < 0,2) sehingga variabel ini dapat
pendek”, 6 diantaranya terdiagnosa dianalisis lebih lanjut dengan uji regresi
dermatitis seboroik. Perbedaan ini secara logistik.

Tabel 4. Hubungan antara lama masa kerja dan dermatitis seboroik


Dermatitis seboroik
Variabel Ya Tidak Nilai p
N % n %
Lama kerja
≥ 7,5 13 76,5 1 20,0 0,039*
< 7,5 4 23,5 4 80,0
Odds ratio (OD)=13,00 (IK 95%=1,11-152,4) ; *uji chi square
Titik potong optimum lama kerja kategori “lama”, 13 diantaranya
ditentukan menggunakan analisis ROC, terdiagnosis dermatitis seboroik dan 8
yakni 7,5 jam per hari (dikategorikan karyawan yang masuk kategori “sebentar”,
“lama” apabila lama kerja >7,5 jam per 4 diantaranya terdiagnosa dermatitis
hari dan dikategorikan “sebentar” apabila seboroik. Perbedaan ini secara statistik
lama kerja <7,5 jam per hari) dengan bermakna dengan p sebesar 0,039 (p < 0,2)
sensitifitas 77% dan spesifisitas 80%. sehingga variabel ini dapat dianalisis lebih
Sebanyak 14 karyawan yang masuk lanjut dengan uji regresi logistik.

Tabel 5. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik


Variabel Nilai p OR IK 95%
Durasi terpapar keringat 0,096 12,271 0,643 – 234,260
Lama kerja 0,042 20,158 1,107 – 367.015

Berdasarkan uji regresi logistik, bekerja dalam kurun waktu sebentar RP=
diketahui variabel penelitian yakni lama 20,158 (IK = 1,107-367,015) p = 0,042
kerja merupakan variabel independen
terhadap infeksi dermatitis seboroik. PEMBAHASAN
Didapatkan rasio prevalen sebesar 20,158 Kulit manusia akan mengalami
pada lama kerja yang dapat diartikan degenerasi seiring bertambahnya usia. Hal
karyawan GO-JEK yang bekerja ini karena faktor AGE (Advanced Glycated
menggunakan helm dalam waktu yang End) dan penipisan lapisan lemak,
lama 20,158 kali lebih berisiko terinfeksi sehingga menimbulkan efek bahan kimia
dermatitis seboroik dibandingkan yang dan mikroorganisme menjadi lebih mudah

462 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

masuk serta menginfeksi.31 HSE Hasil penelitian menunjukkan


melaporkan individu dengan usia diatas 40 bahwa lama kerja lebih dari 7,5 jam
tahun mulai mengalami proses penuaan merupakan faktor resiko dari dermatitis
kulit. Pada usia lanjut sering terjadi seboroik. Hasil ini sesuai dengan penelitian
kegagalan pengobatan kulit yang yang dilakukan oleh HSE. HSE
menyebabkan paparan terhadap Dermatitis menyatakan bahwa lama kerja diatas 6 jam
Seboroik menjadi lebih infektif.32 akan meningkatkan resiko infeksi
Stress akan menimbulkan banyak dikarenakan kemungkinan stress emosional
masalah kulit. Stress dapat timbul dari dan psikis lebih tinggi.32
lama kerja yang lama sehingga tubuh akan Data penelitian menunjukkan
lelah secara fisik dan psikis. Hal ini bahwa terdapat 4 sampel dengan lama
dikarenakan stress akan memicu tubuh kerja kurang dari 7,5 jam terinfeksi
untuk mensekresi hormone kortisol yang dermatitis seboroik. Hal ini karena
menyebabkan pelepasan glukosa pada timbulnya dermatitis seboroik juga
darah meningkat serta penyempitan dipengaruhi oleh tingkat kelembapan
pembuluh darah arteri. Peningkatan kepala dan status imunitas mempengaruhi
glukosa darah akan meningkatkan kejadian dermatitis seboroik namun tidak
viskositas darah. Viskositas darah yang dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini
meningkat ini membuat tubuh lebih prone sehingga menjadi variabel perancu.33
untuk terkena masalah di kulit salah Kondisi lingkungan yang lembab
satunya menimbulkan status seboroik aktif. dan panas di kepala karena pemakaian
Departemen Dermatologi di George helm tertutup terus menerus juga akan
Washington University Medical Centre meningkatkan kemungkinan dermatitis
menyatakan bahwa tidak hanya stress seboroik pada kepala.34 Pekerjaan sebagai
emosional dan psikis yang menyebabkan karyawan Ojek Online membutuhkan
kelainan kulit jauh lebih mudah namun, durasi pemakaian helm tertutup. Durasi ini
tekanan fisik dari berbagai macam hal juga berbeda-beda tiap karyawan tergantung
turut berpengaruh besar (contoh: trauma jauhnya jasa yang dilaksanakan.
berkali-kali, jatuh, terantuk, dan lain- Hasil penelitian menunjukkan
lain).15 bahwa setengah dari sampel penelitian
memiliki skor hygiene perorangan yang

463 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

baik. Namun, terdapat 2 sampel yang tidak dipengaruhi oleh status imunitas dan
terdiagnosis dermatitis seboroik meskipun asupan nutrisi seseorang. Podewills
memiliki skor hygiene perorangan yang melaporkan, asupan nutrisi yang kurang
baik. Hal ini berkaitan terhadap status akan menjadikan tubuh lebih mudah
imunitas sampel tersebut. Status imunitas terkena kelainan kulit 1,9 kali daripada
individu akan cenderung menurun pada individu yang asupan nutrisinya cukup.35
keadaan lelah, stress dan infeksi. Asupan nutrisi pada infeksi akan
Penurunan status imunitas ini berhubungan menurunkan status imun karena terjadi
dengan regulasi mekanisme inflamasi yang penurunan produksi limfosit dan
menjadikan tubuh mensekresi lebih banyak kemampuan proliferasi sel imun. Keadaan
mediator pro-inflamasi seperti sitokin dan ini disebabkan oleh perurunan kadar IFN
hormon stress yaitu kortisol. Mediator gamma danTL-Z serta peningkatan kadar
tersebut nantinya akan menjadikan tubuh TGF-beta. Penurunan status imun akibat
lebih mudah terkena infeksi bakteri, virus malnutrisi mengakibatkan peningkatan
atau jamur. Maka dari itu, hygiene pertumbuhan rnikroorganisme dan resiko
perorangan bukan merupakan faktor resiko diseminasi.36,37 Dalam infeksi jamur pada
bermakna bagi timbulnya dermatitis kulit, status nutrisi seseorang sangat
seboroik karena meskipun status hygiene berpengaruh, terutama kadar IFN-gamma
individu terhitung baik namun tidak seseorang yang turun akan menyebabkan
menjadi jaminan seorang individu akan supresi imunitas seluler.38 Maka dari itu
kebal terhadap kelainan kulit.15 meskipun individu memiliki kondisi yang
Hasil penelitian menunjukkan lembab karena terpapar keringat namun,
bahwa durasi terpapar keringat bukan bila status nutrisi tubuh baik maka tubuh
merupakan faktor resiko bermakna bagi akan cukup menghasilkan IFN-gamma
timbulnya dermatitis seboroik. Didapatkan untuk meningkatkan status imunitas
dari 12 sampel yang memiliki durasi seseorang.
terpapar keringat diatas 6,5 jam terdapat 1
sampel yang tidak terdiagnosis dermatitis SIMPULAN DAN SARAN
seboroik. Keadaan berkeringat atau lembab Simpulan
akan meningkatkan resiko terjadinya Lama kerja merupakan faktor
dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik resiko dari dermatitis seboroik. Hygiene

464 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

perorangan dan durasi terpapar keringat Perlu mendata waktu kerja total karyawan
bukan merupakan faktor resiko dermatitis (sejak mulai hingga penelitian).
seboroik.
SARAN DAFTAR PUSTAKA
Perlunya dilakukan penyuluhan dan 1. Departemen Kesehatan. Profil
pelatihan pada para penderita dermatitis Kesehatan Indonesia [Internet]. 2011
seboroik dan orang-orang yang beresiko [cited :2018 Feb 14]. Available from :
menderita dermatitis seboroik tentang http://www.depkes.go.id/resources/
pencegahan dan penatalaksanaan yang baik download/pusdatin/profil-kesehatan-
dan benar, mengingat angka kejadian indonesia/profil-kesehatan-indonesia-
penyakit jamur kulit di Indonesia termasuk 2011.pdf
tinggi. 2. Selden S, Travers R, Vinson R,
Perlunya menambah jumlah sampel Meffert J. [Internet]. 2014 [cited 2018
untuk kepentingan statistik pada penelitian Feb 14]. Available from:
selanjutnya. http://emedicine.medscape.com/article
Perlu diadakan penelitian lebih /1108312-overview#aw2aab6b2b3aa.
lanjut pada : 3. Kurniati DD. Dermatitis seboroik,
a. Kelompok kerja lain yang beresiko gambaran klinis. In: Rihatmaja R,
terkena dermatitis seboroik atau editor. Metode diganostik dan
dermatofitosis lainnya, seperti Polisi dan penalaksanaan psoriasis dan dermatitis
Tukang Becak dikarenakan pemakaian seboroik. Jakarta: Balai Penerbit
pelindung kepala yang kedap dengan FKUI; 2003. p. 53-59.
durasi yang lama. 4. Wasitaatmadja SM. Ketombe. Dalam :
b. Kejadian dermatitis seboroik pada Penuntun Ilmu Kosmetik Medik.
bagian tubuh yang lain, mengingat agen Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
penyebab dermatitis seboroik juga dapat (UI-Press), 2003:209-12.
menyebabkan infeksi pada bagian tubuh 5. Pohan SS, Erlan JS. Faktor-faktor
selain di kepala. penyebab ketombe. Dalam: Sugito T,
Perlu melakukan homogenitas umur, status Dwikarya M, Amzafi P, Dwihastuti P,
imunitas dan gizi. Wasitaatmadja SM, ed. Ketombe dan

465 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

penanggulangannya. Jakarta : Tira 11. Cohen. 1999. DE. Occupational


Pustaka, 1989:8-11. Dermatosis, Handbook of
6. Burton. AL. Eczema, lichenification, Occupational Safety and Helth, second
prurigo and erythroderma. Dalam: edition
Champion RH, Burton AL, Ebling 12. HSE. 2000. The Prevalance of
FJB. ed. Textbook of Dermatology, ed Occupational Dermatitis among Work
ke : 8. London: Blackwell Scientific, in The Printing Industry and Yout
2010:537-57 Skin dalam www.hsebooks.co.uk.
7. Degreef H, Jacobs PH, Rosenberg Diakses tanggal 27 September 2018.
EW, Shuster S, ed. Aetio-pathogenesis 13. Suryani, Febria. 2011. Faktor-Faktor
of seborrhoeic and dermatitis and yang Berhubungan dengan Dermatitis
dandruff. Dalam : Ketoconazole in Kontk pada Pekerja Bagian Processing
seborrhoeic dermatitis and dandruff, a dan Filling pt. Cosmar Indonesia
review. Manchester : ADIS Press Tangerang Selatan Tahun 2011.
International, 1989:1-11. Skripsi Univeristas Islam Negeri
8. Shuster S. The aetiology of dandruff Jakarta.
and the mode of action or therapeutic 14. Cronin E. 1980. Contact Dermatitis.
agents. Br J Dervatol 1984;111:235- Ediburgh. London dan New York;
42. Churchill Livingstone.
9. Fritsch PO, Reider N. Other 15. Podewils LJ, Holtz T. Riekstina,
eczematous eruptions. In: Bolognia, Skripconoka Zarovska E, Kirvelaite G
Joziono, Rapini, editors. Dermatology. et al. Impact of malnutrition on
New York: Mosby Elsevier; 2008. p. clinical presentation, clinical course,
197-200. and mortality in MDR-TB patienls.
10. Schwartz RA, Janusz CA, Janninger Epidemiol infect. 2011;139(1):I 13-20.
CK. Seborrheic dermatitis: an 16. Papathakis P. Piwoz E. editors.
overview. American Family Nutrition and Tuberculosis: A Review
Physicians. 2006; 74. of the Literature and Considerations
for TB Control Programs. Chapter 3,
Malnutrition, Immunity, and TB.
Washington: United States Agencv for

466 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467


JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico
ISSN Online : 2540-8844
Rova Budi Kusuma, Asih Budiastuti, Aryoko Widodo

International Developmental: 2008. p. Fitzpatrick’s dermatology in general


11-7. medicine. USA : Mc Graw-Hill
17. Gupta KB. Gupta R. Atreja Verma M. Companies;2012
Vishvkama S. Tuberculosis and 20. 40. Kurniawati RD. Faktor-faktor
nutrition. Lung India. 2009:26(1):9- yang berhubungan dengan kejadian
16. tinea pedis pada pemulung di TPA
18. 38. Dheda K, Schwander SK, Zhu B, Jatibarang Semarang. Semarang
van Zyl Smit RN. Zhang Yi. The (Indonesia) : Ilmu Kesehatan
imunology of tuberculosis: from bench Lingkungan Universitas Diponegoro;
to bedside. Respirology. 2010: 15 :433 2006.
-50.
19. 39. Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B,
Paller A, Leffel D, Wolff K.

467 JKD : Vol. 8, No. 1, Januari 2019 : 458-467

Anda mungkin juga menyukai